Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN

CIDERA KEPALA DI RUANG INTENSIVE CARE UNIT


RSUD ULIN BANJARMASIN

Oleh :

ANUGERAHNU PRANOKO
NIM. 113063J117057

PROGRAM PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN SUAKA INSAN
BANJARMASIN
2018
LEMBAR PERSETUJUAN

Laporan Pendahuluan Asuhan Keperawatan dengan Cidera Kepala di Ruang


Intensive Care Unit RSUD Ulin Banjarmasin Ini telah disetujui
pada tanggal Agustus 2018.

Menyetujui,
Preseptor Akademik Preseptor Klinik

(…………………………….) (…………………………….)
LAPORAN PENDAHULUAN

I. KONSEP DASAR TEORI


A. Anatomi dan Fisiologi
1. Kulit Kepala
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut SCALP yaitu; skin
atau kulit, connective tissue atau jaringan penyambung, aponeurosis atau
galea aponeurotika, loose conective tissue atau jaringan penunjang longgar
dan pericranium

Sistem persarafan terdiri dari otak, medula spinalis, dan saraf


perifer. Struktur-struktur ini bertanggung jawab untuk kontrol dan
koordinasi aktifitas sel tubuh melalui impuls-impuls elektrik. Perjalanan
impuls-impuls tersebut melalui serat-serat saraf dan jaras-jaras secara
langsung dan terus menerus. Responnya seketika sebagai hasil dari
perubahan potensial elektrik, yang mentransmisikan sinyal-sinyal. Sistem
saraf tersusun oleh berjuta-juta sel saraf yang mempunyai bentuk bervariasi.
Sistern ini meliputi sistem saraf pusat dan sistem saraf tepi. Dalam
kegiatannya, saraf mempunyai hubungan kerja seperti mata rantai
(berurutan) antara reseptor dan efektor. Reseptor adalah satu atau
sekelompok sel saraf dan sel lainnya yang berfungsi mengenali rangsangan
tertentu yang berasal dari luar atau dari dalam tubuh. Efektor adalah sel atau
organ yang menghasilkan tanggapan terhadap rangsangan. Saraf merupakan
sistem koordinasi pada tubuh kita. Sistem saraf merupakan sistem kontrol
tubuh yang memberitahukan bagian-bagian tubuh. Sistem saraf adalah
serangkaian organ yang kompleks dan bersambungan serta terdiri terutama
dari jaringan saraf. Sistem persarafan merupakan salah satu organ yang
berfungsi untuk menyelenggarakan kerjasama yang rapi dalam organisasi
dan koordinasi kegiatan tubuh
Fungsi sistem saraf yaitu :
1. Mendeteksi perubahan dan merasakan sensasi
2. Menghantarkan informasi dari satu tempat ke tempat yang lain.
3. Mengolah informasi sehingga dapat digunakan segera atau menyim-
pannya untuk masa mendatang sehingga menjadi jelas artinya pada
pikiran.
a. Otak
Dibagi menjadi tiga bagian besar: serebrum, batang otak, serebelum
terdapat tiga lapisan dalam otak yaitu: durameter, arakhnoid dan pirameter.
1. Durameter
Lapisan paling luar, menutup otak dan mendulla spinalis,
sifatnya liar,tebal dan tidak elastis, berupa serabut dan berwarna abu-
abu. Jika tekanan dirongga otak meningkalt, jaringan tertekan kearah
tentarium atau berpindah kebawah, keadaan ini disebut herniasi.
2. Arakhoid
Membran bagian tengah yang bersifat tipis dan lembut,
menyerupai sarang laba-laba, oleh itu disebut arakhnoid, berwarna putih
karena tidak dialairi darah. Pada dinding arakhnoid terdapat pleksus
khoroid yang bertanggung jawab memproduksi cairan serebrosfinal
(css). Pada usia dewasa normal css diproduksi 500 ml perhari, tetapi
150ml diabsorbsi oleh villi. Villi mengabsorbsi css juga pada saat darah
masuk kedalam sisem (akibat trauma, pecahnya aneurisma, stroke dan
lain-lain) dan yang mengakibatkan sumbatan. Bila villi arakhnoid
tersumbat dapat menyebabkan hidrosepalus.
3. Piameter
Membran yang paling dalam berupa dinding yang tipis,
transparan yang menutupi otak dan meluas kesetiap lapisan daerah otak.
1) Serebrum
Terdiri dari dua hemisfer yaitu substansia grisea terdapat pada
bagian luar dinding serebrum yang terbentuk dari badan-badan sel
saraf memenuhi kortek serebri, nukleus dan basal gang lia.
Substansia alba menutupi dinding serebrum bagian dalam dan terdiri
dari sel-sel saraf yang menghubungkan bagian-gabian otak dengan
yang lain. Sebagian besar hemisfer serebri (teten sefalon) berisi
jaringan sistem saraf pusat (ssp). Area inilah yang mengontrol fungsi
motorik tertinggi, yaitu terhadap fungsi individu dan intelegensia.
Lobus serebrum antara lin lobus frontal yang terletak pada
fossa anterior. Area ini mengontrol perilaku individu, membuat
keputusan, kepribadian dan menahan diri. Lobus parietal (lobus
sensori). Area ini menginterprestasikan sensasi, sensasi rasa yang
tidak berpengaruh adalah bau. Lobus parietal mengatur individu
maupun mengetahui posisi dan letak bagian tubuhnya.
Lobus temporal berfungsi mengintegrasikan sensasi kecap,
bau dan pendengaran, ingatan jangka pendek sangat berhubungan
dengan daerah ini. Lobus aksipital terletak pada lobus posterior
hemisfer serebri. Bagian ini bertanggung jawab mengintepretasikan
penglihatan
Dien sefalon; Fosa bagian tengah atau dien sefalon berisi
talamus, hipotalamus dan kelenjar hipofisis.
a) Talamus berada pada salah satu sisi pada sepertiga ventrikel dan
aktifitas primernya sebagai pusat penyambung sensasi bau yang
diterima semua impus memori, sensasi dan nyeri melalui bagian
ini.
b) Hipotalamus berfungsi mengontrol dan mengatur sistem syaraf
autonom. Mempertahankan keseimbangan cairan, memper-
tahankan pengaturan suhu tubuh melalui peningkatan
vasokontruksi atau vasodilatasi dan mempengaruhi sekresi
horonal dengan kelenjar hipofisis, sebagai pusat lapar,
mengontrol berat badan, mengatur tidur, tekanan darah, perilaku
agresif dan seksual dan respon emosional (malu, marah, depresi,
panik dan takut).
c) Kelenjar hipofisis
Hipofisis lobus anterior memproduksi hormon pertum-
buhan, hormon adrenakortikatropil (Acth), prolaktin, hormon
perangsang tiroid (TSH), Hormon folikel (FSH) dan luteinizing
hormon (LH). Lobus posterior berisi hormon antidiuretik (ADH)
yang mengatur sekresi dan retensi cairan pada ginjal. Dua
syndrom yang sering muncul dihubungkan dengan abnormalitas
ADH adalah diabetes insipidus (DI) dan syndrom ketidak
tepatan ADH (SIADH)
Serabut syaraf dari semua bagian korteks membentuk
bundel yang padat yang disebut kapsul internal masuk pons dan
medulla dengan masing-masing bundel secara bersamaan
menyilang ke posisi yang berlawanan. Beberapa akson-akson ini
membuat hubungan dengan akson-akson dari serebelum, basal
ganglia, talamus dan hipotalamus, beberapa akson lain
menyambung dengan sel-sel syaraf otak. Serabut-serabut syaraf
lain dari korteks dan pusat subkortikal melalui saluran pons dan
medulla menuju medulla spinalis.
2) Batang otak
Terdiri dari otak tengah, pons dan medulla oblongata, otak
tengah menghubungkan pons dan serebelum dengan hemisfer
serebelum. Bagian ini berisi jalur sensorik dan morotik dan sebagai
pusat refleks pendengaran dan penglihatan. Pons terletak di depan
serebelum antara otak tengah dan medulla dan merupakan jembatan
antara bagian serebelum, dan juga antara medulla dan serebelum.
Pons berisis jaras sensorik dan motorik.
Medulla oblongata meneruskan serabut-serbaut motorik dari
otak ke medulla spinalis dan serabur-serabut sensorik dari medulla
spinalis ke otak. Pons berisi pusat-pusat terpenting dalam
mengontrol jantung, pernapasan dan tekanan darah dan sebagai asal
usul saraf otak kelima sampai kedelapan.
3) Serebelum
Terletak pada fossa pasterior dan terpisah dari hemisfer serebral,
lipatan durameter nentorium serebelum. Serebelum mempunyai dua
aksi yaitu merangsang dan menghambat dan tanggung jawab yang
luas terhadap koordinasi dan getaran halus. Ditambah mengontrol
getaran yang benar, keseimbangan, posisi dan mengintegrasikan
input sensorik.

