Anda di halaman 1dari 22

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Tanah

Tanah merupakan hasil perubahan dari keberagaman bahan mineral dan

organik yang berlangsung didaratan muka bumi yang diengaruh oleh faktor-faktor

lingkungan yang berproses dengan waktu sangat panjang, dan terbentuk sebagai

suatu tubuh dengan organisasi dan morfologi teraktifkan (Notohadiprawiro,

1998). Sedangkan, Menurut Hardjowigeno (2010), tanah (soil) merupakan

gabungan dari materi alam di permukaan bumi yang tersusun dalam horizon-

horizon, yang terdiri dari campuran bahan-bahan mineral, organik, air dan udara,

serta sebagai media untuk tempat tumbuhnya tanaman.

Tanah dapat berfungsi secara kimiawi sebagai gudang dan penyedia unsur

hara atau nutrisi dimana senyawa organik maupun anorganik sederhana dan

unsur-unsur esensial seperti Nitrogen (N), Fosfor (P), Kalium (K), Kalsium (Ca),

Magnesium (Mg), Belerang (S), Tembaga (Cu), Seng (Zn), Besi (Fe), Mangan

(Mn), Boron (B), dan Chlor (Cl). Sedangkan, tanah berfungsi secara biologis

sebagai tempat hidup mahluk hidup yang berperan aktif dalam penyediaan unsur

hara dan zat-zat aditif atau pemacu tumbuh, proteksi bagi tanaman

(Hanafiah,2010).

Provinsi Jambi memiliki area lahan kering dengan luas 5,1 juta hektar,

lahan kering ini memiliki tiga macam jenis tanah yakni tanah ultisol (Podsolik

Merah Kuning) sebanyak 53,46%, latosol 17,3% serta andosol7,5%, dan sisanya

jenis gley humus hidromorfik kelabu dan aluvial (Pusat Penelitian Tanah dan

7
8

Agroklimat, 1993). Menurut penelitian Paiman, (2010) jenis tanah yang berada di

Desa teranta Baru dan Bulian Baru Kabupaten Batanghari mendapat deskripsi

profil tanah menunjukkan bahwa di Desa Terentang Baru dan Bulian Baru

merupakan tanah jenis podsolik merah kuning (ultisol).

2.2 Pertambangan Batubara

Produksi batubara nasional mengalami peningkatan sejak tahun 2006

hingga 2009 dari 179.580.407,15 ton menjadi 226.170.443,14 ton. Produksi

batubara sebagian besar diekspor ke luar negeri, dengan volume ekspor pada

tahun 2006 yakni 103.564.022,73 ton, meningkat pada tahun 2009 menjadi

152.924.098,30 ton (Suryanto dkk., 2010). Provinsi Jambi memiliki luas wilayah

sebesar 53.435,72 kilometer persegi dengan luas daratan 50.160,05 kilometer

persegi serta luas perairannya sebesar 3.274,95 kilometer persegi. Dengan luas

daratan yang luas Provinsi Jambi memiliki potensi batubara sekitar 1,5 miliar ton

dengan jumlah produksi yang dihasilkan sekitar 5 ton pertahun, batubara yang di

hasilkan di pasarkan untuk kebutuhan ekspor yakni ke negara Korea, Tiongkok,

Singapura, India dan Banglades. (Tata Ruang dan Pertanahan, 2015)

Provinsi Jambi memiliki berbagai jenis pertambangan yang meliputi

pertambangan emas, minyak dan batubara. Pada akhir 2015 luas area izin operasi

produksi tambang batubara sekitar 107.192,1 hektar, dengan mencapai 139.150,1

hektar izin eksplorasi. Teknik penambangan yang di lakukan adalah teknik

terbuka (open pit mining) dengan metode gali-isi kembali (Back fillings method).

(Purnama dkk., 2016). Menurut penelitian Suhada, (2015) yang dilakukan di

Kabupaten Tebo dan Batanghari diperoleh karakteristik batubara yakni berwarna


9

hitam kecoklatan, kilap kusam, mengotori tangan, dan memiliki kandungan kalori

3100 kal/gram hingga 5600 kal/gram dan merupakan jenis batubara jenis lignite

atau brown coal.

2.2.1 Batubara

Batubara merupakan mineral organik yang proses terbentuknya berawal

dari pengendapan sisa tumbuhan purba yang selanjutnya terjadi proses fisika serta

kimia yang berlangsung selama jutaan tahun sehingga mengakibatkan perubahan

bentuk. Periode pembentukan karbon (Carboniferus Period) merupakan awal dari

pembentukan batubara, dikenal dengan zaman batubara pertama yang berlangsung

diantara 290 juta sampai 360 juta tahun yang lalu. Tumbuhan terendap di dalam

tanah dan berubah menjadi tanah gambut (peat), lalu berubah menjadi batubara

muda (lignite) atau batubara coklat (brown coal) (Billah, 2010).

