Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Diabetes melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik


dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin,
kerja insulin, atau kedua-duanya (Purnamasari, 2015). World Health Organization
(WHO, 2017) memprediksi kenaikan jumlah penyandang diabetes melitus di
Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030.
International Diabetes Federation (IDF, 2015) memperkirakan kenaikan jumlah
penyandang diabetes melitus dari 10,0 juta tahun 2015 menjadi 16,2 juta pada
tahun 2040. Dengan 10,0 juta penyandang diabetes melitus, Indonesia menempati
peringkat ke-7 di dunia. Menurut Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
(PERKENI, 2015), terdapat peningkatan dari data IDF 2014, yaitu diperkirakan
9,1 juta orang penduduk didiagnosis sebagai penyandang DM.
Diabetes Melitus tipe 2 menempati lebih dari 90% kasus di negara maju.
Negara sedang berkembang, hampir seluruh diabetes tergolong sebagai penderita
DM tipe 2, 40% diantaranya terbukti dari kelompok masyarakat yang terlanjur
mengubah gaya hidup tradisional menjadi modern. DM tipe 2 merupakan yang
terbanyak di Indonesia. DM dapat menjadi penyebab aneka penyakit seperti
hipertensi, stroke, jantung koroner, gagal ginjal, katarak, glaukoma, kerusakan
retina mata yang dapat membuat buta, impotensi, gangguan fungsi hati, dan luka
yang lama sembuh mengakibatkan infeksi, sehingga harus diamputasi terutama
pada kaki (Indriyani, 2016).
Pasien dengan hiperglikemi sering disertai sindroma metabolik: hipertensi,
dislipidemia, obesitas, disfungsi endotel dan faktor protrombotik yang semuanya
akan memicu dan memperberat komplikasi kardiovaskular (Cheung et al., 2012).
Hiperglikemia yang berkepanjangan dapat membentuk advanced glycation
endproducts (AGEs). AGEs ini dapat merusak dinding dalam pembuluh darah dan
menimbulkan reaksi peradangan yang mengakibatkan timbulnya plaque dan
membuat pembuluh darah menjadi keras, kaku, dan menebal sehingga

1
2

menyebabkan penyumbatan pembuluh darah (Tandra, 2009). Hiperglikemia


sering dihubungkan dengan hiperinsulinemia, dislipidemia, dan hipertensi yang
bersama sama mengawali terjadinya penyakit kardiovaskular dan stroke (Ahsana
et al., 2013). Kadar insulin berlebih menimbulkan peningkatan retensi natrium
oleh tubulus ginjal yang dapat menyebabkan hipertensi (Masharani et al., 2007).
Dua dari tiga orang penderita diabetes mempunyai tekanan darah yang
tinggi atau diberikan pengobatan untuk menurunkan tekanan darah (American
Diabetes Association, 2017). Orang dewasa di Amerika Serikat yang berusia 20
tahun dan lebih menderita diabetes adalah sebanyak 12,6 %, sedangkan penderita
hipertensi adalah sebanyak 33,5 %. Kasus diabetes di Amerika Serikat tahun 2014
yaitu jumlah kematian sebanyak 76.488 orang, jumlah kematian setiap 100.000
orang adalah 24 orang (0,024%), dan merupakan penyebab kematian peringkat
ke-7. Kasus hipertensi di Amerika Serikat tahun 2014 yaitu jumlah kematian
sebanyak 30.221 orang, dan jumlah kematian setiap 100.000 orang adalah 9,5
orang (0,0095%). Mortalitas 2-3 kali lebih tinggi pada penderita diabetes melitus
disertai hipertensi dibanding diabetes melitus dengan normotensi (CDC, 2017).
Dari latar belakang penelitian ini, peneliti tertarik untuk meneliti tentang
“Hubungan Kadar Gula Darah Puasa dengan Tekanan Darah pada Pasien DM
Tipe 2 di Poliklinik Penyakit Dalam RSUP Haji Adam Malik Medan Tahun
2016”.

1.2 RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian latar belakang maka perumusan masalah dalam


penelitian ini: Bagaimana hubungan kadar gula darah puasa dengan tekanan darah
pada pasien diabetes melitus tipe 2 di Poliklinik Penyakit Dalam RSUP Haji
Adam Malik Medan tahun 2016 ?
3

1.3 TUJUAN PENELITIAN

1.3.1 TUJUAN UMUM

Mengetahui hubungan kadar gula darah puasa dengan tekanan darah pada
pasien DM tipe 2 di Poliklinik Penyakit Dalam RSUP Haji Adam Malik Medan
tahun 2016.

1.3.2 TUJUAN KHUSUS

Yang menjadi tujuan khusus dalam penelitian ini adalah mengetahui :


1. Gambaran kadar gula darah puasa pada pasien DM tipe 2 yang belum
pernah mendapatkan terapi DM.
2. Gambaran tekanan darah pada pasien DM tipe 2 yang belum pernah
mendapatkan terapi hipertensi.
3. Hubungan kadar gula darah puasa dengan tekanan darah pada pasien
DM tipe 2.

1.4 MANFAAT PENELITIAN

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk:


1. Institusi kesehatan
Manfaat penelitian bagi institusi kesehatan untuk memberikan
informasi supaya lebih meningkatkan pelayanan kesehatan terhadap
tekanan darah pasien DM tipe 2.
2. Institusi pendidikan
Manfaat penelitian bagi institusi pendidikan untuk referensi bagi
peneliti selanjutnya yang tertarik melanjutkan penelitian tentang
hubungan kadar gula darah puasa dengan tekanan darah pada pasien
DM tipe 2.
3. Masyarakat
Manfaat penelitian bagi masyarakat untuk menambah pengetahuan
dan informasi tentang hubungan kadar gula darah puasa dengan
tekanan darah pada pasien DM tipe 2.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DIABETES MELITUS TIPE 2

2.1.1 DEFINISI

Diabetes melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik


dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin,
kerja insulin, atau kedua-duanya (Purnamasari, 2015). Diabetes melitus tipe 2
merupakan penyakit hiperglikemi akibat insensitivitas sel terhadap insulin. Kadar
insulin mungkin sedikit menurun atau berada dalam rentang normal. Insulin tetap
dihasilkan oleh sel-sel beta pankreas. Oleh karena itu, diabetes melitus tipe 2
dianggap sebagai non insulin dependent diabetes melitus (Fatimah, 2015).

