(Kel. 4) SGD 2 - Budaya Bali
(Kel. 4) SGD 2 - Budaya Bali
Disusun oleh :
Kelompok 4b
KATA PENGANTAR
0
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan Rahmat,
Inaayah, Taufik dan Hidayah Nya sehingga dapat menyelesaikan penyusunan
makalah small discussion group 2 pada Modul keperawatan Transcultural Nursing
ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga makalah ini
dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi
pembaca.
Harapan kami semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca, sehingga kami dapat memperbaiki bentuk
maupun isi makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih baik.
Makalah ini kami akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang
kami miliki sangat kurang. Oleh kerena itu kami berharap kepada para pembaca
untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk
kesempurnaan makalah ini.
Penyusun
Kelompok 4b
DAFTAR ISI
1
KATA PENGANTAR.........................................................................................................1
DAFTAR ISI......................................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................3
1.2. Masalah...................................................................................................................4
1.3. Tujuan......................................................................................................................4
2.2 Pendangan Kesehatan Tentang Urin yang Diminum Untuk Pengobatan Epilepsi 5
3.1. Kesimpulan............................................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................22
2
BAB I
PENDAHULUAN
3
Sander, 2008). Angka prevalensi penderita epilepsi aktif berkisar antara 4-10
per 1000 penderita epilepsi (Beghi dan Sander, 2008). Bila jumlah penduduk
Indonesia berkisar 220 juta, maka diperkirakan jumlah penderita epilepsi baru
250.000 per tahun. Dari berbagai studi diperkirakan prevalensi epilepsi
berkisar antara 0,5-4%. Rata-rata prevalensi epilepsi 8,2 per 1000 penduduk.
Prevalensi epilepsi pada bayi dan anak-anak cukup tinggi, menurun pada
dewasa muda dan pertengahan, kemudian meningkat lagi pada kelompok usia
lanjut (Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI, 2011).
1.2. Masalah
1.3. Tujuan
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
5
garam-garam yang larut dengan alkali. Pengeluaran asam urat
meningkat pada penderita leukimia, penyakit hati berat.
5. Asam amino: hanya sedikit dalam urin. Pada penderita penyakit hati
yang lanjut karena keracunan, maka jumlah asam amino yang
diekskresikan meningkat.
6. Klorida (terutama NaCl), pengeluarannya tergantung dari masukan.
7. Sulfur, berasal dari protein yang mengandung sulfur pada makanan.
8. Fosfat di urin adalah gabungan dari natrium dan kalium fosfat, berasal
dari makanan yang mengandung protein berikatan denagn fosfat.
9. Oksalat dalam urin rendah. Pada penderita hiperoksaluria jumlah
oksalat relatif tinggi.
10. Mineral: Na, Ca, K, Mg ada sedikit dalam urin.
11. Vitamin, hormon dan enzim dalam urin sedikit.
Berat jenis urine
Normal : 1,002-1,045
Rata – rata : 1,008
pH urine
pH = 6 atau sekitar 4,8 – 7,5
6
3. Mengatasi berbagai masalah kulit
Selain meredakan infeksi yang disebabkan oleh bakteri, banyak orang
mempecaya khasiat air sen untuk mengatasi jerawat. Pada zaman
kuno, air seni juga dipercayabisa menjaga kekencangan kulit dan
mencegah penuaan dini yang ditandai dengan munculnya keriput atau
garis-garis halus pada wajah. Sebagian oranpun secara rutin
mengoleskan air seni pada wjah untuk merawat kecantikan.
4. Memutihkan gigi
Bangsa Roma kuno menggunakan air seni manusia untuk merawat
gigi. Ini karena kandungan amonia dalam urin diyakini berfungsi
sebagai pemutih alami. Masyarakat romawi akan mengoleskan air seni
mereka pada bagian gigi dan gusi seagai pembersih alami.
