Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

Sindrom Nefritik Akut (SNA) merupakankumpulan gambaran klinis


berupa oliguria, edema,hipertensi yang disertai adanya kelainan
urinalisis(proteinuri kurang dari 2 gram/hari dan hematuriserta silinder eritrosit).
Etiologi SNA sangat banyak,diantaranya kelainan glomerulopati primer
(idiopati),glomerulopati pasca infeksi, SLE, vaskulitis dannefritis herediter
(sindroma Alport). SNA merupakan salah satu manifestasi klinisGlomerulonefritis
Akut Pasca Streptokokus (GNAPS), dimana terjadi suatu proses inflamasi pada
tubulusdan glomerulus ginjal yang terjadi setelah adanyasuatu infeksi
streptokokus pada seseorang. GNAPS berkembang setelah strain streptokokus
tertentu yaitu streptokokus ß hemolitikus group A tersering tipe 12 menginfeksi
kulit atau saluran nafas. Terjadi periode laten berkisar antara 1-2 minggu untuk
infeksi saluran nafas dan 1-3 minggu untuk infeksi kulit.
Mekanisme yang terjadi pada GNAPS adalah suatu proses kompleks imun
dimana antibodi dari tubuh akan bereaksi dengan antigen yang beredar dalam
darah dan komplemen untuk membentuk suatu kompleks imun. Kompleks imun
yang beredar dalam darah dalam jumlah yang banyak dan waktu yang singkat
melekat pada kapiler-kapiler glomerulus dan terjadi perusakan mekanis melalui
aktivasi sistem komplemen, reaksi peradangan dan mikrokoagulasi. GNAPS
tercatat sebagai penyebab penting terjadinya gagal ginjal, yaitu terhitung 10-15%
darikasus gagal ginjal di Amerika Serikat. GNAPS dapat muncul secara sporadik
maupun epidemik terutama menyerang anak-anak atau dewasa muda pada usia
sekitar 4-12 tahun dengan puncak usia 5-6 tahun. Lebih sering pada laki-laki
daripada wanita dengan rasio 1,7- 2 : 1. Tidak ada predileksi khusus pada ras
ataupun golongan tertentu.
GNAPS merupakan penyakit ginjal supuratif tersering dengan manifestasi
klinis berupa penyakit yang ringan hingga asimtomatis, hanya sedikit sekali
dengan manifestasi klinis yang berat, dengan rasio 3: 1.

1
BAB II
LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien
Nama : An. R
Umur : 13 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Alamat : Cepoksawit, Sawit, Boyolali
Tanggal masuk RS : 14 Januari 2019
Nomor rekam Medis : 199xxx

B. Identitas Orang Tua


Tabel 2.1 Identitas Orang Tua
Ayah Ibu
Nama Tn. T Ny. S
Usia 35 tahun 32 tahun
Pendidikan D3 SMA
Pekerjaan Wiraswasta Ibu rumah tangga
Alamat Cepoksawit, Sawit, Boyolali Cepoksawit, Sawit, Boyolali

C. Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara Alloanamnesa dengan ayah dan ibu pasien
tanggal 15 januari 2019 jam 11.00 WIB di Ruang PICU RSU PKU
Muhammadiyah Delanggu.
1. Keluhan utama : Wajah bengkak
2. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke rumah sakit dengan keluhan bengkak pada wajah
sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Pada awalnya bengkak dirasakan
di kelopak mata kemudian berlanjut ke seluruh wajah. Keluhan muncul
tiba-tiba saat bangun tidur, ibu pasien mengatakan bahwa mata pasien
makin hari makin bengkak terlebih pada pagi hari setiap bangun tidur dan
berkurang saat siang hari.

2
Satu hari sebelum masuk rumah sakit pasien mengeluhkan buang
air kecil berwarna kemerahan seperti cucian daging, semenjak bengkak
buang air kecil pasien menjadi berkurang dalam sehari, sebanyak ½ gelas
belimbing dengan frekuensi 1-2 kali sehari. Tidak nyeri saat kencing dan
tidak ada riwayat trauma di daerah kelamin.
Tiga jam sebelum masuk rumah sakit, pasien merasa mual dan
muntah sebanyak 5 kali. Saat di rumah sakit pasien mengeluh pusing nyut-
nyutan di kepala sisi kanan dan kiri, tengkuk leher kaku serta pandangan
kabur. Pada saat diukur tekanan darah mencapai 180/130 mmHg. Maka
dari itu dokter IGD menyarankan pasien untuk dirawat inap dan masuk
ruang PICU.
3. Riwayat Penyakit Dahulu :
a. Riwayat keluhan yang sama : disangkal
b. Riwayat rawat inap : disangkal
c. Riwayat kejang demam : disangkal
d. Riwayat infeksi saluran nafas : disangkal
e. Riwayat infeksi kulit : diakui sejak 1 bulan yang lalu,
awalnya timbul bintil kemerahan disertai rasa gatal pada kaki kanan
dan kiri yang disebabkan oleh gigitan nyamuk. Kemudian bintil
tersebut berubah seperti ada cairan jernih. Karena gatal bintil semakin
luas dan pecah. Membentuk seperti bercak merah kehitaman
menyerupai koreng. Keluhan belum pernah diobati.
f. Riwayat alergi : disangkal
4. Riwayat Penyakit Keluarga
a. Riwayat penyakit serupa : disangkal
b. Riwayat kejang demam : disangkal
c. Riwayat infeksi saluran nafas : disangkal
d. Riwayat infeksi kulit : disangkal
e. Riwayat alergi : disangkal
5. Riwayat Sosial dan Ekonomi

3
Biaya selama pengobatan di RSU PKU Delanggu ditanggung oleh
BPJS kelas III. Pasien tinggal di lingkungan padat penduduk bersama ibu,
ayah dan saudaranya. Sehari-hari pasien memiliki kebiasaan main di
tempat yang berpasir dan becek.
6. Data Khusus
a. Riwayat Kehamilan/ Prenatal :
Selama hamil ibu tidak pernah menderita penyakit berat, tidak
mengkonsumsi obat-obatan ataupun jamu, tidak pernah mendapatkan
penyinaran, kontrol kehamilan teratur ke bidan sebanyak 4 kali,
mendapat imunisasi Tetanus Toksosid (TT) sebanyak 2 kali, lama
hamil cukup bulan.
b. Riwayat persalinan/ Natal :
Anak pertama dari 3 bersaudara, lahir spontan, ditolong bidan, saat
lahir menangis kuat, berat badan lahir 2.700 gram dan panjang 49 cm.
c. Riwayat Makanan dan Minuman :
1) ASI : eksklusif 0 - 6 bulan, diteruskan sampai 8 bulan
2) Susu formula : 8 bulan - sekarang, sekarang masih diberikan
namun hanya diberikan saat siang dan malam menjelang tidur.
3) Buah : 1 tahun - sekarang, anak senang sekali makan
buah, untuk selingan snack yang diberi 2 kali setiap hari selalu
diberikan buah terutama pisang dan pepaya. Untuk snack tidak
pernah diberikan cemilan kue ataupun protein nabati seperti tempe
atau tahu.
4) Bubur : 6 bulan - 10 bulan, makan pagi sering diberikan
bubur susu, untuk makan siang dan malam nya diberikan nasi,
pritein dan sayur yang dihaluskan hingga menjadi bubur.
5) Nasi tim : 11 bulan - 1 tahun 6 bulan, diberikan 3 kali sehari.
Ditambah lauk yang mengandung protein seperti ikan, daging atau
telur serta ditambah dengan sayur.
6) Nasi biasa : 1 tahun 7 bulan - sekarang, anak mudah
makannya, diberikan 3 kali sehari, lauk potein dari ikan, daging,