b. Sirkulasi serebral
Otak memerlukan aliran darah sekitar 750 mL/mnt agar dapat
berfungsi penuh. Artei dan cabangnya di dalam otak menerima suplai darah
dari arteri karotis interna kanan dan kiri, pembuluh arteri karotis memasuki
cranium dibagian anterior pada setiap sisinya melalui basis kranii, kemudian
bercabang membentuk arteri serebri anterior dan media yang menyuplai
bagian anterior dan medial hemisfer serebri. Bagian posterior hemisfer
serenri yang meliputi lobus oksipitalis, batang otak dan serebrum mendapat
supali darah dari dua buah arteri vertebralis yang memasuki foramen
magnum untuk membentuk arteri basalis. Arteri basalis ini, kemudian
bercabang membentuk dua buah arteri serebri posterior. Arteri komunikan
anterior dan posterior bergabung dengan dua sirkulasiini membentuk
lingkaran pembuluh darah yang disebut siklus wilisi. Siklus ini
memungkinkan pembentukan sirkulasi kolaterar jika terjadi okulasi
pembuluh darah serebral. Autoregulasi didalam arteriola serebral
memungkinkan distribusi aliran darah regional yang tepat pada bagian
daerah otak. Drainase darerah vena terjadi secara langsung dari jaringan
otak melalui pembuluh vena ke dalam sinus venosus yang berada diantara
dua lapisan durameter, selanjutnya mengalirkan darah vena ke vena
jugularis eksterna.
c. Cairan Serebrospinal
Merupakan cairan bersih dan tidak berwarna dengan berat jenis 1,007.
diproduksi didalam pleksus koroid pada ventrikel lateral ketiga dan
keempat. Sistem ventrikular dan subarakhnoid mengandung kira-kira 150
ml air, 15 sampai 25 ml dari CSS. Terdapat di masing-masing ventikel
lateral. CSS mengandung protein, glukosa dan klorida, juga mengandung
immunoglobulin. Secara normal CSS mempunyai sedikit sel-sel darah putih
dan tidak mengandung sel darah merah.
d. Medulla Spinalis

