Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN PENDAHULUAN

dan

ASUHAN KEPERAWATAN

PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH I


GUILLAIN BARRE SYNDROME (GBS)

Oleh

MARTHALIA ASTUTI

NIM : 1601100005

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MALANG

JURUSAN KEPERAWATAN

D-III KEPERAWATAN MALANG


LEMBAR PENGESAHAN

Laporan pendahuluan Guillain Barre Syndrome (GBS) dan Asuhan Keperawatan pada Nn. F
dengan Guillain Barre Syndrome (GBS) di RSUD dr. Saiful Anwar Malang

Nama : Marthalia Astuti

NIM : 1601100005

Prodi : D-III Keperawatan Malang

Malang,

Pembimbing Institusi, Pembimbing Klinik/CI,

( ) ( )
LAPORAN PENDAHULUAN

KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH I


GUILLAIN BARRE SYNDROME (GBS)

Oleh

MARTHALIA ASTUTI

NIM 1601100005

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MALANG

JURUSAN KEPERAWATAN

D-III KEPERAWATAN MALANG


I
KONSEP DASAR
1. PENGERTIAN
Sindrom Guillain Barre (GBS) atau dikenali sebagai acute inflammatory
demyelinating polyradiculopathy (AIDP), merupakan jenis neuropati akut yang paling
umum dan dapat terjadi pada semua golongan usia.
Sindroma Guillain-Barre (GBS) mempunyai karakteristik yaitu disfungsi saraf kranial
dan perifer dengan onset akut. Infeksi virus pada saluran pernafasan ataupun pencernaan,
imunisasi, atau tindakan bedah biasanya seringkali terjadi 5 hari sampai 4 minggu sebelum
terjadinya gejala neurologis.

2. ETIOLOGI
Dahulu, sindrom ini diduga disebabkan oleh infeksi virus. Tetapi akhir-akhir ini
terungkap ternyata virus bukan sebagai penyebab. Teori yang dianut sekarang ialah suatu
kelainan immunobiologik, baik secara primary immune response maupun immune mediated
process.
Dua pertiga penderita berhubungan dengan penyakit infeksi atau kejadian akut.
Penyebab terjadinya inflamasi dan destruksi pada GBS sampai saat ini belum diketahui. Ada
yang menyebutkan kerusakan tersebut disebabkan oleh penyakit autoimun. Pada sebagian
besar kasus, GBS didahului oleh infeksi yang disebabkan oleh virus, yaitu Epstein-Barr
virus, coxsackievirus, influenzavirus, echovirus, cytomegalovirus, hepatitisvirus, dan HIV.
Selain virus, penyakit ini juga didahului oleh infeksi yang disebabkan oleh bakteri seperti
Campylobacter Jejuni pada enteritis, Mycoplasma pneumoniae, Spirochaeta , Salmonella,
Legionella dan , Mycobacterium Tuberculosa. Vaksinasi seperti BCG, tetanus, varicella, dan
hepatitis B ; penyakit sistemik seperti kanker, lymphoma, penyakit kolagen dan sarcoidosis ;
kehamilan terutama pada trimester ketiga ; pembedahan dan anestesi epidural. Infeksi virus
ini biasanya terjadi 2 – 4 minggu sebelum timbul GBS .
3. KLASIFIKASI
Menurut Lewis (2009) klasifikasi dari Guillain – Barre Syndrome (GBS) adalah sebagai
berikut :
a. Acute Motor-Sensory Axonal Neuropathy (AMSAN) Sering muncul cepat dan
mengalami paralisis yang berat dengan perbaikan yang lambat dan buruk. Seperti tipe
AMAN yang berhubungan dengan infeksi saluran cerna C jejuni. Patologi yang
ditemukan adalah degenerasi akson dari serabut saraf sensorik dan motorik yang berat
dengan sedikir demielinisasi.
b. Acute Motor-Axonal Neuropathy (AMAN) Berhubungan dengan infeksi saluran cerna
C jejuni dan titer antibody gangliosid meningkat (seperti, GM1, GD1a, GD1b).
Penderita tipe ini memiliki gejala klinis motorik dan secara klinis khas untuk tipe
demielinisasi denganasending dan paralysis simetris. AMAN dibedakan dengan hasil
studi elektrodiagnostik dimana didapatkan adanya aksonopati motorik. Pada biopsy
menunjukkan degenerasi ‘wallerian like’ tanpa inflamasi limfositik. Perbaikannya
cepat, disabilitas yang dialami penderita selama lebih kurang 1 tahun.
c. Miller Fisher Syndrome Variasi dari SGB yang umum dan merupakan 5 % dari semua
kasus GBS. Sindroma ini terdiri dari ataksia, optalmoplegia dan arefleksia. Ataksia
terlihat pada gaya jalan dan pada batang tubuh dan jarang yang meliputi ekstremitas.
Motorik biasanya tidak terkena. Perbaikan sempurna terjadi dalam hitungan minggu
atau bulan.
b. Chronic Inflammatory Demyelinative Polyneuropathy (CIDP) CIDP memiliki
gambaran klinik seperti AIDP, tetapi perkembangan gejala neurologinya bersifat
kronik. Pada sebagian anak, kelainan motorik lebih dominant dan kelemahan otot
lebih berat pada bagian distal
c. Acute pandysautonomia Tanpa sensorik dan motorik merupakan tipe SGB yang jarang
terjadi. Disfungsi dari sistem simpatis dan parasimparis yang berat mengakibatkan
terjadinya hipotensi postural, retensi saluran kemih dan saluran cerna, anhidrosis,
penurunan salvias dan lakrimasi dan abnormalitas dari pupil.

