Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN PENDAHULUAN

KANKER REKTI (REKTUM)

Oleh :
ANUGERAHNU PRANOKO
NIM. 113063J117057

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN DAN PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN SUAKA INSAN
BANJARMASIN
2018
I. KONSEP TEORI
1.1 Anatomi dan Fisiologi

Secara anatomis, rektum berada


setinggi vertebrae sakrum ke-3 sampai
ke garis anorektal. Secara fungsional
dan endoskopis, rektum dibagi
menjadi bagian ampula dan spinchter.
Bagian spinchter disebut juga annulus
hemoroidalis, dikelilingi oleh
muskulus levator ani dan fascia coli
dari fascia supra ani. Bagian ampula terbentang dari vertebra sakrum ke-3
sampai diafragma pelvis pada insersio muskulus levator ani. Panjang rektum
berkisar antara 10-15 cm dengan keliling 15 cm pada bagian rectosigmoid
junction, dan 35 cm pada bagian yang terluas yaitu ampula. Pada manusia,
dinding rektum terdiri dari 4 lapisan, yaitu mukosa, submukosa, muskularis
(sirkuler dan longitudinal), serta lapisan serosa.
Vaskularisasi daerah anorektum berasal dari arteri hemoroidalis
superior, media, dan inferior. Arteri hemoroidalis superior (arteri rektalis
superior) merupakan kelanjutan dari arteri mesentrika inferior, arteri ini
memiliki 2 cabang yaitu dekstra dan sinistra. Arteri hemoroidalis media (arteri
rektalis media) merupakan cabang dari arteri iliaka interna, dan arteri
hemoroidalis inferior (arteri rektalis inferior) merupakan cabang dari arteri
pudenda interna.
Vena hemoroidalis superior berasal dari pleksus hemoroidalis interna
dan berjalan ke arah kranial ke dalam vena mesenterika inferior untuk
selanjutnya melalui vena lienalis dan menuju vena porta. Vena ini tidak
memiliki katup, sehingga tekanan dalam rongga perut atau intraabdominal
sangat menentukan tekanan di dalam vena tersebut. Hal inilah yang dapat
menjelaskan terjadinya hemoroid interna pada pasien-pasien dengan kebiasaan
sulit buang air besar dan sering mengejan. Vena hemoroidalis inferior
mengalirkan darah ke vena pudenda interna, untuk kemudian melalui vena
iliaka interna dan menuju sistem vena kava.
Rektum (Bahasa Latin: regere, “meluruskan, mengatur”) adalah sebuah
ruangan yang berawal dari ujung usus besar (setelah kolon sigmoid) dan
berakhir di anus. Organ ini berfungsi sebagai tempat penyimpanan sementara
feses. Biasanya rektum ini kosong karena tinja disimpan di tempat yang lebih
tinggi, yaitu pada kolon desendens. Jika kolon desendens penuh dan tinja
masuk ke dalam rektum, maka timbul keinginan untuk buang air besar (BAB).
Mengembangnya dinding rektum karena penumpukan material di dalam
rektum akan memicu sistem saraf yang menimbulkan keinginan untuk
melakukan defekasi. Jika defekasi tidak terjadi, sering kali material akan
dikembalikan ke usus besar, di mana penyerapan air akan kembali dilakukan.
Jika defekasi tidak terjadi untuk periode yang lama, konstipasi dan pengerasan
feses akan terjadi.
Proses defekasi diawali oleh terjadi refleks defekasi akibat ujung – ujung
serabut saraf rectum terangsang ketika dinding rectum teregang oleh massa
feses. Sensasi rectum ini berperan penting pada mekanisme continence dan
juga sensasi pengisian rectum merupakan bagian integral penting pada defekasi
normal. Hal ini dapat digambarkan sebagai berikut : pada saat volume kolon
sigmoid menjadi besar, serabut saraf akan memicu kontraksi dengan
mengosongkan isinya ke dalam rectum. Studi statistika tentang fisiologi rectum
ini mendeskripsikan tiga tipe dari kontraksi rectum yaitu : (1) Simple
contraction yang terjadi sebanyak 5 – 10 siklus/menit ; (2) Slower contractions
sebanyak 3 siklus/menit dengan amplitudo diatas 100 cmH2O ; dan (3) Slow
Propagated Contractions dengan frekuensi amplitudo tinggi. Distensi dari
rectum menstimulasi reseptor regang pada dinding rectum, lantai pelvis dan
kanalis analis. Bila feses memasuki rektum, distensi dinding rectum mengirim
signal aferent yang menyebar melalui pleksus mienterikus yang merangsang
terjadinya gelombang peristaltik pada kolon desenden, kolon sigmoid dan
rectum sehingga feses terdorong ke anus. Setelah gelombang peristaltik
mencapai anus, sfingter ani interna mengalami relaksasi oleh adanya sinyal
yang menghambat dari pleksus mienterikus; dan sfingter ani eksterna pada saat
tersebut mengalami relaksasi secara volunter,terjadilah defekasi.Pada
permulaan defekasi, terjadi peningkatan tekanan intraabdominal oleh kontraksi
otot–otot kuadratus lumborum, muskulus rectus abdominis, muskulus obliqus
interna dan eksterna, muskulus transversus abdominis dan diafraghma.