2.1.2 PREVALENSI

World Health Organization (WHO, 2017) memprediksi kenaikan jumlah


penyandang diabetes melitus di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi
sekitar 21,3 juta pada tahun 2030. International Diabetes Federation (IDF, 2015)
memperkirakan kenaikan jumlah penyandang diabetes melitus dari 10,0 juta tahun
2015 menjadi 16,2 juta pada tahun 2040. Dengan 10,0 juta penyandang diabetes
melitus, Indonesia menempati peringkat ke-7 di dunia. Menurut Perkumpulan
Endokrinologi Indonesia (PERKENI, 2015), terdapat penurunan dari data IDF
2014, diperkiraan 9,1 juta orang penduduk didiagnosis sebagai penyandang DM.
Jumlah penduduk Indonesia saat ini diperkirakan mencapai 240 juta. Menurut
data Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS, 2007), prevalensi nasional DM di
Indonesia untuk usia di atas 15 tahun sebesar 5,7%.
Berdasarkan data Centers for Disease Control and Prevention (CDC, 2017),
orang dewasa di Amerika Serikat yang berusia 20 tahun dan lebih tua menderita
diabetes adalah sebanyak 12,6 % (2011-2014). Kasus diabetes di Amerika Serikat
tahun 2014 yaitu jumlah kematian sebanyak 76.488 orang, jumlah kematian setiap
100.000 orang adalah 24 orang (0,024% ), dan merupakan penyebab kematian
peringkat ke-7.

4
5

Kejadian DM tipe 2 pada wanita lebih tinggi daripada laki-laki. Wanita


lebih berisiko mengidap diabetes karena secara fisik wanita memiliki peluang
peningkatan indeks masa tubuh yang lebih besar. Hasil Riset Kesehatan Dasar
pada tahun 2008 menunjukan prevalensi DM di Indonesia membesar sampai 57%,
pada tahun 2012 angka kejadian diabetes melitus didunia adalah sebanyak 371
juta jiwa, dimana proporsi kejadian diabetes melitus tipe 2 adalah 95% dari
populasi dunia yang menderita diabetes melitus dan hanya 5% dari jumlah
tersebut menderita diabetes melitus tipe 1 (Fatimah, 2015). DM tipe 2 menempati
lebih dari 90% kasus di negara maju. Di negara sedang berkembang, hampir
seluruh diabetes tergolong sebagai penderita DM tipe 2, 40% diantaranya terbukti
dari kelompok masyarakat yang terlanjur mengubah gaya hidup tradisional
menjadi modern. DM tipe 2 merupakan yang terbanyak di Indonesia (Indriyani et
al., 2016).

2.1.3 PATOFISIOLOGI

Dalam patofisiologi DM tipe 2 terdapat beberapa keadaan yang berperan


yaitu :
a. Resistensi insulin
Mekanisme terjadinya resistensi insulin dapat diterangkan oleh
beberapa jalur. Yang pertama adalah induksi resistensi insulin karena
faktor inflamasi. Hubungan antara inflamasi dan resistensi insulin pertama
kali dicetuskan oleh Hotamisligil et al pada tahun 1993 yang menyatakan
bahwa sitokin proinflamatorik TNF-α (Tumor Necrosis Factor-α) dapat
menginduksi resistensi insulin. Akumulasi jaringan lemak pada obesitas
akan meningkatan produksi berbagai macam sitokin seperti TNF-α, IL-6
(Interleukin-6), resistin, leptin, adiponectin, MCP-1 (Monocyte
Chemoattractant Protein- 1), PAI-1 (Plasminogen Activator Inhibitor- 1),
dan angiotensinogen yang bertanggungjawab pada kondisi inflamatorik
subakut pada obesitas. Pengikatan molekul sitokin ini pada reseptor
spesifik akan mengaktifkan jalur JAK (Janus Kinase) dan IKK-β (Inhibitor
of nuclear factor Kappa-B Kinase subunit Beta) dan selanjutnya akan
6

mengaktifkan factor NF-κβ (Nuclear Factor κβ) transkripsi. Translokasi


NF-κβ ke dalam nukleus akan menginduksi transkripsi berbagai macam
mediator inflamatorik yang dapat mengarah pada keadaan resistensi
insulin (Hotamisligil, 2000). Jalur JAK dan IKKβ/NF-κβ juga dapat
diaktivasi oleh ikatan dari PRR (Pattern Recognition Receptor) pada
permukaan membran dengan substansi dari luar sel. PRR pada membran
sel ini antara lain adalah TLR (Toll Like Receptor) dan RAGE (Receptor
for advanced glycation end products). Ligan untuk TLRs adalah produk
dari mikroba seperti Lipopolisakarida. RAGE akan berikatan dengan
AGEs. AGEs ini merupakan subtansi nonenzymatic yang merupakan
produk dari metabolisme glukosa dan protein dengan laju turnover yang
lambat (Shoelson et al., 2006).
b. Disfungsi sel β pankreas
Diabetes melitus tipe 2 bukan disebabkan oleh kurangnya sekresi
insulin, namun karena sel sel sasaran insulin gagal atau tidak mampu
merespon insulin secara normal. Keadaan ini lazim disebut sebagai
“resistensi insulin”. Resistensi insulin banyak terjadi akibat dari obesitas
dan kurangnya aktivitas fisik serta penuaan (Fatimah, 2015).
Pada awal perkembangan diabetes melitus tipe 2, sel β menunjukan
gangguan pada sekresi insulin fase pertama, artinya sekresi insulin gagal
mengompensasi resistensi insulin. Apabila tidak ditangani dengan baik,
pada perkembangan selanjutnya akan terjadi kerusakan sel-sel β pankreas.
Kerusakan sel-sel β pankreas akan terjadi secara progresif dan seringkali
menyebabkan defisiensi insulin sehingga akhirnya penderita memerlukan
insulin eksogen. Pada penderita diabetes melitus tipe 2 memang umumnya
ditemukan kedua faktor tersebut, yaitu resistensi insulin dan defisiensi
insulin (Fatimah, 2015).
7

2.1.4 FAKTOR RISIKO

Faktor-faktor risiko DM tipe 2 :


a. Obesitas (kegemukan)
Terdapat korelasi bermakna antara obesitas dengan kadar glukosa
darah, pada derajat kegemukan dengan indeks massa tubuh (IMT) > 23
dapat menyebabkan peningkatan kadar glukosa darah menjadi 200 mg%
(Fatimah, 2015). Orang dengan obesitas memiliki masukan kalori yang
berlebih. Sel beta kelenjar pankreas akan mengalami kelelahan dan tidak
mampu untuk memproduksi insulin yang cukup untuk mengimbangi
kelebihan masukan kalori. Akibatnya kadar glukosa darah akan tinggi
yang akhirnya menyebabkan DM (Kaban, 2007).
b. Hipertensi
Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah sistolik lebih dari atau
sama dengan 140 mmHg atau tekanan darah diastolik lebih dari atau sama
dengan 90 mmHg dalam 2 kali pengukuran dengan jarak pemeriksaan
minimal 10 menit (Setiati, 2009). Hipertensi dapat membuat sel tidak
sensitif terhadap insulin (resisten insulin). Padahal insulin berperan
meningkatkan ambilan glukosa di banyak sel dan dengan cara ini juga
mengatur metabolisme karbohidrat, sehingga jika terjadi resistensi insulin
oleh sel, kadar gula di dalam darah juga dapat mengalami gangguan
(PERKENI , 2015).
c. Dislipidemia
Dislipidemia adalah keadaan yang ditandai dengan kenaikan kadar
lemak darah (Trigliserida > 250 mg/dL). Terdapat hubungan antara
kenaikan plasma insulin dengan rendahnya high density lipoprotein (HDL)
(< 35 mg/dL) sering didapat pada pasien diabetes (Fatimah, 2015). Kadar
kolesterol yang tinggi berisiko terhadap penyakit DM tipe 2. Kadar
kolesterol tinggi menyebabkan meningkatnya asam lemak bebas sehingga
terjadi lipotoksisitas. Hal ini akan menyebabkan terjadinya kerusakan sel
8

