Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH

TEORI ETIKA DAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN


BERETIKA

Disusun Oleh :
Ahmad Ridha Nurhidayat
Ghevin Kurnia

PENDIDIKAN PROFESI AKUNTANSI


UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur mari kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga berhasil
menyelesaikan Makalah ini yang alhamdulillah tepat pada waktunya.
Makalah ini berisikan tentang informasi ’’ Teori Etika dan Pengambilan
Keputusan Beretika’’. Diharapkan Makalah ini dapat menjawab segala
pertanyaan yang ada mengenai hal tersebut.
Kami menyadari bahwa Makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh
karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami
harapkan demi kesempurnaan Makalah ini.
Akhir kata, Kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah
berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga
Allah SWT senantiasa meridhoi segala usaha kita. Amin.

Pekanbaru Oktober 2018

Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ....................................................................................
DAFTAR ISI ...................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN ...............................................................................
1.1 Latar Belakang ...................................................................................
1.2 Rumusan Masalah ..............................................................................
1.3 Tujuan Materi.....................................................................................

BAB II PEMBAHASAN ................................................................................


2.1 Pengetian Etika
2.2 Teori Etika
2.3 Pengambilan Keputusan Beretika
2.4 Analisis Kasus Ford Pinto...........................................................

BAB III PENUTUP ........................................................................................


Kesimpulan ..................................................................................................
Saran

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang


Setiap individu dalam organisasi membuat keputusan. Para manajer puncak,
sebagai contoh menetukan tujuan organisasi mereka, produk atau jasa apa
yangakan di produksi, bagaimana sebaiknya mengorganisasikan dan
mengkoordinasikan unit kegiatan dan sebagainya, termasuk manajer tingkat
menengah atau bawah tergantung pada kewenangannya masing-masing.
Kualitas keputusan manjerial merupakan ukuran dari effektivitas manejer.
Proses pengambilan keputusan adalah bagaimana perilaku dan pola komunikasi
manusia sebagai individu dan sebagai anggota kelompok dalam struktur
organisasi. Salah satu pentingnya adalah pengambilan keputusan.
Tidak ada pembahasan pengambilan keputusan akan lengkap tanpa
dimasukkanya etika, mengapa, karena pertimbangan etis seharusnya merupakan
suatu kriteria yang penting dalam pengambilan keputusan organisasional. Pada
ksempatan kali ini kami penyusun akan membahas etika dalam pengambilan
keputusan.

1.2.Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, maka rumusan masalahnya adalah:
1. Apa saja teori yang digunakan untuk mengambil keputusan yang beretika?
2. Bagaimana pengambilan keputusan yang beretika?
3. Apa saja analisi kasus penyelesaian dalam kasus Ford Pinto

1.3. Tujuan Penulisan


Berdasarkan rumusan masalahnya, maka tujuan penulisannya adalah:
1. Untuk mengetahui teori yang digunakan untuk mengambil keputusan yang
beretika
2. Untuk mengetahui pengambilan keputusan yang beretika.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Etika


Etika (Yunani Kuno: “ethikos”, berarti “timbul dari kebiasaan”) adalah
cabang utama yang mempelajari nilai atau kualitas yang menjadi studi mengenai
standar dan penilaian moral. Kata etika berasal dari bahasa Yunani, ethos yang
berarti kebiasaan atau adat istiadat. Oleh filsuf Yunani, Aristoteles, etika
digunakan untuk menunjukkan dan menjelaskan fakta moral tentang nilai dan
norma moral, perintah, tindakan kebajikan dan suara hati. Etika mencakup analisis
dan penerapan konsep seperti benar, salah, baik, buruk, dan tanggung jawab. Pada
pengertian yang paling dasar, etika adalah sistem nilai pribadi yang digunakan
memutuskan apa yang benar, atau apa yang paling tepat, dalam suatu situasi
tertentu; memutuskan apa yang konsisten dengan system nilai yang ada dalam
organisasi dan diri pribadi.
Menurut Kaiser dalam ( Suhrawardi Lubis, 1994:6-7 ) Etika profesi
merupakan sikap hidup berupa keadilan untuk memberikan pelayanan
professional terhadap masyarakat dengan penuh ketertiban dan keahlian sebagai
pelayanan dalam rangka melaksanakan tugas berupa kewajiban terhadap
masyarakat.
Etika juga diartikan pula sebagai yang berkaitan dengan studi tentang
tindakan-tindakan baik ataupun buruk manusia di dalam mencapai
kebahagiaannya. Apa yang dibicarakan di dalam etika adalah tindakan manusia,
yaitu tentang kualitas baik atau buruk atau nilai-nilai tindakan manusia untuk
mencapai kebahagiaan serta tentang kearifannya dalam bertindak.
Etika dimulai bila manusia merefleksikan unsur-unsur etis dalam
pendapat-pendapat spontan kita Kebutuhan akan refleksi itu akan kita rasakan,
antara lain karena pendapat etis kita tidak jarang berbeda dengan pendapat orang
lain. Untuk itulah diperlukan etika, yaitu untuk mencari tahu apa yang seharusnya
dilakukan oleh manusia. Sebagai suatu ilmu, objek dari etika adalah tingkah laku
manusia.
2.1.1. Etika dan Moral
Brooks dan Dunn (2012) menggunakan definisi dari Encyclopedia of
Philosophy, yang melihat etika dari tiga definisi, yaitu :
1. Pola umum atau cara pandangan kehidupan
2. Sekumpulan aturan perilaku atau kode moral
3. Pertanyaan mengenai cara pandang kehidupan dan aturan perilaku
Etika profesi akuntansi berhubungan dengan definisi kedua. Jika definisi
kedua dikaji lebih lanjut, maka menurut Encyclopedia of Philosophy, aturan
perilaku atau kode moral memeiliki empat karakteristik yaitu :
1. Keyakinan tentang sifat manusia
2. Keyakinan tentang cita-cita, tentang sesuatu yang baik atau berharga untuk
dikejar atau dicapai
3. Aturan mengenai apa yang harus dikerjakan dan tidak dikerjakan
4. Motif yang mendorong kita untuk memilih tindakan yang benar atau salah
Seluruh teori pada dasarnya membahas apa yang harus dilakukan dan tidak
dilakukan.
Menurut Brooks dan Dunn (2012) terdapat tiga dasar mengapa manusi
melakukan tindakan beretika, yaitu agama, hubungan dengan pihak lain dan
persepsi tentang diri sendiri.
Brooks dan Dunn (2012) membedakan antara mementingkan diri sendiri
dengan egois. Egois adalah melakukan tindakan yang memberikan manfaat bagi
diri sendiri dengan tidak memerdulikan apakah tindakan tersebut merugikan pihak
lain atau tidak. Sedangkan mementingkan diri sendiri adalah melakukan tindakan
yang memberi manfaat bagi diri sendiri dengan tidak merugikan pihak lain.
Dalam gambar 2.1, menjelaskan panduan dalam membuat keputusan etika.
Dalam bisnis, terdapat banyak hambatan yang dapat mempengaruhi apakah
pembuat keputusan melakukan tindakan yang benar. Faktor-faktor tersebut dibagi
menjadi dua yaitu hambatan organisasi dan karakter individu. Hambatan
organisasi meliputi sistem reward, kultur organisasi, dan tekanan dari pihak top
perusahaan. Karakteristik individu merupakan pengaruh dimana apa yang
individu tersebut ketahui adalah benar termasuk salah pemahaman terhadap
bisnis, komitmen berlebihan terhadap perusahaan dan ketidakdewasaan beretika.
Dalam keempat karakteristik menurut Encyclopedia of Philosophy
dijabarkan menggunakan empat pokok teori etika yang dapat membantu manusia
dalam membuat keputusan etika di dalam lingkungan bisnis yaitu utilitarianism,
deontology, justice and fairness, dan virtue ethics.
Kebanyakan orang, dalam setiap waktu, mengetahui mana yang baik dan
yang salah. Dilema etika merupakan pemilihan diantara dua alternatif. Dilema
etika timbul pada saat alternatif yang ada tidak ada yang benar. Terdapat alasan-
alasan dalam setiap alternatif tersebut, sehingga terserah inidividu untuk
memutuskan alternatif apa yang diambil.

