Anda di halaman 1dari 28

PROPOSAL LAPORAN PENELITIAN

PENJERNIHAN AIR GAMBUT MENGGUNAKAN


HIDROSIAPATIT SEBAGAI ADSORBEN

OLEH
1. DIAN AGUSTIN
2. HOTNI LAMTIAR
3. IWAN FAUZI
4. KAMALUDDIN ADITYA

JURUSAN TEKNIK KIMIA


FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2012
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Air merupakan zat yang keberadaannya sangat vital dalam mendukung
kehidupan dan aktivitas manusia. Kebutuhan air bersih terus meningkat sejalan
dengan pertumbuhan penduduk dan industri. Jika peningkatan ini tidak diimbangi
dengan sumber penyediaan yang baru maka akan menimbulkan krisis air bersih.
Untuk mencegah terjadinya hal itu maka diperlukan studi lebih lanjut mengenai
sumber daya air serta cara pengolahannya sehingga dapat menghasilkan air bersih
yang dapat digunakan oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari yang
secara fisika dan kimia sesuai dengan standar mutu yang ditetapkan.
Kondisi sumber air pada setiap daerah berbeda-beda, tergantung pada keadaan
alam dan kegiatan manusia yang terdapat di daerah tersebut. Pada daerah gambut,
umumnya air permukaan yang tersedia sebagai sumber air baku masih sulit
dimanfaatkan untuk kebutuhan sehari-hari. Hal ini karena air permukaan daerah
tersebut berwarna kuning atau coklat dan mengandung zat organik yang tinggi serta
bersifat asam sehingga perlu pengolahan khusus sebelum siap untuk digunakan.
Air gambut di negara kita merupakan salah satu dari sumber daya air yang
masih melimpah, kajian Pusat Sumber Daya Geologi Departemen Energi dan Sumber
Daya Mineral melaporkan bahwa sampai tahun 2006 sumber daya lahan gambut di
Indonesia mencakup luas 26 juta ha yang tersebar di Pulau Kalimantan (± 50%),
Sumatera (± 40%) sedangkan sisanya tersebar di Papua dan pulau-pulau lainnya. Dan
untuk lahan gambut ini Indonesia menempati posisi ke-4 terluas di dunia setelah
Canada, Rusia dan Amerika Serikat (Tjahjono, 2007).
Berdasarkan data di atas, air gambut di negara kita secara kuantitatif sangat
potensial untuk dikelola sebagai sumber daya air yang dapat diolah menjadi air bersih
atau air minum. Namun secara kualitatif, penggunaan air gambut masih banyak
mengalami kendala. Salah satu kendala penggunaannya sebagai air bersih adalah
warnanya yang kuning atau merah kecoklatan, warna seperti ini sangat tidak layak
untuk digunakan sebagai air bersih ataupun air minum.
Menurut Effendi (2006) kandungan utama di dalam air gambut adalah
kelompok senyawa humus, yaitu asam humat, asam fulvat, dan humin. Senyawa
humus ini yang menyebabkan warna yang khas terhadap air gambut yakni kuning
sampai coklat kemerah-merahan. Senyawa humus terbentuk dari dekomposisi zat
organik alami yaitu senyawa humus seperti lignin, tanin, dan asam organik lainnya.
Penelitian-penelitian tentang pengolahan air gambut yang telah dilakukan di
antaranya :
1. Dengan metode pertukaran ion menggunakan resin MIEXR dapat menghilangkan
warna sejati air (asam humat dan fulfat) dari 109 Pt-Co menjadi 1 Pt-Co. Dengan
mempertimbangkan sebagian besar pengolahan air di Indonesia masih
menggunakan sistem konvensional. Cara pengolahan air secara
konvensional/pengolahan lengkap (Koagulasi-flokulasi, sedimentasi, filtrasi,
netralisasi dan desinfeksi) dapat digunakan untuk menghilangkan warna terutama
pembentuk warna semu sekitar 80%, effisiensi penghilangan warna akan lebih
efektif jika dilakukan modifikasi dan tambahan proses seperti aplikasi karbon
aktif, reaksi redoks, dan koagulan-flokulan aid.
2. Pemisahan berbasis membran yang sering digunakan untuk pengolahan air
gambut adalah membran reverse osmosis (RO). Pemanfaatan ini merupakan
teknologi baru dalam mengolah air gambut menjadi air minum. Salah satu
keunggulan teknologi ini adalah kemurnian produk yang dihasilkan lebih baik
dari proses konvensional.
3. Proses pengolahan air gambut dengan cara koagulasi yang lain yaitu, two staged
coagulation. Two staged coagulation adalah proses koagulasi yang dilakukan
dalam dua tahap, di mana pada setiap proses dilakukan pembubuhan dosis dan
