Anda di halaman 1dari 13

TUGAS SKENARIO 1

PERAN DAN FUNGSI ANTAR PROFESI

Oleh :
LEVY ERNAWATI 201510420311034
DWI RAHAYU 201510420311035
FIRDAUZI NUZULA 201510420311036

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2018
Skenario 1

Peran dan Kewenangan Masing-masing Tenaga Kesehatan


Pada Pasien dengan Kasus Alergi Obat

Pada tanggal 24 Oktober 2018 pukul 08:45 seorang Ibu membawa putranya yang
berusia 1 tahun 9 bulan ke RSIA dengan keluhan demam, muntah dan batuk. Pasien
diperiksa di ruangan IGD dan dirawat oleh dokter penanggung jawab pasien (DPJP)
dr. Ryam. Pasien sebelumnya telah dirawat difasilitas kesehatan lain selama 2 hari,
pasien pulang paksa dari faskes tersebut dan pindah ke IGD RSIA. dr.Ryam
mengusulkan untuk dilakukan pemeriksaan laboratorium. Perawat juga melakukan
anamnesis dan pemeriksaan fisik, hasil pemeriksaan dicatat di rekam medik pasien.
Usulan pemeriksaan laboratorium oleh dokter, ditindaklanjuti oleh perawat dengan
pengambilan sampel darah dan formulir permintaan laboratorium yang telah ditanda
tangani oleh dokter untuk mengirimkan ke laboratorium RSIA. Sambil menunggu
hasil laboratorium pasien dipindahkan ke ruangan rawat inap dan diawasi perawat.
Setelah mendapatkan hasil laboratorium dr. Ryam menyarankan pada ibu pasein
untuk di beri antibiotik Taxegram. Pasien menebus obat di apotek, oleh apoteker
disampaikan bahwa obat harus diserahkan ke dokter yang menangani diruang rawat
inap. Pasien menyerahkan obat diruang rawat inap yang diterima oleh perawat jaga.
Setelah perawat menerima obat di ruang rawat inap, perawat meminta orang tua
untuk menandatangani form kesediaan atau persetujuan untuk dilakukan suntik
Taxegram. Pada 16:00 dilakukan suntuk Taxegram, namun pada pukul 18:05 keluarga
melapor kalau ada keluhan bitnik merah pada kulit dan bibir menebal, perawat
langsung melakukan diagnosis dan menyutikkan anti-alergi. Namun, kondisi pasien
terus menurun. Pukul 20:15 dibawa ke High Care Unit karena tidak ada tempat di
IGD dan dinyatakan meninggal 85 menit kemudian.
Rumusan Masalah

1. Bagaimana keluhan urtikaria (bintik merah) dan bibir menebal bisa terjadi pada
pasien?
2. Apa saja pemeriksaan lab yang perlu dilakukan?
3. Mengapa dokter memberikan antibiotik taxegram secara injeksi?
4. Apakah obat yang diberikan pada pasien harus di cross check terlebih dahulu oleh
dokter?
5. Bagaimana peran masing-masing profesi dalam kasus?
6. Bagaimana kolaborasi yang terjadi antar profesi?
7. Apa saja standar kompetensi perawat, dokter, dan apoteker?
8. Bagaimana komunikasi efektif dokter, perawat, apoteker kepada pasien?

