Anda di halaman 1dari 53

BRONKOPNEUMONIA

ICD-10 : J18.O

Definisi
Peradangan/ inflamasi yang mengenai parenkim paru

Etiologi
Umur Kuman penyebab
Lahir- 3minggu Group B Streptococcus
Kuman gram negatif (misalnya E.Coli)
3 minggu – 3 bulan Virus (RSV, parainfluenza virus, influenza A dan B,
adenovirus)
Chlamydia trachomatis
Streptococcus pneumoniae
4 bulan- 4 tahun Streptococcus pneumoniae, virus, haemophilus influenzae,
Group A streptococcus ( Streptococcus pyogenes),
Streptococcus aureus, Mycoplasma pneumoniae
Lebih dari 5 tahun Mycoplasma pneumoniae, Chlamydia pneumoniae,
Streptococcus pneumoniae

Patogenesis
Mikroorganisme penyebab terhisap ke paru bagian perifer melalui saluran
respiratori  edema  konsolidasi (serbukan sel PMN, fibrin, eritrosit,cairan
edema)  deposit fibrin semakin bertambah  proses fagositosis  jumlah
makrofag meningkat  degenerasi sel  fibrin menipis  kuman & debris
menghilang

Bentuk Klinis : Pneumonia berat, Pneumonia, Bukan Pneumonia


Pneumonia berat (rawat inap)
- Tanpa gejala hipoksemia
- Dengan gejala hipoksemia
- Dengan komplikasi
Pneumonia ringan (rawat jalan)

Kriteria Diagnosis
a. Anamnesis
Demam, batuk, sesak napas, biru disekitar mulut, mengigil (pada anak), kejang
(pada bayi) dan nyeri dada
b. Pemeriksaan Fisis
- Demam
- Dispneu yang ditandai dengan pernapasan cepat (takipneu), pernapasan
cuping hidung, retraksi dan sianosis
- Suara napas vesikuler meningkat sampai bronchial
- Suara napas tambahan ronkhi basah halus nyaring.
c. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan darah perifer lengkap, CRP, Analisa gas darah, foto toraks AP/
Lateral Kanan, mikrobiologi dari sputum dan swab nasopharyngeal, spesimen
dari bronchoalveolar lavage, aspirasi jaringan paru

1
Diagnosis Banding
- Bronkhiolitis
- Bronkhitis akut
- Payah jantung
- Sepsis

Diagnosis Kerja
Bronkopneumonia (J18.0)

Tatalaksana
- Pemberian oksigen, dimonitoring dengan pulse oxymetri.
- Pemberian cairan dan kalori yang cukup, sesuai dengan berat badan,
peningkatan suhu dan status hidrasi.
- Bila sesak tidak terlalu hebat dapat dimulai diet enteral bertahap melalui
selang nasogastrik,orogastrik maupun per oral.
- Jika sekresi lendir berlebihan dapat diberikan inhalasi dengan salin normal
- Koreksi kelainan asam basa atau elektrolit yang terjadi
- Pemilihan antibiotik berdasarkan umur, keadaan umum penderita dan dugaan
penyebab. Evaluasi pengobatan setiap 48-72 jam,bila tidak ada perbaikan
klinis dilakukan penggantian antibiotik sampai anak dinyatakan sembuh.
- Lama pemberian antibiotik tergantung kemajuan klinis penderita, evaluasi
pemeriksaan penunjang (pemeriksaan darah, foto toraks) dan jenis kuman
penyebab. Sebagian besar membutuhkan waktu 10-14 hari, kecuali untuk
kuman staphylococcus dapat diberikan 6 minggu.
- Keadaan imunokompromised (gizi buruk, keganasan, pengobatan steroid
jangka panjang, infeksi HIV), penyakit jantung bawaan, gangguan
neuromuskular, dan fibrosis kistik, antibiotik harus segera diberikan. Dapat
dipertimbangkan pemberian: kotrimosazol pada pneumocystic carinii, antiviral
(acyclovir, gansiclovir) pada pneumonia karena CMV, anti jamur
(amphoterisin B, ketokonazol, fluconazol) pada pneumonia karena jamur dan
imunoglobulin.
- Atasi penyakit penyerta lainnya.

Petunjuk pemberian antibiotika empiris


Pilihan antibiotika untuk penderita pneumonia baru yang datang ke IRD atau
rawat jalan yang belum pernah mendapatkan perawatan di RS lainnya:
a. Pneumonia ringan yang bisa rawat jalan:
- Amoksisilin 50-80 mg/kg/hari per oral dibagi dalam 3 dosis, atau
- Amoksisilin+asam klavulanat 50 mg/kgbb peroral dibagi dalam 3 dosis

b. Pneumonia yang memerlukan rawat inap:


- Ampicilin 100 mg/kgbb/hari intravena dibagi dalam 4 dosis atau
- Ampicilin sulbactam 100 mg/kgbb/hari intravena dibagi dalam 4 dosis

Pneumonia yang memerlukan rawat inap yang disertai penyakit penyerta


yang menular tanpa disertai sepsis (ISK, gastroenteritis, morbili)
Ampicilin sulbactam 100 mg/kgbb/hari intravena dibagi dalam 4 dosis

Pneumonia yang memerlukan rawat inap yang disertai sepsis


Ampicilin sulbactam 200 mg/kgbb/hari intravena dibagi dalam 4 dosis

2
Pilihan antibiotika untuk penderita pneumonia yang dirujuk dari RS lain adalah:
a. Pernah mendapatkan perawatan di RS lain kurang dari 72 jam
Ampicilin sulbactam 100 mg/kgbb/hari intravena dibagi dalam 4 dosis
b. Pernah mendapatkan perawatan RS lain lebih dari 72 jam
- Cefotaxim 50-100 mg/kgbb/hari intravena dibagi dalam 3-4 dosis
- Ceftriaxon 50-100 mg/kgbb/hari intravena dibagi dalam 1-2 dosis, atau
sesuai dengan kultur dahak/darah yang ada, atau pertimbangan lain

Pilihan antibiotika untuk penderita penumonia dengan penyakit penyerta yang


tidak menular (non-infectious) seperti kelainan jantung bawaan sianotik atau non
sianotik, kelainan hematologi, kelainan kongenital, dan sebagainya sesuai dengan
poin1.
Pilihan antibiotika untuk penderita pneumonia yang diduga disebabkan oleh
infeksi kuman atipik (pneumonia atipik) dapat diberikan salah satu antibiotik di
bawah ini:
- Spiramisin 50 mg/kgbb/hari dibagi 3 dosis (10-14 hari)
- Eritromisin 30-50 mg/kgbb/hari dibagi 3-4 dosis (10-14 hari)
- Azitromisin 7,5-15mg/kgbbsekali sehari (5 hari)
- Klaritromisin 15-30 mg/kgbb/hari dibagi 2 dosis (7-10 hari)
Rekomendasi UKK Respirologi
Antibiotik untuk community acquired pneumonia:
 Neonatus - 2 bulan: Ampisilin + gentamisin
 > 2 bulan :
Lini pertama Ampisilin bila dalam 3 hari tidak ada perbaikan dapat
ditambahkan kloramfenikol
Lini kedua Seftriakson
Bila klinis membaik, antibiotik intravena dapat diganti preparat oral dengan
antibiotik golongan yang sama dengan antibiotik intravena sebelumnya.
Jenis obat dan dosis yang dapat digunakan untuk terapi pneumonia
Obat Dosis/kgBB/hari Cara Pemberian
Ampisilin 50-100 mg IM/IV, dibagi 4 kali pemberian
Amoksisilin 50-80 mg PO/IM/IV, dibagi 3-4 kali pemberian
Amoksisilin+Asam Klavulanat 30-75 mg PO, dibagi 3-4 kali pemberian
Ampisilin Sulbactam 100 mg IV, dibagi 4 kali pemberian
Amikasin 15 mg IM/IV, 1kali sehari
Azitromisin 7,5-15 mg PO/IV, 1 kali sehari
Cefotaksim 50-100 mg IV, dibagi 3-4 kali pemberian
Ceftriaxon 50-100 mg IV, dibagi 1-2 kali pemberian
Ceftazidim 50-100 mg IV, dibagi 1-2 kali pemberian
Cefuroxim 25-50 mg IV, dibagi 3-4 kali pemberian
Cefixim 5 mg PO, dibagi 2 kali pemberian
Eritromisin 30-50 mg PO, dibagi 3-4 kali pemberian
Gentamisin 5-7 mg IM/IV, dibagi 1-2 kali pemberian
Klaritromisin 15-30 mg PO, dibagi 2 kali pemberian
Kloramphenikol 50-100 mg IV/PO, dibagi 3-4 kali pemberian
Kloksasilin 50 mg IM/IV, dibagi 4 kali pemberian
Kotrimoksazol 6 mg (TMP) PO, dibagi 2 kali pemberian
Meropenem 30-50mg IV, dibagi 3 kali pemberian
Spiramisin 50mg PO, dibagi 3 kali pemberian

3
Edukasi
a. Menjelaskan mengenai gejala dan penyebab penyakit
b. Menjelaskan mengenai pemberian antibiotik, dosis dan efek samping
c. Menjelaskan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi prognosis
d. Menjelaskan prognosis dan komplikasi penyakit
e. Menjelaskan perlunya pemberian imunisasi, ASI yang adekuat serta asupan
gizi yang cukup.
f. Menjauhkan anak dari polusi udara dan asap rokok

Komplikasi
 Pneumothorax

Prognosis
 Ad vitam : dubia ad bonam
 Ad sanationam : dubia ad bonam
 Ad fungsionam : dubia ad bonam

Referensi
1. Soemyarso NA. Dkk. Modul Pembelajaran Ilmu Kesehatan Anak. Surabaya.
2014. Hal. 287-293
2. Mardjanis S. Pneumonia. Dalam: Nastiti NR, dkk. Buku ajar respirologi ikatan
dokter anak Indonesia. Jakarta. 2008. Hal 350-65
3. Alberta Medical Association. Guideline for the diagnosis and management of
community acquired pneumonia. Pediatric. 2001
4. WHO. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. Jakarta. 2009.
Hal 86-93.

Mengetahui/Menyetujui Palembang, April 2015


Ketua Departemen Kesehatan Anak Ketua Divisi Respirologi Anak

dr. Hj. Yusmala, SpA( K) dr. KH.Yangtjik, SpA(K)


NIP 19541128 198303 2 002 NIP 1951 0518 1979 03100

4
BRONKIOLITIS AKUT
ICD-10 : J21.9

Definisi
Penyakit IRA-bawah yang ditandai dengan adanya inflamasi bronkioli pada bayi
< 2 tahun

Etiologi
50-90 % disebabkan oleh Respiratory Syncitial Virus (RSV). Penyebab lain
parainfluenza virus, mikoplasma, adenovirus

Patogenesis
Infeksi virus pada epitel bersilia bronkiolus  respon inflamasi akut  obstruksi
bronkiolus akibat edem, sekresi mukus, timbunan debris seluler/sel-sel mati yang
terkelupas  infiltrasi limfosit peribronkial dan edem submukosa  hambatan
aliran udara

Kriteria Diagnosis
a. Anamnesis
 Umur kurang dari 2 tahun
 Demam atau riwayat demam, namun jarang terjadi demam tinggi
 Batuk kering disertai sesak napas, wheezing
b. Pemeriksaan Fisis
Demam sub febris, sesak napas dengan tanda-tanda obstruksi saluran napas,
sesak napas, ekspirasi memanjang dan mungkin terdengar wheezing ekspirasi,
bentuk dada tampak hiperinflasi. Fine inspiratory crackles pada seluruh
lapangan paru (tapi tidak selalu). Apneu dapat terjadi pada bronkiolitis,
terutama pada bayi usia muda, prematur atau berat badan lahir rendah.
c. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan darah rutin, CRP, foto toraks AP/ Lateral kanan, Analisa gas
darah, kultur virus, ELISA, PCR bila tersedia

Diagnosis Banding
a. Bronkopneumonia
b. Bronkhitis akut
c. Asma Bronchiale

Diagnosis Kerja
Bronkiolitis (J21.9)

Tatalaksana
Antibiotika non alergik sebagai profilaksis
 Pada saat kondisi sesak dapat diberikan klorampenikol IV dan dilanjutkan
dengan pemberian peroral bila sesak berkurang.
 Bila dapat diberikan peroral langsung diberikan eritromisin 30-50 mg/kgbb
/hari dalam 2-3 dosis
Suportif :
 Kortikosteroid diberikan untuk mengurangi edema saluran pernapasan :
Kortikosteroid 15-20 mg/kgbb/hari atau deksametason 0,5 mg/kgbb/hari
dibagi dalam 3 dosis selama 2-3 hari.