Penghubung otak dan saraf perifer, seperti kulit dan otot. Panjangnya
rata-rata 45 cm dan menipis pada jari-jari.
Saraf-saraf Spinal medula Spinalis, tersusun dari 33 segmen yaitu 7
segmen Servikal , 12 segmen Torakal, 5 Lumbal, 5 Sakral dan 5 segmen
koksigeus. Medula Spinalis, mempunyai 31 pasang saraf spinal.
Kolumna vertebra melindung medula Spinalis, memungkinkan
gerakan kepala dan tungkai, dan menstabilkan struktur tulang untuk
ambulasi. Vertebra terpisah oleh potongan-potongan kecuali servikal
pertama dan kedua, sakral dan tulang belakang koksigius.
Fungsi sumsum tulang belakang adalah :
1) Penghubung impuls dari dan ke otak
2) Memungkinkan jalan terpendek pada gerak refleks
3) Organ ini mengurus persyarafan tubuh, anggota badan dan bagian
kepala
e. Jaras Visual
Serabut-serabut yang berhubungan dengan saraf optik berakhir pada
pangkal masing-masing hemisfer. Sel-sel penerima ini bertanggunga jawab
terhadap penglihatan. Pengkajian penglihatan pasien dilakukan melalui uji
ketajaman penglihatan dengan menggunakan kartu snellen dan cara biasa
dengan membaca koran. Penglihatan pasien harus diperiksa dengan dan
tanpa koreksi lenda.
f. Saraf Motorik Atas dan Bawah
Setiap serabut otot yang mengatur gerakan disadari melalui dua
kombinasi sel-sel syaraf. Salah satunya terdapat pada kortek motorik,
serabut-serabutnya berada tepat pada traktus. Piramida atau penyilangan
traktus piramida, dan serat lainnya berjalan menuju otot. Yang pertama
disebut sebagia neuron motorik atas (upper motor neuron [UMN]) dan yang
terakhir disebut sebagai neuron motorik bawah (lower motor neuron
(LMN)). Setiap syaraf motorik yang menggerakkan setiap otot merupakan
komposisi gabungan ribuan saraf-saraf motorik bawah.
Jaras motorik dari otak ke medulla spinalis dan juga dari sereberum
ke batang otak dibentuk oleh (UMN). UMN mulai di dalam korteks pada
sisi yang berlawanan di otak, menurun melalui kapsul internal, menyilang
ke sisi berlawanan di dalam batang otak. Menurun melalui trakrus
kartikospinal dan ujungnya berakhir pada sinaps LMN.
UMN seluruhnya berada dalam sistem syaraf pusat (ssp). LMN
menerima impuls di bagian ujung posterior dan berjalan menuju sambungan
mioneural. Berbeda dengan UMN, LMN berakhir didalam otot. Ciri-ciri
klinik pada lesi di UMN dan LMN dibicarakan pada bagian sebelumnya
yang terdapat dalam tabel berikut :
Akibat lesi Neuron Motor Atas (UMN) versus Neuron Motor Bawah
(LMN)
LESI UMN LESI LMN
Kehilangan kontrol volunter Kehilangan kontrol volunter
Peningkatan tonus otot Penurunan tonus otot
Spastisitas otot Paralisis flaksid otot
Tidak ada atrofi otot Atrofi otot
Refleks hipertaktif dan abnormal Tidak ada / penurunan refleks

Jika UMN rusak atau hancur sering menyebabkan stroke, paralisis


(kehilangan gerakan yann disadari) karena pengaruh hambatan dari UMN
utuh pada keadaan ini mengalami kerusakan, gerakan refleks (tidak
disadari) tidak dihambat. Akibat otot tidak atrofi atau menjadi lumpuh,
tetapi sebaliknya tetap lebih tegang secara permanen daripada normal dan
menunjukkan paralisis spastik.
Akibat dari rusaknya LMN adalah otot menjadi lumpuh dan orang
tersebut tidak mampu menggerakkan otot. Paralisis flaksid (kelumpuhan
dan atrofi) pada otot-otot adalah tanda spesifik pada penyakit LMN
g. Kontrol Motor Ekstrapiramidal
Gerakan – gerakan otot yang halus, tepat dan kuat pada orang normal
diakibatkan oleh pengaruh serebelum dan basal ganglia. Distinesia akibat
adanya cedera pada intrakranial atau beberapa tipe perluasan massa (mis:
hemoragi, abses atau tumor) dapat menyebabkan kehilangan tonus otot,
lemah dan kelelahan pasien terlihat decorticate, decerebrate atau tubuh
flaksid, terutama pada trauma serebri.
h. Sistem Saraf Autonomik
Kontraksi otot-otot yang tidak di bawah kontrol kesadaran, seperti
otot jantung, sekresi semua digesti dan kelenjar keringat dan aktivitas organ-
organ endokrin dikontrol oleh sebagian besar komponen sistem saraf yang
dikenal sebagai sistem syaraf autonom (SSA).
SSA berpusat pada serebelum dan basal ganglia. Keunikan dari sistem
ini adalah :
pertama SSA mempengaruhi pengaturan dimana sel-selnya tidak
bersifat indivudial tetapi meluas pada sebagian besar jaringan dan seluruh
organ. Kedua respon yang muncul tidak cepat tetapi hanya setelah periode
yang lambat. Respon ini bersifat terus-menerus dengan jangka waktu yang
panjang, yang tidak dimiliki oleh respon neurologik lainnya. Contohnya :
pembuluh darah dan isi rongga perut.

