PENDAHULUAN
Trauma dada, yang umumnya berupa trauma tumpul, kebanyakan disebabkan oleh
kecelakaan lalu lintas. Trauma tajam terutama disebabkan oleh tikaman dan tembakan.
Cedera dada sering disertai dengan cedera perut, kepala, dan ekstremitas sehingga merupakan
cedera majemuk.1
Hemothorax adalah salah satu kelainan paling sering dari trauma toraks. Deteksi dini
penanganan hemothorax sangat penting dalam prognosis pasien. Sekitar 60% dari banyaknya
trauma terkait dengan trauma toraks. 150.000 orang Amerika mati karena trauma setiap tahun
dan itu adalah penyebab kematian paling umum dalam populasi <40 tahun. Seperempat dari
kematian terutama terkait dengan trauma dada. Kematian terkait dengan pembuluh darah
besar atau cedera jantung signifikan, dengan> 50% pasien meninggal dan kurang dari 10-
15% bertahan sampai masuk rumah sakit dengan tanda-tanda vital yang kritis. 4
1
Pneumotoraks adalah adanya udara dalam rongga pleura. Pneumotoraks dapat terjadi
spontan atau karena trauma (British Thoracic Society 2003). Johnson dan Dovnarsky
(Appley, 2000) memperkirakan kejadian pneumotoraks berkisar antara 2,4 – 17,8 per
100.000 per tahun. Beberapa karakteristik pada pneumotoraks antara lain : laki-laki lebih
sering daripada wanita (4 : 1), paling sering pada usia 20-30 tahun. Angka kejadian di
Inggris, laki-laki 24 per 100.000 penduduk dan perempuan 9,8 per 100.000 penduduk per
tahun. Penelitian Khan,dkk pada tahun 2009 di Pakistan kasus pneumotoraks laki-laki
63,58% dan perempuan 36,42%. 5
Mayoritas penderita pneumotoraks spontan tipe primer berada pada golongan usia 21-
30 tahun, sedangkan penderita pneumotoraks spontan tipe sekunder banyak terlihat pada
rentang usia 31 – 40 tahun. Fahad Alhameed menyebutkan bahwa pneumotorak spontan tipe
sekunder banyak terjadi pada penderita diatas 60 tahun karena usia diatas 60 tahun adalah
puncak insiden terjadinya penyakit paru yang merupakan pencetus pneumotoraks spontan
tipe sekunder, namun sebenarnya penyakit paru bisa terjadi pada golongan usia manapun,
baik muda maupun tua. 6
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. DEFINISI
Trauma toraks merupakan trauma yang mengenai dinding toraks dan atau organ intra
toraks, baik karena trauma tumpul maupun oleh karena trauma tajam.1
2.2. EPIDEMIOLOGI
Trauma toraks menempati urutan ketiga setelah cedera kepala dan trauma pada
ekstremitas akibat kecelakaan di Amerika Serikat. Penyebab trauma toraks tersering adalah
kecelakaan kendaraan bermotor sebesar 70%. Kebanyakan dari trauma toraks termasuk
cedera keparahan sedang dan jarang memerlukan tindakan bedah. Mayoritas dari trauma
toraks memerlukan pengawasan yang cermat untuk mengidentifikasi pasien yang
memerlukan tindakan operasi. Peningkatan keamanan dalam berkendara, moderasi kecepatan
dan tingkat pendidikan dapat mengurangi insiden dan keparahan pada trauma toraks. 7
2.3. ETIOLOGI
Trauma pada toraks dapat dibagi 2 yaitu oleh karena trauma tumpul dan trauma tajam.
Penyebab trauma toraks tersering adalah oleh karena kecelakaan kendaraan bermotor (63-
78%). Dalam trauma akibat kecelakaan, ada lima jenis tabrakan (impact) yang berbeda, yaitu
depan, samping, belakang, berputar dan terguling. Oleh karena itu harus dipertimbangkan
untuk mendapatkan riwayat yang lengkap karena setiap orang memiliki pola trauma yang
berbeda. Penyebab trauma toraks oleh karena trauma tajam dibedakan menjadi 3, berdasarkan
tingkat energinya yaitu: trauma tusuk atau tembak dengan energi rendah, berenergi sedang
dengan kecepatan kurang dari 1500 kaki per detik (seperti pistol) dan trauma toraks oleh
karena proyektil berenergi tinggi (senjata militer) dengan kecepatan melebihi 3000 kaki per
detik. Penyebab trauma toraks yang lain oleh karena adanya tekanan yang berlebihan pada
paru-paru bisa menimbulkan pecah atau pneumotoraks (seperti pada scuba).1
3
2.4. ANATOMI DAN FISIOLOGI 8
Dinding toraks (dada) secara anatomi tersusun dari kulit, fasia, otot dada, jurai
neurovaskular pada dinding dada serta kerangka dada. Kerangka dada sendiri terdiri dari
sternum, 12 pasang tulang iga beserta tulang rawan iga, dan vertebra torakalis beserta diskus
invertebralis. Otot dada terdiri atas dua bagian, yaitu otot intrinsik yang membentuk dinding
dada yang sesungguhnya, serta otot ekstrinsik yang berperan pada gerakan dada, seperti otot
ekstremitas superior, otot dinding abdomen dan punggung. Otot instrinsik terdiri dari 3
lapisan, yaitu lapisan luar, tengah dan dalam. Lapisan luar tersusun atas m.interkostalis
eksternus dan m.levatores kostarum, lapisan tengah hanya dibentuk oleh m.interkostalis
internus, sedangkan lapisan dalam disusun oleh m.interkostalis intimus, m.subkostalis, dan
m.tranversus kostalis. Jurai neurovaskular pada dinding dada terletak pada sulkus kosta
diantara m.interkostalis internus dan m.interkostalis intimus. Rongga dada diatas dibatasi
oleh thoracic outlet (pintu atas dada) yaitu bidang yang dibatasi oleh tulang belakang, iga I,
dan manubrium sternum, sedangkan dibawah, rongga dada (kavum toraks) dipisahkan dari
rongga perut oleh diafragma. Fungsi dinding dada tidak hanya melindungi isi rongga dada
tetapi juga menyediakan fungsi mekanik pernapasan. Isi rongga dada adalah organ vital paru
dan jantung.