5
 Cairan dan elektrolit dengan dextrose 5% dan NaCI disesuaikan dengan
kebutuhan berdasarkan umur dan berat badan.
 Oksigen dengan kelembaban yang cukup.
 Fisioterapi dada dengan vibrasi dan perkusi untuk pengobatan
penderita diruang intensif.

Edukasi
 Menjelaskan mengenai gejala dan penyebab penyakit
 Menjelaskan mengenai pemberian terapi, dosis dan efek samping
 Menjelaskan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi prognosis
 Menjelaskan prognosis dan komplikasi penyakit
 Menjelaskan perlunya pemberian imunisasi, ASI yang adekuat serta asupan gizi
yang cukup.
 Menjauhkan anak dari polusi udara dan asap rokok

Prognosis
 Ad vitam : dubia ad bonam
 Ad sanationam : dubia ad bonam
 Ad fungsionam : dubia ad bonam

Kepustakaan
1. Magdalena SZ. Bronkiolitis . Dalam : Nastiti NR,dkk. Buku ajar
respirologi anak. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta.2008. hal 333-49
2. Clinical practice guideline. American academy of pediatrics 2006
3. Marjanais S. Pneumonia . Dalam : Nastiti NR,dkk. Buku ajar Respirologi
anak

Mengetahui/Menyetujui Palembang, April 2015


Ketua Departemen Kesehatan Anak Ketua Divisi Respirologi Anak

dr. Hj. Yusmala, SpA( K) dr. KH.Yangtjik, SpA(K)


NIP 19541128 198303 2 002 NIP1951 0518 1979 031003

6
TUBERKULOSIS
ICD-10 : A16.4

Definisi
Penyakit akibat infeksi kuman Mycobacterium tuberculosis sistemik sehingga
dapat mengenai hampir semua organ tubuh, dengan lokasi terbanyak di paru yang
biasanya merupakan lokasi infeksi primer

Etiologi
Mycobacterium tuberkulosis

Patogenesis
Inhalasi basil TB  alveolus  fagositosis oleh makrofag  basil TB
berkembang biak  destruksi makrofag  pembentukan tuberkel perkejuan 
pecah  lesi sekunder paru  kalsifikasi  kompleks ghon (terdapat didalam
alur patogenesis tuberkulosis *)

Bentuk Klinis
Gejala klinis pada organ yang terkena TB, tergantung jenis organ yang terkena,
misalnya kelenjar limfe, susunan saraf pusat (SSP), tulang, dan kulit, adalah
sebagai berikut:
1. Tuberkulosis kelenjar (terbanyak di daerah leher atau regio colli):
Pembesaran KGB multipel (>1 KGB), diameter ≥1 cm, konsistensi kenyal,
tidak nyeri, dan kadang saling melekat atau konfluens.
2. Tuberkulosis otak dan selaput otak:
a. Meningitis TB: Gejala-gejala meningitis dengan seringkali disertai
gejala akibat keterlibatan saraf-saraf otak yang terkena.
b. Tuberkuloma otak: Gejala-gejala adanya lesi desak ruang.
3. Tuberkulosis system skeletal
a. Tulang belakang (spondilitis): Penonjolan tulang belakang
(gibbus).
b. Tulang panggul (koksitis): Pincang, gangguan berjalan, atau tanda
peradangan di daerah panggul.
c. Tulang lutut (gonitis): Pincang dan/atau bengkak pada lutut tanpa
sebab yang jelas.
d. Tulang kaki dan tangan (spina ventosa/ daktilitis).
4. Skrofuloderma
Ditandai adanya ulkus disertai dengan jembatan kulit antar tepi ulkus (skin
bridge).
5. Tuberkulosis mata
a. Konjungtivitis fliktenularis (conjunctivitis phlyctenularis)
b. Tuberkel koroid (hanya terlihat dengan funduskopi).

Tuberkulosis organ-organ lainnya, misalnya peritonitis TB, TB ginjal


dicurigai bila ditemukan gejala gangguan pada organ-organ tersebut tanpa
sebab yang jelas dan disertai kecurigaan adanya infeksi TB.

7
Kriteria Diagnosis
a. Anamnesis
1. Demam lama (≥ 2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas,
umumnya tidak tinggi
2. Berat badan turun tanpa sebab yang jelas atau tidak naik dengan adekuat
atau tidak naik dalam 1 bulan setelah diberikan upaya perbaikan gizi yang
baik.
3. Batuk lama ≥3 minggu, non-remitting (tidak pernah reda atau intensitas
semakin lama semakin parah) dan sebab lain batuk dapat disingkirkan
4. Nafsu makan tidak ada (anoreksia) atau berkurang, disertai gagal tumbuh
(failure to thrive)
5. Lesu atau malaise, anak kurang aktif bermain.
6. Diare persisten/menetap (> 2 minggu) yang tidak membaik dengan
pengobatan baku diare
7. Riwayat kontak TB
8. Pembengkakan sendi
9. Gejala spesifik sesuai organ yang terkena.
Diagnosis dapat ditegakkan bila didapatkan 2 tanda bintang (*).
Pada institusi dengan fasilitas lengkap, diagnosis harus ditelusuri lebih lanjut.
a. Kontak erat dengan penderita TBC terbuka
b. Sering demam + berkeringat malam hari + anoreksia dan gangguan gizi
selama 3 bulan terakhir dan BB turun dengan cepat
c. Reaksi cepat imunisasi BCG ( > 3-7 hari (+) >5 mm)
d. Tes mantoux (indurasi > 10 –15 mm)
e. Skrofuloderma
f. Konjungtivitis pliktenularis
g. Spondilitis/ koksitis
h. Pembesaran kelenjar limfe regional terutama leher
i. Iritabel
j. Adanya cairan dalam rongga pleura atau pericardium
k. Diare persisten > 14 hari tidak sembuh sendiri dengan terapi
konvensional
b. Pemeriksaan Fisis
1. Suhu subfebris, status gizi kurang/ buruk.
2. Konjungtiva mata atau kulit yang pucat karena anemia
3. Dapat ditemukan pembesaran kelenjar limfe superfisialis yang tidak sakit
dan biasanya multiple
4. Tanda spesifik sesuai organ yang terkena
c. Pemeriksaan Penunjang
1. Uji tuberkulin (Mantoux)
2. Foto toraks AP/ Lateral Kanan
3. Skoring TB
4. Mikrobiologi: Sputum BTA secara langsung atau bilasan lambung, induksi
sputum selama 3 hari berturut-turut dan menemukan kuman M.Tb
5. Serologis
6. Patologi Anatomi

Foto toraks:
a. Pembesaran kelenjar limfe (kompleks primer)
b. Gambaran seperti pneumonia
c. Milier

8
d. Air trapping – hiperinflasi
e. Atelektasis
f. Efusi pleura  serosa
g. Kavitas
h. Honeycombs  bronkiektasis
i. Tuberkuloma
j. Kalsifikasi, fibrosis

Diagnosis paling tepat dengan ditemukan basil TB dari bahan yang diambil dari
penderita misalnya sputum, bilasan lambung, biopsi dan lain-lain.
Diperlukan kombinasi antara gambaran klinis dan pemeriksaan yang relevan
untuk menegakkan tuberkulosis.

Diagnosis TB anak berdasarkan sistem skoring:


Parameter 0 1 2 3 Skor

Tidak jelas - Laporan keluarga, BTA BTA (+)


Kontak TB (-) / BTA tidak jelas/
tidak tahu
Negatif - - Positif (≥10 mm atau
Uji tuberkulin
≥5 mm pada
(Mantoux)
imunokompromais)
- BB/TB<90% atau Klinis gizi buruk atau -
Berat Badan/
BB/U<80% BB/TB<70% atau
Keadaan Gizi
BB/U<60%
Demam yang tidak - ≥2 minggu - -
diketahui
penyebabnya
Batuk kronik - ≥3 minggu - -
Pembesaran - ≥1 cm, lebih dari - -
kelenjar limfe 1
kolli, aksila, KGB, tidak nyeri
inguinal
Pembengkakan - Ada - -
tulang/sendi pembengkakan
panggul, lutut,
falang
Normal/ kelainan Gambaran - -
Foto toraks tidak jelas sugestif
(mendukung) TB
Skor Total

Diagnosis Banding
1. Pneumonia
2. Keganasan

Diagnosis Kerja
Tuberkulosis (A16.4)

Tatalaksana
Prinsip pengobatan TB anak:
 OAT diberikan dalam bentuk kombinasi minimal 3 macam obat untuk
mencegah terjadinya resistensi obat dan untuk membunuh kuman intraseluler
dan ekstraseluler.
 Waktu pengobatan TB pada anak 6-12 bulan. Pemberian obat jangka panjang
selain untuk membunuh kuman juga untuk mengurangi kemungkinan
terjadinya kekambuhan.
 Pengobatan TB pada anak dibagi dalam 2 tahap:

9
o Tahap intensif, selama 2 bulan pertama. Pada tahap intensif, diberikan
minimal 3 macam obat, tergantung hasil pemeriksaan bakteriologis dan
berat ringannya penyakit.
o Tahap Lanjutan, selama 4-10 bulan selanjutnya, tergantung hasil
pemeriksaan bakteriologis dan berat ringannya penyakit.
Selama tahap intensif dan lanjutan, OAT pada anak diberikan setiap hari untuk
mengurangi ketidakteraturan minum obat yang lebih sering terjadi jika obat
tidak diminum setiap hari.
 Kasus TB anak dengan gejala klinis yang berat, baik pulmonal maupun
ekstrapulmonal seperti TB milier, meningitis TB, TB tulang, dan lain- lain
dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan rujukan.
 Kasus TB tertentu yaitu TB milier, efusi pleura TB, perikarditis TB, TB
endobronkial, meningitis TB, dan peritonitis TB, diberikan kortikosteroid
(prednison) dengan dosis 1-2 mg/kg BB/hari, dibagi dalam 3 dosis. Dosis
maksimal prednisone adalah 60mg/hari. Lama pemberian kortikosteroid adalah
2-4 minggu dengan dosis penuh dilanjutkan tappering off dalam jangka waktu
yang sama.
Pemberian steroid ini bertujuan untuk mengurangi proses inflamasi dan
mencegah terjadinya perlekatan jaringan.
 Paduan OAT untuk anak yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian
Tuberkulosis di Indonesia adalah:
- Kategori Anak dengan 3 macam obat: 2HRZ/4HR.
- Kategori Anak dengan 4 macam obat: 2HRZE(S)/4-10HR.
 Paduan OAT Kategori Anak diberikan dalam bentuk paket berupa obat
Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari
kombinasi 2 atau 3 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan
berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien.
 OAT untuk anak juga harus disediakan dalam bentuk OAT kombipak untuk
digunakan dalam pengobatan pasien yang mengalami efek samping OAT KDT

