Oleh :
ANUGERAHNU PRANOKO
NIM. 113063J117057
Menyetujui,
Preseptor Akademik Preseptor Klinik
(…………………………….) (…………………………….)
LAPORAN PENDAHULUAN
b. Sirkulasi serebral
Otak memerlukan aliran darah sekitar 750 mL/mnt agar dapat
berfungsi penuh. Artei dan cabangnya di dalam otak menerima suplai darah
dari arteri karotis interna kanan dan kiri, pembuluh arteri karotis memasuki
cranium dibagian anterior pada setiap sisinya melalui basis kranii, kemudian
bercabang membentuk arteri serebri anterior dan media yang menyuplai
bagian anterior dan medial hemisfer serebri. Bagian posterior hemisfer
serenri yang meliputi lobus oksipitalis, batang otak dan serebrum mendapat
supali darah dari dua buah arteri vertebralis yang memasuki foramen
magnum untuk membentuk arteri basalis. Arteri basalis ini, kemudian
bercabang membentuk dua buah arteri serebri posterior. Arteri komunikan
anterior dan posterior bergabung dengan dua sirkulasiini membentuk
lingkaran pembuluh darah yang disebut siklus wilisi. Siklus ini
memungkinkan pembentukan sirkulasi kolaterar jika terjadi okulasi
pembuluh darah serebral. Autoregulasi didalam arteriola serebral
memungkinkan distribusi aliran darah regional yang tepat pada bagian
daerah otak. Drainase darerah vena terjadi secara langsung dari jaringan
otak melalui pembuluh vena ke dalam sinus venosus yang berada diantara
dua lapisan durameter, selanjutnya mengalirkan darah vena ke vena
jugularis eksterna.
c. Cairan Serebrospinal
Merupakan cairan bersih dan tidak berwarna dengan berat jenis 1,007.
diproduksi didalam pleksus koroid pada ventrikel lateral ketiga dan
keempat. Sistem ventrikular dan subarakhnoid mengandung kira-kira 150
ml air, 15 sampai 25 ml dari CSS. Terdapat di masing-masing ventikel
lateral. CSS mengandung protein, glukosa dan klorida, juga mengandung
immunoglobulin. Secara normal CSS mempunyai sedikit sel-sel darah putih
dan tidak mengandung sel darah merah.
d. Medulla Spinalis
Penghubung otak dan saraf perifer, seperti kulit dan otot. Panjangnya
rata-rata 45 cm dan menipis pada jari-jari.
Saraf-saraf Spinal medula Spinalis, tersusun dari 33 segmen yaitu 7
segmen Servikal , 12 segmen Torakal, 5 Lumbal, 5 Sakral dan 5 segmen
koksigeus. Medula Spinalis, mempunyai 31 pasang saraf spinal.
Kolumna vertebra melindung medula Spinalis, memungkinkan
gerakan kepala dan tungkai, dan menstabilkan struktur tulang untuk
ambulasi. Vertebra terpisah oleh potongan-potongan kecuali servikal
pertama dan kedua, sakral dan tulang belakang koksigius.
Fungsi sumsum tulang belakang adalah :
1) Penghubung impuls dari dan ke otak
2) Memungkinkan jalan terpendek pada gerak refleks
3) Organ ini mengurus persyarafan tubuh, anggota badan dan bagian
kepala
e. Jaras Visual
Serabut-serabut yang berhubungan dengan saraf optik berakhir pada
pangkal masing-masing hemisfer. Sel-sel penerima ini bertanggunga jawab
terhadap penglihatan. Pengkajian penglihatan pasien dilakukan melalui uji
ketajaman penglihatan dengan menggunakan kartu snellen dan cara biasa
dengan membaca koran. Penglihatan pasien harus diperiksa dengan dan
tanpa koreksi lenda.
f. Saraf Motorik Atas dan Bawah
Setiap serabut otot yang mengatur gerakan disadari melalui dua
kombinasi sel-sel syaraf. Salah satunya terdapat pada kortek motorik,
serabut-serabutnya berada tepat pada traktus. Piramida atau penyilangan
traktus piramida, dan serat lainnya berjalan menuju otot. Yang pertama
disebut sebagia neuron motorik atas (upper motor neuron [UMN]) dan yang
terakhir disebut sebagai neuron motorik bawah (lower motor neuron
(LMN)). Setiap syaraf motorik yang menggerakkan setiap otot merupakan
komposisi gabungan ribuan saraf-saraf motorik bawah.
Jaras motorik dari otak ke medulla spinalis dan juga dari sereberum
ke batang otak dibentuk oleh (UMN). UMN mulai di dalam korteks pada
sisi yang berlawanan di otak, menurun melalui kapsul internal, menyilang
ke sisi berlawanan di dalam batang otak. Menurun melalui trakrus
kartikospinal dan ujungnya berakhir pada sinaps LMN.
UMN seluruhnya berada dalam sistem syaraf pusat (ssp). LMN
menerima impuls di bagian ujung posterior dan berjalan menuju sambungan
mioneural. Berbeda dengan UMN, LMN berakhir didalam otot. Ciri-ciri
klinik pada lesi di UMN dan LMN dibicarakan pada bagian sebelumnya
yang terdapat dalam tabel berikut :
Akibat lesi Neuron Motor Atas (UMN) versus Neuron Motor Bawah
(LMN)
LESI UMN LESI LMN
Kehilangan kontrol volunter Kehilangan kontrol volunter
Peningkatan tonus otot Penurunan tonus otot
Spastisitas otot Paralisis flaksid otot
Tidak ada atrofi otot Atrofi otot
Refleks hipertaktif dan abnormal Tidak ada / penurunan refleks
D. Etiologi
1. Penyebab umum cedera kepala yaitu karena kecelakaan lalu lintas, juga
disebabkan karena hal lain seperti terjatuh, terpukul, serangan fisik,
kecelakaan industri, kecelakaan di rumah, kecelakaan kerja, olahraga, dan
saat bermain.
2. Trauma akibat persalinan
3. Trauma primer
Terjadi beturan langsung atau tidak langsung (akselerasi dan
deselerasi)
4. Trauma sekunder
Terjadi akibat trauma saraf melalu akson yang meluas, hipertensi
intrakranial, hipoksia dll.
E. Manifestasi Klinis
1. Hilangnya kesadaran < 30 menit atau lebih
2. Kebingungan
3. Iratebel
4. Pucat
5. Mual muntah
6. Pusing
7. Nyeri kepala hebat
8. Terdapat hematoma
9. Kecemasan
10. Sukar dibangunkan
11. Bila fraktur, mungkin adanya cairan serebrospinal yang keluar dari hidung
(Rhinorea) dan telingan (Othorea) bila fraktur tulang temporal (Darmanik,
2015).
F. Epidemiologi
Menurut WHO (2011) lebih dari 90% kematian akibat kecelakaan lalu
lintas terjadi di negara berpenghasilan rendah dan menengah, kejadian tertinggi
adalah di daerah Afrika dan Timur Tengah.11 Hasil analisa lanjut data
Riskesdas tahun 2007 menunjukkan bahwa proporsi cedera akibat lalu lintas
secara nasional sebesar 27,0%.
Menurut wilayah Provinsi proporsi cedera tertinggi akibat kecelakaan
lalu lintas terdapat di Provinsi DI Yogyakarta (44,7%) dan terendah di Provinsi
Nusa Tenggara Timur (15,1%). Berdasarkan data di RS Cipto Mangunkusumo
Jakarta penderita cedera kepala yang rawat inap terdapat paling banyak
menderita cedera kepala ringan sebesar 60-70% dengan CFR tertinggi 35-50%
akibat cedera kepala berat.
Distribusi kasus cedera kepala lebih banyak melibatkan kelompok usia
produktif, yaitu antara 15-44 tahun (dengan usia rata-rata sekitar 30 tahun) dan
lebih didominasi oleh kaum laki-laki dibandingkan dengan perempuan.
Menurut Miller, anak-anak usia <15 tahun beresiko mengalami cedera kepala
(33%) dan berumur >65 tahun 70-88%.28 Angka kematian pasien yang berusia
15-22 tahun yaitu 32,8 kasus per 100.000 orang dan tingkat kematian pada
pasien berusia lanjut (>65 tahun) adalah sekitar 31,4 kasus per 100.000 orang.
(Brunnar & Suddarth, 2014).
G. Patofisiologi
Mekanisme cedera memegan peranan yang sangat besar dalam
menentukan berat ringannya konsekwensi patofisiologi dari trauma kepala.
Cedera percepata (aselerasi) terjadi jika benda yang sedang bergerak
membentur kepala yang diam seperti trauma akibat pukulan benda tumpul, atau
karena kena lemparan benda tumpul. Cedera periambatan (deselerasi) adalah
bila kepala membentur objek yang secara relatif tidak bergerak, seperti badan
mobil atau tanah. Kedua kekuatan ini mungkin terjadi secara bersamaan bila
terdapat gerakan kepala tiba – tiba tanpa kontak langsung seperti yang terjadi
bila posisi badan berubah secara kasar adan cepat. Kekuatan ini bisa
dikombinasi dengan pengubahan posisi rotasi pada kepala yang menyebabkan
trauma regangan dan robekan pada substansi alaba dan batang orak.
Cedera primer yang terjadi pada waktu benturan pada waktu benturan,
mungkin karena memar pada permukaan otak. Landasan substansi alba,
cerdera robekan atau hemoragi sebagai akibat, cedera sekunder dapat terjadi
sebagai kemampuan autoregulasi dikurangi atau tidak ada pada area cedera.
Konsekwensinya meliputi : hiperemia (peningkatan volume darah) pada area
peningkatan permeabilitas kapiler serta vasodilatasi, semua menimbulkan
peningkatan isi intra kronial dan akhirnya peningkatan tekanan intra kranial
(TIK). Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan cedera otak sekunder
meliputi hipoksia dan hipotensi. Bennarelli dan kawan – kawan
memperkenalkan cedera “fokal” dan “menyebar” sebagai katergori cedera
kepala berat pada upaya untuk menggunakan hasil dengan lebih khusus. Cedera
fokal diakibatkan dari kerusakan lokal yang meliputi kontusio serebral dan
hematom intra serebral serta kerusakan otak sekunder yang disebabkan oleh
perluasan massa lesi, pergeseran otak atau hernia. Cedera otak menyebar
dikaitkan dengan kerusakan yang menyebar secara luas dan terjadi dalam 4
bentuk yaitu : cedera akson menyebar hemoragi kecil multiple pada seluruh
otak. Jenis cedera ini menyebabkan koma bukan karena kompresi pada batang
otak tetapi karena cedera menyebar pada hemisfer serebral, batang otak atau
dua – duanya, situasi yang terjadi pada hampir 50 % pasien yang mengalami
cedera kepala berat bukan karena peluru.
1. Akibat dari trauma otak ini akan bergantung :
Kekuatan benturan, Makin besar kekuatan makin parah kerusakan,
bila kekautan itu diteruskan pada substansi otak, maka akan terjadi
kerusakan sepanjang jalan yang dilewati karena jaringan lunak menjadi
sasaran kekuatan itu.
2. Akselerasi dan deselerasi
Akselerasi adalah benda bergerak mengenai kepala yang diam.
Deselerasi adalah kepala membentur benda yang diam. Keduanya
mungkin terjadi secara bersamaan bila terdapat gerakan kepala tiba – tiba
tanpa kontak langsung. Kekuatan ini menyebabkan isi dalam tengkorak
yang keras bergerak dan otak akan membentur permukaan dalam
tengkorak pada otak yang berlawanan.
3. Kup dan kontra kup
Cedera “cup” mengakibatkan kebanyakan kerusakan yang relatif
dekat daerah yang terbentur, sedangkan kerusakan cedera “kontra cup”
berlawanan pada sisi desakan benturan.
4. Lokasi benturan
Bagian otak yang paling besar kemungkinannya menderita cedera
kepala terbesar adalah bagian anterior dari lobus frantalis dan temporalis,
bagian posterior lobus aksipitalis dan bagian atas mesensefalon.
5. Rotasi
Pengubahan posisi rotasi pada kepala menyebabkan trauma
regangan dan robekan pada substansi alba dan batang otak.
6. Fractur impresi
Fractur impresi sebabkan oleh suatu keluaran yang mendorong
fragmen tentang turun menekan otak yang lebih dalam ketebalan tulang
otak itu sendiri, akibat fraktur ini dapat menimbulkan kontak cairan
serebraspimal (CSS) dalam ruang sobarachnoid dalam sinus kemungkinan
cairan serebraspinoa (CSS) akan mengalir ke hidung, telinga,
menyebabkan masuknya bakteri yang mengkontaminasi cairan spinal
Phatway
Trauma kepala
Gangguan perfusi
Peningkatan Gangguan Perubahan Obstruksi
jaringan otak
TIK neurologis pola nafas jalan nafas
Mual muntah fokal
Papilodema
Pandanan kabur Ketidakefektifan
Penurunan fg pendengaran Defisit bersihan jalan
Nyeri kepala neurologis nafas
Girus medialis
lobus temporalis Gangguan persepsi Ketidakefektifan
tergeser sensori pola nafas
Messenfalon tertekan
Resiko injuri
Gangguan
kesadaran Resiko tinggi gangguan
Keterbatasan aktifitas integritas kulit
Kecemasan Kurangnya
keluarga perawatan diri
H. Pemeriksaan Diagnostik
1. CT Scan untuk mengetahui adanya massa/sel perdarahan, hematom, letak
dan luasnya kerusakan/perdarahan. NRI dilakukan bila CT scan belum
memberi hasil yang cukup.
2. EEG untuk melihat adanya aktivitas gelombang listrik diotak yang
pacologis.
3. Chest X Ray untuk mengetahui adanya perubahan pada paru
4. Foto tengkorak/scheedel : Untuk mengetahui adanya fraktur pada tulang
tengkorak yang akan meningkat TIK
5. Elektrolit darah/kimia darah : Untuk mengetahui ketidakseimbangan yang
berperan dalam meningkatkan / perubahan mental (Darmanik, 2015).
I. Penatalaksanaan
1. Non Medis
a. Observasi 24 jam
b. Jika klien muntah di puasakan dahulu, makanan atau cairan
c. Pada anak lakukan tirah baring
2. Medis
a. Airway :
1) Pertahankan kepatenan jalan nafas
2) Atur posisi : posisi kepala flat dan tidak miring ke satu sisi untuk
mencegah penekanan/bendungan pada vena jugularis
3) Cek adanya pengeluaran cairan dari hidung, telinga atau mulut
b. Breathing :
1) Kaji pola nafas, frekuensi, irama nafas, kedalaman
2) Monitoring ventilasi : pemeriksaan analisa gas darah, saturasi oksigen.
c. Circulation :
1) Kaji keadaan perfusi jaringan perifes (akral, nadi capillary rafill, sianosis
pada kuku, bibir)
2) Monitor tingkat kesadaran, GCS, periksa pupil, ukuran, reflek terhadap
cahaya
3) Monitoring tanda – tanda vital
4) Pemberian cairan dan elektrolit, kemudian monitoring intake dan output
II. Manajemen Asuhan Keperawatan Gawat Darurat
A. Pengkajian Keperawatan
1. Pengkajian primer menurut Rab, Tabrani. 2007 :
a. Airway
Ada tidaknya sumbatan jalan nafas
b. Breathing
Ada tidaknya dispnea, takipnea, bradipnea, sesak, kedalaman nafas.
c. Circulation
Ada tidaknya peningkatan tekanan darah, takikardi, bradikardi,
sianosis, capilarrefil.
d. Disability
Ada tidaknya penurunan kesadaran, kehilangan sensasi dan refleks,
pupil anisokor dan nilai GCS.
e. Exposure of extermitas
Ada tidaknya peningkatan suhu, ruangan yang cukup hangat.
2. Pengkajian Keperawatan Sekunder
Pengkajian sekunder meliputi anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Anamnesis dapat meggunakan format AMPLE (Alergi, Medikasi, Post
illnes, Last meal, dan Event/ Environment yang berhubungan dengan
kejadian). Pemeriksaan fisik dimulai dari kepala hingga kaki dan dapat pula
ditambahkan pemeriksaan diagnostik.
a. Indentitas kilen
b. Riwayat kesehatan
1) Riwayat kesehatan sekarang
Apakah ada penurunan kesadaran, muntah, sakit kepala, wajah
tidak simetris, lemah, paralysis, perdarahan, fraktur
2) Riwayat Penyakit Dahulu
Apakah ada penyakit sistem persyarafan, riwayat trauma masa
lalu, riwayat penyakit darah, riwayat penyakit sistemik / pernafasan
Cardiovaskuler dan metabolic
3) Riwayat Penyakit Keluarga
Adanya riwayat Penyakit menular
c. Pemeriksaan Fisik
1) Tingkat Kesadaran (GCS) 2) Tingkat Keparahan Cedera Kepala
a) Respon Membuka a) Ringan (GCS 13 – 15)
b) Respon Verbal b) Sedang (GCS 9 – 12)
c) Respon Motorik c) Berat (GCS 3 – 8)
Setelah melakukan anamnesis yang mengarah pada keluhan-
keluhan klien, pemeriksaan fisik sangat mendukung data dari pengkajian
anamnesis. Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan per sistem (B1-B6)
dengan focus pemeriksaan fisik pada pemeriksaan B3 (brain) yang
terarah dan dihubungkan dengan keluhan-keluhan dari klien.
1) Breathing (B1)
Kompresi pada batang otak akan mengakibatkan gangguan
irama jantung, sehingga terjadi perubahan pada pola napas,
kedalaman, frekuensi maupun iramanya, bisa berupa Cheyne Stokes
atau Ataxia breathing. Napas berbunyi, stridor, ronkhi, wheezing
(kemungkinan karena aspirasi), cenderung terjadi peningkatan
produksi sputum pada jalan napas.
2) Blood (B2)
Efek peningkatan tekanan intrakranial terhadap tekanan darah
bervariasi. Tekanan pada pusat vasomotor akan meningkatkan
transmisi rangsangan parasimpatik ke jantung yang akan
mengakibatkan denyut nadi menjadi lambat, merupakan tanda
peningkatan tekanan intrakranial. Perubahan frekuensi jantung
(bradikardia, takikardia yang diselingi dengan bradikardia, disritmia).
3) Brain (B3)
Gangguan kesadaran merupakan salah satu bentuk manifestasi
adanya gangguan otak akibat cidera kepala. Kehilangan kesadaran
sementara, amnesia seputar kejadian, vertigo, sinkope, tinitus,
kehilangan pendengaran, baal pada ekstrimitas. Bila perdarahan
hebat/luas dan mengenai batang otak akan terjadi gangguan pada
nervus cranialis, maka dapat terjadi:
a) Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian,
konsentrasi, pemecahan masalah, pengaruh emosi/tingkah laku
dan memori).
b) Perubahan dalam penglihatan, seperti ketajamannya, diplopia,
kehilangan sebagian lapang pandang, foto fobia.
c) Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetri), deviasi pada
mata.
d) Terjadi penurunan daya pendengaran, keseimbangan tubuh.
e) Sering timbul hiccup/cegukan oleh karena kompresi pada nervus
vagus menyebabkan kompresi spasmodik diafragma.
f) Gangguan nervus hipoglosus. Gangguan yang tampak lidah jatuh
kesalah satu sisi, disfagia, disatria, sehingga kesulitan menelan.
4) Blader (B4)
Pada cidera kepala sering terjadi gangguan berupa retensi,
inkontinensia uri, ketidakmampuan menahan miksi.
5) Bowel (B5)
Terjadi penurunan fungsi pencernaan: bising usus lemah, mual,
muntah (mungkin proyektil), kembung dan mengalami perubahan
selera. Gangguan menelan (disfagia) dan terganggunya proses
eliminasi alvi.
6) Bone (B6)
Pasien cidera kepala sering datang dalam keadaan parese,
paraplegi. Pada kondisi yang lama dapat terjadi kontraktur karena
imobilisasi dan dapat pula terjadi spastisitas atau ketidakseimbangan
antara otot-otot antagonis yang terjadi karena rusak atau putusnya
hubungan antara pusat saraf di otak dengan refleks pada spinal selain
itu dapat pula terjadi penurunan tonus otot.
d. Aspek Neurologis
1) Kaji GCS
2) Disorientasi tempat / waktu
3) Refleksi Patologis & Fisiologis Nervus Cranialis XII nervus (sensasi,
pola bicara abnormal)
4) Status Motorik
5) Skala Kelemahan Otot
1. Tidak ada kontrak
2. Ada Kontraksi
3. Bergerak tak bisa menahan gravitasi
4. Bergerak mampu menahan gravitasi
5. Normal
Diagnosa
Tujuan Intervensi Rasional
Keperawatan
Kerusakan NOC Outcome : NIC : Circulatory care Mengetahui adanya
perfusi jaringan - Perfusi jaringan - Monitor vital sign resiko peningkatan
serebral cerebral - Monitor status TIK
- Balance cairan neurologi Peningkatan aliran
Client Outcome : - Monitor status vena dari kepala
- Vital sign membaik hemodinamik menyebabkan
- Fungsi motorik - Posisikan kepela penurunan TIK
sensorik membik klien head Up 30o Mengurangi edema
- Kolaborasi cerebri
pemberian manitol
sesuai order
Ketidakefektifan NOC Outcome : NIC : Manajemen jalan Mengetahui
jalan nafas - Status respirasi : napas kepastian dan
pertukaran gas - Monitor status kepatenan
- Status respirasi : respirasi dan kebersihan jalan
kepatenan jalan oksigenasi nafas
nafas - Bersihkan jalan napas Membebaskan jalan
- Status respirasi : - Auskultasi suara napas terhadap
ventilasi pernapasan akumulasi sekret
- Kontrol aspirasi - Berikan oksigen guna terpenuhinya
Client Outcome : sesuai program kebutuhan
- Jalan napas paten oksigenasi klien
- Sekret dapat NIC : Suctioning air
dikeluarkan way
- Suara napas bersih - Observasi sekret
yang keluar
- Auskultasi sebelum
dan sesudah
melakukan suction
- Gunakan peralatan
steril pada saat
melakukan suction
- Informasikan pada
klien dan keluarga
tentang tindakan
- suction
Kerusakan NOC Outcome : NIC : Perawatan luka Mengetahui seberapa
integritas kulit Integritas jaringan dan pertahanan luas kerusakan
Client Outcome : kulit integritas kulit klien
Integritas kulit utuh - Observasi lokasi Mencegah terjadinya
terjadinya penekanan pada area
- kerusakan integritas dekubibus
kulit
Diagnosa
Tujuan Intervensi Rasional
Keperawatan
- Kaji faktor resiko
kerusakan integritas
kulit
- Lakukan perawatan
luka
- Monitor status
nutrisi
- Atur posisi klien tiap
1 jam sekali
- Pertahankan
kebersihan alat tenun
Brunnar & Suddath. 2014. Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 12. Jakarta: EGC
Hudak & Gallo.2010. Keperawatan Kritis Pendekatan Holistik, Volume II. Jakarta:
EGC.