Anda di halaman 1dari 41

BAB 1

PENDAHULUAN

World Health Organization (WHO) menyebutkan 7 dari 1000 populasi penduduk dewasa
yang sebagian besar berada dalam rentang usia 15 sampai 35 tahun merupakan penderita
skizofrenia. Hal ini menunjukan bahwa 24 juta penduduk dunia adalah penderita sizofrenia.
Sedangkan di indonesia sendiri telah mencapai 2,5 persen dari total penduduk dengan 80
persennya tidak diobati.1

Skizofrenia berasal dari bahasa Yunani, schizein yang berarti terpisah atau pecah dan
phren yang berarti jiwa. Terjadi pecahnya/ ketidakserasian antara afek, kognitif, dan perilaku.
Skizofrenia adalah suatu psikosa fungsional dengan gangguan utama pada proses pikir serta
disharmonisasi antara proses pikir, afek atau emosi, kemauan dan psikomotor disertai distorsi
kenyataan, terutama karena waham dan halusinasi, assosiasi terbagi-bagi sehingga muncul
inkoherensi, afek dan emosi inadekuat, serta psikomotor yang menunjukkan penarikan diri,
ambivalensi dan perilaku bizar (Maramis, 2012).

Kesadaran dan kemampuan intelektual biasanya tetap terpelihara, walaupun kemunduran


kognitif dapat berkembang dikemudian hari. (Maslim, 2013) Skizofrenia adalah gangguan yang
berlangsung selama minimal 6 bulan dan mencakup setidaknya 1 bulan gejala fase
aktif.Sementara itu gangguan skizofrenia dikarakteristikan dengan gejala positif (delusi dan
halusinasi), gejala negatif (apatis, menarik diri, penurunan daya pikir, dan penurunan afek), dan
gangguan kognitif (memori, perhatian, pemecahan masalah, dan sosial).Terdapat beberapa tipe
dari skizofrenia (Paranoid, hiberfrenik, katatonik, undifferentiated, dan Residual) (Keefe, 2007).

Gejala-gejala pada skizofrenia :Berdasarkan ICD-10 dan PPDGJ III, untuk mendiagnosa
skizofrenia harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang jelas (dan biasanya dua gejala atau
lebih bila gejala-gejala itu kurang tajam atau kurang jelas): Thought echo = isi pikiran dirinya
sendiri yang bergema dan berulang dalam kepalanya (tidak keras) dan isi pikiran ulangan,
walaupun isinya sama, namun kualitasnya berbeda. Thought insertion or withdrawal = isi pikiran
asing dari luar masuk ke dalam pikirannya (insertion) atau isi pikirannya diambil keluar oleh
sesuatu dari luar dirinya (withdrawal). Thought broadcasting = isi pikirannya tersiar keluar
sehingga orang lain atau umum mengetahuinya. Delution of control = waham tentang dirinya
dikendalikan oleh sesuatu kekuatan tertentu dari luar. Delution of influence = waham tentang
dirinya dipengaruhi oleh sesuatu kekuatan tertentu dari luar. Delution of passivity = waham
tentang dirinya tidak berdaya dan pasrah terhadap kekuatan dari luar. Delution of perception =
pengalaman indrawi yang tidak wajar, yang bermakna sangat khas bagi dirinya, biasanya bersifat
mistik atau mukjizat (Abidi, S, 2013).

Gejala-gejala lainnya adalah Halusinasi auditorik: suara halusinasi yang berkomentar


secara terus-menerus tentang perilaku pasien. Mendiskusikan perihal pasien diantara mereka
sendiri (diantara berbagai suara yang berbicara). Jenis suara halusinasi lain yang berasal dari
salah satu bagian tubuh. Waham- waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya setempat
dianggap tidak wajar dan sesuatu yang mustahil.Atau paling sedikit dua gejala dibawah ini yang
harus selalu ada secara jelas: halusinasi yang menetap dari panca indera apa saja, apabila disertai
baik oleh waham yang mengambang maupun yang setengah berbentuk tanpa kandungan afektif
yang jelas, ataupun disertai oleh ide-ide berlebihan (over-valued ideas) yang menetap, atau
apabila terjadi setiap hari selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan terus menerus. Arus
pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisipan (interpolation), yang berakibat
inkoherensi atau pembicaraan yang tidak relevan atau neologisme (Kern, 2008).

Perilaku katatonik, seperti gaduh- gelisah, posisi tubuh tertentu, atau fleksibilitas cerea,
negativisme, mutisme, dan stupor. Gejala-gejala negatif, seperti sikap sangat apatis, bicara yang
jarang, dan respon emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya yang mengakibatkan
penarikan diri dari pergaulan sosial dan menurunnya kinerja sosial, tetapi harus jelas bahwa
semua hal tersebut tidak disebabkan oleh depresi atau medikasi neuroleptika. Gejala harus
berlangsung minimal 1 bulan. Harus ada perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu
keseluruhan dari beberapa aspek perilaku pribadi(Maslim, 2013).

Sementara berdasarkan PPDGJ-III untuk memdiagnosis skizofrenia paranoid harus


memenuhi kriteria diagnosis skizofrenia dan sebagai tambahannya terdapat: Halusinasi dan atau
waham arus menonjol, suara-suara halusinasi yang mengancam pasien atau memberi perintah,
atau halusinasi auditorik tanpa bentuk verbal berupa bunyi pluit (whistling), mendengung
(humming) atau bunyi tawa (laughing). Halusinasi pembauan atau pengecapan rasa, atau bersifat
seksual , atau lain-lain, perasaan tubuh, halusinasi visual mungkin ada tetapi jarang menonjol.
Waham dapat berupa hampir setiap jenis, tetapi waham dikendalikan (delusion of control),
dipengaruhi (delusion of influence) atau passivity (delussion of passivity), dan keyakinan dikejar-
kejar yang beraneka ragam, adalah yang paling khas. Gangguan afektif, dorongan kehendak dan
pembicaraan, serta gejala katatonik secara relatif tidak nyata/ tidak menonjol (Maslim, 2013)

Skizofrenia hebefrenik merupakan gangguan kepribadian dengan kemunduran perilaku dan


prognosis buruk. Skizofrenia hebefrenik cenderung memiliki onset awal dibandingkan subtipe
lain dan cenderung untuk berkembang sangat secara tersembunyi. Delusi dan halusinasi muncul
relatif kecil, dan gambaran klinis didominasi oleh perilaku aneh, asosiasi longgar, dan bizzare.
Keseluruhan perilaku pasien tampak kekanak-kanakan. Tanpa alasan mereka mungkin sibuk
sendiri, tanpa tujuan, sering bertingkah konyol dan tertawa dangkal. Di lain waktu mereka
menarik diri dan tidak dapat diakses. Beberapa mungkin menampilkan asosiasi longgar menuju
inkoherensi.5 Diagnosis skizofrenia ditegakkan berdasarkan kriteria dari International
Classification of Disease 10 (ICD-10). Pasien juga dapat diklasifikasikan ke dalam jenis
skizofrenia berdasarkan gejala yang dominan. Satu episode psikosis tidak cukup untuk
mendiagnosis skizofrenia, dan kondisi medis lainnya (misalnya, hipertiroidisme) atau obatobatan
(misalnya, levodopa) harus disingkirkan sebagai penyebab psikosis. 3

1.1.Rumusan Masalah
Bagaimana diagnosis dan tatalaksana pada kasus Skizofrenia Hebrefenik?
1.2.Tujuan
Untuk mengetahui diagnosis dan tatalaksana pada kasus Skizofrenia Hebrefenik.
1.3.Manfaat
Memberikan informasi mengenai Skizofrenia Hebrefenik serta mengetahui cara
mendiagnosis dan tatalaksana pada pasien Skizofrenia Hebrefenik.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

Skizofrenia adalah bahwa penderita skizofrenia umumnya pikirannya tidak konsisten


demikian juga perilakunya. Jadi mereka ini tidak konsisten, tidak rasional dan tidak pasti
(LumbanTobing, 2007) Skizofrenia adalah sekelompok reaksi psikotik yang mempengaruhi
berbagai individu termasuk berfikir dan komunikasi, menerima dan menginterprestasikan
realitas, merasakan dan memajukan emosi serta perilaku dengan sikap yang tidak bisa diterima
secara sosial (Isaacs, 2005).

Skizofrenia pada umumnya ditandai oleh penyimpangan yang funda mental dan
karakteristik dari pikiran dan persepsi, serta oleh efek yang tidak wajar (inappropriate) atau
tumpul (blunted). Kesadaran yang jernih dan kemampuan intelektual biasanya tetap terpelihara,
walaupun deficit kognitif tertentu dapat berkembang kemudian (Maslim, 1997 dalam sirait
2006). Skizofrenia adalah gangguan yang benar-benar membingungkan dan menyimpan banyak
tanda tanya (teka-teki). Kadangkala skizofrenia dapat berfikir dan berkomunikasi dengan jelas,
memiliki pandangan yang tepat dan berfungsi secara baik dalam kehidupan sehari-hari. Namun
pada saat yang lain, pemikiran dan kata-kata terbalik, mereka kehilangan sentuhan dan mereka
tidak mampu memelihara diri mereka sendiri (Hoeksema, 2004).

