Anda di halaman 1dari 11

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

STIKes HANG TUAH PEKANBARU


KEPERAWATAN ANAK

LAPORAN PENDAHULUAN

Nama Mahasiswa :
NIM :
Tanggal Praktik :
Ruang Rawat :
Diagnosa Medis :

A. Konsep dasar
1. Defenisi
Hidrosefalus adalah kelainan patologis otak yang mengakibatkan
bertambahnya cairan serebrospinal dengan atau pernah dengan tekanan
intrakranial yang meninggi, sehingga terdapat pelebaran ventrikel (Darsono,
2005).
Pelebaran ventrikuler ini akibat ketidakseimbangan antara produksi dan
absorbsi cairan serebrospinal. Hidrosefalus selalu bersifat sekunder, sebagai
akibat penyakit atau kerusakan otak. Adanya kelainan-kelainan tersebut
menyebabkan kepala menjadi besar serta terjadi pelebaran sutura-sutura dan
ubun-ubun (DeVito EE et al, 2007).

2. Etiologi
Hidrosefalus terjadi bila terdapat penyumbatan aliran cairan serebrospinal
(CSS) pada salah satu tempat antara tempat pembentukan CSS dalam sistem
ventrikel dan tempat absorbsi dalam ruang subaraknoid. Akibat penyumbatan,
terjadi dilatasi ruangan CSS diatasnya (Allan H. Ropper, 2005). Teoritis
pembentukan CSS yang terlalu banyak dengan kecepatan absorbsi yang abnormal
akan menyebabkan terjadinya hidrosefalus, namun dalam klinik sangat jarang
terjadi. Penyebab penyumbatan aliran CSS yang sering terdapat pada bayi dan
anak ialah :
a. Kelainan Bawaan (Kongenital)
- Stenosis akuaduktus Sylvii
- Spina bifida dan kranium bifida
- Sindrom Dandy-Walker
- Kista araknoid dan anomali pembuluh darah
b. Infeksi
Akibat infeksi dapat timbul perlekatan meningen. Secara patologis terlihat
penebalan jaringan piamater dan araknoid sekitar sisterna basalis dan daerah
lain. Penyebab lain infeksi adalah toxoplasmosis.
c. Neoplasma
Hidrosefalus oleh obstruksi mekanik yang dapat terjadi di setiap tempat aliran
CSS. Pada anak yang terbanyak menyebabkan penyumbatan ventrikel IV atau
akuaduktus Sylvii bagian terakhir biasanya suatu glioma yang berasal dari
serebelum, penyumbatan bagian depan ventrikel III disebabkan
kraniofaringioma
d. Perdarahan
Perdarahan sebelum dan sesudah lahir dalam otak, dapat menyebabkan
fibrosis leptomeningen terutama pada daerah basal otak, selain penyumbatan
yang terjadi akibat organisasi dari darah itu sendiri.
(Allan H. Ropper, 2005).

3. Patofisiologi
CSS yang dibentuk dalam sistem ventrikel oleh pleksus khoroidalis kembali
ke dalam peredaran darah melalui kapiler dalam piamater dan arakhnoid yang
meliputi seluruh susunan saraf pusat (SSP). Cairan likuor serebrospinalis terdapat
dalam suatu sistem, yakni sistem internal dan sistem eksternal. Pada orang
dewasa normal jumlah CSS 90-150 ml, anak umur 8-10 tahun 100-140 ml, bayi
40-60 ml, neonatus 20-30 ml dan prematur kecil 10-20 ml. Cairan yang tertimbun
dalam ventrikel 500-1500 ml (Darsono, 2005).
Aliran CSS normal ialah dari ventrikel lateralis melalui foramen monroe ke
ventrikel III, dari tempat ini melalui saluran yang sempit akuaduktus Sylvii ke
ventrikel IV dan melalui foramen Luschka dan Magendie ke dalam ruang
subarakhnoid melalui sisterna magna. Penutupan sisterna basalis menyebabkan
gangguan kecepatan resorbsi CSS oleh sistem kapiler (DeVito EE et al, 2007).
Hidrosefalus secara teoritis terjadi sebagai akibat dari tiga mekanisme yaitu:
1. Produksi likuor yang berlebihan
2. Peningkatan resistensi aliran likuor
3. Peningkatan tekanan sinus venosa
Konsekuensi tiga mekanisme di atas adalah peningkatan tekanan intrakranial
sebagai upaya mempertahankan keseimbangan sekresi dan absorbsi. Mekanisme
terjadinya dilatasi ventrikel cukup rumit dan berlangsung berbedabeda tiap saat
selama perkembangan hidrosefalus. Dilatasi ini terjadi sebagai akibat dari :
1. Kompresi sistem serebrovaskuler.
2. Redistribusi dari likuor serebrospinalis atau cairan ekstraseluler
3. Perubahan mekanis dari otak.
4. Efek tekanan denyut likuor serebrospinalis
5. Hilangnya jaringan otak.
Pembesaran volume tengkorak karena regangan abnormal sutura kranial.
Produksi likuor yang berlebihan disebabkan tumor pleksus khoroid. Gangguan
aliran likuor merupakan awal dari kebanyakan kasus hidrosefalus. Peningkatan
resistensi yang disebabkan gangguan aliran akan meningkatkan tekanan likuor
secara proporsional dalam upaya mempertahankan resorbsi yang seimbang.
Peningkatan tekanan sinus vena mempunyai dua konsekuensi, yaitu peningkatan
tekanan vena kortikal sehingga menyebabkan volume vaskuler intrakranial
bertambah dan peningkatan tekanan intrakranial sampai batas yang dibutuhkan
untuk mempertahankan aliran likuor terhadap tekanan sinus vena yang relatif
tinggi. Konsekuensi klinis dari hipertensi vena ini tergantung dari komplians
tengkorak. (Darsono, 2005)
4. WOC (Web of cautions)

