Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN
Strongiloides stercoralis pertama kali ditemukan pada tahun 1876 di dalam tinja tentara
Perancis yang mengalami diare dan baru kembali dari Indo Cina. Strongiloides terutama
ditemukan di daerah beriklim tropik dan subtropik dimana pada daerah tersebut terdapat
kelembaban yang tinggi, sedangkan didaerah beriklim dingin jarang ditemukan tetapi dapat
bertahan didalam iklim yang dingin. Penyakit diare yang disebabkan oleh Strongyloides
stercoralis disebut Strongyloidiasis ( diare Cochin China ). Beberapa peneliti menyelidiki
klasifikasi perbedaan siklus hidup dan mungkin patogenesisnya dari cacing ini selama awal
tahun 1900. Nigishori ( 1928 ) dan Faust De Groat ( 1940 ) menjelaskan terjadinya autoinfeksi
interna yang merupakan bagian penting dalam siklus hidupnya, terutama bila berhubungan
dengan pasien yang rentan. Stongyloides terutama ditemukan di daerah panas tetapi dapat hidup
di daerah beriklim dingin.

Daerah geografisnya lebih sering tumpang tindih dengan infeksi cacing tambang.
Frekuensi di Amerika Serikat masih jauh dari dari data sebenarnya disebabkan oleh gejalanya
yang asimptomatis. Data terbaru iduga 100 – 200 juta orang terinfeksi oleh parasit ini dan ini
tersebar kurang lebih di 70 negara.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Pengertian
Strongyloidiasis adalah penyakit parasit yang disebabkan oleh cacing gelang stercoralis
Strongyloides. Gelang ini dapat ditemukan di tanah yang terkontaminasi oleh tinja yang
mengandung cacing, yang kemudian liang melalui kulit dan memasuki aliran darah. Mereka
kemudian masuk ke paru-paru dan liang melalui jaringan memisahkan saluran udara dari
esophafus dan masukkan saluran pencernaan, dimana mereka bertelur dan bereproduksi.

II.2 Etiologi
Strongyloidiasis pada manusia disebabkan oleh parasit nematoda Strongyloides
stercoralis, cacing nematoda yang termasuk Soil Transmitted Helminth (STH). Organisme
penyebab Strongyloidiasis pertama sekali ditemukan oleh Norman (1876) pada feses prajurit
kolonial Prancis yang menderita diare tidak terkontrol di Cochin – China. Pada autopsi prajurit
yang meninggal tadi, awalnya diduga spesies yang dijumpai pada fesesnya berbeda dengan
spesies yang diperoleh dari dinding ileum, saluran empedu dan pankreasnya. Baru di kemudian
hari Grassi(1879), Perronato (1880) dan Leuchart (1882) mendemonstrasikan bahwa keduanya
sebenarnya merupakan satu spesies yang sama namun merupakan bagian yang berbeda dalam
siklus hidup organisme ini. Disebutkan juga bahwa ada beberapa spesies dari genus
Strongyloides pada hewan yang dapat juga menginfeksi manusia.

II.3 Distribusi dan Geografi


Distribusinya luas di seluruh dunia terutama di daerah beriklim tropis dan sub tropis, dan
dapat juga ditemukan di daerah beriklim sedang. Pada umumnya distribusi terbatas pada daerah
bercuaca hangat dan lembab karena merupakan situasi yang cocok untuk perkembangan hidup
tahap larva Strongyloides stercoralis. Namun oleh karena gejalanya yang sering sub klinis dan
masa hidupnya yang cukup lama (interval 5 tahun, bahkan pernah dijumpai 1 kasus di mana
cacing ini dapat parasitik pada manusia selama 65 tahun) maka seseorang dapat terinfeksi di
daerah beriklim hangat lalu berpndah tempat ke daerah beriklim dingin dan menjadi carier
infeksi Strongyloides stercoralis bahkan tanpa menyadarinya. Infeksi lebih sering dijumpai di

2
area pedesaan (oleh karena kontak petani dengan tanah) serta pada kelompok – kelompok
masyarakat sosial – ekonomi rendah.

