Anda di halaman 1dari 43

ASUHAN KEPERAWATAN KRITIS /

EMERGENCY
PADA KLIEN TRAUMA ABDOMEN

A.Anatomi Abdomen
1. Anatomi abdomen luar
 Abdomen Depan : Sebagian abdomen
berhubungan dengan toraks bagian bawah,
batas abdomen adalah pada bagian superior
garis antara papilla mamae, inferior oleh
ligamentum inguinalis dan simfisis pubis dan
lateral oleh garis aksilaris anterior.
 Pinggang : Berada antara garis aksilaris
anterior dan aksilaris posterior, dari ruang
interkostal ke-6 di superior sampai krista iliaka
di inferior. Berbeda dengan dinding abdomen
depan yang tipis, otot-otot dinding abdomen di
daerah pinggang tebal dan dapat merupakan
perintang terhadapa luka tembus, khususnya
luka tusuk.
 Punggung : Bertempat dibelakang garis
aksilaris posterior dari ujung scapula sampai
krista iliaka. Sama dengan otot-otot dinding
abdomen di samping. Otot punggung dan
paraspinal bertindak sebagai perintang luka
tembus.
2. Anatomi abdomen dalam
 Rongga peritoneum : dibagi dalam
bagian atas dan bagian bawah. Abdomen atas
atau daerah thoracoabdominal yang ditutup
oleh bagian bawah dari bagian toraks yang
bertulang, meliputi diafragma, hati, limpa,
lambung dan kolon transversum. Karena
diafragma naik ke ruang interkostal ke-4 saat
ekspirasi penuh, patahan iga bawah atau luka
tembus didaerah itu juga dapat menciderai isi
abdomen. Abdomen atas berisikan usus halus
dan kolon sigmoid.
 Rongga pelvis : Dikelilingi tulang pelvis,
berada di bagian bawah dari ruang
retroperitoneum dan berisikan rectum, kandung
kemih, pembuluh-pembuluh iliaka, dan
genitalia interna wanita. Sama seperti daerah
torakoabdominal, pemeriksaan untuk
mengetahui cedera pada struktur pelvis
dipersulit oleh tulang-tulang di atasnya.
 Ruang retroperitoneum : Meliputi aorta
abdominalis, vena kava inferior, sebagian besar
dari duodenum, pancreas, ginjal dan saluran
kencing, kolon asenden dan kolon desenden.
Cedera daerah ini sulit dikenali dengan
pemeriksaan fisik maupun pencucian (lavage)
peritoneum.

B.Pengertian
Insiden trauma abdomen meningkat dari tahun ke
tahun. Mortalitas biasanya lebih tinggi pada trauma
tumpul abdomen dari pada trauma tusuk.
Trauma adalah penyebab kematian ketiga di
amerika serikat setelah aterosklerosis dan kanker.
Trauma adalah penyebab kematian utama pada anak
dan orang dewasa kurang dari 44 tahun.
Penyalahgunaan alcohol dan obat telah menjadi factor
implikasi pada trauma tumpul dan tembus serta trauma
yang disengaja atau tidak disengaja.
 Trauma Tembus Abdomen
Cedera / trauma tembus abdomen (luka
tembakan, luka tusuk) bersifat serius dan
biasanya memerlukan pembedahan. Pada trauma
ini factor yang paling penting adalah kecepatan
peluru masuk kedalam tubuh. Peluru kecepatan
tinggi membuat kerusakan jaringan yang luas.
Hampir semua luka tembak membutuhkan bedah
eksplorasi. Luka tusuk mungkin lebih ditangani
secara konservatif. Trauma tembus abdominal
menimbulkan insiden yang tinggi dari luka
terhadap organ beruang seperti usus halus. Hati
adalah organ padat yang paling sering cedera
(smeltzer & baire, 2002).
Luka tusuk dan luka tembak kecepatan-rendah
menyebabkan kerusakan jaringan Karena laserasi
atau terpotong. Luka tembak kecepatan-tinggi
mengalihkan lebih banyak energi kepada organ-
organ abdomen, mempunyai efek pelubangan
tambahan sementara (temporary cavitation), dan
peluru mungkin berguling atau pecah, sehingga
menyebabkan lebih banyak cedera lagi (ATLS,
1997).
Luka tusuk melintas struktur abdomen di
dekatnya dan paling umum mengenai hati 40%,
usus kecil 30%, diafragma 20% dan usus besar
15%. Luka tembak menyebabkan lebih banyak
cedera dalam abdomen karena perjalanannya
yang lebih panjang di dalam tubuh dan juga
berdasarkan energi kinetis yang lebih besar, dan
dapat mengenai usus kecil 50%, usus besar 40%,
hepar 30% dan struktur vaskuler abdomen 25%
(ATLS, 1997).
 Trauma Tumpul Abdomen (Blunt)
Trauma tumpul pada abdominal dapat terjadi
karena kecelakaan motor, jatuh, atau pukulan.
Pasien dengan trauma tumpul adalah suatu
tantangan karena adanya potensi cedera
tersembunyi yang mungkin sulit dideteksi.
Insiden komplikasi berkaitan dengan trauma yang
penanganannya terlambat lebih besar dari insiden
yang berhubungan dengan cedera tusuk.