Obat antituberkulosis
Nama Obat Dosis harian Dosis maksimal Efek samping
(mg/kgBB/ hari) (mg/hari) /hari)
Isoniazid (H) 10 (7-15) 300 Hepatitis, neuritis
perifer, hipersensitivitis
Rifampisin (R) 15 (10-20) 600 Gangguan
gastrointestinal, reaksi
kulit, hepatitis,
trombositopenia,
peningkatan enzim hati,
cairan tubuh berwarna
oranye kemerahan
Pirazinamid (Z) 35 (30-40) 2000 Toksisitas hepar,
artralgia, gangguan
gastrointestinal
Etambutol (E) 20 (15–25) 1250 Neuritis optik,
ketajaman mata
berkurang, buta warna
merah hijau,
hipersensitivitas,
gastrointestinal
Streptomisin (S) 15 – 40 1000 Ototoksik, nefrotoksik

10
Panduan OAT Kategori Anak dan peruntukannya secara lebih lengkap sesuai
tabel berikut:
Fase Fase
Jenis Prednison Lama
Intensif Lanjutan
TB Ringan -
2HRZ 4HR 2 mgg dosis penuh- kemudian 6 bulan
Efusi Pleura TB
tappering off
TB BTA positif 2HRZE 4HR -
TB paru dengan tanda-
tanda kerusakan luas 4 mgg dosis penuh- kemudian
7-10HR 9-12 bulan
TB milier tappering off
TB + destroyed lung
2HRZ+E
atau S 4 mgg dosis penuh- kemudian
Meningitis TB 12 bulan
tappering off
2 mgg dosis penuh- kemudian
Peritonitis TB 10HR
tappering off
2 mgg dosis penuh- kemudian
Perikarditis TB
tappering off
Skeletal TB -

Pemberian OAT dapat dengan Fixed Drug Combination (FDC) Anak (1 tablet
FDC anak fase intensif mengandung: R/H/Z 75/50/150 mg, sedangkan 1 tablet
FDC anak fase lanjutan mengandung: R/H 75/50 mg)

Cara Pemberian:
Berat Badan (kg) Fase Intensif Fase Lanjutan
Dosis sekali minum/hari selama Dosis sekali minum/hari selama
2 bulan 4 bulan
5–9 1 tablet 1 tablet
10 – 14 2 tablet 2 tablet
15 – 19 3 tablet 3 tablet
20 – 32 4 tablet 4 tablet
Bila BB ≥ 33 kg menggunakan dosis FDC dewasa

Perhatian:
1. Perhatikan terhadap perbaikan gizi
2. Diberikan prednison untuk anak umur > 3 bulan dengan TBC milier atau
TBC serosa selama 1-2 bulan kemudian tapering off

Monitoring:
1. Minum obat teratur selama 2 bulan, klinis kurang maju  lanjutkan
maintenance, evaluasi.
2. Minum obat tidak teratur:
a. Jika anak tidak minum obat >2 minggu di fase intensif atau > 2 bulan di
fase lanjutan DAN menunjukkan gejala TB, beri pengobatan kembali
mulai dari awal.
b. Jika anak tidak minum obat <2 minggu di fase intensif atau <2 bulan di
fase lanjutan DAN menunjukkan gejala TB, lanjutkan sisa pengobatan
sampai selesai.
3. Initial 2 bulan teratur  klinis baik, kemudian drop out  lanjutkan
maintenance dan evaluasi

11
Profilaksis terutama balita:
1. Kontak (+) dengan penderita TBC terbuka, lain-lain (-) Isoniazid 5-10
mg/kgbb, evaluasi selama 6 bulan
2. Mantoux (+), kontak (-), lain-lain (-)  isoniazid 5-10 mg/kgbb selama 6
bulan
3. Pernah menderita TBC aktif  sembuh
a. Menderita infeksi berat (morbili, pertusis)  isoniazid 5-10 mg/kgbb
selama 4 bulan
b. Mendapat imunosupresif > 7 hari  isoniazid 5-10 mg/kgbb sampai
pengobatan selesai
c. Imunisasi penyakit asal virus: isoniazid 5-10 mg/kgbb selama 1 bulan
Pasien dengan keluhan neuritis perifer (misalnya: kesemutan) dan asupan
piridoksin (vitamin B6) dari bahan makanan tidak tercukupi, dapat diberikan
vitamin B6 10 mg tiap 100 mg INH.

Edukasi
1. Definisi dan etiologi: memahami penyebab dan gejala yang timbul
2. Prognosis: memahami faktor-faktor yang mempengaruhi prognosis
3. Pemantauan gejala: mengetahui mengapa dan kapan harus ke
dokter/rumah sakit
4. Terapi farmakologi: memahami indikasi, dosis, dan efek obat
5. Hindari kontak dengan penderita TB
6. Imunisasi BCG

Prognosis
Ad vitam : dubia ad
Ad sanationam : dubia ad
Ad fungsionam : dubia ad

Indikator medis
Hasil pengobatan TB anak:
Hasil pengobatan Definisi
Sembuh Pasien TB anak yang hasil pemeriksaan bakteriologisnya
positif pada awal pengobatan dan telah menyelesaikan
pengobatannya secara lengkap dan pemeriksaan bakteriologis
hasilnya negatif pada AP dan pada satu pemeriksaan
sebelumnya
Pengobatan Lengkap Pasien TB anak yang telah menyelesaikan pengobatannya
secara lengkap tetapi tidak ada hasil pemeriksaan bakteriologis
ulang pada AP dan pada satu pemeriksaan sebelumnya.
Gagal Pasien TB anak yang hasil pemeriksaan bakteriologis positif
pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan. Selain itu
juga pasien yang diketahui menjadi pasien TB MDR selama
pengobatan, baik dengan hasil BTA positif atau negatif.
Meninggal Pasien TB anak yang meninggal dalam masa pengobatan
karena sebab apapun.
Putus berobat (loss to follow up) Adalah pasien yang tidak berobat 2 bulan berturut- turut atau
lebih sebelum masa pengobatannya selesai.
Tidak ada hasil evaluasi Pasien TB yang hasil akhir pengobatan tidak diketahui.
Termasuk dalam kriteria ini adalah ”pasien pindah (transfer
out)” ke fasyankes lain

12
Referensi
1. UKK Respirologi IDAI. Pedoman Nasional Tata Laksana Tuberkulosis Anak.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2008.
2. Kartasasmita CB, dkk. Tuberkulosis. Dalam: Buku Ajar Respirologi Anak.
Edisi ke-1. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2008; h.162-267.
3. Kolegium Ilmu Kesehatan Anak Indonesia/IDAI. Modul Program Pendidikan
Dokter Spesialis Ilmu Kesehatan Anak. 2008.
4. Supriyatno B, dkk. Tuberkulosis. Dalam: Standar Pelayanan Medis Kesehatan
Anak. Edisi ke-1. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2004; h.359-366.
5. Committee On Infectious Disease. Screening for Tuberkulosis in Infant and
Children. Pediatrics; 1999; 93:131-4.
6. Mandalakas AM, Starke JR. Tuberculosis and nontuberculous mycobacterial
disease. Dalam: Kendig’s Disorders of the Respiratory Tract in Children. 7th
Edition. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2006; h.507-529.
7. Shingadia D, Burgner D. Mycobacterial Infections. Dalam: Pediatric
Respiratory Medicine. 2nd Edition. Philadelphia: Mosby Elsevier; 2008;
h.597-614.
8. Rapid Advice: Treatment of Tuberculosis in Children. WHO; 2010.
9. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.Petunjuk Teknis Manajemen TB
anak. 2013.

13
Gambar alur diagnosis dan tatalaksana TB anak

 Anak didiagnosis TB jika jumlah skor ≥ 6 (skor maksimal 13)


 Anak dengan skor 6 yang diperoleh dari kontak dengan pasien BTA positif
dan hasil uji tuberkulin positif, tetapi TANPA gejala klinis, maka
dilakukan observasi atau diberi INH profilaksis tergantung dari umur anak
tersebut. Foto toraks bukan merupakan alat diagnostik utama pada TB
anak
 Pasien usia balita yang mendapat skor 5, dengan gejala klinis yang
meragukan, maka pasien tersebut dirujuk ke RS untuk evaluasi lebih lanjut
 Anak dengan skor 5 yang terdiri dari kontak BTA positif dan 2 gejala
klinis lain, pada fasyankes yang tidak tersedia uji tuberkulin, maka dapat
didiagnosis, diterapi dan dipantau sebagai TB anak. Pemantauan dilakukan
selama 2 bulan terapi awal, apabila terdapat perbaikan klinis, maka terapi
OAT dilanjutkan sampai selesai.
 Semua bayi dengan reaksi cepat (<2 minggu) saat imunisasi BCG dicurigai
telah terinfeksi TB dan harus dievaluasi dengan sistem skoring TB anak.
 Jika dijumpai skrofuloderma pasien dapat langsung didiagnosis TB.
 Untuk daerah dengan fasilitas pelayanan kesehatan dasar yang terbatas (uji
tuberkulin dan atau foto toraks belum tersedia) maka evaluasi dengan
sistem skoring tetap dilakukan, dan dapat didiagnosis TB dengan syarat
skor ≥ 6 dari total skor 13.
 Pada anak yang pada evaluasi bulan ke-2 tidak menunjukkan perbaikan
klinis sebaiknya diperiksa lebih lanjut adanya kemungkinan faktor
penyebab lain misalnya kesalahan diagnosis, adanya penyakit penyerta,
gizi buruk, TB MDR maupun masalah dengan kepatuhan berobat dari
pasien. Apabila fasilitas tidak memungkinkan, pasien dirujuk ke RS. Yang
dimaksud dengan perbaikan klinis adalah perbaikan gejala awal yang
ditemukan pada anak tersebut pada saat diagnosis.

14
Alur patogenesis tuberkulosis

Catatan:
1. Penyebaran hematogen umumnya terjadi secara sporadik (occult
hematogenic spread). Kuman TB kemudian membuat fokus koloni di
berbagai organ dengan vaskularisasi yang baik. Fokus ini berpotensi
mengalami reaktivasi di kemudian hari.
2. Kompleks primer terdiri dari fokus primer (1), limfangitis (2), dan
limfadenitis regional (3).
3. TB primer adalah kompleks primer dan komplikasinya.
4. TB pasca primer terjadi dengan mekanisme reaktivasi fokus lama TB
(endogen) atau reinfeksi (infeksi sekunder) oleh kuman TB dari luar
(eksogen), ini disebut TB tipe dewasa (adult type TB)

15
Algoritma Tatalaksana Tuberkulosis Anak

Mengetahui/Menyetujui Palembang, April 2015


Ketua Departemen Kesehatan Anak Ketua Divisi Respirologi Anak

dr. Hj. Yusmala, SpA( K) dr. KH.Yangtjik, SpA(K)


NIP 19541128 198303 2 002 NIP1951 0518 1979 03100

16
ASMA BRONKIAL
ICD-10 : J45.9

Definisi
Asma adalah penyakit saluran respiratori kronis dengan dasar inflamasi kronis
yang mengakibatkan obstruksi dan hiperreaktivitas saluran respiratori dengan
derajat bervariasi.

Etiologi
Belum diketahui. Faktor pencetus adalah alergen, infeksi (saluran nafas atas),
iritan, cuaca, kegiatan jasmani, refluks gastroesofagus, dan psikis.