2.2.2 Jenis Batubara

Batubara terbentuk dengan cara yang sangat komplek dan memerlukan

waktu yang lama yakni puluhan sampai jutaan tahun dan dipengaruhi oleh

keadaan fisika, kimia, maupun geologi. Menurut tingkatannya batubara

digolongkan menjadi beberapa kelas, yakni:

a. Lignite

Lignite merupakan batubara yang memiliki tingkatan rendah, dimana jenis ini

dalam tingkat klasifikasi batubara berada pada massa transisi dari jenis gambut ke

batubara. Batubara jenis ini berwarna hitam dan teksturnya menyerupai kayu.

b. Sub-bitumine

Sub-bituminemerupakan masa peralihan antara jenis lignite dan bitumine.

Batubara jenis ini memiliki warna hitam dan mempunyai kandungan air, zat
10

terbang, oksigen yang tinggi dan kandungan karbon yang rendah. Sifat-sifat

tersebut menunjukkan batubara jenis ini merupakan batubara jenis rendah.

c. Bitumine

Batubara jenis bitumine ini merupakan batubara yang berwarna hitam dengan

tekstur ikatan yang kuat.

d. Antrasit

Antrasit merupakan jenis batubara yang memiliki tingkatan paling tinggi yang

memiliki kandungan karbon lebih dari 93 % serta kandungan zat terbang kurang

dari 10 %. Antrasit memiliki tekstur keras, kuat dan sering kali berwarna hitam

mengkilat seperti kaca.

2.2.3 Sifat-sifat Batubara

Batubara adalah campuran heterogen yang padat dan terdapat di alam

secara alami dalam tingkatan yang berbeda dimulai dari lignite, subbitumine,

bitumine, dan antrasit. Didunia perdagangan dikenal dengan Hard Coal dan

Brown Coal. Hard Coal dibagi menjadi dua kategori, yakni :

a. Zat terbang (volatile matter) yang terkandung hingga 33%.

b. Zat terbang (volatile matter) yang terkandung lebih besar 33 %.

Hard coal merupakan jenis batubara dengan hasil kalori yang lebih tinggi

dibandingkan dengan bitumine atau subbitumine, dan lignite (brown coal).

1. Sifat batubara jenis antrasit :

a. Memiliki warna hitam sangat mengkilap.

b. Nilai kalor sangat tinggi dan kandungan karbon sangat tinggi.

c. Air yang terkandung sangat sedikit.

d. Abu yang terkandung sangat sedikit.


11

e. Sulfur yang terkandung sangat sedikit.

2. Sifat batubara jenis bitumine atau sub-bitumine:

a. Memiliki hitam sangat mengkilap, kurang kompak

b. Nilai kalor sangat tinggi, kandungan karbon relative tinggi

c. Air yang terkandung sangat sedikit.

d. Abu yang terkandung sangat sedikit.

e. Sulfur yang terkandung sedikit.

3. Sifat betubara jenis lignite :

a. Memiliki warna hitam sangat rapuh

b. Memiliki nilai kalor rendah dan kandugan karbon sedikit.

c. Air yang terkandung tinggi.

d. Abu yang terkandung banyak

e. Sulfur yang terkandung banyak.

Penentuan peringkat pada kwalitas batubara ditentukan untuk pemakaian

akhir batubara. Batubara memiliki komposisi seperti hydrogen, oksygen yang

terdiri dari sulfur dan nitrogen dalam jumlah yang kecil, air dan abu mineral

impirities. Batubara memiliki beberapa fungsi diantaranya adalah sebagai

purifiying dan filtering agent(Billah, 2010).

2.2.4 Permasalan di Area Pasca Penambangan Batubara

Sebagian besar sumber daya mineral dan batubara di Indonesia terdapat

pada lapisan bumi yang dekat permukaan tanah, hal ini yang mendasari

penambangannya dengan cara terbuka (open pit mine methode). Metode ini

memberikan efek perubahan pada unsur-unsur alam, seperti topografi, vegetasi

penutup, pola hidrologi, dan kerusakan tubuh tanah (Mulyanto, 2008), sehingga
12

akan menyulitkan pada proses reklamasinya. Hal ini menimbulkan beberapa

permasalahan teknis, yakni:

1. Limbah tailing

Limbah tailing ini mempunyai pengaruh buruk kehidupan flora maupun

fauna, sebagai contoh tambang dari Timah di Bangka-Belitung yang

menghasilkan limbah tailing sehingga menyebabkan tekstur tanah didominasi

oleh pasir kuarsa >90%, dengan C-organik <1%, sehingga menyebabkan

penurunan kemampuan mengikat unsur hara dan air, kandungan hara, kapasitas

tukat kation (KTK), dan kejenuhan basa (KB), dan mengakibatkan tidak

terpenuhinya persyaratan tumbuh pada tanaman (Subadja dkk., 2010).