Khususnya cedera tumpul mengenai hati, ginjal,
limpa atau pembuluh darah, yang dapat
menimbulkan kehilangan darah substansial
kedalam rongga peritoneum. Trauma tumpul
abdomen sering berhubungan dengan cedera
ekstra abdomen pada dada, kepala, atau
ektremitas. Evaluasi dan penatalaksanaan
terhadap cedera ini lebih diutamakan dari pada
cedera abdomennya (smeltzer & baire, 2002)
Pukulan langsung misalnya kena pinggir
bawah stir mobil atau pintu yang masuk
(intruded) pada tabrakan kendaraan bermotor,
dapat mengakibatkan cedera tekanan atau
tindasan pada isi abdomen. Kekuatan ini merusak
bentuk organ padat atau berongga dan dapat
mengakibatkan rupture, khususnya pada organ
yang mengembung (misalnya uterus yang hamil),
dengan perdarahan sekunder dan peritonitis.
Shearing injuries pada organ isi abdomen
merupakan bentuk trauma yang dapat terjadi bila
suatu alat penahan (seperti sabuk pengaman jenis
lap belt atau komponen sabuk bahu) dipakai
dengan salah. Penderita yang cedera dalam
tabrakan kendaraan bermotor juga dapat
menderita cedera deceleration karena gerakan
yang berbeda dari bagian badan yang bergerak
dan yang tidak bergerak, pada hati dan limpa
yang sering terjadi (organ bergerak) di tempat
jaringan pendukung (struktur tetap) pada tabrakan
tersebut. Pada penderita yang dilakukan
laparatomi oleh karena trauma tumpul (blunt
injury), organ yang paling sering cedera, adalah
limpa 40%-55%, hati 35%-45%, dan hematoma
retroperitonium 15% (ATLS, 1997).

Cidera pada lambung dan usus halus


Cedera lambung yang signifikan jarang ditemui
namun usus halus lebih umum mengalami cedera.
Meskipun sering mengalami kerusakan oleh trauma
penetrasi, trauma tumpul juga dapat menyebabkan
usus halus memar konvulsi multipel adakalanya
membentuk loop tertutup yang dapat menjadi sasaran
pecah karena meningkatnya tekanan benturan dengan
kemudi atau sabuk pengaman. Mobilitas usus disekitar
titik tetap mencetuskan terjadinya cedera dengan
adanya perlambatan. Cedera tumpul usus halus atau
lambung dapat terlihat dengan adanya darah pada
asfirasi nasogastrik atau hematomesis. Namun sering
tidak terdapat tanda-tanda fisik, dan diagnosis tidak
dapat ditegakkan sampai timbul peritonitis. Cedera
penetrasi biasanya menyebabkan LPD positif.
Meskipun kontosio usus ringan dapat atasi secara
konservatif (dekompresi lambung dan menunda
masukan per oral), pembedahan biasanya diperukan
untuk memperbaiki luka-luka penetrasi.
Cedera pada Duodenum dan Pankreas
Pankreas dan duodenum adalah organ-organ
retroperitoneal dan secara anatomi dan fisiologi
mempunyai hubungan yang dekat. Diperlukan
kekuatan besar untuk menceraikan organ-organ ini,
karena organ-organ ini terlindung dengan baik, jauh di
dalam abdomen. Cedera pada organ yang berdekatan
hampir selalu ada. Letak retroperitonial membuat
cedera ini sulit untuk di diagnosa karena LPD sering
negatif oleh karenanya scan abdomen sangat penting
untuk keadaan ini.
Cedera pada duodenum sendiri dapat
disembuhkan dengan anastomosis primer atau Billrort
II. Selang duodenostomi mungkin akan dipasang
untuk kompresi dan selang jejunostomi untuk
pemberian makanan. Trauma tumpul pada duodenum
juga dapat menyebabkan hematoma intramural, yang
dapat mengarah pada obstruksi duodenal.
Cedera pada kolon
Cedera pada kolon bisanya berkaitan dengan
trauma penetrasi. Sifat dari cedera paling sering
menuntut segera dilakukannya operasi eksplorasi.
Perbaikan primer adalah tindakan pilihan untuk
laserasi kolon. Pada beberapa keadaan, perlu
dilakukan perbaikan eksterior atau kolostomi. Selang
sekostomi bisa dipasang untuk dekompresi. Jaringan
subkutan dan kulit pada tempat insisi mungkin
dibiarkan terbuka untuk mengurangi kemungkinan
terjadinya infeksi luka. Kolon mempunyai jumlah
bakteri yang tinggi, tumpahnya isi kolon dapat
mencetuskan terjadinya sepsis intra-abdominal, dan
pembentukan abses.
Cedera pada hepar
Setelah limpa, hepar adalah organ abdomen yang
paling umum mengalami cedera. Trauma hepatik dapat
menyebabkan kehilangan banyak darah ke dalam
peritonium, namun perdarahan dapat berhenti secara
spontan .
Cedera pada limpa
Limpa adalah organ abdomen yang paling umum
mengalami cedera, lebih sering sebagai akibat trauma
tumpul. Adanya fraktur iga kiri bawah dapat
meningkatkan kecurigaan terhadap cedera limpa.
Cedera pada ginjal
Cedera Vaskuler
Cedera penetrasi dapat mengarah baik pada
hemoragi ”bebas” hematoma terkandung, atau
berkembangnya trumbus intraluminal. Cedera
perlambatan mendadak dapat menyebabkan perobekan
dari pembuluh-pembuluh yang lebih kecil atau
merobek intima arteri renal, yang juga dapat mengarah
pada trombosis pembuluh. Laseralisasi yang lebih
kecil diperbaiki, sedangkan cedera yang lebih besar
mengharuskan dilakukan nefrektomi.