beta pankreas yang akhirnya mengakibatkan DM tipe 2 (Kementerian


Kesehatan RI, 2010).
d. Umur
Berdasarkan penelitian, usia yang terbanyak terkena diabetes
melitus adalah > 45 tahun (Fatimah, 2015). Orang yang berusia 26-35
tahun berisiko 2,32 kali, usia 36-45 tahun berisiko 6,88 kali, dan usia lebih
dari 45 tahun berisiko 14,99 kali untuk menderita DM tipe 2 dibandingkan
dengan usia 15-25 tahun (Irawan et al., 2010).
e. Berat badan lahir
Berat badan lahir menjadi faktor risiko DM tipe 2 jika seseorang
mengalami berat badan lahir rendah (BBLR). Bayi masuk ke dalam
kategori BBLR jika bayi tersebut lahir dengan berat < 2500 gram. Bayi
dengan berat badan lahir yang rendah, di masa dewasanya akan berisiko
terkena penyakit diabetes (Fitriyani, 2012). Seseorang dengan BBLR
mengalami kerusakan pankreas sehingga kemampuan memproduksi
insulin akan terganggu. Hal ini memungkinkan orang tersebut menderita
DM tipe 2 (Kementerian Kesehatan RI, 2010).
f. Gaya hidup
Perubahan-perubahan dalam gaya hidup berhubungan dengan
peningkatan frekuensi DM tipe 2. Walaupun kebanyakan peningkatan ini
dihubungkan dengan peningkatan obesitas dan pengurangan aktivitas fisik,
faktor-faktor lain yang berhubungan dengan perubahan dari lingkungan
tradisional ke lingkungan kebarat-baratan yang meliputi perubahan-
perubahan dalam konsumsi alkohol dan rokok, juga berperan dalam
peningkatan DM tipe 2. Alkohol akan menganggu metabolisme gula darah
terutama pada penderita DM sehingga akan mempersulit regulasi gula
darah dan meningkatkan tekanan darah. Seseorang akan meningkat
tekanan darah apabila mengkonsumsi etil alkohol lebih dari 60 mL/hari
yang setara dengan 100 mL wiski atau 240 mL wine (Fatimah, 2015).
9

2.1.5 GEJALA KLINIS

Gejala DM dapat digolongkan menjadi gejala akut dan gejala kronik


(Fitriyani, 2012):
a. Gejala akut diabetes melitus
1. Pada permulaan gejala:
- Banyak makan (polifagia).
- Banyak minum (polidipsia).
- Banyak buang air kecil (poliuria).
2. Bila keadaan tersebut tidak segera diobati, akan timbul gejala:
- Nafsu makan mulai berkurang/berat badan turun dengan cepat (turun 5-
10 kg dalam waktu 2-4 minggu).
- Mudah lelah.
b. Gejala kronik diabetes melitus
- Kesemutan.
- Rasa tebal di kulit.
- Kram.
- Mudah mengantuk.
- Mata kabur.

2.1.6 DIAGNOSIS

Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah.


Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara
enzimatik dengan bahan plasma darah vena. Pemantauan hasil pengobatan dapat
dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan
glukometer. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria.
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang DM. Kecurigaan adanya DM
perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan seperti (PERKENI, 2015):
- Keluhan klasik DM: poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat
badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
10

- Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi
ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada wanita.
Kriteria diagnosis DM (PERKENI, 2015):
- Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dL.
Puasa adalah kondisi tidak ada asupan kalori minimal 8 jam atau
- Pemeriksaan glukosa plasma ≥ 200 mg/dL 2 jam setelah tes toleransi
glukosa oral (TTGO) dengan beban glukosa 75 gram atau
- Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/dL dengan keluhan klasik
atau
- Pemeriksaan HbA1c ≥ 6,5% dengan menggunakan metode yang
terstandarisasi oleh National Glycohemoglobin Standarization Program
(NGSP).
Catatan: saat ini tidak semua laboratorium di Indonesia memenuhi standar NGSP,
sehingga harus hati-hati dalam membuat interpretasi terhadap hasil pemeriksaan
Hemoglobin A1C (HbA1c). Pada kondisi tertentu seperti: anemia,
hemoglobinopati, riwayat transfusi darah 2-3 bulan terakhir, kondisi-kondisi yang
mempengaruhi umur eritrosit dan gangguan fungsi ginjal maka HbA1c tidak dapat
dipakai sebagai alat diagnosis maupun evaluasi.
Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau kriteria DM
digolongkan ke dalam kelompok prediabetes yang meliputi: toleransi glukosa
terganggu (TGT) dan glukosa darah puasa terganggu (GDPT) (PB PERKENI,
2015):
- Glukosa darah puasa terganggu (GDPT): Hasil pemeriksaan glukosa
plasma puasa antara 100-125 mg/dL dan pemeriksaan tes toleransi glukosa
oral (TTGO) glukosa plasma 2 jam < 140 mg/dL.
- Toleransi glukosa terganggu (TGT): Hasil pemeriksaan glukosa plasma 2
jam setelah TTGO antara 140-199 mg/dL dan glukosa plasma puasa < 100
mg/dL.
- Bersama-sama didapatkan GDPT dan TGT.
- Diagnosis prediabetes dapat juga ditegakkan berdasarkan hasil
pemeriksaan HbA1c yang menunjukkan angka 5,7-6,4%.
11

Tabel 2.1 Kadar tes laboratorium darah untuk diagnosis diabetes dan prediabetes.
Hba1c % Glukosa darah Glukosa darah 2
puasa (mg/dL) jam setelah TTGO
(mg/dL)
Diabetes ≥ 6,5 ≥ 126 ≥ 200

Prediabetes 5,7 – 6,4 100-125 140-199

Normal < 5,7 <100 <140

Cara pelaksanaan TTGO (PB PERKENI, 2015):


1. Tiga hari sebelum pemeriksaan, pasien tetap makan (dengan karbohidrat yang
cukup) dan melakukan kegiatan jasmani seperti kebiasaan sehari-hari.
2. Berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelum pemeriksaan,
minum air putih tanpa glukosa tetap diperbolehkan.
3. Dilakukan pemeriksaan kadar glukosa darah puasa.
4. Diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa), atau 1,75 gram/kgBB (anak-
anak), dilarutkan dalam air 250 mL dan diminum dalam waktu 5 menit.
5. Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan 2
jam setelah minum larutan glukosa selesai.
6. Dilakukan pemeriksaan kadar glukosa darah 2 (dua) jam sesudah beban
glukosa.
7. Selama proses pemeriksaan, subjek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak
merokok.
Pemeriksaan penyaring dilakukan untuk menegakkan diagnosis diabetes
melitus tipe 2 dan prediabetes pada kelompok risiko tinggi yang tidak
menunjukkan gejala klasik DM yaitu (PB PERKENI 2015):
1. Kelompok dengan berat badan lebih (Indeks Massa Tubuh [IMT] ≥23 kg/m2)
yang disertai dengan satu atau lebih faktor risiko sebagai berikut:
a. Aktivitas fisik yang kurang.
b. First-degree relative DM (terdapat faktor keturunan DM dalam keluarga).
12

c. Kelompok ras/etnis tertentu.


