Anda di halaman 1dari 8

Pendahuluan

Demam adalah salah satu respon tubuh terhadap penyakit yang disebabkan oleh patogen
dan erat kaitannya dengan peningkatan suhu tubuh. Peningkatan suhu tubuh yang tinggi dapat
memicu terjadinya kejang. Kejang demam adalah kejang yang terjadi pada suhu rektal yang
meningkat diatas 38⁰C. Kejang dapat terjadi pada anak berusia sekitar 6 bulan-5 tahun. Jika
dibandingkan dengan obat lain, ibuprofen memiliki efek yang lebih baik daripada parasetamol
atau aspirin pada anak kecil usia 6-24 bulan. Dosis yang dapat diberikan agar ibuprofen
memberikan efek antipiretik terhadap anak pada sediaan suppositoria adalah 125 mg.
Ibuprofen tergolong dalam BCS kelas II karena kelarutannya yang rendah dan
permeabilitas yang tinggi, maka proses disolusi diperlukan untuk obat yang memiliki kelarutan
rendah dan permeabilitas tinggi sebagai tahap yang dapat menentukan absorbsi obat. Ada
beberapa metode yang dapat meningkatkan kelarutan obat yaitu dengan modifikasi secara kimia,
kompleksasi, kosolven, solubilisasi misel dan dispersi padat. Dispersi padat adalah campuran
solid yang terdiri paling sedikit dua komponen yang berbeda berupa matriks hidrofilik dan obat
hidrofobik. Ibuprofen yang diberikan secara oral dapat menyebabkan terjadinya peningkatan
ulkus lambung.

Suppositoria adalah bentuk sediaan padat dimana satu atau lebih bahan aktif terdispersi
dalam basis yang sesuai dan memiliki bentuk yang sesuai untuk dimasukkan kedalam rektal
sehingga memberikan efek local atau sistemik. Suppositoria dapat memberikan efek penurunan
suhu yang lebih cepat dibandingkan sediaan oral. Dalam pembuatan basis suppositoria salah satu
basis yg dapat digunakan adalah lemak coklat yang merupakan basis larut lemak yang memiliki
titik leleh 30-36⁰C sehingga dapat leleh pada suhu manusia. Metode dispersi padat menggunakan
polimer dekstrosa meliputi uji :

Uji bilangan pengganti


Ditimbang bobot 6 supositoria tanpa ibuprofen, dan 6 bobot supositoria dengan ibu
profen perbandingan 1:1 dan 1:2. Kemudia dihidung bilangan pengganti dengan rumus
d/a – e (persamaan 1)

d = b/100 x c (persamaan 2)

e = c – d (persamaan 3)
dimana d adalah bahan aktif yang terkandung dalam 6 supositoria dan dihitung menggunakan
persamaan dua, a adalah bobot 6 supositoria yg hanya menggunakan basis, e basis yang
terkandung dalam 6 supositoria dan dihitung menggunakan persamaan 3.

Pembuatan supositoria
Lemak cokelat dilelehkan menggunakan hotplate pada suhu 35⁰C dan ditambahkan
ibuprofen secara perlahan kemudian diaduk hingga homogen. Kemudian campuran dituang
dalam cetakan yang telah diolesi paraffin cair, dibiarkan 15 menit dalam suhu ruang, kemudian
disimpan dalam lemari es suhu 4⁰C selama 45 menit.
Pembuatan dispersi padat
Ditimbang ibuprofen dan dekstrosa sesuai dengan perbandingan kemudian dilebur
bersama diatas hotplate pada suhu 145⁰C sambil diaduk hingga homogen. Dicampur kemudian
dikeringkan pada suhu ruang, digerus dan diayak dengan ayakan no.35.

Uji Difraksi Sinar X Dispersi Padat


Sampel berupa serbuk padatan yang diuji menggunakan alat difraktometer pada skala
sudut difraksi 2θ antara 5-30o dengan sumber CuKα17. Sampel digerus dan dipreparasi lebih
lanjut menjadi padatan dalam suatu holder yang kemudian diletakkan pada alat XRD dan
diradiasi dengan sinar X. Data hasil penyinaran berupa spektrum difraksi sinar X yang akan
terdeteksi dan tercatat oleh komputer dalam bentuk grafik peak intensitas dan akan dianalisis
antara bidang kisi kristalnya18.
Uji Organoleptis Supositoria Ibuprofen

Dilakukan dengan cara mengambil 10 supositoria yang dihasilkan, kemudian diamati


secara visual, meliputi homogenitas warna, bentuk sediaan, dan kondisi permukaan
supositoria19.