5. Obat luka bakar dan obat sengatan serangga
Air seni manusia menjadi pilihan beberapa orang untk meredakan
rasa sakit dan mengobati luka tersebut. Dengan mengoleskannya
pada luka, diharapkan kulit akan lebih cepat sembuh karena sifat air
seni sebagai antiseptik alami.
6. Mencegah penyakit sebagian masyarakat di Asia, terutama cina dan
india masih rutin menjalani terapi urine dengan cara minum air
kencing yang telah diproduksi setelah bangun tidur pada pagi hari
(air seni pertama). Terapi ini dianggap ampuh untuk mencegah
berabagai jenis penyakit dan meningkatkan kekebalan tubuh
terhadap virus dan bakteri berbahaya. Jutaan orang di dunia telah
menjalani teapi urin dan mengakui khasiatnya bagi kesehatan
mereka.
7
tujuannya membuat obat sebagai solusi bagi siapa saja (manusia) bagi pengidap
sakit atau bagi yang terganggu kesehatannya menjadi sehat kembali. (Catharina,
2004)
Terbukti, perusahaan farmasi dan kosmetik yang terdapat di Amerika
selalu memburu untuk dijadikan bahan baku produk urine. Layaknya, Dr. Dr.
Iwan T Budiarso menjelaskan 95% kandungan urine terdiri air. Sementara 2/5%
lainnya mengandung mineral vitamin, asam amino, antibodi, antigen, garam,
hormon dan enzim. Zat-zat ini sangat dibutuhkan tubuh manusia. Urine hanya
mengandung zat-zat makanan dan hasil metabolisme tubuh. Sementara bahan-
bahan yang meracuni tubuh, disaring dan dikeluarkan melalui usus hati, hati jukit
dan pernafasan. Karena itu, kandungannnya steril. (Yasid, 2005)
Tawaran pengobatan urine begitu menggiurkan, terutama bagi masyarakat
kelas menengah ke bawah, yang tidak bisa mengeluarkan terlalu banyak biaya ke
dokter, karena persoalan ekonomi yang menghimpit. Ternyata air seni yang
dianggap menjijikkan, berbau pesing, dan kotor ini, malah membuat tubuh sehat
dan segar bugar. Terapi digunakan untuk menyembuhkan hampir setiap yang
didera si pasien seperti ginjal, kanker, diabetes, jantung, psoasiasis, eksim, sampai
penyakit terganas saat ini, AIDS. Jika parah, terutama bagi penderita penyakit
kanker, jantung dan AIDS, minimal 5 gelas (1000 cc) sehari. Atau, kalau si pasien
menginginkan kesegaran tubuh dan kecantikan kulit cukup dengan 1-2 gelas
perhari. Caranya cukup yang diminum harus urinenya sendiri
Harus diakui, untuk mewujudkan konsumsi terapi urine tentu dimbangi
penelitian untuk membuktikan, mujarab tidaknya bila diterapkan kepada penderita
penyakit ringan ataupun berat, hal ini dikembangkan oleh spesialis dengan
metode-metode yang signifikan demi menerapkan aturan yang sesuai dengan
sumber daya (manusia) serta struktur yang menjadi kelebihannya(dokter),
tujuannya membuat obat sebagai solusi bagi siapa saja (manusia) bagi pengidap
sakit atau bagi yang terganggu kesehatannya menjadi sehat kembali. (Catharina,
2004)
Terbukti, perusahaan farmasi dan kosmetik yang terdapat di Amerika
selalu memburu untuk dijadikan bahan baku produk urine. Layaknya, Dr. Dr.