2.2. Sejarah

Besarnya masalah klinis skizofrenia, secara terus-menerus telah menarik perhatian tokoh-
tokoh utama psikiatri dan neurologi sepanjang sejarah gangguan ini. Tokoh-tokoh tersebut, yaitu:
(Hhusni, 2014)

 Benedict Morel (1809-1926), seorang dokter psikiatrik dari Perancis, menggunakan


istilah dẻmence prẻcoce untuk pasien dengan penyakit yang dimulai pada masa remaja
yang mengalami perburukan.
 Karl Ludwig Kahlbaum (1828-1899) menggambarkan gejala katatonia
 Ewold Hacker (1843-1909) menulis mengenai perilaku aneh atau kacau (bizzzare) pada
pasien dengan hebefrenia.
 Emil Kraepelin (1856-1926)
Emil Kraepelin merupakan seorang ahli kedokteran jiwa di kota Munich (Jerman)
dan ia mengumpulkan gejala-gejala serta sindrom, menggolongkannya ke dalam satu
kesatuan dan menerjemahkan istilah dẻmence prẻcoce dari Morel menjadi demensia
prekoks, suatu istilah yang menekankan proses kognitif atau kemunduran inteligensi
(demensia) dan awitan dini atau sebelum waktunya (prekoks) yang nyata dari gangguan
ini (Husni, 2014). Pasien dengan demesia prekoks digambarkan memiliki perjalanan
penyakit yang memburuk dalam jangka waktu lama dan gejala klinis umum berupa
halusinasi dan waham. Dimana, demensia prekoks terkait dengan konsep saat ini
tentang skizofrenia.Emil Kraepelin membagi skizofrenia dalam beberapa jenis.
Penderita digolongkan ke dalam salah satu jenis menurut gejala utama yang terdapat
padanya (Willy, 2009).

Gambar 1. Emil Kraepelin (1856-1926).


Sumber : Skizofrenia. Kaplan - Sadock : Sinopsis Psikiatri - Ilmu Pengetahuan
Perilaku Psikiatri Klinis. Jilid 1. Hal 700.

 Eugen Bleuler (1857-1939)


Pada tahun 1911, Eugen Bleuler seorang psikiatri dari swiss mengajukan istilah
“skizofrenia” dan istilah tersebut menggantikan “demensia prekoks” di dalam literatur,
karena nama ini dengan tepat sekali menonjolkan gejala utama penyakit ini, yaitu jiwa
yang terpecah-belah, adanya keretakan atau disharmoni antara proses berpikir,
perasaan, dan perbuatan (schizos = pecah belah atau bercabang, phren = jiwa) (Willy,
2009).
Bleuler menggambarkan gejala fundamental (atau primer) spesifik untuk
skizofrenia, termasuk suatu gangguan asosiasi, khususnya kelonggaran asosiasi. Gejala
fundamental lainnya adalah gangguan afektif, autisme, dan ambivalensi.Jadi terdapat
empat A dari Bleuler yang terdiri dari asosiasi, afek, autisme dan ambivalensi. Bleuler
juga menggambarkan gejala pelengkap (sekunder), yang termasuk halusinasi dan
waham, gejala yang telah menjadi bagian penting dari pengertian Kraepelin tentang
gangguan.

Gambar 2. Eugen Bleuler (1857 - 1939).


Sumber : Skizofrenia. Kaplan - Sadock : Sinopsis Psikiatri - Ilmu Pengetahuan
Perilaku Psikiatri Klinis. Jilid 1. Hal 700.

2.3. Etiologi

Skizofrenia didiskusikan seolah-olah sebagai suatu penyakit tunggal namun kategori


diagnostiknya mencakup sekumpulan gangguan, mungkin dengan kausa heterogen tapi dengan
perilaku yang sedikit banyak berupa. Pasien skizofrenia menunjukan presentasi klinis, respons
terhadap terapu dan perjalan penyakit yang berbeda-beda (Tomb, 2013).

2.3.1 Biokimia

Etiologi biokimia skizofrenia belum diketahui. Hipotesis yang paling banyak yaitu
adanya gangguan neurotransmitter sentral yaitu terjadinya peningkatan aktivitas dopamine
sentral (hipotesis dopamine). Hipotesis ini dibuat berdasarkan tiga penemuan utama :
(Elvira, 2013)

1. Efektivitas obat-obat neuroleptic (misalya fenotiazin) pada skizofrenia, ia bekerja


memblok reseptor dopamine pasca sinaps (tipe D2).
2. Terjadinya psikosis akibat penggunaan amfetamin. Psikosis yang terjadi sukar dibedakan,
secara klinik, dengan psikosis skizofrenia paranoid akut. Amfetamin melepaskan
dopamine sentral. Selain itu, amfetamin juga memperburuk skizofrenia.
3. Adanya peningkatan jumlah reseptor D2 di nucleus kaudatus, nucleus akumben, dan
putamen pada skizofrenia.
Penelitian reseptor D1, D5, dan D4, saat ini tidak memberika banyak hasil. Teori lain
yaitu peningkatan serotonin disusunan saraf pusat (terutama 5HT2A) dan kelebihan NE di
forebrain limbic (terjadi pada beberapa penderita skizofrenia). Setelah pemberian obat yang
bersifat antagonis terhadap neurotransmitter tersebut terjadi perbaikan klinik skizofrenia
(Elvira, 2013).

2.3.2 Genetika

Skizofrenia mempunyai komponen yang diturunkan secara signifikan, kompleks dan


poligen. Sesuai dengan penelitian hubungan darah, skizofrenia adalah gangguan bersifat
keluarga (misalnya terdapat dalam keluarga). Semakin dekat hubungan kekerabatan semakin
tinggi resiko. Pada penelitian anak kembar, kembar monozigot mempunyai resiko 4-6 kali
lebih sering menjadi sakit bila dibandingkan dengan kembar dizigot. Pada penelitian adopsi,
waktu lahir, oleh keluarga normal, peningkatan angka sakitnya sama dengan bila anak-anak
tersebut diasuh sendiri oleh orang tuanya yang skizofrenia. Frekuensi kejadian gangguan
non-psikotik meningkat pada keluarga skizofrenia dan secara genetic dikaitkan dengan
gangguan kepribadian ambang dan skizotipal, gangguan obsesif-kompulsi, dan
kemungkinan dihubungkan dengan gangguan kepribadian paranoid dan anti social (Elvira,
2013).

2.3.3 Faktor Keluarga

Kekacauan dan dinamika keluarga memegang peranan penting dalam menimbulkan


kekambuhan dan mempertahankan remisi. Pasien yang sering pulang kerumah sering relaps
pada tahun berikutnya bila dibandingkan dengan pasien yang ditempatkan residensial.
Pasien yang berisiko adalah pasien yang tinggal bersama keluarga yang hostilitas,
memperlihatkan kecemasan yang berlebihan, sangat protektif terhadap pasien, terlalu ikut
campur, sangat pengeritik. Pasien skizofrenia sering tidak dibebaskan oleh keluarganya.
Beberapa peniliti mengidentifikasikan suatu cara komunikasi yang patologi dan aneh pada
keluarga-keluarga skizofrenia. Kemunikasi sering samar-samar atau tidak jelas dan sedikit
tidak logis. Pada tahun 1956, betson menggambarkan suatu karateristik “ikatan ganda” yaitu
pasien sering diminta oleh anggota keluarga untuk merespon pesan yang bentuknya
kontradiksi sehingga membingungkan. Penelitian terbaru menyatakan bahwa pola
komunikasi keluarga tersebut meungkin disebabkan oleh dampak memiliki anak skizofrenia
(Elvira, 2013).

2.4. Manifestasi Klinis

Kriteria diagnostik di Indonesia menurut PPDG-III yang menuliskan bahwa walaupun


tidak ada gejala-gejala patognomonik khusus, dalam praktek dan manfaatnya membagi gejala-
gejala tersebut ke dalam kelompok kelompok yang penting untuk diagnosis dan yang sering
terdapat secara bersama-sama yaitu:

a. Thought echo

yaitu isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau bergema dalam
kepalanya dan isi pikiran ulangan, walaupun isinya sama, namun kualitas berbeda
atau thought insertion or withdrawal yaitu isi pikiran yang asing dari luar masuk
kedalam pikirannya (insertion) atau isi pikirannya diambil keluar oleh sesuatu
diluar dirinya (withdrawal) dan tought broadcasting yaitu isi pikiran tersiar keluar
sehingga orang lain mengetahuinya.

b. Waham atau Delusinasi

1) Delusion of control yaitu waham tentang dirinya sendiri dikendalilkan oleh


suatu kekuatan tertentu

2) Delusion of influen yaitu waham tentang dirinya sendiri dipengaruhi oleh suatu
kekuatan tertentu dari luar
3) Delusion of passivity yaitu waham tentang gerakan tubuh, pikiran maupun
tindakan tak berdaya terhadap suatu kekuatan dari luar.