Gambar Cidera Kepala


B. Pengertian
Cedera kepala yaitu adanya deformasi berupa penyimpangan bentuk
atau penyimpangan garis pada tulang tengkorak, percepatan dan perlambatan
(accelerasi-decelerasi) yang merupakan perubahan bentuk dipengaruhi oleh
perubahan peningkatan pada percepatan faktor dan penurunan kecepatan, serta
notasi yaitu pergerakan pada kepala dirasakan juga oleh otak sebagai akibat
perputaran pada tindakan pencegahan (Musliha, 2010).
Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang
disertai atau tanpa disertai perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa
diikuti terputusnya kontinuitas otak (Muttaqin 2008).
Trauma atau cedera kepala juga dikenal sebagai cedera otak adalah
gangguan fungsi normal otak karena trauma baik trauma tumpul atau trauma
tajam (Batticaca, 2008).
Menurut Brain Injury Assosiation of America, cedera kepala adalah suatu
kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi
disebabkan oleh serangan/benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau
mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif
dan fungsi fisik (Aritonang, 2007)

C. Klasifikasi Cidera Kepala


1. Berdasarkan Mekanisme
a. Trauma Tumpul
Trauma yang terjadi akibat kecelakaan kendaraan bermotor, saat
olahraga, jatuh, maupun cidera akibata pukulan atau benturan yang
keras.
b. Trauma Tembus
Trauma akibat tembakan maupun tusukan benda tajam atau
runcing.
2. Berdasarkan Beratnya Cidera
a. Cidera Kepala Ringan
1) GCS 13-15
2) Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang
dari 30 menit
3) Tidak ada fraktur tengkorak, kontusio serebral, dan hematoma
b. Cidera Kepala Sedang
1) GCS 9-12
2) Saturasi oksigen < 90%
3) Tekanan darah systole > 100 mmHg
4) Lama kejadian < 8 jam
5) Kehilangan kesadaran atau amnesia > 30 menit tetapi < 24 jam
6) Dapat mengalami fraktur tengkorak
c. Cidera Kepala Berat
1) GCS 3-8
2) Kehilangan kesadaran atau amnesia > 24 jam
3) Meliputi hematoma serebral, kontusio serebral
3. Berdasarkan Morfologi
a. Cidera Kulit Kepala
Cidera yang hanya mengenai kulit kepala. Cidera kulit kepala
menjadi pintu masuk infeksi intrakranial.
b. Fraktur Tengkorak
Terjadi fraktur pada tulang tengkorak, basis cranii secara
anatomis ada perbedaan struktus basis cranii yang apabila terjadi
robekan pada durameter gejala klinis ditandai dengan othorea,
rhinorea, battle sign, rakun eye.
c. Cidera otak
1) Commotio cerebri
Terjadi geger otak ringan akibat beda tumpul
2) Contusio Cerebri (memar otak)
Terjadi perdarahan kecil akibat pecahnya pembuluh darah kapiler.
Perdarahan intracranial
a) Epiduralis hematoma
b) Subduralis hematoma
c) Subarachnoid hematoma
4. Berdasarkan Phatofisiologi
a. Cidera Kepala Primer
Terjadi mekenisme dinamik, acelerasi-decelerasi rotasi, yang
menyebabkan jaringan.
b. Cidera Kepala Sekunder
Timbulnya gejala seperti hipotensi, hipoksia, hiperkapnea,
edema otak, komplikasi pernafasan dan infeksi atau komplikasi pada
organ tubuh lain Smeltzer, Suzanne c. cit Brunner & Suddarth (2014).

D. Etiologi
1. Penyebab umum cedera kepala yaitu karena kecelakaan lalu lintas, juga
disebabkan karena hal lain seperti terjatuh, terpukul, serangan fisik,
kecelakaan industri, kecelakaan di rumah, kecelakaan kerja, olahraga, dan
saat bermain.
2. Trauma akibat persalinan
3. Trauma primer
Terjadi beturan langsung atau tidak langsung (akselerasi dan
deselerasi)
4. Trauma sekunder
Terjadi akibat trauma saraf melalu akson yang meluas, hipertensi
intrakranial, hipoksia dll.

E. Manifestasi Klinis
1. Hilangnya kesadaran < 30 menit atau lebih
2. Kebingungan
3. Iratebel
4. Pucat
5. Mual muntah
6. Pusing
7. Nyeri kepala hebat
8. Terdapat hematoma
9. Kecemasan
10. Sukar dibangunkan
11. Bila fraktur, mungkin adanya cairan serebrospinal yang keluar dari hidung
(Rhinorea) dan telingan (Othorea) bila fraktur tulang temporal (Darmanik,
2015).