Uji Keseragaman Bobot Supositoria Ibuprofen

Dilakukan dengan cara menimbang 10 supositoria, kemudian dihitung bobot rata-rata


dan persen deviasinya20.

Uji Waktu Leleh Supositoria Ibuprofen


Supositoria dimasukkan ke dalam alat disintegrasi tablet yang berisi 700 ml air dengan
suhu yang dipertahankan pada 37 ± 0,5 ⁰ C21.

Uji Disolusi Supositoria Ibuprofen

Media disolusi yang digunakan adalah 250 ml dapar fosfat pH 7,4 ± 0,1 pada suhu 37 ±
0,1 ⁰ C dan kecepatan 50 rpm. Pada menit ke 5, 10, 15, 30, 45, 60, 90, dan 120 diambil sampel
sejumlah 10 ml kemudian diukur absorbansinya pada panjang gelombang 221,6 nm. Setiap kali
pengambilan media dilakukan penggantian cairan dengan jumlah media disolusi yang sama.
Hasil uji disolusi dievaluasi menggunakan parameter persen terdisolusi dan efisiensi disolusi
pada menit ke 120. Perhitungan efisiensi disolusi dihitung sesuai dengan persamaan 423:

DEt(%) = ∫t o y.dt /y100.t × 100% (persamaan 4)

Analisis statistik

Analisisi statisti menggunakan oneway Anova uji normalitas data menggunakan saphiro
wilk dan uji homogenitas data dengan levene’s test

Hasil

Dengan A adalah ibuprofen murni

B adalah dispersi padat 1:1

C adalah dispersi padat 1:2

D dekstrosa

Uji organoleptis

Ketiga fomulasi memiliki warna, permukaan dan


bentuk homogen. Warna putih kekuningan berbentuk
runcing seperti torpedo, permukaan tidak retak atau
berlubang.

Uji waktu leleh dan suhu leleh

Suppositoria ibuprofen rata rata leleh pada waktu


kurang dari 30 menit dan pada suhu 24,66o
Uji disolusi suppositoria

formulasi C lebih mudah terdisolusi dibandingkan dengan formulasi A dan B.

Diskusi

Hasil uji difraksi sinar x pada ibuprofen murni adalah 9636,74 pada 6,1667o (2θ), puncak pola
difraksi dispersi padat FB yaitu 4281,24 pada 6,0733⁰ (2θ) dan pada dispersi padat FC yaitu
2892,42 pada 6,1042⁰ (2θ). Terjadi penurunan derajat krisatinitas pada formulasi dengan
penambahan polimer dekstrosa, penurunan derajat kristanilitas ini menyebabkan meningkatkan
kelarutan ibuprofen.

Pada pembuatan sediaan suppositoria perlu adanya uji billangan pengganti yang setara untuk
mengetahuijumlah bahan aktif yang mengganti bobot basis dalam suppositoria. Hasil uji fisik
yang didapat memenuhi spesifikasi yang ditentukan. Dilakukan juga uji keseragaman bobot
dengan hasil ketiga formula memenuhi spesifikasi.

Sediaan suppositoria harus dapat leleh agar bisa melepaskan zat aktifnya. Berdasar uji waktu
leleh ketiga formula leleh tidak lebih dari 30 menit. Setelah leleh maka proses selanjutnya yang
terjadi pada tubuh adalah disolusi. Formula A memiliki jumlah obat terdisolusi paling sedikit
dibaning formula B dan C. Hal ini karena kristal ibuprofen pada formulasi A sangat stabil
sehingga pelartu sulit masuk.