pengkondisian pH yang kemudian diikuti oleh satu kali proses flokulasi.
Penelitian-penelitian yang pernah dilakukan dalam pengolahan air gambut
secara koagulasi dengan menggunakan koagulan-koagulan seperti protein biji kelor,
tanah liat atau tanah lempung (clay) sedangkan pengolahan secara adsorpsi material
material yang sudah digunakan sebagai adsorben yaitu karbon aktif, resin, zeolit, dan
cangkang telur.
Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa koagulasi dan adsorpsi adalah
cara yang efektif, relatif mudah dan murah dilakukan untuk menurunkan intensitas
warna air gambut.
Menurut Effendi (2006) kandungan utama di dalam air gambut adalah
kelompok senyawa humus, yaitu asam humat, asam fulvat, dan humin. Senyawa
humus ini yang menyebabkan warna yang khas terhadap air gambut yakni kuning
sampai coklat kemerah-merahan. Senyawa humus terbentuk dari dekomposisi zat
organik alami yaitu senyawa humus seperti lignin, tanin, dan asam organik lainnya.
Dari uraian tersebut dapat dikatakan bahwa intensitas warna air gambut
berhubungan erat dengan konsentrasi senyawa humusnya, bila intensitas warnanya
menurun maka konsentrasi senyawa humusnya berkurang. Secara visual hal ini yang
ditandai dengan memudarnya warna khas air gambut hingga menuju keadaan tidak
berwarna.
Penelitian ini bertujuan untuk menurunkan intensitas warna air gambut
dengan menggunakan serbuk dari tulang ayam (Hidrosiapatit) berukuran 80 mesh dan
sampel air gambut yang digunakan berwarna coklat.
Dalam keseharian, tulang ayam dapat diasumsikan sebagai sampah atau sisa
makanan yang sampai saat ini pemanfaatannya masih minim. Secara kimia komposisi
utamanya adalah garam-garam terutama kalsium karbonat, kalsium posfat. Serbuk
tulang ayam memiliki potensi sebagai adsorben, pemanfaatan ini memberikan
dampak positif terhadap penanggulangannya sebagai sampah mengingat konsumsi
daging ayam di restoran-restoran umum atau cepat saji serta dalam industri catering
cukup besar. Di samping itu dari sisi ekonomi, tulang ayam ini masih rendah nilainya.
1.2 Perumusan Masalah
Senyawa utama di dalam air gambut yaitu asam humat, asam fulvat, dan
humin merupakan penyebab warna air gambut memiliki warna yang khas yaitu mulai
dari kuning hingga merah kecoklatan. Apabila asam-asam tersebut bereaksi dengan
material-material yang terkandung dalam tulang maka sangat dimungkinkan karakter
warna air gambut tersebut mengalami perubahan.
Berdasarkan identifikasi masalah di atas, maka rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Apakah terdapat perbedaan yang signifikan pada penurunan intensitas warna
air gambut berdasarkan perbedaan massa serbuk tulang ayam
2. Apakah terdapat perbedaan yang signifikan pada penurunan intensitas warna
air gambut berdasarkan perbedaan waktu kontak antara air gambut dengan
serbuk tulang ayam?
3. Bagaimana perbandingan efektivitas serbuk tulang ayam dengan karbon aktif
dan serbuk tulang ayam dengan kalsium karbonat murni dalam menurunkan
intensitas warna air gambut?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk menurunkan intensitas warna air gambut menggunakan serbuk tulang
ayam sehingga terjadi penurunan intensitas warnanya.
2. Untuk mengetahui kemungkinan adanya perbedaan yang signifikan pada
penurunan penurunan intensitas warna air gambut dengan memvariasikan
mass serbuk dari tulang ayam, dan waktu kontak.
3. Untuk mengetahui perbandingan efektivitas serbuk tulang ayam dengan
karbon aktif dan serbuk tulang ayam dengan kalsium karbonat murni dalam
menurunkan intensitas warna air gambut.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, antara lain:
1. Dapat memberikan solusi alternatif yang mudah dan murah dalam
menjernihkan air gambut pada masyarakat yang berada di sekitar lokasi lahan
gambut.
2. Memanfaatkan tulang ayam sebagai sisa makanan untuk menurunkan
intensitas warna air gambut.
3. Dapat mengetahui perbandingan efektivitas serbuk tulang ayam dengan
karbon aktif dan serbuk tulang ayam dengan kalsium karbonat murni dalam
menurunkan intensitas warna air gambut.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Air Gambut