1.2 Definisi
Kanker merupakan massa jaringan abnormal tumbuh terus menerus,
tidak pernah mati, tumbuh dan tidak terkoordinasi dengan jaringan lain,
akibatnya merugikan tubuh dimana ia tumbuh. CA rectum adalah pertumbuhan
baru yang ganas yang terdiri dari sel – sel epitel yang cenderung menginfiltrasi
jaringan sekitarnya dan menimbulkan metastasis yang terjadi pada bagian
distal usus besar. (J. Elizabeth Corwin, 2009)

1.3 Etiologi

Price dan Wilson (1994) mengemukakan bahwa etiologi karsinoma rectum


sama seperti kanker lainnya yang masih belum diketahui penyebabnya. Faktor
predisposisi munculnya karsinoma rektum adalah polyposis familial, defisiensi
Imunologi, kolitis ulseratifa, granulomartosis dan Kolitis. Faktor predisposisi
penting lainnya yang mungkin berkaitan adalah kebiasaan makan. Masyarakat
yang dietnya rendah selulosa tapi tinggi protein hewani dan lemak, memiliki
insiden yang cukup tinggi.
Burkitt (1971) yang dikutip oleh Price dan Wilson mengemukakan bahwa
diet rendah serat, tinggi karbohidrat refined, mengakibatkan perubahan pada flora
feces dan perubahan degradasi garam-garam empedu atau hasil pemecahan protein
dan lemak, dimana sebagian dari zat-zat ini bersifat karsinogenik. Diet rendah serat
juga menyebabkan pemekatan zat yang berpotensi karsinogenik dalam feses yang
bervolume lebih kecil. Selain itu, masa transisi feses meningkat. Akibatnya kontak
zat yang berpotensi karsinogenik dengan mukosa usus bertambah lama.
Penyebab nyata dari kanker kolon dan rektal tidak diketahui, tetapi faktor
risiko telah teridentifikasi termasuk riwayat kanker kolon atau polip pada
keluarga, riwayat penyakit usus inflamasi kronis dan diet tinggi lemak protein
dan daging serta rendah serat.
1.3.1 Polip di usus (Colorectal polyps): Polip adalah pertumbuhan pada
dinding dalam kolon atau rektum, dan sering terjadi pada orang berusia
50 tahun ke atas. Sebagian besar polip bersifat jinak (bukan kanker),
tapi beberapa polip (adenoma) dapat menjadi kanker.
1.3.2 Colitis Ulcerativa atau penyakit Crohn: Orang dengan kondisi yang
menyebabkan peradangan pada kolon (misalnya colitis ulcerativa atau
penyakit Crohn) selama bertahun-tahun memiliki risiko yang lebih
besar.
1.3.3 Riwayat kanker pribadi: Orang yang sudah pernah terkena
kanker colorectal dapat terkena kanker colorectal untuk kedua kalinya.
Selain itu, wanita dengan riwayat kanker di indung telur, uterus
(endometrium) atau payudara mempunyai tingkat risiko yang lebih
tinggi untuk terkena kanker colorectal.
1.3.4 Riwayat kanker colorectal pada keluarga: Jika Anda mempunyai
riwayat kanker colorectal pada keluarga, maka kemungkinan Anda
terkena penyakit ini lebih besar, khususnya jika saudara Anda terkena
kanker pada usia muda.
1.3.5 Faktor gaya hidup: Orang yang merokok, atau menjalani pola makan
yang tinggi lemak dan sedikit buah-buahan dan sayuran memiliki
tingkat risiko yang lebih besar terkena kanker colorectal.
1.3.6 Usia di atas 50: Kanker colorectal biasa terjadi pada mereka yang
berusia lebih tua. Lebih dari 90 persen orang yang menderita penyakit
ini didiagnosis setelah usia 50 tahun ke atas.

1.4 Manifestasi Klinis

Tanda dan gejala yang mungkin muncul pada kanker rektal antara lain ialah :
1. Perubahan pada kebiasaan BAB atau adanya darah pada feses, baik itu
darah segar maupun yang berwarna hitam.
2. Diare, konstipasi atau merasa bahwa isi perut tidak benar benar kosong saat
BAB
3. Feses yang lebih kecil dari biasanya
4. Keluhan tidak nyama pada perut seperti sering flatus, kembung, rasa penuh
pada perut atau nyeri
5. Penurunan berat badan yang tidak diketahui sebabnya
6. Mual dan muntah,
7. Rasa letih dan lesu
8. Pada tahap lanjut dapat muncul gejala pada traktus urinarius dan nyeri pada
daerah gluteus.

1.5 Epidemiologi
Insidensi kanker kolorektal di Indonesia cukup tinggi, demikian juga
angka kematiannya. Insiden pada pria sebanding dengan wanita, dan lebih
banyak pada orang muda. Sekitar 75 % ditemukan di rektosigmoid. Di Negara
barat, perbandingan insiden pria : wanita = 3 : 1 dan kurang dari 50 %
ditemukan di rektosigmoid dan merupakan penyakit orang usia lanjut. Pada
tahun 2002 kanker kolorektal berada pada peringkat kedua pada kasus kanker
yang dialami oleh pasien pria setelah kanker paru pada urutan pertama,
sedangkan pada pasien wanita kanker kolorektal berada pada urutan ketiga
setelah kanker payudara dan kanker leher rahim. Histopatologis dari kanker
kolorektal sebesar 96% berupa adenocarcinoma, 2% karsinoma lainnya
(termasuk karsinoid tumor), 0,4% epidermoid carcinoma, dan 0,08% berupa
sarcoma, sedangkan untuk lokasinya, sebagian besar terdapat di rektum
(51,6%), diikuti oleh kolon sigmoid (18,8%), kolon descendens (8,6%), kolon
transversum (8,06%), kolon ascendens (7,8%), dan multifokal (0,28%).