4) Delusion of perception yaitu pengalaman indrawi yang tidak wajar yang


bermakna sangat khas dan biasanya bersifat mistik atau mukjizat.

c. Halusinasi Auditorik

1) Suara halusinasi yang berkomentar terus menerus terhadap perilaku pasien.

2) Mendiskusikan perihal pasien diantara mereka senndiri (dia antara berbagai


suara yang berbicara).

3) Jenis suara halusinasi lain yang berasal dari salah bagian tubuh.

d. Waham-waham menetap jenis lain yang menurut budaya dianggap tidak wajar dan
mustahil seperti waham bisa mengendalikan cuaca. Atau paling sedikit dua gejala
dibawah ini yang harus selalu ada secara jelas.

e. Halusinasi yang menetap dari setiap panca indara baik disertai waham yang
mengambang maupun yang setengah berbentuk tanpa kandungan afektif yang jelas atau
ide-ide berlebihan yang menetap atau terjadi setiap hari selama bermingu-minggu atau
berbulan-bulansecara terus menerus.

f. Arus fikiran yang terputus (break) atau mengalami sisipan (interpolasi) yang berakibat
inkoherenskiatau pembicaraan tidak relevan atau neologisme.

g. Perilaku katatonik seperti keadaan gaduh, gelisah (excitement) sikap tubuh tertentu
(posturing) atau fleksibilitas serea, negattivisme, mutisme dan stupor.

h. Gejala-gejala negative seperti apatis, bicara jarang serta respon emosional yang
menumpul atau tidak wajar, biasanya mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan social
dan menurunnya kinerja social, tetapi harus jelas bahwa semua hal tersebut tidak
disebabkan oleh depresi atau neuroleptika.Adanya gejala-gejala kas tersebut diatas telah
berlangsung selama kurun waktu satu bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase
non psikotik prodormal). Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna
dalam muttu keseluruhan (overall quality) dari beberapa aspek perilaku pribadi,
bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak bertujuan, tidak berbuat sesuatu, sikap
larut dalam diri sendiri dan penarikan diri secara social. Selain itu ahli membagi
skizofrenia menjadi dua bagian yaitu gejala positif dan gejala negative.

a. Termasuk gejala positif adalah

1) Disorganisasi pikiran dan bicara : penderita bisa menceritakan keadaan sedih


denngan mimic muka yang gembira atau sebaliknya.

2) Waham : penderita merasa dirinya seorang pahlawan atau orang besar dan
bertindak seperti pahlawan atau orang besar.

3) Halusinasi : melihat, mendengar atau merasakan sesuatu yang sebenarnya tidak


ada.

4) Agitasi atau mengamuk : hal ini sering membuat penderita dikurung atau
dipasung.

b. Termasuk gejala negative adalah

1) Tidak ada dorongan kehendak atau inisiatif atau apatis.

2) Menarik diri dari pergaulan social : penderita merasa senang jika tidak
menjalani kehidupan social.

3) Tidak menunjukan reaksi emosional (Hawari, 2001). Teori ini digunakan untuk
memudahkan keluarga mengenal gejalagejala yang diialami oleh klien
skizofrenia, sehingga dapat melakukan penanganan.

6
Gejala-gejala khas tersebut telah berlangsung selama kurun waktu satu bulan. Selain
kriteria diatas, untuk mendiagnosis skizofrenia hebefrenik harus ditemui baik (1) atau (2) yaitu:

(1) Pendataran dan kedangkalan afek yang pasti dan berkelanjutan

(2) Keganjilan atau ketidaktepatan afek yang pasti dan berkelanjutan. Kemudian diikuti
baik (1) atau (2) yaitu:
(1) Perilaku yang tanpa tujuan dan terputus-putus

(2) Gangguan pikiran yang pasti, bermanifestasi sebagai perkataan yang terputus-
putus, bertele-tele atau inkoheren. Selain itu pada skizofrenia hebefrenik,
halusinasi atau delusi tidak harus mendominasi gambaran klinis, meskipun
terkadang muncul dalm derajat yang ringan.6

2.5. Patofisiologi

Ketidakseimbangan yang terjadi pada neurotransmiter juga diidentifikasi sebagai


penyebab skizofrenia. Ketidakseimbangan terjadi pada dopamin yang mengalami
peningkatan dalam aktivitasnya. Selain itu, terjadi juga penurunan pada serotonin,
norepinefrin, dan asam amino gamma-aminobutyric acid (GABA) yang pada akhirnya juga
mengakibatkan peningkatkan dopaminergik. Neuroanatomi dari jalur neuronal dopamin
pada otak dapat menjelaskan terjadinya skizofrenia(Muttaqin& Nosa. 2014).

Gambar. Terdapat 5 (lima) jalur dopamin pada otak

Sumber :Psychosis and Schizophrenia. Antipsychotics and Mood Stabilizers : Stahl’s


Essential Psychopharmacology. 3rd Edition. Page 26.
Terdapat lima jalur dopamin dalam otak, yaitu (Stahl, 2008):
a. Jalur Mesolimbik: berproyeksi dari area midbrain ventral tegmental ke batang otak
menuju nucleus akumbens di ventral striatum. Jalur ini memiliki fungsi berhubungan
dengan memori, indera pembau, efek viseral automatis, dan perilaku emosional.
Hiperaktivitas pada jalur mesolimbik akan menyebabkan gangguan berupa gejala
positif seperti waham dan halusinasi;

Gambar. Jalur mesolimbik dopamin pada otak yang menyebabkan gejala positif.
Sumber : Psychosis and Schizophrenia. Antipsychotics and Mood Stabilizers : Stahl’s
Essential Psychopharmacology. 3rd Edition. Page 27.

b. Jalur Mesokortikal: berproyeksi dari daerah tegmental ventral ke korteks prefrontal.


Berfungsi pada insight, penilaian, kesadaran sosial, menahan diri, dan aktifitas kognisi.
Hipofungsi pada jalur mesokortikal akan menyebabkan gangguan berupa gejala negatif
dan kognitif pada skizofrenia. Jalur mesokortikal terdiri dari mediasi gejala kognitif
(dorsolateral prefrontal cortex/DLPFC ) dan gejala afektif (ventromedial prefrontal
cortex/VMPFC) skizofrenia.
Gambar. Jalur mesokortical dopamin pada otak
Sumber :Psychosis and Schizophrenia. Antipsychotics and Mood Stabilizers : Stahl’s
Essential Psychopharmacology. 3rd Edition. Page 29.

c. Jalur Nigrostriatal: sistem nigrostriatal mengandung sekitar 80% dopamin otak. Jalur
ini berproyeksi dari substansia nigra ke basal ganglia atau striatum (kauda dan
putamen). Jalur ini berfungsi menginervasi system motorik dan ekstrapiramidal.
Dopamin pada jalur nigrostriatal berhubungan dengan efek neurologis
(Ekstrapiramidal / EPS) yang disebabkan oleh obat-obatan antipsikotik tipikal / APG-I
(Dopamin D2 antagonis).
Gambar. Jalur nigrostriatal dopamin pada otak.
Sumber :Psychosis and Schizophrenia. Antipsychotics and Mood Stabilizers : Stahl’s
Essential Psychopharmacology. 3rd Edition. Page 32.

d. Jalur Tuberoinfundibular:

organisasi dalam hipotalamus dan memproyeksikan pada anterior glandula pituitari.


Fungsi dopamin disini mengambil andil dalam fungsi endokrin, menimbulkan rasa lapar, haus,
fungsi metabolisme, kontrol temperatur, pencernaan, gairah seksual, dan ritme sirkardian. Obat-
obat antipsikotik mempunyai efek samping pada

a. fungsi ini dimana terdapat gangguan endokrin.