2. Tercampurnya tanah pucuk dengan bahan galian (overburden)

Proses penambangan batu bara menghasilkan sekitar 1,2 milyar m3

pertahun tumpukan bahan galian (overburden), serta sekitar 0,3 milyar m3

pertahun diperoleh dari penambangan bahan mineral dan logam. Jika pelaksanaan

tata cara penambangan dilakukan secara tepat, seharusnya bagian tanah yang

paling atas (tanah pucuk), dipisahkan dari bahan galian di bawahnya untuk

kepentingan reklamasi, namun banyak ditemukan dilapangan sebagian besar tanah

pucuk tercampur dengan overburden, sehingga menyebabkan penurunan kualitas

daya dukung pada lahan (Subadja dkk., 2010).

3. Erosi

Kondisi lahan yang tidak bervegetasi merupakan alah satu ciri khas dari

areal bekas tambang yang belum direklamasi, dengan bentuk permukaan lahan

yang tidak beraturan. kondisi ini menyebabkan tanah pucuk atau bahan

(overburden) mudah mengalami erosi, baik yang disebabkan oleh curah hujan
13

langsung, maupun oleh aliran permukaan yang tidak terkendali(Subadja dkk.,

2010).

4. Pencemaran logam berat

Logam berat dan air asam merupakan pencemaran yang dihasilkan oleh

aktivitas penambangan, sebagai contoh pencemaran logam berat Hg yang di

timbulkan oleh aktivitas penambangan emas. Aktivitas penambangan umumnya

menghasilkan bahan pencemar yang ditunjukkan oleh kadar logam-logam berat

dalam tanaman yang melebihi kadar normal (Subadja dkk., 2010).

2.3 Mangan

Mangan merupakan unsur logam yang termasuk golongan VII, dengan

berat atom 54,93, titik lebur 1247 0C, dan titik didihnya 2032 0C. Mangan (Mn)

adalah metal berwarna kelabu-kemerahan, di alam mangan (Mn) umumnya

ditemui dalam bentuk senyawa dengan berbagai macam valensi. Air yang

mengandung mangan (Mn) berlebih menimbulkan rasa, warna (coklat/ ungu/

hitam), dan kekeruhan (Fauziah, 2010).

Toksisitas mangan relatif sudah tampak pada konsentrasi rendah.

Kandungan mangan yang diizinkan dalam air yang digunakan untuk keperluan

domestik yaitu dibawah 0,05 mg/l. Air yang berasal dari sumber tambang asam

dapat mengandung mangan terlarut dengan konsentrasi ±1 mg/l. Pada pH yang

agak tinggi dan kondisi aerob terbentuk mangan yang tidak larut seperti MnO2,

Mn3O4 atau MnCO3 meskipun oksidasi dari Mn2+ itu berjalan relatif lambat

(Achmad, 2004).
14

Dalam jumlah yang kecil (<0,5 mg/l) , mangan (Mn) dalam air tidak

menimbulkan gangguan kesehatan, melainkan bermanfaat dalam menjaga

kesehatan otak dan tulang, berperan dalam pertumbuhan rambut dan kuku, serta

membantu menghasilkan enzim untuk metabolisme tubuh untuk mengubah

karbohidrat dan protein membentuk energy yang akan digunakan. (Anonymous,

2010).

Tetapi dalam jumlah yang besar (>0,5 mg/l), mangan (Mn) dalam air

minum bersifat neurotoksik. Gejala yang timbul berupa gejala susunan syaraf,

insomnia, kemudian lemah pada kaki dan otot muka sehingga ekspresi muka

menjadi beku dan muka tampak seperti topeng/mask (Slamet, 2007). Teknologi

penurunan kandungan besi dan mangan dapat dilakukan dengan beberapa

cara, antara lain :

1. Oksidasi

2. Ion Exchange

3. Mangan Zeolit Filtration

4. Sequestering Process

5. Lime Softening

6. Adsorpsi (Penyerapan)

7. Filtration (Penyaringan)

2.3.1 Kadar Mangan (Mn)

Mangan adalah logam berwarna abu-abu putih. Mangan adalah unsur

reaktif yang mudah menggabungkan dengan ion dalam air dan udara. Di bumi,

mangan ditemukan dalam sejumlah mineral kimia yang berbeda dengan sifat

fisiknya, tetapi tidak pernah ditemukan sebagai logam bebas di alam. Mineral
15

yang paling penting adalah pyrolusite, karena merupakan mineral biji utama untuk

mangan. Kehadiran mangan dalam air tanah bersamaan dengan besi yang berasal

dari tanah dan bebatuan. Mangan dalam air berbentuk mangan bikarbonat

(Mn(HCO3)2), mangan klorida (MnCl2) dan mangan sulfat (MnSO4)3

(Pacini,2005).