5. Manifestasi klinis
Tanda awal dan gejala hidrosefalus tergantung pada awitan dan derajat
ketidakseimbangan kapasitas produksi dan resorbsi CSS (Darsono, 2005). Gejala
gejala yang menonjol merupakan refleksi adanya hipertensi intrakranial.
Manifestasi klinis dari hidrosefalus pada anak dikelompokkan menjadi dua
golongan, yaitu :
a. Awitan hidrosefalus terjadi pada masa neonatus
Meliputi pembesaran kepala abnormal, gambaran tetap hidrosefalus
kongenital dan pada masa bayi. Lingkaran kepala neonatus biasanya adalah
35-40 cm, dan pertumbuhan ukuran lingkar kepala terbesar adalah selama
tahun pertama kehidupan. Kranium terdistensi dalam semua arah, tetapi
terutama pada daerah frontal. Tampak dorsum nasi lebih besar dari biasa.
Fontanella terbuka dan tegang, sutura masih terbuka bebas. Tulang-tulang
kepala menjadi sangat tipis. Vena-vena di sisi samping kepala tampak
melebar dan berkelok. (Peter Paul Rickham, 2003)
b. Awitan hidrosefalus terjadi pada akhir masa kanak-kanak
Pembesaran kepala tidak bermakna, tetapi nyeri kepala sebagai manifestasi
hipertensi intrakranial. Lokasi nyeri kepala tidak khas. Dapat disertai keluhan
penglihatan ganda (diplopia) dan jarang diikuti penurunan visus. Secara
umum gejala yang paling umum terjadi pada pasien-pasien hidrosefalus di
bawah usia dua tahun adalah pembesaran abnormal yang progresif dari
ukuran kepala. Makrokrania mengesankan sebagai salah satu tanda bila
ukuran lingkar kepala lebih besar dari dua deviasi standar di atas ukuran
normal. Makrokrania biasanya disertai empat gejala hipertensi intrakranial
lainnya yaitu:
1. Fontanel anterior yang sangat tegang.
2. Sutura kranium tampak atau teraba melebar.
3. Kulit kepala licin mengkilap dan tampak vena-vena superfisial menonjol.
4. Fenomena „matahari tenggelam‟ (sunset phenomenon).
5. Gejala hipertensi intrakranial lebih menonjol pada anak yang lebih besar
dibandingkan dengan bayi. Gejalanya mencakup: nyeri kepala, muntah,
gangguan kesadaran, gangguan okulomotor, dan pada kasus yang telah
lanjut ada gejala gangguan batang otak akibat herniasi tonsiler
(bradikardia, aritmia respirasi).

6. Pemeriksaan penunjang
Disamping dari pemeriksaan fisik, gambaran klinik yang samar-samar
maupun yang khas, kepastian diagnosis hidrosefalus dapat ditegakkan dengan
menggunakan alat-alat radiologik yang canggih. Pada neonatus, USG cukup
bermanfaat untuk anak yang lebih besar, umumnya diperlukan CT scanning. CT
scan dan MRI dapat memastikan diagnosis hidrosefalus dalam waktu yang relatif
singkat. CT scan merupakan cara yang aman dan dapat diandalkan untuk
membedakan hidrosefalus dari penyakit lain yang juga menyebabkan pembesaran
kepala abnormal, serta untuk identifikasi tempat obstruksi aliran CSS (Darsono,
2005).