Air gambut adalah air permukaan yang banyak terdapat di daerah berawa atau
dataran rendah terutama di Sumatera dan Kalimantan, yang mempunyai ciri-ciri
sebagai berikut (Kusnaedi, 2006):
1. Intensitas warna yang tinggi (berwarna coklat kemerahan).
2. Keasamannya tinggi (pH yang rendah).
3. Kandungan zat organik yang tinggi.
4. Kekeruhan dan kandungan partikel tersuspensi yang rendah.
5. Kandungan kation yang rendah
Warna coklat kemerahan pada air gambut merupakan akibat dari tingginya
kandungan zat-zat organik dalam air gambut tersebut berasal dari dekomposisi bahan
organik seperti daun, pohon, dan kayu. Zat-zat organik ini dalam keadaan terlarut
serta memiliki sifat sangat tahan terhadap mikroorganisme dalam waktu yang cukup
lama (Syarfi, 2007).
Thompson & Troeh dalam Elisa (2004) menyatakan bahwa senyawa humus
menyusun 90% material organik yang mempunyai berat molekul beragam dari 200 -
300.000 g/mol. Material ini merupakan produk sintesis sekunder dari senyawa
organik sederhana yang terbentuk karena pemecahan material organik oleh
mikrobiologi, bahan organik ini bersifat stabil dan tahan terhadap proses
biodegradasi.
Senyawa humus ini dapat diklasifikasikan berdasarkan kelarutannya dalam
alkali dan asam menjadi asam humat, asam fulvat dan humin (Tan, 1982). Klasifikasi
senyawa humus tersebut dapat dilihat dalam Gambar 2.1 berikut:
Karakteristik asam humat, asam fulvat dan humin adalah sebagai berikut:
1. Asam Humat
a. Asam humat atau humus dapat didefinisikan sebagai hasil akhir
dekomposisi bahan organik oleh organisme secara aerobik. Asam ini
mempunyai berat molekul 10.000 hingga 100.000 g/mol. Senyawa ini
dibentuk oleh polimerisasi asam fulvat melalui rantai ester, larut dalam
basa tapi tidak larut dalam asam (pH < 2) terjadi presipitasi (Collet,
2007).
b. Asam humat merupakan senyawa organik yang sangat kompleks, yang
secara umum memiliki ikatan aromatik panjang dan non-
biodegradable yang merupakan hasil oksidasi dari senyawa lignin
(gugus fenolik).
c. Asam humat bersifat heterogen yang memiliki komponen aromatik
dan alifatik serta mengandung tiga gugus fungsi utama yaitu karboksil
(-COOH), alkohol fenolik (-OH), dan metoksi karbonil (C=O). Dalam
molekul asam humat juga terdapat ikatan hidrogen aktif yang
banyaksehingga molekul ini sangat reakstif secara kimia. Sifat lain
dari asam humat adalah sebagai bahan kelator alami yang membawa
mineral (Supriyati, 2006).