II.4 Taxonomi dan Morfologi

Kingdom : Animalia
Filum : Nematoda
Klas : Secementea
Ordo : Rhabditidia
Famili : Strongyloididae
Genus : Strongyloides
Spesies : S. stercoralis

Helmint dibagi menjadi :


1. Nemathelminthes (cacing gilik ) (nema = benang).
2. Platyhelminthes (cacing pipih) Stadium dewasa cacing yang termasuk.
Nemathelmynthes (kelas Nematoda) berbentuk bulat memenjang dan pada potongan transversal
terlihat rongga badan dan organ dalamnya. Cacing ini mempunyai alat kelamin yang terpisah.
Nematoda dibagi menjadi :
1. Nematoda yang hidup pada rongga usus

Gambar telur

3
2. Larva :
Bentukan larva ada dua macam yaitu : larva Rabditiform dan larva filariform (bentuk
infektif).
Larva rabditiform berukuran 200 dan 250 mikron, mempunyai mulut pendek dengan dua
pembesaran oesefagus yang khas. Larva filariform ukurannya lebih panjang kurang lebih
700 mikron, langsing dan mempunyai mulut pendek oesofagus larva ini berbentuk
silindris.

Rabditiform larva

Filariform larva

Morfologi
 Bentuk bebas (free living form) :

4
betina : ukuran ± 1 x 0,05 mm, esofagus ± ¼ panjang tubuh serta pendek dan terbuka, uterus
berupa satu barisan lurus yang berisi 40 – 50 telur. Vulva terbuka di sisi ventral dekat
pertengahan tubuh.

jantan : fusiform, ukuran 0,7 x 0,07 mm, esofagus tertutup, memiliki 2 spikula dan 1
gubernakulum, ujung ekor runcing dan melengkung.
 Bentuk parasitik :
betina : halus dan transparan, ukuran 2,2 x 0,05 mm, esofagus filiform ¼ panjang tubuh.Pada
betina gravid uterus berisi 10 – 20 telur yang mengandung embrio. Vulva pada sisi ventral 1/3
posterior panjang tubuh.

Jantan : menurut Kreist (1932) dan Faust ada bentuk parasitik jantan pada manusia yang
morfologinya sama dengan morfologi jantan bentuk bebas (free living). Namun belum ada
peneliti yang menemukan bentuk parasitik jantan ini selain Kreist dan Faust. Oleh karena itu
dianutlah pemahaman bahwa bentuk parasitik betina pada manusia berkembang biak secara
parthenogenesis.
-Larva rhabditiform
Ukuran ± 380 x 20 μ, esofagus pendek dan terbuka, genital primordium besar dan ovoid terletak
di ventral dekat intestinal. Ekor runcing.
-Larva filariform :
Ukuran ± 630 x 16 μ, mulut tertutup, esofagus ½ panjang badan, ujung ekor bercabang 2 pendek
(fork tail) atau tumpul saja, sarung (sheath) tidak ada.

II.5 EPIDEMIOLOGI
Lebih dari 1 milyar penduduk didunia terinfeksi oleh satu atau lebih nematoda usus salah
satunya adalah Strongiloides stercoralis dimana infeksi cacing ini merupakan urutan kelima
setelah Ascaris ( cacing bulat ), Necator americanus ( cacing tambang ), Trichuris triciuria (
cacing cambuk ) dan Enterebius vermicularis ( cacing kremi ). Menurut literature yang ada
srongyloides terdiri dari 52 spesies kebanyakan dari spesies tersebut dapat mengakibatkan
infeksi pada manusia penyebaran infeksi Strongyloides seiring dengan infeksi cacing tambang
tetapi frekuensinya lebih rendah pada daerah dengan iklim dingin. Infeksi terutama terjadi pada
daerah dengan iklim tropic dan subtropik dimana panas, kelembaban dan tidak adanya sanitasi
yang baik memungkinkan terjadinya infeksi strongyloides ini. Infeksi Srongyloides ini

