Anda di halaman 1dari 21

Referat

CONSULTATION LIAISON PSYCHIATRIC


PADA KANKER PARU

Oleh:

Oleh:
Elisha Jethro Solaiman 04084821618226
Aulia Alvianti Akbar 04054821719008
Faris Naufal Afif 04111401077

Pembimbing:
dr. H. M. Zainie Hassan AR, Sp.KJ (K)

DEPARTEMEN ILMU KEDOKTERAN JIWA


RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2017
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur senantiasa penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha
Esa atas berkat, rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
tugas ilmiah yang berjudul “Consultation Liaison Psychiatry pada Kanker Paru”
sebagai salah satu tugas yang merupakan bagian dari sistem pembelajaran
kepaniteraan klinik, khususnya di Departemen Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas
Kedokteran Universitas Sriwijaya RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih terkhusus kepada
dr. H. M. Zainie Hasan, AR, SpKJ (K) selaku pembimbing yang telah membantu
dalam penulisan dan memberi masukan sehingga tugas ilmiah ini dapat selesai.
Penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak sekali kekurangan dalam
penulisan tugas ilmiah ini. Oleh karena itu, segala saran dan kritik yang bersifat
membangun sangat penulis harapkan. Akhir kata, semoga tugas ilmiah ini
bermanfaat.

Palembang, September 2017

Tim Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................ ii
DAFTAR ISI.......................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Consultation Liaison Psychiatry ..................................................................... 2
2.2 Kelainan Psikiatri pada Pasien Kanker Paru................................................... 2
2.3 Epidemiologi................................................................................................... 3
2.4 Faktor Predisposisi.......................................................................................... 5
2.5 Gangguan Kejiwaan dan Manajemennya........................................................10
2.6 Terapi...............................................................................................................12
2.7 Komplikasi......................................................................................................14
2.8 Prognosis.........................................................................................................15
BAB III KESIMPULAN.......................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................17

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Kanker paru merupakan penyebab utama keganasan di dunia, mencapai


hingga 13 persen dari semua diagnosis kanker. Selain itu, kanker paru juga
menyebabkan 1/3 dari seluruh kematian akibat kanker pada laki-laki. Kanker paru
dalam arti luas adalah semua penyakit keganasan di paru, mencakup keganasan
yang berasal dari paru sendiri (primer) dan metastasis tumor di paru. Metastasis
tumor di paru adalah tumor yang tumbuh sebagai akibat penyebaran (metastasis)
dari tumor primer organ lain. Definisi khusus untuk kanker paru primer yakni
tumor ganas yang berasal dari epitel bronkus. Kanker paru-paru adalah
pertumbuhan sel kanker yang tidak terkendali dalam jaringan paru-paru dapat
disebabkan oleh sejumlah karsinogen, lingkungan, terutama asap rokok.

Pada penderita yang didiagnosis sakit kanker secara umum ada tiga bentuk
respons emosional yang bisa muncul yaitu penolakan, kecemasan dan depresi.
Dalam keadaan tersebut sangat sulit bagi pasien kanker untuk dapat menerima
dirinya karena keadaan dan penanganan penyakit kanker ini dapat menimbulkan
stres yang terus menerus sehingga tidak hanya mempengaruhi fisik tapi juga
penyesuaian psikologi individu. Penderita kanker umumnya akan memiliki
penerimaan diri yang rendah, harga diri yang rendah, merasa putus asa, bosan,
cemas, frustasi, tertekan dan takut kehilangan seseorang. Gangguan emosional
dan gangguan kejiwaan sering terjadi pada pasien dengan kanker stadium lanjut.
Jika perasaan rendah tersebut dirasakan dalam waktu cukup lama dapat
mengakibatkan depresi. Oleh sebab itu penderita kanker umumnya mengalami
sakit dua kali lipat dari kebanyakan sakit lain yaitu selain menderita penyakit
kanker itu sendiri juga menderita depresi dan kecemasan. Sampai saat ini belum
ada data tentang terjadinya kecemasan dan depresi pada pasien kanker paru saat
pertama kali mengetahui tentang sakitnya.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Consultation-Liaison Psychiatry


Consultation-Liaison Psychiatry (CLP) merupakan suatu perkembangan
lebih lanjut dari psikiatri klinik yang merupakan subspesialisasi dalam psikiatri
yang menginkorporasikan pelayanan klinis, pengajaran, dan penelitian pada
perbatasan antara psikiatri dengan kedokteran. Keterlibatan CLP pada penanganan
dan perawatan pasien diharapkan akan menghasilkan terapi yang maksimal,
dibandingkan bila hanya diterapi oleh salah satu bidang ilmu kedokteran.
Consultation Liaioson Psychiatry (CLP) berkaitan dengan pelayanan klinis,
pengajaran, dan penelitian dalam suatu pengaturan, di mana psikiatri dan segenap
ilmu kedokteran lainnya bertemu. Karena didasarkan terutama dalam rumah sakit
umum, ia membutuhkan pengetahuan kedokteran yang baik dan ketrampilan
khusus dalam perawatan psikiatri pada gangguan emosi tertentu dan gejala
penyakit medis pasien.
Masalah yang dihadapi oleh tim CLP seringkali berbeda dengan mereka
yang hanya bekerja sebagai psikiater umum, karena kesulitan yang dihadapi
pasien mereka tidak sesuai dengan kategori diagnostik pada umumnya. Seorang
CLP harus mengidentifikasi interaksi antara psikologis, sosial, dan fisik serta
bagaimana keseimbangan ketiganya memberikan kontribusi pada permasalahan
yang dihadapi pasien. Pelayanan bertujuan untuk meminimalkan intervensi medis,
mempersingkat rawat inap, meningkatkan kualitas hidup, dan mengurangi tekanan
dalam lingkungan medis dan bedah.