Teori Filosofis Utilitarianisme / Konsekuensialisme


Tata susila
Keadilan & Keadilan
Etika Kebajikan

Pengambilan
dilema
Keputusan Perilaku
etika Praktis etika

Kendala Praktis
Karakteristik pribadi
Fitur Organisasi
kekuatan Lingkungan

Gambar 2.1
2.1.2. Etika, Bisnis dan Hukum

Business

1
4 7
5
Law
3 6 2 Ethics

Gambar 2.2

Schwartz dan Carroll (dalam Brooks dan Dunn (2012)) menjelaskan bahwa
bisnis, etika, dan hukum dapat dilihat dalam tiga lingkaran diagram Venn seperti
gambar di atas.

Area 1 menunjukkan bahwa aspek dalam aktivitas bisnis tidak masuk ke


dalam area hukum dan etika.

Area 2 merupakan dimana area hukum tidak dapat melakukan apa-apa


terhadap etika dan bisnis.

Area 3 menunjukkan dimana etika tidak mempengaruhi bisnis dan secara


hukum legal.

Area 4 menunjukkan aturan-aturan yang perusahaan harus taati; peraturan


pemerintah, asosiasi profersional dan sebagainya.

Area 5 merupakan hal-hal yang saling meliputi dalam etika dan bisnis.
Area 6 merupakan hal-hal yang meliputi antara hukum dan etika.

Area 7, gabungan antara hukum, etika dan bisnis, akan menjadi masalah
apabila hukum yang berlaku bertentangan dengan etika.

2.1.3. Enlightened Self Interest sebagai Etika


Dua filsuf yang memberikan argumentasi bahwa enlightened self interest
merupakan dasar untuk tidakan beretika.Thomas Hobbes (1588-1679) dan Adam
Smith (1723-1790) memiliki keyakinan bahwa pada dasarnya manusia memiliki
sifat self interest. Sifat ini bukan ditiadakan tapi justru dimanfaatkan untuk
kebaikan.
Menurut Thomas Hobbes, manusia memiliki kebutuhan dasar untuk
menjaga dan mempertahankan kehidupannya. Manusia juga memiliki orientasi
jangka pendek.
Dari perspektif Hobbes, masyarakat madani dapat dilihat sebagai kontrak
sukarela antara individu di mana setiap orang mengorbankan hak dan kebebasan
individu mereka untuk mendapatkan perdamaian dan mempertahankan
kehidupannya. Masyarakat yang secara sukarela membatasi kebebasannya untuk
mendapatkan harmoni sosial. Masyarkat seperti ini disebut masyarkat Leviathan.
Bagi Hobbes, self-interest mendorong terciptanya kerjasama dan terbentuknya
masyarakat madani.
Menurut Adam Smith, self-interest mendorong terciptanya kerjasama
ekonomi. Pembeli dan penjual sama-sama memiliki kepentingan untuk
memuaskan kebutuhan dan keinginan mereka secara individual.
Individu yang self-interest secara tidak sengaja (atau tidak langsung)
meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. mereka sebetulnya
tidak bermaksud meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.
Mereka hanya memikirkan diri sendiri, dengan meproduksi barang dan jas yang
terbaik untuk memperoleh keuntungan. Terjadinya peningkatan kesejahteraan
masyarakat yang bukan merupakan tujuan dari produsen disebabkan oleh apa
yang disebut invisible hand.
Konsep ekonomi menurut Adam Smith, pertama adalah kegiatan
kerjasama sosial. Perusahaan menghasilkan produk dan jasa yang dibutuhkan oleh
masyarakat. Bisnis adalah kegiatan sosial dan masyarakat berjalan dalam prinsip-
prinsip etika. Kedua, pasar adalah kompetitif, bukan konflik. Persaingan sehat
akan menghasilkan barang dan jasa dengan kualitas terbaik dengan harga
termurah. Ketiga, etika membatasi perilaku oportunistik. Etika akan mengawasi
egoism dan kerasukan yang tidak terkendali.