4
telur, tempe dan tahu serta ditambah dengan sayur smaa seperti
menu keluarga.
d. Riwayat pertumbuhan dan perkembangan anak :
Ibu mengaku jika pertumbuhan anaknya sama seperti anak
seusianya.
Ibu pasien anaknya baik, bisa tertawa dan miring saat usia 4 bulan,
merangkak usia 6 bulan, duduk sendiri tanpa sandaran usia 8 bulan,
berdiri usia 9 bulan dan mulai bisa berjalan usia 1 tahun 1 bulan,
berbicara lancar usia 1,5 tahun dan mulai bisa membaca umur 7 tahun.
e. Riwayat Imunisasi :
Menurut ibu pasien imunisasi dasar sudah lengkap.

D. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan tanggal 15 Januari 2019 jam 11.30 WIB di
Ruang PICU RSU PKU Muhammadiyah Delanggu.
1. Keadaan umum : Tampak sakit sedang
2. Kesadaran : Compos mentis
3. Pengukuran
a. Vital sign
Nadi : 62 x/menit ( reguler, teraba kuat, isi dan tegangan
cukup)
Frekuensi nafas : 19 x/ menit
Suhu : 36 ,5oC aksila
Tekanan darah : 155/110 mmHg
b. Antopometri
Berat badan : 44 kg
Panjang badan : 155 cm
c. Status Gizi
IMT : 18,33 kg/m2
Status gizi menurut WHO : Gizi baik
4. Status Generalisata

5
a. Kepala : Bentuk mesosefali, rambut agak kecoklatan dan tidak
mudah dicabut, distribusi rata.
b. Mata : Palpebra edema (+/+), konjungtiva anemis (-/-), sklera
ikterik (-/-), mata cekung(-/-), pupil : bulat, central, reguler
3mm, reflek pupil (+/+)
b. Telinga : Bentuk simetris (+/+), tidak ada deformitas, nyeri tekan
tragus maupun aurikula (-/-), liang telnga lapang, serumen
(-/-), secret (-/-), membran timpani intak
c. Hidung : Bentuk simetris, sekret (-/-) mukoid, deformitas (-), nafas
cuping hidung (-)
d. Mulut : Faring hiperemis, petekhie (-), granul (-), eksudat (-);
tonsil T1-T1 hiperemis (-), detritus(-), ulserasi(-)
e. Leher : Pembesaran kelenjar getah bening (-), pembesaran
tiroid (-)
f. Thorax :
Cor
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis (teraba kuat angkat)
Perkusi : Dalam batas normal
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II murni, suara tambahan (-).
Pulmo :
Tampak Depan Tampak Belakang

SD Vesikuler SD Vesikuler
Tabel 2.2 Pemeriksaan Fisik Pulmo
Pulmo Dextra Sinistra
Depan
Inspeksi Simetris, pengembangan Simetris, pengembangan
pernafasan paru normal, pernafasan paru normal ,

6
retraksi (-) retraksi (-)
Palpasi Simetris, gerak dada tidak Simetris, gerak dada tidak ada
ada yang tertinggal, masa (-) yang tertinggal, masa (-)
Perkusi Sonor seluruh lapang paru Sonor seluruh lapang paru
Auskultasi Suara dasar vesikuler, Suara dasar vesikuler,
wheezing (-), ronki (-) wheezing (-), ronki(-)

g. Abdomen
Inspeksi : Bentuk cembung, warna kulit sama dengan sekitar
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Perkusi : Timpani seluruh regio abdomen, undulasi (-), pekak sisi
(+), pekak alih (-)
Palpasi : Supel, turgor kulit normal , nyeri tekan (-), hepatomegali
(-), splenomegali (-)

h. Ekstremitas
Tabel 2.3 Pemeriksaan Fisik Ekstremitas
Pemeriksaan Superior Inferior
Akral hangat + +
Oedem - -
Sianosis - -
Capilary Refill < 2 detik <2 detik

UKK:
Lokasi: cruris
dextra dan sinistra
Distribusi: soliter
Morfologi: krusta,
skuama

7
E. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Darah Lengkap tanggal 14 Januari 2019
Tabel 2.4 Pemeriksaan Darah Lengkap
Pemeriksaan Hasil Rujukan Satuan
HEMATOLOGI
Hemoglobin 11,2 10,0-15,5 g/dl
Lekosit 11,2 4,0-12,0 10^3/uL
Trombosit 366,0 150,0-400,0 10^3/uL
Eritrosit 4,90 4,50-5,50 10^6/uL
Hematokrit 33,0 40,0-48,0 %
HITUNG JENIS LEUKOSIT
Basofil 0 0-3 %
Eosinofil 1 0-3 %
Neutrofil 81 42-75 %
Limfosit 11,2 20.5 - 51.1 %
Monosit 6 2–9 %
MCV, MCHC, MCHC
MCV 67,3 80,3-103,4 U^3
MCH 22,9 26,0-34,4 Pg
MCHC 33,9 31.8– 36.3 g/dL
KIMIA KLINIK
Fungsi Ginjal
Ureum 20 10-50 mg/dL
Kreatinin 0,79 0,60-1,10 mg/dL
Fungsi Hati
SGOT 24 0-40 U/L
SGPT 11 0-40 U/L
Albumin 3,5 3,8-5,1 g/dL
Glukosa
Glukosa Darah Sewaktu 96 <180 mg/dL
Elektroliot
Kalium 3,90 3,50-5,10 mmol/L
Natrium (Na) 137 135-145 mmol/L
Klorida 108 95-115 mmol/L
SERO-IMUNOLOGIS
Hepatitis
HbSAg Rapid Non Reaktif Non Rewaktif