Gambar. Jalur tuberoinfundibular dopamin pada otak
Sumber : Psychosis and Schizophrenia. Antipsychotics and Mood Stabilizers : Stahl’s
Essential Psychopharmacology. 3rd Edition. Page 32.

e. Jalur Thalamus :

Jalur kelima berasal dari berbagai tempat, termasuk periaqueductal gray, ventral
mesencephalon, hypothalamus nukleus, nukleus parabrachial lateral, yang berproyeksi ke
thalamus. Namun, fungsinya masih belum diketahui.12

Rumusan yang paling sederhana untuk mengungkapkan patofisiologi dari skizofrenia


adalah hipotesa dopamin. Hipotesa ini secara sederhana menyatakan bahwa skizofrenia
disebabkan karena terlalu banyaknya aktivitas dopaminergik. Hipotesis ini disokong dari hasil
observasi pada beberapa obat antipsikotik yang digunakan untuk mengobati skizofrenia dimana
berhubungan dengan kemampuannya menghambat dopamin (D2) reseptor.
Gambar 8. Hipotesis dopamin pada skizofrenia

Sumber : Psychosis and Schizophrenia. Antipsychotics and Mood Stabilizers : Stahl’s Essential
Psychopharmacology. 3rd Edition. Page 34

2.6. Kriteria Diagnosis

Krteria untuk menegakkan diagnosis skizofrenia yaitu pasien harus memenuhi kriteria
DSM-IV-TR atau ICD-X. Berdasarkan DSM-IV sebagai berikut (Elvira & Hadikusanto
2013):

1. Berlangsung paling sedikit enam bulan dan mencakup 1 bulan gejala fase aktif.
2. Penurunan fungsi yang cukup bermakna, yaitu dalam bidang pekerjaan, hubungan
interpersonal, dan fungsi kehidupan pribadi
3. Pernah mengalami psikotik aktif dalam bentuk yang khas selama periode tersebut
4. Tidak ditemui gejala-gejala yang sesuai dengan skizoafektif, gangguan mood mayor,
autisme, atau gangguan organik.
Semua pasien skizofrenia mesti digolongkan ke dalam salah satu dari subtipe yang telah
disebutkan diatas (Elvira & Hadikusanto 2013). Subtipe ditegakkan berdasarkan atas
manifestasi perilaku yang paling menonjol (Elvira & Hadikusanto 2013). Berdasarkan
PPDGJI-III, maka pedoman diagnostik skizofrenia paranoid (F20.0), yaitu (Maslim, 2013):

 Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia


 Sebagai tambahan :
 Halusinasi dan/atau waham harus menonjol
a) Suara-suara halusinasi yang mengancam pasien atau memberi perintah, atau
halusinasi auditorik tanpa bentuk verbal berupa bunyi pluit (whistling),
mendengung (humming), atau bunyi tawa (laughing);
b) Halusinasi pembauan atau pengecapan rasa, atau bersifat seksual, atau lain-lain
perasaan tubuh; halusinasi visual mungkin ada tetapi jarang menonjol;
c) Waham dapat berupa hampir setiap jenis, tetapi waham dikendalikan (delusion
of control), dipengaruhi (delusion of influence), atau “passivity” (delusion of
passivity), dan keyakinan dikejar-kejar yang beraneka ragam, adalah yang paling
khas
 Gejala berlangsung minimal 1 bulan
 Gangguan afektif, dorongan kehendak dan pembicaraan, serta gejala katatonik secara
relatif tidak nyata/tidak menonjol

2.7. Pola Perjalanan Penyakit

a. Skizofrenia paranoid

Kriteria umum diagnosis skizofrenia harus dipenuhi. Sebagai tambahan,


halusinasi dan waham harus menonjol, sedangkan gangguan afektif, dorongan kehendak
dan pembicaraan serta gejala katatonik secara relative tidak nyata. Halusinasi yang
mengancam atau member perintah halusinasi pembauan atau pengecapan rasa, atau yang
bersifat seksuaal. Waham dapat berupa hampir setiap jenis tetapi waham dikendalikan, di
pengaruhi atau keyakinan dikejar-kejar beraneka ragam adalah yang paling kas.

b. Skizofrenia Hebefrenik
Kriteria umum skizofrenia yang harus dipenuhi. Biasanya diagnosis hebefrenik
untuk pertama kali hanya ditegakkan pada usia remaja atau dewasa muda. Kepribadian
premorbid secara kas, tetapi tidak selalu, pemaludan menyendiri. Untuk diagnosis
hebefrenik yang meyakinkan umumnya diperlukan pengamatan kontinnu selama 2 atau 3
bulan lamanya, untuk memastikan bahwa perilaku yang kas seperti perilaku tidak
tanggung jawab, mannerism, senyum sendiri memang benar bertahan.

c. Skizofrenia katatonik

Kriteria suatu diagnosis skizofrenia dan katatonik yang harus dipenuuhi. Gejala
katatonik yang bersifat sementara dapat terjadi pada setiap subtype skizofrenia, tetapi
untuk diagnosis skizofrenia katatonik satau atau lebih dari perilaku berikut ini harus
mendominasi gambaran klinisnya : stupor (amat berkurang aktivitas terhadap lingkungan
dan gerakan, kegelisahan, sikap tubuh yang tidak wajar, perlawanan terhadap intruksi,
sikap tubuh yang kaku, meterhadap perintah dan mempertahankan posisi tubuh yang
dilakukan dari luar dan gejala otomatisme terhadap perintah dan preserverasi kata atau
kalimat.

d. Skizofrenia tak terinci

Memenuhi criteria umum untuk diagnosis skizofrenia, tidak memenuhi untuk


kriterianskizofrenia paranoid, hebefrenik dan katatonik, tidak memenuhi criteria untuk
skizofrenia residual atau depresi pasca skizofrenia.

e. Depresi pasca skizofrenia

Diagnosis ditegakkan hanya kalau pasien telah menderita skizofrenia (memenuhi


criteria umum skizofrenia selama 12 bulan terakhir), beberapa gejala skizofrenia masih
tetap ada dan gejala-gejala depresi yang menonjool dan mengganggu, memenuhi
sedikitnya episode depresi dan telah ada untuk waktu sedikitnya 2 minggu.

f. Skizofrenia residual

Untuk suatu diagnosis yang meyakinkan, persyaratan berikut ini harus dipenuhi :
1. Gejala negative skizofrenia yang menonjol, misalnya perlambatan psikomotor,
aktivitas menurun, afek tumpul, sikap pasif, miskin dalam kuantitas atau isi
pembicaraan, komunikasi non verbal buruk seperti kkontak mata, ekspresi muka,
sikap tubuh, perawatan diri dan kinerja social buruk.

2. Sedikitnya ada riwayat pisode psikotik yang jelas di masa lampau yang
memenuhi criteria diagnostic untuk skizofrenia.

3) Sedikitnya sudah melampaui kurun waktu satu tahun dimana intensitas dan
frekkuensi gejala yang nyata seperti waham dan halusinasi telah sangat berkurang
dan telah timbul sindrom negative skizofrenia.

4) Tidak dapat demensia atau penyakit otak organic lain, depresi kronis, atau
insttitusionalisasi yang dapat menjelaskan hendaya negative tersebut.

g. Skizofrenia simpleks

Skizofrenia simpleks adalah suatu diagnosis yang sulit dibuat secara meyakinkan,
karena tergantung pada pemestian perkembangan yang berjalan perlahan, profresif dari
gejala negative yang kas dari skizofrenia residual tanpa riwayat halusi nasi, waham atau
manifestasi lain tentang adanya suatu episode psikotik sebelumnya dan disertai
perubahan perilaku yang bermakna yang bermanifestasi sebagai kkehilangan minat yang
mencolok, kemalasan dan penarikan diri secara social.

2.8. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan harus dilakukan sesegera mungkin setelah didiagnosis, sebagaimana


terbukti bahwa waktu yang panjang antara onset gejala dan penatalaksanaan yang efektif,
dapat berdampak lebih buruk (kemunduran mental) (Willy, 2009). Pasien skizofrenia
mungkin tidak sembuh sempurna, tetapi dengan pengobatan dan bimbingan yang baik,
penderita dapat ditolong untuk dapat berfungsi terus, bekerja sederhana di rumah atau pun
di luar rumah (Willy, 2009). Penatalaksanaan yang dapat diberikan pada pasien skizofrenia
paranoid dapat berupa penatalaksanaan non farmakologis dan farmakologis(Willy, 2009).
a. Penatalaksanaan Non Farmakologis
 Rawat Inap / Hospitalisasi
Pasien yang mengalami gejala skizofrenia akut harus dirawat di rumah sakit
(Muttaqin & Dany,2103). Perawatan di rumah sakit menurunkan stress pada pasien dan
membantu mereka menyusun aktivitas harian mereka. Lamanya perawatan di rumah
sakit tergantung pada keparahan penyakit pasien dan tersedianya fasilitas pengobatan
rawat jalan (Wiguna, 2010). Indikasi rawat terutama untuk (Elvira & Hadikusanto,
2013):
1. Tujuan diagnostik
2. Stabilisasi pengobatan
3. Keamanan pasien karena adanya ide bunuh diri atau pembunuhan, maupun
mengancam lingkungan sekitar
4. Untuk perilaku yang sangat kacau atau tidak pada tempatnya, termasuk,
ketidakmampuan mengurus kebutuhan dasar, seperti pangan, sandang dan papan
5. Tidak adanya dukungan dan motivasi sembuh dari keluarga maupun lingkungan
6. Timbulnya efek samping obat yang membahayakan jiwa
Membangun hubungan yang efektif antara pasien dan sistem pendukung komunitas
merupakan tujuan utama rawat inap (Elvira & Hadikusanto, 2013). Rawat inap dan
layanan rehabilitasi masyarakat juga bertujuan untuk memaksimalkan kemandirian
pasien seperti melatih keterampilan hidup sehari-hari karena pada pasien dengan gejala
sisa misal gejala negatif dan kognitif mungkin tidak dapat hidup mandiri (Astikawati,
2012). Setelah keluar dari rumah sakit, pasien tersebut perlu di follow-up teratur oleh
ahli psikiatri (Muttaqin & Dany,2103).
 Terapi Psikologis (Psikoterapi) dan Dukungan Sosial (Sosioterapi)
Terapi yang dapat membantu penderita skizofrenia adalah psikoterapi suportif
individual atau kelompok, serta bimbingan yang praktis dengan maksud mengembalikan
penderita ke masyarakat (Willy, 2009). Terapi perilaku kognitif (cognitive behavioural
therapy, CBT) seringkali bermanfaat dalam membantu pasien mengatasi waham dan
halusinasi yang menetap. Tujuan dari ECT adalah untuk mengurangi penderitaan dan
ketidakmampuan, dan tidak secara langsung menghilangkan gejala. Terapi keluarga
dapat membantu mereka megurangi ekspresi emosi yang berlebihan dan terbukti efektif
mencegah kekambuhan (Astikawati, 2012).
Terapi kerja merupakan terapi baik sekali untuk mendorong penderita bergaul lagi
dengan orang lain, penderita lain, perawat dan dokter (Willy, 2009). Hal ini agar pasien
tidak mengasingkan diri dan terapi ini sangat penting dalam menjaga kepercayaan diri
dan kualitas hidupnya (Astikawati, 2012).