2. Asam Fulvat
a. Asam fulvat berasal dari kata fulvus yang berarti kuning, warna dari
asam fulvat adalah kuning terang hingga mendekati coklat. Asam
merupakan senyawa asam organik alami yang berasal dari humus,
larut dalam air, sering ditemukan dalam air permukaan dengan berat
molecular yang rendah yaitu antara rentang 1000 hingga 10.000
(Collet, 2007).
b. Asam ini larut dalam air pada berbagai kondisi pH dan sangat rentan
terhadap serangan mikroba. Asam-asam fulvat mengandung atom
oksigen dua kali lebih banyak dari pada asam humat. Karena
banyaknya gugus carboksil (COOH) dan hidroksil (COH) sehingga
secara kimia asam fulvat lebih reaktif dibandingkan senyawa-senyawa
humus lainnya. Struktur asam humat dapat digambarkan sebagai
berikut:
3. Humin
a. Humin adalah bagian dari senyawa humat yang tidak dapat larut baik
di dalam larutan basa kuat-asam kuat maupun dalam asam lemah-basa
lemah, atau tidak larut dalam air pada setiap pH. Kompleks humin
dianggap sebagai molekul yang paling besar dari senyawa humus
karena rentang berat molekulnya mencapai 100,000 hingga
10,000,000. Sedangkan sifat kimia dan fisika humin belum banyak
diketahui (Tan, 1982).
b. Tan (1982) juga menyatakan bahwa karakteristik humin adalah
berwarna coklat gelap, tidak larut dalam asam dan basa, dan sangat
resisten akan serangan mikroba. Tidak dapat diekstrak oleh asam
maupun basa.
c. Petitt dalam Collet (2007) menyatakan keberadaan humin di dalam
tanah paling resistan terhadap dekomposisi dari semua senyawa-
senyawa humat. Beberapa fungsi utamanya di dalam tanah itu bersifat
struktural, yaitu untuk memelihara kestabilan tanah, untuk
meningkatkan tanah terhadap kapasitas penahan air, tetapi humin juga
berfungsi sebagai sistim pertukaran kation, dan dapat memperbaiki
kandungan tanah sehingga secara umum meningkatkan kesuburan
tanah. Oleh karena fungsi fungsinya itu, humin merupakan kunci
penting dari kesuburan tanah.
Dalam berbagai kasus, intensitas warna akan semakin tinggi karena adanya
logam besi yang terikat oleh asam-asam organik yang terlarut dalam air tersebut.
Kelima ciri yang telah disebutkan di atas ternyata mempunyai hubungan satu dengan
lainnya. pH yang rendah juga disebabkan oleh kandungan kation yang rendah,
kehadiran zat organik dalam bentuk asam, dan sedikitnya kation dan partikel
tersuspensi. Hal ini yang menyebabkan kurangnya proses koagulasi secara alami.
Karakteristik air gambut bersifat spesifik, tergantung pada lokasi ataupun dari segi
vegetasi, jenis tanah dimana air gambut itu berada, ketebalan gambut, usia gambut,
dan cuaca (Mahmud, 2002).

2.2 Prospek Pengolahan


Karakteristik air gambut relatif kurang menguntungkan untuk penyediaan air
minum. Kondisi yang kurang menguntungkan dari segi kesehatan adalah sebagai
berikut:
1. Kadar keasaman (pH) yang rendah dapat menyebabkan kerusakan gigi dan
menimbulkan sakit perut.
2. Kandungan organik yang tinggi dapat menjadi sumber makanan bagi
mikroorganisme dalam air, sehingga dapat menimbulkan bau apabila
bahan organik tersebut terurai secara biologi (Wagner, 2001).
3. Apabila pengolahan air gambut tersebut menggunakan klor sebagai
desinfektan maka akan terbentuk trihalometan (THM) seperti senyawa
organoklor yang dapat bersifat karsinogenik (Wagner, 2001).
4. Ikatannya yang kuat dengan logam (besi dan mangan) dalam bentuk
khelat menyebabkan kandungan logam dalam air tinggi dan dapat
menimbulkan kerusakan organ tubuh jika dikonsumsi secara terus-
menerus (Wagner, 2001).

2.3 Pengertian Adsorben


Adsorben merupakan zat padat yang dapat menyerap komponen tertentu dari
suatu fase fluida (Saragih, 2008). Kebanyakan adsorben adalah bahan- bahan yang
sangat berpori dan adsorpsi berlangsung terutama pada dinding pori- pori atau pada
letak-letak tertentu di dalam partikel itu. Oleh karena pori-pori biasanya sangat kecil
maka luas permukaan dalam menjadi beberapa orde besaran lebih besar daripada
permukaan luar dan bisa mencapai 2000 m/g. Pemisahan terjadi karena perbedaan
bobot molekul atau karena perbedaan polaritas yang menyebabkan sebagian molekul
melekat pada permukaan tersebut lebih erat daripada molekul lainnya. Adsorben yang
digunakan secara komersial dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu kelompok polar
dan non polar (Saragih, 2008).
 Adsorben Polar Adsorben polar disebut juga hydrophilic. Jenis adsorben yang
termasuk kedalam kelompok ini adalah silika gel, alumina aktif, dan zeolit.
 Adsorben non polar Adsorben non polar disebut juga hydrophobic. Jenis
adsorben yang termasuk kedalam kelompok ini adalah polimer adsorben dan
karbon aktif.
Menurut IUPAC (Internasional Union of Pure and Applied Chemical) ada beberapa
klasifikasi pori yaitu : a.Mikropori : diameter < 2nm
b.Mesopori : diameter 2 – 50 nm
c.Makropori : diameter > 50 nm