2.2. Teori etika


2.2.1. Teleologi : Utilitarianisme dan Impact Analysis
Teleologi berasal dari bahasa Yunani telos yang berarti akhir, konsekuensi
atau hasil. Jadi teori teologi memperlajari perilaku etika yang berkaitan dengan
hasil dari keputusan-keputusan beretika. Teologi dikembangkan oleh filsuf-filsuf
aliran empirin dari Inggirs, seperti John Locke (1632-1704), Jeremy Bentham
(1748-1832), James Mill (1773-1836) dan John Stuart Mill (1806-1873).
Menurut teori teologi, suatu keputusan etika yang benar atau salah
tergantung apakah keputusan tersebut memberikan hasil yang positif jika benar
dan negatif jika salah. Kualitas etika dari pengambilan keputusan dan
keputusannya ditentukan berdasarkan hasil dari keputusan tersebut.
Utilitarianisme mendefinisikan baik atau buruk dalam bentuk konsekuensi
kesenangan (pleasure) dan kesakitan (pain). Tindakan beretika adalah tindakan
yang menghasilkan kesenangan atau rasa senang yang paling banyak atau rasa
sakit yang paling sedikit. Teori ini berdasarkan asusmsi bahwa tujuan hidup
adalah untuk bahagia dan segala sesuatu yang mendorong kebahagiaan secara
etika baik.
Utilitarianisme bebeda dengan hedoisme. Hedoisme pada individu yang
mengejar kesenangan individual. Sedangkan utilitarianisme melihat kesenangan
pada tingkat masyarakat. Terdapat dua aliran dari utilitarianisme, yaitu
utilitarianisme tindakan dan utilitarianisme aturan.
Utilitarianisme memiliki beberapa kelemahan. Kelemahan pertamaadalah
belum ada satu ukuran untuk kesenangan dan kebahagiaan. Kedua adalah
permasalahan dalam distribusi dan intensitas kebahagiaan. Ketiga adalah
menyangkup cakupan. Keempat adalah kepentingan minoritas yang terabaikan
akibat keinginan untuk memenuhi kebahagiaan lebih banyak orang (mayoritas).
Kelima, utilitarianisme mengabaikan motivasi dan hanya berfokus pada
konsekuensi.
2.2.2. Etika Deontologi : Motivasi untuk berperilaku
Deontologi berasal dari bahasa Yunanideon yang berarti tugas atau
kewajiban. Deontologi terkait dengan tugas dan tanggung jawab etika seseorang.
Deontologi mengevaluasi perilaku beretika berdasarkan motivasi dari
pengambilan keputusan. Menurut teori deontologi, suatu tindakan dapat saja
secara etika benar walaupun tidak menghasilkan selisih positif antara kebaikan
dan keburukan untuk pengambilan keputusan atau masyarakat secara keseluruhan.
Immanuel Kant (1724-1804), suatu kebaikan yang tidak berantahkan
adalah niat baik, niat untuk mengikuti apapun yang menjadi alasan untuk
melakuakn tindakan tersebut tanpa mempedulikan konsekuensi dari tindakan
tersebut terhadap diri sendiri.
Kant mengembangkan dua “hukum” untuk menilai tindakan yang beretika.
Pertama adalah categorical imperative. Ini, menurutnya merupakan prinsip utama
dari moralitas. Hukum ini menuntut kita untuk bertindak dengan
mempertimbangkan bahwa orang lain yang berada dalam situasi yang sama akan
melakukan tindakan yang sama. Hukum ini disebut imperative karena harus
ditaati dan disebut categorical karena tidak bersyarat dan absolut.
Hukum kant yang kedua adalah Praticial Imperative dalam berhubungan
dengan pihak lain. Setiap orang harus kita perlakukan sama, sebagaimana kita
memperlakukan diri sendiri. Jika kita menjadikan diri kita sebagai tujuan,
demikian pula kita menjadikan orang lain sebagai tujuan bagi dirinya. Kita dapat
memanfaatkan orang lain sepanjang orang tersebut juga menjadi bagian dari
tujuan kita.
Teori deontologi juga dianggap memiliki kelemahan. Kelemahan pertama
adalah categorical imperative tidak memberikan pedoman yang jelas untuk
memutuskan apa yang benar dan salah ketika dua hukum moral bertentangan dan
hanya satu yang dapat diakui. Hal yang terpenting dalam deontologi adalah niat
dari pengambilan keputusan dan ketaatan pengambilan keputusan terhadap
caterogical imperative.
2.2.3. Justice and Fairness – Memeriksa Keseimbangan
Filsuf Inggris David Hume (1711-1776), menyakini bahwa kebutuhan
keadilan muncul karena dua alasan. Pertama bahwa manusia tidak selalu bersifat
baik dan penolong, dan kedua adalah masalah kelangkaan sumber daya. Hume
beragumentasi justice sebagaimana makanisme. Justice adalah proses pemberian
atau alokasi sumber daya dan beban berdasarkan alasan rasional. Ada dua aspek
dari justice, yaitu procedural justice (proses penentuan alokasi) dan distributive
justice (alokasi yang dilakukan).
Procedural justice berkepentingan dengan bagaimana justice
diadministrasikan. Aspek utama dari suatu sistem hukum yang adil adalah
prosedur yang adil dan transparan. Keadilan juga dapat dinilai berdasarkan fakta.
2.2.4. Distributive Justice
Aristoteles (384-322 SM) dikenal sebagai orang pertama yang
beragumentasi bahwa kesamaan harus diperlakukan secara sama sedangkan
ketidaksamaan harus diperlakukan secara tidak sama sesuai dengan proporsi
perbedaan yang terjadi. Anggapan bahwa semua orang sama tidak selalu benar.
Terdapat dua hal yang terkait dengan perbedaan antara masing-masing orang.
Pertama adalah pembuktian bahwa ada ketidaksamaan anatara masing-masing
orang. Untuk itu, perlu digunakan kriteria-kriteria yang relevan sesuai dengan
kebutuhan situasi. Kedua adalah bagaimana melakukan suatu distributive justice,
melakukan alokasi yang adi berdasarkan ketidaksamaan.
Paling tidak terdapat kriteria yang dapat digunakan untuk melakukan
alokasi, yaitu berdasarkan kebutuhan, aritmatika kesamaan, dan merit. Kriteria
kedua adalah aritmetika kesamaan. Kriteria ketiga adalah berdasarkan merit.
Seorang filsuf Amerika, John Rawls (1921-2002) mengembangkan sebuah
argumentasi justice as fairness. Ia mengembangkan Theory of Justice berdasarkan
asumsi self-interest dan self-reliance. Principles of justice, suatu prinsip untuk
alokasi yang adil antar anggota masyarakat. Prinsip ini menetapkan hak dan tugas
dari anggota masyarakat dan menetapkan suatu pembagian masyarakat
berdasarkan kelebihannya secara sosial.
Justice as fairness artinya adalah apapun prinsip-prinsip yang disepakati
pada tahap awal ini akan dianggap adil untuk semua pihak, karena kalau tidak
dirasakan adail maka tidak terjadi kesepakatan.
Diferrence principle memahami bahwa secara alamiah terjadi perbedaan
antara manusia. Ada manusia dilahirkan didaerah yang kaya kekayaan alam, ada
yang dilahirkan dari keluarga kaya dan terhormat, dan ada yang lahir dengan
bakat-bakat tertentu. Dengan principle justice as fairness apa yang disebut benar
dan adil adalah setiap orang memperoleh kemanfaatan dari situasi ketidaksamaan
(perbedaan) sosial dan ekonomi.
2.2.5. Virtue Ethics
Virtue ethics berasal dari pemikiran Aristoteles yang mencoba membuat
konsep mengenai kehidupan yang baik. Menurutnya, tujuan kehidupan adalah
kebahagiaan. Kebahagiaan versi aristoteles kegiatan jiwa, bukan kegiatan fisik
sebagaimana konsep kebahagiaan hedonism.Virtue adalah karakter jiwa yang
terwujud dalam tindakan-tindakan sukarela (yaitu tindakan yang dipilih secara
sadar dan sengaja). Kita akan menjadi orang baik jika secara teratur melakukan
tindakan kebajikan.
Virtue ethics berfokus kepada karakter moral dari pengambil keputusan,
bukan konsekuensi dari keputusan (utilitarianisme) atau motivasi dari pengambil
keputusan (deontologi). Teori ini mengambil pendekatan yang lebih holistic untuk
memahami perilaku beretika dari manusia.
Keunggulan dari virtue ethics adalah teori ini mengambil pandangan yang
lebih luas dalam memahami pengambilan keputusan yang memiliki beragam ciri-
ciri karakter. Dua permasalahan utama dari virtue ethics, menurut Brooks dan
Dunn (2012) adalah menentukan virtues apa yang harus dimiliki seseorang sesuai
dengan jabatan dan tugasnya, dan bagaimana virtues ditunjukkan di tempat kerja.
Sebuah virtue yang menjadi kunci dalam bisnis adalah integritas, yang
meliputi kejujuran dan ketulusan. Permasalahan dari virtue ethics adalah sulit
untuk membuat daftar yang lengkap mengenai virtue dan ada kemungkinan virtue
tergantung kepada situasi tertentu.
2.2.6. Ethical Decision-Making Framework (EDM)
Kerangka ini disusun menggabungkan kebutuhan tradisonal perusahaan
yaitu keuntungan dan legalitas dengan kebutuhan yang secara filosofis penting
dan yang pada saat ini diminta oleh stakeholders. Kerangka ini dirancang untuk
meningkatkan penalaran etika dengan menyediakan:
1. Wawasan identifikasi dan analisis isu-isu kunci yang harus
dipertimbangkan dan pertanyaan atau tantangan yang harus
diangkat.
2. Pendekatan untuk mengkombinasi dan penerapan faktor relevan
keputusan ke dalam aksi nyata.
Kerangka EDM menilai etika dari keputusan atau tindakan dengan menguji:
1. Konsekuensi atau baik buruknya yang dibuat dalam hal keuntungan
bersih dan biaya.
2. Hak dan kewajiban yang terkena dampak.
3. Keadilan yang terlibat.
4. Motivasi atau kebajikan yang diharapkan.