1.6 Patofisiologi

Pada mukosa rektum yang normal, sel-sel epitelnya akan mengalami


regenerasi setiap 6 hari. Pada keadaan patologis seperti adenoma terjadi
perubahan genetik yang mengganggu proses differensiasi dan maturasi dari sel-
sel tersebut yang dimulai dengan inaktivasi gen adenomatous polyposis coli
(APC) yang menyebabkan terjadinya replikasi tak terkontrol. Peningkatan
jumlah sel akibat replikasi tak terkontrol tersebut akan menyebabkan terjadinya
mutasi yang akan mengaktivasi K- ras onkogen dan mutasi gen p53, hal ini
akan mencegah terjadinya apoptosis dan memperpanjang hidup sel.

Patofisiologi kanker rektum


Kanker kolon dan rectum terutama (95%) adenokarsinoma (muncul dari lapisan
epitel usus) dimulai sebagai polip jinak tetapi dapat menjadi ganas dan
menyusup serta merusak jaringan normal serta meluas ke dalam struktur
sekitarnya. Sel kanker dapat terlepas dari tumor primer dan menyebar ke dalam
tubuh yang lain (paling sering ke hati).

1.7 Klasifikasi
1.7.1 Berdasarkan klasifikasi Dukes
1. Stadium 0
Pada stadium 0, kanker ditemukan hanya pada bagian paling dalam
rektum.yaitu pada mukosa saja. Disebut juga carcinoma in situ.
2. Stadium I
Pada stadium I, kanker telah menyebar menembus mukosa sampai lapisan
muskularis dan melibatkan bagian dalam dinding rektum tapi tidak
menyebar kebagian terluar dinding rektum ataupun keluar dari rektum.
Disebut juga Dukes A rectal cancer.
3. Stadium II
Pada stadium II, kanker telah menyebar keluar rektum kejaringan terdekat
namun tidak menyebar ke limfonodi. Disebut juga Dukes B rectal cancer.
4. Stadium III
Pada stadium III, kanker telah menyebar ke limfonodi terdekat, tapi tidak
menyebar kebagian tubuh lainnya. Disebut juga Dukes C rectal cancer.
5. Stadium IV
Pada stadium IV, kanker telah menyebar kebagian lain tubuh seperti hati,
paru, atau ovarium. Disebut juga Dukes D rectal cancer

Stadium Ca Recti I-IV

1.7.2 Berdasarkan sistem TNM


Tabel 2. TNM/Modified Dukes Classification System

TNM Modified
Deskripsi
Stadium Dukes Stadium
T1 N0 M0 A Tumor terbatas pada submucosa
T2 N0 M0 B1 Tumor terbatas pada muscularis propria
T3 N0 M0 B2 Penyebaran transmural
T2 N1 M0 C1 T2, pembesaran kelenjar mesenteric
T3 N1 M0 C2 T3, pembesaran kelenjar mesenteric
T4 C2 Penyebaran ke organ yang berdekatan
Any T, M1 D Metastasis jauh
*Modified from the American Joint Committee on Cancer (1997)
1.8 Pemeriksaan penunjang
Ada beberapa tes yang dapat dilakukan untuk mendeteksi kanker rektum,
antara lain:
1.8.1 Biopsi
Konfirmasi adanya malignansi dengan pemeriksaan biopsi sangat
penting. Jika ditemukan tumor dari salah satu pemeriksaan diatas, biopsi
harus dilakukan. Secara patologi anatomi, adenocarcinoma merupakan jenis
yang paling sering yaitu sekitar 90 sampai 95% dari kanker usus besar. Jenis
lainnya ialah karsinoma sel skuamosa, carcinoid tumors, adenosquamous
carcinomas, dan undifferentiated tumors.
1.8.2 Pemeriksaan Tumor marker : CEA (Carcinoma Embryonic Antigen), CA
,
242, CA 19-9 uji FOBT (Faecal Occult Blood Test) untuk melihat
perdarahan di jaringan.
1.8.3 Digital rectal examination atau biasa disebut rectal touche (colok dubur).
Sekitar 75% karsinoma rekti dapat dipalpasi pada pemeriksaan rektal.
Pemeriksaan dengan rektal touche akan mengenali tumor yang terletak
sekitar 10 cm dari rektum, massa akan teraba keras dan menggaung.17

Colok dubur pada karsinoma rekti

Pada pemeriksaan colok dubur ini yang harus dinilai adalah:


1. Keadaan tumor: ekstensi lesi pada dinding rektum serta letak bagian
terendah terhadap cincin anorektal, cervix uteri, bagian atas kelenjar
prostat atau ujung os coccygis.
2. Mobilitas tumor: hal ini sangat penting untuk mengetahui prospek terapi
pembedahan. Lesi yang sangat dini biasanya masih dapat digerakkan
pada lapisan otot dinding rektum. Pada lesi yang sudah mengalami
ulserasi lebih dalam umumnya terjadi perlekatan dan fiksasi karena
penetrasi atau perlekatan ke struktur ekstrarektal seperti kelenjar prostat,
buli-buli, dinding posterior vagina atau dinding anterior uterus.
3. Ekstensi penjalaran yang diukur dari besar ukuran tumor dan
karakteristik pertumbuhan primer dan sebagian lagi dari mobilitas atau
fiksasi lesi.
1.8.4 Foto rontgen dengan barium enema yaitu cairan yang mengandung barium,
dimasukkan melalui rektum untuk kemudian dilakukan foro rontgen.