Iwan T Budiarso menjelaskan 95% kandungan urine terdiri air. Sementara 2/5%
8
lainnya mengandung mineral vitamin, asam amino, antibodi, antigen, garam,
hormon dan enzim. Zat-zat ini sangat dibutuhkan tubuh manusia. Urine hanya
mengandung zat-zat makanan dan hasil metabolisme tubuh. Sementara bahan-
bahan yang meracuni tubuh, disaring dan dikeluarkan melalui usus hati, hati jukit
dan pernafasan. Karena itu, kandungannnya steril. (Yasid, 2005)
Tawaran pengobatan urine begitu menggiurkan, terutama bagi masyarakat
kelas menengah ke bawah, yang tidak bisa mengeluarkan terlalu banyak biaya ke
dokter, karena persoalan ekonomi yang menghimpit. Ternyata air seni yang
dianggap menjijikkan, berbau pesing, dan kotor ini, malah membuat tubuh sehat
dan segar bugar. Terapi digunakan untuk menyembuhkan hampir setiap yang
didera si pasien seperti ginjal, kanker, diabetes, jantung, psoasiasis, eksim, sampai
penyakit terganas saat ini, AIDS. Jika parah, terutama bagi penderita penyakit
kanker, jantung dan AIDS, minimal 5 gelas (1000 cc) sehari. Atau, kalau si pasien
menginginkan kesegaran tubuh dan kecantikan kulit cukup dengan 1-2 gelas
perhari. Caranya cukup yang diminum harus urinenya sendiri
Dalam pandangan Islam urine itu tidak baik dikonsumsi, sebagaimana
Islam menyuruh manusia untuk mengkonsumsi makanan dan minuman yang sehat
dan bergizi. Bukan yang kotor dan membawa penyakit. Di dalam al-Quran
disebutkan:
9 ويحللهم الطيبات ويحرم عليهم الخبائث
Baik dan buruk itu ditentukan oleh syări’, karena dialah yang mengetahui
segala sesuatunya. Dia punya hak otoritas untuk menentukan halal dan haram.
Bukan akal tabi’at manusia. Seperti haramnya riba. Syara’ dan akal sama-sama
berperan dalam menetukan baik dan buruk. Yang menjadi standar adalah
pengakuan dari syara’ dan sesuai dengan tabi’at manusia.
Apa yang tersurat baik oleh syara’, mesti di dukung penuh akal sehat
bahwa itu betul-betul baik. Sebab, tidak semua kehendak perasaan itu sesuai
dengan keinginan syara’. Perasaan berfungsi untuk mengetahui apa yang
sebetulnya diingini syara’.
Menyangkut Hukum Terapi obat urine, Rasulullah menegur dengan hadits
tentang ketidakbolehan mengkonsumsi konsumsi urine, dikarenakan terdapat
barang najis. Berdasarkan hadits Nabi:
9
10 تنزهوامنالبولفإنعامةعذابالقبرمنه
“Bersihkanlah (tubuh) kalian dari kencing. Karena siksaan kubur pada umumnya
gara-gara air seni.”
Di dalam al-Quran, Allah berfirman:
11 إنال لم يجعل شفاءكم فيماحرمعليكم
“sesungguhnya Allah tidak akan menjadikan obat (buat) kamu sekalian
barangbarang yang diharamkan (termasuk najis) bagi kalian”.
Lain halnya, kebolehkan memakai terapi urine, manakala terserang penyakit
ganas; kanker ganas, jantung dan AIDS yang sampai detik ini belum ditemukan
obatnya wajib minum air seni demi kelangsungan hidup manusia. Terutama,
ketika lagi tidak ada uang, serta sulit mencari dana untuk berobat.
Hal ini terlampir di dalam al-Quran:
12 وقدفصللكمماحرمعليكمإلمااضطررتمإليه
“Sungguh, Allah telah menjelaskan apa-apa yang haram kalian makan kecuali
terpaksa memakannya.”
Tidak salah, urine tidak hanya diminum untuk menyembuhkan penyakit
dalam. Tapi juga bisa di gunakan untuk mempercantik dan mencegah rambut
rontok. Bahkan sebagian kosmetik kecantikan, bahan bakunya terdiri dari ekstra
urine. Di dalam teori ushul fiqih terapi urine diperbolehkan untuk penyakit keras,
dari pada menyiksa tubuh sendiri digerogoti (merusak tubuh) bertentangan dengan
maqasyidusy-syari’ah (hifzun nafs), lebih baik memberlakukannya (karena
mengandung mashlahat). Larangan menyentuh barang najis termasuk tahsiniyyat.