Cedera parenkim
Trauma tumpul atau penetrasi dapat
menyebabkan laserasi atau kontusio parenkim ginjal
atau pecahnya sistem koligentes. Fraktur iga bawah
harus meningkatkan kecurigaan terhadap cedera yang
berkaitan dengan ginjal.
(Hudak, Carolyn
1996:524-527)
C.Etiologi
Kerusakan organ abdomen dan pelvis dapat
disebabkan oleh trauma tembus, biasanya tikaman atau
tembakan; atau trauma tumpul akibat kecelakaan
mobil, pukulan langsung atau jatuh. Meskipun tipe dan
ukuran peluru serta keparahan dampaknya biasanya
dicerminkan oleh tingkat kerusakan visera, namun
timbul begitu banyak variasi, sehingga spekulasi klinis
membahayakan. Luka yang tampak ringan bisa
menimbulkan cedera eksterna yang mengancam
nyawa (boswick, 1992).
D.Manifestasi Klinis
1. Nyeri tekan, nyeri ketok, nyeri lepas
2. Kekakuan dinding perut
3. Shifting dullness
4. Perdarahan
5. Muntah darah
6. Penurunan bising usus
Pada hakikatnya gejala dan tanda yang
ditimbulkan dapat karena 2 hal:
1. Pecahnya organ solid
Hepar atau lien yang pecah akan menyebabkan
perdarahan yang dapat bervariasi dari ringan
sampai berat, bahkan kematian.
Gejala dan tandanya adalah :
a. Gejala perdarahan secara umum
Penderita tampak anemis (pucat). Bila
perdarahan berat akan timbul gejala dan tanda
syok hemoragik.
b. Gejala adanya darah intra-peritonial.
Penderita akan merasa nyeri abdomen, yang
dapat bervariasi dari ringan sampai nyeri hebat.
Pada auskultasi biasanya bising usus menurun,
yang bukan merupakan tanda yang dapat
dipercaya, karena bising usus akan menurun
pada banyak keadaan lainnya. Pada
pemeriksaan akan teraba bahwa abdomen nyeri
tekan, kadang-kadang ada nyeri lepas dan
defans muscular (kekakuan otot) seperti pada
peritonitis. Perut yang semakin membesar
hanya akan ditemukan apabila perdarahan
hebat dan penderita tidak gemuk. Pada perkusi
akan dapat ditemukan pekak isi yang
meninggi.
2. Pecahnya organ berlumen
Pecahnya gaster, usus halus atau kolon akan
menimbulkan peritonitis yang dapat timbul cepat
sekali atau lebih lambat. Pada pemeriksaan
penderita akan mengeluh nyeri seluruh abdomen.
Pada auskultasi bising usus akan menurun. Pada
palpasi akan ditemukan defans muscular, nyeri
tekan dan nyeri lepas. Pada perkusi akan nyeri
pula (nyeri ketok). Biasanya peritonitis bukan
merupakan keadaan yang memerlukan
penanganan sangat segera, (berbeda dengan
perdarahan intra-peritoneal) sehingga jarang
menjadi masalah pada fase pra-RS.(118,)
E.Patofisiologi
Dalam suatu kecelakaan lalu lintas, bila sabuk
pengaman dipakai longgar dan jauh di atas pelvis,
maka besar kemungkinan cedera intraperitoneal yang
serius. Bila epigastrium pengemudi terpukul oleh
gagang kemudi, maka dapat terjadi ruptura
retroperitoneal atas duodenum atau pankreatitis
traumatika.
Pada korban pejalan kaki, maka urutan perangkat
frekuensi cedera intraabdomen adalah hati, limpa, usus
halus dan usus besar.
Pada penyiksaan anak dan korban pemukulan,
maka insiden cedera intraabdominal tinggi. Dua
perlukaan yang tersering pada kasus ini adalah ruptura
duodenum dan robekan mesenterium usus halus.
Bila terjatuh lazim terjadi cedera hati dan limpa,
robekan usus halus ditempat perlekatan mesenterium
(ligamentum treitz dan hubungan ileosekalis) dan
robekan mesenterium usus halus (boswick, 1992).
Jejas pada abdomen dapat disebabkan oleh
trauma tumpul atau trauma tajam. Pada trauma tumpul
dengan velisitas rendah (misalnya akibat tinju)
biasanya menimbulkan kerusakan satu organ.
Sedangkan trauma tumpul velositas tinggi sering
menimbulkan kerusakan organ multipel, seperti organ
padat ( hepar, lien, ginjal ) dari pada organ-organ
berongga. (Sorensen, 1987)
Yang mungkin terjadi pada trauma abdomen
adalah :
Perforasi
Gejala perangsangan peritonium yang terjadi
dapat disebabkan oleh zat kimia atau mikroorganisme.
Bila perforasi terjadi dibagian atas, misalnya lambung,
maka terjadi perangsangan oleh zat kimia segera
sesudah trauma dan timbul gejala peritonitis hebat.
Bila perforasi terjadi di bagian bawah seperti
kolon, mula-mula timbul gejala karena
mikroorganisme membutuhkan waktu untuk
berkembang biak. Baru setelah 24 jam timbul gejala-
gejala akut abdomen karena perangsangan peritoneum.
Mengingat kolon tempat bakteri dan hasil
akhirnya adalah faeses, maka jika kolon terluka dan
mengalami perforasi perlu segera dilakukan
pembedahan. Jika tidak segera dilakukan pembedahan,
peritonium akan terkontaminasi oleh bakteri dan
faeses. Hal ini dapat menimbulkan peritonitis yang
berakibat lebih berat.