5
terdistribusi khususnya di kawasan Asia Tenggara, sub Sahara Afrika dan Brazil. Di Amerika
Serikat strongyloidiasis merupakan endemik pada daerah di bagian selatan dan ditemukan
diantara penghuni panti asuhan mental yang memiliki sanitasi dan hygiene yang buruk dan
diantara imigran serta veteran militer yang pernah tinggal di daerah endemik di luar negri.
Stongyloides stercoralis

II.6 Siklus Hidup


Dalam siklus hidup s. stercoralis tidak diperlukan hospes perantara. Sebagai hospes
definitif adalah manusia. Telur cacing dikeluarkan oleh cacing betina didalam mukosa usus
duodenum dan jeyunum yang lalu menetas menjadi larva rabditiform. Cacing betina hidup
sebagai parasit dengan ukuran 2,20 x 0, 04 mm, adalah berbentuk filariform, tidak berwarna,
semitransparan dengan kutikulum yang bergaris halus. Cacing ini mempunyai ruang mulut dan
oesofagus panjang, langsing dan silindrik. Sepasang uterus berisi sebaris telur yang berdinding
tipis, jernih dan bersegmen. Cacing betina yang hidup bebas ukurannya lebih kecil dibanding
dengan yang parasit. Cacing jantan yang hidup bebas lebih kecil dari yang betina dan
mempunyai ekor yang melingkar. Cara berkembang biak dari s. stercoralis yaitu telur diletakkan
di mukosa usus duodenum dan jeyunum kemudian menetas menjadi larva rabditiform yang dapat
masuk kedalam ke rongga usus serta dikeluarkan bersama tinja.

6
Siklus hidup Strongyloides stercoralis cukup kompleks dengan adanya pergantian antara
siklus bebas (= siklus tidak langsung / indirect cycle) dan siklus parasitik (= siklus langsung /
direct cycle), serta adanya potensi autoinfeksi dan multiplikasi dalam tubuh hospesnya.
1. Siklus langsung
Sesudah 2 sampai 3 hari di tanah, larva rabditiform yang berukuran kira –kira 225 x 16 mikron
berubah bentuk menjadi filariform dengan bentuk langsing dan merupakan bentuk infektif,
panjangnya kurang lebih 700 mikron. Bila larva filariform ini menembus kulit peredaran darah
vena dan kemudian melalui jantung kanan sampai ke paru – paru. Dari paru – paru parasit.
menjadi dewasa menembus alveolus masuk ke trakea lalu terjadi reflek batuk, sehinnga parasite
dapat masuk kedalam usus halus. Cacing betina dapat bertelur ditemukan kira – kira 28 hari
sesudah infeksi. Siklus langsung sering terjadi di negara – negara yang lebih dingin dengan
keadaan yang kurang menguntungkan untuk parasite tersebut.
2. Siklus tidak langsung
Pada siklus tidak langsung, larva rabditiform di tanah berubah menjadi cacing jantan dan cacing
betina bentuk bebas. Bentuk bebas ini lebih gemuk dari bentuk parasitik. Cacing betina
berukuran 1 mm x 0,06 mm, yang jantan 0,75 mm x 0,04 mm, mempunyai ekor melengkung
dengan 2 buah spikulum. Sesudah pembuahan, cacing betina menghasilkan telur yang dapat
menetas menjadi larva rabditiform. Larva rabditiform dalam beberapa hari dapat menjadi larva
filariform dan masuk kedalam hospes baru, atau larva rabditoform dapat juga megulangi fase
hidup bebas. Siklus tidak langsung ini terjadi bila keadaan lingkungan sekitar optimum yaitu
iklim tropik dan subtropik

7
Siklus parasitik (= siklus langsung / direct cycle) :
Larva filariform menembus kulit, masuk ke pembuluh darah kapiler, dengan mengikuti sistem
peredaran darah masuk ke jantung, kemudian ke paru (Lung passage), kemudian ke trachea,
larinx dan kemudian tertelan masuk ke usus halus (duodenum) dan di sana menjadi cacing
dewasa. Larva juga dapat menginfeksi dengan cara tertelan langsung.