Yaitu hal-hal yang tujuannya memperindah diri agar tidak mengurai prestise
(harga diri).
Nah, kalau hanya demi mempercantik diri, tidak dapat menghalagi haram,
kalau luluran saja. Akan tetapi, jika terdapat jerawat, rambut rontok, maka
dianjurkan memakai terapi urine sebagai solusinya. Maka bukan lagi tahsiniyya
melainkan hajiyyat (menghilangkan kesulitan diri). Ketika keduanya (tahsiniyyat
maupun hajiyyat) dihadapkan, tentu hajiyyat yang menangkan. Yang terpenting,
jika hanya untuk mempercantik tidak boleh dipakai, karena tidak ada kejelasan
dalam penyakitnya.
10
Urine mungkin tak hanya dari manusia, dari binatang tentu bisa menjadi.
Adapun hukum mengkonsumsi urine binatang yang halal dimakan daginya
sebagai obat urine unta, kambing, sapi, unggas dan burung maka pendapat yang
paling kuat adalah hal itu diperbolehkan dan halal karena urine tersebut suci dan
tidak najis, berbeda dengan urine binatang yang haram dimakan dagingnya maka
hukum urinenya juga haram dan najis.
11
( الحاجة ينزل منزلة الضرورةZubair, 2006)
Dalam kesempatan yang darurat, segala yang diharamkan masih ada
kesempatan untuk mengerjakannya (memakan binatang bertaring manakala tidak
ada lagi yang akan dimakan “di hutan”. Dari pada mati sia-sia “bertentangan
dengan hifdzun nafs”, maka tidak ada salahnya memakan hewan yang menjadi
alternatif. Namun, walaupun dalil yang diteguhkan oleh Hanafi itu menjadi
benteng sebagai jawabannya, kiranya masih kurang kuat diterapkan di ruang
publik. Kendatipun demikian, dalil yang digunakan Hanafi masih belum
menguatkan persoalan terapi urine, dikarenakan riwayat hadits tersebut hanya
ditopang oleh Anas ra, walaupun secara spesifik hadits tersebut tsiqoh, namun
masih dalam lingkup hadits shahih.
12
masyarakat, sehingga mereka dapat melaksanakan layanan dasar yang
dibutuhkan untuk menangani masalah epilepsi. Peran perawat dalam
menangani pasien dengan epilepsy pada prinsipnya adalah menjaga agar tidak
terjadi serangan kejang berulang dengan cara mengontrol terjadinya
peningkatan suhu tubuh pasien dan mengendalikan infeksi penyebab kejang.
Selain itu perawat juga berperan untuk mencegah terjadinya trauma atau injuri
ketika kejang berlangsung.
Pada pasien epilepsy banyak masyarakat yang berpacu pada suatu budaya
setempat untuk menyembuhkan penyakit. Menurut Leinenger, sangat penting
memperhatikan keragaman budaya dan nilai-nilai dalam penerapan asuhan
keperawatan kepada klien. Bila hal tersebut diabaikan oleh perawat, akan
mengakibatkan terjadinya cultural shock. Cultural shock akan dialami oleh
klien pada suatu kondisi dimana perawat tidak mampu beradaptasi dengan
perbedaan nilai budaya. (Baker, G. A., & Jacoby, A. 2000)
Tindakan keperawatan yang diberikan harus memperhatikan 3 prinsip asuhan
keperawatan yaitu:
· Cara I : Mempertahankan budaya
Mempertahankan budaya dilakukan bila budaya pasien tidak bertentangan
dengan kesehatan. Perencanaan dan implementasi keperawatan diberikan
sesuai dengan nilai-nilai yang relevan yang telah dimiliki klien sehingga klien
dapat meningkatkan atau mempertahankan status kesehatannya, misalnya
budaya berolahraga setiap pagi.