2.3. Pengambilan Keputusan Beretika


Pengambilan keputusan dapat dianggap sebagai suatu hasil atau keluaran
dari proses mental atau kognitif yang membawa pada pemilihan suatu jalur
tindakan di antara beberapa alternatif yang tersedia. Setiap proses pengambilan
keputusan selalu menghasilkan satu pilihan final. Keputusan dibuat untuk
mencapai tujuan melalui pelaksanaan atau tindakan
2.3.1. Etika Pengambilan Keputusan
Seorang pemimpin dalam mengambil keputusan dihadapkan pada dilema
etika dan moral. Keputusan yang diambil pemimpin tentunya akan menghasilkan
dampak bagi orang lain. Idealnya, seorang pemimpin mempunyai integritas yang
menjunjung tinggi nilai moral dan etika. Sehingga, keputusan yang diambilnya
adalah mengacu tidak hanya pada kepentingannya sendiri, melainkan juga
kepentingan orang banyak termasuk lingkungannya. Maka ada baiknya sebelum
kita mengambil keputusan kita harus mengacu pada prinsip-prinsip berikut ini:
1. Autonomy
Isu ini berkaitan dengan apakah keputusan anda menimbulkan kerugikan
terhadap orang lain? Setiap keputusan yang Anda ambil tentunya akan
mempengaruhi banyak orang. Oleh karena itu, Anda perlu mempertimbangkan
faktor ini ke dalam setiap proses pengambilan keputusan Anda. Misalnya
keputusan untuk merekrut pekerja dengan biaya murah. Seringkali perusahaan
mengeksploitasi buruh dengan biaya semurah mungkin padahal sesungguhnya
upah tersebut tidak layak untuk hidup.
2. Non-malfeasance
Apakah keputusan Anda akan mencederai pihak lain? Di kepemerintahan,
nyaris setiap peraturan tentunya akan menguntungkan bagi satu pihak sementara
itu mencederai bagi pihak lain. Begitu pula halnya dengan keputusan bisnis pada
umumnya, dimana tentunya menguntungkan bagi beberapa pihak namun tidak
bagi pihak lain.
3. Beneficence
Merupakan keputusan harus dapat menjadi solusi bagi masalah dan
merupakan solusi terbaik yang bisa diambil.
4. Justice
Proses pengambilan keputusan mempertimbangkan faktor keadilan, dan
termasuk implementasinya. Di dunia ini memang sulit untuk menciptakan
keadilan yang sempurnam namun tentunya kita selalu berusaha untuk
menciptakan keadilan yang ideal dimana memperlakukan tiap orang dengan
sejajar.
2.3.2. Kriteria Pengambilan Keputusan Yang Etis
Pengambilan keputusan semata-mata bukan karena kepentingan pribadi
dari seorang si pengambil keputusannnya. Beberapa hal kriteria dalam
pengambilan keputusan yang etis diantaranya adalah:
 Pendekatan bermanfaat
Adalah konsep tentang etika bahwa prilaku moral menghasilkan kebaikan
terbesar bagi jumlah terbesar.
 Pendekatan individualisme
Adalah konsep tentang etika bahwa suatu tindakan dianggap pantas ketika
tindakan tersebut mengusung kepentingan terbaik jangka panjang seorang
indivudu.
2.3.3. Konsep etika
Adalah menyangkut keputusan yang dengan sangat baik menjaga hak-hak
yang harus dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan. Brooks dan Dunn
(2012) mencoba untuk menyatukan teori-teori etika dalam penjelasan
pengambilan keputusan beretika. Permasalahannya adalah sebetulnya tidak mudah
membuat suatu pernyatuan dari teori-teori tersebut. Namun bagi beberapa
pengambilan keputusan lebih menyukai pedoman praktis dari pada harus
mendalami teori-teori yang filosofis. Berikut adalah beberapa pedoman yang
dapat digunakan pengambilan keputusan beretika :