Siklus bebas (= siklus tidak langsung / indirect cycle)


Pada keadaan tertentu (suasana yang mendukung), larva rhabditiform dapat berkembang menjadi
dewasa bentuk bebas jantan dan betina. Setelah kopulasi, cacing betina bertelur dan menetaskan
larva stadium rhabditiform. Setelah 2 hari larva ini berkembang dan dapat berubah menjadi larva
filariform yang bersifat infektif, atau bila suasana mendukung (temperatur dan kelembaban tanah
yang optimal) maka larva rhabditiform tadi berkembang menjadi cacing dewasa Strongyloides
stercoralis bentuk bebas.

Autoinfeksi internal
Terjadi terutama pada hospes yang mengalami gangguan obstipasi.
Pada autoinfeksi internal, larva rhabditiform dalam lumen usus tumbuh menjadi larva filariform.
Larva ini menembus mukosa usus, masuk ke pembuluh darah kapiler kemudian ke jantung lalu
ke paru dan seterusnya melanjutkan siklus hidup seperti yang diuraikan pada siklus parasitik.

Autoinfeksi eksternal
Daerah perianal hospes terkontaminasi larva rhabditiform saat hospes BAB, lalu larva ini
tumbuh menjadi larva filariform. Larva filariform ini kemudian menembus kulit perianal dan
masuk ke pembuluh darah kapiler dan seterusnya melanjutkan siklus hidup seperti yang
diuraikan pada siklus parasitic.

8
II.7 Patogenesis dan Patologi
Transmisi dengan penetrasi larva filariform infektif melalui kulit dari tanah yang
terkontaminasi, atau per oral. Transmisi juga kemungkinan dapat terjadi transplacental (dari ibu
ke janin yang dikandungnya) dan transmammary (dari ibu ke bayinya melalui air susu) oleh
karena pernah ditemukan kasusnya pada hewan mamalia lain. Penetrasi larva filariform infektif
menembus kulit menimbulkan Cutaneus Larva Migrans dan Visceral Larva Migrans. Larva ini
kemudian menembus saluran limfatik atau kapiler terbawa sampai ke jantung kanan dan kapiler
pulmonal. Kemudian keluar dari kapiler pulmonal dan penetrasi ke dalam alveoli paru. Diduga
saat keluar dari kapiler pulmonal parasit ini menyebabkan perdarahan dan menimbulkan infiltrasi
seluler pada paru. Kadang dapat terlihat gambaran bercak infiltrat yang menyebar pada
gambaran radiologis paru (Loeffler’s pneumonia). Kumpulan gejala klinis yang ditimbulkan oleh
parasit muda ini saat sedang berada di paru dan saluran pernafasan disebut dengan Sindroma
Loeffler.

Parasit ini kemudian bermigrasi ke saluran nafas atas, sampai ke esofagus dan tertelan masuk ke
lambung dan usus. Di sana parasit ini dengan cepat berkembang menjadi dewasa. Betina lalu
berkembang biak secara parthenogenesis (Kraust, 1932 dan Faust berpendapat bahwa ada bentuk
parasitik jantan, dan bahwa betina juga berkembang biak melalui kopulasi yang terjadi di
duodenum atau jeyunum. Walaupun para ahli selain mereka belum ada yang dapat menemukan
bentuk parasitik jantan). Betina kemudian membuat lubang di mukosa saluran cerna untuk