Menurut Fauziah (2010) air yang mengandung mangan (Mn) berlebih

menimbulkan rasa, warna (coklat/ungu/hitam), dan kekeruhan. Toksisitas mangan

relatif sudah tampak pada konsentrasi rendah. Kandungan mangan yang diizinkan

dalam air yang digunakan untuk keperluan domestik yaitu dibawah 0,05 mg/l. Air

yang berasal dari sumber tambang asam dapat mengandung mangan terlarut

dengan konsentrasi ±1 mg/l. Pada pH yang agak tinggi dan kondisi aerob

terbentuk mangan yang tidak larut seperti MnO2, Mn3O4 atau MnCO3 meskipun

oksidasi dari Mn2+ itu berjalan relatif lambat.

Dalam jumlah yang kecil (<0,5 mg/l), mangan (Mn) dalam air tidak

menimbulkan gangguan kesehatan, melainkan bermanfaat dalam menjaga

kesehatan otak dan tulang, berperan dalam pertumbuhan rambut dan kuku, serta

membantu menghasilkan enzim untuk metabolisme tubuh untuk mengubah

karbohidrat dan protein membentuk energi yang akan digunakan (Febrina dan

Ayuna, 2015).

2.4 Sumber – Sumber Logam Berat yang Mencemari Tanah

Secara alami logam beratdi alam terperangkap di dalam tanah akibat

proses pelapukan, atau dari letusan gunung merapi. Jika siklus alamiahnya tidak

mengalami perubahan terkaitan kepada rantai makan tidak akan menimbulkan

efek racun pada manusia. Tanah secara alamiah mengandung logam berat yang
16

sebagian logam berat berperan dalam proses fisologis tanaman seperti Fe, Cu, Zn

dan Ni, tetapi dengan jumlah yang relatif sangat sedikit, bila dalam jumlah

berlebih pada tanaman akan memberikan efek tosisitas. Unsur Mangan (Mn)

merupakan pencemar kimia dalam lingkungan dan sangat beracun bagi tumbuhan,

hewan dan manusia (Hidayat, 2015).

Tabel 2.1Kandungan Logam Berat dalam Tanah


Nilai ambang batas
Logam
dalam tanah (ppm)
As 0,1-4,0
B 2-100
F 3-300
Cd 0,1-7,0
Mn 100-4000
Ni 10-1000
Zn 10-300
Cu 2-100
Pb 2-200
Sumber: (Erfandi dan Ishak, 2014)

Adapun sebab masuknya logam berat ke dalam lingkungan hidup, yaitu:

1. Longgokan alami di dalam bumi terangkat, sehingga berada di permukaan

bumi

2. Bebatuan yang mengandung logam berat mengalami pelapukan secara

residual di dalam saprolit dan selanjutnya berada di dalam tanah

3. Penggunaan bahan kimia untuk pupuk atau pembenah tanah (soil conditioner)

4. Pembuangan limbah pabrik serta sampah kelingkungan.

Bahan agrokimia melalui pupuk sintetik dan pestisida merupakan

peyumbang pencemaran logam berat pada tanah pertanian. Pemupukan

menggunakan bahan kimia pada lahan pertanian dapat meningkatkan kandungan

logam berat pada tanah (Notohadiprawiro, 2006).


17

2.5 Biochar

Biochar didefinisikan sebagai: “arang atau biomassa yang telah dipirolisis

dalam lingkungan nol atau oksigen rendah. Karena sifat-sifatnya yang melekat,

secara ilmiah diaplikasi untuk tanah di keadaan tertentu diharapkan akan mengikat

karbon dan secara bersamaan meningkatkan fungsi tanah. Seiring menghindari

efek merugikan jangka pendek dan panjang untuk lingkungan yang lebih luas

serta kesehatan manusia dan hewan. "Biochar sebagai bahan didefinisikan sebagai

" arang untuk aplikasi pada tanah ". Perlu dicatat bahwa istilah 'biochar' umumnya

terkait dengan produk akhir pirolisis lain yang dihasilkan bersama seperti 'syngas'

(Verheijen dkk., 2010).

Sebagai bahan pembenah tanah, biochar banyak digunakan untuk

mengatasi permasalahan pada tanah. Aplikasi biochar dapat meningkatkan pH

pada tanah asam meningkatkan kapasitas tukar kation (KTK) pada tanah,

menyediakan unsur hara N, P dan K. Biochar juga dapat menjaga kelembaban

tanah sehingga kapasitas menahan air tinggi dan meremediasi tanah yang tercemar

logam berat seperti (Pb, Cu, Cd, Mn dan Ni). Pemberian biochar pada tanah juga

mampu meningkatkan pertumbuhan serta serapan hara pada tanaman.

