PENDAHULUAN
1
2
Mengetahui hubungan kadar gula darah puasa dengan tekanan darah pada
pasien DM tipe 2 di Poliklinik Penyakit Dalam RSUP Haji Adam Malik Medan
tahun 2016.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1 DEFINISI
2.1.2 PREVALENSI
4
5
2.1.3 PATOFISIOLOGI
2.1.6 DIAGNOSIS
- Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi
ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada wanita.
Kriteria diagnosis DM (PERKENI, 2015):
- Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dL.
Puasa adalah kondisi tidak ada asupan kalori minimal 8 jam atau
- Pemeriksaan glukosa plasma ≥ 200 mg/dL 2 jam setelah tes toleransi
glukosa oral (TTGO) dengan beban glukosa 75 gram atau
- Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/dL dengan keluhan klasik
atau
- Pemeriksaan HbA1c ≥ 6,5% dengan menggunakan metode yang
terstandarisasi oleh National Glycohemoglobin Standarization Program
(NGSP).
Catatan: saat ini tidak semua laboratorium di Indonesia memenuhi standar NGSP,
sehingga harus hati-hati dalam membuat interpretasi terhadap hasil pemeriksaan
Hemoglobin A1C (HbA1c). Pada kondisi tertentu seperti: anemia,
hemoglobinopati, riwayat transfusi darah 2-3 bulan terakhir, kondisi-kondisi yang
mempengaruhi umur eritrosit dan gangguan fungsi ginjal maka HbA1c tidak dapat
dipakai sebagai alat diagnosis maupun evaluasi.
Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau kriteria DM
digolongkan ke dalam kelompok prediabetes yang meliputi: toleransi glukosa
terganggu (TGT) dan glukosa darah puasa terganggu (GDPT) (PB PERKENI,
2015):
- Glukosa darah puasa terganggu (GDPT): Hasil pemeriksaan glukosa
plasma puasa antara 100-125 mg/dL dan pemeriksaan tes toleransi glukosa
oral (TTGO) glukosa plasma 2 jam < 140 mg/dL.
- Toleransi glukosa terganggu (TGT): Hasil pemeriksaan glukosa plasma 2
jam setelah TTGO antara 140-199 mg/dL dan glukosa plasma puasa < 100
mg/dL.
- Bersama-sama didapatkan GDPT dan TGT.
- Diagnosis prediabetes dapat juga ditegakkan berdasarkan hasil
pemeriksaan HbA1c yang menunjukkan angka 5,7-6,4%.
11
Tabel 2.1 Kadar tes laboratorium darah untuk diagnosis diabetes dan prediabetes.
Hba1c % Glukosa darah Glukosa darah 2
puasa (mg/dL) jam setelah TTGO
(mg/dL)
Diabetes ≥ 6,5 ≥ 126 ≥ 200
Tabel 2.2 Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring dan diagnosis DM
(mg/dL).
Bukan DM Belum pasti DM
DM
Kadar glukosa Plasma vena <100 100-199 ≥200
darah sewaktu
(mg/dL)
Darah kapiler <90 90-199 ≥200
2.1.7 KOMPLIKASI
2.2 HIPERTENSI
2.2.1 DEFINISI
Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah sistolik lebih dari atau sama
dengan 140 mmHg atau tekanan darah diastolik lebih dari atau sama dengan 90
mmHg dalam 2 kali pengukuran dengan jarak pemeriksaan minimal 10 menit
(Setiati, 2009).
2.2.2 KLASIFIKASI
Tabel 2.3 Klasifikasi tekanan darah untuk dewasa umur ≥ 18 tahun menurut JNC 7.
Klasifikasi tekanan darah Tekanan darah sistolik Tekanan darah diastolik
(mmHg) (mmHg)
Normal <120 <80
Prehipertensi 120-139 80-89
Hipertensi stage 1 140-159 90-99
Hipertensi stage 2 ≥160 ≥100
2.2.3 PREVALENSI
tertinggi di Provinsi Bangka Belitung (30,9%), dan Papua yang terendah (16,8%)
(Kementerian Kesehatan RI, 2014).