4. PATOFISIOLOGI
Kelemahan dan paralisis yang terjadi pada GBS disebabkan karena hilangnya myelin,
material yang membungkus saraf (demyelinisasi). Demyelinisasi menyebabkan
penghantaran impuls oleh saraf tersebut menjadi lambat atau berhenti sama sekali. GBS
menyebabkan inflamasi dan destruksi dari myelin dan menyerang beberapa saraf. Oleh
karena itu GBS disebut juga Acute Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy
(AIDP).
Pada GBS, terbentuk antibodi atau immunoglobulin (Ig) sebagai reaksi terhadap adanya
antigen atau partikel asing dalam tubuh, seperti bakteri ataupun virus. Antibodi yang
bersirkulasi dalam darah ini akan mencapai myelin serta merusaknya, dengan bantuan sel-
sel leukosit, sehingga terjadi inflamasi pada saraf. Sel-sel inflamasi ini akan mengeluarkan
sekret kimiawi yang akan mempengaruhi sel Schwan, yang seharusnya membentuk materi
lemak penghasil myelin. Dengan merusaknya, produksi myelin akan berkurang, sementara
pada waktu bersamaan, myelin yang ada telah dirusak oleh antibodi tubuh. Seiring dengan
serangan yang berlanjut, jaringan saraf perifer akan hancur secara bertahap. Saraf motorik,
sensorik, dan otonom akan diserang; transmisi sinyal melambat, terblok, atau terganggu;
sehingga mempengaruhi tubuh penderita. Hal ini akan menyebabkan kelemahan otot,
kesemutan, kebas, serta kesulitan melakukan aktivitas sehari-hari, termasuk
berjalan. Untungnya, fase ini bersifat sementara, sehingga apabila sistem imun telah
kembali normal, serangan itu akan berhenti dan pasien akan kembali pulih.
Pada GBS, terjadi malfungsi pada sistem imunitas sehingga muncul kerusakan
sementara pada saraf perifer, dan timbullah gangguan sensorik, kelemahan yang bersifat
progresif, ataupun paralisis akut. Karena itulah GBS dikenal sebagai neuropati perifer.
GBS dapat dibedakan berbagai jenis tergantung dari kerusakan yang terjadi. Bila
selubung myelin yang menyelubungi akson rusak atau hancur , transmisi sinyal saraf yang
melaluinya akan terganggu atau melambat, sehingga timbul sensasi abnormal ataupun
kelemahan. Ini adalah tipe demyelinasi; dan prosesnya sendiri dinamai demyelinasi primer.
Pada tipe aksonal, akson saraf itu sendiri akan rusak dalam proses demyelinasi
sekunder; hal ini terjadi pada pasien dengan fase inflamasi yang berat. Apabila akson ini
putus, sinyal saraf akan diblok, dan tidak dapat ditransmisikan lebih lanjut, sehingga timbul
kelemahan dan paralisis pada area tubuh yang dikontrol oleh saraf tersebut. Tipe ini terjadi
paling sering setelah gejala diare, dan memiliki prognosis yang kurang baik, karena
regenerasi akson membutuhkan waktu yang panjang dibandingkan selubung myelin, yang
sembuh lebih cepat.
Tipe campuran merusak baik akson dan myelin. Paralisis jangka panjang pada penderita
diduga akibat kerusakan permanen baik pada akson serta selubung saraf. Saraf-saraf perifer
dan saraf spinal merupakan lokasi utama demyelinasi, namun, saraf-saraf kranialis dapat
juga ikut terlibat.