Perdarahan
Setiap trauma abdomen (trauma tumpul, trauma
tajam, dan tembak) dapat menimbulkan perdarahan.
Yang paling banyak terkena robekan pada trauma
adalah alat-alat parenkim, mesenterium, dan
ligamenta; sedangkan alat-alat traktus digestivus pada
trauma tumpul biasanya terhindar. Diagnostik
perdarahan pada trauma tumpul lebih sulit
dibandingkan dengan trauma tajam, lebih-lebih pada
taraf permulaan. Penting sekali untuk menentukan
secepatnya, apakah ada perdarahan dan tindakan
segera harus dilakukan untuk menghentikan
perdarahan tersebut.
Sebagai contoh adalah trauma tumpul yang
menimbulkan perdarahan dari limpa. Dalam taraf
pertama darah akan berkumpul dalam sakus lienalis,
sehingga tanda-tanda umum perangsangan peritoneal
belum ada sama sekali. Dalam hal ini sebagai
pedoman untuk menentukan limpa robek (ruptur
lienalis) adalah :
 Adanya bekas (jejas) trauma di daerah limpa
 Gerakkan pernapasan di daerah epigastrium kiri
berkurang
 Nyeri tekan yang hebat di ruang interkostalis 9 - 10
garis aksiler depan kiri.
F. Pathway
G. Pemeriksaan Diagnostik
Dapatkan keterangan mengenai perlukaannya,
bila mungkin dari penderitanya sendiri, orang sekitar
korban, pembawa ambulans, polisi, atau saksi-saksi
lainnya, sesegera mungkin, bersamaan dengan usaha
resusitasi.
Trauma tumpul pada abdomen secara tipikal
menimbulkan rasa nyeri tekan, dan rigiditas otot, pada
daerah terjadinya rembesan darah atau isi perut.
Tanda-tanda ini dapat belum timbul hingga 12 jam
atau lebih pasca trauma, sehingga kadanga-kadang
diperlukan pengamatan yang terus-menerus yang lebih
lama. Nyeri yang berasal dari otot dan tulang,
mungkin malah tak terdapat tanda-tanda objektif yang
dapat menunjukan perlukaan viseral yang luas. Fraktur
pada iga bagian bawah sering kali menyertai perlukaan
pada hati dan limpa. Pemeriksaan rektum secaga
digital, dapat menimbulkan adanya darah pada feses
Test Laboratorium
Secara rutin, diperiksa hematokrit, hitung jenis
leukosit, dan urinalisis, sedangkan test lainnya
dilakukan bila diperlukan. Nilai-nilai amilase urine,
dan serum dapat membantu untuk menentukan adanya
perlukaan pankreas atau perforasi usus.

Foto Sinar X
 Film polos abdomen dapat menunjukkan adanya
udara bebas intraperitoneal, obliterasi bayangan
psoas, dan penemuan-penemuan lainnya yang pada
umunya tak khas. Fraktur prosesus transversalis
menunjukan adanya trauma hebat, dan harus
mengingatkan kita pada kemungkinan adanya
perlukaan viseral yang hebat.
 Film dada dapat menunjukkan adanya fraktur iga,
hematotorak, pnemotorak, atau lainnya yang
berhubungan dengan perlukaan thorak
 Penderita dengan tauma tumpul sering memerlukan
foto thorak sinar X tengkorak, pelvis, dan anggota
gerak lainnya.
 Studi kontras pada saluran kemih diperlukan bila
terdapat hematuria.
 Foto sinar X dengan kontras pada saluran
pencernaan atas dan bawah, diperlukan pada kasus
tertentu.
 C.T Scan abdomen sangat membantu pada beberapa
kasus, tetapi inibelim banyak dilakukan.
 Angiografi dapat memecahkan teka-teki tantang
perlukaan pada limpa, hati, dan pakreas. Pada
kenyataanya, angiografi abdominal jarang
dilakukan.

Test Khusus
Lavase peritoneal berguna untuk mengetahui
adanya perdarahan intraabdomen pada suatu trauma
tumpul, bila dengan pemeriksaan fisik dan radilogik,
diagnosa masih diragukan. Test ini tak boleh dilakukan
pada penderita yang tak kooperatif, melawan dan yang
memerlukan operasi abdomen segera. Kandung kemih
harus dikosongkan terlebih dahulu. Posisi panderita
terlentang, kulit bagian bawah disiapkan dengan
jodium tingtur dan infiltrasi anestesi lokal di garis
tengah, diantara umbilikus dan pubis. Kemudian
dibuat insisi kecil, kateter dialisa peritoneal
dimasukkan ke dalam rongga peritoneal. Ini dapat
dibantu/dipermudah oleh otot-otot
abdomen penderta sendiri, dengan jalan meikan kepala
penderita. Kateter ini harus dipegang dengan kedua
tangan, untuk mencegah tercebur secara acak ke dalam
rongga abdomen.
Tehnik yang lebih aman adalah dengan membuat
insisi sepanjang 1 cm pada fasia, dan kateter di
masukkan ke dalam rongga peritoneal dengan
pengamatan secara langsung. Pisau ditarik dan kateter
dimasukkan secara hati-hati ke pelvis ke arah rongga
sakrum. Adanya aliran darah secara spontan pada
kateter menandakan adanya perdarahan secara positif.