9
menaruh telur – telurnya . Pada infeksi berat gambaran mukosa dapat terlihat seperti gambaran
sarang tawon (“honeycombed appearance”). Telur yang menetas mengeluarkan larva
rhabditiform yang lalu akan keluar melalui feses. Saat parasit ini berada di saluran cerna,
timbullah gejala – gejala saluran cerna seperti nyeri abdomen, kram, malabsorbsi dan
sebagainya.
Pre – paten period (= masa inkubasi ekstrinsik) ± 1 bulan. Keadaan terjadinya autoinfeksi
internal maupun eksternal akan mengarah ke hiperinfeksi. Hal ini akan menyebabkan parasit ini
dapat bertahan lama bahkan sampai bertahun – tahun pada tubuh seseorang sehingga dapat
bertahan hidup di belahan dunia mana pun dan dalam iklim apapun. Hal ini pula yang diduga
sebagai penyebab sering rekurennya gejala klinis yang merupakan ciri dari penyakit ini.
Pada akhir masa inkubasi dan pada tahap awal infeksi aktif terjadi leukositosis (s/d 25.000)
dengan eosinofilia (> 40 %). Kemudian, saat infeksi menjadi kronis leukositosis berganti
menjadi neutropenia dan monositosis relatif, sementara eosinofilia moderat tetap bertahan
selama bertahun – tahun. Pada keadaan kurangnya eosinofil, disertai dengan leukopenia, pada
kasus kronis menunjukkan prognosa yang buruk.
Pada keadaan tertentu larva filariform dapat gagal keluar dari kapiler pulmonal paru menuju
alveoli, lalu bermigrasi ke dalam venule pulmonal dan masuk ke sirkulasi sistemik tubuh. Hal ini
dapat mengarah kepada “disseminated infection” yang dapat menyerang organ – organ lain
seperti paru, hati, dan jantung. Namun keadaan “disseminated (menyebar)” ini sendiri tidak
berhubungan dengan beratnya infeksi. Kasus “disseminated” biasanya terjadi pada penderita
dengan immunosupresi / immunocompromised.
Hiperinfeksi Strongyloides stercoralis merupakan sindrom autoinfeksi yang meningkat dan
gejala – gejalanya disebabkan oleh peningkatan migrasi larva Strongyloides stercoralis.
Hiperinfeksi dapat berakibat fatal. Sebagai penanda hiperinfeksi adalah peningkatan deteksi
jumlah larva dalam feses. Faktor resiko hiperinfeksi Strongyloidiasis adalah pasien yang
immunocompromized, diantaranya

 Pengguna kortikosteroid.

Diduga ikatan antara kortikosteroid dengan reseptor hormon steroid mempercepat


transformasi larva rhabditiform menjadi larva filariform infektif. Kortikosteroid juga
menyebabkan supresi eosinofil dan aktivasi limfosit.

10
 Pengguna obat – obat imunosupresif untuk terapi kanker.
 Penderita infeksi virus HTLV – 1
Ko-infeksi Strongyloidiasis dengan infeksi virus HTLV – 1 (Human T cell
Lymphotropic Virus type 1) mempercepat fase pre-leukemik infeksi HTLV – 1. Antigen
strongyloides mempecepat leukemogenesis.

Pengidap HIV / AIDS yang dengan keadaan imunodefisiensinya awalnya diduga memiliki angka
kejadian hiperinfeksi Strongyloidiasis yang tinggi, ternyata angka hiperinfeksi ini tidaklah
sesignifikan atau pun sebesar yang diperkirakan. Dan penyebab penyimpangan ini juga masih
belum diketahui pasti. Sedang pasien yang mendapat transplantasi organ memiliki angka
hiperinfeksi yang tidak tinggi walaupun memakai obat obat imunosupresif. Hal ini kemungkinan
dikarenakan obat yang dipakai untuk menekan sistem imun tubuh pasien (untuk menekan reaksi
penolakan tubuh terhadap organ yang baru ditransplantasikan) adalah cyclosporin yang juga
mempunyai efek antihelmentik. Beberapa ahli ada yang menyebut – nyebut tentang adanya
kaitan antara Strongyloidiasis dengan arthritis, namun mekanisme pastinya belum dimengerti
benar.

