Anda di halaman 1dari 12

MEKANISME NYERI

Definisi Nyeri
Nyeri adalah pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan
akibat kerusakan jaringan, baik aktual maupun potensial atau yang digambarkan
dalam bentuk kerusakan tersebut. Nyeri adalah suatu pengalaman sensorik yang
multidimensional. Fenomena ini dapat berbeda dalam intensitas (ringan,sedang,
berat), kualitas (tumpul, seperti terbakar, tajam), durasi (transien,
intermiten,persisten), dan penyebaran (superficial atau dalam, terlokalisir atau difus).
Meskipun nyeri adalah suatu sensasi, nyeri memiliki komponen kognitif dan
emosional, yang digambarkan dalam suatu bentuk penderitaan. Nyeri juga berkaitan
dengan reflex menghindar dan perubahan output otonom.1

Fisiologi Nyeri
Mekanisme timbulnya nyeri didasari oleh proses multipel yaitu nosisepsi,
sensitisasi perifer, perubahan fenotip, sensitisasi sentral, eksitabilitas ektopik,
reorganisasi struktural, dan penurunan inhibisi. Antara stimulus cedera jaringan dan
pengalaman subjektif nyeri terdapat empat proses tersendiri, yaitu:2,3
1. Tranduksi
Adalah perubahan rangsang nyeri (noxious stimuli) menjadi aktifitas listrik
pada ujung-ujung saraf sensoris. Zat-zat algesik seperti prostaglandin, serotonin,
bradikinin, leukotrien, substans P, potassium, histamin, asam laktat, dan lain-lain
akan mengaktifkan atau mensensitisasi reseptor-reseptor nyeri. Reseptor nyeri
merupakan anyaman ujung-ujung bebas serat-serat afferent A delta dan C. Reseptor-
reseptor ini banyak dijumpai dijaringan kulit, periosteum, di dalam pulpa gigi dan
jaringan tubuh yang lain. Serat saraf afferent A delta dan C adalah serat-serat saraf
sensorik yang mempunyai fungsi meneruskan sensorik nyeri dari perifir ke sentral
ke susunan saraf pusat. Interaksi antara zat algesik dengan reseptor nyeri
menyebabkan terbentuknya impuls nyeri.
2. Transmisi
Adalah proses perambatan impuls nyeri melalui A-delta dan C serabut yang
menyusul proses tranduksi. Oleh serat afferent A-delta dan C impuls nyeri
diteruskan ke sentral, yaitu ke medulla spinalis, ke sel neuron di kornua dorsalis.
Serat aferent A-delta dan C yang berfungsi meneruskan impuls nyeri mempunyai
perbedaan ukuran diameter. Serat A-delta mempunyai diameter lebih besar
dibanding dengan serat C. Serat A-delta menghantarkan impuls lebih cepat (12-30
m/dtk) dibandingkan dengan serat C (0.5-5 m/dtk). Sel-sel neuron di medulla
spinalis kornua dorsalis yang berfungsi dalam fisiologi nyeri ini disebut sel-sel
neuron nosisepsi. Pada nyeri akut, sebagian dari impuls nyeri tadi oleh serat aferent
A-delta dan C diteruskan langsung ke sel-sel neuron yang berada di kornua antero-
lateral dan sebagian lagi ke sel-sel neuron yang berada di kornua anterior medulla
spinalis. Aktifasi sel-sel neuron di kornua antero-lateral akan menimbulkan
peningkatan tonus sistem saraf otonum simpatis dengan segala efek yang dapat
ditimbulkannya. Sedangkan aktifasi sel-sel neuron di kornua anterior medulla
spinalis akan menimbulkan peningkatan tonus otot skelet di daerah cedera dengan
segala akibatnya.
3. Modulasi
Merupakan interaksi antara sistem analgesik endogen (endorfin, NA, 5HT)
dengan input nyeri yang masuk ke kornu posterior. Impuls nyeri yang diteruskan
oleh serat-serat A-delta dan C ke sel-sel neuron nosisepsi di kornua dorsalis medulla
spinalis tidak semuanya diteruskan ke sentral lewat traktus spinotalamikus.
Didaerah ini akan terjadi interaksi antara impuls yang masuk dengan sistem inhibisi,
baik sistem inhibisi endogen maupun sistem inhibisi eksogen. Tergantung mana
yang lebih dominan. Bila impuls yang masuk lebih dominan, maka penderita akan
merasakan sensibel nyeri. Sedangkan bila efek sistem inhibisi yang lebih kuat, maka
penderita tidak akan merasakan sensibel nyeri.
4. Persepsi
Impuls yang diteruskan ke kortex sensorik akan mengalami proses yang
sangat kompleks, termasuk proses interpretasi dan persepsi yang akhirnya
menghasilkan sensibel nyeri.

