Anda di halaman 1dari 6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Penyelenggaraan Makanan
Penyelenggaraan makanan institusi adalah serangkaian kegiatan mulai
dari perencanaan menu, penyediaan atau pembelian bahan makanan,
penerimaan, penyimpanan dan penyaluran bahan makanan, persiapan dan
pemasakan bahan makanan, pencatatan dan pelaporan serta evaluasi yang
dilaksanakan dalam rangka penyediaan makanan bagi kelompok masyarakat
di sebuah institusi. Selain untuk memenuhi kebutuhan gizi, penyelenggaraan
makanan bertujuan untuk menyediakan makanan yang baik dari segi mutu,
jenis maupun jumlahnya (Depkes RI, 2006).
Tujuan umum penyelenggaraan makanan institusi adalah tersedianya
makanan yang memuaskan bagi klien dengan manfaat setinggi-tingginya bagi
institusi. Secara khusus setiap institusi dituntut untuk:
1. Menghasilkan makanan yang berkualitas baik, dipersiapkan dan
dimasak secara layak.
2. Pelayanan yang cepat dan menyenangkan.
3. Menu seimbang dan bervariasi.
4. Harga layak, serasi dengan pelayanan yang diberikan
5. Standar kebersihan dan sanitasi tinggi (Mukrie, 1990)

Pada dasarnya penyelenggaraan makanan institusi terdiri dari 2 macam


yaitu:
1. Penyelenggaraan makanan institusi yang berorientasi pada keuntungan
(bersifat komersial). Penyelenggaraan makanan ini dilaksanakan untuk
mendapat keuntungan yang sebesar-besarnya. Bentuk usaha ini seperti
restaurant, snack, bars, cafeteria, catering. Usaha penyelenggaraan
makanan ini tergantung pada bagaimana menarik konsumen sebanyak-
banyaknya dan manajemennya harus bisa bersaing dengan
penyelenggaraan makanan yang lain.
2. Penyelenggaraan makanan institusi yang berorientasi pelayanan
(bersifat nonkomersial). Penyelenggaraan makanan ini dilakukan oleh
suatu Instansi baik dikelola pemerintah, badan swasta ataupun yayasan
sosial yang tidak bertujuan untuk mencari keuntungan. Bentuk
penyelenggaraan ini biasanya berada didalam satu tempat yaitu
asrama, panti asuhan, rumah sakit, perusahaan, lembaga
kemasyarakatan, sekolah dan lain lain. Frekuensi makan dalam
penyelenggaraan makanan yang bersifat non komersial ini 2-3 kali
dengan atau tanpa selingan (Moehyi, 1992).

B. Ruang Pengolahan
Ruang pengolahan makanan dimana makanan diolah sehingga menjadi
makanan yang terolah ataupun makanan jadi yang biasanya disebut dapur.
Dapur merupakan tempat pengolahan makanan yang memenuhi syarat higiene
dan sanitasi,diantaranya kontruksi dan perlengkapan yang ada. Menurut
Depkes RI (2003) syarat-syarat tersebut adalah:
1. Lantai
Lantai harus dibuat sedemikian rupa sehingga kuat, tidak mudah
rusak, permukaan lantai dibuat kedap air, tidak ada yang retak, tidak
licin dan tahan terhadap pembersihan yang berulang–ulang. Dibuat
miring ke arah tertentu dengan kelandaian 2 – 3% sehingga tidak terjadi
genangan air serta mudah dibersihkan.
2. Dinding
Permukaan dinding dibuat dari bahan yang kuat, halus, kering dan
tidak menyerap air serta mudah dibersihkan, sehingga tidak mudah
ditumbuhi oleh jamur atau kapang yang akan mengotori dinding dan
tempat berkumpulnya kuman. Keadaan dinding harus terpelihara bebas
dari debu dan kotoran yang dapat menyebabkan pencemaran pada
makanan. Agar mudah dikenali bila terdapat kotoran dinding dibuat
berwarna terang. Bila permukaan dinding sering terkena percikan air
misalnya tempat pencucian maka setinggi 2 meter dari lantai dilapisi
bahan kedap air yang permukaannya halus dan tidak menahan debu.
3. Langit-langit
Berfungsi sebagai penahan jatuhnya debu sehingga tidak mengotori
makanan, atap tidak boleh bocor, cukup landai dan tidak menjadi sarang
serangga dan tikus. Langit-langit harus senantiasa bersih dan dirawat
bebas dari retakan dan lubang-lubang. Tinggi langit-langit tidak kurang
dari 2,4 meter
4. Pintu dan Jendela
Pada bangunan yang dipergunakan untuk memasak harus dapat
ditutup dengan baik dan membuka ke arah luar. Jendela, pintu dan
lubang ventilasi tempat makanan diolah dilengkapi dengan kasa yang
dapat dibuka dan dipasang. Semua pintu dari ruang tempat pengolahan
makanan dibuat menutup sendiri atau dilengkapi dengan peralatan anti
lalat seperti kasa dan tirai.
5. Pencahayaan
Intensitas pencahayaan harus cukup untuk dapat melakukan
pemeriksaan dan pembersihan serta pekerjaan pengolahan makanan
secara efektif. Pencahayaan harus tidak menyilaukan dan tersebar
merata sehingga sedapat mungkin tidak menimbulkan bayangan. Upaya
yang dapat dilakukan adalah dengan cara menempatkan beberapa lampu
dalam satu ruangan.
6. Ventilasi atau Penghawaan
Bangunan atau ruangan tempat pengolahan makanan harus
dilengkapi dengan ventilasi yang dapat menjaga keadaan nyaman, suhu
nyaman berkisar antara 28℃ – 32℃. Ventilasi dapat diperoleh secara
alamiah dengan membuat lubang penghawaan, baik lubang penghawaan
tetap maupun yang inisidental. Bila ventilasi alamiah tidak dapat
memenuhi persyaratan maka dibuat ventilasi buatan seperti kipas,
exhauster, fan dan AC.
7. Suhu dan Kelembaban
a. Ruang tempat kerja tidak boleh terlalu lembab (kelembabannya
sekitar 65-95%)
b. Ruangan tidak boleh terlalu panas, suhu nyaman sekitar 28 – 32oC
8. Air bersih
Harus tersedia cukuo untuk seluruh kegiatan pengelolaan
makanan.Kualitas air bersih harus memenuhi syarat sesuai Permenkes
No.416/Menkes/Per/IX/1990 tentang syarat-syarat dan pengawasan
kualitas air.
9. Tempat Sampah
Kantong plastik dan bak sampah tertutup harus tersedia dalam
jumlah yang cukup dan diletakkan sedekat mungkin dengan sumber
produksi sampah, namun dapat menghindari kemungkinan tercemarnya
makanan oleh sampah.
10. Perlindungan dari serangga dan tikus
Hubungan tempat pengolahan makanan harus dibuat anti serangga
dan tikus,karena sifatnya yang suka bersarang ataupun berkembangbiak
pada tempat pengolahan makanan,oleh karena itu pengendaliannya
harus secara rutin.