2.2 Kelainan Psikiatri pada pasien kanker paru


Kanker menjadi salah satu penyakit yang paling ditakuti dokter untuk
disampaikan kepada pasien, meskipun pengobatannya telah banyak mengalami
kemajuan. Kebanyakan orang berpikir bahwa keganasan berhubungan dengan rasa
sakit berat, kerusakan, kualitas hidup yang terganggu, dan pengurangan harapan
hidup secara drastis. Pengobatan berupa operasi seringkali ditakuti karena hasil

2
operasi yang menyebabkan perubahan penampilan dan bentuk tubuh. Kemoterapi
dan radioterapi juga sering ditakuti. Kemoterapi ditakuti karena telah terbayang
akan rasa mual, muntah, rasa lelah, dan rambut rontok.
Oleh sebab itu, tidak mengherankan jika prevalensi penderita psikiatrik pada
pasien keganasan sangat tinggi. Beberapa kanker berhubungan dengan masalah
yang melibatkan kehilangan anatomi, kesulitan seksual, dan berkurangnya
fertilitas. Literatur menunjukan setengah pasien kanker memiliki gangguan klinis
jiwa setiap saat. Gangguan afektif paling sering terjadi. Seperempat pasien wanita
mengalami gangguan afektif setelah menjalani pengobatan operasi kanker
payudara. Parle et al. mengadakan studi prospektif terhadap 600 pasien kanker
selama 2 tahun dan mendapatkan hasil adanya gangguan afektif pada 20% pasien
tersebut. Studi Amerika menggunakan Brief Symptom Inventory memeriksa
sampel pasien secara acak pada 12 pusat onkologi dan mendapatkan hasil bahwa
35% diantaranya memiliki gangguan psikiatrik. Sharpe et al. menemukan 8%
pasien yang mendatangi pusat kanker nasional memiliki gangguan depresi berat
yang kebanyakan tidak mendapakan terapi efektif yang potensial.
Banyaknya penderita kanker yang mengalami gangguan kejiwaan
menunjukan pentingnya diagnosa dan penatalaksanaan terhadap gangguan
tersebut agar tidak semakin memperberat penyakit kanker yang ada dan
menimbulkan penyakit lain. Tujuan referat ini adalah untuk membahas gangguan
psikiatrik yang terjadi pada penderita kanker, penyebab, dan penatalaksanaannya
dari segi kejiwaan.

2.3 Epidemiologi
Kanker paru merupakan penyebab kematian utama dalam kelompok
kanker, setiap tahun terdapat lebih dari 1,3 juta kasus kanker baru di dunia yang
menyebabkan sekitar 1,1 juta kematian tiap tahunnya. Dua bentuk utama dari
kanker paru adalah kanker paru bukan karsinoma sel kecil yaitu sekitar 85% dari
semua kanker paru dan kanker paru karsinoma sel kecil meliputi sekitar 15% dari
kanker paru. Menurut klasifikasi International Association for the Study of Lung
Cancer (IASLC), terdapat tiga subtipe histologi Kanker Paru Karsinoma Bukan

3
Sel Kecil (KPKBSK), yaitu karsinoma sel skuamosa yang mempunyai prevalensi
25% dari kanker paru, diikuti dengan adenokarsinoma sekitar 40%, dan karsinoma
sel besar mempunyai prevalensi sekitar 10% dari kanker paru. Sekitar 15 % dari
karsinoma bronkogenik terdiri daripada kanker paru karsinoma sel kecil.
Data Rumah Sakit Persahabatan tahun 2004 melaporkan bahwa total kasus
keganasan rongga toraks tercatat 448 kasus dengan 262 kasus didiagnosis kanker
paru, 76% laki-laki dan 34% perempuan. Dari data tahun 2008 didapatkan 10%
penderita tidak menerima pengobatan dan salau satu alasannya adalah tidak siap
dengan kenyataan tentang penyakitnya. Dari penelitian di Rumah Sakit Persahabat
pada tahun 2015, didapatkan dari 70 pasien kanker paru, kecemasan ditemukan
pada 35 pasien (50%) dengan 23 orang (32,5%) diantaranya dikategorikan sebagai
kecemasan ringan, sedangkan 33 pasien (47%,1) ditemukan menderita depresi dan
28 orang (40%) diantaranya dikategorikan sebagai depresi ringan.
Hasil analisis menunjukan bahwa subjek yang mengalami kecemasan
komposisinya seimbang dengan subjek yang tidak mengalami kecemasan.
Penelitian yang dilakukan oleh Haris A pada tahun 2015 dapat disimpulkan bahwa
sebanyak 35 subjek yang mengalami kecemasan, didapatkan 23 subjek memiliki
derajat kecemasan ringan sebanyak 33 subjek (47,1%) mengalami depresi.
Diantara 33 subjek tersebut, mayoritas subjek memiliki derajat depresi ringan (28
subjek). Tidak ditemukan subjek yang mengalami derajat kecemasan berat, tetapi
terdapat 1 subjek yang mengalami depresi berat. Kecenderungan yang terjadi pada
derajat kecemasan ini mengikuti pola derajat depresi didapatkan jumlah subjek
yang tidak mengalami kecemasan 3 kali lebih banyak daripada subjek yang
mengalami kecemasan yang sedang (35 subjek tidak mengalami kecemasan
dibandingkan dengan 12 subjek yang mengalami kecemasan sedang). Semakin
berat derajat depresi, jumlah subjek yang mengalami depresi turut menurun
didapatkan jumlah subjek yang tidak mengalami depresi jauh lebih besar daripada
jumlah subjek yang mengalami depresi berat (37 subjek yang tidak mengalamai
depresi dibandingkan dengan 1 subjek yang mengalami depresi berat). Sebanyak
35 pasien yang mengalami kecemasan juga terdapat sebanyak 33 pasien
mengalami depresi.