Jawaban
1. Pada kasus bintik merah dan bibir menebal merupakan reaksi imun,
hipersensitivitas tipe I. Disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya, injeksi,
gigitan serangga, dan polen. Reaksi ini berlangsung cepat.
Patofisiologi: injeksi taxegram  antigen menstimulasi IgE  merangsang sel
mast untuk menstimulasi histamin  vasodilatasi pembuluh darah  tekanan
darah turun, bronkospasme (sesak).
Bibir menebal terjadi karena vasodilatasi sehingga cairan plasma keluar dari
pembuluh darah ke interstitial karena kapiler darah lebih permeabel dan
menyebabkan bengkak (swelling) atau angioedema. Taxegram memiliki
kontraindikasi terhadap hipersensitivitas sehingga menyebabkan shock anafilaktik.
2. Pemeriksaan lab yang perlu dilakukan untuk mendukung diagnosa dan
melakukan terapi dan intervensi yang tepat. Pemeriksaan tersebut adalah:
a) Darah lengkap (DL): leukositosis, laju endap darah (LED), hitung jenis (diff.
count).
b) Kultur darah dan sensitivitas antibiotik.
3. Taxegram merupakan sefalosporin gen. 3 diberikan secara injeksi karena
sediaannya merupakan powder for injection sehingga perlu didispensing.
4. Obat harus dilakukan cross-check terlebih dahulu karena memiliki beberapa efek
samping, obat langsung diberikan kepada perawat karena terjadi di IGD. Dokter
dapat melimpahkan kekuasaan kepada perawat untuk injeksi dengan konteks
pengawasan. Belum dilakukan skin prick test yang merupakan kesalahan tenaga
medis yang menangani. Kelalaian disebabkan kesalahan komunikasi, seharusnya
obat diserahkan ke dokter untuk selanjutnya dijelaskan kepada tenaga medis yang
diberikan kewenangan oleh dokter tentang reaksi yang mungkin timbul dan
penanganannya.
5. Peran
a) Pemberi asuhan keperawatan, dengan memperhatika keadaan
kebutuhan dasar manusia yang dibutuhkan melalui pemberi pelayanan
keperawatan dengan menggunakan proses keperawatan, dari yang
sederhana hingga yang kompleks.
b) Advokat pasien/klien, dengan menginterpretasikan berbagai informasi
dari pemberi pelayanan atau informasi lain khususnya dalam
pengambilan persetujuan atas tindakan keperawatan yang diberikan
kepada pasien dan mempertahankan serta melindungi hak-hak pasien.
c) Pendidik/educator, dengan cara membantu klien dalam meningkatkan
tingkat pengetahuan kesehatan, gejala penyakit bahkan tindakan yang
diberikan sehingga terjadi perubahan perilaku dari klien setelah
dilakukan pendidikan kesehatan.
d) Koordinator, dengan cara mengarahkan, merencanakan, serta
mengorganisasi pelayanan kesehatan dari tim kesehatan sehingga
pemberian pelayanan kesehatan dapat terarah, serta sesuai dengan
kebutuhan klien.
e) Kolaborator, peran ini dilakukan karena perawat bekerja melalui tim
kesehatan yang terdiri dari dokter, fisioterapis, ahli gizi, farmasi dan tim
kesehatan yang lain, yang berupaya mengidentifikasikan pelayanan
keperawatan yang diperlukan termasuk diskusi atau tukar pendapat
dalam penentuan bentuk pelayanan selanjutnya.
f) Konsultan, perawat sebagai tempat konsultasi terhadap masalah atau
tindakan keperawatan yang tepat untuk diberikan. Speran ini dilakukan
atas permintaan klien terhadap informasi tentang tujuan pelayanan
keperawatan yang diberikan.
g) Peneliti, perawat mengadakan perencanaan, kerja sama , perubahan
yang sistematis dan terserah sesuai dengan metode pemberian
pelayanan keperawatan.
6. Kolaborasi merupakan proses kompleks yang membutuhkan sharing pengetahuan
yang direncanakan atau disengaja dan menjadi tanggung jawab bersama untuk
merawat pasien. Tim kolaborasi hendaknya memiliki, komunikasi yang efektif,
bertanggung jawab, saling menghargai antar sesama anggota tim. Selain itu,
prinsip dalam kolaborasi adalah:
a) Patient-centred care: Tim kesehatan harus membantu dan mensupport pasien
dan keluarga sebagai partisipan aktif di dalam membuat keputusan
perawatan kesehatan.
b) Recognition of the patient-physician relationship: Saling menghormati dan percaya
serta berperilaku sesuai dengan kode etik.
c) Physician as the clinical leader: Pemimpin yang cakap dalam pengambilan
keputusan terutama dalam kasus emergensi.
d) Mutual respect and trust: Saling percaya dan menghormati untuk mencapai
lingkungan kerja yang kondusif.
e) Clear communication: Komunikasi efektif antar tenaga kesehatan.
f) Clarification of roles and scopes of practice: Memahami lingkup kerja dan tanggung
jawabnya masing-masing sebagai tenaga kesehatan.
g) Clarification of accountability and responsibility: bertanggung jawab dengan
perawatan terhadap pasien yang ditangani.
h) Liability protection for all members of the team: Setiap anggota kolaborasi
kesehatan memiliki perlindungan atau jaminan yang formal untuk
mengakomodasi tugasnya.
i) Sufficient human resources and infrastructure: Mengefektifkan kerja dari tim
kolaborasi kesehatan.
j) Sufficient payment and payment arrangement: Tim kolaborasi kesehatan tidak
mendasari pekerjaannya sebatas upah yang diterima.
k) Supportive education system: Pendidikan interprofesional pada tiap jenjang
pendidikan, dan pemerintah membantu mendanai institusi yang berkaitan.
l) Research and evaluation: Evaluasi dengan melihat kenyataan lapangan dari
kolaborasi kesehatan untuk memperbaiki standar kualitas yang ada.
Manfaat Kolaborasi adalah:
a) Masing-masing dari tenaga kesehatan dapat berkontribusi dalam
menyediakan layanan kesehatan sesuai dengan bagian dan tanggung
jawabnya.
b) Menunjukan rasa hormat dan dan membangun kepercayaan diantara anggota
tim kesehatan.
c) Dapat saling bertukar informasi dan pikiran dengan anggota tim kesehatan
lainnya dalam upaya menyembuhkan atau menyelamatkan pasien.
d) Anggota tim akan saling mendukung ketika berbuat kesalahan dan akan
bersama-sama merayakan ketika mencapai keberhasilan.
e) Sedangkan menurut CHSR manfaat dari kolaborasi adalah lingkungan kerja
menjadi lebih positif dan kooperatif, mengurangi beban tenaga kerja,
menurunkan tingkat daya stress tenaga kerja, dan meningkatkan kepuasan
dalam bekerja.