5. TANDA DAN GEJALA


Sindroma Guillain-Barre (GBS) mempunyai karakteristik yaitu disfungsi saraf kranial
dan perifer dengan onset akut. Infeksi virus pada saluran pernafasan ataupun pencernaan,
imunisasi, atau tindakan bedah biasanya seringkali terjadi 5 hari sampai 4 minggu sebelum
terjadinya gejala neurologis.
Gejala dan tanda-tanda terjadinya sindroma Guillain-Barre termasuk kelemahan
secara simetris yang cepat dan progresif, hilangnya refleks tendon, diplegia wajah, parese
otot orofaring dan otot pernafasan, dan terganggunya sensasi pada tangan dan kaki. Terjadi
perburukan kondisi dalam beberapa hari hingga 3 minggu, diikuti periode stabil dan
perbaikan secara bertahap menjadi kembali normal atau mendekati fungsi normal.
Plasmapharesis atau IVIG yang dilakukan lebih awal akan mempercepat penyembuhan dan
memperkecil angka kejadian kecacatan neurologis jangka panjang.

6. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Spinal tap (tusuk lumbalis)/(lumbar puncture)
Menunjukkan adanya disosiasi sitoalbuminik, yakni meningkatnya jumlah protein
(100-1000 mg/dL) tanpa disertai adanya pleositosis (peningkatan hitung sel). Pada
kebanyakan kasus, di hari pertama jumlah total protein CSS normal; setelah beberapa
hari, jumlah protein mulai naik, bahkan lebih kanjut di saat gejala klinis mulai stabil,
jumlah protein CSS tetap naik dan menjadi sangat tinggi. Jika memiliki GBS, tes ini
dapatmenunjukkan peningkatan jumlah protein dalam cairan tulang belakangtanpa tanda infeksi
lain.
b. Pemeriksaan kecepatan hantar saraf (KHS) dan elektromiografi (EMG)
Manifestasi elektrofisiologis yang khas dari GBS terjadi akibat demyelinasi saraf,
antara lain prolongasi masa laten motorik distal (menandai blok konduksi distal) dan
prolongasi atau absennya respon gelombang F (tanda keterlibatan bagian proksimal
saraf), blok hantar saraf motorik, serta berkurangnya KHS. Pada 90% kasus GBS yang
telah terdiagnosis, KHS kurang dari 60% normal.
EMG menunjukkan berkurangnya rekruitmen motor unit Dapat pula dijumpai
degenerasi aksonal dengan potensial fibrilasi 2-4 minggu setelah onset gejala,
sehingga ampilitudo CMAP dan SNAP kurang dari normal. Derajat hilangnya aksonal
ini telah terbukti berhubungan dengan tingkat mortalitas yang tinggi serta disabilitas
jangka panjang pada pasien GBS, akibat fase penyembuhan yang lambat dan tidak
sempurna. Sekitar 10% penderita menunjukkan penyembuhan yang tidak sempurna,
dengan periode penyembuhan yang lebih panjang (lebih dari 3 minggu) serta
berkurangnya KHS dan denervasi EMG.
c. Pemeriksaan darah
Pada darah tepi, didapati leukositosis polimorfonuklear sedang dengan pergeseran ke
bentuk yang imatur, limfosit cenderung rendah selama fase awal dan fase aktif
penyakit. Pada fase lanjut, dapat terjadi limfositosis; eosinofilia jarang ditemui. Laju
endap darah dapat meningkat sedikit atau normal, sementara anemia bukanlah salah
satu gejala.
Dapat dijumpai respon hipersensitivitas antibodi tipe lambat, dengan peningkatan
immunoglobulin IgG, IgA, dan IgM, akibat demyelinasi saraf pada kultur jaringan.
Abnormalitas fungsi hati terdapat pada kurang dari 10% kasus, menunjukkan adanya
hepatitis viral yang akut atau sedang berlangsung; umumnya jarang karena virus
hepatitis itu sendiri, namun akibat infeksi CMV ataupun EBV.
d. Elektrokardiografi (EKG)
Menunjukkan adanya perubahan gelombang T serta sinus takikardia. Gelombang T