Selanjutnya gambaran di tahun 2013 dengan menggunakan unit analisis
individu menunjukkan bahwa secara nasional 25,8% penduduk Indonesia
menderita penyakit hipertensi. Jika saat ini penduduk Indonesia sebesar
252.124.458 jiwa maka terdapat 65.048.110 jiwa yang menderita hipertensi. Suatu
kondisi yang cukup mengejutkan. Terdapat 13 provinsi yang persentasenya
melebihi angka nasional, dengan tertinggi di Provinsi Bangka Belitung (30,9%)
atau secara absolut sebanyak 30,9% x 1.380.762 jiwa = 426.655 jiwa
(Kementerian Kesehatan RI, 2014).
2.2.5 PATOGENESIS
agar ekskresi garam keluar bersama urine ini juga akan meningkat. Tetapi
bila upaya mengeksresi NaCl ini melebihi ambang kemampuan ginjal
maka ginjal akan meretensi H2O sehingga volume intravaskular
meningkat. Pada gilirannya CO akan meningkat. Akibatnya terjadi
ekspansi volume intravaskular, sehingga tekanan darah akan meningkat.
Seiring dengan perjalanan waktu TPR juga akan meningkat, lalu secara
berangsur CO akan turun menjadi normal lagi akibat autoregulasi. Bila
TPR vasodilatasi tekanan darah akan menurun, sebaliknya bila TPR
vasokonstriksi tekanan darah akan meningkat (Kaplan, 2010).
b. Peran kendali saraf otonom
Persarafan autonom ada dua macam, yang pertama ialah saraf
sistem saraf simpatis, yang mana saraf ini yang akan menstimulasi saraf
viseral (termasuk ginjal) melalui neurotransmiter : katekolamin, epinefrin,
maupun dopamin. Saraf parasimpatis adalah yang menghambat stimulasi
saraf simpatis. Regulasi simpatis dan para simpatis berlangsung
independen tidak dipengaruhi oleh kesadaran otak, akan tetapi terjadi
secara otomatis sesuai siklus sikardian (Yogiantoro, 2015). Ada beberapa
reseptor adrenergik yang berada di jantung, ginjal, otak serta dinding
vaskular pembuluh darah ialah reseptor α1, α2, β1 dan β2. Belakangan
ditemukan reseptor β3 di aorta yang ternyata kalau dihambat dengan beta
bloker β1 selektif yang baru (nebivolol) maka akan memicu terjadinya
vasodilatasi malalui peningkatan nitrit oksida (NO) (Groot et al., 2003).
Karena pengaruh-pengaruh lingkungan misalnya genetik, stres kejiwaan,
rokok, dan sebagainya, akan terjadi aktivitas sistem saraf simpatis berupa
kenaikan ketekolamin, nor epinefrin (NE) dan sebagainya. Selanjutnya
neurotransmiter ini akan meningkatkan denyut jantung (Heart Rate) lalu di
ikuti kenaikan CO, sehingga tekanan darah akan meningkat dan akhirnya
akan mengalami agregrasi platelet. Peningkatan neurotransmiter NE ini
menpunyai efek negatif terhadap jantung, sebab di jantung ada reseptor α1,
β1, β2 yang akan memicu terjadinya kerusakan miokard, hipertrofi, dan
aritmia dengan akibat progesivitas dari hipertensi aterosklerosis. Karena
17
pada dinding pembuluh darah juga ada reseptor α1, peningkatan NE akan
memicu vasokonstriksi (melalui reseptor α1), sehingga hipertensi
aterosklerosis juga semakin progresif. Pada ginjal NE juga berefek negatif,
sebab di ginjal ada reseptor β1 dan α1 yang akan memicu terjadinya
retensi natrium, mengaktifasi system renin angiotensin aldosteron (RAA),
memicu vasokonstriksi pembuluh darah dengan akibat hipertensi
aterosklerosis juga makin progresif. Bila NE kadarnya tidak normal maka
sindroma hipertensi aterosklerosis juga akan berlanjut makin progresif
menuju kerusakan organ target/Target Organ Damage (TOD)
(Yogiantoro, 2015).
c. Peran sistem renin angiotensin aldosteron (RAA)
Bila tekanan darah menurun maka ini akan memicu refleks
baroreceptor. Berikutnya secara fisiologis sistem RAA akan mengikuti
kaskade seperti tampak pada gambar dibawah ini yang mana pada
akhirnya renin akan disekresi, lalu angiotensin I (AT 1), angiotensin II
(AT 2), dan seterusnya sampai tekanan darah meningkat kembali.