2.4 Tulang Ayam


Hampir seluruh rangka pada vertebrata termasuk kelas unggas terdiri atas
tulang, yang mempunyai fungsi utama (Yuwanta, 2004):
a. Proteksi
Tulang berfungsi melindungi organ-organ internal, seperti tengkorak yang
melindungi otak ataupun tulang iga yang melindungi usus dan paru-paru.
b. Pemberi bentuk
Tulang merupakan rangka di mana tubuh dapat terbentuk.
c. Produksi darah
Sumsum, terletak di dalam rongga tulang, berfungsi memproduksi darah
dalam proses yang dinamakan haematopoiesis.
d. Penyimpanan/cadangan mineral
Tulang berfungsi sebagai cadangan mineral-mineral penting bagi tubuh,
khususnya kalsium dan fosfor.
e. Pergerakan
Tulang, bersama sendi, tendon, otot dan ligamen, berfungsi bersama-sama
untuk menghasilkan dan mentransfer gaya sehingga tubuh dapat bergerak
dalam ruang tiga dimensi.
f. Keseimbangan asam dan basa
Tulang merupakan buffer darah terhadap perubahan pH yang drastis dengan
cara menyerap ataupun melepaskan garam-garam alkali.
Matriks-matriks ekstraselular dari jaringan keras tulang tersusun atas fasa-fasa
anorganik dan organik, fasa anorganik utama tersusun atas dari kristal-kristal
hidroksiapatit (HA), dan fasa organik terutama terdiri atas kolagen dan sejumlah kecil
senyawa lain termasuk glycosaminoglycans (GAGs), proteoglycans dan glikoprotein
(Sultana dalam Yildirim, 2004).
Secara kimiawi komposisi penyusun tulang pada basis berat, terdiri dari
kurang lebih 69% anorganik, 22% organik, dan 9% air. Sedangkan basis volume
yaitu 40% anorganik, 35% organik, dan 25% air. Fasa organik utama dari tulang
adalah collagen (90% berat) seperti ditunjukkan dalam tabel berikut:

Fasa utama anorganik dari tulang adalah sebuah mineral garam kristalin yang
merupakan kalsium fosfat dan sering kali diidealkan sebagai hidroksilapatit yang juga
disebut hidroksiapatit. Sedangkan fasa anorganik tulang selain hidroksiapatit adalah
garam-garam dari natrium, magnesium, kalium, klor, flour, dan sitrat dalam jumlah
yang bervariasi.
Kristal hidroksiapatit secara fisik merupakan material biokeramik dengan
struktur permukaannya yang memiliki pori-pori (Kubo, 2003). Hal ini ditunjukkan
gambar berikut:
Hidroksiapatit adalah mineral yang terjadi secara alami, dalam keadaan murni
berbentuk kristal putih dengan rumus Ca5(PO4)3(OH), tetapi biasanya ditulis
Ca10(PO4)6(OH)2. Secara teoritis hidroksiapatit, Ca10(PO4)6(OH)2 memiliki
kandungan (dalam % berat) kalsium 39,68 ; posfor 18,45. Perbandingan Ca/P sebesar
2,151 dan perbandingan molar Ca/P adalah 1,67 (Yildirim, 2004).
Material yang bersifat keramik secara umum memiliki kemampuan sebagai
adsorben, penyebabnya adalah permukaan material ini cenderung berpori-pori,
adanya gaya adhesi mengakibatkan material ini dapat menyerap zat-zat lain ke dalam
pori-porinya.
Hidroksiapatit sebagai salah satu material keramik sangat memungkinkan
memiliki kemampuan dalam mengadsorpsi zat-zat lain ke dalam pori-pori di
permukaannya.