Gambar 1. Proses perjalanan nyeri

Jalur Nyeri di Sistem Syaraf Pusat


Jalur Asenden
Serabut saraf C dan A delta halus, yang masing-masing membawa nyeri akut
tajam dan kronik lambat, bersinap disubstansia gelatinosa kornu dorsalis, memotong
medula spinalis dan naik ke otak di cabang neospinotalamikus atau cabang
paleospinotalamikus traktus spino talamikus anterolateralis. Traktus
neospinotalamikus yang terutama diaktifkan oleh aferen perifer A delta, bersinap di
nukleus ventropostero lateralis (VPN) talamus dan melanjutkan diri secara langsung
ke kortek somato sensorik girus pasca sentralis, tempat nyeri dipersepsikan sebagai
sensasi yang tajam dan berbatas tegas. Cabang paleospinotalamikus, yang terutama
diaktifkan oleh aferen perifer serabt saraf C adalah suatu jalur difus yang mengirim
kolateral-kolateral ke formatio retikularis batang otak dan struktur lain. Serat-serat ini
mempengaruhi hipotalamus dan sistem limbik serta kortek serebri.4

Jalur Desenden
Salah satu jalur desenden yang telah di identifikasi adalah mencakup 3 komponen
yaitu :
a. Bagian pertama adalah substansia grisea periaquaductus (PAG ) dan substansia
grisea periventrikel mesenssefalon dan pons bagian atas yang mengelilingi
aquaductus Sylvius.
b. Neuron-neuron di daerah satu mengirim impuls ke nukleus ravemaknus (NRM)
yang terletak di pons bagian bawah dan medula oblongata bagian atas dan
nukleus retikularis paragigantoselularis (PGL) di medula lateralis.
c. Impuls ditransmisikan ke bawah menuju kolumna dorsalis medula spinalis ke
suatu komplek inhibitorik nyeri yang terletak di kornu dorsalis medula spinalis.4
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar dibawah ini:
Patofisiologi Nyeri
Bila terjadi kerusakan jaringan/ancaman kerusakan jaringan tubuh, seperti
pembedahan akan menghasilkan sel-sel rusak dengan konsekuensi akan
mengeluarkan zat-zat kimia bersifat algesik yang berkumpul sekitarnya dan dapat
menimbulkan nyeri. akan terjadi pelepasan beberapa jenis mediator seperti zat-zat
algesik, sitokin serta produk-produk seluler yang lain, seperti metabolit eicosinoid,
radikal bebas dan lain-lain. Mediator-mediator ini dapat menimbulkan efek melalui
mekanisme spesifik.2,3
Tabel 1. Zat-zat yang timbul akibat nyeri
Zat Sumber Menimbulkan Efek pada aferen
nyeri primer
Kalium Sel-sel rusak ++ ++ Mengaktifkan
Seroronin Trombosis +++ Mengaktifkan
Bradikinin Kininogen plasma + Mengaktifkan
Histramin Sel-sel mast ± Mengaktifkan
Prostaglandin Asam arakidonat dan sel rusak ± Sensitisasi
Lekotrien Asam arakidonat dan sel rusak ± Sensitisasi
Substansi P Aferen primer Sensitisasi