1. Sniff Tests & Common Rules of Thumb – Preliminary Test of the


Ethicality of a Decisson
Sniff test merupakan semacam preliminary test yang dapat dilakukan dengan cepat
sekedar untuk memastikan bahwa keputusan yang diambil telah melalui beberapa
test etika. Berikut ini sniff test yang biasanya digunakan :
 Apakah saya nyaman jika tindakan atau keputusan ini muncul besok pagi
dihalaman pertama surat kabar nasional?
 Apakah saya bangga dengan keputusan ini?
 Apakah ibu saya bangga dengan keputusan yang saya ambil?
 Apakah keputusan ini sesuai dengan misi dan kode etik perusahaan?
 Apakah saya nyaman dengan keputusan ini?
Sebagaimana dapat dilihat diatas, sniff test tidak berhubungan langsung
dengan teori-teori etika yang telah dibahas sebelumnya.
Selain itu, banyak eksekutif semacam rule of thumb dalam proses pengambilan
keputusan beretika, sebagaimana contoh dibawah ini:
Golden rule Jangan perlakukan orang lain yang kamu tidak ingin mereka
lakukan terhadapmu
Disclosure rule Jika anda nyaman dengan tindakan dan keputusan yang akan
diambil setelah menanyakan pada diri sendir, apakah anda tidak
berkeberatan jika rekan kerja, teman, dan keluarga anda
mengetahui hal ini
Intuition ethics Lakukan apa yang “kata hati” anda katakana
Categorical Anda dapat menerapkan prinsip ini jika secara konsisten juga
imperative dapat diterapkan oleh orang lain

Professional Lakukan hanya yang dapat dijelaskan dan dipertanggung


ethics jawabkan kepada komite, jika diminta

Prinsip utilitarian Lakukan yang terbaik (paling bermanfaat) bagi sebanyak


mungkin orang
Prinsip virtue Lakukan apa yang dapat menggambarkan virtue yang diharapkan

Stakeholder Impact Analysis


Sesuai dengan judulnya, maka stakeholder impact analysis merupakan penerapan
teori utilitarianisme dalam keputusan bisnis. Kelebihan dari stakeholder impact
analysis ini adalah memberikan kerangka analisis mengenai pihak-pihak yang
kemungkinan terkena pengaruh dari keputusan yang diambil.
Tahapan dalam stakeholder impact analysis adalah sebagai berikut:
1. Analysis kepentingan dari masing-masing pemangku kepentingan
2. Hitung dampak yang dapat dikuantifikasi
a. Laba.
b. Dampak yang tidak tercakup dalam laba namun dapat diukur langsung.
Biasanya ini adalah biaya eksternalitas, misalnya biaya kerusakan
lingkungan akibat tidak dilakukan pengolahan limbah. Atau biaya
kemacetan lalu lintas dengan bertambahnya jumlah kendaraan.
c. Dampak yang tidak tercakup dalam laba dan tidak dapat diukur langsung.
Misalnya biaya pengobatan dari penyakit yang mungkin terjadi akibat
polusi yang dilakukan perusahaan. Atau biaya sosial akibat pengurangan
pegawai.
d. Hitung net present value dari selisih present velue dari biaya akibat
tindakan yang sedang dipertimbangkan akan dilakukan.
e. Hitung risk benefit analysis.
f. Identifikasi pemangku kepentingan yang beropetensi terkena pengaruh
dari keputusan dan buat peringkat.
3. Lakukan penilaian terhadap dampak yang tidak dapat dikuantifikasi.
a. Keadilan dan kesetaraan antara pemangku kepentingan.
b. Hak-hak dari pemangku kepentingan.

2. Stakeholder Impact Analysis: Pendekatan Tradisional dalam


Pembuatan Keputusan
Beberapa pendekatan telah dikembangkan yang memanfaatkan
stakeholder impact analysis untuk menyediakan panduan tentang keberetikaan
dalam tindakan yang diusulkan oleh pembuat keputusan. Ada tiga pendekatan
menurut Brooks dan Dunns (2012) yaitu:
1. Pendekatan tradisional 5 pertanyaan
Pendekatan ini merupakan pengujian terhadap tindakan yang diusulkan
berdasarkan lima pertanyaan yang ditunjukkan dalam tabel sebagai berikut.
APAKAH KEPUTUSAN MINAT STAKEHOLDER
YANG DIUJI
1. Menguntungkan? Pemegang saham
2. Legal? Lingkungan sosial
3. Adil? Keadilan bagi semua
4. Benar? Hak-hak lain dari semua
5. Pembangunan keberlanjutan? Hak-hak yang spesifik
Pertanyaan 5 merupakan pertanyaan optional yang didesain untuk fokus
terhadap proses pembuat keputusan dalam menyikapi isu-isu relevan bagi
organisasi
Keputusan yang diusulkan diuji dengan menanyakan semua pertanyaan.
Jika respon negatif muncul ketika semua pertanyaan tersebut ditanyakan, maka
pembuat keputusan dapat mencoba revisi tindakan yang diusulkan untuk
menghapus yang negatif. Jika revisi tersebut berhasil, maka proposal tersebut
akan beretika. Jika tidak, proposal tersebut harus diabaikan atau tidak beretika.
Bahkan jika tidak ada respon negatif yang muncul, usaha-usaha perlu dilakukan
untuk meningkatkan tindakan yang diusulkan menggunakan kelima pertanyaan
tersebut sebagai panduan.
2. Pendekatan tradisional standar moral
Pendekatan standar moral dibentuk dengan fokus pada tiga kepentingan
utama dari stakeholders. Fokus dalam pendekatan ini lebih umum daripada
pendekatan 5 pertanyaan, dan memimpin pembuat keputusan untuk analisis yang
lebih luas berdasarkan dari keuntungan bersih bukan hanya profitabilitas sebagai
tantangan pertama keputusan yang diusulkan.
Tiga standar yang merupakan bagian dari standar moral ditunjukkan dalam
tabel berikut ini.
MORAL STANDARD QUESTION OF PROPOSED
DECISION
Utilitarian:
memaksimalkan keuntungan bersih Apakah tindakan tersebut
untuk masyarakat secara memaksimalkan keuntungan sosial
keseluruhan dan meminimalisir kerugian sosial?