Foto rontgen dengan barium enema

1.8.5 Endoskopi
1. Sigmoidoskopi
yaitu sebuah prosedur untuk melihat bagian dalam rektum dan sigmoid
apakah terdapat polip kanker atau kelainan lainnya. Alat sigmoidoscope
dimasukkan melalui rektum sampai kolon sigmoid, polip atau sampel
jaringan dapat diambil untuk biopsi.
Flexible sigmoidoscopi setiap 5 tahun dimulai pada umur 50 tahun
merupakan metode yang direkomendasikan untuk screening seseorang yang
asimptomatik yang berada pada tingkatan risiko menengah untuk menderita
kanker kolon. Sebuah polip adenomatous yang ditemukan pada flexible
sigmoidoscopi merupakan indikasi untuk dilakukannya kolonoskopi, karena
meskipun kecil (<10 mm), adenoma yang berada di distal kolon biasanya
berhubungan dengan neoplasma yang letaknya proksimal pada 6-10%
pasien.

sigmoidoskopi

2. Kolonoskopi
Kolonoskopi dapat digunakan untuk menunjukan gambaran seluruh
mukosa kolon dan rectum Sebuah standar kolonoskopi panjangnya dapat
mencapai 160 cm. Kolonoskopi merupakan cara yang paling akurat untuk
dapat menunjukkan polip dengan ukuran kurang dari 1 cm dan keakuratan
dari pemeriksaan kolonoskopi sebesar 94%, lebih baik daripada barium
enema yang keakuratannya hanya sebesar 67%.2 Sebuah kolonoskopi juga
dapat digunakan untuk biopsi, polipektomi, mengontrol perdarahan dan
dilatasi dari striktur. Kolonoskopi merupakan prosedur yang sangat aman
dimana komplikasi utama (perdarahan, komplikasi anestesi dan perforasi)
hanya muncul kurang dari 0,2% pada pasien. Kolonoskopi merupakan cara
yang sangat berguna untuk mendiagnosis dan manajemen dari inflammatory
bowel disease, non akut divertikulitis, sigmoid volvulus, gastrointestinal
bleeding, megakolon non toksik, striktur kolon dan neoplasma. Komplikasi
lebih sering terjadi pada kolonoskopi terapi daripada diagnostik
kolonoskopi, perdarahan merupakan komplikasi utama dari kolonoskopi
terapeutik, sedangkan perforasi merupakan komplikasi utama dari
kolonoskopi diagnostik.
Kolonoskopi

1.8.6 Virtual colonoscopy (CT colonography)


Kolonoskopi virtual merupakan diagnostik non-invasif yang baru,
menggunakan X-ray dan software komputer,untuk melihat dua dan tiga-
dimensi dari seluruh usus besar dan rektum untuk mendeteksi polip
dan kanker kolorektal.
1.8.7 Imaging Tehnik
MRI, CT scan, transrectal ultrasound merupakan bagian dari tehnik
imaging yang digunakan untuk evaluasi, staging dan tindak lanjut pasien
dengan kanker kolon, tetapi tehnik ini bukan merupakan screening tes.
1. CT scan (Computerized Tomography Scan)
CT scan dapat mengevaluasi abdominal cavity dari pasien kanker
kolon pre operatif. CT scan bisa mendeteksi metastase ke hepar, kelenjar
adrenal, ovarium, kelenjar limfa dan organ lainnya di pelvis. CT scan sangat
berguna untuk mendeteksi rekurensi pada pasien dengan nilai CEA yang
meningkat setelah pembedahan kanker kolon. Sensitifitas CT scan
mencapai 55%. CT scan memegang peranan penting pada pasien dengan
kanker kolon karena sulitnya dalam menentukan stage dari lesi sebelum
tindakan operasi. Pelvic CT scan dapat mengidentifikasi invasi tumor ke
dinding usus dengan akurasi mencapai 90 %, dan mendeteksi pembesaran
kelanjar getah bening >1 cm pada 75% pasien.19 Penggunaan CT dengan
kontras dari abdomen dan pelvis dapat mengidentifikasi metastase pada
hepar dan daerah intraperitoneal.
2. MRI
MRI lebih spesifik untuk tumor pada hepar daripada CT scan dan
sering digunakan pada klarifikasi lesi yang tak teridentifikasi dengan
menggunakan CT scan. Karena sensifitasnya yang lebih tinggi daripada CT
scan, MRI dipergunakan untuk mengidentifikasikan metastasis ke hepar.
3. Endoskopi UltraSound (EUS)
EUS secara signifikan menguatkan penilaian preoperatif dari kedalaman
invasi tumor, terlebih untuk tumor rektal. Keakurasian dari EUS sebesar 95%, 70%
untuk CT dan 60% untuk digital rektal examination. Pada kanker rektal, kombinasi
pemakaian EUS untuk melihat adanya tumor dan digital rektal examination untuk
menilai mobilitas tumor seharusnya dapat meningkatkan ketepatan rencana dalam
terapi pembedahan dan menentukan pasien yang telah mendapatkan keuntungan
dari preoperatif kemoradiasi. Transrektal biopsi dari kelenjar limfa perirektal bisa
dilakukan di bawah bimbingan EUS.