II.8 Gejala Klinis


Infeksi Strongyloides stercoralis umumnya asimtomatis, namun telah diketahui bahwa
kasus carier asimtomatik dapat berlangsung bertahun – tahun dan kemudian berkembang
menjadi penyakit yang serius. Strongyloidiasis kronis dapat menyebabkan kolitis. Hiperinfeksi
yang fatal dapat terjadi pada penderita dengan immunosupresi / immunocompromised. infeksi
yang simtomatik biasanya berupa gejala – gejala gastrointestinal, pulmonal dan dermatologis.

Demam biasanya dijumpai pada kasus “disseminated” (menyebar).


• Dermatologis – reaksi alergi dapat timbul akibat penetrasi larva melalui kulit
o Gatal di kulit – rash lesi papulovesikuler pruritus, biasanya di kaki.
o Rash urtikaria yang alurnya berkelok - kelok akibat larva yang berjalan menembus kulit.
o Granuloma pada kulit (pada kasus autoinfeksi kronis)
o Ptechiae / rash purpura (pada kasus disseminated)
o Gejala – gejala kulit tidak khas yang lain

11
• Gastrointestinal
o Kembung, rasa penuh di perut
o Nyeri perut yang menyebar
o Diare dengan darah (-)
o Muntah
o Berat badan menurun

• Pulmonal
o Wheezing
o Batuk
o Hemoptisis (batuk darah, pada kasus disseminated atau pun hiperinfeksi).
o Pernafasan dangkal

Susunan Syaraf Pusat (SSP) -- Gejala – gejala meningeal dapat dijumpai pada kasus
disseminated. Sistem reproduksi – pernah dilaporkan 1 kasus infertilitas oleh karena infeksi
strongyloidiasis disseminated dengan dijumpainya larva pada air mani penderita dan konsepsi
berhasil setelah penderita mendapat pengobatan infeksinya. Pada sindrom hiperinfeksi, selain
meningitis dapat juga terjadi sepsis, biasanya polimikrobial akibatnya menyebarnya bakteri usus
ke dalam darah.

II.9 Diagnosa
Menemukan larva rhabditiform atau pun larva filariform pada sediaan feses, cairan
duodenum, cairan asites, dan sputum (pada kasus yang disseminated). Larva rhabditiform
biasanya dijumpai pada sediaan tinja segar. Larva filariform dapat dijumpai pada pembiakan
tinja dan pembiakan sekret duodenum yang diambil dengan duodenal sonde. Serologis dengan
Antibody Detection Assay termasuk EIA, IFA, dan IHA dengan sensitivitas terbesar pada teknik
EIA.

12
II.10 Pengobatan
Ivermectin merupakan terapi pilihan utama untuk Strongyloidiasis, oleh karena
efektivitasnya yang tinggi (mencapai hampir 100 % ) serta pemberiannya cukup dosis tunggal
baik untuk kasus tanpa atau pun dengan komplikasi dengan efek samping yang sedikit. Dosis
ivermectin 0,2 mg / kg bb / hari, diberikan dalam dosis tunggal. Angka kesembuhan 98, 7 %
(Nontasutet al, 2005). Sebagai terapi alternatif adalah Albendazole dan Thiabendazole, sedang di
Indonesia sediaan yang ada pada umumnya adalah Albendazole. Dosis Albendazole 25 mg / kg
bb/ hari. Pemberiannya biasa berupa Albendazole 400 mg 2 x per hari (anak < 2 tahun : 200 mg)
selama 3 - 5 hari. Untuk kasus hiperinfeksi, pemberian dapat dilakukan hingga 15 hari. Angka
kesembuhan 78, 8 % (Nontasut et al, 2005).
Efek samping pengobatan berupa diare, gatal – gatal dan mengantuk lebih sering dijumpai pada
ivermectin dibandingkan albendazole.
Pencegahan infeksi adalah dengan memakai alas kaki dan menghindari kontak dengan tanah
yang tercemar. Pasien harus diskrining terlebih dahulu terhadap kemungkinan adanya infeksi
strongyloidiasis sebelum pemakaian obat - obat immunosupresif.