Begitulah secara fisiologis autoregulasi tekanan darah terjadi melalui
aktifasi dari sistem RAA (Kaplan, 2010).
Adapun proses pembentukan renin dimulai dari pembentukan
angiotensinogen yang di buat di hati. Selanjutnya angiotensinogen akan di
rubah menjadi angiotensin I oleh renin yang dihasilkan oleh makula densa
apparatus juxtaglomerular ginjal. Lalu angiotensin I akan dirubah menjadi
angiotensin II oleh enzim ACE (angiotensin converting enzyme). Akhirnya
angiotensin II ini akan bekerja pada reseptor-reseptor yang terkait ATI,
AT2, AT3, AT4 (Kaplan, 2010). Faktor risiko yang tidak dikelola akan
memicu sistem RAA. Tekanan darah makin meningkat, hipertensi
aterosklerosis makin progresif. Ternyata yang berperan utama untuk
memicu progresifitas ialah angiotensin II, bukti uji klinisnya sangat kuat.
Setiap intervensi klinik pada tahap-tahap aterosklerosis kardiovaskular
kontinum ini terbukti selalu bisa menghambat progresifitas dan
menurunkan risiko kejadian kardiovaskular (Yogiantoro, 2015).
18
2.2.6 DIAGNOSIS
a. Evaluasi hipertensi
Ada 3 tujuan evaluasi pasien dengan hipertensi (Muchid et al., 2006):
1. Menilai gaya hidup dan identifikasi faktor-faktor resiko kardiovaskular
atau penyakit penyerta yang mungkin dapat mempengaruhi prognosis.
19
METODE PENELITIAN
3.3.1 POPULASI
25
26
3.3.2 SAMPEL
Sampel adalah objek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi
(Notoatmodjo, 2012). Sampel pada penelitian ini adalah rekam medis pasien DM
tipe 2 yang memenuhi kriteria sampel.
𝑍𝛼 + 𝑍𝛽
n=( ) +3 (3, 1)
(1 + 𝑟)
0,5𝑙𝑛 ( )
(1 − 𝑟)
2
1,96 + 1,645
n=( ) +3
(1 + 0,392)
0,5𝑙𝑛 (( )
1 − 0,392)
n = 78,77 ≈ 79
Jadi, jumlah sampel minimal penelitian ini adalah 79 sampel.
d. Cleaning data
Semua data yang sudah dimasukkan ke dalam komputer diperiksa kembali
untuk menghidari terjadinya kesalahan dalam memasukkan data.
e. Saving
Data selanjutnya di simpan dan siap untuk di analisis.
Analisis data adalah kegiatan pengolahan data setelah data terkumpul yang
selanjutnya disajikan dalam bentuk laporan. Analisis data dilakukan dengan
tujuan menjawab hipotesis penelitian. Sebelum dilakukan analisis, terlebih dahulu
diuji normalitas distribusi data dengan menggunakan kolmogorov-smirnov test.
a. Analisis univariat
Analisis univariat dilakukan untuk mendeskripsikan karakteristik dari
variabel yang diteliti seperti rata-rata, median, dan seterusnya (Tumberlaka,
2011). Pada penelitian ini dilakukan analisis univariat pada kadar gula darah dan
tekanan darah. Data yang berdistribusi normal disajikan dalam rata-rata (x) dan
simpangan baku (sd), data yang tidak berdistribusi normal disajikan dalam median
(me) dan minimal-maksimal (min-maks).
b. Analisis bivariat
Analisis bivariat dilakukan dengan tujuan untuk menganalisis variabel
penelitian yaitu variabel bebas dan variabel terikat. Hal ini digunakan untuk
membuktikan hipotesis yang dibuat (Tumberlaka, 2011). Pada penelitian ini
dilakukan analisis bivariat pada kadar gula darah dan tekanan darah. Jika data
berdistribusi normal pengujian dilakukan menggunakan uji korelasi pearson dan
jika data tidak berdistribusi normal digunakan uji korelasi rank spearman. Seluruh
data yang diperoleh diolah dengan menggunakan program SPSS (Statistical
Package for the Social Science).
29
30