Jika terjadi gagal napas karena otot pernapasan tidak bekerja, ventilasi paru dapat
dilakukan dengan tiupan udara yang cukup kuat agar paru mengembang bersamaan dengan
mengembangnya dada. Kekuatan tiupan harus melebihi kelenturan dinding dada, kekenyalan
jaringan paru, dan tekanan intraabdomen. Hal ini dilakukan pada ventilasi dengan respirator
atau pada resusitasi dengan napas buatan dari mulut kemulut.
Adanya lubang di dinding dada atau pleura viseralis akan menyebabkan udara masuk
ke rongga pleura sehingga pleura viseralis terlepas dari pleura parietalis dan paru tidak lagi
mengikuti gerak napas dinding dada dan diafragma. Hal ini terjadi pada pneumotoraks. Jika
dipasang penyalir tertutup bertekanan negatif, udara akan terisap sehingga paru dapat
dikembangkan lagi.
Pada trauma dada, penyebab cedera harus ditentukan dahulu, kemudian baru
ditentukan macamnya, entah cedera tumpul atau tajam. Trauma dada yang umumnya berupa
trauma tumpul, kebanyakan disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas. Trauma tajam terutama
disebabkan oleh tikaman dan tembakan. Cedera dada sering disertai dengan cedera perut,
kepala, dan ekstremitas sehingga merupakan cedera majemuk.
Cedera dada yang memerlukan tindak darurat adalah obstruksi jalan napas,
hemotoraks besar, tamponade jantung, pneumotoraks desak, flail chest (dada gail),
pneumotoraks terbuka, dan kebocoran udara trakea bronkus (lihat Tabel 2-1). Semua
kelainan ini menyebabkan gawat dada akut yang analog dengan gawat perut akut, dalam arti
5
diagnosis harus ditegakkan secepat mungkin dan penanganan dilakukan segera untuk
mempertahankan pernapasan, ventilasi paru, dan pendarahan. Sering kali tindakan yang
dilakukan untuk menyelamatkan penderita bukan merupakan tindak operasi seperti
pembebasan jalan napas, aspirasi rongga pleura, aspirasi rongga perikard, dan penutupan
sementara luka dada. Akan tetapi, kadang diperlukan torakotomi darurat. Luka tembus dada
harus segera ditutup dengan jahitan kedap udara.
Tindakan darurat yang perlu dilakukan ialah pembebasan jalan napas (airway),
pemberian napas buatan dan ventilasi paru (breathing), dan pemantauan aktivitas jantung
serta peredaran darah (circulation). Tindakan darurat juga mencakup pungsi rongga dada
pada pneumotoraks desak, aspirasi hemotoraks masif, dan aspirasi perikard jika
hematoperikard menyebabkan tamponade jantung. Selanjutnya, harus dilakukan pemeriksaan
rontgen toraks pada sikap penderita duduk dengan arah sinar mendatar agar permukaan
cairan, jika ada, tampak. Bila keadaan umum tidak memungkinkan penderita duduk, ia
dibaringkan pada sisi kiri atau sisi kanan.
Penyebab Diagnosis
Obstruksi jalan napas - Sianosis, pucat, stridor
- Kontraksi otot bantu napas tambahan
- Retraksi supraklavikula dan interkostal
6
- Suara napas berkurang
- Sesak napas progresif
- Emfisema subkutis
- Trakea terdorong kesisi sebelah
Pada penanganan trauma dada, penanganan operatif merupakan indikasi jika didapati
adanya trauma tembus, dan eksplorasi rongga dada hendaknya dilakukan jikalau ada dugaan
penetrasi ke rongga pleura. Sumber perdarahan harus didiagnosis seakurat mungkin, seperti
trauma pada dinding rongga dada, trauma pada paru, mediastinum, serta sumber perdarahan
lainnya. Eksplorasi rongga dada juga sangat berguna dalam penanganan hematotoraks dan
kobocoran udara yang persisten, karena jika keadaan tersebut tidak ditangani dengan baik,
angka kematian, waktu tinggal di rumah sakit dan sekuele akan meningkat.