Tetapi ini jarang terjadi. Masukan 1000 cc larutan
garam fisiologis ke dalam rongga peritoneal (jangan
larutan dextrose), biarkan cairan ini turun sesuai
dengan gaya grvitasi. Adanya perdarahan
intraabdominal ditandai dengan warna merah seperti
anggur atau adanya hematokrit 1% atau lebih pada
cairan tersebut (cairan itu keluar kembali). Bila cairan
tetap, bening atau hanya sedikit berubah merah
tandanya negatif.
Studi diagnostic khusus dalam trauma tumpul
Bila ada bukti dini nyata bahwa penderitanya
akan dipindahkan kesuatu fasilitas lain, jangan
diadakan tes yang menghabiskan waktu.
1. Diagnostic peritoneal lavage
Diagnostic peritoneal lavage (DPL) adalah suatu
prosedur yang dilakukan dengan cepat tetapi
invasive, dan sangat berperan dalam menentukan
pemeriksaan berikut yang perlu dilakukan pada
penderita, dan dianggap 98% sensitive untuk
perdarahan intra-peritoneum. Pemeriksaan ini
harus dilakukan oleh tim bedah yang merawat
penderita dengan hemodinamik abnormal dan
menderita multi-trauma, teristimewa kalau
terdapat situasi seperti berikut:
a. Perubahan sensorium–cedera kepala,
intoksikasi alcohol, penggunaan obat
terlarang
b. Perubahan perasaan–cedera jaringan syaraf
tulang belakang
c. Cedera pada struktur berdekatan- tulang iga
bawah, panggul, tulang belakang dari
pinggang kebawah (lumbar spine)
d. Pemeriksaan fisik yang meragukan
e. Antisipasi kehilangan kontak panjang
dengan penderita- anesthesia umum untuk
cedera yang lain dari abdomen, studi
pemeriksaan ronsen yang lama waktunya,
seperti angiografi (penderita hemodinamis
normal atau abnormal)
DPL (diagnostic peritoneal lavage)juga dapat
dilakukan pada penderita hemodinamis normalit
dengan indikasi seperti di atas, namun fasilitas
ultrasound atau CT scan tidak tersedia. Satu-
satunya kontraindikasi mutlak terhadap DPL
adalah adanya indikasi laparatomi(celiotomy).
Kontraindikasi yang relative meliputi operasi
abdomen sebelumnya, kegemukan yang tidak
sehat, cirosis yang lanjut, dan koagulopati yang
sudah ada sebelumnya. Tehnik infra-umbilikal,
baik yang terbuka atau yang tertutup (seldinger)
dapat dilakukan oleh dokter terlatih. Pada
penderita dengan patah tulang panggul atau
kehamilan tua, lebih disukai pendekatan supra-
umbilikal terbuka mencegah memasuki
hematoma panggul atau merusak uterus yang
membesar. Bila ditemukan darah, isi usus, serat
sayuran, atau cairan empedu (bile) melalui kateter
pencuci pada penderita yang hemodinamis
abnormal, harus dilakukan laparatomi. Kalau
darah gross atau isi usus tidak tersedot, pencucian
dilakukan dengan 1000 ml larutan lactate ringer
yang dipanasi. Dilakukan penekanan abdomen
dan logroll untuk meyakinkan pencampuran yang
memadai dari isi abdomen dengan cairan pencuci,
setelah itu cairan yang keluar dikirim ke
laboratorium untuk analisa kuantitatif bila isi
usus, serat sayuran, atau air empedu tidak terlihat.
Tes yang positif dan keperluan intervensi
pembedahan diindikasi dengan ≥100.000
RBC/mm3, ≥500 WBC/mm3, atau pewarnaan
gram yang positif karena adanya bakteri-bakteri.
2. Ultrasound diagnostic (ultrasonografi atau
sonogram)
Digunakan untuk mengetahui adanya
hemoperitoneum. Ultrasound memiliki sensitivas,
spesifitas, dan akurasi yang dapat dibandingkan
dengan diagnostic peritoneal lavage dan
tomografi aksial abdomen. Ultrasound adalah
non-invasif,teliti dan murah dalam melakukan
diagnosis cedera intra-abdominal (tumpul atau
tembus) dan dapat diulang berkali-kali. Scanning
ultrasound dapat dilakukan di pinggir tempat
tidur, indikasi prosedurnya sama dengan DPL.
Factor-faktor yang menghambat kegunaannya
adalah kegemukan, adanya udara di bawah kulit
(subcutaneous air), dan riwayat pernah operasi
abdomen.
Scanning ultrasound untuk mengetahui adanya
hemoperitoneum dapat dilakukan dengan cepat.
Diambil scan dari kantong pericardial, fossa
hepatorenal, fossa splenorenal dan panggul. Setelah
scan mula-mula selesai, harus diadakan scan kedua
atau “control scan” setelah menunggu 30 menit.
Control scan dilakukan untuk mengetahui
hemoperitoneum yang progresif pada penderita
dengan perdarahan yang perlahan dan waktu
interval pendek antara saat cedera dan saat scan
pertama.
Tanda dan gejala cedera serius sering meragukan,
tak ada atau lambat timbulnya. Nyeri abdomenlah
yang tersering timbul tetapi defans muscular
mungkin sering tak ada, bahkan tekanan darah pada
perdarahan hebat, dapat normal. Frekuensi denyut
nadi dan bising usus bukan tanda yang dapat
diandalkan. Pemeriksaan dinding abdomen terhadap
adanya abrasi, kontusi dan bekas ban dapat
memberikan sejumlah bantuan untuk menimbulkan
kecurigaan akan organ yang mungkin terkena
(boswick, 1992).