F. Epidemiologi
Menurut WHO (2011) lebih dari 90% kematian akibat kecelakaan lalu
lintas terjadi di negara berpenghasilan rendah dan menengah, kejadian tertinggi
adalah di daerah Afrika dan Timur Tengah.11 Hasil analisa lanjut data
Riskesdas tahun 2007 menunjukkan bahwa proporsi cedera akibat lalu lintas
secara nasional sebesar 27,0%.
Menurut wilayah Provinsi proporsi cedera tertinggi akibat kecelakaan
lalu lintas terdapat di Provinsi DI Yogyakarta (44,7%) dan terendah di Provinsi
Nusa Tenggara Timur (15,1%). Berdasarkan data di RS Cipto Mangunkusumo
Jakarta penderita cedera kepala yang rawat inap terdapat paling banyak
menderita cedera kepala ringan sebesar 60-70% dengan CFR tertinggi 35-50%
akibat cedera kepala berat.
Distribusi kasus cedera kepala lebih banyak melibatkan kelompok usia
produktif, yaitu antara 15-44 tahun (dengan usia rata-rata sekitar 30 tahun) dan
lebih didominasi oleh kaum laki-laki dibandingkan dengan perempuan.
Menurut Miller, anak-anak usia <15 tahun beresiko mengalami cedera kepala
(33%) dan berumur >65 tahun 70-88%.28 Angka kematian pasien yang berusia
15-22 tahun yaitu 32,8 kasus per 100.000 orang dan tingkat kematian pada
pasien berusia lanjut (>65 tahun) adalah sekitar 31,4 kasus per 100.000 orang.
(Brunnar & Suddarth, 2014).

G. Patofisiologi
Mekanisme cedera memegan peranan yang sangat besar dalam
menentukan berat ringannya konsekwensi patofisiologi dari trauma kepala.
Cedera percepata (aselerasi) terjadi jika benda yang sedang bergerak
membentur kepala yang diam seperti trauma akibat pukulan benda tumpul, atau
karena kena lemparan benda tumpul. Cedera periambatan (deselerasi) adalah
bila kepala membentur objek yang secara relatif tidak bergerak, seperti badan
mobil atau tanah. Kedua kekuatan ini mungkin terjadi secara bersamaan bila
terdapat gerakan kepala tiba – tiba tanpa kontak langsung seperti yang terjadi
bila posisi badan berubah secara kasar adan cepat. Kekuatan ini bisa
dikombinasi dengan pengubahan posisi rotasi pada kepala yang menyebabkan
trauma regangan dan robekan pada substansi alaba dan batang orak.
Cedera primer yang terjadi pada waktu benturan pada waktu benturan,
mungkin karena memar pada permukaan otak. Landasan substansi alba,
cerdera robekan atau hemoragi sebagai akibat, cedera sekunder dapat terjadi
sebagai kemampuan autoregulasi dikurangi atau tidak ada pada area cedera.
Konsekwensinya meliputi : hiperemia (peningkatan volume darah) pada area
peningkatan permeabilitas kapiler serta vasodilatasi, semua menimbulkan
peningkatan isi intra kronial dan akhirnya peningkatan tekanan intra kranial
(TIK). Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan cedera otak sekunder
meliputi hipoksia dan hipotensi. Bennarelli dan kawan – kawan
memperkenalkan cedera “fokal” dan “menyebar” sebagai katergori cedera
kepala berat pada upaya untuk menggunakan hasil dengan lebih khusus. Cedera
fokal diakibatkan dari kerusakan lokal yang meliputi kontusio serebral dan
hematom intra serebral serta kerusakan otak sekunder yang disebabkan oleh
perluasan massa lesi, pergeseran otak atau hernia. Cedera otak menyebar
dikaitkan dengan kerusakan yang menyebar secara luas dan terjadi dalam 4
bentuk yaitu : cedera akson menyebar hemoragi kecil multiple pada seluruh
otak. Jenis cedera ini menyebabkan koma bukan karena kompresi pada batang
otak tetapi karena cedera menyebar pada hemisfer serebral, batang otak atau
dua – duanya, situasi yang terjadi pada hampir 50 % pasien yang mengalami
cedera kepala berat bukan karena peluru.
1. Akibat dari trauma otak ini akan bergantung :
Kekuatan benturan, Makin besar kekuatan makin parah kerusakan,
bila kekautan itu diteruskan pada substansi otak, maka akan terjadi
kerusakan sepanjang jalan yang dilewati karena jaringan lunak menjadi
sasaran kekuatan itu.
2. Akselerasi dan deselerasi
Akselerasi adalah benda bergerak mengenai kepala yang diam.
Deselerasi adalah kepala membentur benda yang diam. Keduanya
mungkin terjadi secara bersamaan bila terdapat gerakan kepala tiba – tiba
tanpa kontak langsung. Kekuatan ini menyebabkan isi dalam tengkorak
yang keras bergerak dan otak akan membentur permukaan dalam
tengkorak pada otak yang berlawanan.
3. Kup dan kontra kup
Cedera “cup” mengakibatkan kebanyakan kerusakan yang relatif
dekat daerah yang terbentur, sedangkan kerusakan cedera “kontra cup”
berlawanan pada sisi desakan benturan.
4. Lokasi benturan
Bagian otak yang paling besar kemungkinannya menderita cedera
kepala terbesar adalah bagian anterior dari lobus frantalis dan temporalis,
bagian posterior lobus aksipitalis dan bagian atas mesensefalon.
5. Rotasi
Pengubahan posisi rotasi pada kepala menyebabkan trauma
regangan dan robekan pada substansi alba dan batang otak.
6. Fractur impresi
Fractur impresi sebabkan oleh suatu keluaran yang mendorong
fragmen tentang turun menekan otak yang lebih dalam ketebalan tulang
otak itu sendiri, akibat fraktur ini dapat menimbulkan kontak cairan
serebraspimal (CSS) dalam ruang sobarachnoid dalam sinus kemungkinan
cairan serebraspinoa (CSS) akan mengalir ke hidung, telinga,
menyebabkan masuknya bakteri yang mengkontaminasi cairan spinal
Phatway
Trauma kepala