Karakteristik Hidroksiapatit
a) Modulus elastisnya 85 GN m-2 dan kekuatan tariknya 40-100 MN m-2.
b) Hidroksiapatit yang berbasis senyawa kalsium fosfat yang mempunyai rumus
kimia Ca10 (PO4) 6 (OH) 2 merupakan bagian keluarga apatit (struktur kimia
sama tetapi komposisi kimia yang berbeda).
c) HA dapat diproduksi dalam 2 metode utama yaitu menggunakan bahan
mentah dari bahan alami (tulang sapi dan karang) dan secara sintetis.
Bahan alami sesuai karena memiliki koneksi pori-pori yang sama seperti
tulang manusia, namun masalah pencemaran dan benda asing yang ada telah
membatasi penggunaannya. Dengan demikian, produksi HA sintetis telah diberi
fokus secara meluas untuk mengatasi masalah tersebut.
Sifat mekanis merupakan faktor yang membatasi penggunaan Hidroksiapatit
(HA) sebagai implan pada bagian yang menanggung beban tinggi. Umumnya faktor
yang mempengaruhi sifat mekanis HA adalah bentuk serbuk, pori-pori dan besar
butir. Serbuk HA yang memiliki stoikiometri yang tepat yaitu rasio molar Ca/P
sebanyak 1,67 dapat menghasilkan sifat mekanis HA yang unggul. Pori-pori HA yang
letaknya tidak teratur dan tidak saling berhubungan satu sama lain ( tidak rekat)
menyebabkan pori-pori menjadi faktor yang melemahkan kekuatan bahan HA .
Ukuran butir juga menurunkan kekuatan bahan HA dengan mempengaruhi ikatan
antara butir .
Hidroksiapatit merupakan suatu kalsium fosfat yang banyak digunakan
sebagai material pengganti tulang atau untuk bone filler (pengisi tulang) karena
kemiripannya dengan struktur kimia tulang dan jaringan keras pada mamalia.
Material ini dapat mendorong pertumbuhan tulang baru, serta mempercepat proses
penyatuan tulang. Dengan sifat-sifat mekanik dan struktur kimia yang dimiliki
sehingga HA banyak digunakan sebagai implan tulang femur (paha) manusia dan
dalam aplikasi bidang medis lainnya.
Kelebihan dari hidroksiapatit sehingga cukup aman di gunakan sebagai bahan
implant adalah karena sifatnya yang non toxic, cepat membangun ikatan dengan
tulang (bioaktif), memiliki biokompatibilitas dengan jaringan sekitar dan dapat
mendorong pertumbuhan tulang baru dalam strukturnya yang berpori. Namun, pori-
pori Hidroksiapatit ini tidak teratur dalam bentuk dan ukuran serta tidak sepenuhnya
saling berhubungan satu sama lain. Hal ini menyebabkan porositas hidroksiapatit
yang dihasilkan rendah, akibatnya struktur keramik hidroksiapatit tidak kompak
sehingga apabila digunakan sebagai implant ortopedik karakteristiknya rapuh atau
mudah patah.
Karena hal tersebut, dikembangkanlah IP-CHA (Interconnecte Porous
Hydroxypatite Ceramics) yaitu hidroksiapatit yang memiliki pori-pori yang letaknya
teratur dan ukurannya seragam sehingga dapat meningkatkan kekerasannya ketika
digunakan sebagai material implan.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Alat dan Bahan Kimia yang Digunakan


3.1.1. Alat-alat
Alat yang dipakai pada penelitian ini yaitu:
1. Magnetic stirrer.
2. Hotplate (Thermolyne, Mirak).
3. Alat sentrifuga (Fisher Scientific).
4. Indikator universal (E merck).
5. Ayakan mesh ukuran 80 mesh.
6. Neraca analitis.
7. Termometer.
8. Kuvet.
9. Desikator.
10. Alat spektrofotometer uv-vis (Diode Array Spectrophotometer, hp 8452A).
11. Dan alat-alat gelas yang biasa digunakan di laboratorium.
3.1.2. Bahan Kimia yang Digunakan
Bahan kimia yang dipakai pada penelitian ini yaitu:
1. K2PtCl6 (Merck).
2. CoCl2. 6 H2O (Merck).
3. HCl pekat (p a).
4. Aquades.
5. Karbon aktif.
6. CaCO3 murni.
7. Air gambut di Desa Aek Lobu Hutabalang Kecamatan Badiri Kabupaten
(Divisi 3 PT AEP Perkebunan Kelapa Sawit) Tapanuli Tengah.
8. Tulang ayam (diperoleh dari dapur katering asrama SMA Negeri 1 Matauli
Pandan)
3.2. Prosedur Penelitian
3.2.1. Preparasi Serbuk Tulang Ayam
1. Tulang ayam dipisahkan bagian tulang rawannya dan dibersihkan dari
daging yang masih melekat
2. Lalu dipecah/dibelah dan dibersihkan dari sum-sum yang melekat dari
bagian dalamnya.
3. Tulang ayam dicuci dengan detergen dan dibilas dengan air sebanyak tiga
(3 kali lalu dibilas dengan aquadest.
4. Dikeringkan dengan terik matahari selama satu hari lalu digerus dan
diblender.
5. Serbuk dari tulang ayam selanjutnya diayak hingga ukuran 80 mesh,
selanjutnya serbuk tulang tersebut dioven selama 45 sampai 60 menit
sebelum digunakan.
3.2.2 Preparasi Larutan Induk (Larutan Skala Warna 500 ppm Pt-Co)
Larutan standar Pt-Co dibuat dengan melarutkan 1,246 gram kalium heksa
kloro platina (IV), K2PtCl6 (ekivalen dengan 500 mg logam platina), dan 1,00
gram kobal klorida, CoCl2.6 H2O (ekivalen dengan 250 mg kobal) dalam 600
mL aquadest. Kemudian ditambahkan 100 mL HCl pekat dan diencerkan
dengan aquadest hingga volume 1 liter. Larutan standar tersebut mempunyai
skala warna 500 ppm Pt-Co.