1.9 Penatalaksanaan medis


Berbagai jenis terapi tersedia untuk pasien kanker rektal. Beberapa adalah
terapi standar dan beberapa lagi masih diuji dalam penelitian klinis. Tiga terapi
standar untuk kanker rektal yang digunakan antara lain ialah :
1.9.1 Pembedahan
Pembedahan merupakan terapi yang paling lazim digunakan
terutama untuk stadium I dan II kanker rektal, bahkan pada pasien suspek
dalam stadium III juga dilakukan pembedahan. Meskipun begitu, karena
kemajuan ilmu dalam metode penentuan stadium kanker, banyak pasien
kanker rektal dilakukan pre-surgical treatment dengan radiasi dan
kemoterapi. Penggunaan kemoterapi sebelum pembedahan dikenal
sebagai neoadjuvant chemotherapy, dan pada kanker rektal, neoadjuvant
chemotherapy digunakan terutama pada stadium II dan III. Pada pasien
lainnya yang hanya dilakukan pembedahan, meskipun sebagian besar
jaringan kanker sudah diangkat saat operasi, beberapa pasien masih
membutuhkan kemoterapi atau radiasi setelah pembedahan untuk
membunuh sel kanker yang tertinggal.
Tipe pembedahan yang dipakai antara lain :
1. Eksisi lokal : jika kanker ditemukan pada stadium paling dini, tumor
dapat dihilangkan tanpa tanpa melakukan pembedahan lewat
abdomen. Jika kanker ditemukan dalam bentuk polip, operasinya
dinamakan polypectomy.
2. Reseksi: jika kanker lebih besar, dilakukan reseksi rektum lalu
dilakukan anastomosis. Jiga dilakukan pengambilan limfonodi
disekitan rektum lalu diidentifikasi apakah limfonodi tersebut juga
mengandung sel kanker.
3. Reseksi dan kolostomi :

Gambar Reseksi dan Anastomosis Gambar Reseksi dan Kolostomi

1.9.2 Radiasi
Sebagai mana telah disebutkan, untuk banyak kasus stadium II dan
III lanjut, radiasi dapat menyusutkan ukuran tumor sebelum dilakukan
pembedahan. Peran lain radioterapi adalah sebagai sebagai terapi
tambahan untuk pembedahan pada kasus tumor lokal yang sudah diangkat
melaui pembedahan, dan untuk penanganan kasus metastasis jauh tertentu.
Terutama ketika digunakan dalam kombinasi dengan kemoterapi, radiasi
yang digunakan setelah pembedahan menunjukkan telah menurunkan
resiko kekambuhan lokal di pelvis sebesar 46% dan angka kematian
sebesar 29%. Pada penanganan metastasis jauh, radiesi telah berguna
mengurangi efek lokal dari metastasis tersebut, misalnya pada otak.
Radioterapi umumnya digunakan sebagai terapi paliatif pada pasien yang
memiliki tumor lokal yang unresectable