Karena trauma kapitis sering disertai dengan
trauma abdomen bersama efek keracunan atau
penyalahgunaan obat, maka tanda-tanda neurologik
mungkin tak ada atau tak bisa dipercaya. Bila
diduga pankreatitis traumatika, maka penentuan
kadar amylase serum dapat membantu
mengonfirmasi diagnosis dan harus dilakukan di
bagian gawat darurat sebagai bagian pemeriksaan
diagnostic pada penderita cedera abdomen
(boswick, 1992).
Urinalisis akan membantu diagnosis cedera
kandung kemih dan ginjal. Bila penderita trauma
abdomen tak dapat berkemih setelah tiba di bagian
gawat darurat, maka harus dipasang kateter ke
dalam kandung kemih, bahan contoh urina diambil
untuk evaluasi kateter dibiarkan terpasang hingga
kebutuhan akan pemeriksaan diagnostic atau terapi
telah diputuskan (boswick, 1992).
Pemeriksaan radiologik biasanya diindikasikan
pada penderita trauma abdomen. Pemeriksaan
demikian seharusnya meliputi foto toraks, foto
abdomen AP dan lateral, sistogram dan pielogram
bila diindikasikan (boswick, 1992).
1. Computed tomography (CT Scan)
CT merupakan prosedur diagnostic yang
memerlukan transport penderita ke scanner,
pemberian kontras oral melalui mulut atau
melalui gastric tube, pemberian kontras intravena,
dan scanning dari abdomen atas dan bawah, dan
juga panggul. Ini makan waktu dan hanya
digunakan pada penderita normal hemodinamis
dimana tidak tampak indikasi untuk laparatomi
sito. Scan CT memberi informasi yang
berhubungan dengan cedera organ tertentu dan
tingkat beratnya, dan juga dapat mendiagnosis
cedera retroperitoneum dan organ panggul yang
sukar diakses melalui pemeriksaan fisik atau
diagnostic peritoneal lavage. Kontraindikasi
relative terhadap penggunaaan CT meliputi
penundaan karena menunggu scanner, pendrita
yang tidak mau bekerjasama dan tidak dapat
ditenangkan dengan aman, atau alergi terhadap
obat kontras bila tidak terdapat kontras non-ionis.
Hati-hati : CT bisa gagal mendeteksi cedera usus
(gastrointestinal), diafragma, dan pancreas. Bila
tidak ada cedera hepar atau lien, adanya cairan
bebas di rongga perut menandakan cedera pada
usus dan/atau mesenterium, dan harus dlakukan
intervensi pembedahan dini.
H. Penatalaksanaan
Prinsip berikut merupakan kunci perawatan
medis gawat darurat :
1. Bila diragukan adanya cidera internal, maka
untuk menegakkan diagnosis dini penting sering
mengulang pemeriksaan.
2. Dalam terapi, cedera yang mengganggu
pernapasan atau yang menyebabkan perdarahan
keluar, harus dianggap lebih gawat dari pada
cedera abdomen.
3. Trauma kapiler sangat sukar dinilai dan syok
tidak boleh dihubungkan dengan kerusakan otak;
bilas peritoneum mempunyai arti terpenting pada
pasien ini.
4. Lazim terdapat kumpulan cedera tertentu seperti
farktura iga kiri dengan cedera limpa; fraktura
pelvis dan rupture kandung kemih; fraktura
pedikal lumbal dan transeksi usus pada trauma
sabuk pengaman.
5. Diafragma meluas kesela iga IV, dan cedera yang
pada pemeriksaan superficial tampak terbatas
pada toraks bisa mempunyai komponen
abdominal dan diaframatik.
6. Jalannya peluru intra abdomen tidak dapat
diramalkan berdasarkan lubang masuk dan
lubang keluarnya; ia bervariasi sesuai posisi
penderita pada saat cedera dan dengan
kemungkinan perubahan arah peluru.
7. Pada luka tembus, punggung dan daerah anus
penderita harus diperiksa dengan seksama seperti
halnya pinggang ‘flank’ dan permukaan ventral.
8. Sabuk pengaman dapat mengakibatkan transeksi
usus total dengan hanya sedikit tanda klinis yang
dini.
9. Pemberian narkotika harus dihindarkan sampai
dibuat keputusan definitive tentang keperluan
pembedahan, karena narkotika dapat
mengaburkan gejala klinis (boswick, 1992).
Penatalaksanaan awal
Syok karena perdarahan kontinu menjadi sebab
kematian terbesar pada trauma abdomen. Larutan
ringer laktat (1000 ml/jam) harus segera dimulai
diberikan di tempat kecelakaan, bila terdapat syok
atau bila diperkirakan ada perdarahan
intraabdominal (boswick, 1992).
Pakaian anti-syok merupakan alat penting di
samping alat lapangan. Bila ada perdarahan
intraabdominal masif akut dan syok, maka
penggunaan pakaian ini dapat menyelamatkan
nyawa. Penting diingat bahwa bila pakaian
dilepaskan sebelum penderita sampai dikamar
bedah maka diperlukan sekitar 2000 ml cairan untuk
mendapatkan tekanan darah yang sama seperti
sebelum perdarahan (boswick, 1992).
Penatalaksanaan lanjut
1. Segera dilakukan operasi untuk menghentikan
perdarahan secepatnya. Jika penderita dalam
keadaan syok tidak boleh dilakukan tindakan selain
pemberantasan syok (operasi)
2. Pemberian antibiotika IV pada penderita trauma
tembus atau pada trauma tumpul bila ada
persangkaan perlukaan intestinal.