Patogenesis
Patogenesis asma bronkial dapat dilihat dalam gambar berikut:

Kriteria Diagnosis
a. Anamnesis
1. Keluhan wheezing dan atau batuk berulang
2. Sesak napas
3. Rasa dada tertekan
4. Produksi sputum
5. Chronic recurrent cough (batuk kronik berulang, BKB)
Karakteristik yang mengarah ke asma adalah:
 Gejala timbul secara episodik atau berulang

17
 Timbul bila ada faktor pencetus
o Iritan: asap rokok, asap bakaran sampah, asap obat nyamuk, suhu dingin,
udara kering, makanan minuman dingin, penyedap rasa, pengawet
makanan, pewarna makanan.
o Alergen: debu, tungau debu rumah, rontokan hewan, serbuk sari.
o Infeksi respiratori akut karena virus, selesma, common cold, rinofaringitis
o Aktifitas fisis: berlarian, berteriak, menangis, atau tertawa berlebihan.
 Adanya riwayat alergi pada pasien atau keluarganya
 Variabilitas, yaitu intensitas gejala bervariasi dari waktu ke waktu, bahkan
dalam 24 jam. Biasanya gejala lebih berat pada malam hari (nokturnal).
 Reversibilitas, yaitu gejala dapat membaik secara spontan atau dengan
pemberian obat pereda asma.
b. Pemeriksaan Fisis
1. Dalam keadaan stabil tanpa gejala, tidak ditemukan kelainan.
2. Dalam keadaan sedang bergejala batuk atau sesak, dapat terdengar
wheezing, baik yang langsung (audible wheeze) atau yang terdengar dengan
stetoskop.
Selain itu, perlu dicari gejala alergi lain pada pasien seperti dermatitis atopi
atau rinitis alergi, dan dapat pula dijumpai tanda alergi seperti allergic
shiners atau geographic tongue.
c. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan fungsi paru (spirometri atau peak flow meter) sekaligus uji
reversibilitas dan untuk menilai variabilitas.
2. Pemeriksaan IgE dan eosinofil total
3. Ro Toraks
4. Ro Sinus paranasal (pada anak >5tahun dengan asma persisten atau sulit
diatasi)
5. Uji tuberkulin

Tabel 1. Kriteria Diagnosis Asma:


Gejala Karakteristik
Wheezing, batuk, sesak napas,  Biasanya lebih dari 1 gejala respiratori
dada tertekan, produksi sputum  Gejala berfluktuasi intensitasnya seiring waktu
 Gejala memberat pada malam atau dini hari
 Gejala timbul bila ada pencetus
Konfirmasi adanya limitasi aliran udara ekspirasi
Gambaran obstruksi saluran FEV1 rendah (<80% nilai prediksi)
respiratori FEV1/ FVC ≤ 90%
Uji reversibilitas (pasca Peningkatan FEV1 > 12%
bronkodilator)
Variabilitas Perbedaan PEFR harian > 13%
Uji provokasi Penurunan FEV1 > 20%, atau PEFR > 15%

Tabel 2. Kriteria Penentuan Derajat Asma:


Derajat Asma Uraian kekerapan gejala asma
Intermitten Episode gejala asma < 6x/ tahun atau jarak antar gejala ≥ 6 minggu
Persisten ringan Episode gejala asma > 1x/ bulan, < 1x/ minggu
Persisten sedang Episode gejala asma > 1x/ minggu, namun tidak setiap hari
Persisten berat Episode gejala asma terjadi hampir setiap hari

18
Diagnosis Banding
Inflamasi: infeksi, alergi
 Rinitis, rinosinusitis
 Chronic upper airway cough syndrome
 Infeksi respiratori berulang
 Bronkiolitis
 Aspirasi berulang
 Defisiensi imun
 Tuberkulosis
Obstruksi Mekanis
 Laringomalasia, trakeomalasia
 Hipertrofi timus
 Pembesaran kelenjar getah bening
 Aspirasi benda asing
 Vascular ring, laryngeal web
 Disfungsi pita suara
 Malformasi congenital saluran respiratori
Patologi bronkus
 Displasia bronkopulmonal
 Bronkiektasis
 Diskinesia silia primer
 Fibrosis kistik
Kelainan sistim organ lain
 Penyakit refluks gastro-esofagus (GERD)
 Penyakit jantung bawaan
 Gangguan neuromuscular
 Batuk psikogen

Diagnosis Kerja
Asma Bronkial (dengan mencantumkan derajat serangan dan episode)

Tatalaksana
1. Mencari dan menghindari faktor pencetus, untuk itu diperlukan kerjasama
dengan orang tua penderita.
2. Mencegah serangan asma dengan pemberian obat untuk mempertahankan sel-sel
mediator tidak pecah.
3. Medikamentosa
a. Reliver (pereda) β2 agonis short acting,antikolinergik, teofilin short
acting, aminofilin dan adrenalin
b. Controller ( pengendali) β2 agonis long acting, steroid inhalasi/oral.
Antileukotrien, teofilin sustained release, dan sodium kromoglikat.

Serangan Asma Ringan


 Sekali nebulisasi  respon yang baik (complete response)  derajat serangannya
ringan.
 Observasi 1-2 jam  respon bertahan  pulang (bekali obat β-agonis (hirupan atau
oral) yang harus diberikan tiap 4-6 jam)
 Jika pencetus serangan adalah infeksi virus, tambahkan steroid oral jangka pendek
(3-5 hari).
 Kontrol ke klinik rawat jalan dalam waktu 24-48 jam untuk evaluasi ulang tata
laksana.

19
 Jika setelah observasi 2 jam gejala timbul kembali, pasien diperlakukan sebagai
serangan asma sedang.

Serangan Asma Sedang


 Pada pemberian nebulisasi dua atau tiga kali  respon parsial (incomplete response)
 derajat serangannya sedang.
 Observasi dan tangani di ruang rawat sehari (RRS).
 Berikan kortikosteroid sistemik (oral) metilprednisolon dengan dosis 0,5-1
mg/kgBB/hari selama 3-5 hari.
 Pasang jalur parenteral sejak di unit gawat darurat (UGD).

Serangan Asma Berat


 Dengan 3 kali nebulisasi berturut-turut  tidak respon (poor response)  rawat
inap.
 Oksigen 2-4 L/menit diberikan sejak awal termasuk saat nebulisasi.
 Pasang jalur parenteral dan lakukan foto toraks.
 Ada gejala dan tanda ancaman henti napas  rawat di ruang rawat intensif.
 Ada dehidrasi dan asidosis, atasi dengan pemberian cairan intravena dan koreksi
terhadap asidosis.
 Steroid intravena diberikan secara bolus, tiap 6-8 jam (0,5-1 mg/kg BB/hari).
 Nebulisasi β -agonis + antikolinergik dengan oksigen dilanjutkan tiap 1-2 jam; jika
dengan 4-6 kali pemberian mulai terjadi perbaikan klinis, jarak pemberian dapat
diperlebar menjadi tiap 4-6 jam.
 Aminofilin diberikan secara intravena dengan ketentuan sebagai berikut:
o Jika pasien belum mendapat aminofilin sebelumnya, diberikan aminofilin dosis
awal (inisial) sebesar 6-8 mg/kgBB dilarutkan dalam dekstrosa 5% atau garam
fisiologis sebanyak 20 ml, diberikan dalam 20-30 menit.
o Jika pasien telah mendapat aminofilin sebelumnya (kurang dari 4 jam), dosis
yang diberikan adalah setengah dosis inisial.
o Kadar aminofilin dalam darah diukur dan dipertahankan sebesar 10-20 mcg/ml;
o Selanjutnya, aminofilin dosis rumatan diberikan sebesar 0,5-1 mg/kgBB/jam.
 Jika telah terjadi perbaikan klinis:
o Nebulisasi diteruskan setiap 6 jam, sampai dengan 24 jam.
o Steroid dan aminofilin diganti dengan pemberian per oral.
o Jika dalam 24 jam pasien tetap stabil, pasien dapat dipulangkan dengan dibekali
obat β-agonis (hirupan atau oral) yang diberikan tiap 4-6 jam selama 24-48 jam.
Selain itu, steroid oral dilanjutkan hingga pasien kontrol ke klinik rawat jalan
dalam 24-48 jam untuk evaluasi ulang tata laksana.
 Ancaman henti napas; hipoksemia tetap terjadi walaupun sudah diberi oksigen
(kadar PaO2<60 mmHg dan/atau PaCO2 >45 mmHg). Pada ancaman henti napas
diperlukan ventilasi mekanik.

Takaran Obat, Cairan, dan Waktu untuk Nebulisasi


Cairan, obat, waktu Nebulisasi jet Nebulisasi ultrasonik
Garam faali (NaCl 0,9%) 5 ml 10 ml
Β Lihat tabel 2
Agonis/antikolinergik/steroid
Waktu 10-15 menit 3-5 menit

20
Obat untuk nebulisasi, jenis dan dosis
Nama generik Sediaan Dosis Nebulisasi
Golongan β-agonis
Fenoterol Solution 0,1% 5-10 tetes
Salbutamol Nebule 2,5 mg 1 nebule (0,1-0,15 mg/kg)
Terbutalin Respule 2,5 mg 1 respule
Golongan antikolinergik
Ipratropium bromide Solution 0,025% > 6 tahun : 8-20 tetes
≤ 6 tahun: 4-10 tetes
Golongan steroid
Budesonide Respule
Fluticasone Nebule

Sediaan steroid yang dapat digunakan untuk serangan asma:


Steroid oral:
Nama generik Sediaan Dosis
Prednison 4 mg 1-2 mg/kgbb/hari –
tiap 6 jam
Prednisolon 5 mg 1-2 mg/kgbb/hari –
tiap 6 jam
Triamnisolon 4 mg 1-2 mg/kgbb/hari –
tiap 6 jam

Steroid injeksi:
Nama generik Sediaan Jalur Dosis
Methylprednisolon Vial 125 mg Iv/im 1-2 mg/kgbb/hari –
suksinat Vial 500 mg tiap 6 jam
Hidrokortison Vial 100 mg Iv/im 4 mg/kgbb/6 jam
suksinat
Deksametason Ampul 5 mg Iv/im 0,5-1 mg/kgbb-
bolus, dilanjutkan1
mg/kgbb/hari
diberikan tiap 6-8
jam
Betametason Ampul 4 mg Iv/im 0,05-1 mg/kgBB
tiap 6 jam

Obat-obat asma jangka panjang:


Fungsi Nama generik Nama dagang Sediaan Keterangan

Golongan beta agonis (kerja pendek)


Terbutalin Bricasma Sirup, tablet, 0,05- 0,1
turbuhaler mg/kgbb/kali
Nairet Sirup, tablet, ampul
Obat pereda Forasma Sirup, tablet
(reliever) Salbutamol Ventolin Sirup, tblet, MDI 0,05-01
mg/kgbb/kali
Orsiprenalin Alupent Sirup, tablet, MDI
Heksoprenolin Tablet
Fenoterol Berotec MDI
Golongan xantin
Teofilin Sirup, tablet
Obat pengendali Golongan antiinflamasi nonsteroid
(controller)
Kromoglikat MDI Tidak tersedia
lagi
Nedokromil MDI Tidak tersedia
lagi
Golongan antiinflamasi steroid
Budesonid Pulmicort MDI, Turbuhaller
Inflamide
Flutikason Flixotide MDI Tidak tersedia

21
lagi
Beklometason Becotide MDI
Beta agonis kerja panjang
Prokaterol Sirup, tablet, MDI
Bambuterol Bambec Tablet
Salmetrol Serevent MDI
Klenbuterol Spiropent Sirup, tablet
Golongan obat lepas lambat/lepas terendali
Terbutalin Kapsul
Salbutamol Volmax Tablet
Teofilin Tablet salut
Golongan antileukotrien
Zafirlukas Accolate Tablet -ada
Montelukas Belum ada
Budesonide+Farmoterol Symbicort MDI
+ Futikason Seretide

Jenis alat inhalasi disesuaikan dengan umur:


Umur (tahun) Alat inhalasi
<2 tahun Nebuliser
2-4 Nebuliser
Alat hirupan
5-8 Nebuliser
MDI dengan spacer
Alat hirupan bubuk (spinhaler,diskhaler, Rotahaler,
turbuhaler)
>8 tahun Nebuliser
MDI
Alat hirupan bubuk
Autohaler

Edukasi
1. Definisi dan etiologi: menjelaskan penyebab dan gejala yang timbul, dan cara
menghindarinya.
2. Pemantauan gejala: menjelaskan kapan harus ke dokter/rumah sakit.
3. Menjelaskan perlunya menjaga personal higiene, terutama kebersihan gigi dan
mulut untuk mencegah terjadinya infective endocarditis.
4. Terapi farmakologi: menjelaskan indikasi, dosis, dan efek obat
5. Prognosis: menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi prognosis.