4
2.4 Faktor Predisposisi Gangguan Psikiatrik Pada Penderita Kanker Paru
Ada beberapa faktor terkait keganasan yang perlu dipertimbangkan oleh
seorang dokter dalam memahami perkembangan gejala psikologis, yaitu sebagai
berikut:

2.4.1 Perjalanan penyakit


Kanker paru merupakan penyakit yang meninggalkan stigma. Kanker
bukan merupakan penyakit yang mudah diceritakan atau didiskusikan
dengan nyaman kepada orang lain bahkan pada keluarga sekalipun. Harapan
hidup rendah yang paling menyulitkan pasien terutama pasien usia muda.
Kebanyakan pasien hidup dengan rasa cemas akan berulangnya tumor dan
takut tidak akan hidup cukup lama untuk melihat anak mereka tumbuh
bahkan saat pengobatan mereka telah dianggap sukses. Penyakit kanker
berulang sering dikaitkan dengan rasa sakit yang muncul terus-menerus dan
kebanyakan pasien takut ketika pengobatan kuratif atau paliatif tidak lagi
tersedia.
Merokok merupakan predisposisi pasti kanker paru-paru, orofaring,
dan saluran pencernaan. Pasien dengan penyakit kanker sering merasa
bersalah karena memikirkan kontribusi mereka terhadap penyakitnya
sendiri. Terdapat rasa penyesalan mendalam terhadap pola kebiasaan yang
mereka percaya menyebabkan penyakit kanker paru tersebut seperti
merokok dan minum alkohol. Rasa bersalah pasien semakin meningkat
karena menyadari bahwa perubahan gaya hidup sekalipun tidak akan
memperbaiki atau mengubah penyakit kanker yang ada. Walaupun faktor
gaya hidup menyebabkan kanker masih belum jelas, namun pasien tetap
menyalahkan diri sendiri karena timbulnya penyakit tersebut. Pasien akan
bersifat menyalahkan diri sendiri dengan cara tidak mampu mengatasi
stress.
Beberapa pasien justru menyalahkan orang lain atas penyakitnya. Pada
kasus kanker yang berhubungan dengan pekerjaan, alasan ini mungkin baik.

5
Seperti kanker paru-paru yang berhubungan dengan proses bekerja dan
penggunaan bahan kimia spesifik saat bekerja. Pekerja dapat meminta
pertanggungjawaban jika peringatan terhadap hal tersebut memang tidak
adekuat untuk melindungi pekerja terhadap bahan berbahaya tersebut.
Pengetahuan akan efek perokok pasif telah meningkat dan pekerja telah
mengambil langkah dengan melarang merokok di tempat bekerja karena jika
tidak, akan ada kompensasi dalam jumlah besar terhadap penyakit yang
diinduksi faktor yang tak bisa dihindari pada tempat kerja.

2.4.2 Efek pengobatan


Pengobatan keganasan seringkali amat sangat tidak menyenangkan.
Intervensi pembedahan dibutuhkan pada beberapa stadium. Kemoterapi
memiliki banyak efek samping buruk seperti menginduksi gejala psikologis.
Kemoterapi dapat menyebabkan kecemasan terus-menerus akibat mual dan
muntah yang sering terjadi walaupun obat antiemetik telah mengurangi
frekuensinya. Mual dan muntah bisa sangat berat pada pengobatan pertama
atau kedua. Pasien menjadi cemas dan mual akibat pengobatan dan menolak
untuk berobat kembali walaupun pasien sadar bahwa pengobatan tersebut
diperlukan untuk memperbaiki prognosis. Respon cemas akan terbentuk
bahkan pada kasus berat, kecemasan dapat terjadi ketika melewati rumah
sakit atau ketika disebutkan nama pegawai rumah sakit atau nama rumah
sakitnya.
Rambut rontok juga sering menjadi sumber stres, terutama pada
wanita. Walaupun rontoknya rambut dapat kembali lagi, namun beberapa
pasien menjadi terpengaruh terhadap kebutuhan akan rambut palsu untuk
mencegah penolakan sosial dan depresi.
Obat kemoterapi seperti vincristine dan t-asparaginase memiliki efek
langsung pada fungsi serebral yang menyebabkan depresi dan delirium.
Steroid sebagai kombinasi dengan kemoterapi juga terkenal memiliki risiko
yang menginduksi depresi, mania, atau delirium.