II.11 FARMAKOKINETIKA DAN FARMAKODINAMIK


FARMAKOKINEKA
1. Ivermectin
Ivermectin secara signifikan berbeda karena ketidakmampuan spesies dan rute
pemberian. Setelah obat diserap,ivermectin didistribusikan secara luas di jaringan tubuh dan
memiliki konsentrasi tertinggi di hati dan jaringan adiposa.Ivermectin biasanya teroksidasi
menjadi metabolit di hati. Lebih dari 90% ekskresi feses terjadi dalam 5 hingga 6 hari, dan hanya
0,5% hingga 2% yang diekskresikan dalam urin.

2. Albendazole
Albendazol di absorpsi secara beragam dan tidak teratur setelah pemberian oral; absorpsi
meningkat dengan pemberian makanan berlemak dan mungkin juga oleh garam-garam empedu.
Obat ini terdistribusi dengan baik ke dalam berbagai jaringan termasuk kista hidatid disini
konsentrasinya mencapai 1/5 konsentrasinya di plasma. Albendazole dimetabolisme dengan
cepat di hati dan mungkin juga di usus membentuk albendazole sulfoksida yang mempunyai

13
aktivitas antelmintik kuat. Sulfoksida total mencapai konsentrasi puncak dalam plasma sekitar
300 µg/ml tetapi sangat beragam antar individu. Sekitar 70% albendazole sulfoksida terikat pada
protein plasma dan waktu paruh plasmanya sangat beragam dari 8 hingga 12 jam. Pembentukan
albendazole sulfoksida ini dikatalisis oleh flavin monooksigenase mikrosom maupun oleh
isoform-isoform sitokrom P-450 di hati dan usus. Aktivitas flavin monooksigenasi di hati terlibat
dalam pembentukan albendazole sulfoksida (+) sedangkan sitokrom P-450 lebih cenderung
membentuk metabolit sulfoksida (-). Kedua turunan sulfoksida tersebut kemudian dioksidasi
lebih lanjut membentuk metabolit albendazole sulfon nonkiral yang secara farmakologis tidak
aktif reaksi ini lebih cenderung ke arah sulfoksida (-) dan menjadi batasan waktu bersihan dan
waktu paruh plasma metabolit sulfoksida (+) yang bersifat bioaktif, waktu paruh: 8-12 jam,
kemudian obat ini di eksresikan melalui urine dan feses. (Goodman dan Gilman’s. 2008)

3. Tiabendazol
Obat ini sedikit larut dalam air, sehingga absorbsinya mudah dipengaruhi thiabendazole
absorsinya lebih cepat ,kadar puncak plasma 1 jam, dan di ekresikan dalam waktu 24
jam.Absorbsinya lewat usus, 90% obat diekskresi bersama urine dalam bentuk hidroksi (5-
hydroxythiabendazole) dan tergonjugasi sebagai glukoronida atau sulfat dalam waktu 24 jam.

FARMAKODIAMIK
1. INVERMECTIN
Indikasi : Invermectin untuk mengobati penyakit stongyloidiasis akibat infeksi cacing
gelang jenis strongyloides, dan onchocerchiasis akibat infeksi cacing gelang jenis
onchocerca volvulus.
Kontra indikasi : Pada ibu hamil dan menyusui.
Efek samping : Mual, muntah, diare, pusing, ruam, demam, nyeri otot.
Interaksi obat : Rifamfisin menurunkan kadar invermectin dalam darah, clarithromycin
dan verapamil meningkatkan kadar invermectin dalam darah.
Mekanisme kerja : Intermectin bekerja dengan cara mencegah cacing dewasa
bereproduksi dan membunuh larva cacing didalam tubuh.