Gambar 2. Fisiologi nyeri


Ada 2 saraf yang peka terhadap suatu stimulus noksius yakni serabut saraf A
yang bermielin (konduksi cepat) dan serabut saraf C yang tidak bermielin (konduksi
lambat). Serat A delta mempunyai diameter lebih besar dibanding dengan serat C.
Serat A delta menghantarkan impuls lebih cepat (12-30 m/dtk) dibandingkan dengan
serat C (0.5-5 m/dtk). Walaupun keduanya peka terhadap rangsang noksius, namun
keduanya memiliki perbedaan, baik reseptor maupun neurotransmiter yang
dilepaskan pada presinaps di kornu posterior. Reseptor (nosiseptor) serabut A hanya
peka terhadap stimulus mekanik dan termal, sedangkan serabut C peka terhadap
berbagai stimulus noksius, meliputi mekanik, termal dan kimiawi. Oleh karena itu
reseptor serabut C disebut juga sebagai polymodal nociceptors. Demikian pula
neurotransmiter yang dilepaskan oleh serabut A di presinaps adalah asam glutamat,
sedangkan serabut C selain melepaskan asam glutamat juga substansi P (neurokinin)
yang merupakan polipeptida.
Sensitisasi Perifer. Kerusakan jaringan akibat suatu trauma selain akan
menyebabkan terlepasnya zat-zat dalam sel juga akan menginduksi terlepasnya
mediator inflamasi dari sel mast, makrofag dan limfosit. Lebih dari itu terjadi impuls
balik dari saraf aferen yang melepaskan mediator kimia yang berakibat terjadinya
vasodilatasi serta peningkatan permeabilitas kapiler sehingga terjadi ekstravasasi
protein plasma.3,5,6,7