1.9.3 Kemoterapi
Adjuvant chemotherapy, (menengani pasien yang tidak terbukti
memiliki penyakit residual tapi beresiko tinggi mengalami kekambuhan),
dipertimbangkan pada pasien dimana tumornya menembus sangat dalam
atau tumor lokal yang bergerombol ( Stadium II lanjut dan Stadium III).
terapi standarnya ialah dengan fluorouracil, (5-FU) dikombinasikan
dengan leucovorin dalam jangka waktu enam sampai dua belas bulan. 5-
FU merupakan anti metabolit dan leucovorin memperbaiki respon. Agen
lainnya, levamisole, (meningkatkan sistem imun, dapat menjadi substitusi
bagi leucovorin. Protopkol ini menurunkan angka kekambuhan kira – kira
15% dan menurunkan angka kematian kira – kira sebesar 10%.
Adapun obat kemoterapi yang di gunakan ialah
1. AVASTIN Combiphar/Pharmacemin K
Bevakizumab.
In: terapi kanker metastatik di kolon atau anus pada kombinasi dengan 5-FU
intravena/asam folat atau 5-FU/asam folat/irinotecan.
KI: kanker metastasis, ibu hamil dan menyusui, produk sel ovari hamster cina
atau gen rekombinan atau antibodi manusia.
Perh: perforasi sistem pencernaan, penyembuhan komplikasi luka,
proteinuria, tromboamboli arteri, hemorhagik, kardiomiopatik.
ES: inflamasi perut bagian dalam, luka lambung, tumor nekrosis, diverticulitis
(inflamasi kolon), pendarahan, hipertensi, proteinuria, tumor yang
menyebabkan haemorhagik, tromboemboli arterial, keadaan abnormal.
Ds: 5 mg/kg/BB dalam infus intravena sekali dalam 14 hari. Dosis awal
diberikan 90 menit setelah kemoterapi infus. Dosis kedua diberikan infus
selama 60 menit dan kemudian seluruh dosis diberikan 30 menit sebelum atau
sesudah kemoterapi.
Km: Vial 25 mg/ml x 4 ml x 1’s. 16 ml x 1’s.
2. CAMPTO Aventis K
Irinotesan HCl trihidrat 20 mg/ml.
In: Pengobatan pertama pada pasien dewasa penderita kanker kolorektal,
dikombinasikan dengan 5-fluorourasil dan asam folinat tanpa sebelumnya
mendapat kemoterapi; pengobatan kedua pada pasien dewasa penderita
kanker metastatic kolorektal yang telah gagal dengan pengobatan yang
mengandung 5-fluorourasil.
KI: Penyakit inflamasi isi perut kronik, bilirubin > 3 kali normal, wanita hamil
dan menyusui.
ES: Diare berkepanjangan, demam kelainan darah, mual, muntah.
Ds: Pengobatan pertama 180 mg/m2 iv diinfuskan selama 30-90 menit setiap
2 minggu, diikuti oleh infuse dengan asam folinat dan 5-fluorourasil;
pengobatan kedua 350 mg/m2 iv diinfuskan selama 30-90 menit setiap 3
minggu.
Km: Dos 1 vial 40 mg/ml; 1 vial 100 mg/5 ml
3. FARMORUBICI Kalbe Farma K
Epirubisin 10 mg ; 50 mg/vial.
In: induksi regresi aneka kondisi neoplastik karsinoma payudara, limfoma,
karsinoma paru sel kecil, leukimia kronik atau akut, indung telur, leher rahim,
kanker lambung, kolon, rektum pankreas, kaker leher dan kepala; terapi
paliatif pada pasien usia lanjut dan resiko tinggi.
Km: 1 vial 10 mg; 1 vial 50 mg
4. FUTRAFUL Otsuka K
Tegafur 200 mg.
In: kanker sistem pencernaan (kanker perut, usus dan rektum); kanker
payudara.
ES: leukopenia, anemia, trombositopenia, pendarahan perut, kelelahan umum,
vertigo, hemoptisis, alopesia, pigmentasi, erupsi.
Ds: 800-1200 mg sehari 2-4 x pemberian ; dosis dapat disesuaikan
berdasarkan usia dan kondisi pasien. Km: dos 12x10 kapsul.
II. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
2.1 Pengkajian Keperawatan
2.1.1 Identitas Pasien
Biografi meliputi usia, jenis kelamin (laki laki lebih banyak dari
pada perempuan), pekerjaan.
2.1.2 Riwayat Keperawatan
Riwayat Kesehatan data awal yang ditemukan pada klien dengan
kanker rectum, riwayat adanya gangguan saluran cerna, kesulitaan BAB,
riwayat anggota keluarga yang terdiagnosa kanker.

2.1.3 Pemeriksaan Fisik, Data fokus.


1. Aktivitas/istirahat
Gejala
a. Kelemahan, kelelahan/keletihan
b. Perubahan pola istirahat/tidur malam hari; adanya faktor-faktor
yang mempengaruhi tidur misalnya nyeri, ansietas dan
berkeringat malam hari.
c. Pekerjaan atau profesi dengan pemajanan karsinogen lingkungan,
tingkat stres tinggi.
2. Sirkulasi
a. Gejala; Palpitasi, nyeri dada pada aktivitas
b. Tanda; Dapat terjadi perubahan denyut nadi dan tekanan darah.
3. Integritas ego
1) Gejala:
a. Faktor stres (keuangan, pekerjaan, perubahan peran) dan cara
mengatasi stres (merokok, minum alkohol, menunda
pengobatan, keyakinan religius/spiritual)
b. Masalah terhadap perubahan penampilan (alopesia, lesi cacat,
pembedahan)
c. Menyangkal diagnosis, perasaan tidak berdaya, putus asa,
tidak mampu, tidak bermakna, rasa bersalah, kehilangan
kontrol, depresi.
2) Tanda; Menyangkal, menarik diri, marah.
4. Eliminasi
1) Gejala; Perubahan pola defekasi, darah pada feses, nyeri pada
defekasi
2) Tanda
a. Perubahan bising usus, distensi abdomen
b. Teraba massa pada abdomen kuadran kanan bawah

5. Makanan/cairan
1) Gejala
a. Riwayat kebiasaan diet buruk (rendah serat, tinggi lemak,
pemakaian zat aditif dan bahan pengawet)
b. Anoreksia, mual, muntah
c. Toleransi makanan
2) Tanda; Penurunan berat badan, berkurangnya massa otot
6. Nyeri/ketidaknyamanan
Gejala; nyeri bervariasi dari tidak ada, ringan sampai berat tergantung
proses penyakit
7. MKeamanan
1) Gejala; Komplikasi pembedahan dan atau efek sitostika.
2) Tanda; Demam, lekopenia, trombositopenia, anemia
8. Interaksi sosial
1) Gejala:
a. Lemahnya sistem pendukung (keluarga, kerabat, lingkungan)
b. Masalah perubahan peran sosial yang berhubungan dengan
perubahan status kesehatan.
9. Penyuluhan/pembelajaran:
1) Riwayat kanker dalam keluarga
2) asalah metastase penyakit dan gejala-gejalanya
3) Kebutuhan terapi pembedahan, radiasi dan sitostatika.
4) Masalah pemenuhan kebutuhan/aktivitas sehari-hari