2.6 HEMOTORAKS
2.6.1 DEFINISI
7
2.6.2 ETIOLOGI
Penyebab utama adalah laserasi paru, atau laserasi dari pembuluh darah interkosta
atau arteri mamaria interna akibat trauma tajam atau tumpul. Dislokasi fraktur dari vertebra
torakal juga dapat menyebabkan terjadinya hemotoraks. Biasanya perdarahan berhenti
spontan dan tidak memerlukan intervensi operasi. Hemotoraks akut yang cukup banyak
sehingga terlihat pada foto toraks, sebaiknya diterapi dengan selang dada kaliber besar.
Selang dada tersebut akan mengeluarkan darah dari rongga pleura, mengurangi resiko
terbentuknya bekuan darah di dalam rongga pleura, dan dapat dipakai dalam memonitor
kehilangan darah selanjutnya. Evakuasi darah atau cairan juga memungkinkan dilakukannya
penilaian terhadap kemungkinan terjadinya ruptur diafragma traumatik. Walaupun banyak
faktor yang berperan dalam memutuskan perlunya indikasi operasi pada penderita
hemotoraks, status fisiologi dan volume darah yang keluran dari selang dada merupakan
faktor utama. Sebagai patokan bila darah yang dikeluarkan secara cepat dari selang dada
sebanyak 1.500 ml, atau bila darah yang keluar lebih dari 250 ml tiap 3 jam berturut-turut,
atau jika membutuhkan transfusi darah terus menerus, eksplorasi bedah herus
dipertimbangkan. 10
2.6.3 PATOGENESIS 9
Perdarahan ke rongga pleura dapat terjadi karena jejas ekstrapleura atau jejas intrapleura.
▪ Jejas ektrapleura
Trauma pada jaringan dinding dada dapat menyebabkab gangguan membran pleura
sehingga menyebabkan darah terkumpul pada rongga pleura. Sumber perdarahan pada jejas
ekstrapleura adalah arteri mamaria intern dan arteri interkosta.
▪ Jejas intrapleura
Jejas tumpul atau tajam yang mengenai seluruh struktur intratoraks yang dapat
menyebabkan hematotoraks. Biasanya jejas terhadap arteri atau vena besar dalam toraks atau
jantung dapat menyebabkan hematotoraks masif.
8
2.6.4 PATOFISIOLOGI 9
Respon fisiologis yang muncul dapat dibagi menjadi respon hemodinamik dan respon
respiratorik. Respon hemodinamik yang muncul adalah tanda dan gejala syok apabila terjadi
kehilangan darah 30% atau lebih dari 1500 ml. Respon respiratorik dapat berupa sesak napas
atau takipnea. Apabila tidak ditangani dengan tepat, hemotoraks dapat berkembang menjadi
empiema karena terjadi infeksi dan fibrotoraks di mana terdapat endapan fibrin yang
membatasi ekspansi maksimal rongga dada.
Pasien biasanya mengeluhkan nyeri dada dan sesak napas. Kecepatan munculnya
gejala bergantung kepada etiologi yang mendasari. Pada trauma gejala muncul cepat
sedangkan pada metastasis tumor gejala muncul perlahan.
2.6.6 DIAGNOSIS9
diagnosis hematotoraks ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan
penunjang.
Anamnesis
▪ pada kasus trauma perlu ditanyakan jenis trauma, mekanisme jejas, waktu terjadinya,dsb;
▪ Keluhan : nyeri dada dan sesak napas, serta waktu muncul dan progresi gejala.
Pemeriksaan Fisis
▪ perkusi : pekak dengan batas seperti garis miring atau mungkin tidak jelas;
9
Pemeriksaan penunjang
▪ rontgen dada
▪ produksi cairan dari pleurosentesis atau water sealed drainage (WSD). Jumlah darah yang
terkumpul dapat dihitung dari produksi cairan tersebut.
Prinsip utama tata laksana hemotoraks adalah dekompresi dengan pemasangan WSD.
Pada hematotoraks masif perlu dilakukan pengembalian volume darah dengan pemasangan
akses intravena dan pemberian cairan kristaloid cepat serta transfusi darah sambil dilakukan
persiapan pemasangan WSD. Insersi jarum (ukuran 38 French) dilakukan pada kadar puting
payudara, sebelah anterior linea midaksila ipsilateral.
Apabila keluarnya darah dari rongga pleura sebanyak 1500ml atau 200ml/jam selama
2-4 jam atau 3-5cc selama 3 jam berturut-turut atau lebih dari 5cc/KgBB/jam, harus
dilakukan torakotomi cito untuk menghentikan perdarahan karena dapat terjadi syok. Pada
kasus hematopneumotoraks, setelah selang dada terpasang, pengisapan bekuan darah yang
terbentuk akibat pencampuran darah dan udara harus dilakukan dengan menggunakan alat
suction.