3. Luka tembus merupakan indikasi dilakukannya
tindakan laparatomi eksplorasi bila ternyata
peritonium robek. Luka karena benda tajam yang
dangkal hendaknya diekplorasi dengan memakai
anestesi lokal, bila rektus posterior tidak sobek,
maka tidak diperlukan laparatomi.
4. Penderita dengan trauma tumpul yang terkesan
adanya perdarahan hebat yang meragukan
kestabilan sirkulasi atau ada tanda-tanda perlukaan
abdomen lainnya memerlukan pembedahan.
5. Laparatomi
 Prioritas utama adalah menghentikan
perdarahan yang berlangsung. Gumpalan kassa
dapat menghentikan perdarahan yang berasal
dari daerah tertentu, tetapi yang lebih penting
adalah menemukan sumber perdarahan itu
sendiri
 Kontaminasi lebih lanjut oleh isi usus harus
dicegah dengan mengisolasikan bagian usus
yang terperforasi tadi dengan mengklem segera
mungkin setelah perdarahan teratasi.
 Melalui ekplorasi yang seksama amati dan
teliti seluruh alat-alat di dalamnya. Korban
trauma tembus memerlukan pengamatan
khusus terhadap adanya kemungkinan
perlukaan pada pankreas dan duodenum.
 Hematoma retroperitoneal yang tidak meluas
atau berpulsasi tidak boleh dibuka.
 Perlukaan khusus perlu diterapi
 Rongga peritoneal harus dicuci dengan larutan
garam fisiologis sebelum ditutup
 Kulit dan lemak subcutan dibiarkan terbuka
bila ditemukan kontaminasi fekal, penutupan
primer yang terlambat akan terjadi dalam
waktu 4 - 5 hari kemudian.
Penatalaksanaan kedaruratan trauma tembus
abdomen
1. mulai prosedur resusitasi (ABC sesuai indikasi).
2. pertahankan pasien pada brankard; gerakan dapat
menyebabkan fragmentasi bekuan pada pembuluh
darah besar dan menimbulkan hemoragi masif.
 Pastikan kepatenan jalan napas dan kestabilan
pernapasan serta sistem saraf
 Jika pasien koma, bebat leher sampai setelah
sinar x leher didapatkan
 Gunting baju dari luka
 Hitung jumlah luka
 Tentukan lokasi luka masuk dan keluar
3. kaji tanda dan gejala hemoragi. Khususnya jika hati
dan limpa mengalami trauma
4. kontrol perdarahan dan pertahankan volume darah
sampai pembedahan dilakukan
 berikan kompresi pada luka perdarahan eksternal
dan bendungan luka dada
 pasang kateter IV diameter besar untuk
penggantian cairan cepat dan memperbaiki
dinamika sirkulasi
 perhatikan kejadian syok setelah respon awal
terhadap terapi transfusi;ini sering merupakan
tanda adanya perdarahan internal.
5. aspirasi lambung dengan selang nasogastrik untuk
mendeteksi luka lambung, mengurangi kontaminasi
terhadap rongga peritoneum, dan mencegah
komplikasi paru karena aspirasi.
6. tutupi visera abdomen yang keluar dengan balutan
steril, balutan salin basah untuk mencegah
kekeringan visera.
 Fleksikan lutut pasien : mencegah protrusi lanjut
 Tunda pemberian cairan oral untuk mencegah
meningkatnya peristaltik dan muntah
7. pasang kateter uretra menetap untuk mendapatkan
kepastian adanya hematuria dan pantau haluaran
urine
8. awasi TTV, haluaran urine, pembacaan tekanan
vena sentral, nilai hematokrit, status neurologik
9. siapkan parasentesis atau lavase peritoneum ketika
terdapat ketidakpastian mengenai perdarahan
intraperitoneum.
10. siapkan sinografi untuk menentukan apakah
terdapat penetrasi peritoneum pada kasus luka tusuk
 jahitan dilakukan disekeliling luka
 kateter kecil dimasukkan ke dalam luka
 agens kontras di masukkan melalui kateter ; sinar
x menunjukkan apakah penetrasi peritoneum
telah dilakukan.
Penatalaksanaan kedaruratan trauma tumpul
1. mulai prosedur resusitasi dan eveluasi pasien secara
simultan
2. lakukan pengkajian fisik terus menerus: inspeksi,
palpasi, auskultasi, perkusi abdominal.
 Hindarkan memindah pasien sampai pengkajian
awal selesai. Gerakan dapat memecah bekuan
dalam pembuluh darah besar dan membuat
hemografi masif.
 Dapatkan tanda dan gejala yang diakibatkan dari
kehilangan darah, memar dan robekan organ
padat, dan kebocoran sekresi dari ruang visera
abdomen
 Awasi cedera dada, khususnya fraktur iga bawah
 Inspeksi bagian depan tubuh, pinggang, dan
punggung untuk adanya perubahan warna
kebiruan, asimetri, abrasi, dan kontusi.
 Evaluasi tanda dan gejala perdarahan, yang sering
mengikuti cedera abdomen, khususnya jika hati
dan limpa mengalami trauma.
 Catat nyeri tekan, nyeri lepas, gerakan
melindungi, kekakuan, dan spasme.
 Observasi peningkatan distensi abdomen. Ukur
lingkar abdomen setinggi umbilikus pada saat
masuk.