7. Standar Kompetensi Perawat:


Menurut PPNI Ed. IV Tahun 2013, standar kompetensi keperawatan adalah :
a) Kerangka kerja kompetensi perawat Indonesia, meliputi praktik
profesional, etis, legal dan peka budaya (bertanggung gugat terhadap
praktik profesional, melaksanakan praktik keperawatan dengan prinsip etis
dan peka budaya, melaksanakan praktik secara legal); pemberian asuhan dan
manajemen asuhan keperawatan (melaksanakan upaya promosi kesehatan
dalam pelayanan maupun asuhan keperawatan, melakukan pengkajian
keperawatan, menyusun rencana keperawatan, melaksanakan tindakan
keperawatan sesuai rencana, mengevaluasi asuhan tindakan keperawatan,
menggunakan komunikasi terapeutik dan hubungan interpersonal dalam
pemberian pelayanan dan asuhan keperawatan); dan pengembangan kualitas
personal dan profesional (melaksanakan peningkatan profesional dalam
praktik keperawatan, melaksanakan peningkatan mutu pelayanan maupun
asuhan keperawatan, mengikuti pendidikan berkelanjutan sebagai wujud
tanggung jawab profesi).
b) Rincian unit kompetensi dengan kodifikasinya.
c) Penjabaran kompetensi perawat dalam pelaksanaan asuhan keperawatan.

Standar Kompetensi Kedokteran:


Menurut SKDI (Standar Kompetensi Dokter Indonesia) Thaun 2012 yang
terdiri atas 7 area kompetensi, yaitu:
a) Profesionalitas yang Luhur
b) Mawas diri dan pengembangan diri
c) Komunikasi efektif
d) Pengelolaan Informasi
e) Landasan Ilmiah Ilmu Kedokteran
f) Keterampilan Klinis
g) Pengelolaan Masalah Kesehatan
Tingkat I : Lulusan dokter mampu mengenali dan menjelaskan gambaran klinik
penyakit, dan mengetahui cara yang paling tepat untuk mendapatkan informasi
lebih lanjut mengenai penyakit tersebut, selanjutnya menentukan rujukan yang
paling tepat bagi pasien. Lulusan dokter juga mampu menindaklanjuti sesudah
kembali dari rujukan.
Tingkat II : Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik terhadap penyakit
tersebut dan menentukan rujukan yang paling tepat bagi penanganan pasien
selanjutnya. Lulusan dokter juga mampu menindaklanjuti sesudah kembali dari
rujukan.
Tingkat IIIA : (bukan gawat darurat) Lulusan dokter mampu membuat diagnosis
klinik dan memberikan terapi pendahuluan pada keadaan yang bukan gawat
darurat. Lulusan dokter mampu menentukan rujukan yang paling tepat bagi
penanganan pasien selanjutnya. Lulusan dokter juga mampu menindaklanjuti
sesudah kembali dari rujukan.
Tingkat IIIB : (Gawat darurat) Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik
dan memberikan terapi pendahuluan pada keadaan gawat darurat demi
menyelamatkan nyawa atau mencegah keparahan dan/atau kecacatan pada
pasien. Lulusan dokter mampu menentukan rujukan yang paling tepat bagi
penanganan pasien selanjutnya. Lulusan dokter juga mampu menindaklanjuti
sesudah kembali dari rujukan.
Tingkat IV : Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan melakukan
penatalaksanaan penyakit tersebut secara mandiri dan tuntas.