Proses pembuatan dan bahan baku merupakan penentu dari kualitas

biochar. Biochar dapat diproduksi dari berbagai jenis bahan yang mengandung

ligniselulosa, seperti kayu, sisa tanaman (jerami padi, sekam padi, tandan kosong

kelapa sawit dan limbah sagu) serta pupuk kandang. Penggunaan biochar sebagai

pembaharuan pada tanah, diharapkan mampu mengatasi permasalahan pada tanah

ultisol. Tanah ultisol memiliki persebaran yang luas dan banyak digunakan dalam

bidang pertanian. Masalah pada tanah ultisol seperti pH yang rendah, kandungan
18

bahan organik rendah, unsur hara seperti N, P dan K rendah dan kekuatan

agregatnya yang lemah, sehingga dapat menggangu pertumbuhan tanaman

(Notohadiprawiro, 2006).

Banyak jenis bahan dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan

biochar, termasuk lumpur, bahan tanaman dan pupuk kandang. Meski

penggunakan arang kayu sudah ada serta sudah umum sejak penelitian terdahulu,

ide untuk menggunakan bahan baku jenis lainnya untuk memproduksi biochar

baru relatif tidak dikembangkan. Pada umumnya biochar memiliki pertukaran

kation dan basa, biochar memiliki banyak manfaat potensial pada sifat tanah

sebagai peningkatan pada aktivitas biologis tanah (Paz-Ferreiro dkk., 2013),

menurunkan hasil emisi gas rumah kaca dari sumber pertanian yang berdampak

pada meningkatnya penyerapan karbon tanah karena isi muatan bentuk karbon

yang kuat. Penambahan biochar ke tanah akan menyebabkan perubahan

komposisi tanah sehingga menyebabkan perubahan kualitas tanah.

2.6 Proses Pembuatan Biochar

Pembuatan biochar dapat menggunakan proses pirolisis, proses pirolisis

adalah dekomposisi kimiawi suatu zat organik dengan pemanasan tanpa adanya

oksigen. Kata ini berasal dari kata Yunani 'pyro' yang berarti api dan “lisis” yang

berarti dekomposisi atau penguraian menjadi bagian-bagian penyusun. Dalam

prakteknya di lapangan tidak mungkin untuk mengatur lingkungan yang bebas

oksigen sepenuhnya dan dengan demikian sejumlah kecil oksidasi akan selalu

terjadi. Namun, tingkat oksidasi bahan organik relatif kecil bila dibandingkan

dengan pembakaran di mana oksidasi bahan organik hampir lengkap terjadi, dan
19

dengan demikian proporsi substansial lebih besar dari karbon dalam bahan baku

tetap dan tidak dilepaskan sebagai CO2. Namun, dengan banyak pirolisis dari C

dari bahan baku masih belum pulih dalam bentuk arang, tetapi diubah menjadi gas

atau minyak.

Pirolisis terjadi secara spontan pada suhu tinggi umumnya di atas sekitar

300 °C untuk kayu, dengan suhu spesifik yang bervariasi dengan material. Ini

terjadi di alam ketika vegetasi terkena kebakaran hutan atau bersentuhan dengan

lahar dari letusan gunung berapi. Paling ekstrem, pirolisis hanya menyisakan

karbon sebagai residu dan disebut karbonisasi. Suhu tinggi yang digunakan dalam

pirolisis dapat menginduksi polimerisasi molekul di dalam bahan baku, di mana

molekul yang lebih besar juga diproduksi (termasuk senyawa aromatik dan

alifatik), serta dekomposisi termal dari beberapa komponen bahan baku menjadi

molekul yang lebih kecil.

Proses pirolisis mengubah bahan organik menjadi tiga komponen yang

berbeda, menjadi gas, cair atau padat dalam proporsi yang berbeda tergantung

pada bahan baku dan kondisi pirolisis yang digunakan. Gas yang dihasilkan

mudah terbakar, termasuk metana dan hidrokarbon lain yang dapat didinginkan di

mana mereka mengembun dan membentuk residu minyak atau tar yang umumnya

mengandung sejumlah kecil air. Gas, baik mengembun atau dalam bentuk gas dan

cairan dapat ditingkatkan dan digunakan sebagai bahan bakar untuk pembakaran.

Komponen padat yang tersisa setelah pirolisis adalah arang, disebut sebagai

biochar ketika diproduksi dengan tujuan menambahkannya ke tanah untuk

memperbaikinya (Verheijen dkk., 2010).