7. Komplikasi
a. Epilepsi
b. Gangguan koordinasi
c. Gangguan bicara
d. Gangguan penglihatan
e. Mengalami kesulitan saat belajar
f. Tidak bisa berkonsentrasi
g. Perhatian sangat mudah dialihkan

8. Penatalaksanaan medis
Pada dasarnya ada tiga prinsip dalam pengobatan hidrosefalus, yaitu :
a. Mengurangi produksi CSS.
b. Mempengaruhi hubungan antara tempat produksi CSS dengan tempat
absorbsi.
c. Pengeluaran likuor (CSS) kedalam organ ekstrakranial (Darsono, 2005)
Penanganan hidrosefalus juga dapat dibagi menjadi :
a. Penanganan Sementara
Terapi konservatif medikamentosa ditujukan untuk membatasi evolusi
hidrosefalus melalui upaya mengurangi sekresi cairan dari pleksus khoroid
atau upaya meningkatkan resorbsinya.
b. Penanganan Alternatif (Selain Shunting)
Misalnya : pengontrolan kasus yang mengalami intoksikasi vitamin A, reseksi
radikal lesi massa yang mengganggu aliran likuor atau perbaikan suatu
malformasi. Saat ini cara terbaik untuk melakukan perforasi dasar ventrikel
III adalah dengan teknik bedah endoskopik. (Peter Paul Rickham, 2003)
c. Operasi Pemasangan ‘Pintas’ (Shunting)
Operasi pintas bertujuan membuat saluran baru antara aliran likuor dengan
kavitas drainase. Pada anak-anak lokasi drainase yang terpilih adalah rongga
peritoneum. Biasanya cairan serebrospinalis didrainase dari ventrikel, namun
kadang pada hidrosefalus komunikans ada yang didrain ke rongga
subarakhnoid lumbar. Ada dua hal yang perlu diperhatikan pada periode
pasca operasi, yaitu: pemeliharaan luka kulit terhadap kontaminasi infeksi
dan pemantauan kelancaran dan fungsi alat shunt yang dipasang. Infeksi pada
shunt meningatkan resiko akan kerusakan intelektual, lokulasi ventrikel dan
bahkan kematian.
(Allan H. Ropper, 2005)

B. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Anamnese
1) Riwayat perawatan / keluhan utama
Muntah, gelisah nyeri kepala, lethargi, lelah apatis, penglihatan ganda,
prubahan pupil, konstiksi penglihatan perifer.
2) Riwayat Perkembangan
- Kelahiran : Prematur, lahir dengan pertolongan, pada waktu lahir
menangis keras atau tidak.
- Kekejangan : Mulut dan perubahan tingkah laku.
- Apakah pernah terjatuh dengan kepala terbentur.
- Keluhan sakit perut.
b. Pemeriksaan Fisik
1) Inspeksi :
- Anak dapat melihat keatas atau tidak
- Pembesaran kepala
- Dahi menonjol dan mengkilat serta pembuluh darah terlihat jelas
2) Palpasi
- Ukur lingkar kepala : Kepala semakin membesar
- Fontanela : Keterlambatan penutupan fontanela anterior sehingga
fontanela tegang, keras dan sedikit tinggi dari permukaan tengkorak.
3) Pemeriksaan Mata
- Akomodasi
- Gerakan bola mata
- Luas lapang pandang
- Konvergensi
- Didapatkan hasil : Alis bulu mata keatas, tidak bisa melihat keatas
- Strabismus, nystaqmus, atropi optic
4) Observasi Tanda – tanda Vital
- Peningkatan sistole tekanan darah
- Penurunan nadi / bradicardia
- Peningkatan frekwensi pernapasan

2. Diagnosa
a. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan meningkatnya
volume cairan serebrospinal, meningkatnya tekanan intrakrainal.
b. Resiko injury berhubungan dengan pemasangan shunt.
c. Resiko infeksi berhubungan dengan efek pemasangan shunt.
d. Perubahan proses keluarga berhubungan dengan kondisi yang mengancam
kehidupan anak.