14
2. ALBENDAZOLE
Indikasi : Albendazole efektif mengobati cacing Ascaris lumbricoides (cacing gelang),
Trichuris trichiuria (cacing cambuk), Enterobolus vermiculais (cacing kremi),
Ancylostoma duodenale (cacing tambang), Taenia (cacing pita), Necator americanus
(cacing tambang), Strongyloides stercoralis.
Kontra indikasi : Pada wanita hamil dan ibu menyusui.
Efek samping : Sakit perut, mual, muntah, sakit kepala, sakit tenggorokan, demam,
mudah memar atau pendarahan.
Interaksi obat : Simetidin, prazikuantel, dan deksametason dapat meningkatkan kadar
plasma metabolit aktif albendazole.
Mekanisme kerja : Albendazole dan metabolitnya bekerja dengan menghambat sintesis
mikrotubulus dalam nematoda dan dengan demikian mengurangi penga,bilan glukosa
secara irreversible sehingga terjadi pengosongan (deplesi), akibatnya parasit usus
dilumpuhkan atau mati perlahan-lahan.

3. TIABENDAZOLE
Indikasi : Albendazole efektif mengobati cacing Ascaris lumbricoides (cacing gelang),
Trichuris trichiuria (cacing cambuk), Enterobolus vermiculais (cacing kremi),
Ancylostoma duodenale (cacing tambang), Taenia (cacing pita), Necator americanus
(cacing tambang), Strongyloides stercoralis.
Kontra indikasi : Hipersensitifitas pada tiabendazole.
Interaksi obat : Simetidin dapat menghambat metabolisme sehingga meningkatkan kadar
tiabendazole dalam darah.
Efek samping : Pusing, gangguan pencernaan, gatal-gatal dan ruam pada kulit, sakit
kepala, kelelahan, hiperglikemia, gangguan hati, brakikardi.
Mekanisme kerja : Tiabendazole bekerja dengan cara menghambat enzim fumarate
reduktase yang dihasilkan oleh cacing serta menghambat pertumbuhan telur dan cacing.

15
BAB III
KESIMPULAN
1. Strongyloides stercoralis ditemukan di daerah tropic dan subtropik
2. Siklus hidup ada dua : parasitik dan hidup bebas
3. Manusia dapat terinfeksi oleh S. stercoralis melalui penetrasi melalui kulit atau membrane
mukosa yang kontak dengan tanah yang mengandung larva filariform yang infeksius
4. Proses auto infeksi dapat terjadi karena cacing ini dapat hidup bertahun – tahun setelah
manusia terinfeksi dari daerah endemis
5. Diagnosis dari Strongyloidiasis ditegakkan dengan ditemukannya larva dalam feses atau
cairan tubuh yang lain
6. Gejala klinis dari infeksi strongyloides asimptomatis, antara lain adanya gangguan GIT seperti
nyeri pada abdomen, diare. Dapat juga menimbulkan gejala pada paru – paru jika sudah
menginfeksi paru – paru.
7. Pada pasien – pasien dengan imunokompromise dapat juga terinfeksi oleh strongyloidiasis
Gastrointest Endosc 2004 May ; 59(6): 738 – 741

16
DAFTAR PUSTAKA
Cohen, Powderly : infectious Disease. 2nd ed. 2004 : 503 – 515, 1186 – 1187

Harison. Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 13. Hal : 1040 –1041

Goh SK, Chow PK, Chung AY, et all : Strongyloides colitis in patient with Cushing Syndrom

Harold W Brown. Dasar Parasitologi Klinis. Gramedia. Jakarta. 1979. Hal : 183 – 189

Lynne S Garcia. Diagnostik Parasitologi Kedokteran. EGC Jakarta. 1996. Hal : 155 – 161

Soedarto. Helmintologi Kedokteran. EGC Jakarta 1995. Hal : 91 – 93

Srisari Gandahusada. Parasitologi Kedokteran. FKUI. Jakarta. Edisi 3. 2004. Hal : 20 – 23

17

Anda mungkin juga menyukai