8
2. Pemeriksaan Urinalisa tanggal 14 Januari 2019
Pemeriksaan Hasil Rujukan Satuan
URINALISA
Warna Kuning Kuning Jernih
Kekeruhan Keruh
BJ 1,005 1,005-1,030
PH 6,40 5,00-8,50
Protein Negatif Negatif
Glukosa Negatif Negatif
Keton Urin Negatif Negatif
Bilirubin Negatif Negatif
Blood +2 Negatif
Urobilinogen Negatif Negatif
Leukosit Negatif Negatif
SEDIMEN URIN
Leukosit 4-5 4-5 /LPB
Eritrosit 40-50 0-1 /LPB
Silinder Negatif Negatif
Epitel 3-4 Negatif /LPK
Bakteri +1 Negatif
Kristal Negatif Negatif
Lain-lain Negatif Negatif

F. Resume
Dari hasil anamnesis didapatkan pasien datang dengan keluhan muncul
bengkaka tiba-tiba saat bangun tidur di kelopak mata dan wajah sejak 2 hari
sebelum masuk rumah sakit. Satu hari sebelum masuk rumah sakit pasien
mengeluhkan buang air kecil berwarna kemerahan seperti cucian daging dan
jarang. Tiga jam sebelum masuk rumah sakit, pasien juga merasa mual dan
muntah. Saat di rumah sakit pasien mengeluh pusing, tengkuk leher kaku dan
pandangan kabur. Pasien mengaku ada riwayat sakit koreng di kulit kaki sejak
1 bulan yang lalu.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan keadaan umum tampak sakit
sedang, kesadaran komposmentis, BB 44 kg, TB 145 cm, gizi cukup, tekanan
darah 155/110 mmHg, frekuensi nadi 62 kali/menit, pernapasan 19 kali/
menit, suhu 36,5°C, edema di wajah, pemeriksaan fisik lain dalam batas

9
normal. Pemeriksaan laboratorium menunjukan hasil hipoalbuminemia (3,5
g/dL), hematuria (blood +2, sedimen eritrosit 40-50/LPB).

G. Inisial Plan
1. Ip Dx :
a. Diagnosis : Glomerulonefritis Akut Pasca Streptococcus
(GNAPS)
Diagnosis Banding : Glomerulonefritis kronik eksaserbasi akut,
penyakit infeksi; varicella, parotitis, morboli
b. S : -
c. O : pemeriksaan ASTO, C3, Kultur darah
2. Ip Tx:
a. Farmakoterapi
1) Infus RL
a) Kebutuhan cairan per 24 jam = Balance cairan + insisible
water loss (20-25ml/kgBB)
= 500 mL + 1000 mL
b) Kebutuhan cairan IV per jam = 500 / 24
= 20 mL / jam
R/ RL 500 ml fl No. I
Infus set No. I
Abocath 20 G No. I
S i.m.m (20 tpm mikro)

2) Antibiotik
a) Dosis amoxicillin per kali pemberian = 50 mg/KgBB/3
b) Dosis amoxicillin pada pasien = (50 x 44)/3
= 2.200/3
= 733
= 750 mg
R/ Amoxicillin vl 1 gram No. III

10
S 3 dd ¾ vl IV
3) Antihipertensi
a) Dosis captopril per hari = 0,3-2 mg/KgBB
b) Dosis catopril pada pasien per hari = 1 x 44
= 44
= 50 mg
c) Dosis captopril pada pasien per kali = 50 / 2
= 25 mg
R/ Captopril tab 25 mg No. II
S 2 dd 1 tab

a) Dosis furosemid per hari = 40 mg


b) Dosis captopril pada pasien per kali = 40 / 2
= 20 mg
R/ Furosemid amp 10 mg/mL No. II
S 2 dd 1 amp IV

4) Antiemetik
a) Dosis ondansetron per kali = 0,2 mg/KgBB
b) Dosis ondansetron pada pasien = 0,2 x 44
= 8,8 mg
R/ Ondansetron amp 2 mg/mL fl No. II
S 2 dd 1 amp IV

5) Antipiretik
a) Dosis paracetamol per hari = 10 /KgBB
b) Dosis paracetamol pada pasien = 10 x 44
= 440
= 500 mg
R/ Paracetamol 500 mg tab No. III
S 1 dd 1 prn

11
b. Non farmakoterapi
1) Konsul dokter spesialis anak
2) Tirah baring
3) Evaluasi balance cairan per 8 jam
4) Diet cairan, jenis bebas sebanyak 1000 mL per hari
5) Diet garam, 0,5-1 gram per hari
3. Ip Mx:
a. Keadaan umum
b. Tanda vital
c. Evaluasi tanda hipertensi emergency
4. Ip. Ex :
a. Menjelaskan kepada orang tua pasien mengenai penyakit yang
diderita anaknya.
b. Pasien harus dirawat inap untuk dilakukan pemeriksaan dan
penanganan lebih lanjut.
c. Menganjurkan pasien untuk minum obat teratur
d. Menyarankan pada orangtua pasien jika anak sakit batuk pilek
ataupun infeksi kulit segera periksakan ke dokter hingga sembuh

H. Prognosis
Quo ad vitam : bonam
Quo ad sanam : dubia ad bonam
Quo ad fungsionam : bonam

12
I. Follow Up

No Tanggal Hasil pemeriksaan

1 16/1/2019 Pasien dirawat di PICU


S: pusing, bengakak di wajah (-)
O: ku: tampak sakit ringan, CM
TD:130/80, HR 69 x/menit S: 36,8 c RR: 20 X/menit
Kepala edem periorbita (-/-)
Thorax SDV (+), wheezing(-), RBH (-)
Jantung BJ1-2 reguler, bising(-)
Abdomen bentuk datar, BU(+) normal, turgor normal, NT(+)
daerah post op
Extremitas: edema (-) akral dingin(-)
A: GNAPS
P:
 Infus RL 500cc/24 jam, 20 cc/jam
 O2 nasal kanul 1L/menit
 Injeksi Ceftriaxon 1 gram/12 jam IV
 Injeksi Furosemid 1 amp/12 jam
 Injeksi ranitidin 1 amp/12 jam
 Captopril 2x25 mg
 Bila pusing >> paracetamil 500 mg
 Zinc tab 1x1 (10 hari)
2 16/1/2019 S: Tidak ada keluhan
O: ku: tampak sakit ringan, CM
TD:120/80, HR 69 x/menit S: 36,8 c RR: 20 X/menit
Kepala edem periorbita (-/-)
Thorax SDV (+), wheezing(-), RBH (-)
Jantung BJ1-2 reguler, bising(-)
Abdomen bentuk datar, BU(+) normal, turgor normal, NT(+)
daerah post op
Extremitas: edema (-) akral dingin(-)
A: GNAPS