6
Radioterapi lebih dapat ditoleransi dibandingkan kemoterapi. Namun,
radioterapi dapat menyebabkan rasa lelah berat sehingga menimbulkan
depresi. Iradiasi terhadap otak menyebabkan kelelahan berat dibandingkan
iradiasi pada area lain. Atrofi serebral merupakan komplikasi iradiasi otak
dan terdapat bukti klinis terjadinya demensia.

2.5.3 Penurunan fertilitas


Radioterapi dan kemoterapi memiliki efek berbahaya pada fungsi
gonad dan mempengaruhi fungsi seksual dan fertilitas yang menyebabkan
stres emosional mendalam sehingga menyebabkan berkembangnya
gangguan depresi pada pasien, pasangan, atau keduanya. Oleh karena itu,
tidak mengherankan lagi jika sering terjadi perselisihan dalam perkawinan.
Testis paling sering terkena. Efek radioterapi dan kemoterapi pada
epitelium germinal menyebabkan berkurangnya spermatogenesis. Terdapat
bukti adanya hipogonadisme. Pada beberapa kondisi keganasan, terdapat
bukti berkurangnya spermatogenesis sebelum pengobatan dimulai. Selama
radioterapi, seluruh pencegahan untuk melindungi testis dari pajanan
terhadap radiasi telah dilakukan. Jika kemoterapi yang dipilih, maka dipilih
regimen toksik tanpa mengurangi efikasi. Efek pengobatan terhadap
fertilitas harus didiskusikan secara penuh dengan pasien saat tahap
perencanaan pengobatan kanker. Fungsi testikular dapat kembali lagi, tapi
jika tidak kembali maka penyimpanan sperma beku, cryopreservation,
sudah tersedia secara luas bagi laki-laki yang ingin menjadi ayah ketika
pengobatan telah selesai. Teknik fertilisasi in-vitro dapat memperbaiki
kemungkinan fertilitas jika kualitas semen jelek.
Fungsi ovarium juga dapat tertekan akibat pengobatan yang
menyebabkan hanya sedikitnya jumlah absolut oosit terutama pada wanita
dengan usia dekade kedua akhir atau lebih tua saat pengobatan. Wanita perlu
diinformasikan secara baik akan berkurangnya fertilitas dan variasi pilihan
yang tersedia untuk memperbaiki kemungkinan konsepsi dan kehamilan
yang sukses. Konseling seharusnya tersedia untuk memungkinkan wanita

7
berdiskusi tentang pilihan pengobatan agar tidak terburu-buru mengambil
keputusan. Amenorea sering terjadi dan biasanya disertai penurunan libido
dan manifestasi lain dari prematur, menopause palsu. Terapi pengganti
hormon seharusnya dipertimbangkan kecuali jika terdapat kontraindikasi
karena alasan medis lain. Oosit dapat dipanen dengan USG (ultrasound
guidance) setelah stimulasi ovarium tiruan. Setelah cryopreservation,
fertilisasi in-vitro dapat dicoba kemudian. Terdapat laporan terjadinya
kehamilan setelah cryopreservation dari jaringan ovarium yang di tanam
ulang pada pedikel ovarium.

2.4.4 Faktor organik lain


Tumor serebral, baik primer maupun sekunder, telah diketahui sebagai
predisposisi pada gejala psikiatri dalam sebagian besar kasus. Hal ini dapat
berkembang sebelum tanda-tanda fokal neurologi, epilepsi atau kejadian
peningkatan tekanan intrakranial bermanifestasi dan pasien akhirnya
menemui psikiater. Gejala-gejala psikiatri biasanya berkembang sepanjang
perjalanan penyakit, sejak pertama sekali ditegakkannya diagnosis tumor.
Perubahan kognitif dapat dikenali dengan baik. Gangguan pada tingkat
kesadaran merupakan tanda yang paling sering muncul dan dapat diikuti
oleh berbagai gejala untuk memenuhi diagnosis delirium. Perubahan
kognitif dapat terjadi tanpa penurunan kesadaran. Jika perubahan
mempengaruhi kapasitas intelektual secara keseluruhan, pasien akan tampak
mengalami proses demensia. Di sisi lain, kemungkinan dapat terjadi defisit
fokal seperti disfasia, dispraksia atau sindrom amnesia. Perubahan
kepribadian, tanpa kejadian demensia lain, dapat menunjukkan adanya
tumor pada lobus frontalis, terutama saat pertumbuhannya masih lambat
dan belum menyebabkan tanda-tanda neurologis yang jelas. Tumor lobus
frontalis bisa juga ditunjukkan dengan adanya gejala klasik depresi. Onset
gejala psikiatri yang muncul pertama kalinya pada usia pertengahan atau
lebih tua, tanpa faktor predisposisi psikologi yang jelas, dapat meningkatkan

8
kecurigaan bahwa terdapat penyebab fisik yang mendasari dan perlu
dilakukan penilaian medis secara keseluruhan.
Efek jauh dari kanker menyebabkan berkembangnya gangguan
neuropsikiatri. Pada beberapa kasus, efek tersebut merupakan komplikasi
metabolik seperti hiperkalemia atau hiponatremia. Pada kasus lainnya,
etiologi diperkirakan berkaitan dengan immunologi karena produksi
antibodi oleh tumor dengan aktivitas antineuronal. Efek klinis ini dikenal
sebagai sindrom paraneoplastik. Encephalomyelitis merupakan salah satu
komplikasi dan biasanya ditunjukkan dengan gambaran klinis delirium.
Kadang kala, patologi terbatas pada sistem limbik dan menyebabkan limbic
encephalomyelitis yang ditunjukkan dengan kehilangan memori onset cepat
disertai kegelisahan dan depresi.

