PENDAHULUAN
terletak di antara duramater dan lapisan araknoid. SDH dikategorikan menjadi akut, subakut
dan kronis berdasar waktu terjadinya perdarahan, SDH akut (ASDH) merupakan SDH yang
terjadi sampai hari ketiga. SDH subakut terjadi pada hari keempat hingga hari ke 20. SDH
yang lebih dari 20 hari merupakan SDG kronis. Penyebab terbanyak dari ASDH adalah
sehingga diperlukan penegakan diagnosis dan tatalaksana yang cepat. Kemajuan di bidang
kedokteran dan teknologi pembedahan tidak diikuti dengan penurunan mortalitas pada
ASDH. Angka mortalitas ASDH masih tinggi, sekitar 11.6% - 16.0%. (Lv et al, 2018) Pada
kasus traumatik ASDH, mortalitas dapat mencapai 90%. (Alshora et al, 2018). ASDH adalah
salah satu diagnosis yang paling sering ditemukan di bidang bedah saraf dan memiliki
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
terletak di antara duramater dan lapisan araknoid. SDH adalah salah satu diagnosis yang
2.2 Epidemiologi
Secara umum, angka kejadian SDH pada dewasa dapat mencapai 80 kasus per
100.000 inidividu tiap tahunnya. Angka ini berbeda pada populasi anak-anak, sekitar 40
kasus per 100.000 individu per tahun. Pada kelompok bayi dan balita, angka kejadian SDH
diperkirakan lebih besar, terkait dengan kejadian trauma saat persalinan, hidrosefalus,
penyakit hematologi, malformasi vaskular, infeksi dan penyakit genetik. (Alshora et al,
2018) Hingga saat ini, belum didapatkan laporan mengenai angka kejadian traumatik ASDH
secara pasti, namun beberapa peneliti melaporkan kejadian ASDH didapatkan pada sekitar
10% hingga 20% pasien dengan cedera otak. (Bobeff et al, 2018)
2.3 Patofisiologi
permukaan dari arteri atau vena kortikal, (ii) robekan bridging vein dari korteks menuju sinus
dan (iii) perdarahan yang berasal dari kerusakan parenkim otak. Sebelum memasuki sinus,
bridging vein memiliki bagian kecil yang berada di area intradura yang menjadikannya
rentan secara anatomis untuk terjadi robekan pada keadaan cedera otak. (Hong et al, 2018)
Sub dural hematom biasa terjadi pada pasien yang mengalami cedera otak traumatis
yang biasanya didapatkan dari kecelakaan lalu lintas, jatuh dengan benturan di kepala, atau
pukulan keras yang mengenai daerah kepala. Pasien akan mengeluhkan sakit kepala dan
riwayat muntah proyektil. Prevalensi subdural hematom dapat mencapai 20% pada pasien
Riwayat penggunaan obat antiplatelet dan antikoagulan menjadi hal yang harus
ditanyakan, terutama pada pasien usia tua dengan mekanisme cedera kepala ringan, yang
tidak sesuai dengan penampilan klinis yang menunjukkan gangguan neurologis cukup berat
(Poon et al, 2018), bahkan pada pemakaian rutin, SDH dapat terjadi secara spontan (Alshora
Shaken baby syndrome selama ini digunakan untuk merujuk pada anak-anak yang
mengalami cedera neurologis karena kesalahan pola asuh, namun saat ini istilah abusive
head trauma (AHT) lebih tepat digunakan. AHT menggambarkan trauma system saraf yang
disebabkan oleh kelalaian, penganiayaan ataupun kekerasan yang dilakukan pada anak, yang
salah satunya dapat menyebabkan sub dural hematom (Gunda et al, 2018).
pada pasien cedera kepala. Berdasarkan Hukum Monro Kelli, bahwa volume kepala harus
dalam keadaan statis, akan menyebabkan peningkatan tekanan jika terjadi penambahan
volume yang berasal dari pembuluh darah yang pecah pada SDH, sehingga akan
memunculkan gejala peningkatan tekanan intracranial. Triad Cushing yang terdiri dari
hipertensi, bradikardia dan respirasi yang ireguler agar terlihat sebagai gejala awal
peningkatan tekanan intracranial. Selanjutkan akan diikuti dengan gangguan neurologis
seperti papil edema, pupil anisokor, lateralisasi, kejang, dan penurunan kesadaran (Alshora
Pada abusive head trauma, dapat juga ditemukan luka atau lebam di bagian tubuh
2.5.1 CT Scan
SDH adalah hematoma yang terakumulasi antara lapisan dalam dari dura dan
arachnoid, untuk menjadi gejala klinis dalam waktu 24 - 72 jam. Pada CT scan non-kontras,
SDH akut muncul sebagai hyperdense (putih), massa berbentuk bulan sabit antara tabula
interna tengkorak dan permukaan otak. SDH akut biasanya unilateral. CT scan memiliki
beberapa keunggulan pada penegakan diagnosis SDH. CT scan memiliki ketersediaan yang
luas pada setiap pusat trauma dan rumah sakit, memberikan hasil yangcepat, dan nilai
sensitivitas dan spesifisitas tinggi, hingga 96% dan 98% (Alshora et al, 2018). Pada
pencitraan CT Scan, SDH akut muncul kresentik atau bulan sabit. Pendarahannya bisa
mencapai garis sutura namun tidak melewati falx atau tentorium. Pasien yang menunjukkan
sah pada CT dini adalah mereka yang berisiko paling tinggi untuk kontusio yang
berkembang. Adanya kontusi di berbagai area pada otak dan perkembangan edema otak
adalah pertanda suatu prognosis yang buruk. CT Scan sekuens rutin dilakukan terutama pada
pasien cedera kepala. Tampilan isodense hingga hypodense muncul pada CT Scan pasien
anemia akut dan hemodilusi (Balasubramanian et al, 2018; Vacca et al, 2018).