13
P:
 Injeksi Furosemid stop
 Extra Diazepam 2 mg bila anak gelisah
 Terapi lain lanjut
3 17/1/2019 S: Tidak ada keluhan
O: ku: tampak sakit sedang, CM
TD:120/70, HR 71 x/menit S: 36,5 c RR: 19 X/menit
Kepala edem periorbita (-/-)
Thorax SDV (+), wheezing(-), RBH (-)
Jantung BJ1-2 reguler, bising(-)
Abdomen bentuk datar, BU(+) normal, turgor normal, NT(+)
daerah post op
Extremitas: edema (-) akral dingin(-)
A: GNAPS
P: terapi lanjut

14
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Glomerulonefritis akut (GNA) adalah suatu reaksi imunologis pada
ginjal terhadap bakteri atau virus tertentu.Yang sering terjadi ialah akibat
infeksi kuman streptococcus. Glomerulonefritis merupakan suatu istilah yang
dipakai untuk menjelaskan berbagai ragam penyakit ginjal yang mengalami
proliferasi dan inflamasi glomerulus yang disebabkan oleh suatu mekanisme
imunologis. Sedangkan istilah akut (glomerulonefritis akut) mencerminkan
adanya korelasi klinik selain menunjukkan adanya gambaran etiologi,
patogenesis, perjalanan penyakit dan prognosis.

B. Etiologi
Berbagai kemungkinan penyebab GN antara lain: adanya zat yang
berasal dari luar yang bertindak sebagai antigen (Ag), rangsangan autoimun,
dan induksi pelepasan sitokin/ aktifasi komplemen lokal yang menyebabkan
kerusakan glomerular. Pada umumnya kerusakan glomerular (glomerular
injury) tidak diakibatkan secara langsung oleh endapan kompleks imun di
glomerulus, akan tetapi hasil interaksi dari sistem komplemen, mediator
humoral dan selular.
Menurut kejadiannya GN dibedakan atas GN primer dan GN sekunder.
Dikatakan GN primer jika penyakit dasarnya berasal dari ginjal sendiri dan
GN sekunder jika kelainan ginjal terjadi akibat penyakit sistemik lain seperti
penyakit autoimun tertentu, infeksi, keganasan atau penyakit metabolik.
Sebagian besar (75%) glomerulonefritis akut paska streptokokus
timbul setelah infeksi saluran pernapasan bagian atas, yang disebabkan oleh
kuman Streptokokus beta hemolitikus grup A tipe 1, 3, 4, 12, 18, 25, 49.
Sedang tipe 2, 49, 55, 56, 57 dan 60 menyebabkan infeksi kulit 8-14 hari
setelah infeksi streptokokus, timbul gejala-gejala klinis. Infeksi kuman

15
streptokokus beta hemolitikus ini mempunyai resiko terjadinya
glomerulonefritis akut paska streptokokus berkisar 10-15%.
Streptococcus ini dikemukakan pertama kali oleh Lohlein pada tahun
1907 dengan alasan bahwa:
1. Timbulnya GNA setelah infeksi skarlatina
2. Diisolasinya kuman Streptococcus beta hemolyticus golongan A
3. Meningkatnya titer anti-streptolisin pada serum penderita.
4. Mungkin faktor iklim, keadaan gizi, keadaan umum dan faktor alergi
mempengaruhi terjadinya GNA setelah infeksi dengan kuman
Streptococcuss. Ada beberapa penyebab glomerulonefritis akut, tetapi
yang paling sering ditemukan disebabkan karena infeksi dari streptokokus,
penyebab lain diantaranya:
a. Bakteri : Streptokokus grup C, Meningococcocus, Streptoccocus
Viridans, Gonococcus, Leptospira, Mycoplasma Pneumoniae,
Staphylococcus albus, Salmonella typhi dll
b. Virus : Hepatitis B, varicella, vaccinia, echovirus, parvovirus,
influenza, parotitis epidemika dl
c. Parasit : Malaria dan toksoplasma

C. Streptokokus
Sterptokokus adalah bakteri gram positif berbentuk bulat yang secara
khas membentuk pasangan atau rantai selama masa pertumbuhannya.
Merupakan golongan bakteri yang heterogen. Lebih dari 90% infeksi
streptokkus pada manusia disebabkan oleh Streptococcus hemolisis β
kumpulan A. Kumpulan ini diberi spesies nama S. pyogenes.
S. pyogenes β-hemolitik golongan A mengeluarkan dua hemolisin, yaitu:
1. Sterptolisin O
Adalah suatu protein (BM 60.000) yang aktif menghemolisis dalam
keadaan tereduksi (mempunyai gugus-SH) tetapi cepat menjadi tidak aktif
bila ada oksigen. Sterptolisin O bertanggung jawab untuk beberapa
hemolisis yang terlihat ketika pertumbuhan dipotong cukup dalam dan

16
dimasukkan dalam biakan pada lempeng agar darah. Sterptolisisin O
bergabung dengan antisterptolisin O, suatu antibodi yang timbul pada
manusia setelah infeksi oleh setiap streptokokus yang menghasilkan
sterptolisin O. Antibodi ini menghambat hemolisis oleh sterptolisin O.
fenomena ini merupakan dasar tes kuantitatif untuk antibody. Titer serum
antisterptolisin O (ASO) yang melebihi 160-200 unit dianggap abnormal
dan menunjukkan adanya infeksi sterptokokus yang baru saja terjadi atau
adanya kadar antibodi yang tetap tinggi setelah serangan infeksi pada orang
yang hipersensitifitas.
2. Sterptolisin S
Adalah zat penyebab timbulnya zona hemolitik disekitar koloni
sterptokokus yang tumbuh pada permukaan lempeng agar darah.
Sterptolisin S bukan antigen, tetapi zat ini dapat dihambat oleh penghambat
non spesifik yang sering ada dalam serum manusia dan hewan dan tidak
bergantung pada pengalaman masa lalu dengan sterptokokus.

Streptococcus
Bakteri ini hidup pada manusia di tenggorokan dan juga kulit. Penyakit yang
sering disebabkan diantaranya adalah faringitis, demam rematik dan
glomerulonefritis.