2.4.5 Stress terdahulu dan gangguan psikiatri


Gangguan psikiatri pada penderita kanker memiliki hubungan dekat
dengan status mental pasien sebelum diagnosis. Sebagaimana telah
diketahui bahwa hidup yang penuh stres merupakan predisposisi terjadinya
kanker. Peristiwa kehidupan yang penuh stres lebih memiliki hubungan
dengan penyakit depresi. Jadi, setiap pasien yang menghadapi kesulitan
besar lain yang berbeda ketika kankernya mulai bermanifestasi lebih rentan
mengalami depresi.
Jika pasien sudah mengalami depresi sebelum diagnosis, depresinya
akan cenderung kambuh atau menjadi lebih buruk. Ada bukti yang
menyatakan bahwa orang yang menderita penyakit jiwa lebih rentan untuk
mengalami kanker. Dalam tinjauan ekstensif literatur Harris dan
Barraclough (1998) menemukan bahwa angka kematian akibat penyakit
alami dua kali lipat dari populasi total lebih dari 50.000 pada seluruh
pengobatan psikiatri. Tingkat kematian penderita kanker meningkat secara
signifikan tetapi saat dianalisa berdasarkan jenis kelamin, observasi ini
berlaku hanya untuk wanita. Alasan untuk observasi ini masih belum dapat
dipahami kemungkinan berkaitan dengan gaya hidup. Implikasi dalam

9
praktik klinis adalah bahwa penderita kanker lebih sering mengalami
penyakit kejiwaan sebelum penegakan diagnosis. Timbulnya kanker hampir
dipastikan akan memperburuk keadaan pada sebagian besar penderita.

2.5 Gangguan Kejiwaan dan Manajemennya


Gangguan penilaian mungkin yang paling umum. Dalam sebuah survei
pasien yang mendatangi tiga pusat onkologi di Amerika Serikat menemukan
prevalensi gangguan kejiwaan sebesar 47% berdasarkan kriteria operasional.
Sindrom klinis didiagnosis pada 43%, sedangkan 3% dianggap memiliki
gangguan kepribadian. Gangguan penilaian menyumbang dua-pertiga dari semua
diagnosis psikiatri. Reaksi-reaksi ini cenderung berkembang lebih awal selama
perjalanan penyakit, ketika pasien mengambil implikasi dari penyakit dan
mengantisipasi kebutuhan perawatan. Kemudian dapat berkembang ketika
konsultasi ulang dengan dokter diantisipasi atau ketika penyelidikan seperti
pemeriksaan darah dan Magnetic Resonance Imaging (MRI) scan direncanakan.
Insiden delirium pada pasien kanker tidak diketahui, tetapi pengamatan
klinis menunjukkan bahwa hal ini sering terjadi. Hal ini sangat sulit untuk dinilai
secara standar karena mudah dilupakan, oleh sebab itu beberapa penelitian telah
dilakukan. Namun, hal tersebut dapat menjadi sumber utama kesulitan karena
pengalaman halusinasi menakutkan dan delusi sekunder merupakan karakteristik
kondisi ini. Deteksi akurat ini penting agar pengobatan simptomatik dapat
diberikan dan penyebab bisa diperbaiki.
Kecemasan bisa menjadi lebih lama dibandingkan dengan diagnosis
gangguan penilaian. Hal tersebut cenderung menjalar dan tak henti-henti. Fobia
kecemasan spesifik dapat mengembangkan respon terhadap pengobatan,
khususnya kemoterapi. Watson et al. menemukan bahwa 23% dari pasien yang
menjalani kemoterapi mengalami mual antisipatif. Hal ini bisa menjadi parah
sehingga pasien mengembangkan respon fobia dan menolak untuk menyelesaikan
pengobatan mereka. Fobia kecemasan dapat dipicu karena berhadapan dengan
teknologi medis yang asing seperti mesin radioterapi. Jika masalah tidak diatasi,