2.2 Diagnosa Keperawatan


2.2.1 Diare b/d inflamasi, iritasi, malabsorbsi usus atau penyempitan parsial
lumen usus sekunder terhadap proses keganasan usus.
Ditandai dengan:
1. Peningkatan bunyi usus/peristaltik
2. Peningkatan defekasi cair
3. Perubahan warna feses
4. Nyeri/kram abdomen
2.2.2 Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d gangguan absorbsi
nutrien, status hipermetabolik sekunder terhadap proses keganasan usus.
Ditandai dengan:
1. Penurunan berat badan, penurunan lemak subkutan/massa otot, tonus
otot buruk
2. Peningkatan bunyi usus
3. Konjungtiva dan membran mukosa pucat
4. Mual, muntah, diare
2.2.3 Ansietas (uraikan tingkatannya) b/d faktor psikologis (ancaman perubahan
status kesehatan, status sosio-ekonomi, fungsi-peran, pola interaksi) dan
rangsang simpatis (proses neoplasma)
Ditandai dengan:
1. Eksaserbasi penyakit tahap akut
2. Penigkatan ketegangan, distres, ketakutan
3. Iritabel
2.2.4 Koping individu tak efektif b/d intensitas dan pengulangan stesor
melampaui ambang adaptif (penyakit kronis, ancaman kematian,
kerentanan individu, nyeri hebat, sistem pendukung tak adekuat)
Ditandai dengan:
1. Menyatakan ketidakmampuan menghadapi masalah, putus asa,
ansietas
2. Menyatakan diri tidak berharga
3. Depresi dan ketergantungan
2.2.5 Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan
pengobatan b/d kurang pemaparan dan atau kesalahan interpretasi
informasi.
Ditandai dengan:
1. Mengajukan pertanyaan, meminta informasi atau kesalahan
pernyataan konsep
2. Tidak akurat mengikuti instruksi
3. Terjadi komplikasi/eksaserbasi yang dapat dicegah

2.3 Intervensi keperawatan


2.3.1 Diagnosa keperawatan 1
Diare b/d inflamasi, iritasi, malabsorbsi usus atau penyempitan
parsial lumen usus sekunder terhadap proses keganasan usus.

Intervensi Rasional
1. Bantu kebutuhan defekasi 1. Defekasi tiba-tiba dapat terjadi
(bila tirah baring siapkan alat tanpa tanda sehingga perlu
yang diperlukan dekat tempat diantisipasi dengan
tidur, pasang tirai dan segera menyiapkan keperluan klien.
buang feses setelah defekasi).
2. Tingkatkan/pertahankan 2. Mencegah timbulnya maslah
asupan cairan per oral. kekurangan cairan.
3. Ajarkan tentang makanan- 3. Membantu klien menghindari
minuman yang dapat agen pencetus diare.
memperburuk/mencetus-kan
diare.
4. XObservasi dan catat 4. Menilai perkembangan
frekuensi defekasi, volume maslah.
dan karakteristik feses.
5. Observasi demam, takikardia, 5. Mengantisipasi tanda-tanda
letargi, leukositosis, bahaya perforasi dan
penurunan protein serum, peritonitis yang memerlukan
ansietas dan kelesuan. tindakan kedaruratan.
6. Kolaborasi pemberian obat- 6. Antibiotika untuk
obatan sesuai program terapi membunuh/menghambat
pertumbuhan agen patogen
(antibiotika, antikolinergik, biologik, antikolinergik untuk
kortikosteroid). menurunkan peristaltik usus
dan menurunkan sekresi
digestif, kortikosteroid untuk
menurunkan proses inflamasi.

2.3.2 Diagnosa keperawatan 2


Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d gangguan
absorbsi nutrien, status hipermetabolik sekunder terhadap proses
keganasan usus.
Intervensi Rasional

1. Pertahankan tirah baring 1. Menurunkan kebutuhan


selama fase akut/pasca terapi metabolik untuk mencegah
penurunan kalori dan
simpanan energi.
2. Bantu perawatan kebersihan 2. Meningkatkan kenyamanan
rongga mulut (oral hygiene). dan selera makan.
3. Berikan diet TKTP, sajikan 3. Asupan kalori dan protein
dalam bentuk yang sesuai tinggi perlu diberikan untuk
perkembangan kesehatan mengimbangi status
klien (lunak, bubur kasar, nasi hipermetabolisme klien
biasa) keganasan.
4. Kolaborasi pemberian obat- 4. Pemberian preparat zat besi
obatan sesuai indikasi dan vitamin B12 dapat
(roborantia) mencegah anemia; pemberian
asam folat mungkin perlu
untuk mengatasi defisiensi
karen amalbasorbsi.
5. Bila perlu, kolaborasi 5. Pemberian peroral mungkin
pemberian nutrisi parenteral. dihentikan sementara untuk
mengistirahatkan saluran
cerna.

2.3.3 Diagnosa keperawatan 3


Kecemasan (uraikan tingkatannya) b/d faktor psikologis (ancaman)
perubahan status kesehatan, status sosio-ekonomi, fungsi-peran, pola
interaksi) dan rangsang simpatis (proses neoplasma).
Intervensi Rasional

1. Orientasikan klien dan orang 1. Orientasikan klien dan orang


terdekat terhadap prosedur terdekat terhadap prosedur
rutin dan aktivitas yang rutin dan aktivitas yang
diharapkan.
diharapkan.
2. Eksplorasi kecemasan klien 2. Eksplorasi kecemasan klien
dan berikan umpan balik. dan berikan umpan balik.
3. Tekankan bahwa kecemasan 3. Tekankan bahwa kecemasan
adalah masalah yang lazim adalah masalah yang lazim
dialami oleh banyak orang
dialami oleh banyak orang
dalam situasi klien saat ini.
dalam situasi klien saat ini.
4. Ijinkan klien ditemani 4. Ijinkan klien ditemani
keluarga (significant others) keluarga (significant others)
selama fase kecemasan dan selama fase kecemasan dan
pertahankan ketenangan pertahankan ketenangan
lingkungan.
lingkungan.
5. Kolaborasi pemberian obat 5. Kolaborasi pemberian obat
sedatif. sedatif.
6. Pantau dan catat respon 6. Pantau dan catat respon
verbal dan non verbal klien verbal dan non verbal klien
yang menunjukan yang menunjukan
kecemasan. kecemasan.