Berdasarkan hasil perhtiungan efisiensi disolusi ketiga formula pada menit ke 120 formula C
memiliki nilai paling tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa pembuatan dispersi padat dengan
metode pelelehan dapat meningkatkan efisiensi disolusi ibuprofen. Peningkatan ini disebabkan
dalam pembuatan dispersi padat terjadi penurunan kristalinitasobat dan memperkecil ukuran
partikel.

Penyimpanan dispersi padat dapat mempengaruhi stabilitas fisiknya. Pada dispersi padat yang
disimpan di suhu ruang selama lebih dari 2 bulan akan menyebabkan terjadinya penuaan fisik
sehingga menurunkan disolusinya.

Dapat ditarik kesimpulan penggunaan dekstrosa sebagai polimer dalam dispersi padat dapat
meningkatkan jumlah ibuprofen yang terdisolusi.
Review jurnal drugs delivery and rectal absorption : suppositories

Latar belakang

Bentuk sediaan rektal adalah bentuk sediaan yang tidak umum karena masalah budaya dan sisi
psikologi namun sediaan rektal memiliki beberapa kelebihan seperti :

1. Dalam keadaan mual dan muntah tindakan minum obat secara oral dapat menyebabkan
muntah sebelum obat diserap.
2. Dapat menghindari obat – obat yang dapat menyebabkan iritasi pada lambung dan usus kecil
3. First pass eliminasi di hati dapat dihindari
4. Kontak dengan cairan pencernaan dihindari sehingga mencegah degradasi asam dan
enzimatik beberapa obat
5. Pengguna kalangan pediatric, geriatric dan pasien tidak sadar dimana mengalami kesulitan
dalam menelan obat.
6. Ataupun penggunaan obat dibatasi yaitu sebelum melakukan operasi, x-ray, atau pada pasien
yang memiliki penyakit GIT.
Namun untuk penyerapan obat pada usus kecil (termasuk rectum) bergantung pada koefisien
partisi dan ukuran molekul maka faktor – faktor yang mempengaruhi penyerapan pada rektal
sebagai berikut:

a. Modifikasi fisik
Semakin tinggi konsentrasi, semakin baik kelarutan dan lebih efisien dalam transfer obat.
Dalam penyerapan rektal rendah dan tinggi senyawa dengan berat molekul dalam rasio
konstan penyerapan. Rektum merupakan daerah yang menarik untuk penyerapan obat
karena tidak buffered dan memiliki pH netral. Memiliki aktivitas degradasi enzimatik yang
sangat rendah. Hal ini menyediakan luas permukaan yang cukup memadai untuk penyerapan
obat. Luas permukaan ini juga permeabel terhadap obat non-terionisasi.
b. Modifikasi Kimia
Untuk meningkatkan koefisien partisi dan mengurangi pembentukan ikatan hidrogen untuk
meningkatkan afinitas membran. Hal ini juga digunakan untuk meningkatkan kelarutan obat
larut air yang sangat buruk untuk meningkatkan disolusi.

c. Modifikasi Formula
Suatu obat diberikan melalui rute yang berbeda, rute yang paling umum ialah secara oral dan
parenteral, sementara rute pemberian rektal jarang digunakan.

Memiliki kelarutan yang buruk dalam air untuk meningkatkan tahap pengembangan
disolusi, melibatkan teknik kombinasi dari modifikasi formulasi dan modifikasi system
membran.

Suatu obat dicampur dengan berbagai adjuvant dan diberikan melalui rute pemberian rektal
memberikan hasil farmakokinetik yang memuaskan dengan toleransi lokal yang dapat
diterima. Dalam (proses osmosis) transfer obat dari penghantar dalam formulasi supossitoria
melintasi membrane melalui rectum ke dalam pembuluh vena haemorrhoid.

Rute transeluler dan paraseluler tergantung pada lipofilisitas dan terlibat dalam rute
transeluler yang khas.

Membran absorpsi terdiri atas :

a. Lapisan Mukus
Menyediakan keadaan pH yang stabil yang berdekatan dengan mukosa usus, yang
bertindak sebagai membrane difusi.

b. Lapisan Air Bergerak


Pada permukaan mukosa terdapat lapisan yang tidak tercampur. Semua molekul harus
melewati area ini dengan berdifusi dan dengan demikian ukuran molekul dan factor
penentu infusibilitas lainny akan mempengaruhi pergerakan obat menuju mukosa.

c. Membran kimia
Beberapa serat makanan seperti pectin dan chitosan memiliki pertukaran kation yang
dapat mengikat molekul seperti asam empedu. Ikatan ini meningkat pada keadaan pH
yang rendah yang ditemukan dalam usus besar dan dapat menadi factor dalam
imobilisasi beberapa obat.