Prognosis
Ad vitam : dubia ad
Ad sanationam : dubia ad
Ad fungsionam : dubia ad

Referensi
1. Yuhei H, Kohno Y, Ebisawa M, Kondo N, Nishima S, Nishimuta T, dkk. Japanese
guideline for childhood asthma. Allergol Int. 2014; 63: 335-56
2. UKK Respirologi IDAI. Pedoman Nasional Asma Anak. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI; 2004.
3. Kartasasmita CB dkk. Asma Bronkial. Dalam: Buku Ajar Respirologi Anak. Edisi ke-
1. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2008; h.71-161.
4. Kolegium Ilmu Kesehatan Anak Indonesia/IDAI. Modul Program Pendidikan Dokter
Spesialis Ilmu Kesehatan Anak. 2008.
5. Supriyatno B, dkk. Asma Bronkial. Dalam: Standar Pelayanan Medis Kesehatan
Anak. Edisi ke-1. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2004; h.335-347.

22
6. Global initiative for Asthma. Global Strategy for Asthma Management and
Prevention. National Institute Health.
7. Asher MI, Grant C. Asthma. Dalam: Kendig’s Disorders of The Respiratory Tract in
Children. 7thEd. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2006; h 762-860.
8. Pitrez PMC, Stein RT, Martinez FD. Asthma. Dalam: Pediatric respiratory medicine.
2nd Edition. Philadelphia: Mosby Elsevier; 2008; h.779-844.
9. IDAI. Pedoman Pelayanan Medis.2009; h. 269-78

23
Alur diagnosis asma pada anak

Batuk/ wheezing/ sesak napas/ dada tertekan/ produksi sputum

Patut diduga asma:


• Timbul kronik atau berulang
• Gejala berfluktuasi intensitasnya seiring waktu
• Gejala memberat pada malam atau dini hari
• Timbul bila ada pencetus

Ya Tidak

Spirometri/ Peak Flow • Pikirkan diagnosis


Meter (PFM) lain
• Pertimbangkan
Tidak
pemeriksaan berikut
Tersedia tersedia
(sesuai indikasi):
Reverbilitas >
Berikan ß • Uji tuberkulin
12% atau
agonis* selama • Rontgen
Variabilitas > toraks
3-5 hari
13% • Pemeriksaan
Tidak refluks
Tidak • CT scan dada/
sinus
Ulang
Ya spirometri/
PFM** hasil
sesuai asma
Ya
Respons
ASMA (+)
Ya
Tidak
Ya Tambah
steroid Tatalaksana
sistemik sesuai
(3-5 hari) diagnosis lain
Tentukan
derajat
penyakit dan Tidak
serangan Respons
(+)

Keterangan gambar:
*) ß agonis sebaiknya diberikan dalam bentuk inhalasi
**) Uji fungsi paru diulangi setelah 4 minggu dari uji fungsi paru sebelumnya

Mengetahui/Menyetujui Palembang, April 2015


Ketua Departemen Kesehatan Anak Ketua Divisi Respirologi Anak

dr. Hj. Yusmala, SpA( K) dr. KH.Yangtjik, SpA(K)


NIP 19541128 198303 2 002 NIP1951 0518 1979 031003

24
EMPYEMA
ICD-10 : J86.9

Definisi
Akumulasi pus dalam rongga pleura

Etiologi
Lebih dari 50% penyebab empyema adalah efusi parapneumonia, 25% terjadi
setelah operasi paru, esophagus, atau mediastinum, 10% akibat trauma toraks, dan
sisanya terjadi akibat sepsis, tuberculosis, enterokolitis nekrotikans, abses
subdiagfragmatika, atau pneumotoraks spontan

Patogenesis
Proses perkembangan empyema yang merupakan proses yang progresif dapat
dibagi menjadi 3 fase, yaitu :
1. Fase akut atau fase eksudatif
2. Fase transisional atau fase fibropurulen
3. Fase kronis atau organizing

Kriteria Diagnosis
a. Anamnesis
1. Demam
2. Batuk non produktif
3. Sesak napas
b. Pemeriksaan Fisis
1. Tampak sesak
2. Takipneu, Dispneu
3. Bagian paru yang terkena akan tertinggal waktu bernapas.
4. Perkusi paru redup
5. Suara napas melemah atau menghilang
c. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan radiologis (foto toraks, USG, CT Scan)
2. Pemeriksaan cairan pleura (transudat, eksudat, kultur)
3. Uji tuberkulin

Dasar diagnosis
- Panas, batuk sesak nafas, bagian yang terkena tertinggal waktu bernafas,
perkusi redup, bising nafas melemah atau menghilang.
- Toraks foto : adanya perselubungan homogen, sela iga melebar, sinus freniko
kostalis menghilang.
- Pungsi pleura terdapat cairan pus.

Diagnosis Banding
Efusi pleura
Hematotoraks

Diagnosis Kerja
Empiema (ICD-10 : J86.9)

25
Tatalaksana
Prinsipnya adalah mengeluarkan pus sebanyak-banyaknya dengan pemasang
WSD atau multi puncture. Antibiotika diberikan sesuai dengan hasil kultur,
sementara menunggu hasil kultur dapat diberikan :
1. Ampicillin 200 mg/kgbb/hari iv, dibagi dalam 3-4 kali pemberian
2. Cloxacillin 100-200 mg/kgBB/hari iv
3. Gentamisin 3-5 mg/kgbb/hari iv
Bila dicurigai dan terbukti ada infeksi spesifik, maka pengobatan perlu ditambah
dengan pengobatan spesifik.

Edukasi
1. Definisi dan etiologi : menjelaskan penyebab dan gejala yang timbul.
2. Pemantauan gejala : menjelaskan kapan harus ke dokter/rumah sakit.
3. Terapi farmakologi : menjelaskan indikasi, dosis, dan efek obat

Prognosis
Tergantung ukuran, lokasi, dan ada tidaknya hipertensi pulmonal
Ad vitam : dubia ad
Ad sanationam : dubia ad
Ad fungsionam : dubia ad

Referensi
1. Naning R, Setyati A. Empiema. Dalam: Buku Ajar Respirologi Anak.
Edisi ke-1. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2008; h.550-57.
2. Le Mense GP, Strange C, Sahn NA. Empyema Thoracis: Therapeutic
Management and Outcome. Chest; 1995; 109:18-24

Mengetahui/ Menyetujui Palembang, April 2015


Ketua Departemen Kesehatan Anak Ketua Divisi Respirologi Anak

dr. Hj. Yusmala, SpA( K) dr. KH.Yangtjik, SpA(K)


NIP 19541128 198303 2 002 NIP1951 0518 1979 03100

26
PNEUMOTORAKS
ICD-10 : J93.9

Definisi
Keadaan dimana terdapatnya akumulasi udara ekstrapulmoner dalam rongga
pleura, antara pleura viseral dan parietal, yang dapat menyebabkan timbulnya
kolaps paru

Etiologi
Infeksi pada saluran napas, trauma dada, acute lung injury yang disebabkan oleh
materi fisik yang terinhalasi dan bahan kimia, penyakit inflamasi paru akut atau
kronis, keganasan, dan prosedur diagnostic dan terapeutik medis yang melibatkan
toraks dan organ abdomen

Bentuk Klinis
Pembagian
I. Menurut terjadinya
1. Pneumotoraks spontan : bila terjadi dengan sendirinya
2. Pneumotoraks traumatika : bila terjadi karena trauma
II. Menurut derajat kolapsnya
1. Kolaps ringan (Kolap kurang dari 20%)
2. Kolaps berat (Kolap lebih dari 20%)
III. Menurut fistulanya
1. Pneumotoraks tertutup
2. Pneumotoraks terbuka
3. Pneumotoraks Ventil/tension/valvuler

Kriteria Diagnosis
a. Anamnesis
Rasa nyeri tiba-tiba pada sisi toraks yang terkena, yang disusul dengan sesak
napas
b. Pemeriksaan Fisis
1. Takipnu
2. Dispnu
3. Takikardi dan sianosis.
4. Suara napas berkurang
5. Perkusi hiperresonan pada daerah yang terkena
6. Emfisema subkutan.
7. Tampak hemitoraks yang membesar, pergerakan kurang, sela iga melebar.
8. Palpasi: stemfremitus melemah.
9. Perkusi: hipersonor/timpani.
10. Auskultasi: vesikuler melemah sampai hilang
Rasa nyeri dan tiba-tiba pada sisi toraks yang terkena, yang disusul dengan
dispneu dan dapat sianosis tergantung derajat kolapsnya dan jenis
pneumotoraks.
Pada tension pneumotoraks sesak nafas makin hebat dari waktu ke waktu.
Pada pemeriksaan fisik, sisi yang terkena didapatkan :
- Tampak hemitoraks yang membesar, pergerakan kurang, sela iga melebar
- Palpasi : stemfremitus melemah
- Perkusi : hipersonor/timpani

27
- Auskultasi : vesikuler melemah samapai hilang.
c. Pemeriksaan Penunjang
1. EKG
2. Foto thorak
3. Ekokardiografi
Radiologis:
Pemeriksaan radiologis sangat penting, terutama jika pemeriksaan fisik
dijumpai gejala yang minimal. Pemeriksaan foto toraks di ambil pada posisi
antero posterior serta yang lateral, dan terbaik adalah pada saat ekspirasi dalam
sehingga dapat mengetahui sejauh mana bagian paru yang mengalami kolaps.
Secara radiologis pada pneumotoraks didapatkan adanya gambaran
radioluscent tanpa disertai adanya corakan paru.

Diagnosis Banding
-

Diagnosis Kerja
Pneumotoraks (ICD-10 : J93.9)

Tatalaksana
Tergantung pada:
- Jenis pneumotoraks
- Pertama kali/residif
- Besarnya kolaps
- Ada komplikasi/tidak
Semua penderita harus dirawat karena setiap saat timbul komplikasi.

Pneumotoraks tertutup
- Jika paru yang kolaps <20% dan tanpa komplikasi, sebaiknya konservatif
dan observasi dengan ketat. Umumnya resorbsi udara, dan paru-paru akan
mengembang kembali setiap hari 1,25% dari total volume hemitoraks.
Diberikan sedatif untuk menenangkan penderita dan kodein untuk
mencegah batuk serta oksigen.
- Jika paru yang kolaps >20% ada komplikasi diperlukan pemasangan WSD

Pneumotoraks terbuka
- Diusahakan menutup lobangnya dan pemasangan WSD untuk
mengusahakan supaya paru-paru jangan kolaps dan diadakan penghisapan
terus menerus.