20

Gambar 2.1 Perubahan Struktur Molekul Penyusun Batubara Selama Proses Pirolisis

Sumber: (Riswan dkk., 2013)

o
Proses pirolisis pada temperatur 200 C hanya uap air yang akan

dilepaskan, sedangkan pada temperatur 200-280 oC, CO2, asam asetat, dan uap air

akan dilepaskan. Gas dalam jumlah besar dapat di hasilkan dengan menggunakan

proses pirolisis pada temperatur 280-500 oC. Sedangkan gas akan sedikit

dihasilkan dan mengandung hidrogen jika proses pirolisis dilakukan pada

temperatut 500-700 oC. Proses pirolisis yang terjadi pada batubara dapat dilihat

pada Gambar 2.2, dimana pemanasan terhadap molekul batubara menyebabkan

pemutusan ikatan kimia dan ikatan yang lemah dan diikuti ikatan yang lebih kuat.

Tahapan pertama ikatan hidrogen terputus dan mengakibatkan batubara melembek

yang disebut metaplasth (Riswan dkk., 2013).

2.7 Mekanisme Interaksi antara Biochar dan Logam Berat

Karakteristik pada biochar dapat dilihat dari faktor jenis bahan baku,

ukuran partikel bahan, suhu serta kondisi pirolisa. Banyak karakteristik yang

dimiliki oleh biochar, beberapa dari bahan baku tertentu lebih cocok daripada
21

bahan baku yang lain untuk menyerap logam berat yang berbeda pula. Oleh sebab

itu, memilih biochar untuk tujuan remediasi harus melihat jenis bahan biochar

tidak hanya tipe tanah dan karakteristik saja. Faktor lain yang dapat

mempengaruhi sifat dari biochar seperti luas permukaan, pH, abu dan karbon jika

dioptimalkan maka akan dapat menangulangi logam berat secara efektif.

Memiliki luas permukaan yang besar merupakan salah satu karakteristik

biochar, dimana penyarapan kapasitas yang tinggi untuk logam berat di

permukaannya pula. Permukaan penyerapan logam berat pada biochar dapat

ditunjukkan dengan menggunakan mikroskop elektron scanning (Beesley dan

Marmiroli, 2011). Penyerapan ini bisa disebabkan oleh interaksi logam berat

dengan kelompok fungsional yang berbeda didalam biochar, yang dikarena

pertukaran logam berat dengan kation terkait dengan biochar, seperti Ca2+ dan

Mg2+, K+, Na+ dan S (Uchimiya dkk., 2011), atau karena penyerapan fisik

(Ludkk., 2012). Menstabilkan logam berat di permukaan biochar dapat di

pengaruhi oleh oksigen sebagai kelompok fungsional, khususnya untuk asam

yang lebih lembut seperti Pb,, Cd, Fe, Mn, Cr dan Cu.

Penyerapan Cu2+ berkaitan dengan permukaan yang beroksigen tinggi dan

dengan diameter pori, kerapatan pada muatan superfisial tinggi dan Ca2+ dan Mg2+

mengalami pertukaran kandungan dengan biochar. Mekanisme pada proses

penyerapan sangat tergantung pada jenis tanah serta kation pada biochar dan

tanah. Terdapat beberapa komponen dalam abu, seperti karbonat, fosfat atau sulfat

dapat membantu menstabilkan logam berat dengan pengendapan.

Alkalinitas pada biochar juga dapat menjadi faktor lain. Sebagian

konsentrasi logam berat yang rendah ditemukan di biochar pada tanah. Nilai dari
22

pH yang lebih tinggi setelah penambahan biochar dapat menyebabkan presipitasi

logam berat didalam tanah. pH biochar meningkat bersama dengan suhu pirolisa

yang telah dikaitkan terhadap proporsi yang lebih tinggi dari abu yang

terkandung. Biochar juga dapat menurunkan mobilitas logam berat serta

penambahan biochar dapat menyebabkan perubahan unsur Cr6+ menjadi Cr3+

berkurang. Kestabilan logam berat dalam tanah dengan adanya penambahan

biochar dapat melibatkan sejumlah mekanisme sesuai diilustrasikan pada Gambar

2.2 berikut :

Gambar 2.2 Mekanisme Penyerapan Logam Berat Oleh Biochar


(Sumber : Lu dkk., 2012)

Gambar di atas menunjukkan mekanisme dari penyerapan Pb2+ oleh

biochar. Pertama, logam Pb2+ dengan Ca2+, Mg2+, dan kation lainnya yang

terkandung di dalam biochar, yang secara bersama keluar dari larutan dan

pertukaran ion dengan kompleks materi organik dan oksida- oksida mineral dari

biochar. Kedua, pertukaran antara permukaan logam berat dengan gugus

fungsional yang berbeda, serta pertukaran dengan mineral oksida hidroksil bebas

lalu mengendap pada permukaan lainnya. Gugus karboksil (ReCOOH) dan

kelompok gugus hidroksil alkohol atau gugus fenolik (ReOH) secara umum
23

kelompok utama yang berkontribusi terhadap koordinasi antara logam berat dan

permukaan sorben. Dan ketiga, penyerapan fisik dan presipitasi permukaan yang

berkontribusi terhadap stabilisasi Pb2(Lu dkk., 2012).