13
· Cara III : Restrukturisasi budaya
Restrukturisasi budaya klien dilakukan bila budaya yang dimiliki merugikan
status kesehatan. Perawat berupaya merestrukturisasi gaya hidup klien yang
biasanya merokok menjadi tidak merokok, pengobatan air kencing diganti
dengan terapi herbal. Asuhan keperawatan dalam konteks budaya
digambarkan dalam bentuk matahari terbit (Sunrise Model). Geisser (1991)
menyatakan bahwa proses keperawatan ini digunakan oleh perawat sebagai
landasan berpikir dan memberikan solusi terhadap masalah klien (Andrew and
Boyle, 2002).
b. Cultural careaccomodation/negotiation
1) Gunakan bahasa yang mudah dipahami oleh klien
2) Libatkan keluarga dalam perencanaan perawatan
3) Apabila konflik tidak terselesaikan, lakukan negosiasi dimana kesepakatan
berdasarkan pengetahuan biomedis, pandangan klien dan standar etik.
14
Epilepsi adalah Cetusan listrik lokal pada substansia grisea otak
yang terjadi sewaktu-waktu, mendadak, dan sangat cepat yang dapat
mengakibatkan serangan penurunan kesadaran, perubahan fungsi motorik
atau sensorik, perilaku atau emosional yang intermiten dan stereotipik.
Pelepasan aktifitas listrik abnormal dari sel-sel neuron di otak terjadi
karena fungsi sel neuron terganggu. Gangguan fungsi ini dapat berupa
gangguan fisiologik, biokimia, anatomi dengan manifestasi baik lokal
maupun general. Epilepsi adalah suatu kelainan di otak yang ditandai
adanya bangkitan epileptik yang berulang (lebih dari satu episode).
International League Against Epilepsy (ILAE) dan International Bureau
for Epilepsy (IBE) pada tahun 2005 merumuskan kembali definisi epilepsi
yaitu suatu kelainan otak yang ditandai oleh adanya faktor predisposisi
yang dapat mencetuskan bangkitan epileptik, perubahan neurobiologis,
kognitif, psikologis, dan adanya konsekuensi sosial yang diakibatkannya.
Definisi ini membutuhkan sedikitnya satu riwayat bangkitan epileptik
sebelumnya. Sedangkan bangkitan epileptik didefinisikan sebagai tanda
dan / gejala yang timbul sepintas (transien) akibat aktivitas neuron yang
berlebihan atau sinkron yang terjadi di otak.
B. Etiologi
Epilepsi merupakan salah satu penyakit saraf kronik kejang
berulang yang muncul tanpa diprovokasi. Penyebabnya adalah kelainan
bangkitan listrik jaringan saraf yang tidak terkontrol baik sebagian
maupun seluruh bagian otak. Keadaan ini bisa diindikasikan sebagai
disfungsi otak. Gangguan fungsi otak yang bisa menyebabkan lepasnya
muatan listrik berlebihan di sel neuron saraf pusat, bisa disebabkan oleh
adanya faktor fisiologis, biokimiawi, anatomis atau gabungan faktor
tersebut. Tiap-tiap penyakit atau kelainan yang dapat menganggu fungsi
otak atau fungsi sel neuron di otak, dapat menyebabkan timbulnya
bangkitan kejang atau serangan epilepsi.
Untuk menentukan faktor penyebab dapat diketahui dengan
melihat usia serangan pertama kali. Misalnya : usia dibawah 18 tahun
kemungkinan faktor penyebabnya ialah trauma perinatal, kejang demam,
radang susunan saraf pusat, struktural, penyakit metabolik, keadaan toksik,
15
penyakit sistemik, penyakit trauma kepala, dan lain-lain. Bangkitan kejang
juga dapat disebabkan oleh berbagai kelainan dan macam-macam penyakit
diantaranya ialah trauma lahir, trauma kapitis, radang otak, tumor otak,
perdarahan otak, gangguan peredaran darah, hipoksia, anomali kongenital
otak, kelainan degeneratif susunan saraf pusat, gangguan metabolisme,
gangguan elektrolit, demam, reaksi toksis-alergis, keracunan obat atau zat
kimia, dan faktor hereditas.