d. Perempuan yang memiliki riwayat melahirkan bayi dengan BBL >4 kg
atau mempunyai riwayat diabetes melitus gestasional (DMG).
e. Hipertensi (≥140/90 mmHg atau sedang mendapat terapi untuk hipertensi).
f. High density lipoprotein (HDL) 250 mg/dL.
g. Wanita dengan sindrom polikistik ovarium.
h. Riwayat prediabetes.
i. Obesitas berat, akantosis nigrikans.
j. Riwayat penyakit kardiovaskular.
2. Usia >45 tahun tanpa faktor risiko di atas.
Kelompok risiko tinggi dengan hasil pemeriksaan glukosa plasma normal
sebaiknya diulang setiap 3 tahun, kecuali pada kelompok prediabetes
pemeriksaan diulang tiap 1 tahun.
Pada keadaan yang tidak memungkinkan dan tidak tersedia fasilitas
pemeriksaan TTGO maka pemeriksaan penyaring dengan mengunakan
pemeriksaan glukosa darah kapiler diperbolehkan untuk patokan diagnosis DM.
Dalam hal ini, harus diperhatikan adanya perbedaan hasil pemeriksaan glukosa
darah plasma vena dan glukosa darah kapiler seperti pada tabel 2.2 di bawah ini
(PB PERKENI, 2015):

Tabel 2.2 Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring dan diagnosis DM
(mg/dL).
Bukan DM Belum pasti DM
DM
Kadar glukosa Plasma vena <100 100-199 ≥200
darah sewaktu
(mg/dL)
Darah kapiler <90 90-199 ≥200

Kadar glukosa Plasma vena <100 100-125 ≥126


darah puasa
(mg/dL)
Darah kapiler <90 90-99 ≥100
13

2.1.7 KOMPLIKASI

Diabetes yang tidak terkontrol dengan baik akan menimbulkan komplikasi


akut dan kronis. Komplikasi DM dapat dibagi menjadi dua kategori (Fatimah,
2015):
a. Komplikasi akut
- Hipoglikemia adalah kadar glukosa darah seseorang di bawah nilai
normal (< 50 mg/dL). Hipoglikemia lebih sering terjadi pada penderita
DM tipe 1 yang dapat dialami 1-2 kali per minggu. Kadar gula darah
yang terlalu rendah menyebabkan sel-sel otak tidak mendapat pasokan
energi sehingga tidak berfungsi bahkan dapat mengalami kerusakan.
- Hiperglikemia adalah apabila kadar gula darah meningkat, dapat
berkembang menjadi keadaan metabolisme yang berbahaya, antara lain
ketoasidosis diabetik, koma hiperosmoler non ketotik (KHNK) dan koma
lakto asidosis.
b. Komplikasi Kronis
- Komplikasi makrovaskular. komplikasi makrovaskular yang umum
berkembang pada penderita DM adalah trombosis otak (pembekuan
darah pada sebagian otak), mengalami penyakit jantung koroner (PJK),
gagal jantung kongestif, dan stroke.
- Komplikasi mikrovaskular, komplikasi mikrovaskular seperti nefropati,
diabetik retinopati (kebutaan), neuropati, dan amputasi.

2.2 HIPERTENSI

2.2.1 DEFINISI

Hipertensi yang diderita seseorang erat kaitannya dengan tekanan sistolik


dan diastolik atau keduanya secara terus menerus. Tekanan sistolik berkaitan
dengan tingginya tekanan pada arteri bila jantung berkontraksi, sedangkan
tekanan darah diastolik berkaitan dengan tekanan arteri pada saat jantung relaksasi
diantara dua denyut jantung. Dari hasil pengukuran tekanan sistolik memiliki nilai
yang lebih besar dari tekanan diastolik (Corwin, 2009).
14

Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah sistolik lebih dari atau sama
dengan 140 mmHg atau tekanan darah diastolik lebih dari atau sama dengan 90
mmHg dalam 2 kali pengukuran dengan jarak pemeriksaan minimal 10 menit
(Setiati, 2009).

2.2.2 KLASIFIKASI

Klasifikasi tekanan darah oleh Joint National Committee 7 (JNC 7)


berdasarkan rata-rata pengukuran dua tekanan darah atau lebih pada dua atau lebih
kunjungan klinis. Klasifikasi tekanan darah mencakup 4 kategori, dengan nilai
normal pada tekanan darah sistolik < 120 mmHg dan tekanan darah diastolik < 80
mmHg. Prehipertensi tidak dianggap sebagai kategori penyakit tetapi
mengidentifikasi pasien-pasien yang tekanan darahnya cendrung meningkat ke
klasifikasi hipertensi dimasa yang akan datang. Ada dua tingkat (stage) hipertensi
dan semua pasien pada kategori ini harus diberi terapi obat (Muchid et al., 2006).

Tabel 2.3 Klasifikasi tekanan darah untuk dewasa umur ≥ 18 tahun menurut JNC 7.
Klasifikasi tekanan darah Tekanan darah sistolik Tekanan darah diastolik
(mmHg) (mmHg)
Normal <120 <80
Prehipertensi 120-139 80-89
Hipertensi stage 1 140-159 90-99
Hipertensi stage 2 ≥160 ≥100

2.2.3 PREVALENSI

Berdasarkan hasil pengukuran tekanan darah, prevalensi hipertensi pada


penduduk umur 18 tahun ke atas tahun 2007 di Indonesia adalah sebesar 31,7%.
Menurut provinsi, prevalensi hipertensi tertinggi di Kalimantan Selatan (39,6%)
dan terendah di Papua Barat (20,1%). Sedangkan jika dibandingkan dengan tahun
2013 terjadi penurunan sebesar 5,9% (dari 31,7% menjadi 25,8%). Penurunan ini
bisa terjadi berbagai macam faktor, seperti alat pengukur tensi yang berbeda,
masyarakat yang sudah mulai sadar akan bahaya penyakit hipertensi. Prevalensi
15

tertinggi di Provinsi Bangka Belitung (30,9%), dan Papua yang terendah (16,8%)
(Kementerian Kesehatan RI, 2014).
Selanjutnya gambaran di tahun 2013 dengan menggunakan unit analisis
individu menunjukkan bahwa secara nasional 25,8% penduduk Indonesia
menderita penyakit hipertensi. Jika saat ini penduduk Indonesia sebesar
252.124.458 jiwa maka terdapat 65.048.110 jiwa yang menderita hipertensi. Suatu
kondisi yang cukup mengejutkan. Terdapat 13 provinsi yang persentasenya
melebihi angka nasional, dengan tertinggi di Provinsi Bangka Belitung (30,9%)
atau secara absolut sebanyak 30,9% x 1.380.762 jiwa = 426.655 jiwa
(Kementerian Kesehatan RI, 2014).