akan mendatar atau inverted pada lead lateral. Peningkatan voltase QRS kadang
dijumpai, namun tidak sering.
e. Tes fungsi respirasi (pengukuran kapasitas vital paru)
Menunjukkan adanya insufisiensi respiratorik yang sedang berjalan (impending).
f. Pemeriksaan patologi anatomi
Umumnya didapati pola dan bentuk yang relatif konsisten; yakni adanya infiltrat
limfositik mononuklear perivaskuler serta demyelinasi multifokal. Pada fase lanjut,
infiltrasi sel-sel radang dan demyelinasi ini akan muncul bersama dengan demyelinasi
segmental dan degenerasi wallerian dalam berbagai derajat Saraf perifer dapat
terkena pada semua tingkat, mulai dari akar hingga ujung saraf motorik intramuskuler,
meskipun lesi yang terberat bila terjadi pada ventral root, saraf spinal proksimal, dan
saraf kranial. Infiltrat sel-sel radang (limfosit dan sel mononuclear lainnya) juga
didapati pada pembuluh limfe, hati, limpa, jantung, dan organ lainnya.

7. PENATALAKSANAAN
1) Pengaturan jalan napas.
Respirasi diawasi secara ketat terhadap perubahan kapasitas vital dan gas darah yang
menunjukkan permulaan kegagalan pernafasan. Setiap ada tanda kegagalan
pernafasan maka penderita harus segera dibantu dengan oksigenasi dan pernafasan
buatan. Trakheotomi harus dikerjakan atau intubasi penggunaan ventilator jika
pernafasan buatan diperlukan untuk waktu yang lama atau resiko terjadinya aspirasi.
Walaupun pasien masih bernafas spontan, monitoring fungsi respirasi dengan
mengukur kapasitas vital secara regular sangat penting untuk mengetahui
progresivitas penyakit.
2) Pemantauan EKG dan tekanan darah.
Monitoring yang ketat terhadap tekanan darah dan EKG sangat penting karena
gangguan fungsi otonom dapat mengakibatkan timbulnya hipotensi atau hipertensi
yang mendadak serta gangguan irama jantung. Untuk mencegah takikardia dan
hipertensi, sebaiknya diobati dengan obat-obatan yang waktu kerjanya pendek (short-
acting), seperti : penghambat beta atau nitroprusid, propanolol. Hipotensi yang
disebabkan disotonomi biasanya membaik dengan pemberian cairan iv dan posisi
terlentang (supine). Atropin dapat diberikan untuk menghindari episode brakikardia
selama pengisapan endotrakeal dan terapi fisik. Kadang diperlukan pacemaker
sementara pada pasien dengan blok jantung derajat 2 atau 3.
3) Plasmaparesis.
Pertukaran plasma (plasma exchange) yang menyebabkan reduksi antibiotik ke dalam
sirkulasi sementara, dapat digunakan pada serangan berat dan dapat membatasi
keadaan yang memburuk pada pasien demielinasi. Bermanfaat bila dikerjakan dalam
waktu 3 minggu pertama dari onset penyakit. Jumlah plasma yang dikeluarkan per
exchange adalah 40-50 ml/kg. Dalam waktu 714 hari dilakukan tiga sampai lima kali
exchange. Plasmaparesis atau plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan faktor
autoantibodi yang beredar. Albumin : dipakai pada plasmaferesis, karena Plasma
pasien harus diganti dengan suatu substitusi plasma.
4) Perlu diperhatikan pemberian cairan dan elektrolit terutama natrium karena penderita
sering mengalami retensi airan dan hiponatremi disebabkan sekresi hormone ADH
berlebihan.
5) Ileus paralitik terkadang ditemukan terutama pada fase akut sehingga parenteral
nutrisi perlu diberikan pada keadaan ini
6) Pengobatan imunosupresan, yaitu obat sitotoksik dan imunoglobulin iv. Pemberian
imunoglobulin untuk menormalkan kembali sistem pertahanan tubuh.
II

ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
1. Identitas Umur : Terjadi puncak insidensi antara usia 15-35 tahun dan antara 50-
74 tahun. Jarang mengenai usia dibawah 2 tahun. Usia termuda yang pernah
dilaporkan adalah 3 bulan dan paling tua usia 95 tahun. Jenis kelamin : Semua
orang baik wanita maupun laki-laki dapat mengalaminya
2. Keluhan utama Pasien mengeluhkan parastesia (kesemutan dan kebas) pada otot
kaki, sesak napas.
3. Riwayat penyakit sekarang Gejala yang sering dirasakan pasien yaitu kesemutan
dan kebas (parestesia), kelemahan pada otot kaki yang berkembang ke ekstremitas
atas, batang tubuh dan otot wajah.
4. Riwayat penyakit dahulu Pasien mengalami infeksi pada saluran pernapasan,
gastroinstentinal yang lama, bedah saraf, penggunaan obat-obat seperti
kortisteroid dan berbagai jenis antibiotic.
5. Riwayat psikososial dan spiritual Umumnya pasien cepat marah, merasa takut,
cemas akan kemungkinan paralisis yang permanen, sehingga pasien menjadi
pendiam dan malas berkomunikasi dengan orang disekitarnya. Terkadang pasien
merasa Tuhan tidak adil dengannya akibat penyakit yang diderita (hubungan
spiritualnya kurang baik)
6. Pola pemenuhan kebutuhan dasar
a) Nutrisi : Asupan nutrisi pada pasien yang kurang karena adanya kelemahan
otot untuk mengunyah dan menelan.
b) Higyene perseorangan : Kebutuhan personal hyegiene pasien dibantu oleh
keluarga dan perawat
c) Eliminasi : Pasien sering mengalami konstipasi, adanya penurunan
haluaran urin (< 500 cc),retensi urine atau inkontinensia.
d) Aktivitas dan tidur : Pasien tidak mampu beraktivitas seperti biasa kerena
kelemahan pada kedua tungkai. Pasien menjadi gelisah dan kurang tidur.
7. Pemeriksaan fisik
a. B1 (Breathing) Pasien tidak dapat batuk efektif, pengeluaran sputum,
ronkhi, dispneu, adanya penggunaan otot-otot bantu pernapasan, apneu.
b. B2 (bleeding) Wajah kemerahan, takikardi/ bradikardi, hipotensi/
hipertensi (tekanan darahnya labil, naik turun).
c. B3 (Brain) Pusing, letargi
Pengkajian fungsi motorik :
 Syaraf II : Penurunan pada kemampuan membuka dan menutup
mata, paralisis ocular.
 Syaraf V, VII, XII : Paralisis otot lidah, rahang.
 Syaraf IX, X, XI : Paralisis pada otot orofaring. Fungsi sensoris :
klien mengalami penurunan kemampuan menilai sensorik nyeri,
raba dan suhu
d. B4 (Bledder) Adanya distensi kandung kemih.
e. B5 (Bowel) Pasien sulit menelan atau mengunyah makanan, bising usus
menurun, pasien mengalami konstipasi.
f. B6 (Bone) Adanya kelemahan pada otot, dan penurunan kekuatan otot