b. Penatalaksanaan Farmakologis
 Pemberian obat-obat anti-psikosis
Pemberian obat anti-psikosis pada pasien skizofrenia (sindrom psikosis fungsional)
merupakan penatalaksanaan yang utama. Pengobatan anti-psikosis diperkenalkan awal
tahun 1950-an (Muttaqin & Nisa, 2014). Pemilihan jenis obat anti-psikosis
mempertimbangkan gejala psikosis yang dominan (fase akut atau kronis) dan efek
samping obat (Maslim, 2013). Fase akut biasanya ditandai oleh gejala psikotik (yang
baru dialami atau yang kambuh) yang perlu segera diatasi.
Obat anti-psikosis tidak bersifat menyembuhkan, namun bersifat pengobatan
simtomatik (Gunawan, et al., 2007).Obat anti-psikosis efektif mengobati “gejala positif”
pada episode akut (misalnya halusinasi, waham, fenomena passivity) dan mencegah
kekambuhan (Willy, 2009). Obat-obat ini hanya mengatasi gejala gangguan dan tidak
menyembuhkan skizofrenia (Muttaqin & Nisa, 2014.). Pengobatan dapat diberikan
secara oral, intramuskular, atau dengan injeksi depot jangka panjang (Astikawati, 2012).
Pasien yang baru pertama kali mengalami episode skizofrenia, pemberian obat harus
diupayakan agar tidak terlalu memberikan efek samping, karena pengalaman yang
buruk dengan pengobatan akan mengurangi ketaatanberobat (compliance) atau
kesetiaan berobat (adherence) (Willy, 2009). Dianjurkan untuk menggunakan
antipsikosis atipikal atau antipsikosis tipikal, tetapi dengan dosis yang rendah (Willy,
2009).
Gambar 9. Sifat obat antipsikotik konvensional
Keterangan:kemampuan antipsikotik untuk memblokir reseptor dopamin D2
khususnya di jalur dopamin mesolimbik. Sehingga akan mengurangi hiperaktivitas pada
jalur dopamin mesolimbik dan mengurangi gejala positif.Sumber : Antipsychotic
Agents. Stahl’s Essential Psychopharmacology. 4th Edition.

Mekanisme kerja obat anti-psikosis berkaitan dengan aktivitas neurotransmitter


dopamine yang meningkat (hiperaktivitas sistem dopaminergik sentral) (Maslim, 2013).
Pada umumnya, pemberian obat anti-psikosis sebaiknya dipertahankan selama 3 bulan
sampai 1 tahun, setelah semua gejala psikosis mereda sama sekali. Efek obat anti-
psikosis secara relatif berlangsung lama, sampai beberapa hari setelah dosis terakhir
masih mempunyai efek klinis (Maslim, 2013). Obat anti-psikosis dibagi dalam dua
kelompok, berdasarkan mekanisme kerjanya, yaitu (Wiguna, 2010):
1. Dopamine Receptor Antagonist (DRA) atau anti-psikosis generasi I (APG-I)
Obat APG-I disebut juga obat anti-psikosis konvensional atau tipikal. Kebanyakan
antipsikosis golongan tipikal mempunyai afinitas tinggi dalam menghambat pengikatan
dopamin pada reseptor paska sinaps neuron di otak, khususnya di sistem limbik dan
sistem ekstrapiramidal (Dopamine D2 receptor antagonist), hal inilah yang diperkirakan
menyebabkan reaksi ekstrapiramidal yang kuat (Gunawan, et al., 2007). Oleh karena
kinerja obat APG-I, maka obat ini lebih efektif untuk gejala positif, contohnya
gangguan asosiasi pikiran (inkoherensi), isi pikir yang tidak wajar (waham), gangguan
persepsi (halusinasi) dibandingkan untuk terapi gejala negative (). Obat antipsikosis
tipikal (APG-I) memiliki dua kekurangan utama, yaitu (Muttaqin& Nisa, 2014):
a. Hanya sejumlah kecil pasien (kemungkinan 25 persen) yang cukup tertolong untuk
mendapatkan kembali jumlah fungsi mental yang cukup normal
b. Antagonis reseptor dopamine disertai dengan efek merugikan yang mengganggu dan
serius. Efek menganggu yang paling utama adalah akatisia dan gejala mirip
parkinsonisme berupa rigiditas dan tremor.
Sebagian besar antagonis reseptor dopamin dapat diberikan dalam satu dosis oral
harian ketika orang tersebut berada dalam kondisi yang stabil dan telah menyesuaikan
dengan efek samping apapun (Muttaqin& Nisa, 2014). Prototip kelompok obat APG-I
adalah klorpromazin (CPZ), hal ini dikarenakan obat ini sampai sekarang masih tetap
digunakan sebagai antipsikosis, karena ketersediannya dan harganya murah (Gunawan,
et al., 2007).

Tabel 2. Sediaan Obat Anti-psikosis Generasi I dan Dosis Anjuran (yang


beredar di Indonesia menurut MIMS Vol. 7, 2006).
Nama Generik Nama Dagang Sediaan Dosis Anjurkan

Chlorpromazine Chlorpromazine Tab. 25 - 100 mg 150 - 600 mg/hari

Promactil Tab. 100 mg

Meprosetil Tab. 100 mg

Cepezet Tab. 100 mg


Perphenazine Perphenazine Tab. 4 mg

Trilafon Tab 2 - 4 - 8 mg

Trifluoperazine Stelazine Tab. 1 - 5 mg 10 - 15 mg/hari

Fluphenazine Anatensol Tab. 2,5 - 5 mg 10 - 15 mg/hari

Thioridazine Melleril Tab. 50 - 100 mg 150 - 300 mg/hari

Haloperidol Haloperidol Tab. 0,5 - 1,5 mg 5 - 15 mg/hari

Dores Tab. 1,5 mg

Serenace Tab. 0,5 - 1,5 mg

Haldol Tab. 2 - 5 mg

Govotil Tab. 2 - 5 mg

Lodomer Tab 2 - 5 mg

Pimozide Orap Forte Tab. 4 mg 2 - 4 mg/hari

Sumber: Obat Anti-psikosis. Penggunaan Klinis Obat Psikotropik (Psychotropic


Medication). Edisi 3. Hal 14.