Ekstra kranial Tulang kranial Intra kranial

Terputusnya kontinuitas Terputusnya Jaringan otak


jaringan kulit, otot dan kontinuitas rusak (kontusio,
vaskuler jaringan tulang laserasi)

Perdarahan Gangguan Resiko Nyeri Perubahan


Hematoma suplai darah infeksi autoregulasi
Edema serebral

Perubahan Iskemia Hipokisia


sirkulasi CSS Kejang

Gangguan perfusi
Peningkatan Gangguan Perubahan Obstruksi
jaringan otak
TIK neurologis pola nafas jalan nafas
Mual muntah fokal
Papilodema
Pandanan kabur Ketidakefektifan
Penurunan fg pendengaran Defisit bersihan jalan
Nyeri kepala neurologis nafas
Girus medialis
lobus temporalis Gangguan persepsi Ketidakefektifan
tergeser sensori pola nafas

Herniasi ulkus Tonsil cerebrum tergeser Kompresi medula oblongata

Messenfalon tertekan

Resiko injuri
Gangguan
kesadaran Resiko tinggi gangguan
Keterbatasan aktifitas integritas kulit

Kecemasan Kurangnya
keluarga perawatan diri
H. Pemeriksaan Diagnostik
1. CT Scan untuk mengetahui adanya massa/sel perdarahan, hematom, letak
dan luasnya kerusakan/perdarahan. NRI dilakukan bila CT scan belum
memberi hasil yang cukup.
2. EEG untuk melihat adanya aktivitas gelombang listrik diotak yang
pacologis.
3. Chest X Ray untuk mengetahui adanya perubahan pada paru
4. Foto tengkorak/scheedel : Untuk mengetahui adanya fraktur pada tulang
tengkorak yang akan meningkat TIK
5. Elektrolit darah/kimia darah : Untuk mengetahui ketidakseimbangan yang
berperan dalam meningkatkan / perubahan mental (Darmanik, 2015).