C. Faktor Risiko
Faktor resiko untuk terjadinya epilepsi pada penderita kejang
demam adalah:
a) Jika ada kelainan neurologis atau perkembangan sebelum kejang
demam pertama
b) Kejang demam komplek
c) Adanya riwayat epilepsi pada orangtua atau saudara kandung.
Masing-masing faktor resiko meningkatkan resiko epilepsi 4-6%;
kombinasi faktor resiko tersebut meningkatkan resiko epilepsi menjadi
10-49%.13 Epilepsi diartikan sebagai kejang berulang dan multipel.
Anak dengan riwayat kejang demam mempunyai risiko sedikit lebih
tinggi menderita epilepsi pada usia 7 tahun dibandingkan dengan anak
yang tidak pernah mengalami kejang demam.
D. Patofisiologi
Neuron memiliki potensial membran, hal ini terjadi karena adanya
perbedaan muatan ion-ion yang terdapat di dalam dan di luar neuron.
Perbedaan jumlah muatan ion-ion ini menimbulkan polarisasi pada
membran dengan bagian intraneuron yang lebih negatif. Neuron
bersinapsis dengan neuron lain melalui akson dan dendrit. Suatu masukan
melalui sinapsis yang bersifat eksitasi akan menyebabkan terjadinya
depolarisasi membran yang berlangsung singkat, kemudian inhibisi akan
menyebabkan hiperpolarisasi membran. Bila eksitasi cukup besar dan
inhibisi kecil, akson mulai terangsang, suatu potensial aksi akan dikirim
sepanjang akson, untuk merangsang atau menghambat neuron lain,
sehingga terjadilah epilepsi. Epilepsi ditandai oleh bangkitan berulang
yang diakibatkan oleh aktivitas listrik yang berlebihan pada sebagian atau
16
seluruh bagian otak. Seorang penderita dikatakan menderita epilepsi bila
setidaknya mengalami dua kali bangkitan tanpa provokasi. Bangkitan
epilepsi disebabkan oleh ketidakseimbangan antara faktor eksitasi dan
inhibisi serebral, bangkitan akan muncul pada eksitabilitas yang tidak
terkontrol. Pada sebagian besar kasus tidak dijumpai kelainan anatomi
otak, namun pada beberapa kasus epilepsi disertai oleh kerusakan
struktural otak yang mengakibatkan disfungsi fisik dan retardasi mental.
E. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dalam epilepsi, secara umum ada 2 hal yaitu :
a) Tatalaksana fase akut (saat kejang)
Tujuan pengelolaan pada fase akut adalah mempertahankan
oksigenasi otak yang adekuat, mengakhiri kejang sesegera
mungkin, mencegah kejang berulang, dan mencari faktor
penyebab. Serangan kejang umumnya berlangsung singkat dan
berhenti sendiri. Pengelolaan pertama untuk serangan kejang dapat
diberikan diazepam per rektal dengan dosis 5 mg bila berat badan
anak < 10 kg atau 10 mg bila berat badan anak > 10 kg. Jika kejang
masih belum berhenti, dapat diulang setelah selang waktu 5 menit
dengan dosis dan obat yang sama. Jika setelah dua kali pemberian
diazepam per rektal masih belum berhenti, maka penderita
dianjurkan untuk dibawa ke rumah sakit.
b) Pengobatan epilepsi
Tujuan utama pengobatan epilepsi adalah membuat
penderita epilepsi terbebas dari serangan epilepsinya. Serangan
kejang yang berlangsung mengakibatkan kerusakan sampai
kematian sejumlah sel-sel otak. Apabila kejang terjadi terus -
menerus maka kerusakan sel-sel otak akan semakin meluas dan
mengakibatkan menurunnya kemampuan intelegensi penderita.