Standar Kompetensi Apoteker:


Menurut SKAI Tahun 2016, standar kompetensi apoteker mencakup:
a) SK 1 : Praktik Kefarmasian Secara Profesional Dan Etik
Memahami dan menghayati penerapan kode etik pada praktik profesi dan
Mampu melakukan praktik kefarmasian secara legal, profesional, dan etik
b) SK 2 : Optimalisasi Penggunaan Sediaan Farmasi
Mampu melakukan upaya penggunaan obat yang rasional , melakukan
konsultasi dan konseling terkait sediaan, pelayanan swamedikasi secara
tepat, untuk memastikan keamanan terkait ESO , dan mampu mengevaluasi
penggunaan obat, dan mampu melaksanakan pelayanan farmasi klinik
berbasis biofarmasetika dan farmakokinetika
c) SK 3 : Dispensing Sediaan Farmasi Dan Alkes
Mampu menyiapkan, menyerahkan ,serta memberikan informasi sediaan
farmasi sesuai standar dan alkes
d) SK 4 : Pemberian Informasi Sediaan Farmasi Dan Alkes
Mampu mencari, menyediakan, serta mendiseminasikan informasi yang
tepat, akurat, relevan, terkini terkait sediaan farmasi dan alkes
e) SK 5 : Formula Dan Produk Sediaan Farmasi
Mampu menjelaskan prinsip & prosedur pembuatan sediaan farmasi,
menetapkan formula yang tepat sesuai standar dan ketentuan perUU,
membuat dan menjamin mutu, menjaminan mutu sesuai standar serta
ketentuan perundangan
f) SK 6 : Upaya Preventive Dan Promotif Kesmas
Penyediaan informasi dan pelayanan kesehatan, upaya promosi solusi terkait
masalah penggunaan obat atau sediaan lain, melakukan upaya preventif dan
promotif kesehatan masayarakat sesuai kebutuhan
g) SK 7 : Pengelolaan Sediaan Farmasi Dan Alkes
Mampu meracang dan melakukan seleksi, pengadaan, Penyimpanan,
pendistribuan, pemusnahan, penarikan, bahan baku, sediaan farmasi ,dan
alkes, dan mampu mengelola infrastruktur sesuai kewenangan secara efektif
dan efisien
h) SK 8 : Komunikasi Efektif
i) Mampu menunjukan keterampilan komunkikasi efektif , komunikasi
terapetik dengan pasien, komunikasi secara non verbal,
j) SK 9 : Keterampilan Organisasi Dan Hubungan Internassional
Mampu melakukan pejaminan mutu dan penelitian di tempat kerja, mampu
merencanakan dan melaksanakan tugas kegiatn dengan baik dengan
memanfaatkan sumber ada yang ada, memiliki kepercayaan diri, bekerja
sama dan bersinergi dengan rekan sehingga mampu membentuk kelompok
kerja yang memiliki intergritas, mampu menganalisa dan memecahkan
masalah , konflik, secara sistematis dengan metode yang sesuai, mampu
mengidentifikasi kebutuhan , perencanaan dan melakukan upaya penigkatan
pelayanan
k) SK 10 : Landasan Ilmiah Dan Peningkatan Kompetensi Diri
Menguasai ilmu dan teknologi farmasi dan memanfaatkan teknologi yang
sesuai untuk pengembangan profesi, mengenali kelemahan atau kekurangan
diri, dan melalukan upaya pengembangan, mengembangkan pengetahuan
dan kemampuan diri serta berkontribusi dalam upaya peningkatan praktik
profesi

8. Komunikasi interprofessi merupakan interaksi untuk bertukar pikiran, informasi,


dan opini yang melibatkan dua atau lebih profesi yang berbeda. Tujuan
komunikasi interprofessi adalah memecahkan masalah, berbagi ide, dan
pengambilan keputusan bersama. Apabila komunikasi tidak efektif, nyawa pasien
akan menjadi taruhannya. Karakteristik komunikasi interprofessi dalam kesehatan:
a) Menghormati tugas, peran, dan tanggung jawab profesi kesehatan lain,
dilandasi sikap bahwa semua profesi dibutuhkan oleh pasien.
b) Membahas masalah pasien dengan kelompok profesi lain (proses
pengobatan, alternatif, dll), mendengarkan opini dan ide profesi lain.
c) Mampu berbagi informasi bersifat komplementer (saling melengkapi).
d) Kemampuan mencapai persetujuan bersama antar profesi (negosiasi)
(Triana, 2018).
Komunikasi efektif Dokter-Pasien dan Keluarga
a) Membangun hubungan
b) Berempati
c) Bahasa yang santun dan dapat dimengerti
d) Mendengarkan dengan aktif untuk menggali permasalahan kesehatan
e) Menyampaikan informasi yang terkait kesehatan (termasuk berita buruk,
informed consent)
f) Melakukan konseling dengan cara yang santun, baik dan benar
g) Melakukan konseling dengan cara yang santun, baik dan benar