Gambar 2.3 Rangkaian Kolom Fixed Bed


Sumber: (Acharya dan Kumar, 2012)

Proses adsorbsi fisika adalah proses adsorbsi yang merupakan hasil dari

gaya tarik. Intermolekuler antara molekul padatan dan substansi yang diadsorbsi.

Adsorbat tidak menembus ke dalam kisi-kisi kristal adsorben serta tidak melarut

di dalamnya, tetapi sepenuhnya berada pada permukaan adsorben. Pada padatan

yang sangat porous mengandung banyak kapiler-kapiler substasi yang diadsorbsi

akan masuk dalam celah-celah ini pada saat adsorbat membasahi padatan tersebut

(Tryball, 1981).

Perpindahan pada proses (c) umumnya berlangsung sangat cepat sehingga

tidak dapat dikontrol. Sedangkan pada proses (d) umumnya juga berlangsung

sangat cepat, sehingga tidak dapat mengontrol juga. Mengontrol kecepatan proses

adsorpsi terjadi pada proses (a) atau proses (b) dan atau keduanya. Jika butir-butir
24

sangat kecil (seperti serbuk) maka proses (b) berlangsung relative sangat cepat

sehingga tidak dapat mengontrol. Sehingga proses yang mengontrol adalah

perpindahan massa dari cairan ke permukaan butiran. Sebaliknya, jika butir-butir

berukuran besar, difusi dari permukaan ke dalam butir relative sangat lambat,

maka yang mengontrol adalah proses difusinya (Billah, 2010).

Faktor-faktor yang mempengaruhi proses adsorbsi adalah:

1. Sifat-sifat fisika adsorben dan kimia adsorben.

Struktur pori merupakan faktor yang penting untuk di perhatikan, dimana

struktur pori berhubungan dengan luas permukaan. Semakin kecil pori-pori

adsorben maka mengakibatkan luas permukaan semakin besar, sehingga

kecepatan adsorbs bertambah. Peningkatan kecepatan adsorb dapat di capai

dengan penggunaan adsorben yang dihaluskan terlebih dahulu.

2. Sifat-sifat fisika dan kimia zat yang diserap.

Proses adsorbsi akan bertambah besar berbanding lurus dengan

bertambahnya ukuran molekul serapan dari struktur yang sama seperti dalam deret

homolog. Gugus fungsi juga berpengaruh pada proses adsorpsi, posisi gugus

fungsi, ikatan rangkap, struktur rantai dan senyawa serapan.

3. Konsentrasi zat yang diserap dalam larutan.

Semakin tinggi konsentrasi zat yang diserap dalam larutan, maka semakin

banyak jumlah adsorben yang akan digunakan.

4. Sifat-sifat liquid, misalnya pH, temperatur.

Adsorbsi semakin meningkat apabila pH diturunkan dengan penambahan

asam-asam mineral, dan sebaliknya bila pH dinaikkan dengan cara menambahkan

alkali, adosrbsi akan berkurang sebagai akibat terbentuknya garam.


25

5. Waktu tinggal didalam sistem

Adsorben jika ditambahkan dalam suatu cairan dibutuhkan waktu untuk

mencapai pada keseimbangan. Waktu yang dibutuhkan berbanding terbalik

terbalik dengan jumlah adsorben yang digunakan. Pada larutan yang mempunyai

viskositas tinggi maka diperlukan waktu tinggal yang lebih lama.

Kesetimbangan adsorbsi akan terjadi pada saat adsorbat terkandung dalam

larutan telah bercampur dengan adsorben, molekul-molekul adsorbat berpidah

dari larutannya ke permukaan adsorben hingga tercapai konsentrasi adsorben

dalam larutan sebanding dengan konsentrasi adsorbat pada permukaan solid

adsorben (Billah, 2010).

2.8 Studi tentang Pengaruh Biochar pada Logam Berat Tanah

Pemakaian biochar berpotensi untuk menurunkan daya toksisitas logam

berat pada limbah tambang selain itu penggabungan biochar ke dalam tanah dapat

mengubah sifat fisik tanah seperti tekstur, struktur, distribusi ukuran pori dan

kepadatan dengan implikasi untuk aerasi tanah, kapasitas menahan air,

pertumbuhan tanaman dan kemampuan kerja pada tanah tanah. Menurut Fellet

dkk.,(2011) menggunakan biochar dari sampah kebun dengan empat variasi

persentase pemberian biochar (0%, 1%, 5%, serta 10%) terhadap limbah tambang,

sehingga menghasilkan peningkatan pH, kapasitas tukar kation (KTK), dan

kapasitas daya ikat air meningkat berbanding lurus dengan jumlah biochar yang

diberikan dan mengalami penurunan terhadap bioavailabilitas logam Cd, Pb, dan

Zn, serta logam Cd mempunyai penurunan yang terbesar. Sedangakan menurut

Haryadi, A (2016) menggunakan biochar dari sekam padi dengan variasi


26

persentase biochar 0%, 5%, 10%, 15%, 20%, dan 25% terhadap pertumbuhan

tanaman kedelai, di dapat pada persentase 5% biochar baik meningkatkan serapan

unsur K, pH pada tanah, jumlah daun pada batang, serta bobot kering

berangkasan.