B. Diagnosa Keperawatan
a. Ketidakefektifan pola nafas b.d paralisis otot pernapasan
b. Ketidakefektifan perfusi jaringan b.d disfungsi system saraf autonomic
c. Gangguan persepsi sensori penglihatan b.d paralisis okuler
d. Hambatan mobilitas fisik b.d kerusakan neuromuscular
e. Nyeri akut b.d kerusakan saraf sensorik
f. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d paralisis orofaringeal.
g. Konstipasi b.d kehilangan sensasi dan reflex sfingter
h. Hambatan interaksi social b.d paralisis otot wajah
i. Ansietas b.d kurang pajanan informasi mengenai penyakit.

C. Rencana Keperawatan
a. Dx1 : Ketidakefektifan pola nafas b.d paralisis otot pernapasan
Noc : Pola napas efektif
Nic :
1) Pantau frekuensi, kedalaman, dan kesimetrisan pernapasan Perhatikan
gerakan dada, penggunaan otot-otot bantu, serta retraksi otot.
2) Catat peningkatan kerja napas dan obervasi warna kulit dan membrane
mukosa.
3) Pantau poa pernapasan bradipnea, apnea.
4) Tinggikan kepala tempat tidur atau letakkan pasien pada posisi bersandar.
5) Anjurkan napas dalam melalui abdomen selama periode distress pernapasan.
6) Berikan terapi suplemetasi oksigen (sesuai indikasi).
7) Berikan obat/bantu tindakan pembersihan pernapasan melalui perksusi dada,
drainase postural, vibrasi.
b. Dx. 2 : Ketidakefektifan perfusi jaringan b.d disfungsi system saraf autonom.
Noc : Perfusi jaringan efektif
Nic : 1) Ukur tekanan darah. Observasi adanya hipotensi postural. Berikan latihan
ketika sedang melakukan perubahan posisi pasien.
2) Pantau frekuensi jantung dan iramanya. Dokumentasikan adanya distrimia.
3) Pantau suhu tubuh. Berikan suhu lingkungan yang nyaman.
4) Tinggikan sedikit kaki tempat tidur. Berikan latihan pasif pada lutut/kaki.
5) Kolaborasi dengan pemberian cairan IV sesuai indikasi.
6) Pemberian heparin sesuai indikasi.
7) Pantau pemeriksaan laboratorium seperti Hb.
c. Dx 3 : Ganguan persepsi sensori penglihatan b.d paralisis okuler
Noc : Mempertahankan fungsi sensori penglihatan
Nic :
1) Kaji lingkungan terhadap kemungkinan bahaya terhadap keamanan
2) Pantau dan dokumentasikan perubahan status neurologis pasien
3) Pantau tingkat kesadaran pasien
4) Tingkatkan penglihatan pasien yang masih tersisa, jika diperlukan jangan
memindahkan barang-barang di dlam kamar pasien tanpa menberitakn pasien
5) Ajarkan pasien untuk secara visual memantau posisi bangian tubuh, jika
tedapat kerusakan propriosepsi
d. Dx. 4 : Hambatan mobilitas fisik b.d kerusakan neuromuscular
Noc : Peningkatan keoptimalan mobilitas
Nic : 1) Kaji kekuatan motorik/kemampuan fungsional dengan menggunakan skala
0-5. Lakukan pengkajian secara teratur sesuai kebutuhan secara
individual.
2) Sokong ekstremitas dan persendian dengan bantal, trochanter roll,
papan kaki.
3) Ajarkan dan dukung pasien dalam latihan ROM aktif/pasif untuk
mempertahankan atau meningkatkan kekuatan dan ketahanan otot
4) Anjurkan untuk melakukan latihan yang terus dikembangkan dan
bergantung pada toleransi secara individual.
5) Konfirmasikan dengan rujuk ke bagian terapi fisik.
e. Dx 5 : Nyeri akut b.d kerusakan saraf sensorik
Noc : Nyeri teratasi
Nic : 1) Evaluasi derajat nyeri/rasa tidak nyaman dengan menggunakan skala 0-10.
2) Observasi adanya tanda-tanda nonverbal dari nyeri tersebut.
3) Berikan masase atau sentuhan sesuai toleransi pasien secara individual.
4) Ajarkan tehnik relaksasi, atau distraksi.
5) Beri obat analgetik sesuai kebutuhan.
f. Dx 6 : Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d paralisis
orofaringeal.
Noc : Keseimbangan pemenuhan nutrisi
Nic : 1) Kaji kemampuan untuk mengunyah, menelan, pada keadaan yang teratur.
2) Catat masukan kalori setiap hari.
3) Catat makanan yang disukaii oleh pasien termasuk pilihan diet yang
dikehendaki.
4) Izinkan untuk makan sesuai waktu yang diinginkan yang menyenangkan
bagi pasien
5) Beri diet tinggi kalori.
6) Pasang/pertahankan selang NGT.
g. Dx 7 : Konstipasi b.d kehilangan sensasi dan reflex sfingter
Noc : Konstipasi tidak ada.
Nic : 1) Auskultasi bising usus, catat adaya perubahan bising usus.
2) Anjurkan pasien untuk minum paling sedikit 2000 ml/hari (jika pasien dapat
menelan).
3) Berikan privasi dan posisi fowler dengan jadwal waktu secara teratur.
4) Beri obat pelembek feses.
5) Tingkatkan diet makanan yang berserat.
h. Dx 8 : hambatan interaksi social b.d paralisis otot wajah
Noc : menunjukkan keterampilan interaksi social
Nic :
1) Kaji pola dasar interaksi antara pasien dengan orang lain
2) Bantu pasien meningkatkan kesadaran tentang kekuatan dan keterbatasan
dalam berkomuniikasi dengan orang lain
3) Minta dan harapkan kominikasi verbal
4) Gunakan teknik bermain peran untuk meningkatkan keterampilan dan teknik
berkomunikasi.
i. Dx 9 : Ansietas b.d kurang pajanan informasi mengenai penyakit.
Noc : Ansietas berkurang.
Nic : 1) Kaji dan dokumentasikan tingkat kecemasan pasien.
2) Sediakan informasi factual menyangkut diagnosis, perawatan dan
prognosis.
3) Diskusikan adanya perubahan citra diri, ketakutan akan kehilangan
kemampuan yang menetap, kehilangan fungsi.
4) Sediakan penguatan yang positif ketika pasien mampu untuk meneruskan
aktivitas sehari-hari dan lainnya meskipun ansietas.
DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Volume 3. Jakarta: EGC