2.2.4 FAKTOR RISIKO

Faktor risiko hipertensi (Tanto et al., 2014):


- Merokok
- Obesitas
- Inaktivitas fisik
- Dislipidemia
- Diabetes melitus
- Mikroalbuminuria
- Laju filtrasi glomerulus < 60 mL/menit
- Usia (laki-laki > 55 tahun atau perempuan > 65 tahun)
- Riwayat keluarga dengan penyakit kardiovaskular dini (laki-laki < 55
tahun atau perempuan < 65 tahun).

2.2.5 PATOGENESIS

a. Peran volume intravaskular


Tekanan darah tinggi adalah hasil interaksi antara cardiac output
(CO) dan total peripheral resistance (TPR). Volume intravaskular
merupakan determinan utama untuk kestabilan tekanan darah dari waktu
ke waktu. Tergantung keadaan TPR apakah dalam posisi vasodilatasi atau
vasokontriksi. Bila asupan NaCl meningkat maka ginjal akan merespons
16

agar ekskresi garam keluar bersama urine ini juga akan meningkat. Tetapi
bila upaya mengeksresi NaCl ini melebihi ambang kemampuan ginjal
maka ginjal akan meretensi H2O sehingga volume intravaskular
meningkat. Pada gilirannya CO akan meningkat. Akibatnya terjadi
ekspansi volume intravaskular, sehingga tekanan darah akan meningkat.
Seiring dengan perjalanan waktu TPR juga akan meningkat, lalu secara
berangsur CO akan turun menjadi normal lagi akibat autoregulasi. Bila
TPR vasodilatasi tekanan darah akan menurun, sebaliknya bila TPR
vasokonstriksi tekanan darah akan meningkat (Kaplan, 2010).
b. Peran kendali saraf otonom
Persarafan autonom ada dua macam, yang pertama ialah saraf
sistem saraf simpatis, yang mana saraf ini yang akan menstimulasi saraf
viseral (termasuk ginjal) melalui neurotransmiter : katekolamin, epinefrin,
maupun dopamin. Saraf parasimpatis adalah yang menghambat stimulasi
saraf simpatis. Regulasi simpatis dan para simpatis berlangsung
independen tidak dipengaruhi oleh kesadaran otak, akan tetapi terjadi
secara otomatis sesuai siklus sikardian (Yogiantoro, 2015). Ada beberapa
reseptor adrenergik yang berada di jantung, ginjal, otak serta dinding
vaskular pembuluh darah ialah reseptor α1, α2, β1 dan β2. Belakangan
ditemukan reseptor β3 di aorta yang ternyata kalau dihambat dengan beta
bloker β1 selektif yang baru (nebivolol) maka akan memicu terjadinya
vasodilatasi malalui peningkatan nitrit oksida (NO) (Groot et al., 2003).
Karena pengaruh-pengaruh lingkungan misalnya genetik, stres kejiwaan,
rokok, dan sebagainya, akan terjadi aktivitas sistem saraf simpatis berupa
kenaikan ketekolamin, nor epinefrin (NE) dan sebagainya. Selanjutnya
neurotransmiter ini akan meningkatkan denyut jantung (Heart Rate) lalu di
ikuti kenaikan CO, sehingga tekanan darah akan meningkat dan akhirnya
akan mengalami agregrasi platelet. Peningkatan neurotransmiter NE ini
menpunyai efek negatif terhadap jantung, sebab di jantung ada reseptor α1,
β1, β2 yang akan memicu terjadinya kerusakan miokard, hipertrofi, dan
aritmia dengan akibat progesivitas dari hipertensi aterosklerosis. Karena
17

pada dinding pembuluh darah juga ada reseptor α1, peningkatan NE akan
memicu vasokonstriksi (melalui reseptor α1), sehingga hipertensi
aterosklerosis juga semakin progresif. Pada ginjal NE juga berefek negatif,
sebab di ginjal ada reseptor β1 dan α1 yang akan memicu terjadinya
retensi natrium, mengaktifasi system renin angiotensin aldosteron (RAA),
memicu vasokonstriksi pembuluh darah dengan akibat hipertensi
aterosklerosis juga makin progresif. Bila NE kadarnya tidak normal maka
sindroma hipertensi aterosklerosis juga akan berlanjut makin progresif
menuju kerusakan organ target/Target Organ Damage (TOD)
(Yogiantoro, 2015).
c. Peran sistem renin angiotensin aldosteron (RAA)
Bila tekanan darah menurun maka ini akan memicu refleks
baroreceptor. Berikutnya secara fisiologis sistem RAA akan mengikuti
kaskade seperti tampak pada gambar dibawah ini yang mana pada
akhirnya renin akan disekresi, lalu angiotensin I (AT 1), angiotensin II
(AT 2), dan seterusnya sampai tekanan darah meningkat kembali.
Begitulah secara fisiologis autoregulasi tekanan darah terjadi melalui
aktifasi dari sistem RAA (Kaplan, 2010).
Adapun proses pembentukan renin dimulai dari pembentukan
angiotensinogen yang di buat di hati. Selanjutnya angiotensinogen akan di
rubah menjadi angiotensin I oleh renin yang dihasilkan oleh makula densa
apparatus juxtaglomerular ginjal. Lalu angiotensin I akan dirubah menjadi
angiotensin II oleh enzim ACE (angiotensin converting enzyme). Akhirnya
angiotensin II ini akan bekerja pada reseptor-reseptor yang terkait ATI,
AT2, AT3, AT4 (Kaplan, 2010). Faktor risiko yang tidak dikelola akan
memicu sistem RAA. Tekanan darah makin meningkat, hipertensi
aterosklerosis makin progresif. Ternyata yang berperan utama untuk
memicu progresifitas ialah angiotensin II, bukti uji klinisnya sangat kuat.
Setiap intervensi klinik pada tahap-tahap aterosklerosis kardiovaskular
kontinum ini terbukti selalu bisa menghambat progresifitas dan
menurunkan risiko kejadian kardiovaskular (Yogiantoro, 2015).
18