Gambar 3. Skema Sensitasi perifer


Interaksi ini akan menyebabkan terlepasnya mediator-mediator inflamasi
seperti ion kalium, hidrogen, serotonin, bradikinin, substansi P, histamin dan produk-
produk siklooksigenase dan lipoksigenase dari metabolisme asam arakidonat yang
menghasilkan prostaglandin. Mediator kimia inilah yang menyebabkan sensitisasi
dari kedua nosiseptor tersebut di atas. Akibat dari sensitisasi ini, rangsang lemah yang
normal tidak menyebabkan nyeri sekarang terasa nyeri. Peristiwa ini disebut sebagai
sensitisasi perifer yang ditandai dengan meningkatnya respon terhadap stimulasi
termal/suhu pada daerah jaringan yang rusak. Dengan kata lain sensitisasi perifer
diinduksi oleh adanya perubahan neurohumoral pada daerah jaringan yang rusak
maupun sekitarnya. Jika kita ingin menekan fenomena sensitisasi perifer ini, maka
dibutuhkan upaya menekan efek mediator kimia tersebut. Upaya demikian
merupakan dasar penggunaan obat-obat anti inflamasi non-steroid (AINS) yang
merupakan anti enzim siklooksigenase.
Sensitisasi Sentral. Suatu stimulus noksius yang berkepanjangan sebagai
akibat pembedahan/inflamasi, akan mengubah respon saraf pada kornu dorsalis
medulla spinalis. Aktivitas sel kornu dorsalis akan meningkat seirama dengan
lamanya stimulus tersebut. Neuron kornu dorsalis berperan sangat penting dalam
proses transmisi dan modulasi suatu stimulus noksius. Neuron kornu dorsalis terdiri
atas first-order neuron yang merupakan akhir dari serabut aferen pertama dan second-
order neuron sebagai neuron penerima dari neuron pertama. Second-order neuron-lah
yang memainkan peran modulasi yang dapat memfasilitasi atau menghambat suatu
stimulus noksius. Nosiseptif second-order neuron di kornu dorsalis terdiri atas dua
jenis, yakni pertama, nociceptive-specific neuron (NS) yang secara eksklusif
responsif terhadap impuls dari serabut Aδ dan serabut C. Neuron kedua disebut wide-
dynamic range neuron (WDR) yang responsif terhadap baik stimulus noksius
maupun stimulus non-noksius yang menyebabkan menurunnya respon treshold serta
meningkatnya reseptive field, sehingga terjadi peningkatan signal transmisi ke otak
menyebabkan meningkatnya persepsi nyeri.3,5,6,7
Perubahan-perubahan ini diyakini sebagai akibat terjadinya perubahan pada
kornu dorsalis menyusul suatu kerusakan jaringan/inflamasi. Perubahan ini disebut
sebagai sensitisasi sentral atau wind up. “Wind-up” ini dapat menyebabkan neuron-
neuron tersebut menjadi lebih sensitif terhadap stimulus lain dan menjadi bagian dari
sensitisasi sentral. Ini menunjukkan bahwa susunan saraf pusat tidak bisa diibaratkan
sebagai “hard wired” yang kaku tetapi seperti plastik , artinya dapat berubah sifatnya
akibat adanya kerusakan jaringan atau inflamasi.
Penemuan ini telah memberikan banyak perubahan pada konsep nyeri.
Dewasa ini telah diketahui bahwa suatu stimulus noksius yang berkepanjangan pada
serabut C dari serabut aferen primer akan menyebabkan perubahan morfologi dan
biokimia pada kornu dorsalis yang sulit untuk dipulihkan. Hal ini menjadi dasar
terjadinya nyeri kronik yang sulit disembuhkan.
Perubahan-perubahan yang terjadi pada kornu dorsalis sehubungan dengan
sensitisasi sentral adalah: pertama, terjadi perluasan reseptor field size sehingga
neuron spinalis akan berespon terhadap stimulus yang normalnya tidak merupakan
stimulus nosiseptif. Kedua, terjadi peningkatan besaran dan durasi respon terhadap
stimulus yang lebih dari potensial ambang. Dan yang terakhir, terjadi pengurangan
ambang batas sehingga stimulus yang secara normal tidak bersifat nosiseptif akan
mentransmisikan informasi nosiseptif. Perubahan-perubahan ini penting pada
keadaan nyeri akut seperti nyeri pascabedah dan perkembangan terjadinya nyeri
kronik. Perubahan ini bermanifestasi sebagai hyperalgesia, allodynia dan meluasnya
daerah nyeri di sekitar perlukaan.
Suatu jejas saraf akibat pembedahan juga akan mengakibatkan perubahan
pada kornu dorsalis. Telah dibuktikan bahwa setelah terjadi jejas saraf perifer pada
ujung terminal aferen yang bermielin, terjadi perluasan perubahan pada daerah sekitar
kornu dorsalis. Ini berarti bahwa serabut saraf yang biasanya tidak menghantarkan
nyeri ke daerah kornu dorsalis yang superfisial telah berfungsi sebagai relay pada
transmisi nyeri.Jika secara fungsional dilakukan hubungan antara terminal-terminal
yang normalnya menghantarkan informasi non-noxious dengan neuron-neuron yang
secara normal menerima input nosiseptif maka akan terbentuk suatu pola nyeri dan
hipersensitivitas terhadap sentuhan ringan sebagaimana yang terjadi pada kerusakan
saraf.