10
Hemotoraks tidak menimbulkan nyeri selain dari luka yang berdarah di dinding dada.
Luka di pleura viseralis umumnya juga tidak menimbulkan nyeri. Di dalam rongga dada,
dapat terkumpul banyak darah tanpa gejala yang menonjol. Kadang, gejala dan tanda anemia
atau syok hipovolemik menjadi keluhan dan gejala yang pertama muncul.
Hemotoraks kecil, yaitu yang tampak sebagai bayangan kurang dari 15% pada foto
rontgen cukup di observasi dan tidak memerlukan tindakan khusus. Hemotoraks sedang,
yaitu yang tampak sebagai bayangan yang menutup 15-35% pada foto rontgen, ditangani
dengan pungsi dan transfusi darah. Pada pungsi, sedapat mungkin cairan semua dikeluarkan.
Hemotoraks besar (>35%), ditangani dengan penyalir sekat air dan transfusi. Penyalir sekat
air dipasang serendah mungkin pada dasar rongga dada untuk mengosongkan rongga pleura
dan memantau perdarahan.
Besarnya Penanganan
Ukuran Bayangan foto Pemeriksaan fisik
rontgen
Kecil 0-15% Perkusi pekak sampai Gerakan aktif
iga IX (fisioterapi)
Sedang 15-35% Perkusi pekak sampai Aspirasi dan transfusi
iga VI
Besar >35% Perkusi pekak sampai Penyalir sekat air di
kranial, iga IV ruang antariga,
transfusi
2.6.8 PROGNOSIS
11
2.7 PNEUMOTORAKS
2.7.1 DEFINISI
Pneumotoraks adalah kelainan pada rongga pleura ditandai dengan adanya udara yang
terperangkap dalam rongga pleura maka akan menyebabkan peningkatan tekanan negatif
intrapleura sehingga mengganggu proses pengembangan paru. Merupakan salah satu dari
trauma tumpul yang sering terjadi akibat adanya penetrasi fraktur iga pada parenkim paru dan
laserasi paru. Pneumothoraks bisa juga terjadi akibat decelerasi atau barotrauma pada paru
yang tanpa disertai adanya fraktur iga. Pasien akan melaporkan adanya nyeri atau dispnea dan
nyeri pada daerah fraktur. Pada pemeriksaan fisik didapatkan melemahnya suara pernapasan.
9
2.7.2 PATOFISIOLOGI
Dalam keadaan normal, rongga pleura memiliki tekanan negatif. Tekanan negatif
tersebut menyebabkan paru dapat mengembang mengikuti pergerakan dinding dada pada saat
inspirasi dan mengempis sesuai dengan gaya lenting paru pada saat ekspirasi. Apabila rongga
pleura terisi udara, maka tekanan negatif akan hilang sehingga paru tidak dapat mengembang
mengikuti dinding dada dan cenderung mengecil (recoil) mengikuti gaya lenting yang sesuai
dengan sifat jaringan paru. Semakin luas pneumotoraks, semakin kecil ukuran paru sehingga
menurunkan kapasitas vital paru. 9
Pasien biasanya mengalami sesak dengan riwayat nyeri dada sebelumnya, dan batuk-
batuk. Nyeri dada yang dirasakan bersifat tajam seperti ditusuk dan sangat sakit. Nyeri
biasanya menjalar ke pundak ipsilateral dan memberat pada saat inspirasi (pleuritik). 9
2.7.4 DIAGNOSIS
Anamnesis
12
• Riwayat penyakit paru, baik akut maupun kronis. Tanyakan juga mengenai trauma,
jenis trauma, mekanisme, waktu terjadi, dan sebagainya;
• Tanyakan riwayat pneumotoraks sebelumnya untuk kemungkinan rekurensi;
• Inspeksi : rongga dada lebih besar daripada biasa atau normal, bagian dada yang
terkena tertinggal dalam gerak pernapasan (saat ekspirasi);
• Palpasi : fremitus taktil berkurang di sisi yang terkena, krepitasi akibat emfisema
subkutis bila ada hubungan ke subkutis;
• Perkusi : hipersonor;
• Auskultasi : suara pernapasan berkurang atau menghilang pada daerah terkena, dapat
terdengar rhonki atau wheezing.
Pemeriksaan Penunjang
Pada foto toraks PA dapat terlihat bagian toraks yang avaskular, paru yang kolaps,
dan apabila besar tampak pergeseran trakea dan mediastinum kesisi yang sehat.
Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dikerjakan adalah analisis gas darah (untuk
mengetahui adanya hipoksemia dan hiperkarbia), CT scan, dan USG.
• Periksa kondisi ABC (Airway, breathing, circulation) dari pasien. Periksa saturasi
oksigen dan tanda vital;
• Berikan oksigen 3-4L dengan nasal kanul;
• Lakukan pemeriksaan untuk mengetahui luas paru yang mengalami pneumotoraks
Apabila pneumotoraks <15% dan pasien asimptomatis, maka terapi pilihan adalah
dengan observasi disertai pemberian oksigen. Apabila pneumotoraks >15% (atau
diperkirakan luas), udara perlu dikeluarkan dengan water sealed drainage (WSD). Pada
pasien pneumotoraks sekunder dengan penyakit dasar yang berat perlu dilakukan
torakostomi.