d. Peran dinding vaskular pembuluh darah


Hipertensi adalah the disease cardiovascular continuum, penyakit
yang berlanjut terus menerus sepanjang usia. Paradigma yang baru tentang
hipertensi dimulai dengan disfungsi endotel, lalu berlanjut menjadi
disfungsi vascular, vascular biologis berubah, lalu berakhir dengan TOD
(Dzau et al., 2006).
Mungkin hipertensi ini lebih cocok menjadi bagian dari salah satu gejala
sebuah sindroma penyakit yang akan kita sebut sebagai “The artherosclerosis
syndrome” atau “the hypertension syndrome”, sebab pada hipertensi sering
disertai gejala-gejala lain berupa resistensi insulin, gangguan toleransi glukosa,
kerusakan membran transport, disfungsi endotel, dislipidemia, pembesaran
ventrikel kiri, gangguan simpatis parasimpatis. Aterosklerosis ini akan akan
berjalan progresif dan berakhir dengan kejadian kardiovaskular (Yogiantoro,
2015). Disfungsi endotel merupakan sindroma klinis yang bisa langsung
berhubungan dengan dan dapat memprediksi peningkatan risiko kejadian
kardiovaskular (Bonetti, 2003). Progresifitas sindrom aterosklerosis ini dimulai
dengan faktor risiko yang tidak dikelola, akibatnya hemodinamika tekanan darah
makin berubah, hipertensi makin meningkat serta vaskular biologi berubah,
dinding pembuluh darah makin menebal dan pasti berakhir dengan kejadian
kardiovaskular (Dzau et al., 2006).
Faktor risiko yang paling dominan memegang peranan untuk progresivitas
ternyata tetap diegang oleh angiotensin II. Bukti klinis sudah mencapai tingkat
evidence A, bahwa bila peran angiotensin II dihambat oleh ACE-inhibitor (ACEI)
atau angiotensin receptor blocker (ARB), risiko kejadian hipertensi dapat
dicegah/diturunkan secara meyakinkan (Yogiantoro, 2015).

2.2.6 DIAGNOSIS

a. Evaluasi hipertensi
Ada 3 tujuan evaluasi pasien dengan hipertensi (Muchid et al., 2006):
1. Menilai gaya hidup dan identifikasi faktor-faktor resiko kardiovaskular
atau penyakit penyerta yang mungkin dapat mempengaruhi prognosis.
19

2. Mencari penyebab tekanan darah tinggi.


3. Menetukan ada tidaknya kerusakan organ target dan penyakit
kardiovaskular.
Data diperoleh melalui anamnesis mengenai keluhan pasien, riwayat
penyakit dahulu dan penyakit keluarga, pemeriksaan fisik, tes laboratorium rutin,
dan prosedur diagnostik lainnya (Muchid et al., 2006).
Pemeriksaan fisik termasuk pengukuran tekanan darah yang benar,
pemeriksaan funduskopi, perhitungan BMI (body mass index) yaitu berat badan
(kg) dibagi dengan tinggi badan (m2), auskultasi arteri karotis, abdominal, dan
bruit arteri femoralis; palpasi pada kelenjar tiroid; pemeriksaan lengkap jantung
dan paru-paru; pemeriksaan abdomen untuk melihat pembesaran ginjal, massa
intra abdominal, dan pulsasi aorta yang abnormal; palpasi ektremitas bawah untuk
melihat adanya edema dan denyut nadi, serta penilaian neurologis. Penemuan fisik
yang utama adalah meningkatnya tekanan darah. Pengukuran rata-rata dua kali
atau lebih dalam waktu dua kali kontrol ditentukan untuk mendiagnosis hipertensi
(Muchid et al., 2006).
b. Gejala klinis
Kebanyakan pasien hipertensi bersifat asimtomatik. Beberapa pasien
mengalami sakit kepala, rasa berputar, atau penglihatan kabur. Hal yang dapat
menunjang kecurigaan ke hipertensi sekunder, antara lain penggunaan obat-obatan
(kontrasepsi hormonal, kortikosteroid, obat anti inflamasi non steroid): sakit
kepala paroksismal, berkeringat, atau takikardi (Tanto et al., 2014).
c. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium rutin yang direkomendasikan sebelum memulai
terapi antihipertensi adalah urinalisis, kadar gula darah dan hematokrit; kalium,
kreatinin, dan kalsium serum; profil lemak (setelah puasa 9 – 12 jam) termasuk
high density lipoprotein (HDL), low density lipoprotein (LDL), dan trigliserida;
serta elektrokardiogram. Pemeriksaan opsional termasuk pengukuran ekskresi
albumin urin atau rasio albumin / kreatinin. Pemeriksaan yang lebih ekstensif
untuk mengidentifikasi penyebab hipertensi tidak diindikasikan kecuali apabila
pengontrolan tekanan darah tidak tercapai (Muchid et al., 2006).
20

d. Kerusakan organ target


Didapat melalui anamnesis mengenai riwayat penyakit atau penemuan
diagnostik sebelumnya guna membedakan penyebab yang mungkin, apakah sudah
ada kerusakan organ target sebelumnya atau disebabkan hipertensi. Anamnesis
dan pemeriksaan fisik harus meliputi hal-hal seperti (Tanto et al., 2014):
- Otak: stroke, transient ischaemic attack (TIA), demensia
- Mata: retinopati
- Jantung: hipertropi ventrikel kiri, angina atau pernah infark miokard,
pernah revaskularisasi koroner
- Ginjal: penyakit ginjal kronis
- Penyakit arteri perifer

2.3 PATOFISIOLOGI DM TIPE 2 MENYEBABKAN HIPERTENSI

Pada hiperglikemia, gula darah akan menempel pada dinding pembuluh


darah. Setelah itu akan terjadi proses oksidasi dimana gula darah bereaksi dengan
protein dari dinding pembuluh darah yang menimbulkan advanced glycation end
products (AGEs). AGEs ini merusak dinding bagian dalam dari pembuluh darah,
dan menarik lemak yang jenuh atau kolesterol menempel pada dinding pembuluh
darah, sehingga terjadi reaksi inflamasi. Sel darah putih (leukosit) dan sel
pembekuan darah (trombosit) ikut menyatu menjadi satu bekuan plaque yang
membuat dinding pembuluh darah menjadi keras, kaku dan akhirnya terjadi
penyumbatan pembuluh darah dan mengakibatkan hipertensi (Tandra, 2009).
Disfungsi endotel pada penderita DM telah banyak dibuktikan baik secara
invivo maupun invitro. Pada sel yang mengalami disfungsi akan terjadi
peningkatan produksi berbagai senyawa yang bersifat protrombotik dan
vasokonstriksi seperti tissue factors, factor von willebrand, faktor aktivasi platelet,
endotelin, tromboxane A2, dan penurunan produksi berbagai senyawa yang
bersifat anti trombotik dan vasodilatasi, seperti nitrogen oksida, prostasiklin,
ADPase, trombomedulin, heparin sulfat, dan plasminogen activator. Hal ini dapat
21

menyebabkan penyumbatan pembuluh darah dan menyebabkan hipertensi


(Pranata, 2016).
Pada pasien DM tipe 2, hiperglikemia sering dihubungkan dengan
hiperinsulinemia, dislipidemia, dan hipertensi yang bersama-sama mengawali
terjadinya penyakit kardiovaskuler dan stroke. Apabila hiperinsulinemia ini tidak
cukup kuat untuk mengkoreksi hiperglikemia, keadaan ini dapat dinyatakan
sebagai DM tipe 2. Kadar insulin berlebih tersebut menimbulkan peningkatan
retensi natrium oleh tubulus ginjal yang dapat menyebabkan hipertensi. Lebih
lanjut, kadar insulin yang tinggi bisa menyebabkan inisiasi aterosklerosis, yaitu
dengan stimulasi proliferasi sel-sel endotel dan sel-sel otot pembuluh darah
(Masharani dan German, 2003).