Karena itu, upaya terbaik untuk mengatasi kejang harus dilakukan
terapi sedini dan seagresif mungkin. Pengobatan epilepsi dikatakan
berhasil dan penderita dinyatakan sembuh apabila serangan
epilepsi dapat dicegah atau dikontrol dengan obatobatan sampai
pasien tersebut 2 tahun bebas kejang. Secara umum ada tiga terapi
epilepsi, yaitu :
17
1) Terapi medikamentosa
Merupakan terapi lini pertama yang dipilih dalam
menangani penderita epilepsi yang baru terdiagnosa. Jenis
obat anti epilepsi (OAE) baku yang biasa diberikan di
Indonesia adalah obat golongan fenitoin, karbamazepin,
fenobarbital, dan asam valproat. Obat-obat tersebut harus
diminum secara teratur agar dapat mencegah serangan
epilepsi secara efektif. Walaupun serangan epilepsi sudah
teratasi, penggunaan OAE harus tetap diteruskan kecuali
ditemukan tanda-tanda efek samping yang berat maupun
tanda-tanda keracunan obat. Prinsip pemberian obat
dimulai dengan obat tunggal dan menggunakan dosis
terendah yang dapat mengatasi kejang.
2) Terapi bedah
Merupakan tindakan operasi yang dilakukan dengan
memotong bagian yang menjadi fokus infeksi yaitu
jaringan otak 24 yang menjadi sumber serangan.
Diindikasikan terutama untuk penderita epilepsi yang kebal
terhadap pengobatan. Berikut ini merupakan jenis bedah
epilepsi berdasarkan letak fokus infeksi :
a. Lobektomi temporal
b. Eksisi korteks ekstratemporal
c. Hemisferektomi
d. Callostomi
3) Terapi nutrisi
Pemberian terapi nutrisi dapat diberikan pada anak dengan
kejang berat yang kurang dapat dikendalikan dengan obat
antikonvulsan dan dinilai dapat mengurangi toksisitas dari
obat. Terapi nutrisi berupa diet ketogenik dianjurkan pada
anak penderita epilepsi. Walaupun mekanisme kerja diet
ketogenik dalam menghambat kejang masih belum
diketahui secara pasti, tetapi ketosis yang stabil dan
menetap dapat mengendalikan dan mengontrol terjadinya
kejang. Hasil terbaik dijumpai pada anak prasekolah karena
anak-anak mendapat pengawasan yang lebih ketat dari
18
orang tua di mana efektivitas diet berkaitan dengan derajat
kepatuhan. Kebutuhan makanan yang diberikan adalah
makanan tinggi lemak. Rasio kebutuhan berat lemak
terhadap kombinasi karbohidrat dan protein adalah 4:1.
Kebutuhan kalori harian diperkirakan sebesar 75 – 80
kkal/kg. Untuk pengendalian 25 kejang yang optimal tetap
diperlukan kombinasi diet dan obat antiepilepsi.
F. Pertolongan Pertama
Tahap – tahap dalam pertolongan pertama saat kejang, antara lain :
a. Jauhkan penderita dari benda - benda berbahaya (gunting, pulpen,
kompor api, dan lain – lain).
b. Jangan pernah meninggalkan penderita.
c. Berikan alas lembut di bawah kepala agar hentakan saat kejang
tidak menimbulkan cedera kepala dan kendorkan pakaian ketat
atau kerah baju di lehernya agar pernapasan penderita lancar (jika
ada).
d. Miringkan tubuh penderita ke salah satu sisi supaya cairan dari
mulut dapat mengalir keluar dengan lancar dan menjaga aliran
udara atau pernapasan.
e. Pada saat penderita mengalami kejang, jangan menahan gerakan
penderita. Biarkan gerakan penderita sampai kejang selesai.
f. Jangan masukkan benda apapun ke dalam mulut penderita, seperti
memberi minum, penahan lidah.
g. Setelah kejang selesai, tetaplah menemani penderita. Jangan
meninggalkan penderita sebelum kesadarannya pulih total,
kemudian biarkan penderita beristirahat atau tidur.