13
Indikasi tindakan pembedahan pada pasien pneumotoraks :
Pneumothoraks terbagi atas tiga yaitu: simple, open, dan tension pneumothorax.
1. Simple Pneumothorax
Adalah pneumotoraks yang tidak disertai peningkatan tekanan intra toraks yang progresif.
Ciri:
Paru pada sisi yang terkena akan kolaps (parsial atau total)
Tidak ada mediastinal shift
PF: bunyi napas ↓ , hyperresonance (perkusi), pengembangan dada ↓
Penatalaksanaan: WSD
2. Tension Pneumothorax
Adalah pneumotoraks yang disertai peningkatan tekanan intra toraks yang semakin lama
semakin bertambah (progresif). Pada pneumotoraks tension ditemukan mekanisme ventil
(udara dapat masuk dengan mudah, tetapi tidak dapat keluar).
Ciri:
Terjadi peningkatan intra toraks yang progresif, sehingga terjadi : kolaps total paru,
mediastinal shift (pendorongan mediastinum ke kontralateral), deviasi trakhea → venous
return ↓ → hipotensi & respiratory distress berat.
Tanda dan gejala klinis: sesak yang bertambah berat dengan cepat, takipneu, hipotensi,
JVP ↑, asimetris statis & dinamis
Merupakan keadaan life-threatening → tdk perlu Ro
14
Penatalaksanaan:
1. Dekompresi segera: large-bore needle insertion (sela iga II, linea mid-klavikula)
2. WSD
3. Open Pneumothorax
Terjadi karena luka terbuka yang cukup besar pada dada sehingga udara dapat keluar dan
masuk rongga intra toraks dengan mudah. Tekanan intra toraks akan sama dengan tekanan
udara luar. Dikenal juga sebagai sucking-wound. Terjadi kolaps total paru.
Penatalaksanaan:
1. Luka tidak boleh ditutup rapat (dapat menciptakan mekanisme ventil)
2. Pasang WSD dahulu baru tutup luka
3. Singkirkan adanya perlukaan/laserasi pada paru-paru atau organ intra toraks lain.
4. Umumnya disertai dengan perdarahan (hematotoraks)
Pasien dengan pneumotoraks paling sering mengeluhkan nyeri dada. Seringkali nyeri
ini tajam dan peluritik. Dyspnea adalah gejala kedua tersering pada pasien dengan
pneumotoraks. Gejala yang kurang sering muncul mencakup batuk nonproduktif dan
orthopnea. Tanda klinis yang dapat dtemukan meliputti menurunnya suara napas, perkusi
yang hipersonor, dan menurunnya ekspansi dada saat inspirasi. Diagnosis pneumotoraks
biasanya ditegakan melalu anamnesis dan pemeriksaan fisik yang dikonfirmasi dengan CXR.
Namun, pemeriksaan fisik pada pasien dapat saja normal jika pneumotoraksnya kurang dari
25%. Penatalaksanaan pneumotoraks dapat dilakukan dengan pemasangan WSD.
15
Hematopneumotoraks
Hematopneumotoraks adalah gabungan antara penumotoraks dan hematotoraks. Gejala dan
penanganannya juga merupakan kombinasi keduanya.
PRIMARY SURVEY
Airway
Assessment :
perhatikan patensi airway
dengar suara napas
perhatikan adanya retraksi otot pernapasan dan gerakan dinding dada
16
Management :
inspeksi orofaring secara cepat dan menyeluruh, lakukan chin-lift dan jaw thrust,
hilangkan benda yang menghalangi jalan napas
re-posisi kepala, pasang collar-neck
lakukan cricothyroidotomy atau traheostomi atau intubasi (oral / nasal)
Breathing
Assesment
Periksa frekwensi napas
Perhatikan gerakan respirasi
Palpasi toraks
Auskultasi dan dengarkan bunyi napas
Management:
Lakukan bantuan ventilasi bila perlu
Lakukan tindakan bedah emergency untuk atasi tension pneumotoraks, open
pneumotoraks, hemotoraks, flail chest
Circulation
Assesment
Periksa frekwensi denyut jantung dan denyut nadi
Periksa tekanan darah
Pemeriksaan pulse oxymetri
Periksa vena leher dan warna kulit (adanya sianosis)
Management
Resusitasi cairan dengan memasang 2 iv lines
Torakotomi emergency bila diperlukan
Operasi Eksplorasi vaskular emergency
17
2.9 WSD 9
Water sealed drainage (WSD) adalah sistem kedap air yang digunakan untuk drainase
cairan dan/atau udara dari rongga pleura dengan tujuan mengembalikan tekanan negatif
intrapleura. Pada kelainan di rongga pleura, WSD dapat berfungsi sebagai :
• Diagnostik : untuk menentukan adanya cairan intrapleura (jumlah dan jenis
cairan), mengetahui ada tidaknya fistula bronkopleura, menentukan besar
perdarahan, dan apakah perdarahan masih berlangsung atau tidak.