C. Suhu
Suhu ruangan adalah besar suhu atau temperatur yang mewakili keadaan
umum atau temperatur suatu tempat pada keadaan normal, dimana manusia
merasa terbiasa atau nyaman dalam satu ruangan tertutup. Suhu ruang atau
suhu lingkungan dipengaruhi oleh sejumlah faktor, termasuk cuaca di luar,
kualitas isolasi di dalam ruangan, apa atau siapa yang ada di dalam ruangan,
dan penggunaan sistem pemanas dan pendingin.
Suhu pada ruang kerja berpengaruh terhadap produktivitas kerja.
Bekerja pada suhu yang panas atau dingin dapat menimbulkan penurunan
kinerja. Kondisi yang panas dan lembab cenderung meningkatkan penggunaan
tenaga fisik yang lebih berat, sehingga pekerja akan merasa sangat letih dan
kinerjanya akan menurun. Intensitas penerangan yang di bawah standar dapat
mengakibatkan kelelahan mata dengan berkurangnya daya dan efisiensi kerja,
kelelahan mental, keluhan pegal atau sakit kepala disertai mata, kerusakan alat
penglihatan dan meningkatkan kecelakaan kerja (Suma’mur, 1993). Menurut
Haynes (Hartawan, 2012), gedung yang terlalu panas atau terlalu dingin akan
menyebabkan penghuninya merasa tidak nyaman. Banyak ahli yang telah
menjelaskan dampak negatif dari kondisi ruangan yag buruk dengan performa
penghuninya, seperti kondisi ruangan kerja yang tidak nyaman akan
berpengaruh terhadap produktivitas kerja.
Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengetahui pengaruh
lingkungan kerja fisik terhadap produktivitas. Setyanto dkk (2011)
melaksanakan penelitian tentang pengaruh faktor lingkungan fisik terhadap
waktu penyelesaian pekerjaan dengan studi pekerjaan perakitan di ruang iklim
laboratorium. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kebisingan,
intensitas cahaya, dan temperatur memberikan pengaruh yang signifikan
terhadap waktu penyelesaian pekerjaan. Beberapa penelitian telah dilakukan
untuk mengetahui pengaruh lingkungan kerja fisik terhadap produktivitas.
Setyanto dkk (2011) melaksanakan penelitian tentang pengaruh faktor
lingkungan fisik terhadap waktu penyelesaian pekerjaan dengan studi
pekerjaan perakitan di ruang iklim laboratorium. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa tingkat kebisingan, intensitas cahaya, dan temperatur
memberikan pengaruh yang signifikan terhadap waktu penyelesaian
pekerjaan.
D. Kelembaban Udara
Kelembaban udara adalah tingkat kebasahan udara karena dalam udara
air selalu terkandung dalam bentuk uap air. Kandungan uap air dalam udara
hangat lebih banyak daripada kandungan uap air dalam udara dingin. Kalau
udara banyak mengandung uap air didinginkan maka suhunya turun dan udara
tidak dapat menahan lagi uap air sebanyak itu. Uap air berubah menjadi titik-
titik air. Udara yang mengandung uap air sebanyak yang dapat dikandungnya
disebut udara jenuh.
Temperatur dan kelembaban lingkungan ruang kerja sangat berpengaruh
pada efektivitas pekerjaan. Bekerja pada lingkungan yang terlalu panas dan
lembab, dapat menurunkan kondisi fisik tubuh dan dapat menyebabkan
keletihan yang datang terlalu dini.

Anda mungkin juga menyukai