Obat CPZ merupakan golongan derivate phenothiazine yang mempengaruhi ganglia


basal, sehingga menimbulkan gejala parkinsonisme (efek esktrapiramidal / EPS)
(Gunawan, et al., 2007).Semua obat APG-I dapat menimbulkan efek samping EPS
(ekstrapiramidal), seperti distonia akut, akathisia, sindrom Parkinson (tremor,
bradikinesia, rigiditas) (Maslim, 2013). Efek samping ini dibagi menjadi efek akut,
yaitu efek yang terjadi pada hari-hari atau minggu-minggu awal pertama pemberian
obat, sedangkan efek kronik yaitu efek yang terjadi setelah berbulan-bulan atau
bertahun-tahun menggunakan obat (Elvira & Hadikusanto, 2013). Oleh karena itu,
setiap pemberian obat APG-I, maka harus disertakan obat trihexyphenidyl 2 mg selama
2 minggu sebagai obat antidotum(Elvira & Hadikusanto, 2013).
2. Serotonin-dopamine Antagonist (SDA) atau anti-psikosis generasi II (APG-II)
Pada tahun 1990, ditemukan klozapin yang dikenal sebagai generasi pertama
antipsikotik golongan atipikal. Disebut atipikal karena golongan obat ini sedikit
menyebabkan reaksi ekstrapiramidal (EPS = extrapyramidal symptom) (Gunawan, et
al., 2007). Obat APG-II disebut juga obat anti-psikosis baru atau atipikal. Standar emas
terbaru untuk pemberian obat anti-psikosis bagi pasien skizofrenia adalah APG-II. Obat
APG-II memiliki efek samping neurologis yang lebih sedikit dibandingkan dengan
antagonis reseptor dopamin dan efektif terhadap kisaran gejala psikotik yang lebih luas
(Muttaqin & Nisa, 2014).
Mekanisme kerja obat anti-psikosis atipikal adalah berafinitas terhadap “Dopamine
D2 Receptors”(sama seperti APG-I) dan juga berafinitas terhadap “Serotonin 5 HT2
Receptors” (Serotonin-dopamine antagonist), sehingga efektif terhadap gejala positif
(waham, halusinasi, inkoherensi) maupun gejala negatif (afek tumpul, proses pikir
lambat, apatis, menarik diri) (Maslim, 2013).

Tabel 3. Sediaan Obat Anti-psikosis Generasi II dan Dosis Anjuran (yang


beredar di Indonesia menurut MIMS Vol. 7, 2006)
Nama Generik Nama Dagang Sediaan Dosis Anjurkan

Sulpride Dogmatil Forte Tab. 200 mg 300 - 600 mg/hari

Clozapine Clorazil Tab. 25 - 100 mg 25 - 100 mg/hari

Sizoril Tab. 25 - 100 mg

Olanzapine Zyprexa Tab. 5 - 10 mg 10 - 20 mg/hari

Quetiapine Seroquel Tab. 25 - 100 mg 50 - 400 mg/hari

Zotepine Lodopin Tab. 25 - 50 mg 75 - 100 mg/hari

Risperidone Risperidone Tab 1 - 2 - 3 mg 2 - 6 mg/hari

Risperidal Tab. 1 - 2 - 3 mg
Neripros Tab. 1 - 2 - 3 mg

Persidal Tab. 1 - 2 - 3 mg

Rizodal Tab. 1 - 2 - 3 mg

Zofredal Tab. 1 - 2 - 3 mg

Aripiprazole Abilify Tab. 10 - 15 mg 10 - 15 mg/hari

Sumber :Obat Anti-psikosis. Penggunaan Klinis Obat Psikotropik (Psychotropic


Medication). Edisi 3. Hal 14-15.

Apabila pada pasien skizofrenia, gejala negatif (afek tumpul, penarikan diri, isi pikir
miskin) lebih menonjol dari gejala positif (waham, halusinasi, bicara kacau), maka obat
anti-psikosis atipikal perlu dipertimbangkan (Maslim, 2013).
2.4 Prognosis
Pada abad sebelumnya, ketika seseorang didiagnosis skizofrenia maka orang tersebut
akan mengalami deteriorasi mental selamanya (Willy, 2009).9Namun, saat ini jika
seseorang berobat dalam tahun pertama setelah serangan pertama maka diperkirakan 1/3
akan menagalami full remission atau recovery, 1/3 yang lain mengalami social recovery
walaupun masih didapati sedikit kecacatan sedikit yang harus sering diperiksa dan diobati
selanjutnya (Willy, 2009).
Skizofrenia merupakan penyakit kronis dan membutuhkan waktu lama untuk
menghilangkan gejala (Elvira & Hadikusanto 2013).Sekitar 90% dengan episode psikotik
pertam akan sehat dalam waktu satu tahun, 80% mengalami episode selanjutnya dalam
lima tahun, dan 10% meninggal karena bunuh diri (Astilawati, 2012). Kira-kira 50% dari
semua pasien skizofrenia akan mencoba bunuh diri kira-kira satu kali selama hidupnya, dan
10% sampai 15% pasien skizofreninia meninggal karena bunuh diri selama periode follow-
up 20 tahun (Wiguna, 2010).

Tabel 4. Prognosis Baik dan Buruk dalam Skizofrenia


Prognosis Baik Prognosis Buruk
Onset lambat Onset muda

Faktor pencetus yang jelas Tidak ada faktor pencetus

Onset akut Onset tidak jelas

Riwayat sosial, seksual, dan pekerjaan Riwayat sosial, seksual, dan pekerjaan
pramorbid yang baik pramorbid yang buruk

Gejala gangguan mood (terutama Perilaku menarik diri, autistic


gangguan depresif)
Menikah dan telah berkeluarga Tidak menikah, bercerai, atau janda/duda

Riwayat keluarga gangguan mood (tidak Riwayat keluarga skizofrenia


ada keluarga yang menderita skizofrenia)
Sistem pendukung yang baik (terutama Sistem pendukung yang buruk untuk
dari keluarga) untuk kesembuhan pasien kesembuhan pasien

Gejala positif Gejala negative

Jenis kelamin perempuan Tanda dan gejala neurologis

Riwayat trauma perinatal

Tidak ada remisi dalam tiga tahun

Sering timbul relaps

Riwayat penyerangan
BAB III

STATUS PASIEN

3.1. Identitas Pasien

Nama : Ny. N

Umur : 26 tahun

Jenis kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Suku Bangsa : Jawa

Status Marital : Menikah (janda)

Pendidikan terakhir : SD

Pekerjaan terakhir : IRT

Waktu Pemeriksaan : 30 Juli 2018, Pukul 18.00 WIB

Dokter Pemeriksa : DM

No. RM : 124348

3.2.Anamnesis

A. Keluhan utama :

Pasien marah-marah

B. Autoanamnesis

Pasien perempuan dewasa datang ke instalasi gawat darurat rumah sakit jiwa dr.
Radjiman Wediodiningrat Lawang dengan keaadan berbicaraterus meneru. Pasien dibawa
oleh orang tuanya, pasien menggunakan baju kerudung warna biru saat datang ke IGD
RSJ dr. Radjidman wediodiningrat .
Roman wajah pasien sesuai usia. Tidak berbau, dan ketika diajak komunikasi
pasien berbicara terus-menerus, pasien juga saat dianamnesa jalan jalan ke tempat pasien
lainnya dan dan sesekali menggoda sekuriti yang kebetulan da disana, pasien juga sekali-
keli cekikan pada saat pada saat diajak bicara.

Berikut ini adalah dialog antara pemeriksa (DM) dan pasien (P) :

DM : Selamat sore ibu

Pasien : selamat sore, kamu siapa ?

DM : Iya, saya DM helga, ibu boleh tahu siapa namanya ?

Pasien : mau kenalan beneran apa bohong-bohongan. Kalau mau kenalan beneran nanti
aku kasih tahu namaku tapi kalau Cuma bohongan nanti tidak aku tidak kasih tahu
namaku

DM : kenalan beneran ibu

Pasien : Ooh, jadi mau kenalan beneran, namaku ibu N (inisial) ST MH

DM : ST. MH itu apa ibu ?

Pasien : ST. MH itu gelarku, ST itu sarjana teknik dan MH itu magister. Saya
mendapatkan gelar ST MH dari univ gadja mada

DM : Ibu N sekarang umurnya berapa ?

Pasien : umur saya sekarang 26 tahun, saya lahir diblitar tanggal 6 mei 1992. jadi umur
saya benarkan sekarang 26 tahun

DM : Iya bu benar, kalau boleh tahu agamanya apa bu ?

Pasien : agama saya islam, makanya saya pakai kerudung seperti ini

DM : apakah ibu sudah menikah


Pasien: saya sudsh menikah tetapi diceraikan oleh suami saya dan anak saya dibawa oleh
suami ( Sambil menangis )

DM : suaminya kemana ibu ?

Pasien : suami saya ada dijakarta, dia kerja disana dan membawa anak saya padahal saya
sangat ingin bertemu dengan suami dan anak saya

DM : kenapa ibu bercerai, akahah ada masalah ?

Pasien : tidak tahu, saya tidak pernah merasa adamasalah.

DM : ibu N pekerjaanya apa ?

Pasien : saya bisa jadi apa saja yang saya mau

DM : contohnya seperti apa ibu?

Pasien : saya bisa jadi presiden, dokter, jenderal, pokoknya apa saja yang saya mau,
sekarang hormat kesaya !

DM : Kok hormat ke ibu kenapa ?

Pasien : kan sekarang saya jadi presiden jadi hormat kepada saya, begini caranya hormat
( sambil berdiri dan hormat )

DM : Memang ibu tahu sekarang presidennya siapa ?

Pasien : sekarang presidennya bapak jokowi tapi sebentar lagimau saya gantikan

DM : ib u N sekarang tinggal dimana ?