17
D. Patofisiologi
Sebenarnya bukan sterptokokus yang menyebabkan kerusakan pada
ginjal. Diduga terdapat suatu antibodi yang ditujukan terhadap suatu antigen
khusus yang merupakan unsur membran plasma sterptokokal spesifik.
Terbentuk kompleks antigen-antibodi didalam darah dan bersirkulasi kedalam
glomerulus tempat kompleks tersebut secara mekanis terperangkap dalam
membran basalis.selanjutnya komplomen akan terfiksasi mengakibatkan lesi
dan peradangan yang menarik leukosit polimorfonuklear (PMN) dan
trombosit menuju tempat lesi. Fagositosis dan pelepasan enzim lisosom juga
merusak endothel dan membran basalis glomerulus (IGBM). Sebagai respon
terhadap lesi yang terjadi, timbu proliferasi sel-sel endotel yang diikuti sel-sel
mesangium dan selanjutnya sel-sel epitel. Semakin meningkatnya kebocoran
kapiler gromelurus menyebabkan protein dan sel darah merah dapat keluar ke
dalam urine yang sedang dibentuk oleh ginjal, mengakibatkan proteinuria dan
hematuria. Agaknya kompleks komplomen antigen-antibodi inilah yang
terlihat sebagai nodul-nodul subepitel pada mikroskop elektron dan sebagai
bentuk granular dan berbungkah-bungkah pada mikroskop imunofluoresensi,
pada pemeriksaan cahaya glomerulus tampak membengkak dan hiperseluler
disertai invasi PMN.
Menurut penelitian yang dilakukan penyebab infeksi pada glomerulus
akibat dari reaksi hipersensivitas tipe III. Kompleks imun (antigen-antibodi
yang timbul dari infeksi) mengendap di membran basalis glomerulus. Aktivasi
kpmplomen yang menyebabkan destruksi pada membran basalis glomerulus.
Kompleks-kompleks ini mengakibatkan kompelen yang dianggap
merupakan mediator utama pada cedera. Saat sirkulasi melalui glomerulus,
kompleks-kompleks ini dapat tersebar dalam mesangium, dilokalisir pada
subendotel membran basalis glomerulus sendiri, atau menembus membran
basalis dan terperangkap pada sisi epitel. Baik antigen atau antibodi dalam
kompleks ini tidak mempunyai hubungan imunologis dengan komponen
glomerulus. Pada pemeriksaan mikroskop elektron cedera kompleks imun,
ditemukan endapan-endapan terpisah atau gumpalan karateristik paa

18
mesangium, subendotel, dan epimembranosa. Dengan miskroskop
imunofluoresensi terlihat pula pola nodular atau granular serupa, dan molekul
antibodi seperti IgG, IgM atau IgA serta komponen-komponen komplomen
seperti C3,C4 dan C2 sering dapat diidentifikasi dalam endapan-endapan ini.
Antigen spesifik yang dilawan oleh imunoglobulin ini terkadang dapat
diidentifikasi.
Hipotesis lain yang sering disebut adalah neuraminidase yang
dihasilkan oleh Streptokokus, merubah IgG menjadi autoantigenik. Akibatnya,
terbentuk autoantibodi terhadap IgG yang telah berubah tersebut. Selanjutnya
terbentuk komplek imun dalam sirkulasi darah yang kemudian mengendap di
ginjal.
Streptokinase yang merupakan sekret protein, diduga juga berperan
pada terjadinya GNAPS. Sreptokinase mempunyai kemampuan merubah
plaminogen menjadi plasmin. Plasmin ini diduga dapat mengaktifkan sistem
komplemen sehingga terjadi cascade dari sistem komplemen.
Pola respon jaringan tergantung pada tempat deposit dan jumlah
kompleks yang dideposit. Bila terutama pada mesangium, respon mungkin
minimal, atau dapat terjadi perubahan mesangiopatik berupa ploriferasi sel-sel
mesangial dan matrik yang dapt meluas diantara sel-sel endotel dan membran
basalis,serta menghambat fungsi filtrasi simpai kapiler. Jika kompleks
terutama terletak subendotel atau subepitel, maka respon cenderung berupa
glomerulonefritis difusa, seringkali dengan pembentukan sabit epitel. Pada
kasus penimbunan kronik komplek imun subepitel, maka respon peradangan
dan proliferasi menjadi kurang nyata, dan membran basalis glomerulus
berangsur- angsur menebal dengan masuknya kompleks-kompleks ke dalam
membran basalis baru yang dibentuk pada sisi epitel.
Mekanisme yang bertanggung jawab terhadap perbedaan distribusi
deposit kompleks imun dalam glomerulus sebagian besar tidak diketahui,
walaupun demikian ukuran dari kompleks tampaknya merupakan salah satu
determinan utama. Kompleks-kompleks kecil cenderung menembus simpai
kapiler, mengalami agregasi, dan berakumulasi sepanjang dinding kapiler do

19
bawah epitel, sementara kompleks-kompleks berukuran sedang tidak
sedemikian mudah menembus membran basalis, tapi masuk ke mesangium.
Komplkes juga dapat berlokalisasi pada tempat-tempat lain.
Jumlah antigen pada beberapa penyakit deposit kompleks imun
terbatas, misal antigen bakteri dapat dimusnahkan dengan mekanisme
pertahanan penjamu atau dengan terapi spesifik. Pada keadaan demikian,
deposit kompleks-kompleks imun dalam glomerulus terbatas dan kerusakan
dapat ringan danberlangsung singkat, seperti pada glomerulonefritis akut post
steroptokokus.
Hasil penyelidikan klinis – imunologis dan percobaan pada binatang
menunjukkan adanya kemungkinan proses imunologis sebagai penyebab.
Beberapa penyelidik mengajukan hipotesis sebagai berikut :

1. Terbentuknya kompleks antigen-antibodi yang melekat pada membrana


basalis glomerulus dan kemudian merusaknya.
2. Proses auto-imun kuman Streptococcus yang nefritogen dalam tubuh
menimbulkan badan autoimun yang merusak glomerulus.
3. Streptococcus nefritogen dan membran basalis glomerulus mempunyai
komponen antigen yang sama sehingga dibentuk zat anti yang langsung
merusak membrana basalis ginjal.

E. Prevalensi
GNAPS dapat terjadi pada semua kelompok umur, namun tersering
pada golongan umur 5-15 tahun, dan jarang terjadi pada bayi. Referensi lain
menyebutkan paling sering ditemukan pada anak usia 6-10 tahun. Penyakit ini
dapat terjadi pada laki laki dan perempuan, namun laki laki dua kali lebih
sering dari pada perempuan. Perbandingan antara laki-laki dan perempuan
adalah 2:1. Diduga ada faktor resiko yang berhubungan dengan umur dan
jenis kelamin. Suku atau ras tidak berhubungan dengan prevelansi penyakit
ini, tapi kemungkinan prevalensi meningkat pada orang yang sosial
ekonominya rendah, sehingga lingkungan tempat tinggalnya tidak sehat.