Sediaan rektal dapat diaplikasikan menjadi

a. Bentuk sediaan pelepasan terkontrol / Controlled release dosage forms


profil waktu konsentrasi tidak dipengaruhi oleh buang air besar dan pembaharuan bentuk
sediaan. Hal ini juga digunakan untuk mempelajari interaksi farmakokinetik dan tentu saja
waktu intensitas efek obat dalam kondisi steady-state.

b. Peningkatan penyerapan rektal terkontrol / Controlled rectal absorption enhancement


Rectum cukup konstan dan rute rektal telah dianggap menarik untuk mencapai
peningkatan absropsi rektal terkontrol obat. Konsentrasi plasma (AUC) lebih besar dari
pada pemberian bolus dubur. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat pemberian obat
bersama-sama dengan peningkatan penyerapan rektum merupakan masalah penting untuk
menghasilkan (AUC). (tingkat penyerapan, dosis, dll, yang mempengaruhi kinetika
enhancer khususnya profil konsentrasi-waktu di situs kerjanya) dan farmakodinamik
(intensitas dan durasi efek, dll yang menentukan -nya Hubungan konsentrasi-efek) Luas
dan tingkat penyerapan obat dan bioavailabilitas peningkatan penyerapan dan itu
tergantung pada konsentrasi enhancer di membran rektal di lumen rektum. Jika
konsentrasi perubahan penyerapan penambah seperti (t = 0) membran apikal. Pemberian
obat dengan dan tanpa penambah diasumsikan menjadi solusi bolus.

c. Bentuk sediaan lepas lambat / Sustained-release dosage form


Hal ini cukup diamati dalam penyerapan atau pelepasan obat dari supositoria sehingga
efek ini disebut jeda waktu. Namun, tidak sering dipertimbangkan untuk perhitungan
daerah di bawah kurva (AUC) dan area di bawah kurva saat pertama konsentrasi
(AUMC) Plasma (C) -waktu (t) plot banyak obat dari supositoria yang ditandai dengan
perbedaan dua eksponensial. Sebuah jenis baru dari double-fase supositoria dengan dua
mekanisme pelepasan obat yang berbeda (cepat-release dan berkelanjutan-release)
dikembangkan. Namun supositoria fase ganda menunjukkan peningkatan sekitar 2 kali
lipat dari waktu tinggal rata-rata.
Penggunaan berkelanjutan-release supositoria untuk mengurangi frekuensi pemberian
obat. Dan dipersiapkan oleh langsung propil selulosa hidroksil dengan obat. Sebuah basis
gliserida digunakan untuk persiapan supositoria konvensional.

d. Suppositoria
Supositoria adalah bentuk sediaan padat obat dimaksudkan untuk dimasukkan ke dalam
lubang tubuh. Supositoria dan krim adalah dua mode utama pemberian obat melalui
rektum. Mereka digunakan untuk menyampaikan kedua obat sistemik dan lokal
bertindak. supositoria dimasukkan sebagai solid, dan melarutkan atau meleleh dalam
tubuh untuk memberikan pseudo obat diterima oleh banyak pembuluh darah yang
mengikuti usus besar. . Supositoria ada dalam berbagai ukuran dan bentuk yang
memfasilitasi penyisipan dan retensi mereka dalam rongga. supositoria rektal dewasa
beratnya sekitar 2 g sedangkan untuk anak-anak sekitar setengah berat badan itu.
supositoria mungkin berguna sebagai formulasi rilis berkelanjutan untuk pengobatan
jangka panjang dari penyakit kronis seperti hipertensi esensial, asma, diabetes, AIDS,
anemia, dll Selain itu ada minat yang tumbuh di kemungkinan pemberian rektal dalam
pengobatan pasca nyeri -operative atau sakit ganas.

Anda mungkin juga menyukai