3.2.3. Pembuatan Larutan Standar Skala Warna 500 Pt-Co


Larutan standar Pt-Co dibuat sesuai dengan diagram alir pada gambar berikut:

3.2.4 Preparasi Kurva Kalibrasi Larutan Standar Pt-Co


1. Dari larutan induk skala warna 500 ppm Pt-Co dipipet sebanyak 0,5 mL lalu
dimasukkan ke dalam tabung Nessler 50 mL lalu diencerkan dengan aquadest
sampai garis tanda, sehingga diperoleh larutan warna standar skala 5 ppm
PtCo.
2. Dengan cara yang sama dari larutan induk skala warna 500 ppm Pt-Co dipipet
sebanyak 1,0 ; 1,5 ; 2,0 ; 2,5 ; 3,0 ; 3,5 ; 4,0 dan 4,5 mL. Lalu masing-masing
diencerkan dengan aquadest sampai garis tanda, sehingga diperoleh larutan
warna standar skala 10 ; 15 ; 20, 25 ; 30 ; 35 ; 40 dan 45 ppm Pt-Co.

3.2.5 Penentuan Panjang Gelombang Maksimum Larutan Standar


1.Diambil titik tengah dari larutan standar skala warna yang digunakan yaitu
konsentrasi 25 ppm Pt-Co, lalu dimasukkan ke dalam kuvet spektrofotometer
uv.
2.Pengikuran ini menghasilkan panjang gelombang maksimum dihasilkan 300
nm.

3.2.6 Identifikasi Warna Air Gambut


Warna air gambut diukur dengan alat spektrofotometer pada panjang
gelombang 300 nm larutan standar. Sebelum dilakukan pengukuran warna
dengan spektrofotometer, dibuat larutan standar warna dengan konsentrasi: 5,
10, 15, 20, 25, 30, 35, dan 40 Pt-Co dan diukur absorbannya pada panjang
gelombang 300 nm. Dari hasil pengukuran dibuat kurva standar antara
absorbansi terhadap konsentrasi warna (Pt-Co). Kurva standar ini selanjutnya
digunakan untuk menentukan konsentrasi warna air gambut sebagai fungsi
dari nilai absorbansi.

3.2.7 Pembuatan Kurva Kalibrasi Larutan Standar Pt-Co


Kurva standar dibuat dengan mengukur absorbansi larutan standar pada
panjang gelombang, Î = 300 nm
3.2.8 Penentuan Volume Optimal Air Gambut
1. Sebanyak 40 mL sampel air gambut dimasukkan ke dalam gelas beaker
dan ditambahkan 1 gram serbuk tulang ayam, diaduk dengan magnetik
stirer lalu disentrifuge, supernatan yang diperoleh diukur absorbansinya
dengan spektrofotometer uv-vis pada panjang gelombang 300 nm
2. Dengan cara yang sama dilakukan terhadap 50 ; 60 ; dan 70 mL sampel air
gambut dan diukur absorbansi masing-masing dengan spektrofotometer