20
F. Gejala Klinis
Gambaran klinis dapat bermacam-macam. Kadang-kadang gejala
ringan tetapi tidak jarang anak datang dengan gejala berat.. Kerusakan pada
rumbai kapiler gromelurus mengakibatkan hematuria/kencing berwarna merah
daging dan albuminuria, seperti yang telah dikemukakan sebelumnya. Urine
mungkin tampak kemerah-merahan atau seperti kopi Kadang-kadang disertai
edema ringan yang terbatas di sekitar mata atau di seluruh tubuh. Umumnya
edema berat terdapat pada oliguria dan bila ada gagal jantung. Edema yang
terjadi berhubungan dengan penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG/GFR)
yang mengakibatkan ekskresi air, natrium, zat-zat nitrogen mungkin
berkurang, sehingga terjadi edema dan azotemia. Peningkatan aldosteron
dapat juga berperan pada retensi air dan natrium. Dipagi hari sering terjadi
edema pada wajah terutama edem periorbita, meskipun edema paling nyata
dibagian anggotaGFR biasanya menurun (meskipun aliran plasma ginja
biasanya normal) akibatnya, ekskresi air, natrium, zat-zat nitrogen mungkin
berkurang, sehingga terjadi edema dan azotemia. Peningkatan aldosteron
dapat juga berperan pada retensi air dan natrium. Dipagi hari sering terjadi
edema pada wajah terutama edem periorbita, meskipun edema paling nyata
dibagian anggota bawah tubuh ketika menjelang siang. Derajat edema
biasanya tergantung pada berat peradangan gelmurulus, apakah disertai
dnegan payah jantung kongestif, dan seberapa cepat dilakukan pembatasan
garam.

21
Hipertensi terdapat pada 60-70% anak dengan GNA pada hari
pertama, kemudian pada akhir minggu pertama menjadi normal kembali. Bila
terdapat kerusakan jaringan ginjal, maka tekanan darah akan tetap tinggi
selama beberapa minggu dan menjadi permanen bila keadaan penyakitnya
menjadi kronis. Suhu badan tidak beberapa tinggi, tetapi dapat tinggi sekali
pada hari pertama. Kadang-kadang gejala panas tetap ada, walaupun tidak ada
gejala infeksi lain yang mendahuluinya. Gejala gastrointestinal seperti
muntah, tidak nafsu makan, konstipasi dan diare tidak jarang menyertai
penderita GNA.
Hipertensi selalu terjadi meskipun peningkatan tekanan darah
mungkin hanya sedang. Hipertensi terjadi akibat ekspansi volume cairan
ekstrasel (ECF) atau akibat vasospasme masih belum diketahui dengna jelas.

G. Gambaran Laboratorium
Urinalisis menunjukkan adanya proteinuria (+1 sampai +4), hematuria
makroskopik ditemukan hampir pada 50% penderita, kelainan sedimen urine
dengan eritrosit disformik, leukosituria serta torak selulet, granular,
eritrosit(++), albumin (+), silinder lekosit (+) dan lain-lain. Kadang-kadang
kadar ureum dan kreatinin serum meningkat dengan tanda gagal ginjal seperti
hiperkalemia, asidosis, hiperfosfatemia dan hipokalsemia. Kadang-kadang
tampak adanya proteinuria masif dengan gejala sindroma nefrotik.
Komplomen hemolitik total serum (total hemolytic comploment) dan C3
rendah pada hampir semua pasien dalam minggu pertama, tetapi C4 normal
atau hanya menurun sedikit, sedangkan kadar properdin menurun pada 50%
pasien. Keadaan tersebut menunjukkan aktivasi jalur alternatif komplomen.
Penurunan C3 sangat mencolok pada pasien glomerulonefritis akut
pascastreptokokus dengan kadar antara 20-40 mg/dl (harga normal 50-140
mg.dl). Penurunan C3 tidak berhubungan dengann parahnya penyakit dan
kesembuhan. Kadar komplomen akan mencapai kadar normal kembali dalam
waktu 6-8 minggu. Pengamatan itu memastikan diagnosa, karena pada

22
glomerulonefritis yang lain yang juga menunjukkan penuruanan kadar C3,
ternyata berlangsung lebih lama.
Adanya infeksi sterptokokus harus dicari dengan melakukan biakan
tenggorok dan kulit. Biakan mungkin negatif apabila telah diberi antimikroba.
Beberapa uji serologis terhadap antigen sterptokokus dapat dipakai untuk
membuktikan adanya infeksi, antara lain antisterptozim, ASTO,
antihialuronidase, dan anti Dnase B. Skrining antisterptozim cukup
bermanfaat oleh karena mampu mengukur antibodi terhadap beberapa antigen
sterptokokus. Titer anti sterptolisin O mungkin meningkat pada 75-80%
pasien dengan GNAPS dengan faringitis, meskipun beberapa starin
sterptokokus tidak memproduksi sterptolisin O.sebaiknya serum diuji terhadap
lebih dari satu antigen sterptokokus. Bila semua uji serologis dilakukan, lebih
dari 90% kasus menunjukkan adanya infeksi sterptokokus. Titer ASTO
meningkat pada hanya 50% kasus, tetapi antihialuronidase atau antibodi yang
lain terhadap antigen sterptokokus biasanya positif. Pada awal penyakit titer
antibodi sterptokokus belum meningkat, hingga sebaiknya uji titer dilakukan
secara seri. Kenaikan titer 2-3 kali berarti adanya infeksi.
Krioglobulin juga ditemukan GNAPS dan mengandung IgG, IgM dan
C3. kompleks imun bersirkulasi juga ditemukan. Tetapi uji tersebut tidak
mempunyai nilai diagnostik dan tidak perlu dilakukan secara rutin pada
tatalaksana pasien.

H. Gambaran Patologi
Makroskopis ginjal tampak agak membesar, pucat dan terdapat titik-
titik perdarahan pada korteks. Mikroskopis tampak hampir semua glomerulus
terkena, sehingga dapat disebut glomerulonefritis difusa.
Tampak proliferasi sel endotel glomerulus yang keras sehingga
mengakibatkan lumen kapiler dan ruang simpai Bowman menutup. Di
samping itu terdapat pula infiltrasi sel epitel kapsul, infiltrasi sel
polimorfonukleus dan monosit. Pada pemeriksaan mikroskop elektron akan
tampak membrana basalis menebal tidak teratur. Terdapat gumpalan humps di

23
subepitelium yang mungkin dibentuk oleh globulin-gama, komplemen dan
antigen Streptococcus.