Penggunaan kolom fixed bed sebagai alat penyerapan merupakan salah

satu metode penyerapan dengan memvariasikan rasio liquiq per solid untuk

menggantikan laju alir atau lama kontak antara liquid dengan padatan (solid),

menurut Ginting dkk., (2017) yang menggunakan zeolit sebagai penyerapan

logam Pb dalam air secara kontinu pada kolom fixed bed denagan rasio 1:1 dan

1:3 menunjukkan semakin besar rasio liquid per solid menunjukkan penurunan

kadar logam Pb dalam air. Sedangkan menurut EPA, (2017) mengenai flay ash

sebagai alat filter dengan rasio liquid per solid (L/S) 0:1, 1:2, 1:4, 1:6, 1:8, dan

1:10 memberikan hasil yang berbeda sesuai jenis logam atau keadaan apa yang di

amati. Pengaruh rasio (L/S) terhadap pH eluet, semakin tinggi rasio semakin

tinggu kenaikan pH eluetnya. Pengaruh rasio (L/S) terhadap logam arsen,

memberikan hasil semakin tinggi rasio semakin tinggi penurunan kadar logam

arsen.

Biochar dari tangkai kapas untuk menurunkan logam Cd pada tanah

tercemar serta mengurangi penyerapan logam Cd oleh tanaman kubis, dari hasil

penelitianya melihatkan bahwa biochar tangkai kapas dapat menurunkan

bioavailabilitas tanah Cd melalui adsorpsi atau co-presipitasi.


27

Table 2.2. Studi yang Mempertimbangkan Pengaruh Aplikasi Biochar pada Logam Berat Tanah

No Bahan atau suhu Jenis Tanah Logam berat Sumber

1. Lumpur dari limbah Haplic Cambisol Cu, Ni, Zn, Cd, Pb Méndez dkk., 2012

2. Jerami padi, dedak serta Technosol As, Cd, Pb, Zn Zheng dkk., 2012

sekam padi (400 oC)

3. Lumpur (550 ◦ C) Chromosol As, Cd, Cr, Cu, Hossain dkk., 2010

Pb , Ni, Se, Zn,

Sb, B, Ag, Ba, Be,

Co, Sn, Sr

4. Serasah (350 dan 700 ◦C) Abruptic Cu, Cd, Ni Uchimiya dkk., 2010

Durixeralfs

5. lumpur (550 ◦ C) Cu, Pb, Zn Sizmur dkk., 2011

Cd, Cu, Pb Park dkk., 2011


6. Kotoran ayam (550 0C),

limbah dedaunan (550 oC)

7. Limbah hutan (600–800 Peat Cu Buss dkk., 2012



C)

8. Campuran kayu keras As, Cd, Zn Beesley dan

(400 ◦C) Marmiroli, 2011

9. Campuran kayu keras Technosol Pb, Cu Karami dkk., 2011

(400 ◦C)

10. Eucalyptus As, Cd, Cu, Pb, Zn Namgay dkk., 2010

11. Tepung gandum (350–550 Technosol Cd Cui dkk., 2011



C)
28

12. Tepung gandum (350– Technosol Cd Cui dkk., 2012

550 ◦C)

13. Jerami padi Ultisol Cu, Cd, Pb Jiang dkk., 2012

14. Kotoran ayam (550 ◦C), Cd, Pb Park dkk., 2013

sampah hutan (550 oC)

15. Limbah kertas bekas ber Vertisol Ni Mendezdkk., 2014

tinta (300 dan 500 ◦C)

Pada penelitian Fellet dkk., (2011) menggunakan biochar untuk

membenahi tambang dimana memiliki tanah yang multikontaminasi. Penambahan

biochar pada tanah tidak mengakibatkan penurunan secara total, namun

kandungan logam berat pada tanah dengan berbagai variabel jumlah biochar yang

berbeda dapat mmenurunkan kadar bioavailabilitas logam Cd, Pb dan Zn dan

mobilitasnya yang diukur dengan menggunakan percobaan pelindian dari logam

Cd, Cr dan Pb.

Anda mungkin juga menyukai