10
pasien dapat berhenti dari pengobatan dan kemungkinan untuk sembuh atau
remisi menjadi hilang.
Kuesioner skrining telah digunakan pada beberapa penelitian untuk
mengidentifikasi perkembangan gangguan kejiwaan. Hospital Anxiety and
Depresion Scale adalah salah satu instrumen yang paling umum digunakan. Oleh
karena itu, intervensi psikososial akan lebih bermanfaat. Kecemasan klinis tidak
berhubungan dengan faktor-faktor sosiodemografi ataupun penyakit. Depresi
klinis lebih sering terjadi pada pasien dengan status sosial ekonomi rendah.
Bunuh diri merupakan suatu resiko yang harus dinilai pada setiap pasien
depresi dan pasien kanker yang mengalami depresi. Harris dan Barraclough
mengatakan dari 63 laporan kelainan medis pasien ditemukan peningkatan resiko
bunuh diri. Neoplasma ganas, kanker kepala dan leher merupakan kelainan yang
sering menyebabkan peningkatan risiko bunuh diri. Risiko tertinggi terdapat pada
pasien yang baru atau belum lama di diagnosis kanker. Sebuah studi yang
menunjukkan bahwa 40% kasus bunuh diri terjadi pada tahun pertama setelah
pasien didiagnosis. Risiko tertinggi juga terdapat pada pasien dengan progresifitas
penyakit yang cepat atau lanjut. Lokasi tumor juga ikut berpengaruh, seperti
tumor paru-paru, saluran napas atas, saluran pencernaan, sistem saraf pusat,
pankreas dan ginjal. Lokasi-lokasi tersebut menempati posisi tertinggi risiko kasus
bunuh diri pada pasien.
Disfungsi seksual merupakan hal yang umum terjadi pada pasien kanker.
Kehilangan hasrat, impotensi, dan anorgasmia adalah keluhan yang paling sering
ditemukan. Selama kemoterapi, banyak pasien mengeluhkan kehilangan libido
yang merupakan efek dari pengobatan. Minat seksual biasanya akan kembali
ketika pengobatan telah selesai. Rujukan kepada seorang terapis yang terlatih
dalam pengobatan psikoseksual, sering membantu pasien-pasien ini.

2.6 Terapi
Pengobatan gangguan penyesuaian bersifat suportif dan fokus pada
masalah. Mendidik pasien, mengendalikan gejala fisik, dan menjaga komunikasi
yang efektif adalah strategi utama. Benzodiazepin dapat mengurangi gejala

11
kecemasan dan insomnia, sedangkan trazodone adalah agen tidur yang aman,
efektif, dan tidak-tidur. Pasien mendapat manfaat dari kesempatan untuk
mendiskusikan kekhawatiran mereka tentang orang yang dicintai, yang berarti,
pilihan perawatan di masa depan, dan masalah akhir kehidupan; ahli onkologi
harus mendengarkan dan mendorong diskusi tentang masalah ini saat pasien
mengangkat mereka atau menyinggung mereka. Bukti menunjukkan bahwa
dengan menggunakan pendekatan tim multidisiplin dan pemantauan telepon
mengurangi gejala tekanan psikologis pada pasien dengan penyakit lanjut.
Kolaborasi dan komunikasi yang baik dengan mental penyedia kesehatan
tentang masalah medis, prognosis, dan masalah pasien. Kedua kelompok
pendukung dan konseling individual efektif untuk pasien dengan gangguan
penyesuaian dan kanker lanjut. Terapi suportif-ekspresif berfokus pada masalah
kehidupan saat ini, hubungan kunci, tantangan untuk mengatasi secara efektif, dan
ekspresi emosi di lingkungan yang reseptif. Cognitive behavior therapy (CBT)
mendorong pasien untuk mengidentifikasi interpretasi yang terlalu negatif atau
irasional (kognisi) yang mereka miliki tentang diri mereka sendiri, penyakit
mereka, dan situasi kehidupan mereka; untuk menganalisis bagaimana pikiran
tersebut diterjemahkan ke dalam perilaku disfungsional; dan kemudian melatih
mereka untuk menerapkan kognisi yang lebih masuk akal dan perilaku yang lebih
fungsional. CBT juga bisa mencakup pelatihan teknik relaksasi untuk mengatasi
stres. CBT dan terapi ekspresif yang mendukung keduanya telah terbukti
mengurangi gejala kecemasan dan tekanan pada kanker lanjut.

Farmakoterapi.
1. Antidepresan
Antidepresan digunakan pada pasien dengan kanker lanjut. Karena
antidepresan umumnya memiliki keefektifan yang sama, mereka dipilih
berdasarkan profil biaya, efek samping, potensi interaksi enzim P450, riwayat
respon masa lalu, dan harapan hidup pasien. Misalnya, stimulan digunakan
saat harapan hidup kurang dari 2-3 minggu.

12
2. Psikostimulan Methylphenidate
Psikostimulan Methylphenidate digunakan pada kanker dan perawatan
paliatif luas, stimulan ini meningkatkan mood, nafsu makan, energi, dan
cognition. Bekerja cepat (24-48 jam), terkait opioid-sedasi, dan aktivitas
analgesik adjuvannya . Mereka adalah pengobatan pilihan saat waktu singkat,
dan mereka sering dikombinasikan dengan inhibitor reuptake serotonin
selektif (SSRI) pada depresi berat. Food and Drug Administration (FDA)
baru-baru ini menambahkan peringatan kotak hitam untuk risiko kematian
jantung terhadap methylphenidate dan stimulan terkait.
3. SSRI
SSRI Inhibitor reuptake spesifik serotonin adalah agen lini pertama
ketika harapan hidup 2-3 minggu atau lebih, dan aman dan dapat ditoleransi
dengan baik pada pasien kanker. Mereka sangat berguna untuk depresi yang
mudah tersinggung dan / atau kegelisahan komorbid. Untuk menghindari efek
samping awal, ahli onkologi harus meresepkan dosis awal selama 4-7 hari,
kemudian naik ke dosis normal. Didiklah pasien bahwa antidepresan
membutuhkan waktu sekitar 2 minggu untuk respon awal dan 4-6 minggu
untuk mencapai efek puncak pada dosis tertentu. Jika pasien mendapat
tanggapan parsial setelah 1 bulan pada dosis normal, naik ke dosis yang lebih
tinggi untuk mendapatkan respon yang lengkap. Jika pasien menunjukkan
sedikit atau tidak ada respons, beralihlah ke agen lain. Pasien yang gagal 2
SSRI yang berbeda, atau hanya mendapatkan tanggapan parsial, harus dirujuk
ke psikiater untuk evaluasi dan perawatan lebih lanjut.
4. SNRI
SNRI Serotonin-norepinephrine reuptake inhibitor (SNRI) mungkin
merupakan pilihan yang efektif untuk depresi dengan nyeri neuropatik
komorbid, karena mereka memiliki sifat antipain yang serupa dengan
tricyclics. Perhatikan bahwa SSRI dan SNRI dapat memperpanjang waktu
perdarahan.