3. Intervensi
a. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan meningkatnya
volume cairan serebrospinal, meningkatnya tekanan intrakrainal.
Tujuan: setelah dilakukan asuhan keperawatan 3 x 24 jam diharapkan perfusi
jaringan serebral baik
Kriteria hasil:
- Tidak terjadi peningkatan tekanan intracranial
- Cairan serebrospinal dalm batas normal
Intervensi:
- Mengukur lingkar kepala setiap 8 jam
- Monitor kondisi fontanel
- Mengatur posisi anak miring ke arah yang tida dilakukan tindakan operasi
- Menjaga posisi kepala tetap sejajar dengan tempat tidur untuk
menghindari pengurangan tekanan tekanan intrakranial yang tiba – tiba
- Mengobservasi da menilai fungsi neurologist setiap 15 menit hingga
tanda – tanda vital stabil
- Melaporkan segera setiap perubahan tingkah laku ( missal : mudah
terstimulasi, menurunnya tingkat kesadaran ) atau perubahan tand – tand
vital ( meningkatnya tekanan darah, denyut nadi menurun ).
- Menilai keadaan balutan terhadap adanya perdarahan dan daerah sekitar
operasi terhadap tanda – tanda kemerahan dan pembengkakan.
- Mengganti posisi setiap 2 jam Dan jika perlu gunakan matras Yang berisi
udara untuk mencegah penekanan yang terlalu lama pada daerah tertentu.
b. Resiko injury berhubungan dengan pemasangan shunt.
Tujuan: setelah dilakukan asuhan keperawatan 3 x 24 jam diharapkan tidak
terjadi injury pada perlukaan pemasangan shunt
Kriteria hasil:
- Luka tampak bersih
- Tidak terdapat injury pada area pemasangan shunt
Intervensi:
- Melaporkan segera bila terjadi perubahan tand vital ( meningkatnya
temperatur tubuh ) atau tingkah laku ( mudah terstimulasi, menurunnya
tingkat kesadaran ) segera.
- Memonitor daerah sekitar operasi terhadap adanya tanda – tanda
kemerahan atau pembengkakan.
- Pertahankan terpasangnya kondisi shunt tetap baik. Jika kondisi shunt
yang tidak baik, maka untuk segera berkolaborasi untuk peningkatan atau
penggantian shunt.
- Lakukan pemijatan pada selang shunt untuk menghindari sumbatan pada
awalnya.
c. Resiko infeksi berhubungan dengan efek pemasangan shunt
Tujuan: setelah dilakukan asuhan keperawatan 3 x 24 jam diharapkan tidak
terjadi infeksi
Kriteria hasil:
- Tidak terdapat tanda-tanda infeksi
- Luka area pemasangan shunt bersih
Intervensi:
- Kaji keadaan umum dan luka di area pemasangan shunt
- Kaji tanda-tanda infeksi
- Bersihkan luka tiap hari atau 2 hari sekali tergantung kondisi luka
- Kolaborasi tim medis: terapi sesuai advice
d. Perubahan proses keluarga berhubungan dengan kondisi yang mengancam
kehidupan anak.
Tujuan: setelah dilakukan asuhan keperawatan 1 x 2 jam diharapkan koping
keluarga klien baik
Kriteria hasil:
- Keluarga klien dapat menerima keadaan sakit klien
- Keluarga tidak menyalahkan pihak lain terkait kondisi klien
Intervensi:
- Kaji koping keluarga klien terkait proses keluarga dalam menghadapi
masalah kesehatan klien
- Kaji tingkat pendidikan klien
- Berikan pendidikan kesehatan kepada keluarga terkait penyakit klien
- Anjurkan keluarga menerima keadaan sakit klien sekarang dan pasrah
kepada tuhan serta terus berusaha dami kesembuhan klien.
DAFTAR PUSTAKA

Darsono dan Himpunan dokter spesialis saraf indonesia dengan UGM. (2005).
Buku Ajar Neurologi Klinis. Yogyakarta: UGM Press.

DeVito EE, Salmond CH, Owler BK, Sahakian BJ, Pickard JD. (2007). Caudate
structural abnormalities in idiopathic normal pressure hydrocephalus. Acta
Neurol Scand 2007: 116: pages 328–332.

Peter Paul Rickham. (2003). Obituaries. BMJ 2003: 327: 1408-doi: 10.1136/
bmj.327.7428.1408.

Ropper, Allan H. And Robert H. Brown. (2005). Adams And Victor’s Principles
Of Neurology. USA: Eight Edition.

Anda mungkin juga menyukai