Individual rights:
Respek dan perlindungan Apakah tindakan dilakukan konsisten
dengan hak setiap orang?
Justice:
Distribusi yang adil terhadap Akankah tindakan tersebut membawa
keuntungan dan beban distribusi yang adil terhadap
keuntungan dan beban?
3. Pendekatan tradisional Pastin
Dalam bukunya, The Hand Problems of Management: Gaining the Ethical
Edge, Mark Pastin (1986) menyajikan idenya tentang pendekatan yang tepat
terhadap analisis etika, dimana menguji empat aspek kunci yang ditunjukkan
dalam tabel berikut.
KEY ASPECT PURPOSE OF EXAMINATION
Ground rule ethics Untuk menjelaskan aturan dan nilai-nilai individu atau
organisasi.
End-point ethics Untuk menentukan kebutuhan terbesar bagi semua pihak
Rule ethics Untuk menentukan batasan individu atau organisasi
berdasarkan prinsip etika.
Social contract ethics Untuk menentukan bagaimana memindahkan batasan untuk
menghindari konflik.

Pastin menggunakan konsep ground rule ethics untuk menangkap ide


bahwa individu dan organisasi memiliki aturan dasar atau nilai fundamental yang
menguasai perilaku mereka atau perilaku yang diinginkan.
Dalam konsep end-point ethics, Pastin menyarankan kebutuhan-kebutuhan
terbesar dari stakeholders seperti keuntungan. Konsep rule ethics digunakan untuk
mengindikasikan nilai dari aturan yang timbul dari aplikasi prinsip etika ke
sebuah dilema etika. Konsep mengenai keadilan tergabung oleh Pastin ke dalam
social contract ethics. Di sini ia menunjukkan bahwa merumuskan keputusan
yang diusulkan menjadi kontrak imajiner akan membantu karena kontrak imajiner
memungkinkan pembuat keputusan untuk mengubah tempat dengan pemangku
kepentingan yang akan berdampak pada pemangku kepentingan. Sebagai
hasilnya, pembuat keputusan dapat melihat jika dampak tersebut cukup adil untuk
dimasukkan ke dalam kontrak.
2.4. Analisis Kasus Ford Pinto

Pada bulan Mei tahun 1968, Ford Motor Company, berdasarkan


rekomendasi saat itu wakil presiden Lee Iacocca, memutuskan untuk
memperkenalkan mobil terbarunyadalam menghadapi persaingan kuat dari
Volkswagen. Demi mendapatkan pangsa pasar yang besar, mobil tersebut
dirancang dan dikembangkan secara cepat di dalam negeri. Yang di maksud
secara cepat di sini adalah bahwa desain dan pengujian pra produksi biasanya
membutuhkan waktu sekitar tiga setengah tahun dan pengaturan produksi yang
sebenarnya agak lebih lama, namun pada kenyataanya desain Ford Pinto dimulai
pada tahun 1968 dan produksi dimulai tahun 1970. Tujuan lain Ford Pinto adalah
memproduksi mobil dengan berat sebesar 2.000 pound, dengan label harga
sebesar $2.000 atau kurang. Dan ternyata selama beberapa tahun penjualan
pertama Pinto bisa dikatakan sangat bagus, karena total penjualan mencapai
3.200.000 unit dari berbagai varian.

Proyek Pinto diawasi oleh Robert Alexander, wakil presiden teknik mobil
dan telah disahkan oleh Komite Perencanaan Produk Ford, yang terdiri dari
lacocca, Alexander, dan wakil presiden teknik kelompok Ford, Harold
MacDonald. Para insinyur di Ford yang bekerja pada proyek tersebut
“bertanggung jawab” kepada supervisor langsung mereka, dimana melakukan hal
yang sama selanjutnya kepada atasan mereka, dan selanjutnya juga kepada
Alexander dan MacDonald dan akhirnya lacocca.

Banyak laporan yang dilewatkan dalam rantai komando selama desain dan
proses persetujuan, termasuk beberapa hasil tes tabrakan, dan usulan untuk
memperbaiki kecenderungan mobil akan meledak pada bagian belakang ketika
dipacu pada kecepatan 21 mil per jam. Kecenderungan ini disebabkan karena
letak tangki gas mobil di antara roda dan bumper belakang sedemikian rupa
sehingga tumbukan pada bagian belakang kendaraan ini dapat memicu ledakan.

Perbaikan yang dapat dilakukan oleh Ford diantaranya merubah posisi


tangki sebelumnya di bagian belakang mobil menjadi di atas roda belakang yang
akan memperkecil bagasi mobil atau memasang rubber bladder di tangki bensin.
Ford mencoba untuk memasang rubber bladder, tetapi ini memakan banyak biaya.
Kemudian, sebagai bagian dari upaya lobi yang berhasil terhadap peraturan
pemerintah untuk tes wajib kecelakaan, analisis biaya manfaat Ford terungkap
dalam studi perusahaan yang berjudul “Fatalities Assosiated with Crash-Induced
Fuel Leakage and Fires”. Biaya yang dikeluarkan untuk memasang rubber bladder
jauh melebihi manfaatnya.

Berdasarkan hasil penelitian National Highway Traffic Safety


Administration Ford menghabiskan biaya sebesar $200.000 untuk ganti rugi
kematian konsumen.