Pasien : rumah saya ada didesa deyeng kecamatan ringen rejo, kediri indonesia, ASEAN,
ASIA, dunia

DM : ibu diantar kesini dengan siapa ?

Pasien : saya diantar kesini oleh ibu sya dan tetangga saya

DM : Kenapa ibu diabawa kesisni ?


Pasien : saya dibawa kesini karena depresi, tapi depresi saya sehat

DM : deperesi sehat itu seperti apa ibu ?

Pasien : depresi sehat itu seperti saya ini, tidak sakit

DM : kenapa ibu depresi ?

Pasien : saya depresi karena saya mau bertemu suami saya dan anak saya yang dijakarta,
seperti sebelum kami cerai

DM : kenapa anak ibu ikut bapaknya ?

Pasien : karena saya dianggap tidak mampu mengurus anak jika anak saya ikut dengan
saya, padahal saya bisa mengurus anak saya sendiri tanpa bantuan siapa pun

DM : Kan ibu tidak bekerja terus gimana memenuhi kebutuhannya

Pasien : kan saya sudah bilanhgsaya bisa jadi presiden jadi apapun yang saya mau pasti
bisa saya dapatkan

DM : ibu tahu tidak ini dimana?

Pasien : tau lah, ini di rsj dialawang, tempat orang-orang yang sakit jiwa

DM : Ibu tadi kesini naik apa ?

Pasien : Saya tadi siang anik mobil dibawa sama ibu saya dan tetangga saya, yang
bernama ibu afifah yang sangat cantik (sambil menunjuk ibu afifah)

DM : ibu pernah mendengar suara bisikan atau melihat seusatu yang aneh ?

Pasien : saya tidak pernah mendengar atau melihat sesuatu yang aneh. Emangnya kamu
anggap saya orang gila? (sambil tertawa cekikan), saya sehat, kalau dengar orang bisikan
ditelinga saya sih pernah saya juga sering mendengar di kepala saya suara-suara
tetapimitu suara saya sendiri

DM : Ibu sehari-hari dirumah ngapain ?


Pasien : saya dirumah itu kerjaanya bersih-bersih seperti menyapu, mencuci, dan laim-
lain

DM : Ibu dirumah mandi berapa kali ?

Pasien : saya kalau dirumah mandi minimal 3 kali sehari, pagi dan sore

DM : ibu kalau dirumah apakah mau berkumpul dengan orang lain ?

Pasien : iya mau lah, saya sering ke tetangganya

DM : baik bu, untuk sementara saya rasa cukup terimakasih atas waktunya

Pasien : sama sama ( sambil senyum senyum ceria

c. Heteroanamnesis

1. Rincian keluhan utama :


Pasien marah-marah tanpa sebab yang jelas sejak kurang lebih 2 bulan yang lalu
makin hari makin kacau
2. Gejala lain yang menyertai keluhan :
a. Sering keluyuran
b. Berjoget sendiri
c. Merusak barang barang
d. Mengambil barang orang lain
e. Susah tidur
3. Gejala Predormal
Mencuri barang orang karena merasa itu miliknya
4. Peristiwa Terkait Keluhan Utama
Pasien diceraikan suaminya
5. Riwayat Penyakit Dahulu
a. Riw trauma (-)
b. Riw. HT (-)
c. Riw. DM (-)
6. Riwayat Kehamilan, Persalinan dan Perkembangan Anak
Tidak ada kelaianan atau peristiwa yang mempengaruhi selama kehamilan,
persalinan, dan perkembangan pasien
7. Riwayat Sosial dan Pekerjaan
- Pekerjaan : pasien tidak pernah bekerja, hanya sebagai IRT
- Sosial : lebih sering menyendiri
 Faktor kepribadian premorbid
Pasien tidak suka bersosialisasi dan berinteraksi dengan tetangganya
 Faktor keturunan
paman dan keponokannya sakit seperti ini
 Faktor organik
HT (-), DM (-), Kejang (-), trauma kepala(-)
 Faktor pencetus
pasien diceraikan oleh suaminya dan anknya dibawa oleh mantan suaminya
karena pasien dianggap tidak bisa mengurus anaknya

3.3. Status Internis

TD : 110/63 mmHg RR: 21x/mnt

Nadi: 101x/mnt Suhu: 37⁰C

KU : Cukup

Kepala/Leher : A/I/C/D = -/-/-/-

Thorak : Cor : S1S2 tunggal, m (-), g (-)

Pulmo : Inspeksi : multiple makula hipopigmentasi ukuran 1cm x 1cm,


terdapat skuama, batas tegas pada seluruh bagian thorax anterior.

Palpasi : dalam batas normal

Auskultasi : Ves/ves, RH (-), WH (-)

Abdomen : BU + normal, soefl.


Ekstremitas : AH +/+ Oedema -/-

3.4. Status Neurologis


GCS : 456
Meningeal sign : kaku kuduk (-); brudzinski I (-); brudzinki II (-); kernig (-)
Refleks fisiologis : BPR +2/+2; TPR +2/+2; KPR +2/+2; APE +2/+2
Refleks patologis : babinski (-), cahddock (-), hoffman (-); tromner (-)

3.5.Status Psikiatri

Kesan Umum : Pasien laki-laki berpakaian cukup rapi, tidak berbau, roman wajah sesuai
usia, kooperatif.

Kontak : verbal (+), relevan (+), kontak mata (+)

Kesadaran : berubah kualitatif

Orientasi : W/T/O = +/+/+

Daya ingat :S/P/PJ = +/+/+

Persepsi : Halusinasi (-)

Proses berfikir : B : non realistik A : loghore I: waham kebesaran

Afek/mood : labil

Kemauan : ADL : normal, Pekerjaan : normal, Sosial : normal

Psikomotor : Meningkat

3.6. Resume

Pasien perempuan dewasa datang ke instalasi gawat darurat rumah sakit jiwa dr.
Radjiman Wediodiningrat Lawang dengan keaadan berbicaraterus meneru. Pasien dibawa oleh
orang tuanya, pasien menggunakan baju kerudung warna biru saat datang ke IGD RSJ dr.
Radjidman wediodiningrat . Roman wajah pasien sesuai usia. Tidak berbau, dan ketika diajak
komunikasi pasien berbicara terus-menerus, pasien juga saat dianamnesa jalan jalan ke tempat
pasien lainnya dan dan sesekali menggoda sekuriti yang kebetulan da disana, pasien juga sekali-
keli cekikan pada saat pada saat diajak bicara.

Pasien mengatakan dibawa kesini karena depresi. Pasien juga mengatakan bisa menjadi
apa saja, contohnya pasien menjadi presiden tanpa harus dipilih oleh masyrakat, pasien
mrengatakan depresi karena karena pasien ingin bertemu mantan suami dan anaknya yang ada
dijakarta.

Pasien mengatakan tidak pernah mendengar suara-suara bisikan atau bayangan yang tidak
bisa dilihat oleh orang lain, tetapi pasien mengaku mendengar suara, sendiri didalam kepalanya.

Dari Heteroanamnesis yang didapatkan dari keluarga pasien bahwa pasien dirumah sering
marah-marah tanpa sebab sejak kurang lebih 2 bulan yang lalu, selain itu pasien juga sering
keluyuran, berjoget sendiri, merusak barang-barang, bahkan mengambil barang milik orang lain.

Pasien belum pernah sakit seperti ini, akan tetapi paman dan keponakannya ada yang
sakit seperti ini. ,menurut keluarga pasien juga, pasien merupakan pribadi yang tertutup.

Dari pemeriksaan fisik tidak ditemukan kelainan.