19
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
20
saja di seluruh dunia tanpa batasan ras dan sosial ekonomi. Angka kejadian
epilepsi masih tinggi terutama di negara berkembang yang mencapai 114 per
100.000 penduduk per tahun. Angka tersebut tergolong tinggi dibandingkan
dengan negara yang maju dimana angka kejadian epilepsi berkisar antara 24-53
per 100.000 penduduk per tahun (Benerjee dan Sander, 2008). Angka prevalensi
penderita epilepsi aktif berkisar antara 4-10 per 1000 penderita epilepsi (Beghi
dan Sander, 2008). Bila jumlah penduduk Indonesia berkisar 220 juta, maka
diperkirakan jumlah penderita epilepsi baru 250.000 per tahun. Dari berbagai
studi diperkirakan prevalensi epilepsi berkisar antara 0,5-4%. Rata-rata prevalensi
epilepsi 8,2 per 1000 penduduk.
DAFTAR PUSTAKA
Beghi E. dan Sander J.W., 2008. The Natural History and Prognosis of Epilepsy.
Epilepsy A Comprehensive Textbook 2nd edition. Lippincott Williams &
Wilkins. pp: 65-75
Benerjee P.N. dan Sander J.W., 2008. Incidence and Prevalence. Epilepsy A
Comprehensive Textbook 2nd edition. Lippincott Williams & Wilkins. pp:
45-56
Brodie M.J., Schachter S.C, Kwan P., 2012. Epidemiology and Prognosis. Fast
Fact: Epilepsy Revised 5th edition. Oxford: Health Press Limited. pp: 9-
11
21
Al-Suyuti, Al-Jami’ al-Shaghir, juz I, 517 dan Al-Nawawi, Al-Majmu’, juz II, hlm.
547-548.
Al-Bukhari, Matn al-Bukhari, juz III
Budi Utomo, Setiawan, Fiqih Aktual, Jakarta: Gema Insani Press, 2003
Chatarina Pancer Istiani, Tubuh dan bahasa, Aspek Linguistik Pengungkapan
Pandangan Masyarakat Lewolema Terhadap Kesehatan, (Yogyakarta:
Galang Pres Anggota IKAPI, 2004 Dewan Asatid, Hukum Terapi Air
Seni dan Kesehatan kita, www. Pesantren Virtual. Com
Muhammad bin Ismail, Al Bukhori Sahih al-Bukhori, (Beirut: Dar al-Kutub
Ilmiyah, 2004)
Maimoen Zubair, Formasi Nalar Fiqh Konsep Telaah Kaidah Fiqh konseptual
(Surabaya: Khalista, 2006), hlm. 45
Yasin, Nu`aim, Fiqih Kesehatan, Alih Bahasa Munirul Abidin, Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar, 2006
Yasid Abu, Fiqh Realitas, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005)
Andrew, M.M., & Boyle, J.S. (2002). Transcultural Concepts in Nursing Care.
Lippincot. Philadelphia
Baker, G. A., & Jacoby, A. (2010). The problem of epilepsi, Quality of life in
epilepsi: Beyond seizure counts in assessment and perlakuan.
Amsterdam: Harwood Academic Publishers.
Nurwinta Catur Wulan,, Maryanti . 2016. Epilepsi dam Budaya. Yogyakarta :
Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada
22
Maryanti, Nurwinta Catur Wulan. 2016. Epilepsi dan Budaya. Fakultas Psikologi
Universitas Gadjah Mada Buletin Psikologi
23