Ford’s Cost-Benefit Analysis


SAVINGS UNIT COST TOTAL
Benefits:
180 burn deaths $200,000 $36,000,000
180 serious burn injuries 67,000 12,060,000
2100 burned vehicles 700 1,470,000
Total benefits $49,530,000

Costs:
Number of units
11 million cars 11 $121,000,000
1,5 million light trucks 11 16,500,000
Total costs $13,500,000
FATALITY PAYMENT
1971 COSTS
COMPONENT
Future productivity losses
Direct $132,000
Indirect 41,300
Medical costs
Hospital 700
Other 425
Property damage 1,500
Insurance administration 4,700
Legal and court 3,000
Employer losses 1,000
Victim’s pain and suffering 10,000
Funeral 900
Assets (lost consumption) 5,000
Miscellaneous 200
Total per fatality: $200,725

Pembahasan Masalah :

1. Untuk mengetahui apakah keputusan untuk tidak menginstal rubber


bladder sudah tepat? Untuk mendukung analisis ini, kita menggunakan
pendekatan 5 pertanyaan dalam mengambil keputusan secara etis.
Dalam kasus Ford Pinto ini, desainer dan pihak Ford secara keseluruhan tidak
memikirkan dampak berbahaya yang bisa terjadi. Desain dari mobil Ford Pinto
tidak memikirkan aspek keamanan dan keselamatan bahkan nyawa seseorang.
Padahal mobil ini diproduksi secara massal.Dilihat dari sisi konsumen, keputusan
perusahaan Ford tidak menginstal rubber bladder jelas sangat merugikan, karena
Ford sudah melakukan tindakan kecurangan dengan melakukan penghematan
biaya produksi dan tidak memperhatikan kualitas produk untuk keamanan dan
keselamatan pengendara. Sedangkan dilihat daris sisi Ford, jelas mereka lebih
mencari profit dari pada harus menginstal rubber blader untuk keselamatan
penumpang.
Dengan menggunakan Pendekatan 5-Question Framework, maka hal-hal
yang mendukung analisis ini adalah sebagai berikut :
1. Apakah ini menguntungkan?
Dilihat dari sisi Ford, hal ini sangat menguntungkan karena ini menekan
biaya produksi dengan tidak menginstal rubber bladder, Ford tidak
menginstal rubber bladder karena memakan banyak biaya sebesar
$137.500.000, sedangkan jika rubber bladder tidak dipasang maka
biayanya hanya sebesar $49.530.000. Ini berarti Ford Mobil Company bisa
menghemat biaya sebesar $87.970.000. Sedangkan kalau dilihat dari sisi
konsumen ini sangat merugikan karena keselamatan pengendara dan
kualitas produk tidak diperhatikan.
2. Apakah ini sah di mata hukum?
Tidak diperhatikannya keselamatan penumpang serta buruknya kualitas
produk yang dihasilkan, jelas ini tidak sah di mata hukum. Seharusnya
Perusahaan Ford ini tidak layak dipasarkan karena tidak sesuai dengan
peraturan pemerintah dalam hal tes wajib kecelakaan.Perusahaan Ford
jelas melanggar legalitas karena dalam proses uji kecelakaan, Ford
melakukan lobby dengan Pemerintah dan uji kecelakaan ditunda selama 8
tahun, padahal Ford Pinto sudah dijual ke pasaran sebelum uji kecelakaan
tersebut. Hal ini membuktikan bahwa Ford berusaha menutupi kecacatan
produknya kepada publik dengan tetap menjualnya tanpa diinstal rubber
bladder.
3. Apakah ini adil?
Setelah produk Ford Pinto selesai diproduksi dan diuji kelayakaannya
oleh Ford, ternyata mobil meledak saat ditabrak dari belakang karena
tangki bensin berada tepat dibawah bumper. Ford sendiri sudah
mengetahui hal tersebut dan mengajukan lobby kepada pemerintah untuk
menunda uji kecelakaaan selama 8 tahun. Ford juga tidak berusaha
menginstal rubber bladder karena biayanya sangat tinggi. Hal ini tidak
fair bagi konsumen/publik karena perusahaan tidak mementingkan
keselamatan penumpang dan perusahaan Ford juga menutupi kenyataan
tersebut dan tetap menjual Ford Pinto ke pasaran
4. Apakah ini benar?
Dalam kasus ini, Ford tidak mementingkan hak-hak konsumen dan tidak
menjamin keselamatan pengguna Ford Pinto. Konsumen/publik
seharusnya berhak mengetahui produk tersebut layak digunakan atau tidak
dengan spesifikasi produk yang jelas. Tetapi Ford justru menyembunyikan
kenyataan tersebut dan sama saja Ford melakukan kebohongan publik.
5. Apakah ini mendukung terhadap pengembangan yang berkelanjutan?
Jika setelah produk Ford Pinto dipasarkan dan terjadi insiden kecelakaan
yang diakibatkan oleh kesalahan Ford yang dengan sengaja tidak
menginstal rubber bladder, maka persepsi negatif masyarakat akan produk
tersebut akan muncul dan hal tersebut bisa merusak reputasi Ford. Hal ini
berpengaruh pada kelangsungan produk Ford Pinto di pasaran.
Konsumen/publik menjadi lebih berhati-hati memilih kendaraan yang
aman untuk dikendarai

2. Untuk mengetahui kesalahan dalam analisis biaya manfaat oleh Ford?


Dalam kasus ini, Ford terlalu menekan biaya produksi sebesar $2000
untuk memproduksi sebuah mobil dengan harapan memperoleh profit sebesar
mungkin. Ford mendesain mobil dengan meletakkan tangki bensin di bawah
bumper belakang dengan harapan membuat bagasi lebih luas. Saat uji
kelayakan ternyata Ford Pinto langsung meledak saat ditabrak dari belakang.
Dari uji kelayakan tersebut seharusnya Ford mendesain ulang Ford Pinto
dengan menginstal rubber bladder di tangki bensin. Tetapi hal tersebut tidak
dilakukan karena membutuhkan biaya sebesar $137.500.000. Apabila Ford
tidak menginstal rubber bladder maka biayanya hanya sebesar $49.530.000
sehingga menghemat $87.970.000. Hal ini menandakan bahwa Ford tidak
ingin kehilangan banyak biaya untuk mendesain ulang Ford Pinto dengan
rubber bladder dan mengesampingkan keselamatan penumpang.