13
5. Antidepresan lainnya
Antidepresan lainnya seperti Mirtazepine sangat berguna karena dapat
meningkatkan beberapa gejala, termasuk depresi, kehilangan nafsu makan,
nyeri, mual, kecemasan, dan insomnia. Bupropion telah mengurangi kelelahan
pada pasien kanker dan dapat menurunkan necrosis factor alpha tumor tetapi
agen lini kedua ini dan bisa meningkatkan risiko kejang. Tricyclics efektif
untuk depresi pada pasien kanker tetapi agen lini kedua efek sampingnya lebih
sering.
Psikoterapi terbaru menemukan data yang tidak mencukupi untuk menilai
keefektifan antidepresan atau psikoterapi untuk mengobati depresi berat pada
pasien kanker. Namun, beberapa uji coba psikoterapi skala kecil (terutama CBT)
dicatat untuk memperbaiki gejala depresi pada pasien kanker. Bukti saat ini
menunjukkan bahwa berbagai model perawatan sangat membantu depresi, seperti
melatih perawat onkologi untuk mendiagnosis dan mengobati depresi pada
kanker.

2.7 Komplikasi
Komplikasi yang mungkin muncul pada pasien dengan penyakit kanker paru
antara lain:
1. Hematotorak (darah pada rongga pleura)
2. Empiema (nanah pada rongga pleura )
3. Pneumotorak (udara pada rongga pleura )
4. Abses paru
5. Atelektasis (paru-paru mengerut )
Selain itu bisa komplikasi pada kesehatan jiwa pasien, seperti gangguan
cemas, gangguan tidur dan depresi.
Morbiditas
Penyakit kanker paru merupakan penyakit yang memiliki tingkat
morbiditas yang tinggi hampir di seluruh dunia. Kasus kanker paru pada tahun
2010 menurut National Cancer Institute (NCI) dilaporkan sebanyak 1,61 juta
angka kasus baru serta 1,38 juta angka kematian karena kanker paru. Prevalensi

14
tertinggi berada di wilayah Eropa dan Amerika Utara. Menurut data dari RS
Kanker Dharmais pada tahun 2013, kanker paru menempati urutan ke 3 untuk
angka kematian dan angka kasus baru (Departemen Kesehatan Indonesia,2015).
Data dari Dinprov Jateng 2008 di Indonesia terdapat kanker paru sebanyak 1278
(4,71%) kasus.
Menurut WHO, di Indonesia sekitar 1.551.000 orang dari 247.000.000
orang meninggal dunia karena kanker paru. Angka kematian kanker paru pada
pria adalah 21.8% dan pada wanita 9.1%. Jumlah kasus kanker paru pada pria
sekitar 25.322 orang dan pada wanita 9.374 orang (WHO, 2014). Kanker paru
adalah penyebab utama kematian di seluruh dunia.
Mortalitas
Pada penderita yang didiagnosis sakit kanker secara umum ada tiga bentuk
respons emosional yang bisa muncul yaitu penolakan, kecemasan dan depresi.
Dalam keadaan tersebut sangat sulit bagi pasien kanker untuk dapat menerima
dirinya karena keadaan dan penanganan penyakit kanker ini dapat menimbulkan
stres yang terus menerus sehingga tidak hanya mempengaruhi fisik tapi juga
penyesuaian psikologi individu. Penderita kanker umumnya akan memiliki
penerimaan diri yang rendah, harga diri yang rendah, merasa putus asa, bosan,
cemas, frustasi, tertekan dan takut kehilangan seseorang. Jika perasaan rendah
tersebut dirasakan dalam waktu cukup lama dapat mengakibatkan depresi. Oleh
sebab itu penderita kanker umumnya mengalami sakit dua kali lipat dari
kebanyakan sakit lain yaitu selain menderita penyakit kanker itu sendiri juga
menderita depresi dan kecemasan. Sampai saat ini belum ada data tentang
terjadinya kecemasan dan depresi pada pasien kanker paru saat pertama kali
mengetahui tentang sakitnya (Faller, 2017).

2.8 Prognosis
Prognosis kanker paru agak tidak baik. Tingkat kelangsungan hidup 1
tahun adalah 37% dan tingkat kelangsungan hidup 5 tahun adalah 5% sampai
10%. Masa bertahan hidup mungkin mencerminkan stadium tumor, status kinerja,
dan klasifikasi histologist (Faller, 2017).