I. Diagnosis
Diagnosis glomerulonefritis akut pascastreptokok perlu dicurigai pada
pasien dengan gejala klinis berupa hematuria nyata yang timbul mendadak,
sembab dan gagal ginjal akut setelah infeksi streptokokus. Tanda
glomerulonefritis yang khas pada urinalisis, bukti adanya infeksi streptokokus
secara laboratoris dan rendahnya kadar komplemen C3 mendukung bukti
untuk menegakkan diagnosis. Tetapi beberapa keadaan lain dapat menyerupai
glomerulonefritis akut pascastreptokok pada awal penyakit, yaitu nefropati-
IgA dan glomerulonefritis kronik. Anak dengan nefropati-IgA sering
menunjukkan gejala hematuria nyata mendadak segera setelah infeksi saluran
napas atas seperti glomerulonefritis akut pascastreptokok, tetapi hematuria
makroskopik pada nefropati-IgA terjadi bersamaan pada saat faringitas
(synpharyngetic hematuria), sementara pada glomerulonefritis akut
pascastreptokok hematuria timbul 10 hari setelah faringitas; sedangkan
hipertensi dan sembab jarang tampak pada nefropati-IgA.
Glomerulonefritis kronik lain juga menunjukkan gambaran klinis
berupa hematuria makroskopis akut, sembab, hipertensi dan gagal ginjal.
Beberapa glomerulonefritis kronik yang menunjukkan gejala tersebut adalah
glomerulonefritis membranoproliferatif, nefritis lupus, dan glomerulonefritis
proliferatif kresentik. Perbedaan dengan glomerulonefritis akut
pascastreptokok sulit diketahui pada awal sakit.

24
Pada glomerulonefritis akut pascastreptokok perjalanan
penyakitnya cepat membaik (hipertensi, sembab dan gagal ginjal akan cepat
pulih) sindrom nefrotik dan proteinuria masih lebih jarang terlihat pada
glomerulonefritis akut pascastreptokok dibandingkan pada glomerulonefritis
kronik. Pola kadar komplemen C3 serum selama tindak lanjut merupakan
tanda (marker) yang penting untuk membedakan glomerulonefritis akut
pascastreptokok dengan glomerulonefritis kronik yang lain. Kadar
komplemen C3 serum kembali normal dalam waktu 6-8 minggu pada
glomerulonefritis akut pascastreptokok sedangkan pada glomerulonefritis
yang lain jauh lebih lama.kadar awal C3 <50 mg/dl sedangkan kadar ASTO >
100 kesatuan Todd.
Eksaserbasi hematuria makroskopis sering terlihat pada
glomerulonefritis kronik akibat infeksi karena streptokok dari strain non-
nefritogenik lain, terutama pada glomerulonefritis membranoproliferatif.
Pasien glomerulonefritis akut pascastreptokok tidak perlu dilakukan biopsi
ginjal untuk menegakkan diagnosis; tetapi bila tidak terjadi perbaikan fungsi
ginjal dan terdapat tanda sindrom nefrotik yang menetap atau memburuk,
biopsi merupakan indikasi.

J. Diagnosis Banding
GNAPS harus dibedakan dengan beberapa penyakit, diantaranya adalah :
1. Nefritis IgA
Periode laten antara infeksi dengan onset nefritis adalah 1-2 hari, atau ini
mungkin berhubungan dengan infeksi saluran pernafasan atas.
2. MPGN (tipe I dan II)
Merupakan penyakit kronik, tetapi pada awalnya dapat bermanifestasi
sama sperti gambaran nefritis akut dengan hipokomplementemia.
3. Lupus nefritis
Gambaran yang mencolok adalah gross hematuria
4. Glomerulonefritis kronis
Dapat bermanifestasi klinis seperti glomerulonefritis akut.

25
K. Penatalaksanaan
Tidak ada pengobatan yang khusus yang mempengaruhi penyembuhan
kelainan di glomerulus.
1. Istirahat mutlak selama 3-4 minggu. Dulu dianjurkan istirahat mutlak
selama 6-8 minggu untuk memberi kesempatan pada ginjal untuk
menyembuh. Tetapi penyelidikan terakhir menunjukkan bahwa mobilisasi
penderita sesudah 3-4 minggu dari mulai timbulnya penyakit tidak
berakibat buruk terhadap perjalanan penyakitnya.
2. Pemberian penisilin pada fase akut. Pemberian antibiotika ini tidak
mempengaruhi beratnya glomerulonefritis, melainkan mengurangi
menyebarnya infeksi Streptococcus yang mungkin masih ada. Pemberian
penisilin ini dianjurkan hanya untuk 10 hari, sedangkan pemberian
profilaksis yang lama sesudah nefritisnya sembuh terhadap kuman
penyebab tidak dianjurkan karena terdapat imunitas yang menetap. Secara
teoritis seorang anak dapat terinfeksi lagi dengan kuman nefritogen lain,
tetapi kemungkinan ini sangat kecil sekali. Pemberian penisilin dapat
dikombinasi dengan amoksislin 50 mg/kg BB dibagi 3 dosis selama 10
hari. Jika alergi terhadap golongan penisilin, diganti dengan eritromisin 30
mg/kg BB/hari dibagi 3 dosis.
3. Makanan. Pada fase akut diberikan makanan rendah protein (1
g/kgbb/hari) dan rendah garam (1 g/hari). Makanan lunak diberikan pada
penderita dengan suhu tinggi dan makanan biasa bila suhu telah normal
kembali. Bila ada anuria atau muntah, maka diberikan IVFD dengan
larutan glukosa 10%. Pada penderita tanpa komplikasi pemberian cairan
disesuaikan dengan kebutuhan, sedangkan bila ada komplikasi seperti
gagal jantung, edema, hipertensi dan oliguria, maka jumlah cairan yang
diberikan harus dibatasi.
4. Pengobatan terhadap hipertensi. Pemberian cairan dikurangi, pemberian
sedativa untuk menenangkan penderita sehingga dapat cukup beristirahat.
Pada hipertensi dengan gejala serebral diberikan reserpin dan hidralazin.
Mula-mula diberikan reserpin sebanyak 0,07 mg/kgbb secara

26
intramuskular. Bila terjadi diuresis 5-10 jam kemudian, maka selanjutnya
reserpin diberikan peroral dengan dosis rumat, 0,03 mg/kgbb/hari.
Magnesium sulfat parenteral tidak dianjurkan lagi karena memberi efek
toksis.
5. Bila anuria berlangsung lama (5-7 hari), maka ureum harus dikeluarkan
dari dalam darah dengan beberapa cara misalnya dialisis pertonium,
hemodialisis, bilasan lambung dan usus (tindakan ini kurang efektif,
tranfusi tukar). Bila prosedur di atas tidak dapat dilakukan oleh karena
kesulitan teknis, maka pengeluaran darah vena pun dapat dikerjakan dan
adakalanya menolong juga.
6. Diurektikum dulu tidak diberikan pada glomerulonefritis akut, tetapi
akhir-akhir ini pemberian furosemid (Lasix) secara intravena (1
mg/kgbb/kali) dalam 5-10 menit tidak berakibat buruk pada
hemodinamika ginjal dan filtrasi glomerulus.
7. Bila timbul gagal jantung, maka diberikan digitalis, sedativa dan oksigen.