 Tanya tentang nyeri yang menyebar. Ini
membantu dalam mendeteksi cedera
intraperitoneum. Nyeri bahu kiri pada yang
mengalami perdarahan ruptur limpa, nyeri bahu
kanan akibat laserasi hati.
3. auskultasi bising usus.(bising usus menghilang
menyertai iritasi peritoneum)
4. siapkan pasien untuk prosedur diagnostik
5. bantu pemasangan selang nasogastrik untuk
mencegah muntah dan aspirasi

I. Komplikasi
Peritonitis
J. Pengkajian
Pengkajian merupakan aspek penting pada
trauma abdomen karena trauma ini membutuhkan
tindakan segera. Hal-hal yang dikaji meliputi :
(Sorensen 1987)
1. Kumpulkan riwayat tentang kejadian trauma.
2. Kaji pasien terhadap tanda-tanda distensi abdomen
lanjut. Adanya nyeri tekan, gerakan usus tak teratur,
kaku otot., bunyi usus hilang, hipotensi dan syok.
3. Auskultasi bunyi usus, tidak adanya bunyi usus
merupakan tanda terlibatnya intraperitoneal. Bila
terdapat tanda-tanda iritasi peritoneal biasanya
dilakukan ekploprasi celiotomy.
4. Catat semua keadaan fisik pasien seprti;
pemeriksaan yang dilakukan.
5. Amati adanya cedera dada yang sering merupakan
penyerta
1. Primari survey
a. Airway dan
breathing
Pada trauma abdomen ini di atasi terlebih
dahulu. Selalu ingat bahwa cedera bisa lebih
dari satu area tubuh, dan apapun yang di
temukan, ingat airway breathing terlebih
dahulu.
b. Circulation
Kebanyakan trauma abdomen tidak dapat
dilakukan tindakan apa-apa pada fase pra-RS,
namun terhadap syok yang menyertainya perlu
perlu penanganan yang agresif. Sebaiknya
monitoring urin dilakukan dengan pemasangan
DC, namun umumnya tidak diperlukan pada
fase pra-RS karena masa transprtasi yang
pendek.
c. Disability
Tidak jarang trauma abdomen disertai trauma
kapitis. Selalu periksa tingkat kesadaran
dengan GCS dan adanya lateralisasi (pupil
anisokor dan motorik yang lebih lemah satu
sisi).
d. Exposure
Setelah mengurus prioritas-prioritas untuk
menyelamatkan jiwanya, penderitaan harus
ditelanjangi dan diperiksa dari ubun-ubun
sampai jari kaki sebagai dari mencari cedera.
Bila menelanjangi penderita, sangat penting
mencegah hipotermi.
e. Apabila ditemukan
usus yang menonjol keluar,cukup dengan
menutupnya dengan kasa steril yang lembab
supaya usus tidak kering. Apabila ada benda
menancap, jangan di cabut, tetapi dilakukan
fiksasi benda tersebut terhadap dinding perut.
(gawat darurat 118,
hal 95)
2. Sekundari survey
Apabila ditemukan adanya syok segera atasi
dengan memberikan cairan infus atau dengan
melakukan tranfusi darah. Pemasangan sonde
lambung juga dapat dilakukan untuk mencari
adanya darah dalam lambung, sekaligus
mencegah aspirasi bila muntah.Untuk mengetahui
adanya lesi dalam kandung kemih lakukan
kateterisasi.
3. Tersier survey
Yang dilakukan pada tersier survey , antara lain :
o Riwayat kesehatan
o Riwayat trauma
o Riwayat mekanisme cedera : kekuatan
tusukan, tembakan, kekuatan tumpul (pukulan)
o Riwayat pemakaian obat
K. Diagnosa Keperawatan
1. Kurang
volume cairan b/d perdarahan masif
2. Nyeri
berhubungan dengan trauma jaringan
3. Kerusakan
integritas jaringan b/d trauma
4. Resiko tinggi
infeksi b/d tempat masuknya organisme sekunder
terhadap trauma
5. Resiko tinggi
perubahan perfusi jaringan b/d penurunan curah
jantung
Masalah yang timbul pada trauma abdomen
sering merupakan masalah medis yang perlu
penanganan segera seperti perdarahan,syok
hipovolemik, potensial infeksi, dan tetanus.
Diagnosa keperawatan muncul terutama setelah
akibat prosedur pembedahan abdominal yang
dilakukan. Menurut Sparks 1991 diagnosa
keperawatan pada pasien laparatomi meliputi :
 Potensial infeksi sehubungan dengan adanya luka
operasi
 Potensial injuri sehubungan dengan gangguan
aktifitas
 Nyeri sehubungan dengan adanya luka operasi
 Potensial kerusakan integritas kulit stoma
sehubungan dengan perembesan sekresi cairan dari
drainage.
 Gangguan body image sehubungan dengan adanya
kolostomy (stoma)
L.Daftar Pustaka
 Boswick, Jhon A. 1997. Perawatan Gawat Darurat.
Jakarta: EGC
 Doenges, Marylinn. 2000. Rencana Asuhan
Keperawatan. Jakarta: EGC
 Hudak, Carolin M. 1996. Keperawatan Kritis. (edisi
ke VI). Jakarta: EGC
 Smeltzer, Suzanne. 2002. Buku Ajar Keperawatan
Medical Bedah (edisi ke VIII). Jakarta: EGC
 Theodore, R. Schrock, M.D. Ilmu Bedah, Penerbit
Buku Kedokteran

Anda mungkin juga menyukai