I. Penatalaksanaan
1. Non Medis
a. Observasi 24 jam
b. Jika klien muntah di puasakan dahulu, makanan atau cairan
c. Pada anak lakukan tirah baring
2. Medis
a. Airway :
1) Pertahankan kepatenan jalan nafas
2) Atur posisi : posisi kepala flat dan tidak miring ke satu sisi untuk
mencegah penekanan/bendungan pada vena jugularis
3) Cek adanya pengeluaran cairan dari hidung, telinga atau mulut
b. Breathing :
1) Kaji pola nafas, frekuensi, irama nafas, kedalaman
2) Monitoring ventilasi : pemeriksaan analisa gas darah, saturasi oksigen.
c. Circulation :
1) Kaji keadaan perfusi jaringan perifes (akral, nadi capillary rafill, sianosis
pada kuku, bibir)
2) Monitor tingkat kesadaran, GCS, periksa pupil, ukuran, reflek terhadap
cahaya
3) Monitoring tanda – tanda vital
4) Pemberian cairan dan elektrolit, kemudian monitoring intake dan output
II. Manajemen Asuhan Keperawatan Gawat Darurat
A. Pengkajian Keperawatan
1. Pengkajian primer menurut Rab, Tabrani. 2007 :
a. Airway
Ada tidaknya sumbatan jalan nafas
b. Breathing
Ada tidaknya dispnea, takipnea, bradipnea, sesak, kedalaman nafas.
c. Circulation
Ada tidaknya peningkatan tekanan darah, takikardi, bradikardi,
sianosis, capilarrefil.
d. Disability
Ada tidaknya penurunan kesadaran, kehilangan sensasi dan refleks,
pupil anisokor dan nilai GCS.
e. Exposure of extermitas
Ada tidaknya peningkatan suhu, ruangan yang cukup hangat.
2. Pengkajian Keperawatan Sekunder
Pengkajian sekunder meliputi anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Anamnesis dapat meggunakan format AMPLE (Alergi, Medikasi, Post
illnes, Last meal, dan Event/ Environment yang berhubungan dengan
kejadian). Pemeriksaan fisik dimulai dari kepala hingga kaki dan dapat pula
ditambahkan pemeriksaan diagnostik.
a. Indentitas kilen
b. Riwayat kesehatan
1) Riwayat kesehatan sekarang
Apakah ada penurunan kesadaran, muntah, sakit kepala, wajah
tidak simetris, lemah, paralysis, perdarahan, fraktur
2) Riwayat Penyakit Dahulu
Apakah ada penyakit sistem persyarafan, riwayat trauma masa
lalu, riwayat penyakit darah, riwayat penyakit sistemik / pernafasan
Cardiovaskuler dan metabolic
3) Riwayat Penyakit Keluarga
Adanya riwayat Penyakit menular
c. Pemeriksaan Fisik
1) Tingkat Kesadaran (GCS) 2) Tingkat Keparahan Cedera Kepala
a) Respon Membuka a) Ringan (GCS 13 – 15)
b) Respon Verbal b) Sedang (GCS 9 – 12)
c) Respon Motorik c) Berat (GCS 3 – 8)
Setelah melakukan anamnesis yang mengarah pada keluhan-
keluhan klien, pemeriksaan fisik sangat mendukung data dari pengkajian
anamnesis. Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan per sistem (B1-B6)
dengan focus pemeriksaan fisik pada pemeriksaan B3 (brain) yang
terarah dan dihubungkan dengan keluhan-keluhan dari klien.
1) Breathing (B1)
Kompresi pada batang otak akan mengakibatkan gangguan
irama jantung, sehingga terjadi perubahan pada pola napas,
kedalaman, frekuensi maupun iramanya, bisa berupa Cheyne Stokes
atau Ataxia breathing. Napas berbunyi, stridor, ronkhi, wheezing
(kemungkinan karena aspirasi), cenderung terjadi peningkatan
produksi sputum pada jalan napas.
2) Blood (B2)
Efek peningkatan tekanan intrakranial terhadap tekanan darah
bervariasi. Tekanan pada pusat vasomotor akan meningkatkan
transmisi rangsangan parasimpatik ke jantung yang akan
mengakibatkan denyut nadi menjadi lambat, merupakan tanda
peningkatan tekanan intrakranial. Perubahan frekuensi jantung
(bradikardia, takikardia yang diselingi dengan bradikardia, disritmia).
3) Brain (B3)
Gangguan kesadaran merupakan salah satu bentuk manifestasi
adanya gangguan otak akibat cidera kepala. Kehilangan kesadaran
sementara, amnesia seputar kejadian, vertigo, sinkope, tinitus,
kehilangan pendengaran, baal pada ekstrimitas. Bila perdarahan
hebat/luas dan mengenai batang otak akan terjadi gangguan pada
nervus cranialis, maka dapat terjadi:
a) Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian,
konsentrasi, pemecahan masalah, pengaruh emosi/tingkah laku
dan memori).
b) Perubahan dalam penglihatan, seperti ketajamannya, diplopia,
kehilangan sebagian lapang pandang, foto fobia.
c) Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetri), deviasi pada
mata.
d) Terjadi penurunan daya pendengaran, keseimbangan tubuh.
e) Sering timbul hiccup/cegukan oleh karena kompresi pada nervus
vagus menyebabkan kompresi spasmodik diafragma.
f) Gangguan nervus hipoglosus. Gangguan yang tampak lidah jatuh
kesalah satu sisi, disfagia, disatria, sehingga kesulitan menelan.
4) Blader (B4)
Pada cidera kepala sering terjadi gangguan berupa retensi,
inkontinensia uri, ketidakmampuan menahan miksi.
5) Bowel (B5)
Terjadi penurunan fungsi pencernaan: bising usus lemah, mual,
muntah (mungkin proyektil), kembung dan mengalami perubahan
selera. Gangguan menelan (disfagia) dan terganggunya proses
eliminasi alvi.
6) Bone (B6)
Pasien cidera kepala sering datang dalam keadaan parese,
paraplegi. Pada kondisi yang lama dapat terjadi kontraktur karena
imobilisasi dan dapat pula terjadi spastisitas atau ketidakseimbangan
antara otot-otot antagonis yang terjadi karena rusak atau putusnya
hubungan antara pusat saraf di otak dengan refleks pada spinal selain
itu dapat pula terjadi penurunan tonus otot.
d. Aspek Neurologis
1) Kaji GCS
2) Disorientasi tempat / waktu
3) Refleksi Patologis & Fisiologis Nervus Cranialis XII nervus (sensasi,
pola bicara abnormal)
4) Status Motorik
5) Skala Kelemahan Otot
1. Tidak ada kontrak
2. Ada Kontraksi
3. Bergerak tak bisa menahan gravitasi
4. Bergerak mampu menahan gravitasi
5. Normal

6) Perubahan pupil/penglihatan kabur, diplopia 5 – 6 cm (kerusakan


batang otak) Mengecil = Metabolis Abnormal dan disfungsi
encephalo, Pin-point = Kerusakan pons, batang otak
7) Perubahan tanda-tanda vital
8) Tanda-tanda peningkatan TIK
9) Penurunan kesadaran
e. Aspek Kardiovaskuler
1) Perubahan TD (menurun/meningkat)
2) Denyut nadi : Bradikardi, Tachikardi, irama tidak teratur
3) TD naik, TIK naik
f. Sistem Pernafasan
1) Perubahan pola nafas
2) Irama, frekuensi, kedalaman, bunyi nafas
g. Kebutusan Dasar Eliminasi
1) Perubahan pada BAB/BAK
2) Inkontinensia, obstipasi, dan hematuri
B. Diagnosa Keperawatan
1. Kerusakan perfusi jaringan serebral
2. Ketidakefektifan jalan nafas
3. Kerusakan integritas kulit
4. Intolerasi aktivitas
5. Resiko terjadi infeksi
C. Intervensi Keperawatan