L. Komplikasi
1. Oliguria sampai anuria yang dapat berlangsung 2-3 hari. Terjadi sebagia
akibat berkurangnya filtrasi glomerulus. Gambaran seperti insufisiensi
ginjal akut dengan uremia, hiperkalemia, hiperfosfatemia dan hidremia.
Walau aliguria atau anuria yang lama jarang terdapat pada anak, namun
bila hal ini terjadi maka dialisis peritoneum kadang-kadang di perlukan.
2. Ensefalopati hipertensi yang merupakan gejala serebrum karena hipertensi.
Terdapat gejala berupa gangguan penglihatan, pusing, muntah dan kejang-
kejang. Ini disebabkan spasme pembuluh darah lokal dengan anoksia dan
edema otak.
3. Gangguan sirkulasi berupa dispne, ortopne, terdapatnya ronki basah,
pembesaran jantung dan meningginya tekanand arah yang bukan saja
disebabkan spasme pembuluh darah, melainkan juga disebabkan oleh
bertambahnya volume plasma. Jantung dapat memberas dan terjadi gagal
jantung akibat hipertensi yang menetap dan kelainan di miokardium.

27
4. Anemia yang timbul karena adanya hipervolemia di samping sintesis
eritropoetik yang menurun.

M. Perjalanan Penyakit Dan Prognosis


Sebagian besar pasien akan sembuh, tetapi 5% di antaranya mengalami
perjalanan penyakit yang memburuk dengan cepat pembentukan kresen pada
epitel glomerulus. Diuresis akan menjadi normal kembali pada hari ke 7-10
setelah awal penyakit, dengan menghilangnya sembab dan secara bertahap
tekanan darah menjadi normal kembali. Fungsi ginjal (ureum, kreatinin)
membaik dalam 1 minggu dan menjadi normal dalam waktu 3-4 minggu.
Komplemen serum menjadi normal dalam waktu 6-8 minggu. Tetapi kelainan
sedimen urin akan tetap terlihat selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun
pada sebagian besar pasien.
Dalam suatu penelitian pada 36 pasien glomerulonefritis akut
pascastreptokok yang terbukti dari biopsi, diikuti selama 9,5 tahun. Prognosis
untuk menjadi sembuh sempurna sangat baik. Hipertensi ditemukan pada 1
pasien dan 2 pasien mengalami proteinuria ringan yang persisten. Sebaliknya
prognosis glomerulonefritis akut pascastreptokok pada dewasa kurang baik.
Potter dkk menemukan kelainan sedimen urin yang menetap
(proteinuria dan hematuria) pada 3,5% dari 534 pasien yang diikuti selama 12-
17 tahun di Trinidad. Prevalensi hipertensi tidak berbeda dengan kontrol.
Kesimpulannya adalah prognosis jangka panjang glomerulonefritis akut
pascastreptokok baik.
Beberapa penelitian lain menunjukkan adanya perubahan histologis
penyakit ginjal yang secara cepat terjadi pada orang dewasa. Selama
komplemen C3 belum pulih dan hematuria mikroskopis belum menghilang,
pasien hendaknya diikuti secara seksama oleh karena masih ada kemungkinan
terjadinya pembentukan glomerulosklerosis kresentik ekstra-kapiler dan gagal
ginjal kronik.

28
DAFTAR PUSTAKA

1. Messina LM, Pak LK, Tierney LM. Glomerulonephropathies. In: Tierney LM,
McPhee SJ, Papadakis MA, editors. Langecurrent medical diagnosis &
treatment. 43rd ed.Philadelphia: Lange Medical Books/McGrawHill;
2004.p.882-90.
2. Brady HR, O.Meara YM, Brenner BM.Glomerular disease. In: Dennis LK,
Fauci AS,Branwald E, Hauser SL, Longo DL, JamesonJL, editors. Harrison.s
principles of internalmedicine, 16th ed. New York: Mc Graw
Hill;2005.p.1674-88.
3. Enday S. Nefrologi klinik, edisi II. Bandung:ITB; 1997.p.145-63.
4. Travis L. Acute poststreptococcalglomerulonephritis. Available
from:http://www.eMedicine.com/_acute_poststreptococcal_glomerulonephriti
s. Acessed on: 22th Peb 2016.
5. Geetha D. Glomerulonephritis, poststreptococcal. Available from:
http://www.eMedicine.com/glomerulonephritis_poststreptococcal. Acessed
on: 22th Peb 2016.
6. Maureen H. Acute poststreptococcalglomerulonephritis. Available from:
http://www.lifesteps.com/gm/atoz/ency/acute_poststreptococcal_glomerulone
phritis.jsp.Acessed on: 22th Peb 2016
7. Vinen CS, Oliveira DBG. Acuteglomerulonephritis. Postgraduated
MedicalJournal 2003;79:206-13.
8. Smith JF. Acute poststreptococcalglomerulonephritis. Available from:
http://www.chclibrary.org/acute_poststreptococcal-glomerulonephritis.
Acessed on: 23th Peb 2016.
9. Fransisco L. Papper.s clinical nephrology. 3rd ed.Boston: Little,Brown and
Company Inc; 1993.p.142-50.
10. Tomson CRV. Key topics in renal medicine. Oxford: BIOS Scientific
Publisher Limited;1997.p.139-43.
11. Glassock RJ, Cohen AH, Adler SG. Primaryglomerular diseases. In: Brenner
B, Rector F,editors. The kidney. 6th ed. Philadelphia: WBSaunders Co;
2000.p.1392-402.
12. Rodriguez-Iturbe B. Postinfectius glomerulonephritis.Am J Kidney Dis
2000;35(1):46-8.
13. Geddes C. The treatment of idiopathicmembranous nephropathy. Semin
Nephrol2000;20;299.
14. Ximena B, Edda L, Eric S, Gloria S, BeatrizG, Ingrid R. Post streptococcal
acuteglomerulonephritis. In: Ximena B, editor.Pediatric Nephrology.
Philadelphia: WBSaunders Co; 2000.p.456-67.
15. Ponticelli C. Can prolonged treatment improvethe prognosis in adults with
focal segmentalglomerulosclerosis? Am J Kidney Dis1999;34:618.

29
30

Anda mungkin juga menyukai