2.5.2 MRI
Teknik pencitraan MRI masih lebih disukai karena sensitivitas dan spesifisitas yang
mencapai 100%, kemampuan untuk mendeteksi perdarahan minimal, dan kemampuan untuk
mengidentifikasi etiologi. MRI dan CT Scan mampu memberikan data tentang kronisitas
dari pendarahaan, pelebaran dari sisterna basalis, dan penjepitan ventrikel. (Alshora et al,
2018). MRI tidak secara rutin memiliki peran dalam diagnosis SDH kronis, tetapi itu dapat
dilakukan ketika SDH dicurigai tetapi tidak ditunjukkan pada CT scan (Vacca et al, 2018).
2.5.3 MRA
MRA biasanya dilakukan tanpa agen kontras intravena. Ini bergantung pada sifat magnetik
2.6 Tatalaksana
2.6.1 Medikamentosa
Terapi medika mentosa adalah terapi suportif pada pasien cedera kepala. Pemberian
medika Kejang merupakan hal yang masih menjadi perdebatan mengenai tatalaksananya.
pasien yang mengalami hematoma subdural traumatis. Kejang dapat dikaitkan dengan hasil
yang buruk karena efeknya dalam meningkatkan metabolisme dan meningkatkan tekanan
kejang.
2.6.2 Pembedahan
Pengobatan standar untuk hematoma subdural akut (ASDH) adalah kraniotomi yang
luas dan kraniektomi dekompresi untuk mencegah kerusakan otak sekunder. Karena sifatnya
yang invasif, prosedur ini memiliki risiko waktu operasi yang lama, kehilangan darah yang
Beberapa pusat departemen bedah saraf, kraniotomi yang luas menjadi pengobatan
pilihan pertama untuk ASDH. Sementara beberapa penelitian telah melaporkan pendekatan
sebagai berikut: 1) adanya gejala; 2) tidak ada kontusi atau edema otak sedang atau masif;
dan 3) ketidakmampuan untuk menggunakan kraniotomi besar karena kondisi umum yang
buruk atau tidak adanya anestesi. Semua pasien menjalani operasi segera setelah onset
Semua operasi dilakukan dengan anestesi umum atau lokal. Pasien ditempatkan pada
posisi terlentang dan kepala diposisikan 20 ke atas dan diputar 30 ke arah sisi kontralateral
hematoma. Sayatan kulit sekitar 5 cm dibuat pada cembung di mana hematoma adalah yang
paling tebal dan 2 lubang duri dibuat untuk kraniotomi kecil (sekitar 3 cm). Kraniotomi kecil
ini cukup lebar untuk insersi dan manuver neuroendoskop dan instrumen bedah saraf ordinal.
Jika hematoma sulit, itu dihilangkan dengan menggunakan forsep. Dalam kasus
perdarahan dari pembuluh di permukaan otak, forsep koagulasi bipolar ditempatkan pada
titik perdarahan dan pembuluh darah perdarahan dikoagulasi. Ruang subdural diirigasi
dengan larutan isoterm isoterm isotonik. Akhirnya, kateter yang menguras diperkenalkan di
rongga hematoma di bawah bimbingan endoskopi untuk menghindari cedera pada korteks.
Flap tulang diperbaiki dengan 2 pelat titanium dan debu tulang autologous untuk menutupi
permukaan kortikal, merobek pembuluh darah, dan evakuasi hematoma yang tidak
memadai. Ada juga tambahan waktu persiapan untuk pemasangan endoskopi dan rantai
kraniotomi kecil menghalangi kemungkinan operasi dekompresi eksternal, teknik ini tidak
cocok untuk kasus dengan kontusio parah atau pembengkakan. Lebih jauh, tidak mudah
untuk memprediksi apakah kontusio otak atau edema serebral akan memburuk sebelum
operasi. Untuk alasan ini, penggunaan teknik endoskopi dan kraniotomi kecil harus
2.7 Prognosis
Prognosis dalam kasus cedera kepala berkaitan erat dengan nilai GCS, abnormalitas
pupil, dan usia. Penambahan usia menyebabkan berkurangnya kapasitas fisiologis tubuh
untuk mengakomodir perubahan-perubahan yang terjadi akibat trauma. Selain itu, pasien
usia lanjut mungkin memiliki penyakit komorbid seperti diabetes, hipertensi, dan penyakit
jantung, serta mungkin mengonsumsi obat-obatan rutin seperti antikoagulan (Evans, 2018).
menunjukkan bahwa terdapat tiga hal yang secara signifikan memengaruhi luaran pasien,
yaitu adanya koagulopati, waktu penanganan awal > 3 jam sejak masuk rumah sakit, dan
1. Alshora, W., Alfageeh, M., Alshahrani, S., Alqahtani, S., Dajam, A., Matar, M., et
3. Evans, LR., Jones, J., Lee, HQ., Gantner, D., Jaison, A., Matthew, J., et al.Prognosis
Neurotrauma. 2018.
4. Gelsomino, M., Awad, AJ., Gerndt, C., Nguyen, HS., Doan, N., Mueller, W.
5. Gunda, D., Cornwell, B. O., Dahmoush, H. M., Jazbeh, S., & Alleman, A. M. (2018).
6. Hong, SO., Kang, DS., Kong, SY., Kim, JH., Song, KY. Development of Delayed
Acute Subdural Hematoma after Mild Traumatic Brain Injury: A Case Report.
8. Poon, M. T. C., Rea, C., Kolias, A. G., & Brennan, P. M. Influence of antiplatelet