2.4 PENELITIAN TERKAIT HUBUNGAN KADAR GULA DARAH


PUASA DENGAN TEKANAN DARAH PADA PASIEN DM TIPE 2

Penelitian – penelitian sejenis ini telah dilakukan sebelumnya, sebab


penelitian–penelitian terdahulu dirasa sangat penting dalam sebuah penelitian
yang akan dilakukan. Beberapa penelitian terdahulu yang mendasari penelitian ini
antara lain:
1. Penelitian oleh Mohamed Berraho, dkk (2012) berjudul Hypertension and
type 2 diabetes: a cross-sectional study in Morocco. Sebuah penelitian
cross-sectional dilakukan terhadap 525 penderita diabetes tipe 2 di tiga
wilayah di Maroko. Dari 525 peserta diabetes 68,7% adalah perempuan,
47,1% berusia > 60 tahun. Setengah sampel (50,3%) menderita diabetes
selama kurang dari 5 tahun, 42,7% memiliki kelebihan berat badan dan
31,2% mengalami obesitas, 2,7% adalah perokok saat ini dan 5,9% adalah
mantan perokok. Tingkat prevalensi hipertensi adalah 70,4%. Prevalensi di
antara laki-laki serupa dengan perempuan (P = 0,31). Kesimpulan
penelitian ini adalah terdapat hubungan antara hipertensi dengan diabetes
melitus tipe 2.
22

2. Penelitian oleh Haydeh Hashemizadeh ,dkk (2012) berjudul Hypertension


and Type 2 Diabetes: A Cross-sectional Study in Hospitalized Patients in
Quchan,Iran. Tingkat signifikan statistik diambil sebagai P <0,05. Dua
ratus sepuluh dari 300 subjek penderita DM memiliki hipertensi, sehingga
memberikan tingkat prevalensi 70%. Didapatkan hasil 100 subjek laki-laki
(47,6%) dengan hipertensi dibandingkan dengan 110 subjek perempuan
(52,4%) dengan hipertensi (P=0.2). Kesimpulan penelitian ini adalah
terdapat hubungan antara hipertensi dengan diabetes melitus tipe 2.
3. Penelitian oleh Qun Yan, dkk (2016) berjudul Association of blood
glucose level and hypertension in Elderly Chinese Subjects: a community
based study. Sebanyak 2092 individu (971 pria dan 1121 wanita) masuk
dalam penelitian ini. Tingkat gula darah puasa yang tinggi berhubungan
dengan prevalensi hipertensi yang lebih tinggi pada kedua jenis kelamin. P
= 0,023 pada pria dan P = 0,010 pada wanita. Kesimpulan penelitian ini
adalah terdapat hubungan antara hipertensi dengan diabetes melitus tipe 2.
23

2.5 KERANGKA TEORI PENELITIAN

DM tipe 2 (resistensi insulin)

Kadar gula darah tinggi

Gula darah bereaksi dengan


protein menimbulkan
advanced glycosilated end
products (AGEs)

AGEs mengikat lemak dan


menempel pada pembuluh
darah

Reaksi inflamasi, leukosit,


trombosit menyatu
membentuk suatu plaque

Dinding pembuluh darah


menebal, kaku, dan keras

Tekanan darah tinggi

Gambar 2.1 Kerangka teori.


24

2.6 KERANGKA KONSEP PENELITIAN

Kerangka konsep penelitian adalah suatu uraian dan visualisasi hubungan


antara satu konsep dengan kosep lainnya, atau antara satu variabel dengan
variabel lainnya dari masalah yang ingin diteliti (Notoatmodjo, 2012). Pada
penelitian ini kadar gula darah merupakan variabel bebas (independent variable)
,dan tekanan darah merupakan variabel terikat (dependent variable). Kerangka
konsep penelitian ini sebagai berikut:

Variabel bebas Variabel terikat

Kadar gula darah penderita Tekanan darah penderita


DM DM

Gambar 2.2 Kerangka konsep.

2.7 HIPOTESIS PENELITIAN

Hipotesis adalah suatu jawaban sementara dari pertanyaan penelitian.


Biasanya hipotesis dirumuskan dalam bentuk hubungan antara 2 variabel ,yaitu
variabel bebas dan variabel terikat (Notoatmodjo, 2012).
Rumusan hipotesis pada penelitian ini adalah:
Ada hubungan kadar gula darah puasa dengan tekanan darah pada pasien
diabetes melitus tipe 2 di poliklinik penyakit dalam RSUP Haji Adam Malik
Medan tahun 2016.
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 RANCANGAN PENELITIAN

Desain penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah observasional


analitik. Observasional analitik adalah penelitian yang mencoba menggali
bagaimana dan mengapa fenomena kesehatan itu terjadi. Kemudian melakukan
analisis dinamika korelasi antara fenomena atau antara faktor risiko dengan faktor
efek. Faktor efek adalah suatu akibat dari adanya faktor risiko. Faktor risiko
adalah suatu fenomena yang mengakibatkan terjadinya efek (Notoatmodjo, 2012).
Pendekatan yang digunakan adalah cross sectional yaitu suatu penelitian
untuk mempelajari dinamika korelasi antara faktor-faktor risiko dengan efek,
dengan cara pendekatan, observasi, atau pengumpulan data sekaligus pada suatu
saat (point time approach). Artinya, tiap subjek penelitian hanya diobservasi
sekali saja dan pengukuran dilakukan terhadap status karakter atau variabel subjek
pada saat pemeriksaan (Notoatmodjo, 2012).

3.2 TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN

Penelitian dilaksanakan di Poliklinik Penyakit Dalam RSUP Haji Adam


Malik Medan pada bulan Juli-November 2017.

3.3 POPULASI DAN SAMPEL PENELITIAN

3.3.1 POPULASI

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek/subjek yang


ditetapkan peneliti untuk dipelajari dan ditarik kesimpulannya (Notoatmodjo,
2012). Populasi penelitian ini adalah seluruh rekam medis pasien DM tipe 2 yang
melakukan pengobatan rawat jalan di Poliklinik Penyakit Dalam RSUP Haji
Adam Malik Medan pada bulan Januari-Desember 2016 yang berjumlah 790
orang.

25
26

3.3.2 SAMPEL

Sampel adalah objek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi
(Notoatmodjo, 2012). Sampel pada penelitian ini adalah rekam medis pasien DM
tipe 2 yang memenuhi kriteria sampel.

3.3.2.1 KRITERIA SAMPEL

Kriteria sampel adalah kriteria yang perlu dipenuhi setiap anggota


populasi yang dapat diambil sebagai sampel. Kriteria sampel pada penelitian ini:
a) Rekam medis pasien diabetes melitus tipe 2 rawat jalan di Poliklinik
Penyakit Dalam RSUP Haji Adam Malik dengan usia ≥ 18 tahun.
b) Rekam medis pasien diabetes melitus tipe 2 rawat jalan di Poliklinik
Penyakit Dalam RSUP Haji Adam Malik Medan yang belum pernah
mendapatkan terapi DM dan terapi hipertensi.
c) Kelengkapan data rekam medis pasien diabetes melitus tipe 2 rawat
jalan di Poliklinik Penyakit Dalam RSUP Haji Adam Malik Medan
sesuai dengan data yang dibutuhkan dalam penelitian.