3. Untuk mengetahui haruskah Ford memberikan pilihan kepada


konsumennya dalam hal penginstalan rubber blader, katakanlah biaya
yang dibebankan sebesar $20?
Tidak perlu karena rubber bladder seharusnya diinstal oleh Ford Pinto
karena kesalahan Ford Mobil Company. Konsumen seharusnya tidak perlu
dibebani $20 untuk mendapatkan rubber bladder karena itu merupakan
tanggung jawab perusahaan Ford untuk keselamatan para pengguna Ford
Pinto. Kebijakan pembebanan $20 tersebut kami rasa tidak etis karena Ford
sekaan-akan ingin mendapat ganti rugi karena kesalahan mereka sendiri dan
jika itu diumumkan ke publik sama saja memberi tahu publik akan bahaya
Ford Pinto tanpa instalasi rubber bladder.

Kasus Skandal Akuntansi Toshiba


Skandal Akuntansi Toshiba baru-baru ini menggegerkan dunia profesi
akuntansi. Betapa tidak, perusahaan yang telah berusia 140 tahun itu tiba-tiba
kehabisan akal untuk mempertahankan kinerja keuangannya. Penggelembungan
laba sebesar 151,8 miliar yen atau 1,22 miliar dolar AS ini yang awalnya ingin
menciptakan investor’s confidence ternyata telah mencoreng nama besar Toshiba
selama ini.
Kepala Eksekutif Toshiba Corp dan kawan–kawannya bisa saja
mengundurkan diri,tetapi skandal yang terjadi telah menghancurkan prestasi yang
telah dicapai selama 140 tahun itu. Terlebih, profesi akuntansi dan auditor lagi–
lagi dipertanyakan. Tidak cukup setelah kasus Enron tahun 2001 yang juga telah
membohongi publik dengan menutupi kerugian sebesar 2 miliar dolar AS dengan
menyatakan laba sebesar 600 juta dolar AS.
Mungkin masih terngiang di telinga para akuntan dan auditor tentang
kasus Enron yang dianggap sebagai the biggest audit failure in the century, yang
malangnya melibatkan Arthur Anderson salah satu the big five accounting firms
saat itu. Setahun setelah itu dunia akuntansi dan audit dipaksa patuh kepada
Sarbanes-Oxley Act/Sarbox/SOX yang memperketat lagi peraturan laporan
keuangan bagi perusahaan publik maupun non-publik.
Tapi mengapa masih ada lagi fraud dimana–mana? Termasuk di Toshiba
yang terkenal dipandu oleh prinsip-prinsip Komitmen Dasar Grup Toshiba
"Berkomitmen untuk orang-orang, Komitmen untuk Masa Depan", Toshiba
mempromosikan operasi global dengan mengamankan "Pertumbuhan Melalui
Kreativitas dan Inovasi", dan memberikan kontribusi terhadap pencapaian dunia
di mana orang-orang hidup dalam masyarakat aman, tenang dan nyaman.
Ternyata hari ini masyarakat tidak aman, tenang, dan nyaman hanya karena
Toshiba telah gagal menjalankan prinsip kebenaran dan tanggung jawab.
M. Jusuf Wibisana, Partner KAP Tanudiredja, Wibisana, Rintis dan
Rekan (PwC Indonesia) dan Ketua Dewan Standar Akuntansi Syariah – Ikatan
Akuntan Indonesia mengatakan: “Dalam setiap audit, Management override
control adalah presumed key risk. Prosedur untuk mendereksi kemungkinan
terjadinya fraud yang berdampak material terhadap laporan keuangan harus
dilakukan dengan benar untuk meminimalkan undetected management fraud. Bila
prosedur ini dilakukan dengan benar, fraud, terutama yang berdampak material
terhadap laporan keuangan, kemungkinan dapat dideteksi. Tapi auditor tidak
boleh menjamin fraud akan selalu terdeteksi meski prosedur fraud detection sudah
dilakukan dengan benar, karena audit selalu didasarkan sampling" demikian
melalui pesan elektroniknya.
Apa pelajaran bagi bisnis syariah kita di tanah air? Apakah karena sudah
mencantumkan prinsip syariah dalam operasional termasuk akuntansi, audit serta
tata kelola, bisnis syariah akan lepas dari fraud? Jawabannya tidak! Kita masih
ingat kasus penggelapan Rp 50 miliar di Bank Syariah Mandiri Cabang Bogor
yang terkuak di awal tahun ini.
Ternyata dengan adanya sistem yang diorganisir dengan baik dengan
koalisi orang luar dan dalam, sistem yang dipandu syariah terkulai
tidak berdaya. Lantas apa yang harus dilakukan lagi? Ada beberapa
hal yang perlu diperhatikan yang terpenting yaitu evaluasi sistem dan
perbaikan SDM. Sistem akan semakin tangguh jika banyak dievaluasi
dan diperbaiki secara berkala (continuous improvement).
Sistem yang menjunjung nama Islam harus dievaluasi dua dimensi
dan lebih ketat lagi yaitu di ranah profesionalitas sebagai lembaga
profesional dan yang terpenting yaitu sebagai lembaga Islami yang
menjunjung nilai–nilai Islam.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Keputusan yang diambil pemimpin tentunya akan menghasilkan dampak
bagi orang lain. Idealnya, seorang pemimpin mempunyai integritas yang
menjunjung tinggi nilai moral dan etika. Sehingga, keputusan yang diambilnya
adalah mengacu tidak hanya pada kepentingannya sendiri, melainkan juga
kepentingan orang banyak termasuk lingkungannya. Ada lima kriteria dalam
mengambil keputusan yang etis, yaitu utilitarian, universalisme (duty), penekanan
pada hak, penekanan pada keadilan, dan relativisme (self-interest).

3.2. Saran
Dalam pengambilan keputusan, seorang pemimpin dihadapkan pada
dilema etika dan moral. Agar keputusan yang diambil mengacu tidak hanya pada
kepentingannya sendri, melainkan juga kepentingan orang banyak termasuk
lingkungannya, maka diperlukan pemimpin yang mempunyai integritas yang
menjunjung tinggi moral dan etika.
DAFTAR PUSTAKA

http://adhiesuseno.blogspot.com/2015/09/analisis-kasus-pelanggaran-etika.html
http://sirfinchester-industrialengineering.blogspot.com/2012/01/makalah-ford-
pinto.html

http://srinurmalasari.blogspot.com/2015/10/makalah-etika-dalam-pengambilan.html

https://www.scribd.com/doc/289298314/Teori-Etika-Dan-Pengambilan-Keputusan-
Beretika

Anda mungkin juga menyukai