15
BAB III
KESIMPULAN

Pada penderita yang didiagnosis sakit kanker secara umum ada tiga bentuk
respons emosional yang bisa muncul yaitu penolakan, kecemasan dan depresi.
Dalam keadaan tersebut sangat sulit bagi pasien kanker untuk dapat menerima
dirinya karena keadaan dan penanganan penyakit kanker ini dapat menimbulkan
stres yang terus menerus sehingga tidak hanya mempengaruhi fisik tapi juga
penyesuaian psikologi individu. Penderita kanker umumnya akan memiliki
penerimaan diri yang rendah, harga diri yang rendah, merasa putus asa, bosan,
cemas, frustasi, tertekan dan takut kehilangan seseorang. Jika perasaan rendah
tersebut dirasakan dalam waktu cukup lama dapat mengakibatkan depresi. Oleh
sebab itu penderita kanker umumnya mengalami sakit dua kali lipat dari
kebanyakan sakit lain yaitu selain menderita penyakit kanker itu sendiri juga
menderita depresi dan kecemasan. Sampai saat ini belum ada data tentang
terjadinya kecemasan dan depresi pada pasien kanker paru saat pertama kali
mengetahui tentang sakitnya.

Tingkat pendidikan menengah tinggi merupakan faktor risiko yang


berhubungan dengan kejadian kecemasan maupun depresi pada pasien kanker
paru. Faktor lain yaitu usia, jenis kelamin, pengetahuan, pekerjaan dan sosial
ekonomi didapatkan tidak berhubungan dengan kecemasan dan depresi. faktor
klinis seperti jenis kanker paru, stage dan tampilan tidak berhubungan dengan
derajat kecemasan dan depresi. Derajat kecemasan pada kanker paru pasca
tatalaksana selama 3 bulan mengalami perubahan signifikan. pasien yang
mengalami penurunan derajat kecemasan lebih banyak dibandingkan yang derajat
kecemasan meningkat. sedangkan derajat depresi sebelum dan sesudah tatalaksana
3 bulan tidak berubah signifikan.

16
DAFTAR PUSTAKA

Archinard M, Dumont P, Nicolas DT. Guidelines and Evaluation: Improve the


Quality of Consultation-Liaison Psychiatry. Psychosomatic 46: 425-430,
2005.

Bronheim H, Strain JJ, Bileer H, Fulop G. Psychiatruc Consultation on An


Otolaryngology Liaison Service. General Hospital Psychiatry. 1989; 11: 95-
102.

Faller H, Bulzebruck H, Drings P, Lang H. Coping, Distress, and Survival Among


Patients with Lung Cancer. American Medical Association. Arch Gen
Psychiatry 1999;56:756-762

Guthrie E, Creed F. Seminars in Liaison Psychiatry. London. Gaskel/Royal


College of Psychiatrists; 1996.

Hamburg BA. Consultation Liaison Psychiatry. Bull. N.Y. Acad. Med. 1987;
63(4):376-85.

Jorsh MS. Somatoform disorders: The role of consultation liaison psychiatry.


International Review of Psychiatry. Feb 2006; 18(1): 61-65.

Kornfeld D. Consultation-Liaison Psychiatry: Contributions to Medical Practice.


American Journal of Psychiatry. 159: 1964-1972, 2002.

Kornfeld DS. Consultation-Liaison Psychiatry: Contributions to Medical Practice.


Am J Psychiatry. 2002; 159(-): 1964-72.

Lloyd GG, Guthrie E. Handbook of Liaison Psychiatry. New York: Cambridge


Universuty Press; 2007.

Lloyd M dan Bor R. 2004. Communication Skills for Medicine, 2nd edn.
Edinburgh: Churchill Livingstone.

Lobo A, Lozano M, Diefenbacher A. Psychosomatic Psychiatry: a European View.


The European Journal of Psychiatry. Jun 2007;21(2).

17
Meadows GN, Harvey CA, Joubert L, Barton D, Bedi G. The Consultation-
Liaison in Primary-Care Psychiatry Program: A Structured Approach to
Long-Term Collaboration. Psychiatric Service. Aug 2007; 58(8): 1036–
1038.

Miovic M, Block S. Psychiatric Disorders in Advanced Cancer. American Cancer


Society. Cancer 2007; 1 10:1665-76

Olufolahan LV, Adeyemi OB. Assessment of Depression and Disability in Lung


Cancer Patients in a Nigerian De-Addiction Unit. Mental Health in Family
Medicine 2016; 12:165-175

Philbrick KL, Rundell JR, Netzel PJ, Levenson JL. Clinical Manual of
Psychosomatic Medicine - A guide to Consultation Liaison Psychiatry. 2nd
ed. Arlington, VA. American Psychiatric Publishing; 2012

Sharpe M, Gath D. Recent Developments Consultation Liaison Psychiatry -- A


view from Oxford. Hong Kong Journal of Psychiatry. 1997; 7(1): 9-13.

Smith G. 2006. “Effectiveness of integrated care: terminology and approach”


School of Psychology, Psychiatry and Psychological Medicine Monash
University Melbourne, Australia, EACLPP.

Söllner W. 2006. “Psychotherapy is the basic treatment“ Dept. of Psychosomatic


Medicine and Psychotherapy General Hospital Nuremberg, EACLPP.

Wise TN., Ramchandani D, 2004, The Changing Content of Psychosomatics:


Reflection of the Growth of Consultation-Liaison
Psychiatry.Psychosomatics 2004; 45:1-6.

18

Anda mungkin juga menyukai