3.3.2.2 CARA PEMILIHAN SAMPEL

Cara pemilihan sampel pada penelitian ini adalah consecutive sampling.


Pada consecutive sampling, semua subyek yang datang secara berurutan dan
memenuhi kriteria pemilihan dimasukkan dalam penelitian sampai jumlah sampel
yang diperlukan terpenuhi (Sastroasmoro, 2011).

3.3.2.3 ESTIMASI SAMPEL

Menentukan besar sampel untuk koefisien korelasi diperlukan informasi


(Madiyono, 2011):
1. n = jumlah sampel minimal.
2. Zα =deviat baku normal untuk α yang telah ditetapkan oleh peneliti
(tingkat kesalahan 0,05; jadi Zα=1,96).
3. Zβ =deviat baku normal untuk β yang telah ditetapkan oleh peneliti
(tingkat kesalahan 0,05; jadi Zβ=1,645).
27

4. r =perkiraan koefisien korelasi yang diperoleh dari penelitian


sebelumnya (0,392) (Pranata, 2016).

Rumus yang digunakan (Madiyono, 2011):


2

𝑍𝛼 + 𝑍𝛽
n=( ) +3 (3, 1)
(1 + 𝑟)
0,5𝑙𝑛 ( )
(1 − 𝑟)
2
1,96 + 1,645
n=( ) +3
(1 + 0,392)
0,5𝑙𝑛 (( )
1 − 0,392)
n = 78,77 ≈ 79
Jadi, jumlah sampel minimal penelitian ini adalah 79 sampel.

3.4 TEKNIK PENGAMBILAN DATA

Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan mengambil data di


Poliklinik Penyakit Dalam RSUP Haji Adam Malik Medan tahun 2016 yaitu data
rekam medis pasien diabetes melitus tipe 2 untuk melihat hasil pemeriksaan gula
darah puasa dan tekanan darahnya.

3.5 PENGOLAHAN DAN ANALISIS DATA

3.5.1 PENGOLAHAN DATA

Pengolahan data adalah suatu proses dalam memperoleh data ringkasan


atau angka ringkasan dengan menggunakan cara-cara tertentu. Proses ini meliputi:
a. Editing
pada tahap ini data diperiksa ketepatan dan kelengkapannya.
b. Coding
Data yang sudah terkumpul kemudian diberi kode secara manual oleh
peneliti sebelum diolah dengan komputer.
c. Entry
Data yang sudah dibersihkan selanjutnya dimasukkan kedalam program
komputer.
28

d. Cleaning data
Semua data yang sudah dimasukkan ke dalam komputer diperiksa kembali
untuk menghidari terjadinya kesalahan dalam memasukkan data.
e. Saving
Data selanjutnya di simpan dan siap untuk di analisis.

3.5.2 ANALISIS DATA

Analisis data adalah kegiatan pengolahan data setelah data terkumpul yang
selanjutnya disajikan dalam bentuk laporan. Analisis data dilakukan dengan
tujuan menjawab hipotesis penelitian. Sebelum dilakukan analisis, terlebih dahulu
diuji normalitas distribusi data dengan menggunakan kolmogorov-smirnov test.
a. Analisis univariat
Analisis univariat dilakukan untuk mendeskripsikan karakteristik dari
variabel yang diteliti seperti rata-rata, median, dan seterusnya (Tumberlaka,
2011). Pada penelitian ini dilakukan analisis univariat pada kadar gula darah dan
tekanan darah. Data yang berdistribusi normal disajikan dalam rata-rata (x) dan
simpangan baku (sd), data yang tidak berdistribusi normal disajikan dalam median
(me) dan minimal-maksimal (min-maks).
b. Analisis bivariat
Analisis bivariat dilakukan dengan tujuan untuk menganalisis variabel
penelitian yaitu variabel bebas dan variabel terikat. Hal ini digunakan untuk
membuktikan hipotesis yang dibuat (Tumberlaka, 2011). Pada penelitian ini
dilakukan analisis bivariat pada kadar gula darah dan tekanan darah. Jika data
berdistribusi normal pengujian dilakukan menggunakan uji korelasi pearson dan
jika data tidak berdistribusi normal digunakan uji korelasi rank spearman. Seluruh
data yang diperoleh diolah dengan menggunakan program SPSS (Statistical
Package for the Social Science).
29

3.6 DEFINISI OPERASIONAL

Variabel mengandung pengertian ukuran atau ciri yang dimiliki oleh


anggota-anggota suatu kelompok yang berbeda dengan yang dimiliki kelompok
lain (Notoatmodjo, 2012). Pada penelitian ini terdapat dua variabel, yaitu variabel
bebas (independent variable) dan variabel terikat (dependent variable).
1. Variabel bebas adalah variabel yang memperngaruhi atau yang menjadi
sebab berubahnya atau timbulnya variabel terikat (Notoatmodjo, 2012).
Pada penelitian ini variabel bebas, yaitu kadar gula darah puasa.
2. Variable terikat adalah variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat
dari adanya variabel bebas (Notoatmodjo, 2012). Variabel terikat pada
penelitian ini adalah tekanan darah.

Tabel 3.1 Definisi operasional.


Variabel Definisi operasional Cara Hasil ukur Skala
ukur
Gula darah Data hasil pemeriksaan kadar gula Observasi Numerik Rasio
puasa darah puasa pertama sebelum rekam (mg/dL)
mendapatkan terapi DM yang terdapat medis
pada rekam medis
Tekanan darah Data hasil pengukuran tekanan darah Observasi Numerik Rasio
pertama sebelum mendapatkan terapi rekam (mmHg)
hipertensi yang tedapat pada rekam medis
medis
BAB IV
JADWAL DAN BIAYA PENELITIAN
4.1 JADWAL PENELITIAN

Tabel 4.1 Jadwal penelitian.


Bulan Mrt Apr Mei Juni Juli Agu Sep Okt Nov Des
Kegiatan
Persiapan
Proposal
Seminar
Proposal
Pengambilan
Data
Pengolahan
Data
Penelitian
Hasil
Presentasi
Hasil

4.2 BIAYA PENELITIAN

Biaya yang diperlukan dalam penelitian ini adalah sebesar Rp


2.050.000,00 (dua juta lima puluh ribu rupiah). Sumber dana penelitian
adalah dana mandiri. Uraian penggunaan dana penelitian dapat dilihat dalam
tabel 4.2.
Tabel 4.2 Rencana anggaran dana penelitian.
No. Uraian Jumlah (Rupiah)
1. Pengumpulan kepustakaan 500.000
2. Survei awal dan pembuatan proposal 500.000
3. Seminar Proposal 50.000
4. Pengambilan data 500.000
5. Pembuatan Skripsi 500.000
Total 2.050.000

30

Anda mungkin juga menyukai