Pneumotoraks ventil
Dilakukan kontra ventil, baik berupa tusukan jarum maupun WSD.
Aspirasi/WSD dapat dilakukan diruang interkosta 2/3 pada linea mid klavikularis.
Bila gelembung-gelembung udara tidak ada lagi dari WSD, maka 12-18 jam
kemudian dilakukan foto toraks untuk melihat pengembangan paru.
Bila lambat sebaiknya dilakukan pengisapan terus menerus. Jika 5-6 hari masih
keluar udara (berarti fistula masih terbuka) harus dilakukan torakostomi untuk
menutup fistulanya. Beberapa usaha untuk mempercepat pengembangan paru,
dapat dilakukan apa bila fistelnya telah tertutup, usaha-usaha tersebut dapat
meliputi :

28
- Mobilisasi penderita secepat mungkin dengan cara berjalan-jalan dengan
menjinjing botol WSD.
- Meniup balon-balon karet dalam usaha mengembangkan paru seoptimal
mungkin.
- Latihan pernafasan oleh fisio terapis
- Memakai pompa pengisap terus menerus dengan tekanan negatif rendah
yaitu antara 10-25 cm H2O.

Edukasi
1. Menjelaskan mengenai gejala dan penyebab penyakit
2. Menjelaskan mengenai pemberian antibiotik, dosis dan efek samping
3. Menjelaskan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi prognosis
Menjelaskan prognosis penyakit

Prognosis
Ad vitam : dubia ad
Ad sanationam : dubia ad
Ad fungsionam : dubia ad

Referensi
1. Said M, Kaswandani N, Wulandari DS. Pneumotoraks. Dalam: Buku Ajar
Respirologi Anak. Edisi ke-1. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2008; h.578-
582.
2. Kolegium Ilmu Kesehatan Anak Indonesia/IDAI. Modul Program
Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Kesehatan Anak. 2008.
3. Winnie GB. Pneumotoraks. Dalam: Nelson textbook of pediatric. 18th
Edition. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2007; h.1835-1837.

Mengetahui/Menyetujui Palembang, April 2015


Ketua Departemen Kesehatan Anak Ketua Divisi Respirologi Anak

dr. Hj. Yusmala, SpA( K) dr. KH.Yangtjik, SpA(K)


NIP 19541128 198303 2 002 NIP1951 0518 1979 03100

29
PERTUSIS
ICD-10 : A37.9

Definisi
Penyakit saluran napas yang disebabkan oleh Bordetella pertusis

Etiologi
Bordetella pertusis

Patogenesis
Stadium pertusis dibagi menjadi:
Stadium kataral
ditandai dengan gejala klinis yang tidak spesifik yaitu : mata merah,
peningkatan seksresi nasal dan demam ringan. Dapat berlangsung selama 1- 2
minggu. Gejala dapat mirip dengan common cold

Stadium paroksismal:
berlangsung selama 2-4 minggu. Stadium ini terjadi setelah 7-14 hari infeksi,
batuk terjadi paroksismal saat ekspirasi sehingga anak-anak yang lebih kecil
tidak sempat bernapas dan menjadi sesak. Karakteristik batuk tersebut
diperlukan untuk membebaskan sumbatan yang terjadi akibat jaringan
nekrotik epitel bronchial dan mucus yang kental. Tekanan inhalasi pada glottis
yang mengalami penyempitan setelah terjadinya batuk paroksismal
menghasilkan bunyi karakteristik “whoop”. Muntah paska batuk sering kali
terjadi. Bayi dan anak sering tampak distress dan menjadi biru serta muntah.

Stadium konvalesen
ditandai dengan perbaikan klinis secara bertahap dalam 1-2 minggu, batuk
menjadi lebih ringan , batuk paroksismal dan bunyi whoop mulai menghilang
secara perlahan.

Kriteria Diagnosis
a. Anamnesis
1. Batuk, terutama malam hari
2. Pilek
3. Serak
4. Anoreksia
5. Demam ringan
b. Pemeriksaan Fisis
1. Batuk-batuk panjang
2. Tidak ada inspirasi diantaranya dan di akhiri dengan Whoop saat inspirasi.
c. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan darah rutin: leukositosis dengan limfositosis absolut
2. Kultur sputum
3. Swab tenggorokan

30
Usia Pilihan terapi utama Alternatif pilihan
terapi
Azitromisin Eritromisin Claritromisin TMP-SMZ
< 10mg/kgbb/ha Tidak disenangi Tidak Kontraindikasi
1bln ri selama 5 hari karena berkaitan dianjurkan. pada bayi usia <
dengan HPS pada 2bulan (resiko
infant. kernikterus)
40-50
mg/kgBB/hari
dibagi 4 dosis
selama 14 hari

1-5 10 40-50 15 mg/kgBB Kontraindikasi


bulan mg/kgBB/hari mg/kgBB/hari sehari dibagi 2 pada bayi < 2
selama 5 hari dibagi 4 dosis dosis selama 7 bulan. Pada bayi
selama 14 hari hari ≥ 2bulan. TMP 8
mg/kgbb/hari .
SMZ 40
mg/kgBB/hari
dibagi 2 dosis
selama 14 hari
Bayi 10 40-50 15 TMP 8
>6 mg/kgBB/hari mg/kgBB/hari mg/kgBB/hari mg/kgbb/hari .
bulan pada hari (max 2g/hari) (max 1g/hari) SMZ 40
dan pertama dibagi 4 dosis dibagi 2 dosis mg/kgBB/hari
anak kemudian selama 14 hari selama 7 hari dibagi 2 dosis
5 selama 14 hari
mg/kgBB/hari
(max 500mg)
pada hari 2-5

Diagnosis Banding
1. Trankeobronkitis
2. Bronkiolitis

Diagnosis Kerja
Pertusis (ICD-10 : A37.9)

Tatalaksana
Trimethoprim sulfamethokxazole (TMP-SMZ) dapat digunakan sebagai alternatif
pada pasien yang berusia ≥ 2 bulan yang alergi terhadap golongan makrolida,
yang tidak toleran terhadap makrolida, atau anak yang terinfeksi dengan strain
Bordatella pertusis yang resisten-makrolida meskipun sangat jarang.

Edukasi
1. Menjelaskan mengenai gejala dan penyebab penyakit
2. Menjelaskan mengenai pemberian antibiotik, dosis dan efek samping
3. Menjelaskan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi prognosis
4. Menjelaskan prognosis penyakit

Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam

31
Referensi
1. Wood N , M c Intyre P. Pertussis: Review o f E p i d e m i o l o g y , Diagnosis,
Management, and Prevention. Paediatric Respiratory Review 2008; 9:
201–212
2. Mardjanis S., dkk. Dalam: Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB.
Buku ajar respirologi anak. Edisi ke-1. Jakarta: BalaiPenerbit FKUI; 2008.
3. Kristin M, et al. Infant Pertusis: Who was the sources. Pediatrics
Infectious Disease Journal Volume 23, Number 11 Nov 2004

Mengetahui/Menyetujui Palembang, April 2015


Ketua Departemen Kesehatan Anak Ketua Divisi Respirologi Anak

dr. Hj. Yusmala, SpA( K) dr. KH.Yangtjik, SpA(K)


NIP 19541128 198303 2 002 NIP1951 0518 1979 03100

32
CROUP (Laryngotrakeobronkitis Akut)
ICD-10 : A37.9

Definisi
Suatu grup penyakit heterogen yang mengenai laring, infra/subglotis,
trakea/ bronkus

Etiologi
Virus tersering penyebab sindrom croup (sekitar 60% kasus) adalah Human
Parainfluenza virus type 1 (HPV-1), HPIV-2,3, dan 4, virus influenza A dan B,
Adenovirus, Respiratory Syncytial virus (RSV), dan virus campak

Kriteria Diagnosis
a. Anamnesis
Demam, hidung berair, nyeri menelan, batuk nyaring, suara menjadi parau dan
kasar
b. Pemeriksaan Fisis
Stridor inspirasi, suara serak, sesak nafas ringan sampai berat, retraksi supra
dan infra klavikula
c. Pemeriksaan Panunjang
Darah rutin

Diagnosis Banding
1. Laringitis akut
2. laringotrakeitis akut

Diagnosis Kerja
Croup (ICD-10 : A37.9)

Tatalaksana
a. Yang utama adalah mengatasi obstruksi jalan nafas. Terapi inhalasi (uap
dingin), kadang-kadang ditambah nebulisasi epinefrin.
b. Kortikosteroid, untuk mengurangi oedema pada mukosa laring.
c. Pemberian Antibiotik, jika tebukti penyakit disertai dengan infeksi bakteri

Edukasi
-

Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fumsionam : dubia ad bonam/malam

Kepustakaan
1. Kiagus Y, Dwi WD. Croup. Dalam: Nastiti NR, dkk. Buku ajar respirologi
anak. Ikatan dokter anak Indonesia. Jakarta. 2008. Hal 320-9

2. Guidelines for the diagnosis and management of croup. The Alberta clinical
practice guideline program. 2003 july

33
Mengetahui/Menyetujui Palembang, April 2015
Ketua Departemen Kesehatan Anak Ketua Divisi Respirologi Anak

dr. Hj. Yusmala, SpA( K) dr. KH.Yangtjik, SpA(K)


NIP 19541128 198303 2 002 NIP1951 0518 1979 031003

34
BRONKOPULMONARI DISPLASIA
ICD-10 : P27.1

Definisi
Diagnosis klinis yang ditentukan berdasarkan ketergantungan oksigen dalam
periode waktu tertentu setelah lahir, dan disertai gambaran radiologis tertentu
yang sesuai dengan kelainan anatomi. Biasanya didapatkan pada bayi baru lahir
yang mengalami ketergantungan terhadap oksigen selama 28 hari atau lebih
setelah lahir.

Kriteria Diagnosis
a. Anamnesis
1. Sesak napas, biru
2. Riwayat penggunaan ventilasi mekanik, oksigen dalam jangka waktu lama
b. Pemeriksaan Fisis
1. Takipneu, retraksi, biru
2. Mengi dan ronkhi, wheezing serta ekspirasi yang memanjang
c. Pemeriksaan Penunjang
1. Darah perifer lengkap
2. CRP
3. Foto toraks AP/ Lateral Kanan
4. Analisa gas darah

Diagnosis Banding
-

Diagnosis
Bronkopulmonaridisplasia (P27.1)

Tatalaksana
1. Respiratory support:
a. Supplemen oksigen: me-maintance pemberian oksigen yang adekuat
sangatlah penting pada penderita BPD, dengan tujuan untuk
mencegah terjadinya hipoksia yang dapat memicu terjadinya pulmonary
hypertension, spasme bronkus, dan gagal tumbuh.
b. Positive pressure ventilation. Strategi ventilator dengan menggunakan
strategi dengan memberikan waktu inspirasi dan ekspirasi yang
lambat pada pasien dengan RDS.
2. Memperbaiki fungsi paru
a. Pembatasan cairan
b. Antidiuretik terapi
c. Bronkodilator
3. Kortikosteroid
Deksamethason diberikan dengan dosis awal 0,2-0,5 mg/kg BB po/iv
dan dilanjutkan dengan dosis rumatan 0,1 mg/kg BB po/iv selama 6-8 jam.
4. Nutrisi yang optimal

Edukasi
1. Menjelaskan mengenai gejala dan penyebab penyakit
2. Menjelaskan mengenai pemberian antibiotik, dosis dan efek samping
3. Menjelaskan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi prognosis
35
4. Menjelaskan prognosis dan komplikasi penyakit
5. Menjelaskan perlunya pemberian imunisasi, ASI yang adekuat serta asupan
gizi yang cukup
Prognosis
Ad vitam : dubia ad malam
Ad sanationam : dubia ad malam
Ad fungsionam : dubia ad malam

