Anda di halaman 1dari 3

A.

Diagnosa Keperawatan

Pada tahap ini, kelompok mengumpulkan data baik data mayor ataupun data minor yang
didapat dari proses pengkajian untuk melanjutkan diinterpretasikan pada analisa data
sehingga muncul beberapa masalah keperawatan. Dari masalah keperawatan tersebut
dihubungkan dalam pohon masalah, untuk mendapatkan diagnose keperawatan. Pada saat
merumuskan diagnosa keperawatan tidak ditemukan kesenjangan antara teori dan kasus
pada teori, diagnosa untuk masalah utama Harga diri rendah ada 5, yaitu koping individu
tidak efektif, isolasi sosial, defisit perawatan diri,dan gangguan persepsi sensori:halusinasi,
risiko perilaku kekerasan.

Masalah tersebut diangkat menjadi salah satu masalah keperawatan oleh kelompok
dikarenakan pada kasus ditemukan data yang menunjang baik secara subjektif maupun
objektif. Pada kasus diagnosa keperawatan yang menjadi prioritas utama adalah harga diri
rendah. Diagnosa ini dijadikan prioritas utama karena didapatkan dari keadaan klien bahwa
klien

Faktor pendukung yang penulis temukan dalam menegakan diagnosa keperawatan yaitu
adanya kesesuaian data yang ada dikasus untuk merumuskan diagnosa keperawatan serta
adanya sumber literatur yang mempermudah merumuskan diagnosa keperawatan.

Faktor penghambat yang penulis temukan yaitu

Solusi yang penulis temukan adalah berkonsultasi dengan pembimbing yang ada di
ruangan, berdiskusi dengan kelompok, serta membaca literatur yang berhubungan dengan
keperawatan jiwa, khususnya asuhan keperawatan jiwa pada Tn A dengan masalah utama
Harga Diri Rendah

B. Rencana Keperawatan
Pada saat menyusun rencana keperawatan, penulis tidak mendapat kesenjangan antara teori
dan kasus, karena pada teori dan kasus tujuan dan kriteria hasil mengacu pada konsep
SMART yaitu Specific ( dapat dirinci ) , Measureable ( dapat diukur) Achievable ( dapat
dicapai), Reasonable ( masuk akal), Time bounding ( terdapt batasan waktu). Untuk
merencana keperawatan yang bersifat konsistensi berdasarkan prinsip ilmiah ( rasional )
dan berdasarkan situasi klien. Pada teori, rencana keperawatan dijabarkan seluruhnya,
sedangkan pada kasus Tn. B, penulis hanya memasukan rencana keperawatan yang bersifat
operasional yang sesuai dengan kebutuhan Tn. B. faktor pendukung pada penyusunan
rencana keperawatan adalah adanya pedoman yang sudah terstandarisasi yaitu adanya
tujuan umum, tujuan khusus kriteria hasil, dan rencana tindakan keperawatan yang sesuai

51
dengan literatur. Penulis tidak menemukan faktor penghambat dalam menyusun rencana
keperawatan.

C. Pelaksanaan Keperawatan
Pada saat pelaksanaan ditemukan kesenjangan antara teori dan kasus. Pada teori diagnosa
isolasi sosial terdapat SP untuk klien dan keluarga, sedangkan dalam kasus, strategi
keperawatan hanya dilakukan pada klien. Penulis tidak melaksanakan SP pada keluarga
selama melakukan tindakan keperawatan. SP pada diagnosa ini telah dilakukan secara
keseluruhan yaitu mengidentifikasi penyebab isolasi sosial, mendiskusikan keuntungan
berinteraksi dengan teman serta kerugian tidak berinteraksi dengan oranglain, mengajarkan
klien berkenalan, memberikan kesempatan klien berkenalan dengan dengan oranglain,
serta memberikan klien kesempatan berkenalan dengan dua orang atau lebih.
Pada diagnosa harga diri rendah, strategi pelaksanaan yang dilakukan yaitu 2 strategi
pelaksanaan pada klien. Strategi pelaksanaan yang dilakukan yaitu 2 strategi pelaksanaan
pada klien. Strategi pelaksanaan yang dilakukan yaitu mengidentifikasi kemampuan
melakukan kegiatan, aspek positif klien, menilai kegiatan yang dapat dilakukan, memilih
kegiatan yang dapat dilakukan klien.
Pada diagnosa defisit keperawatan diri pelaksanaan yang dilakukan yaitu 4 strategi
pelasanaan pada klien. Strategi yang dilakukan adalah mendiskusikan dengan klien
penyebab klien tidak merawat diri, mendiskusikan manfaat menjaga perawatan diri dan
kerugian tidak menjaga perawatan diri, mengajarkan klien cara merawat diri: mandi,
keramas, gosok gigi, berpakaian, makan dan minum, BAB BAK, dan berhias, membantu
klien melakukan perawatan diri: mandi, keramas, gosok gigi, berpakaian, makan dan
minum, BAB BAK.
Pada diagnosa risiko gangguan persepsi sensori : Halusinasi pendengaran, strategi
pelaksanaan pada klien yaitu mengidentifikasi halusinasi (jenis, isi, frekuensi, waktu
terjadi, siatuasi pencetus dan respon), menjelaskan cara mengontrol halusinasi (hardik,
obat, bercakap-cakap, dan kegiatan), melatih cara mengontrol halusinasi dengan
menghardik dan melatih mengontrol halusinasi dengan obat.
Pada diagnosa risiko perilaku kekerasan strategi pelaksanaan yang dilakukan yaitu 4
strategi pelaksanaan pada klien. Membantu klien mengungkapkan perasaan marahnya,
mengindentifikasi penyebab marah, mendiskusikan tanda-tanda perilaku kekerasan yang
dialami oleh klien, mendiskusikan dengan klien kerugian pada diri sendiri, oranglain atau
keluarga dan lingkungan, mengajarkan klien cara mengontrol marah perilaku kekerasan
(fisik : tarik napas dalam dalam dan memukul bantal, obat, verbal dan spiritual).

D. Evaluasi

52
Evaluasi merupakan tahap akhir dari proses keperawatan. Evaluasi adalah upaya untuk
menilai tindakan keperawatan yang telah dilakukan dalam mengatasi masalah klien.
Evaluasi dilakukan setiap hari dengan melihat perubahan perilaku klien dengan tujuan yang
diharapkan dalam melakukan asuhan keperawatan. Pada kasus Tn. B ditemukan lima
diagnosa, yaitu isolasi sosial, harga diri rendah, defisit perawatan diri, risiko gangguan
persepsi sensori : Halusinasi pendengaran, dan risiko perilaku kekerasan. Kelima diagnosa
tersebut dibuat evaluasinya. Klien telah membina hubungan saling percaya dengan
perawat, klien dapat melatih dan mengendalikan dari setiap diagnosa dan melakukan
kegiatan harian yang telah dibuat pada jadwal kegiatan. Faktor pendukung tercapainya
tujuan rencana tindakan keperawatan yang telah dibuat pada tahap evaluasi keperawatan
adalah adanya kerjasama yang baik antara Tn. B dan perawat di ruang shinta sedangkan
faktor penghambat evaluasi tidak ditemukan.

53

Anda mungkin juga menyukai