Kesan umum pasien cukup rapi, tidak berbau, roman wajah sesuai usia. Kontak pasien
verbal dan non verbalnya baik. Daya ingat masih baik, halusinasi tidak ada, dari proses
berfikirnya bentuk nonrealistik, arus loghore, isi nya waham kebesaran. Kemauan ADL normal,
sosial normal, pekerjaan normal, psikomotor meningkat

3.7. Diagnosis Multiaxial

Axis I : F.20.1 Skizofrenia Hebefrenik

Axis II : Ciri Kepribadian tertutup

Axis III : Tidak ditemukan


Axis IV : Masalah dengan " Primary Support Group" (Keluarga)

Axis V : GAF SCALE : 30 - 21

3.8. Rencana Terapi


- MRS
- Cek lab/DL, SGOT, SGPT, Cr, BUN
- Farmakoterapi :
Inj. Diazepam 10mg IM
Inj. Lodomer 5mg IM
Inj. Haloperidol 5mg p.r.n
Inj. Diazepam 10 mg p.r.n
Tablet Chlorpomazine 100mg 0-0-1 PO
- Non farmakologi:
a. Psikoterapi supportif:
-memberikan keluasan pasien untuk meneritakan apa yang dirasakan
-menjelaskan kepada pasien bahwa gejala bisa dikurangi jika minum obat
b. Psikoedukasi
-memotivasi pasien untuk melakukan kegiatan kegitu setiap hari
-memotivasi pasien agar bersosialisasi dengan lingkungan
c. Manipulasi lingkungan
-memotivasi keluarga agar bersikap baik dan nyaman pada pasien
-memotivasi keluarga agar mengawasi pasien minum obat teratur
Memotivasi keluarga untuk membuat jadwal kegiatan pasien
d. Rehabilitasi
Memberikan fasilitas kepada pasien untuk mengembangkan bakat atau potensi
yang dimiliki
e. Spiritual
Memotivasi pasien agar selalu mendekatkan diri kepada Tuhan dan
memperdalam ilmu agama
f. Follow up
-mengetahui perkembangan dan monitoring keluhan pasien
-mengamati dan observasi efek samping obat

3.9. Prognosis

No. Faktor Baik Buruk


1 Umur 26 tahun
2 Status Mental Bercerai
3 Pendidikan Terakhir - SD
4 Pekerjaan Terakhir - Tidak bekerja
5 Faktor Pencetus - Keluarga
6 Faktor Keturunan - Ada
7 Kepribadian Premorbid - Ciri kepribadian
tertutup
8 Onset Positif Skizofrenia
Hebrefenik
9 Faktor Ekonomi Cukup -
10 Faktor Organik Tidak ada -

Pada penilaian kriteria dari masing masing kriteria, menunjukkan lebih dominan
memenuhi kriteria buruk sehingga dapat disimpulkan prognosa pada pasien ini “Dubia ad
malam”.
BAB IV

PEMBAHASAN

Penegakan diagnosis berdasarkan anamnesis dengan pasien dan keluarga, terdapat


waham dan afek atau mood yang labil yang jelas. Hal ini sudah berlangsung lebih dari 1 bulan.
Dari data ini menjadi dasar diagnosis bahwa pasien menderita skizofrenia sekaligus
menyingkirkan diagnosis psikotik akut (F.20). Dari anamnesis yang dilakukan didapatkan juga
adanya gangguan proses berfikir berupa bentuk non realistik, arus loghore, isi waham kebesaran
serta psikomotor yang meningkat sehingga dapat disimpulkan pasien menderita skizofrenia
hebefrenik (F20.1).

Skizofrenia adalah suatu sindrom klinis bervariasi, namun sangat mengganggu,


psikopatologi yang mencakup kognisi, emosi, persepsi, dan aspek lain dari perilaku. Ekspresi
dari manifestasi ini bervariasi pada semua pasien dan dari waktu ke waktu, tetapi efek dari
penyakit ini selalu berat dan biasanya berlangsung lama( Kern, 2008).Untuk diagnosis
Skizofrenia menurut Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ)-III harus
terdapat sedikitnya satu gejala ini yang amat jelas (1) thought echo / insertion atau withdrawal /
broadcasting (2) delusion of control / influence / passivity / perception (3) halusinasi auditorik
(4) waham-waham menetap lainnya. Atau paling sedikit dua gejala dari (1) halusinasi yang
menetap dari panca-indera apa saja (2) arus pikiran yang terputus atau mengalami sisipan (3)
perilaku katatonik (4) gejala-gejala “negatif". Dimana gejala-gejala khas tersebut telah
berlangsung selama kurun waktu satu bulan atau lebih, dan harus ada perubahan yang konsisten
dan bermakna dalam mutu keseluruhan dari beberapa aspek perilaku pribadi (PDSKJI, 2012).

Sementara untuk mendiagnosis skizofrenia hebefrenik menurut PPDGJ-III harus


memenuhi kriteria diagnosis skizofrenia dan sebagai tambahan terdapat : 1). Memenuhi kriteria
umum diagnosa skizofrenia. 2). Diagnosis hebefrenik untuk pertama kali hanya ditegakkan pada
usia remaja atau dewasa muda (onset biasanya mulai 15-25 tahun). 3). Kepribadian premorbid
menunjukkan ciri khas yaitu pemalu dan senang menyediri (solitary), namun tidak harus
demikian untuk menentukan diagnosis. 4). Untuk diagnosa hebefrenia yang meyakinkan
umumnya diperlukan pengamatan kontinu selama 2 atau 3 bulan lamanya, untuk memastikan
bahwa gambaran yang khas berikut ini memang benar bertahan : - perilaku yang tidak
bertanggung jawab dan tak dapat diramalkan, serta mennerisme ada kecenderungan untuk selau
menyendiri, dan perilaku menunjukkan hampa tujuan dan hampa perasaan, - afek pasien dangkal
(shallow) dan tidak wajar (inappropriate), sering disertai oleh cekikikan (giggling) atau perasaan
puas diri (self satiffied), senyum sendiri ( self absorbed smiling), atau oleh sika, tinggi hati (lofty
manner), tertawa menyeringai (grimaces), mannerisme, mengibuli secara bersenda gutau
(pranks), keluhan hipokondrial, dan ungkapan kata yang diulang-ulang (reiterated phrases), -
proses pikir mengalami disorganisasi dan pembicaraan tak menentu (rambling) serta inkoheren.
5). Gangguan afektif dan dorongan kehendak, serta gangguan proses pikir umumnya menonjol.
Halusinasi dan waham mungkin ada tetapi biasanya tidak menonjol (fleeting and fragmentary
delusions and hallicinations). Dorongan kehendak (drive) dan yang bertujuan (determitation)
hilang serta sasaran ditinggalkan, sehinnga perilaku penderita memperlihatkan ciri khas yaitu
perilaku tanpa tujuan (aimless) dan tanpa maksud (empaty of puspose). Adanya suatu preokupasi
yang dangkal dan bersifat dibuat-buat terhadap agama, filsafat dan tema abstrak lainnya, makin
mempersukar orang memahami jalan pikiran pasien. (PDSKJI, 2012).

Terapi farmakologi masih merupakan pilihan utama pada skizofrenia. Pilihan terapi pada
skizofrenia dipilih berdasarkan target gejala pada pasien skizofrenia.Tujuan pengobatan adalah
untuk mencegah bahaya pada pasien, mengontrol perilaku pasien, dan untuk mengurangi gejala
psikotik pada pasien seperti agitasi, agresif, negatif simptom, positif simptom, serta gejala afek.

Selain diberikan obat-obat terapi medikamentosa pasien juga dilakukan terapi


nonmedikamentosa yaitu psikoterapi dan psikoedukasi yang dianjurkan setelah pasien tenang
dengan pemberian dukungan pada pasien dan keluarga agar mempercepat penyembuhan pasien
dan diperlukan rehabilitasi yang disesuaikan dengan psikiatrik serta minat dan bakat penderita
sehingga bisa dipilih metode yang sesuai untuk pasien tersebut.
BAB V

KESIMPULAN

Diagnosis skizofrenia hebefrenik pada kasus ditegakkan berdasarkan anamnesis baik


alloanamnesis maupun autoanamnesis dan pemeriksaan status psikiatri. Untuk mendiagnosis
skizofrenia harus ada minimal satu gejala utama atau paling sedikit dua gejala tambahan. Gejala
tersebut harus berlangsung minimal satu bulan. Skizofrenia hebefrenik ditegakan apabila
memenuhi syarat sebagai szikofrenia ditambah minimal satu dari gejala hebefrenik. Terapi pada
skizofrenia dipilih berdasarkan target gejala dengan tujuan untuk mencegah bahaya pada pasien.
Selain itu tujuan terapi juga untuk mengontrol perilaku pasien, dan mengurangi gejala psikotik
pada pasienseperti agitasi, agresif, gejala negatif, gejala positif serta gejala afek. Dalam beberapa
literatur obat antipsikosis golongan II memiliki efektifitas yang lebih baik dan efek samping
lebih rendah bila dibandingkan dengan antipsikosis golongan I.

Pada skizofrenia hebefrenik mungkin dibutuhkan terapi kombinasi agar terapi dapat lebih
maksimal. Pasien dengan skizofrenia hebefrenik selain membutuhkan terapi farmakologi juga
perlu psikoterapi dan psikoedukasi agar pasien mendapat dukungan oleh keluarga serta
mengurangi frekuensi gejala psikotiknya.
DAFTAR PUSTAKA

1. Fiona K. Pengaruh dukungan sosial terhadap kualitas hidup penderita skizofrenia. Jurnal Psikologi
Kepribadian dan SosialUniversitas Airlangga. 2013; 2(3):106-13.

2. Sie M. Schizophrenia clinical features and diagnosis. Clin Pharm. 2011; 3(1):41-4.

3. DSM-IV-TR. Schizophrenia [internet]. Diakses tanggal 3 Maret 2017. Tersedia dari:


https://www.brown.edu/Courses/BI_278/ Other/Clerkship/Didactics/Readings/Schiz ophrenia.pdf

Anda mungkin juga menyukai