Referensi
1. Said M. Pneumonia. Dalam: Buku Ajar Respirologi Anak. Edisi ke-1.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2008; h.350-365.
2. Kolegium Ilmu Kesehatan Anak Indonesia/IDAI. Modul Program
Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Kesehatan Anak. 2008.
3. Alberta Medical Association. Guideline for the Diagnosis and Management
of Community Acquired Pneumonia. Pediatrics; 2001.
4. Supriyatno B, dkk. Pneumonia. Dalam: Standar Pelayanan Medis
Kesehatan Anak. Edisi ke-1. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2004; h.351-
354.
5. Crowe JE. Viral pneumonia. Dalam: Kendig’s Disorders Of The
Respiratory Tract In Children. 7th Edition. Philadelphia: Saunders Elsevier;
2006; h.433- 440.
6. Stein RT, Marostica PJC. Community-acquired-bacterial Pneumonia.
Dalam: Kendig’s Disorders Of The Respiratory Tract In Children. 7th
Edition. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2006; h.441-452.
7. Crawford SE, Daum RS. Bacterial Pneumonia, Lung Abscess, and
Empyema. Dalam: Pediatric Respiratory Medicine. 2nd Edition.
Philadelphia: Mosby Elsevier; 2008; h.501-553
8. Carter Edward R, Marshall G Susan. Sistem Respiratori dalam Nelson
Ilmu Kesehatan Anakedisi ke-6.Singapore: Saunders Elsevier;2011;h.527-34
9. Iskandar D, dkk. Pneumonia. Dalam Modul pembelajaran Ilmu
Kesehatan Anak. Edisi ke-1. Surabaya: Airlangga universty Press; 2014;
h.287-93

Mengetahui/Menyetujui Palembang, April 2015


Ketua Departemen Kesehatan Anak Ketua Divisi Respirologi Anak

dr. Hj. Yusmala, SpA( K) dr. KH.Yangtjik, SpA(K)


NIP 19541128 198303 2 002 NIP1951 0518 1979 03100

36
KERACUNAN MINYAK TANAH
ICD-10 : A37.9

Definisi
Keracunan akibat terminum minyak tanah sebanyak 10 cc atau lebih

Kriteria Diagnosis
a. Anamnesis
Terminumnya minyak tanah, mual dan muntah, batuk-batuk, sesak nafas,
sianosis, batuk darah dan pusing
b. Pemeriksaan Fisis
Mudah diketahui dengan terciumnya bau minyak tanah, hipertermia,
penurunan kesadaran sampai koma, anogsia, kardiomiopati, renal toksisitas,
hepatotoksisitas
c. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan darah lengkap

Diagnosis Banding
-

Diagnosis Kerja
Keracunan minyak tanah (ICD-10 : A37.9)

Tatalaksana
1. Tidak boleh merangsang muntah dan melakukan bilasan lambung
2. Antidotum tidak ada
3. Bila terdapat tanda-tanda anoksia oleh karena meth-hemoglobin, dilakukan
transfusi darah.
4. Perhatikan keseimbangan cairan, elekTrolit dan asam basa serta keadaan
umum penderita.

Edukasi
1. Awasi anak dengan tepat
2. Jauhkan bahan-bahan berbahaya dari jangkauan anak

Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fumsionam : dubia ad bonam/malam

Referensi
1. Standar Penatalaksanaan Boks Paru Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK
Unsri/RSMH Palembang
2. Roni N, Amalia S. Dalam : Nastiti NR,dkk. Buku Ajar respirologi anak.
Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta.2008. hal 550-5

37
Mengetahui/Menyetujui Palembang, April 2015
Ketua Departemen Kesehatan Anak Ketua Divisi Respirologi Anak

dr. Hj. Yusmala, SpA( K) dr. KH.Yangtjik, SpA(K)


NIP 19541128 198303 2 002 NIP1951 0518 1979 03100

38
HAMPIR TENGGELAM
ICD-10 : T75.1

Definisi
Penderita masih hidup dalam waktu 24 jam pertama setelah kejadian

Kriteria Diagnosis
a. Anamnesis
Tenggelam, sesak napas
b. Pemeriksaan Fisis
Sesak nafas progresif, sianosis dan edema kegagalan pemafasan, renjatan
(syok), gangguan keseimbangan elektrolit dan asam basa, gangguan traktus
urinarius : albuminuria sampai gaga) ginjal akut, gangguan SSP: kejang
kejang, penurunan kesadaran sampai koma
c. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium (darah tepi, analisa gas darah)
2. Pemeriksaan radiologis

Diagosis Banding
-

Diagnosis Kerja
Hampir Tenggelam (ICD-10 : T75.1)

Tatalaksana
A. Di tempat kejadian
Segara bersihkan jalan pernafasan reoksigensi secepatnya dengan
memberikan pernafasan buatan “mouth to mouth”. Bila ada gangguan
sirkulasi henti jantung, dilakukan kompresi jantung luar. Bila pernafasan
spontan dan tidak ada gangguan sirkulasi, dilakukan pengosongan lambung.
B. Di perjalanan
Penderita diselimuti dengan selimut/kain tebal untuk mencegah hipotermia
tindakan resusitasi dilanjutkan, sesuai dengan keadaan korban dan
sarana/fasilitas yang ada.
C. Di rumah sakit
a. Pengobatan emergensi/darurat
Pengobatan pertama dilakukan terhadap oksigensi darah dan
perbaikan sirkulasi.
Bersihkan orofaring secara manual
Lakukan pernafasan buatan dari mulut ke mulut “bag to mask”,
berikan oksigen 100%
Bila pulse tidak ada, lakukan kompresi jantung luar.
Lakukan intubasi endotrakeal untuk mencegah intermitten clearing airway
dan mencegah muntah.
b. Pengobatan selanjutnya
Bersama dengan tindakan/pengobatan ini, dilakukan pemeriksaan
penunjang laboratorium (darah tepi, analisa gas darah) dan radiologis.

Tindakan pengobatan selanjutnya adalah :


a. Bila penderita bernafas spontan, lakukan penghisapan air/lender
b. Memakai intubasi endotrakeal dan diberikan oksigen 100% dengan
sungkup muka dengan IPPV/PEEP/ventilator.
39
c. Bila terdapat henti jantung/tidak ada sirkulasi, dilakukan kompresi
jantung luar
d. Berikan infus dextrose 5% pada penderita tenggelam air laut dan NaCI
fisiologis untuk penderita tenggelam air tawar, bila perlu pemberian
darah segar/plasma
e. Pada penderita tenggelam air laut, bila kadar natrium sangat tinggi
dilakukan transfusi tukar.
f. Bila penderita tetap koma,10-20 menit setelah tindakan resusitasi,
dilakukan resusitasi otak, misalnya dengan pemberian barbiturat IV.
g. Pemberian kortikosteroid setiap 6 jam, tetapi masih kontroversial.
h. Koreksi “base-deficit” bila terdapat tanda-tanda gangguan keseimbangan
asam basa dengan bikarbonas natrikus 1-2 m Eq/L/KgBB
i. Berikan obat antibiotika parenteral, misalnya amplisillinsetiap 6-8 jam
Berikan furosemid parental, sesuai indikasi dan monitor jumlah urin/24 jam.
Fisiotrapi dilakukan setelah penderita kooperatif untuk membantu
pengeluaran cairan aspirasi dan skrat.
j. Bila sarana dan fasilitas yang diperlukan kurang memadai, penderita
dikirim ke ICU

Edukasi
Pengawasan ketat terhadap anak yang tidak bisa berenang

Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fumsionam : dubia ad bonam/malam Menjelaskan perlunya pemberian

Referensi
1. Iskandar Zulkarnaen. Hampir tenggelam. Dalam: Nastiti NR, dkk. Buku
ajar respirologi anak. Ikatan dokter anak Indonesia. Jakarta. 2008. Hal
427-33
2. Kallas HJ. Drowning and near drowning. Dalam: Nelson WB, Behrman
RE, Kliegman RM, editors. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-15.
Philadelphia: Saunders; 1996. h. 264-7

Mengetahui/Menyetujui Palembang, April 2015


Ketua Departemen Kesehatan Anak Ketua Divisi Respirologi Anak

dr. Hj. Yusmala, SpA( K) dr. KH.Yangtjik, SpA(K)


NIP 19541128 198303 2 002 NIP1951 0518 1979 031003

40
ABSES HEPAR
ICD-10 : J85.2

Definisi
Infeksi destruktif berupa lesi nekrotik pada jaringan paru yang terlokalisir
sehingga membentuk kavitas yang berisi nanah (pus) dalam parenkim paru
pada satu lobus atau lebih

Kriteria Diagnosis
a. Anamnesis
Demam tinggi, batuk sering disertai hemoptisis, sesak nafas, sputum berbau
busuk
b. Pemeriksaan Fisis
Retraksi, pergerakan dada bisa berkurang, perkusi biasanya redup/timpani,
suara nafas akan melemah bila abses belum pecah atau mungkin amforik bila
absesnya sudah pecah, ada ronkhi basah bila abses sudah pecah.
c. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan darah rutin (leukositosis biasanya sampai 30.000/mm3
dengan pergeseran kekiri pada hitung jenis)
2. Foto thoraks; adanya kavitasndengan atau tanpa fluid level, yang
sering dikelilingi oleh infiltrate

Diagnosis Banding
-

Diagnosis Kerja
Abses Hepar (ICD-10 : J85.2)

Tatalaksana
Antibiotika yang tahan terhadap penisilinase, kombinasi ampi-clox dan
gentamisin memberikan hasil yang memuaskan. Sefalosforin generasi ketiga
kadang-kadang sudah cukup. Penisilin/semisintetiknya dan sefalosforin
umumnya sensitif terhadap mikroorganisme anaerob.
a. Lama terapi bisa sampai 3-6 minggu
b. Postural drainase dengan perkusi dapat membantu mengeluarkan pus
c. Fisioterapi

Edukasi
Menjaga kebersihan mulut

Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fumsionam : dubia ad bonam/malam

Kepustakaan
1. Ahmad R. Abses paru. Dalam: Aru WS, dkk, editor. Buku ajar ilmu
penyakit dalam. Jakarta. 2007. Hal 1052-5
2. Standar penatalaksanaan Boks Paru Departemen Ilmu Kesehatan
Anak FK Unsri/RSMH Palembang

41
Mengetahui/Menyetujui Palembang, April 2015
Ketua Departemen Kesehatan Anak Ketua Divisi Respirologi Anak

dr. Hj. Yusmala, SpA( K) dr. KH.Yangtjik, SpA(K)


NIP 19541128 198303 2 002 NIP1951 0518 1979 031003

42
EMFISEMA SUBCUTIS
ICD-10 : J44.8

Definisi
Suatu keadaan dimana udara bebas dapat masuk kejaringan subkutis. Biasanya
merupakan komplikasi dari suatu keadaan, seperti fraktur orbita, trauma pada
leher dan toraks,atau dapat juga terjadi secara spontan.

Kriteria Diagnosis
a. Pemeriksaan Fisis
Pada perabaan didapati krepitasi bawah kulit, teraba adanya nodul
fluktuasi kecil yang bergerak bebas bila jaringan ditekan.
b. Pemeriksaan penunjang
Rontgen thorak

Diagnosis Banding
-

Diagnosis Kerja
Emfisema Subcutis (ICD-10 : J44.8)

Tatalaksana
1. Dilakukan insisi multipel
2. Istirahat total
3. Menghilangkan faktor penyebab.

Edukasi
-

Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fumsionam : dubia ad bonam/malam

Referensi
1. Standar Penatalaksanaan Boks Paru Departemen Ilmu Kesehatan Anak
FK Unsri/RSMH Palembang
2. Mardjanis S.,dkk. Dalam : Nastiti NR,dkk. Buku ajar Respirologi anak.
Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta. 2008.