Diagnosa
Tujuan Intervensi Rasional
Keperawatan
Kerusakan NOC Outcome : NIC : Circulatory care Mengetahui adanya
perfusi jaringan - Perfusi jaringan - Monitor vital sign resiko peningkatan
serebral cerebral - Monitor status TIK
- Balance cairan neurologi Peningkatan aliran
Client Outcome : - Monitor status vena dari kepala
- Vital sign membaik hemodinamik menyebabkan
- Fungsi motorik - Posisikan kepela penurunan TIK
sensorik membik klien head Up 30o Mengurangi edema
- Kolaborasi cerebri
pemberian manitol
sesuai order
Ketidakefektifan NOC Outcome : NIC : Manajemen jalan Mengetahui
jalan nafas - Status respirasi : napas kepastian dan
pertukaran gas - Monitor status kepatenan
- Status respirasi : respirasi dan kebersihan jalan
kepatenan jalan oksigenasi nafas
nafas - Bersihkan jalan napas Membebaskan jalan
- Status respirasi : - Auskultasi suara napas terhadap
ventilasi pernapasan akumulasi sekret
- Kontrol aspirasi - Berikan oksigen guna terpenuhinya
Client Outcome : sesuai program kebutuhan
- Jalan napas paten oksigenasi klien
- Sekret dapat NIC : Suctioning air
dikeluarkan way
- Suara napas bersih - Observasi sekret
yang keluar
- Auskultasi sebelum
dan sesudah
melakukan suction
- Gunakan peralatan
steril pada saat
melakukan suction
- Informasikan pada
klien dan keluarga
tentang tindakan
- suction
Kerusakan NOC Outcome : NIC : Perawatan luka Mengetahui seberapa
integritas kulit Integritas jaringan dan pertahanan luas kerusakan
Client Outcome : kulit integritas kulit klien
Integritas kulit utuh - Observasi lokasi Mencegah terjadinya
terjadinya penekanan pada area
- kerusakan integritas dekubibus
kulit
Diagnosa
Tujuan Intervensi Rasional
Keperawatan
- Kaji faktor resiko
kerusakan integritas
kulit
- Lakukan perawatan
luka
- Monitor status
nutrisi
- Atur posisi klien tiap
1 jam sekali
- Pertahankan
kebersihan alat tenun

Intolerasi NOC Outcome : NIC : Terapi latihan Dengan latihan


aktivitas - Pergerakan sendi (pergerakan pergerakan akan
aktif sendi) mencegah terjadinya
- Tingkat mobilisasi - Observasi KU klien kontraktur otot
- Perawatan ADLs - Tentukan Meminimalkan
Client Outcome : ketebatasan gerak terjadinya kerusakan
- Peningkatan klien mobilitas fisik
kemampuan dan - Lakukan ROM
kekuatan otot sesuai kemampuan
dalam bergerak - Kolaborasi dengan
- Peningkatan terapis dalam
aktivitas fisik melaksanakan
latihan
NIC : Terapi latihan
(kontrol otot)
- Evaluasi fungsi
sensori
- Tingkatkan aktivitas
motorik sesuai
kemampuan
- Gunakan sentuhan
guna meminimalkan
spasme otot
Resiko terjadi NOC Outcome : NIC : Kontrol infeksi Meminimalkan
infeksi - Status imunologi - Pertahankan invasi
- Kontrol infeksi kebersihan mikroorganisme
- Kontrol resiko lingkungan penyebab infeksi
Client Outcome : - Batasi pengunjung kedalam tubuh
- Bebas dari tanda- - Anjurkan dan Mencegah terjadinya
tanda infeksi ajarkan pada infeksi lanjutan
- Angka leukosit keluarga untuk cuci Memberikan
dalam batas normal tangan sebelum dan perlindungan pada
- Vital sign dalam sesudah kontak klien tehadap
batasnormal dengan klien paparan
Diagnosa
Tujuan Intervensi Rasional
Keperawatan
- Gunakan teknik mikroorganisme
septik dan aseptik penyebab infeksi
dalam perawatan Memastikan
klien pengobatan yang
- Pertahankan intake diberikan sesuai
nutrisi yang adekuat program
- Kaji adanya tanda-
tanda infeksi
- Monitor vital sign
- Kelola terapi
antibiotika
NIC : Pencegahan
infeksi
- Monitor vital sign
- Monitor tanda-tanda
infeksi
- Monitor hasil
laboratorium
- Manajemen
lingkungan
- Manajemen
pengobatan
DAFTAR PUSTAKA

Asikin, Z. 2008. Simposium Keperawatan Penderita Cedera


Kepala. Panatalaksanaan Penderita dengan Alat Bantu Napas. Jakarta.

Brunnar & Suddath. 2014. Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 12. Jakarta: EGC

Hudak & Gallo.2010. Keperawatan Kritis Pendekatan Holistik, Volume II. Jakarta:
EGC.

Nanda Nic Noc.2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis


: Panduan Asuhan Keperawatan Profesional. Jakarta : EGC

Nanda. 2018. Nanda International : Diagnosis Keperawatan Definisi dan


Klasifikasi. Edisi 11. Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai