Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN PENDAHULUAN DAN RESUME KEPERAWATAN PADA Ny.

M DENGAN SYOK HIPOVOLEMIK DI IGD


RSUP Dr. SARDJITO
Disusun untuk Memenuhi Tugas Praktik Klinik Keperawatan Gawat Darurat
Dosen Pembimbing : Linda Widyarani, M. Kep

Oleh :

Atik Fatimah

(2820173148)

3D

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN NOTOKUSUMO


YOGYAKARTA
2019
LEMBAR PENGESAHAN
Laporan Pendahuluan dan Resume Keperawatan Gawat Darurat yang berjudul
“SYOK HIPOVOLEMIK” di IGD RSUP Dr. Sardjito, disusun untuk memenuhi
tugas individu PKK Gawat Darurat yang disahkan pada :

Hari :
Tanggal :
Tempat :

Praktikan,

(………………………)

Mengetahui,
CI Lahan, Pembimbing Akademik,

(………………………) (…………………….)
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Salah satu masalah kegawatdaruratan yang menyebabkan kematian
adalah syok. Syok adalah suatu kondisi terjadinya defisit volume darah
≥15% karena berkurangnya perfusi darah intravaskuler secara akut
(Lyrawati dan Achmad, 2015). Hal ini menimbulkan ketidakcukupan
pengiriman oksigen dan nutrisi ke jaringan dan penumpukan sisa-sisa
metabolisme sel (Lyrawati dan Achmad, 2015). Syok ada beberapa
macam. Salah satunya adalah syok hipovolemik. Syok hipovolemik adalah
syok yang terjadi akibat berkurangnya volume plasma di intravaskuler dan
dapat terjadi akibat pendarahan hebat (hemoragik), trauma yang
menyebabkan perpindahan cairan (ekstravasasi) dan dehidrasi berat yang
disebabkan seperti luka bakar dan diare berat (Hardisman, 2013).
Menurut Silbernagl dan Lang (2016), penyebab dari hipovemik
dapat dikarenakan perdarahan (syok hemoragik) atau kehilangan cairan
luar seperti melalui sistem gastrointestinal (perdarahan berat, muntah berat
dan diare yang persisten), melalui ginjal (misalnya diabetes melitus atau
insipidus, diuretik dosis tinggi, poliuria setelah gagal ginjal akut) atau
melalui kulit (luka bakar, keringat berlebihan tanpa intake cairan).
Syok hipovolemik yang disebabkan oleh terjadinya kehilangan darah
secara akut (syok hemoragik) sampai saat ini merupakan salah satu
penyebab kematian di negara-negara dengan mobilitas penduduk yang
tinggi. Angka kematian pada pasien trauma yang mengalami syok
hipovolemik di rumah sakit dengan tingkat pelayanan lengkap mencapai
6% (Kakunsi et al. 2015). Sedangkan angka kematian akibat trauma yang
mengalami syok hipovolemik di rumah sakit dengan peralatan yang
kurang memadai mencapai 36% (Diantoro, 2014 dalam Kakunsi et al.
2015).
Syok hipovolemik juga terjadi pada wanita dengan perdarahan
karena kasus obstetrik dengan angka kematian akibat syok hipovolemik
mencapai 500.000 per tahun dan 99% kematian tersebut terjadi di negara
berkembang (Kakunsi et al. 2015). Di Indonesia sendiri, angka kematian
penderita hypovolemic shock akibat demam berdarah dengan ranjatan
(dengue shock syndrome) yang disertai dengan perdarahan yaitu berkisar
antara 56 sampai 66 jiwa ditahun 2014 (Putra, 2016).
Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik membuat makalah
mengenai syok hipovolemik.

B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Penulis mampu menggambarkan asuhan keperawatan pada
pasien dengan syok hipovolemik dengan menggunakan pendekatan
proses keperawatan.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui definisi syok hipovolemik.
b. Untuk mengetahui etiologi syok hipovolemik.
c. Untuk mengetahui klasifikasi syok hipovolemik.
d. Untuk mengetahui manifestasi klinis syok hipovolemik.
e. Untuk mengetahui patofisiologi syok hipovolemik.
f. Untuk mengetahui pathway syok hipovolemik.
g. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang syok hipovolemik.
h. Untuk mengetahui penanganan syok hipovolemik.
i. Untuk mengetahui pengkajian syok hipovolemik
j. Untuk mengetahui diagnosa keperawatan pada syok
hipovolemik.
k. Untuk mengetahui rencana asuhan keperawatan pada syok
hipovolemik.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Syok hipovolemik adalah syok yang terjadi karena berkurangnya
volume plasma di intravaskuler dan dapat terjadi akibat perdarahan hebat
(hemoragik), trauma yang menyebabkan perpindahan cairan (ekstravasasi) dan
dehidrasi berat yang disebabkan seperti luka bakar dan diare berat
(Hardisman, 2013). Sedangkan menurut Dewi dan Rahayu (2010), syok
hipovolemik adalah kondisi medis atau bedah dimana terjadi kehilangan
cairan dengan cepat yang berakhir pada kegagalan beberapa organ, disebabkan
oleh volume sirkulasi yang tidak adekuat dan berakibat pada perfusi yang
tidak adekuat. Syok hipovolemik adalah syok yang terjadi ketika volume
intravaskuler menurun secara drastis dan jaringan tidak dapat memproses
metabolisme akibat hemoragik atau dehidrasi (Swearingen, 2016).
Sehingga berdasarkan definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa syok
hipovolemik adalah syok yang terjadi akibat berkurangnya atau hilangnya
volume pada plasma di intavaskuler yang menyebabkan penurunan
metabolisme.

B. Etiologi
Menurut Lyrawati dan Achmad (2015), etiologi syok hipovolemik dapat
disebabkan oleh :
1. Oligemia
2. Pendaharan
3. Combutio
Pada luka bakar yang luas, terjadi kehilangan cairan melalui
permukaan kulit yang hangus atau di dalam lepuh.
4. Trauma operasi
5. Hilangnya elektrolit melalui cairan gastrointestinal.
Muntah hebat atau diare juga dapat mengakibatkan kehilangan
cairan intravaskuler. Pada obstruksi ileus, dapat terkumpul beberapa liter
cairan di dalam usus.
6. Pada penggunaan diuretik kuat dapat terjadi kehilangan cairan karena
diuresis yang berlebihan.
Sedangkan menurut Morton dan Fontaine (2013), syok hipovolemik
terjadi karena ketidakadekuatan volume sirkulasi karena perdarahan atau
dehidrasi berat. Pada beberapa kasus luka, seperti luka bakar menyebabkan
perubahan cairan intravaskular ke interstisial secara signifikan sehingga
menyebabkan hipovolemia (Morton dan Fontaine, 2013). Menurut Silbernagl
dan Lang (2016), penyebab dari hipovemik dapat dikarenakan perdarahan
(syok hemoragik) atau kehilangan cairan luar seperti melalui sistem
gastrointestinal (perdarahan berat, muntah berat dan diare yang persisten),
melalui ginjal (misalnya diabetes melitus atau insipidus, diuretik dosis tinggi,
poliuria setelah gagal ginjal akut) atau melalui kulit (luka bakar, keringat
berlebihan tanpa intake cairan). Kehilangan darah internal dapat menjadi
penyebab syok hipovolemik seperti perdarahan pada jaringan lunak (misalnya
fraktur terutama pada pinggang dan pelvis atau pada retroperitonium), thoraks
(misalnya ruptur pada aneurisme aorta) atau pada abdomen (ruptur pada
limpa) menjadi penumpukan cairan pada ileum, peritonitis, sirosis hati (asites)
atau pankreatisis akut (Silbernagl dan Lang, 2016).

C. Klasifikasi
Menurut Hardisman (2014), berdasarkan derajat kehilangan darah, syok
hipovolemik dapat dibagi menjadi 4 yaitu:
1. Pendarahan kelas I (kehilangan volume darah sampai 15%)
Gejala klinis pada derajat ini adalah minimal. Bila tidak ada
komplikasi maka akan terjadi takikardi minimal. Tidak terdapat perubahan
yang sangat pada tanda-tanda vital pasien. Bila penarahan kelas 1 ini
terjadi kepada orang yang sehat, maka pendarahan yang hilang tidak perlu
diganti.
2. Pendarahan kelas II (kehilangan volume darah 15% - 30%%)
Gejala yang di alami pasien pada pendarahan ini berupa takikardi
(HR >100x/menit), takipnea dan penurunan tekanan nadi. Tekanan sistolik
hanya mengalami sedirkit perubahan, sehingga penilaian menggunakan
tekanan nadi yang lebih dapat diandalkan daripada tekanan darah. Dapat
mengalami perubahan seperti cemas, ketakutan ataau permusuhan. Pasien
yang megalami pendarahan kelas II pasien dapat diberikan infus kristaloid
untuk menstabilkan pasien dan hanya sedikit yang memerlukan tranfusi
darah.
3. Pendarahan kelas III (kehilangan volume darah 30%-40%)
Pasien yang mengalami kehilaingan darah sebanyak 30%-40% (2000
ml pada orang dewasa) dapat menunjukkan gejala seperti perfusi yang
tidak adekuat, termasuk takikardi dan takipnea yang jelas, perubahan
status mental dan penurunan tekanan darah. Pasien pada kondisi ini
memerlukan tranfusi darah.
4. Pendarahan kelas IV (kehilangan volume darah >40%)
Gejala yang dialami pasien pada tahap ini berupa takikardi yang
jelas, tekanan nadi yang sempit, produksi urin hampir tidak ada dan
kesadaran akan menurun. Pada kondisi ini pasien sangat memerlukan
tranfusi cepat dan kadan intervensi pembedahan segera.
Penilaian Kelas 1 Kelas 2 Kelas 3 Kelas 4
Kehilangan darah
<15% 15-30% 30-40% >40%
(%)
Frekuensi jantung
<100 >100 >120 >140
(x/menit)
Tekanan darah
NORMAL NORMAL MENURUN MENURUN
(mmHg)
Normal
Tekanan nadi
atau Menurun Menurun Menurun
(x/menit)
meningkat
Frekuensi napas
14-20 20-30 30-40 >35
(x/menit)
Lebih Gelisah, Kebingungan,
Status mental Gelisah
gelisah kebingungan lesu
Tabel 1.1 Kelas Syok berdasarkan Klasifikasi ATLS
Sumber : Modifikasi dari Hardisman (2014)

D. Manifestasi Klinis
Menurut Hardisman (2013), pada tahap awal dengan perdarahan kurang
dari 10% gejala klinis dapat belum terlihat karena adanya mekanisme
kompensasi sistem kardiovaskuler dan saraf otonom. Mulai perdarahan sekitar
15% gejala dan tanda klinis mulai terlihat berupa peningkatan frekuensi napas,
jantung atau nadi (takikardi), pengisian nadi yang lemah, penurunan tekanan
nadi, kulit pucat dan dingin, pengisian kapiler yang lambat dan produksi urin
berkurang (Hardisman, 2013). Sedangkan menurut Karmel et al. (1990) dalam
Fitria (2010), manifestasi klinik dari syok hipovolemik adalah hipotensi,
pucat, berkeringat dingin, sianosis, oliguria, gangguan kesadaran dan sesak
napas.
Sedangkan menurut Lyrawati dan Achmad (2015), manifestasi klinis
kondisi hipovolemik tergantung pada penyebab terjadinya syok yang meliputi
tujuh sistem yaitu :
1. Sistem pernapasan : napas cepat dan dangkal.
2. Sistem sirkulasi : ekstremitas pucat, dingin dan berkeringat dingin, nadi
cepat dan lemah, hipoksia, tekanan darah turun bila kehilangan darah
mencapai 30%.
3. Sistem saraf pusat : gelisah, bingung sampai keadaan tidak sadar.
4. Sistem pencernaan : mual, muntah.
5. Sistem ginjal : produksi urin menurun <20 ml/jam (normalnya ½ sampai 1
cc/kgBB/jam).
6. Sistem kulit atau otot : turgor menurun, mata cekung, mukosa lidah kering,
sekresi oral mengental.
7. Sistem kardiovaskular : tekanan sistol kurang dari 80 mmHg atau TAR
(tekanan arterial rata-rata) kurang dari 60 mmHg atau turun >30%,
peningkatan laju dan kontraktilitas jantung.

E. Patofisiologi
Menurut Lyrawati dan Achmad (2015), patofisiologi syok dapat dibagi
menjadi tiga fase yaitu:
1. Fase Kompensasi
Penurunan curah jantung (cardiac output) terjadi sedemikian rupa
sehingga timbul gangguan perfusi jaringan namun belum menimbulkan
gangguan seluler. Mekanisme kompensasi dilakukan melalui
vasokonstriksi untuk menaikkan aliran darah ke jantung, otak, otot skelet
dan penurunan aliran darah jaringan. Faktor humoral dilepaskan untuk
menimbulkan vasokonstriksi dan menaikkan volume darah dengan
konservarsi air. Ventilisasi meningkat untuk mengatasi adanya peurunan
kadar oksigen di daerah arteri. Jadi pada fase kompensasi ini terjadi
peningkatan detak dan kontraktilitas otot jantung untuk menaikan curah
jantung dan peningkatan respirasi untuk memperbaiki ventilisasi alveolar.
Aliran darah ke ginjal menurun, namun ginjal mempunyai regulasi untuk
mempertahankan filtarsi glomeroulus. Apabila tekanan darah menurun,
maka filtrasi glomerolus juga menurun.

2. Fase Progresif
Terjadi jika tekanan darah arteri tidak mampu mengkompensasi
kebutuhan tubuh. Faktor utama berperan adalah jantung. Curah jantung
tidak lagi mencukupi sehingga terjadi gangguan saluran diseluruh tubuh.
Pada saat tekanan darah arteri menurun, hipoksia jaringan bertambah
nyata, gangguan seluler, metabolism terganggu, produk metabolisme
menumpuk dan akirnya terjadi kematian sel. Dinding pembuluh darah
menjadi lemah, tak mampu berkontraksi sehingga terjadi bendungan vena,
vena balik (venous return) menurun.
Peristiwa ini dapat menyebabkan trombosis kecil-kecil sehingga
dapat terjadi koagulopati intravaskuler yang luas (DIC = Disseminated
Intravascular Coagulation). Menurunnya aliran darah ke otak
menyebabkan kerusakan pusat vasomotor dan respirasi di otak. Keadaan
ini menambah hipoksia jaringan. Hipoksia dan anoksia menyebabkan
terlepasnya toksin dan bahan lainnya dari jaringan (histamin dan
bradikinin) yang ikut memperburuk terjadinya shock (vasodilatasi daan
memperlemah fungsi jantung). Iskemia dan anoksia usus menimbulkan
penurunan integritas mukosa usus, pelepasan toksin dan invasi bakteri
usus ke sirkulasi. Terjadi invasi bakteri dan penurunan fungsi fungsi
detoksifikasi hepar. Dapat timbul sepsis, DIC bertmbah nyata, integritas
sistem retikuloendotelial rusak, integritas mikro sirkulasi juga rusak.
Hipoksia jaringan juga menyebabkan perubahan metabolisme dari aerobik
menjadi anaerobik. Akibatnya terjadi asidosis metabolik, terjadi
peningkatan asam laktat ekstraseluler dan timbunan asam karbonat di
jaringan.
3. Fase Ireversibel
Fase ini terjadi karena kerusakan seluler dan sirkulasi sedemikian
luas sehingga tidak dapat diperbaiki. Kekurangan oksigen mempercepat
timbulnya shock. Jantung tidak mampu memompa darah yang cukup, paru
menjadi kaku, timbul edema dan akhirnya anoreksia dan hiperkapnea.
F. Pathway

Gambar 1.1 Pathway Syok Hipovolemik


Sumber : Silbernagl dan Lang (2016)
G. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang biasanya berdasarkan gejala dan manifestasi
klinis (Swearingen, 2016). Menurut Swearingen (2016), pemeriksaan
penunjang pada syok hipovolemik yaitu :
1. Pemeriksaan nilai Arterial Blood Gas (ABG)
Hal ini dapat menunjukkan asidosis atau alkalosis respiratorik
(bikarbonat [HCO3-] kurang dari 22 mEq/L dan pH kurang dari 7,40)
disebbakan oleh metabolisme anaerob.
2. Penghitungan urine output
Kurang dari 30 mL/hari (0,5 mL/kg/jam) mengindikasikan
penurunan perfusi jaringan dan penurunan fungsi ginjal.
3. Blood urea nitrogen (BUN) dan kreatinin
Meningkat dengan penurunan perfusi ginjal.
4. Level serum elektrolit
Mengidentifikasi komplikasi pada ginjal dan disfungsi metabolik
dengan hiperlaktatemia dan menghitung level elektrolit.
5. Kultur darah, sputum, luka dan urine
Bertujuan untuk mengidentifikasi organisme kausatif pada syok septik.
6. Penghitungan White Blood Cell (WBC)
Wajib dilakukan pada syok septik untuk mengetahui infeksi.
Peningkatan eosinofil dapat terjadi pada syok anafilatik.
7. Penghitungan darah lengkap (Complete Blood Count atau CBC)
Hematokrit (Hct) dan hemoglobin (Hb) dapat meningkat pada
beberapa dehirasi berat atau meningkat pada kasus hemoragik.
H. Penanganan
1. Penanganan Gawat Darurat
Langkah pertolongan pertama dalam menangani syok menurut
Alexander dan Proctor (1993) dalam Fitria (2010), ada tiga yaitu :
a. Posisi Tubuh
1) Posisi tubuh penderita diletakkan berdasarkan letak luka. Seacara
umum posisi penderita dibaringkan telentang dengan tujuan
meningkatkan aliran darah ke organ-organ vital.
2) Apabila terdapat trauma pada leher dan tulang belakang, penderita
jangan digerakkan sampai persiapan transportasi selesai, kecuali
untuk menghindari terjadinya luka yang lebih parah atau untuk
memberikan pertolongan pertama seperti pertolongan untuk
membebaskan jalan napas.
3) Penderita yang mengalami luka parah pada bagian bawah muka
atau tidak sadar harus dibaringkan pada salah satu sisi tubuh
(berbaring miring) untuk memudahkan cairan keluar dari rongga
mulut dan untuk menghindari sumbatan jalan nafas oleh muntah
atau darah. Penanganan yang sangat penting adalah meyakinkan
bahwa saluran nafas tetap terbuka untuk menghindari terjadinya
asfiksia.
4) Penderita dengan luka pada kepala dapat dibaringkan telentang
datar atau kepala agak ditinggikan. Tidak dibenarkan posisi kepala
lebih rendah dari bagian lainnya.
5) Kalau masih ragu tentang posisi luka penderita, sebaiknya
penderita dibaringkan dengan posisi telentang datar.
6) Pada penderita-penderita syok hipovolemik, baringkan penderita
telentang dengan kaki ditinggikan 30 cm sehingga aliran darah
balik ke jantung lebih besar dan tekanan darah menjadi meningkat.
Tetapi bila penderita menjadi lebih sukar bernafas atau penderita
menjadi kesakitan segera turunkan kakinya kembali.
b. Pertahankan Respirasi
1) Bebaskan jalan napas, lakukan penghisapan bila ada sekresi atau
muntah.
2) Tengadah kepala-topang dagu, kalau perlu pasang alat bantu jalan
nafas (Gudel/oropharingeal airway).
3) Berikan oksigen 6 liter/menit.
4) Bila ada pernapasan atau ventilasi tidak adekuat, berikan
oksigenasi dengan pompa sungkup (Ambu bag) atau ETT.
c. Pertahankan Sirkulasi
Segera pasang infus intravena. Bisa lebih dari satu infus. Pantau
nadi, tekanan darah, warna kulit, isi vena, produksi urin dan CVP.
2. Penanganan secara Medis
Penatalaksanaan terapi yang utama dilakukan untuk kondisi syok
hipovolemik yaitu resusitasi cairan. Resusitasi cairan harus dimulai segera
bila tanda-tanda kehilangan cairan terlihat, bukan saat terjadinya
penurunan tekanan darah yang jelas atau tak terdeteksi (Hardisman, 2014).
Tujuan resusitasi cairan yaitu untuk memelihara keseimbangan dan
komposisi kompartemen cairan tubuh dan mencapai normovolemi dan
hemodinamik stabil (Hardisman, 2014). Terapi cairan digunakan untuk
mengganti volume cairan intravaskular (perfusi) atau volume cairan
interstitial (dehidrasi) atau untuk memperbaiki abnormalitas elektrolit
hiperkalsemia, hipokalemia, hiper atau hiponatremia (Hardisman, 2014).
Pemberian tranfusi darah dan resusitasi koloid lain (albumin dan volume
sintetis) dapat digunakan untuk proses resusitasi terutama jika penyebab
utamanya adalah kehilangan darah (Morton dan Fontaine, 2013). Packed
red blood cells digunakan untuk memaksimalkan kapasitas pembawa
oksigen (Morton dan Fontaine, 2013).
Menurut Hardisman (2014), cairan yang digunakan untuk
menangani syok hipovolemik ada dua yaitu :
1. Cairan kristaloid
Cairan kristaloid merupakan larutan dengan air (aqueous) yang
secara umum larutan kristaloid mampu menembus membran kapiler
dari kompartemen intravaskuler ke kompartemen vaskuler. Hanya 25%
dari jumlah pemberian awal yang tetap berada intravascular, sehingga
penggunaannya membutuhkan vlume 3-4 kali dari volume plasma
yang hilang. Cairan ini bersifat isotonic, sangat efektif utuk pasien
yang membutuhkan cairan dengan segera. Contoh cairan kristaloid
yaitu Ringer Laktat, normal saline, NaCl, Dexstrosa, Ringer asetat.
2. Cairan koloid
Cairan koloid merupakan larutan yang bermolekul besar yang
sulit menembus membran kapiler dan digunakan untuk mengganti
cairan intravaskuler. Umumnya pemberiannya lebih kecil, onsetnya
lambat, durasinya lebih panjang, efek samping lebih banyak (reaksi
alergi) dan lebih mahal. Cairan koloid memiliki sifat seperti protein
plasma sehingga cenderung tidak keluar dari membran kapiler dan
tetap berada dalam pembuluh darah, bersifat hipertonik dan dapat
menarik cairan dari pembuluh darah. Oleh karena itu penggunaannya
membutuhkan volume yang sama dengan jumlah volume plasma yang
hilang. Cairan ini digunakan untuk menjaga dan meningkatkan tekanan
osmosis plasma. Contoh cairan koloid adalah albumin, HES
(hidroxyetyl starches) dekstran dan gelatin.
BAB III
PROSES KEPERAWATAN

A. Diagnosa Keperawatan
Menurut Swearingen (2016), diagnosa keperawatan yang mungkin
muncul pada syok hipovolemik adalah :
1. Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan perifer; risiko penurunan perfusi
jaringan jantung; risiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak; risiko
ketidakseimbangan elektrolit berhubungan dengan penurunan volume
darah disertai dengan syok.
2. Ketidakefektifan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan suplai
oksigen dengan penurunan fungsi otot respiratori.
B. Rencana Asuhan Keperawatan
Perencanaan
No Diagnosa
Tujuan Intervensi Rasional
1 Risiko ketidakefektifan perfusi Outcome : selama 1-2 jam setelah 1. Kaji status perfusi jaringan perifer. 1. Penemuan signifikan
jaringan perifer; risiko penurunan perawatan, perfusi jaringan pasien termasuk teraba dingin
perfusi jaringan jantung; risiko adekuat dengan skala lebih dari 2+ atau dan pucat pada
ketidakefektifan perfusi jaringan pada skala 0,4+; brisk capillary refill ekstremitas, penurunan
otak; risiko ketidakseimbangan (kurang dari 2 detik); tekanan darah nadi dan CRT yang
elektrolit berhubungan dengan sistol lebih dari 90 mmHg; SaO2 lebih lambat. Ketidakefektifan
penurunan volume darah disertai dari 92%; mean arterial pressure (MAP) perfusi jaringan perifer
dengan syok. 70-100 mmHg; HR reguler dan 100 merupakan tanda awal
x/menit atau kurang; tidak ada penurunan cardiac output
perubahan signifikan pada status mental dan syok.
(orientasi, tempat dan waktu); elektrolit 2. Kaji TD dan indikator dari 2. Indikator hipotensi
dalam rentang normal dan urin output hipotensi pada frekuan interval. termasuk penurunan
kurang lebih 30 mL/jam (0,5 tekanan darah sistolik
mL/kg/jam). lebih dari 20 mmHg di
bawah rata-rata nilai
normal pasien, pusing,
perubahan warna dan
penurunan urin output.
3. Kaji kelelahan, konfusi, perubahan 3. Hal ini merupakan
status mental dan penurunan level indikator pada
of consciousness (LOC). ketidakefektifan perfusi
jaringan serebral atau
serebral hipoksia.
4. Monitor tanda-tanda nyeri dada 4. Hal ini merupakan
dan nadi iregular. indikator pada penurunan
perfusi arteri koroner.
5. Monitor urin output tiap jam dan 5. Penurunan urin output
timbang berat badan setiap hari. merupakan gejala
penurunan cardiac output
dan ketidakefektifan
perfusi jaringan ginjal.
Penambahan berat badan
dapat menjadi tanda
retensi cairan yang terjadi
bersamaan dengan
ketidakefektifan perfusi
jaringan ginjal.
6. Monitor hasil laboratorium untuk 6. BUN lebih dari 20 mg/dL
kadar BUN dan kreatinin. dan kreatinin lebih dari
1,5 mg/dL merupakan
sinyal dari
ketidakefektifan perfusi
jaringan ginjal.
7. Monitor ketidakseimbangan serum 7. Hiperlaktemia (lebih dari
elektrolit Na+ dan K+. Kaji tanda- 2-4 mmol/L),
tanda hiperkalemia seperti hipernatremia (Na+ lebih
kelemahan otot, hiporefleksia, nadi dari 147 mEq/L) dan
iregular dan untuk hiponatremia hiperkalemia (K+ lebih
seperti retensi cairan dan edema. dari 5,0 mEq/L)
merupakan gejala
komplikasi ginjal dan
metabolik dari syok
sebagai hasil dari
ketidakefektifan perfusi
ginjal dan
ketidakmampuan ginjal
dalam regulasi laktat dan
elektrolit.
8. Hindari penggunaan sedatif atau 8. LOC dapat terjadi karena
obat penenang. medikasi ini dan jaringan
hipoperfusi membuat
penyerapan tidak dapat
diprediksi.
9. Berikan posisi supinasi jika terjadi 9. Posisi supinasi dapat
hipotensi berat. membalikkan tekanan
balik vena. Tekanan darah
harus kurang lebih 80/60
mmHg untuk perfusi
koroner dan ginjal yang
adekuat.
10. Hindari pemberian terapi cairan 10. Infusion yang terlalu
koloid yang cepat pada perawatan cepat pada cairan koloid
syok hipovolemik. dapat menimbulkan
edema paru.
11. Kolaborasikan pemberian cairan 11. Intervensi dilakukan
dan medikasi sesuai resep dokter berdasarkan keadaan
berdasarkan tipe syok, keadaan klinis dan keparahan
klinis pasien dan intervensi derajat syok. Pasien
hemodinamik. dipindahkan ke ruang
12. Penanganan Syok Hipovolemik : ICU untuk monitoring
a. Kontrol kehilangan volume hemodinamik secara
cairan invasif dengan kateter
b. Tranfusi darah arteri pulmonal dan
c. Albumin penggunaan vasoactive
d. Ringer laktat intravenous (IV) drip
untuk meningkatan
perfusi jaringan.
a. Faktor esensial pada
komplikasi penurunan
ancaman hidup dan
kematian.
b. Untuk meningkatkan
transport O2 pada
jaringan ketika sudah
terjadi kehilangan
darah lebih dari 2
liter. Kadang
dikombinasikan
dengan darah red
blood cells (RBC) dan
cairan kristaloid.
c. Cairan koloid untuk
meningkatkan volume
vaskuler.
d. Cairan isotonik untuk
menggantikan
kehilangan cairan,
elektrolit dan ion
dengan perdarahan.
2 Ketidakefektifan pertukaran gas Outcome : selama 1-2 jam setelah 1. Monitor hasil AGD. 1. Kemunculan hipoksemia
berhubungan dengan perubahan perawatan, pertukaran gas pasien (penurunan PaO2),
suplai oksigen dengan penurunan adekuat dengan SaO2 lebih dari 92%; asidosis (penurunan pH,
fungsi otot respiratori. PaO2 kurang lebih 80 mmHg; PaCO2 45 peningkatan PaCO2 dan
mmHg atau kurang; pH pada atau peningkatan level laktat)
mendekati 7,35; menunjukkan eupnea merupakan gejala
dan orientasi orang, tempat dan waktu. ketidakefektifan
pertukaran gas.
2. Penurunan oksigen jika
saturasi sama dengan 92%
2. Monitor SaO2. atau kurang.
3. Kecepatan bernapas
menunjukkan distres
3. Kaji respirasi selama 30 menit, pernapasan dan
catat dan laporkan kemunculan kemungkinan kegagalan
takipnea atau dyspnea. respiratori. Takipnea dan
dyspnea juga merupakan
tanda dari nyeri,
kecemasan atau infeksi
dan harus dievaluasi
secara menyeluruh.
4. Kaji perubahan status mental, 4. Kebanyakan dari hal ini
kelelahan, iritabilitas dan konfusi. merupakan gejala
hipoksia.
5. Pastikan kepatenan jalan napas 5. Tindakan ini
pasien; lakukan suction sekret jika memungkinkan
dibutuhkan. keefektifan pertukaran
gas.
6. Ajarkan pasien bernapas pelan dan 6. Tindakan ini perlahan-
dalam melalui hidung dan lahan meningkatkan
dihembuskan melalui mulut. pertukaran gas alveolar
pada siklus pernapasan.
7. Kolaborasikan pemberian O2. 7. Untuk meningkatkan
suplai oksigen dan
membantu mencegah efek
kekeringan pada mukosa
oral dan nasal.
Tabel 1.2 Rencana Asuhan Keperawatan
Sumber : Swearingen (2016)
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Syok hipovolemik adalah syok yang terjadi akibat berkurangnya atau
hilangnya volume pada plasma di intavaskuler yang menyebabkan penurunan
metabolisme. Syok hipovolemik dapat disebabkan karena oligemia,
perdarahan, trauma operasi, combustio atau luka bakar dan lain-lain.
Manifestasi klinik dari syok hipovolemik adalah hipotensi, pucat, berkeringat
dingin, sianosis, oliguria, gangguan kesadaran dan sesak napas.
Syok hipovolemik merupakan kondisi yang harus segera ditangani.
Dalam kondisi gawat darurat maka posisi tubuh sangat diperhatikan dan juga
harus mempertahankan respirasi dan sirkulasi. Pasien yang mengalami syok
hipovolemik harus segera mendapatkan resusitasi cairan dengan menggunakan
cairan kristaloid maupun koloid yang berguna untuk mengganti cairan tubuh
yang hilang dan juga untuk memenuhi kebutuhan cairan pada pasien.

B. Saran
1. Bagi Perawat
Perawat sebagai tim kesehatan yang paling sering berhubungan
dengan pasien sangat perlu meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan
agar mampu melakukan tindakan kegawatdaruratan pada pasien secara
komprehensif dan optimal. Perawat juga harus bekerjasama dengan tim
kesehatan lain (dokter) dalam melakukan asuhan keperawatan pada pasien
dengan syok hipovolemik.
2. Bagi Keluarga
Keluarga agar lebih kooperatif selalu memperhatikan pasien agar
tidak terjadi komplikasi yang lebih parah.
DAFTAR PUSTAKA

Dewi, Enita dan Sri Rahayu. 2010 “Kegawatdaruratan Syok Hipovolemik”.


Berita Ilmu Keperawatan. 2(2): hlm 93-96.

Fitria, Nur Cemy. 2010.”Syok dan Penanganannya”. GASTER. 7(2): hlm 593-
604.

Hardisman. 2014. Gawat Darurat Medis Praktis. Cetakan pertama. Gosyen


Publishing.Yogyakarta.

Hardisman. 2013. “Memahami Patofisiologi dan Aspek Klinis Syok Hipovolemik:


Update dan Penyegar”. Jurnal Kesehatan Andalas. 2(3): hlm 178-182.

Kakunsi, Yane D et al. 2015. “Hubungan Pengetahuan Perawat dengan


Penanganan Pasien Syok Hipovolemik di UGD RSUD Pohuwato”. Buletin
Sariputra. 5(3): hlm 90-96.

Lyrawati, Diana dan Anisyah Achmad. 2015. Modul Bahan Ajar: Farmakoterapi
Hipertensi, Gagal Jantung dan Syok. Universitas Brawijaya. Malang.

Morton, Patricia Gonce dan Dorrie K Fontaine. 2013. Critical Care Nursing : A
Holistic Approach. 10th edition. Wolters Kluwer Health. China.

Putra, I Ketut Bawantika. 2016. “Hypovolemic Shock”. Faculty of Medicine


Universitas Udayana. Bali.

Silbernagl, Stefan dan Florian Lang. 2016. Color Atlas of Pathophysiology. 3rd
edition. Thieme. Germany.

Swearingen, Pamela L. 2016. All-in-One Nursing Care Planning Resource:


Medical-Surgical, Pediatric, Maternity and Psychiatric. 4th ed. Elsevier.
Missouri.

Anda mungkin juga menyukai