Mengetahui/Menyetujui Palembang, April 2015


Ketua Departemen Kesehatan Anak Ketua Divisi Respirologi Anak

dr. Hj. Yusmala, SpA( K) dr. KH.Yangtjik, SpA(K)


NIP 19541128 198303 2 002 NIP1951 0518 1979 031003

43
HEPATITIS KARENA OAT
ICD-10 : A18.8 + K 77.0

Definisi
Hepatitis yang terjadi karena pengobatan tuberculosis

Kriteria Diagnosis
a. Anamnesis
Adanya riwayat sedang mendapat terapi tuberkulostatika
b. Pemeriksaan Fisis
Pemeriksaan Fisis : ikterus, hepatomegali dan nyeri tekan
c. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium : Uji faal hati : SGOT, SGPT. Bilirubin I dan II, alkali
fosfatase pemeriksaan serologis virus hepatitis

Diagnosis Banding
-

Diagnosis Kerja
Hepatitis Karena OAT (ICD-10 : Q78.8)

Tatalaksana
1. Jika kadar SGOT atau SGPT meningkat kurang dari 5 (Lima) kali lipat,
maka dosis OAT diturunkan menjadi setengahnya. Setiap minggu
dikontrol kadar SGOT, dan SGPT. Bila nilainya normal, maka dosis
dinaikan sampai mencapai dosis yang dikehendaki.
2. Jika kadar SGOT atau SGPT meningkat naik dari 5 (Lima) kali, maka
pemberian OAT dihentikan. Tiap minggu kontrol SGOT dan SGPT. Bila
nilainya normal, maka OAT diberikan setengah dosis dan dinaikan
perlahan sampai dosis yang dikehendaki. Bila ternyata SGOT dan SGPT
meningkat lagi lebih dari normal, OAT diganti dengan yang tidak
hepatotoksik.

Edukasi
-

Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fumsionam : dubia ad bonam/malam

Referensi
1. Standar Penatalaksanaan Boks Paru Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK
Unsri/RSMH Palembang
2. Tuberkulosis anak. Dalam : Nastiti NR,dkk. Buku Ajar respirologi
Anak. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta. 2008

44
Mengetahui/Menyetujui Palembang, April 2015
Ketua Departemen Kesehatan Anak Ketua Divisi Respirologi Anak

dr. Hj. Yusmala, SpA( K) dr. KH.Yangtjik, SpA(K)


NIP 19541128 198303 2 002 NIP1951 0518 1979 03100

45
SCHWARTE
ICD-10 : Q78.8

Definisi
Schwarte adalah suatu keadaan penebalan lapisan pleura, yang diakibatkan
efusi pleura yang sudah mengalami resorbsi

Kriteria Diagnosis
a. Anamnesis
Sesak nafas
b. Pemeriksaan Fisis
Thoraks asimetris, stem fremitus, suara nafas melemah, Fleura friction rub
(+)
c. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan radiologis dan CT Scan

Diagnosis Banding
-

Diagnosis Kerja
Schwarte (ICD-10 : Q78.8)

Tatalaksana
Operasi thoraks :
1. Non reseksi
a. Pulmonary detachment
b. Dekortikasi
c. Torakoplasti
d. Plombage
e. Kovernoplasti
2. Reseksi
a. Segmentektomi
b. Pleuro-lobektomi
c. Pleuro- pneumektomi

Toleransi operasi :
Tergantung faal paru :
1. Absolut aman : VC >70%
FEVI > 70%
2. Relatif aman : VC > 40%
FEVI > 50%
3. Tidak aman : VC > 40%
FEVI > 50%
4. Indeksi respirasi : VC x FEVI = 2.000

Timing operasi
a. Paru yang dioperasi tenang
b. Bronkus tidak ada peradangan
c. Obat-obat anti TBC ada yang sensitive

46
Edukasi
-

Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fumsionam : dubia ad bonam/malam

Referensi
1. Standar Penatalaksanaan Boks Paru Departemen Ilmu Kesehatan Anak
FK Unsri/RSMH Palembang

Mengetahui/Menyetujui Palembang, April 2015


Ketua Departemen Kesehatan Anak Ketua Divisi Respirologi Anak

dr. Hj. Yusmala, SpA( K) dr. KH.Yangtjik, SpA(K)


NIP 19541128 198303 2 002 NIP1951 0518 1979 03100

47
BRONKIEKTASIS
ICD-10 : J47

Definisi
Dilatasi dari bronkus yang disebabkan oleh karena destruksi bronkus dan
jaringan peribronkial karena radang

Kriteria Diagnosis
a. Anamnesis
Batuk-batuk dengan dahak yang banyak terutama pada pagi hari, riwayat
infeksi saluran nafas bawah yang berulang, demam, tidak ada nafsu makan,
berat badan turun
b. Pemeriksaan Fisis
Deformitas dari dinding dada berupa adanya sulcus Hanson setelah iga yang
ketiga, adanya bentuk dinding dada yang melengkung, adanya clubbing finger,
pada pemeriksaan Fisis paru, pada perkusi dapat dijumpai daerah yang redup
pada auskultasi terdapat bermacam-macam ronki basah dan kering.
c. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium
2. Bronkografi
3. Radiologis, high resolution CT

Diagnosis Banding
-

Diagnosis Kerja
Bronkiektasis (ICD-10 : J47)

Tatalaksana
1. Konservatif :
 Menghilangkan fokus infeksi dengan pemberian antibiotika bila ada
eksaserbasi akut selama 7 hari paling lama 2 minggu.
 Postural drainage
2. Operatif : bila terapi konservatif tidak berhasil
 Terutama pada bronkiektasis yang luas dengan hemoptoe berulang
 Bronkiektasis sakular yang tebatas pada lobus dan segment
 Adanya aspirasi benda asing
Operasi sebaiknya diatas usia 6 tahun

Edukasi
Vaksinasi terhadap pertusis dan lain-lain (influenza, pneumonia

Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam/ malam

Referensi
1. Heda MDN. Bronkiektasis. Dalam: Nastiti NR, dkk. Buku ajar respirologi
anak. Ikatan dokter anak Indonesia. Jakarta. 2008. Hat 540-9
2. Barker AF. Bronchiectasis. N Engl J Med 2002;346 (18) : 1383-93
48
Mengetahui/Menyetujui Palembang, April 2015
Ketua Departemen Kesehatan Anak Ketua Divisi Respirologi Anak

dr. Hj. Yusmala, SpA( K) dr. KH.Yangtjik, SpA(K)


NIP 19541128 198303 2 002 NIP1951 0518 1979 03100

49
LIMFADENOPATI
ICD-10 :

Defenisi
Pembesaran kelenjar getah bening, garis tengah terpanjangnya lebih besar dari
pada 10 mm. Ada dua pengecualian yaitu kelenjar epitrokleas > 15 mm dianggap
abnormal, untuk kelenjar selangkangan > 15 mm baru dianggap normal.
Sedangkan limfadenopati supraklavikula, iliaka dan poplitea , harus dianggap
abnormal.

Kriteria Diagnosis
a. Anamnesis
Demam, pembesaran kelenjar, gejala penyakit yang mendasari
b. Pemeriksaan Fisis
Kelenjar getah bening; ukuran, nyeri tekan, konsistensi, mobile/immobile.
c. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan darah perifer lengkap,
2. Pemeriksaan penunjang untuk penyakit yang mendasari

Diagnosis Banding
1. Gondongan,
2. kista duktus tiroglossus,
3. kista dermoid,
4. hemangioma

Diagnosis Kerja
Limfadenopati (ICD-10 : )

Tatalaksana
Tatalaksana pembesaran kelenjar getah bening didasarkan pada penyebabnya.
Banyak kasus dari pembesaran kelenjar getah bening sembuh dengan
sendirinya dan tidak membutuhkan pengobatan apapun selain observasi

Edukasi
-

Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fumsionam : dubia ad bonam/malam

Referensi
1. Standar Penatalaksanaan Boks Paru Departemen Ilmu Kesehatan Anak
FK Unsri/RSMH Palembang

50
Mengetahui/Menyetujui Palembang, April 2015
Ketua Departemen Kesehatan Anak Ketua Divisi Respirologi
Anak

dr. Hj. Yusmala, SpA( K) dr. KH.Yangtjik, SpA(K)


NIP 19541128 198303 2 002 NIP1951 0518 1979 03100

51
FLU BURUNG
ICD-10 : JI1.1

Definisi
Penyakit menular pada hewan yang disebabkan oleh virus dan dapat menular
pada manusia.

Kriteria Diagnosis
a. Anamnesis
Panas tinggi batuk, pilek, dengan atau tanpa sesak nafas disertai salah satu
atau lebih keadaan berikut :
1. Dalam seminggu terakhir ada riwayat kontak dengan pasien avian
influenza yang terkontaminasi
2. Dalam seminggu terakhir kontak atau mengunjungi peternakan yang
dilanda wabah avian influenza ungags
3. Dalam seminggu terakhir mempunyai riwayat bekerja di laboratorium
yang memproses spesimen manusia atau hewan yang dicurigaimenderita
avian influenza
b. Pemeriksaan Fisis
Demam, faringitis, konjungtivitis ringan, rhinitis, limfadenopati colli, ronki
basah, wheezing
c. Pemeriksaan Penunjang
Kultur dan identifikasi virus H5N1, uji real time nested PCR untuk H5, IFA
test, uji netralisasi, uji penapisan
Flu burung ditegakkan :
1. Ditegakkan secara klinis
2. Kelainan laboratorium : lekopeni, limfopenia dan trombositopenia.
Beberapa kasus mengalami gangguan ginjal berupa peningkatannilai
ureum dan kreatinin.
3. Kelainan radiologist toraks berlangsung sangat progresif sesuai dengan
manifestasi klinis tetapi tidak ada gambaran yang khas. Kelainan foto
toraks bisa berupa infiltrat bilateral luas, infiltrate difus, multifokal atau
tersebar (patchy), atau dapat berupa kolaps lobar.
4. Dipastikan dengan biakan virus avian influenza. Pemeriksaan lain yang
definitive adalah pemeriksaan PCR. Pemeriksaan lain berupa
imunofluoresen menggunaka H5N1 antibodi monoclonal, serta uji
serologi menggunakan cara ELISA dan IFAT untuk mendeteksi
antibodi spesifik.

Diagnosis Banding
1. Infeksi respiratori atas akut,
2. croup,
3. bronkiolitis
4. pneumonia

Diagnosis Kerja
Flu Burung (ICD-10 : JI1.1)

Tatalaksana
1. Beberapa obat antiviral : ribavirin, amantadine, rimantadine, zanamivir dan
oseltamivir
2. Untuk kasus yang berat berupa pneumonia perlu perawat rumah sakit dan
52
tatalaksana pneumonia pada umumnya.
3. Bila suatu kasus dicurigai sebagai avian influenza maka sejak awal tindakan
Pencegahan penyebaran infeksi harus sesuai universal precautions standard,
selama perawatan, saat pemulangan pasien yang selamat, penanganan jenazah
pasien yang meninggal karena avian influenza
4. Amantadin diberikan pada awal infeksi,sedapat mungkin dalam waktu 48
jam pertama selama 3-5 hari dengan dosis 5 mg/kgbb per hari dibagi dalam 2
dosis. Bila berat badan lebih dari 45 kg diberikan 100 mg 2 kali sehari.

Edukasi
Vaksinasi vaksin influenza

Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fumsionam : dubia ad bonam/malam

Referensi
1 . Darmawan BS. Avian influenza. Dalam: Nastiti NR, dkk. Buku ajar
respirologi anak. Ikatan dokter anak Indonesia. Jakarta. 2008. Hal 558-
77
2. World Health Organization. Clinical management of human infection
with avian influenza A (H5N1) virus. 15 Aug 2007

Mengetahui/Menyetujui Palembang, April 2015


Ketua Departemen Kesehatan Anak Ketua Divisi Respirologi Anak

dr. Hj. Yusmala, SpA( K) dr. KH.Yangtjik, SpA(K)


NIP 19541128 198303 2 002 NIP1951 0518 1979 03100

53

Anda mungkin juga menyukai