Komunikasi efektif Dokter-Teman Sejawat


a) Melakukan tatalaksana konsultasi dan rujukan yang baik dan benar
b) Membangun komunikasi interprofesional dalam pelayanan kesehatan
c) Memberikan informasi yang sebenarnya dan relevan kepada penegak hukum,
perusahaan asuransi kesehatan, media massa dan pihak lainnya jika diperlukan

Komunikasi efektif Dokter-Masyarakat


a) Melakukan komunikasi dengan masyarakat dalam rangka mengidentifikasi
masalah kesehatan dan sama-sama memecahkannya
b) Melakukan advokasi dengan pihak terkait dalam rangka pemecahan masalah
kesehatan individu, keluarga, dan masyarakay

Komunikasi Perawat-Dokter
Adanya kejelasan tanggung jawab antara dokter dan perawat akan membantu
membina hubungan yang baik. Hal-hal yang dapat dilakukan perawat untuk
meningkatkan komunikasi dengan dokter adalah:
a) Perawat meningkatkan pengetahuan, terutama istilah medis.
b) Saling memahami beban kerja (menghargai dan berbicara baik).
c) Bersikap kolaboratif dan komunikatif, tidak otoriter (Morisson & Philip,
2009) dan (Amudha, et al., 2018).

Komunikasi Perawat-Apoteker
Sangat penting dalam menetapkan tujuan yang saling melengkapi terhadap
administrasi obat pasien. Komunikasi yang harus dimiliki adalah:
a) Berkonsultasi pada apoteker terkait obat yang akan diberikan pasien (efek,
dosis, dan cara kerja).
b) Melakukan 5 benar obat (pasien, rute, cara, dosis, waktu) agar tidak terjadi
kesalahpahaman antara perawat dan apoteker (Albisher, 2016).

Komunikasi Perawat-Pasien

(Anjaswari, 2016)

Komunikasi Apoteker-Tenaga Kesehata Lain


Sebagai kefermasian mampu menunjukkan komunikasi dengan tenaga kesehatan.
a) Menjelaskan penyelesaian masalah komunikasi dengan tenaga kesehatan.
b) Melakukan komunikasi secara jelas, ringkas dan tepat saat menjadi mentor/
tutor.
c) Melakukan komunikasi efektif dengan staf kesehatan maupun staf sosial,
mendukung staf, pasien, perawat, kerabat maupun klien, menggunakan
bahasa yang mudah dipahami, serta memastikan pemahaman pasien.
d) Menggunakan teknik komunikasi efektif untuk membangun relasi dengan
pasien, tenaga kesehatan dan/atau relawan pelayanan kefarmasian secara lisan
dan tertulis.
DAFTAR PUSTAKA

Albisher, AH. (2016). The Effect of Pharmacy – Nursing Communication on


Medication Administration Record (MAR) Accuracy: A Case Study of Medical
Military Hospital. Indian Journal of Pharmacy Practice, Vol 9, Issue 3.
Ali, Muhammad Mulyohadi. 2006. Komunikasi Efektif Dokter-Pasien. Jakarta: Konsil
Kedokteran Indonesia
Amudha, P. (2018). Effective Communication Between Nurse and Doctor: Barrier as
Perceived by Nurse. Journal of Nursing and Care, Vol 7, Issue 3.
Anjaswari, T. (2016). Komunikasi dalam Keperawatan. Kementerian Kesehatan
Indonesia.
Budiono, & Sumirah Budi Pertami.(2015). Konsep Dasar Keperawatan.Jakarta: Bumi
Medika.
Morisson, P & Philip, B. (2009). Caring and Communicating: Hubungan Interpersonal dalam
Keperawatan. Jakarta: EGC.
Noor Ariyani Rokhmah. 2017. Komunikasi Efektif Dalam Praktek Kolaborasi
Interprofesi Sebagai Upaya Meningkatkan Kualitas Pelayanan. Journal of Health
Studies, Vol. 1, No.1, Maret 2017: 65-71
Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI), 2012.
Triana, N. (2018). Interprofessional Education di Institusi dan Rumah Sakit. Yogyakarta:
Deepublish.

Anda mungkin juga menyukai