2.3.4 Diagnosa keperawatan 4


Koping individu tak efektif (koping menyangkal/ defensif/ depresi/
agresi) b/d intensitas dan pengulangan stesor melampaui ambang adaptif
(penyakit kronis, ancaman kematian, kerentanan individu, nyeri hebat,
sistem pendukung tak adekuat).
Intervensi Rasional

1. Bantu klien 1. Penderita kanker tahap dini


mengembangkan strategi dapat hidup survive dengan
pemecahan masalah yang mengikuti program terapi
sesuai didasarkan pada
yang tepat dan dengan
kekuatan pribadi dan
pengalamannya. pengaturan diet dan
aktivitas yang sesuai
2. Mobilisasi dukungan 2. Dukungan SO dapat
emosional dari orang lain membantu meningkatkan
(keluarga, teman, tokoh spirit klien untuk
agama, penderita kanker
mengikuti program terapi.
lainnya)
3. Kolaborasi terapi 3. Terapi psikiatri mungkin
medis/keperawatan diperlukan pada keadaan
psikiatri bila klien depresi/agresi yang berat
mengalami depresi/agresi
dan lama sehingga dapat
yang ekstrim.
memperburuk keadaan
kesehatan klien.
4. Kaji fase penolakan- 4. Menilai perkembangan
penerimaan klien terhadap masalah klien.
penyakitnya (sesuai teori
Kubler-Ross)
2.3.5 Diagnosa keperawatan 5
Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan
pengobatan b/d kurang pemaparan dan atau kesalahan interpretasi
informasi.
Intervensi Rasional

1. Kaji tingkat pengetahuan 1. Proses pembelajaran sangat


klien/orang terdekat dan dipengaruhi oleh kesiapan
kemampuan/kesiapan belajar fisik dan mental klien.
klien.
2. Jelaskan tentang proses 2. Meningkatkan pengetahuan
penyakit, penyebab/faktor klien tentang masalah yang
risiko, dan dampak penyakit dialaminya
terhadap perubahan status
kesehatan-sosio-ekonomi,
fungsi-peran dan pola
interaksi sosial klien.
3. Jelaskan tentang terapi 3. Meningkatkan partisipasi
pembedahan, radiasi dan dan kemandirian klien
kemoterapi serta efek untuk mengikuti program
samping yang dapat terjadi terapi
4. Tekankan pentingnya 4. Penderita kanker yang
mempertahan-kan asupan mengikuti program terapi
nutrisi dan cairan yang yang tepat dengan status
adekuat. gizi yang adekuat
meningkatkan kualitas
hidupnya.
III. DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth.2005.Keperawatan Medikal Bedah.Jakarta : EGC


Carpenito (2000), Diagnosa Keperawatan-Aplikasi pada Praktik Klinis, Ed.6,
EGC, Jakarta
Corwin, J. Elizabeth.2009.Buku Saku Patofisiologi.Jakarta : EGC
Doengoes, Marillyn.2004.Rencana Asuhan Keperawatan.Jakarta : EGC
Price & Wilson (1995), Patofisologi-Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Ed.4,
EGC, Jakarta
Smeltzer, Suzanne C.2005.Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah.Jakarta : EGC
Soeparman & Waspadji.2005.Ilmu Penyakit Dalam.Jakarta : FKUI
Tambayong, Jan.2005.Patofisiologi Untuk Keperawatan.Jakarta : EGC
Japaries, W & Desen, W. 2013. Onkologi Klinis. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.

Kemkes, RI. 2017. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Kolorektal. Diakses


pada tanggal 2 April 2018 dari
http://kanker.kemkes.go.id/guidelines/PNPKkolorektal.pdf.

Khosama, Yuansun. 2015. Faktor Resiko Kanker Kolorektal. Vol. 42 No. 11.
Diakses pada tanggal 1 April 2018 dari
http://www.kalbemed.com/Portals/6/09_234Faktor%20R
isiko%20Kanker%20Kolorektal.pdf.

Kumar dkk. 2010. Pathologic Basic of Disease. Edisi 8. Philadelphia : Elsevier.

Nurarif, A.H & Kusuma, H. 2015. APLIKASI Asuhan Keperawatan Berdasarkan


Diagnosa Medis dan NANDA NIC-NOC. Yogyakarta : MediAction.

Widjaja, P & Daniel, S.W. 2009. Anatomi Tubuh Manusia. Yogyakarta : Graha
Ilmu.

Wijaya, A.S & Putri, Y.M. 2013. Keperawatan Medikal Bedah 2, Keperawatan
Dewasa Teori
dan Contoh Askep. Yogyakarta : Nuha Medika.

Anda mungkin juga menyukai