• Terapi : untuk mengeluarkan cairan dan/atau udara dari rongga pleura.
• Tindakan preventif : untuk mencegah pengumpulan cairan dan/atau udara
yang berulang dengan sistem monitoring WSD sehingga dapat dilakukan
tindakan dan pasien tidak jatuh dalam keadaan yang lebih buruk, misalnya :
- Pada perdarahan lebih dari 500 cc dalam 1 jam (perkiraan berat badan
50 Kg) setelah trauma perlu dilakukan resusitasi surgical;
- Pada perdarahan 3-5 cc/KgBB/jam selama 3 jam berturut-turut atau >5
cc/KgBB/jam perlu dilakukan operasi untuk menghentikan perdarahan.
https://edoc.site/sop-perawatan-wsd-pdf-free.html
18
4. Masukkan Kelly klemp melalui pleura parietalis kemudian dilebarkan. Masukkan jari
melalui lubang tersebut untuk memastikan sudah sampai rongga pleura / menyentuh paru.
5. Masukkan selang ( chest tube ) melalui lubang yang telah dibuat dengan menggunakan
Kelly forceps
6. Selang ( Chest tube ) yang telah terpasang, difiksasi dengan jahitan ke dinding dada
7. Selang ( chest tube ) disambung ke WSD yang telah disiapkan.
8. Foto X- rays dada untuk menilai posisi selang yang telah dimasukkan.
19
3. WSD dengan 3 botol
• Botol pertama sebagai penampung /
drainase
• Botol kedua sebagai water seal
• Botol ke tiga sebagai suction kontrol,
tekanan dikontrol dengan manometer.
Selain mengalirkan udara dan cairan keluar dari rongga pleura, sistem drainase juga
harus mencegahnya kembali. Untuk kedua tujuan ini, terdapat tiga komponen dasar yang
dibutuhkan yakni: chest drain yang memiliki diameter yang adekuat dan tidak terdapat
obstruksi, kontainer penampung yang berada di bawah level dada, dan mekanisme satu arah-
penutup atau katup air yang mencegah kembalinya cairan atau udara.
20
Karena udara naik dan cairan tenggelam, ujung dari tube untuk mengalirkan udara
biasanya ditempatkan di paes dari rongga pleura sementara untuk cairan ditempatkan di dasar
secara posterolateral di sudut kostofrenikus. Chest drain memiliki panjang kira-kira 1.8m
yang ditujukan ke dalam kontainer penampung yang ditempatkan di bawah level dada pasien.
Tekanan positif dari dada selama ekshalasi dapat mendorong udara dan cairan keluar
dari rongga udara. Panjang dari tube drain di bawah permukaan air harusla pendek agar
resistensi dari udara yang keluar tidak lebih dari 2 sampai 3 cmH2O.
Pilihlah chest drain dengan ukuran yang sesuai. Untuk pasien dengan
hemopneumotoraks traumatik, ukuran dari chest tube biasanya 28 F atau lebih besar. Ukuran
yang lebih kecil lebih mudah terseumbat oleh gumpalan darah. Sedangkan pada anak, ukuran
disesuaikan dengan usia dan jarak antara tulang iga.
Permasalahan yang tidak teratasi dalam 2 sampai 3 minggu harus ditangani secara
bedah. Intercostal drain tidak boleh dibiarkan di satu tempat yang sama lebih dari 3 minggu
karena dapat menyebabkan erosi pembuluh darah interkostal yang dapat mengakibatkan
perdarahan.
21
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1. ANAMNESIS
22
3.1.4 Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat Operasi disangkal, Riwayat Diabetes Mellitus (-), Riwayat penyakit jantung (-
),Riwayat Asthma (-), Riwayat trauma sebelumnya (-), Riwayat jantung (-), Riwayat
kejang (-)
Secondary Survey
o Kepala : normocephal, jejas (-)
o Mata : konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor (3
mm/3mm), reflek cahaya (+/+), gerakan bola mata (+/+).
o Telinga : sekret (-/-), darah (-/-), nyeri tekan mastoid (-/-), nyeri tragus (-/-),
jejas (-/-).