3.2.9. Proses Penurunan Intensitas Warna Air Gambut


3.2.9.1. Pengaruh Massa Serbuk Tulang Ayam
Proses adsorpsi warna air gambut oleh adsorban serbuk dari tulang ayam
dilakukan dengan metode batch, yaitu sebagai berikut:
1. Ke dalam 50 mL air gambut ditambahkan serbuk dari tulang ayam yang
massanya divariasikan (0,5 ; 1,0 ; 1,5 ; 2,0 ; 2,5 dan 3,0 gram).
2. Selanjutnya masing-masing dilakukan pengadukan dengan menggunakan
magnetic stirrer pada suhu kamar selama 30 menit.
3. Kemudian masing-masing campuran air gambut dan serbuk dari tulang
ayam dipisahkan dengan cara disentrifuge selama 15 menit dengan
kecepatan 400 rpm.
4. Tiap supernatan yang diperoleh didekantasi dan diukur absorbansinya
dengan spektrofotometer sinar tampak (uv-vis) pada panjang gelombang
yang sesuai.
3.2.9.2. Pengaruh Waktu Kontak
Untuk pengaruh waktu ini massa serbuk dari tulang ayam yang digunakan
sebanyak 5 gram, dengan prosedur sebagai berikut:
1. Ke dalam 50 mL air gambut ditambahkan serbuk dari tulang ayam yang
massanya 2,5 g (Perbandingan serbuk tulang ayam dengan air gambut = 1
: 20).
2. Selanjutnya masing-masing dilakukan pengadukan dengan menggunakan
magnetic stirrer pada suhu kamar. Pengadukan dilakukan dengan waktu
kontak bervariasi (10 ; 20 ; 30 ; 40, 50 dan 60 menit).
3. Kemudian masing-masing campuran air gambut dan serbuk dari tulang
ayam dipisahkan dengan cara disentrifuge selama 15 menit dengan
kecepatan 400 rpm.
4. Tiap supernatan yang diperoleh didekantasi dan diukur absorbansinya
dengan spektrofotometer sinar tampak (uv-vis) pada panjang gelombang
yang sesuai.
3.2.9.3. Perbandingan Serbuk Tulang Ayam, Karbon Aktif, dan Kalsium
Karbonat dalam Penurunan Intensitas Warna Air Gambut Massa, ukuran
kehalusan partikel (mesh), banyaknya air gambut sampel, waktu kontak antara
serbuk tulang ayam dan karon aktif yang ditambahkan dibuat sama demikian
juga dengan pH sistem (bila perlu).
1. Ke dalam 50 mL air gambut ditambahkan serbuk tulang ayam (1,5 ; 2,0
dan 2,5 g).
2. Selanjutnya masing-masing dilakukan pengadukan dengan menggunakan
magnetic stirrer pada suhu kamar selama 30 menit.
3. Kemudian masing-masing campuran air gambut dan serbuk dari tulang
ayamdipisahkan dengan cara disentrifuge selama 15 menit dengan
kecepatan 400 rpm.
4. Tiap supernatan yang diperoleh didekantasi dan diukur absorbansinya
dengan spektrofotometer sinar tampak (uv-vis) pada panjang gelombang
yang sesuai.

Dengan cara yang sama dengan mengganti serbuk tulang ayam dengan
karbon aktif dan kalsium karbonat.
3.3. Bagan Penelitian
3.3.1. Dengan Massa Sebagai Variabel
3.3.2. Dengan Waktu Kontak Sebagai Variabel
DAFTAR PUSTAKA

Effendi, Hefni. 2006. Telaah Kualitas Air. Kanisius. Yogyakarta. Hal. 61-62
Elisa. 2008. Reaksi Kimia Tanah. http://elisa.ugm.ac.id. akses, 20 November 2012
Kusnaedi. 2006. Mengolah Air Gambut dan Kotor untuk Air Minum. Penebar
Swadaya. Jakarta. Hal. 17-20
Syarfi, Syamsu Herman. 2007. Rejeksi Zat Organik Air Gambut dengan Membran
Ultra filtrasi. Jurnal Sains dan Teknologi. Jakarta. Vol. XII. hal. 9-14
Tjahyono, Eko. 2007. Kajian Potensi Endapan Gambut Indonesia Berdasarkan Aspek
Lingkungan, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Jakarta.
Hal. 6 14
Anonymous, a. 2012. http://infosaya.meugah.com/2012/03/bahan-organik-tanah.html
Anonymous,b.2012.http://cms.1m-bio.com/bahan-organik/
Arsyad,S. 1979. Konservasi Tanah.Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian,IPB. Bogor.

Anda mungkin juga menyukai