Gambar 4. Skema sensitasi sentral


Telah dikenal sejumlah besar tipe reseptor yang terlibat dalam transmisi nyeri.
Reseptor-reseptor ini berada di pre dan postsinaps dari terminal serabut aferen primer.
Beberapa dari reseptor ini telah menjadi target penelitian untuk mencari alternatif
pengobatan baru. Reseptor N-methyl-D-Aspartat (NMDA) banyak mendapat
perhatian khusus. Diketahui bahwa reseptor non NMDA dapat memediasi proses
fisiologis dari informasi sensoris, namun bukti yang kuat menunjukkan peranan
reseptor NMDA pada perubahan patofisiologis seperti pada mekanisme “wind-up”
dan perubahan-perubahan lain termasuk proses fasilitasi, sensitisasi sentral dan
perubahan daerah reseptor perifer. Dengan demikian antargonis NMDA tentunya
dapat menekan respon ini. Ketamin, penyekat reseptor NMDA, dengan jelas dapat
mengurangi kebutuhan opiat bila diberikan sebelum operasi. Dekstrometorfan, obat
penekan batuk, dapat menjadi alternatif lain karena penelitian menunjukkan bahwa
dekrtrometorfan juga merupakan penyekat reseptor NMDA.
Dewasa ini perhatian selanjutnya juga tertuju pada NO dan peranannya dalam
proses biologik. Sejumlah bukti telah menunjukkan peranan NO pada proses
nosiseptif. Produksi NO terjadi secara sekunder dari aktivasi reseptor NMDA dan
influks Ca. Ca intraseluler akan bergabung dengan calmodulin menjadi Ca-
calmodulin yang selanjutnya akan mengaktivasi enzim NOS (Nitric Oxide Synthase)
yang dapat mengubah arginin menghasilkan sitrulin dan NO (Nitric Oxide) dengan
bantuan NADPH sebagai co-factor.
Dalam keadaan normal, NO dibutuhkan untuk mempertahankan fungsi
normal sel. Namun, dalam jumlah yang berlebihan, NO dapat bersifat neurotoksik
yang akan merusak sel saraf itu sendiri. Perubahan yang digambarkan di atas, terjadi
seiring dengan aktivasi reseptor NMDA yang berkelanjutan. Dengan demikian, obat-
obat yang dapat menghambat produksi dari NO akan mempunyai peranan yang
penting dalam pencegahan dan penanganan nyeri.
Fenomena “wind-up” merupakan dasar dari analgesia pre-emptif, dimana
memberikan analgesik sebelum terjadinya nyeri. Dengan menekan respon nyeri akut
sedini mungkin, analgesia pre-emptif dapat mencegah atau setidaknya mengurangi
kemungkinan terjadinya “wind-up”. Idealnya, pemberian analgesik telah dimulai
sebelum pembedahan.
Berbagai upaya telah dicoba untuk memanfaatkan informasi yang diperoleh
dari hasil penelitian farmakologik dan fisiologik dalam penerapan strategi
penanganan nyeri. Percobaan difokuskan pada dua pendekatan. Pertama, penelitian
tentang bahan-bahan yang pada tingkat spinal berefek terhadap opiat, adrenoreseptor
alfa dan reseptor NMDA. Kedua, perhatian ditujukan pada usaha mencoba
mengurangi fenomena sensitisasi sentral. Konsep analgesia pre-emptif telah
mendunia sebagai hasil dari penemuan ini dan menjadi sebuah usaha dalam
mencegah atau mengurangi perubahan-perubahan yang terjadi pada proses nyeri.
Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa karakteristik nyeri
trauma adalah terjadinya sensitisasi perifer dan sensitisasi sentral. Oleh karena itu
prinsip dasar pengelolaan nyeri adalah mencegah atau meminimalisasi terjadinya
sensitisasi perifer dengan pemberian obat-obat NSAID (COX, atau COX2),
sedangkan untuk menekan atau mencegah terjadinya sensitisasi sentral dapat
dilakukan dengan pemberian opiat atau anestetik lokal utamanya jika diberikan secara
sentral.
DAFTAR PUSTAKA

1. Meliala, L. 2004. Nyeri Keluhan yang Terabaikan: Konsep Dahulu, Sekarang, dan
Yang Akan Datang, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar, Fakultas Kedokteran
Universitas GadjahMada.
2. Mangku, G., Diktat Kumpulan Kuliah, Bagian/SMF Anestesiologi dan Reanimasi
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar, 2002.
3. Latief, S.A., Petunjuk Praktis Anestesiologi, edisi II, Bag Anestesiologi dan Terapi
Intensif FK UI, Jakarta, 2001.
4. Price, Sylvia Anderson. 2006. Patofisiologi. Jakarta: EGC
5. Morgan, G.E., Pain Management, In: Clinical Anesthesiology 2nd ed. Stamford:
Appleton and Lange, 1996, 274-316.
6. Loese, J.D., Peripheral Pain Mechanism and Nociceptic Plasticity, In Bonica’s
Management of Pain, Lippicott Williams and Wilkins, 2001, 26-65
7. Avidan, M., Pain Managemnet, In Perioperative Care, Anaesthesia, Pain
Management and Intensive Care, London, 2003, 78-102

Anda mungkin juga menyukai