o Hidung : Jejas (-), bentuk simetris, napas cuping hidung (-/-), sekret (-/-)
o Mulut : vulnus laceratum et regio labialis inferior, gusi berdarah (-), lidah
kotor (-),maloklusi (-), gigi tanggal (-)
o Leher : Jejas (-), pembesaran tiroid (-), pembesaran limfonodi (-), nyeri
tekan (-), trakea letak tengah, jugular venous pressure tidak
meningkat
Thorax
Paru
Inspeksi : retraksi (-) gerakan napas asimetris, hemitoraks kanan tertinggal
saat ekspirasi, jejas (+) linea axillaris anterior dekstra
Palpasi : fremitus taktil hemitoraks kanan↓, nyeri tekan (+) di linea axilaris
dekstra
23
Perkusi : sonor/sonor
Auskultasi : vesikuler ↓/+, rhonki -/-, wheezing -/-
Jantung : S1/S2 reguler, gallop (-), murmur (-)
Abdomen
• Inspeksi : tidak ada distensi, tidak ada massa maupun jaringan parut, simetris,
jejas (-)
• Auskultasi : bising usus (+) kesan normal
• Palpasi : supel, defans muskular (-), pembesaran hepar/lien : tidak teraba
• Perkusi : timpani
Ekstremitas
Akral hangat, udem (-), CRT < 2”
Vulnus ekskoriasi (+)
24
3.4.2 Pemeriksaan Radiologi
Tanggal : 17-06-2018
Toraks I
25
Toraks II
26
Tanggal 20-06-18
Rontgen toraks
27
3.5. PLANNING
Saat masuk rumah sakit :
- O2 nasal 2-3 lpm
- Posisi ½ duduk
- IVFD RL 500 cc 20 tpm makro
- Inj. Ketorolac 3% amp/8 jam
- In. Ranitidin 50mg amp/12 jam
- Inj. Ceftriaxone 1 gr vial/12 jam
Tanggal : 17/06/2018
28
Instruksi post operasi : - Awasi KU/TTV
3.7. FOLLOW UP
19/06/2018 S: Nyeri pada luka operasi ↓, sesak (-) Advice dr. Erick,Sp.B
O: TD: 110/80 mmHg, N: 90 x/mnt,RR: 25 Terapi lanjut
x/menit Fisioterapi napas
K/L : Ca+/+, SI -/-, pembesaran KGB (-) Tiup balon 20x/bh
Thoraks : Suara napas vesikuler +/+, rhonki (-),
wheezing (-), terpasang WSD pada ICS V linea
axilla anterior, undulasi (+), bubble (+).
A: Hematopneumotoraks dekstra on WSD hr 2
29
20/06/2018 S: Nyeri dada (-), sesak (-), demam (-) Advice dr. Erick, Sp.B
O: TD: 120/70 mmHg, N: 98 x/mnt,RR: 20x/mnt Terapi lanjut
K/L : Ca+/+, SI -/-, pembesaran KGB (-) Fisioterapi lanjut
Thoraks : Suara napas vesikuler +/+, rhonki (-), Rontgen thoraks AP tegak
wheezing (-), terpasang WSD pada ICS V linea
axilla anterior, undulasi (+), bubble (+).
A: Hematopneumotoraks dekstra on WSD hr 3
22/06/2018 S: Nyeri pada tempat pemasangan WSD, sesak (- Advice dr. Erick, Sp.B
) Terapi lanjut
O: TD: 120/90 mmHg, N: 103 x/mnt,RR: 20 - Inj. Broadced 2x1 gr
x/mnt - Inj. Santagesik 3x30mg
K/L : Ca-/-, SI -/-, pembesaran KGB (-) - Inj. Pumpisel 2x40mg
Thoraks : Suara napas vesikuler ↓/+, rhonki (-),
wheezing (-), terpasang WSD pada ICS V linea
axilla anterior, klem wsd (+)
A: Hematopneumotoraks dekstra on WSD hr 5
23/06/2018 S: Nyeri pada tempat pemasangan WSD terutama Advice dr. Erick, Sp.B
saat bergerak. Pro revisi WDS di OK (cito)
O: TD: 120/80 mmHg, N: 105x/mnt, RR: 22
x/mnt
K/L : Ca-/-, SI -/-, pembesaran KGB (-)
Thoraks : Suara napas vesikuler ↓/+, rhonki (-),
30
wheezing (-), terpasang WSD pada ICS V linea
axilla anterior, undulasi (+), bubble (+)
A: Hematopneumotoraks dekstra on WSD hr 6
31
30/06/2018 S : Nyeri pada tempat pemasangan WSD ↓↓↓, Advice dr. Erick, Sp.B
sesak (-) Aff WSD
O: TD: 110/80 mmHg, N: 95x/mnt, RR: 20 Aff infus
x/mnt Boleh pulang
K/L : Ca-/-, SI -/-, pembesaran KGB (-) Terapi Oral :
Thoraks : Suara napas vesikuler +/+, rhonki (-), - Cefadroxil 2x500mg
wheezing (-), terpasang WSD pada ICS V linea - Asam mefenamat
axilla anterior, klem (+) 3x500mg
A: Hematopneumotoraks dekstra on WSD hr 13
Post revisi chest tube insersi hr 7
3.8. PROGNOSIS
- Quo ad vitam : dubia ad bonam
- Quo ad functionam : dubia ad bonam
- Quo ad sanationam : dubia ad bonam
32
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada trauma dada, penyebab cedera harus ditentukan dahulu, kemudian baru
ditentukan macamnya, entah cedera tumpul atau tajam. Trauma dada, yang umumnya berupa
trauma tumpul, kebanyakan disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas. Trauma tajam terutama
disebabkan oleh tikaman dan tembakan.1
Dari anamnesis, Tn.KM yang berusia 18 tahun diduga mengalami trauma tumpul
toraks. Hal ini didasari oleh riwayat kecelakaan motor yang dialami oleh pasien sebelum
masuk rumah sakit. Kemudian pasien mengaku nyeri pada dada sebelah kanan dan merasa
sesak napas setelah mengalami kecelakaan tersebut. Dugaan diperkuat dengan hasil
pemeriksaan fisik pada pasien yakni dari primary survey dan secondary survey.