Carpernito, Lynda Juall. 2007. Buku saku Diagnosis Keperawatan edisi 10. Jakarta: EGC

Engram, Barbara. 1998. Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah Volume 3. Jakarta :
EGC
http://dinkes.tasikmalayakota.go.id/index.php/informasi-obat/376srum-
imunoglobulin.html
Nandar, Shahdevi. 2018. Sindroma Guillain-Barre (Guillain-Barre Syndrome) (Gbs).
(Online),
(Https://Www.Researchgate.Net/Publication/326447004_Sindroma_Guillain-
Barre_Guillain-Barre_Syndrome_Gbs), diakses pada 17 Oktober 2018.

Price, Sylvia A. dan Lorraine M. Wilson. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis ProsesProses
Penyakit Edisi 6. Jakarta : EGC
Saputra, Lyndon. Intisari ILmu Penyakit Dalam disertai Contoh Kasus Klinik. Tanggerang :
BINARUPA AKSARA Publisher
Rashida YW & Steven CD. 2013. Emergent Management of Guillain-Barre Syndrome.
Medscape Reference.
Sue Woodward. 2013. Guillain-Barré syndrome. British Journal of Neuroscience Nursing.
9(2) : 59-61.
Shahrizaila N, Yuki N. 2011. Guillain-barré syndrome animal model: the first proof of
molecular mimicry in human autoimmune disorder. J Biomed Biotechnol. p1-5.
Anne DW, Gretchen D. 2013. Guillain-Barré Syndrome. American Academy of Family
Physicians. 87:3,p191-197.

Politeknik Kesehatan Kemenkes Malang

Jurusan Keperawatan Malang

Anda mungkin juga menyukai