Sesak napas akut pada pasien ini mendukung kecurigaan terjadinya pneumotoraks.
Kemungkinan tension pneumothorax pada pasien ini disingkirkan karena sesak napas pada
pasien tidak bersifat progresif.
33
hemitoraks. Pada auskultasi, didapatkan suara napas menurun pada paru sebelah kanan. Hal
ini kurang mendukung karena pada pneumotoraks biasanya didapatkan bunyi hipersonor dan
pada hemotoraks didapatkan bunyi pekak di bagian paru yang terkena. Temuan-temuan
lainnya, selain perkusi paru, cenderung mendukung diagnosis pneumotoraks dekstra pada
pasien. Selain itu, juga didapatkan takikardi dan konjungtiva yang pucat. Hal ini
menunjukkan masih terdapatnya kompensasi dari gangguan sirkulasi yang dialami pasien.
Kemungkinan penyebab gangguan sirkulasi pada pasien ini adalah adanya perdarahan akibat
trauma tumpul pada pasien. Karena pasien sebelumnya telah dilakukan foto toraks dan
didapatkan gambaran perselubungan pada hemitoraks kanan maka diduga adanya cairan pada
rongga pleura, dimana pada pasien trauma sering terjadi hemotoraks.
Pada rontgen toraks setelah pemasangan WSD, masih ditemukan cairan dalam rongga
pleura yang menandakan hemotoraks belum tertangani seluruhnya. Pada pasien ini tidak
dilakukan torakotomi karena hemotoraks yang terjadi tidak masif maka dilakukan observasi
perdarahan setelah pemasangan WSD dan observasi tanda vital.
Terapi medikamentosa pada pasien ini antara lain antibiotik spektrum luas untuk
profilaksis atas pemasangan chest tube. Pemberian analgetik selain digunakan untuk
mengurangi nyeri juga untuk menjamin pernapasan yang baik, mencegah terjadinya
pneumonia dan atelektasis akibat gerak napas yang tidak memadai. Terapi
nonmedikamentosa yaitu fisioterapi dada untuk membantu pasien bernapas seoptimal
mungkin.
34
Prognosis quo ad vitam pada pasien adalah bonam karena kondisi kegawatdaruratan
telah ditatalaksana dan saat ini pasien dalam kondisi klinis yang stabil. Prognosis quo ad
functionam adalah bonam karena kondisi klinis pasien sudah membaik (sesak napas sudah
berkurang). Hal ini ditunjang oleh rencana tatalaksana fisioterapi yang dapat membantu
pasien meningkatkan fungsi pernapasannya. Prognosis quo ad sanactionam adalah bonam
karena etiologi hematopneumotoraks pada pasien ini adalah trauma, sehingga diharapkan
masalah pada pasien ini tidak terjadi lagi.
35
BAB V
PENUTUP
1. KESIMPULAN
Pada laporan kasus didapatkan seorang pasien laki - laki berumur 18 tahun datang
dengan keluhan sesak dan nyeri pada dada kanan setelah mengalami kecelakaan lalu
lintas dan didiagnosa dengan hematopneumotoraks.
Diagnosis pada pasien ini ditegakkan berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang.
Penatalaksanaan pada pasien ini saat masuk Rumah Sakit sesuai dengan protokol
ATLS, dilakukan tatalaksana kegawatdaruratan. Pada pasien ini dilakukan pemberian
bantuan oksigenasi dan cairan intravena untuk memperbaiki fungsi respirasi dan
sirkulasi. Tatalaksana awal pada pasien ini direncanakan pemasangan WSD.
2. SARAN
Kasus trauma thorax merupakan kasus emergensi yang sering terjadi, perlunya
pengetahuan dan penanganan yang tepat dan cepat oleh petugas medis dapat
menyelamatkan dan mencegah komplikasi bagi pasien.
Angka kejadian kasus trauma thorax akibat kecelakaan lalu lintas masih terbilang
tinggi, oleh karena itu perlunya peningkatan kesadaran masyarakat dalam menaati
peraturan lalu lintas agar kejadian trauma dapat dihindari.
36
DAFTAR PUSTAKA
1. Koesbijanto, Heru, dkk. Dinding toraks dan pleura. Dalam : Buku Ajar Ilmu Bedah de
jong Ed. 3. Jakarta : EGC.2013. Hal 503 – 504
7. Locicero J 3rd, et al. Surg Clin North Am, 1989. In : Epidemiology of chest trauma.
From : http://ncbi.nlm.nih.gov/pubmed.com
9. Tanto Chris, dkk. Bedah Toraks. Dalam Kapita Selekta. Ed 4. Jakarta : 2014. Media
Aesculapius. Hal 267 - 274
37