Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Gigantisme adalah pertumbuhan abnormal terutama dalam tinggi badan (melebihi 2,14 m),
akibat kelebihan growth hormone pada anak sebelum fusi epifise (Brooker, 2009). Hubungan
antara gigantisme dan GH telah diketahui pertama kali sejak tahun 1886 oleh seorang
neurologis Perancis, Piere Marie yang mengatakan sebagai penyakit kronis endokrin.

Onset hipersekresi GH pada kanak-kanak akan menyebabkan terjadinya gigantisme dan bila
onset hipersekresi GH pada usia remaja (setelah penutupan celah efipiseal) akan terjadi
peningkatan tinggi badan dan akromegali (Eugster & Shim M, 2004). Insiden hipersekresi
GH dibagi menjadi dua kategori yaitu primer pada hipofisis dan peningkatan growth
hormone-realising hormone (GHRH) atau disregulasi. Kebanyakan insiden gigantisme karena
adenoma hipofisis yang mensekresis GH atau karena hyperplasia. Gigantisme tampak juga
pada keadaan lain seperti: multiple endocrine neoplasma (MEN) tipe I, Mc Cune-Albright
Syndrome (MAS), neurofibromatosis, sklerosis tuberosistas atau kompleks Carney (Shim,
2004).

Frekuensi gigantisme di Amerika Serikat sangat jarang, diperkirakan ada 100 kasus yang
dilaporkan hingga saat ini. Tidak ada predileksi ras pada gigantisme. Insiden kejadian
gigantisme tidak jelas. Pada orang dewasa kelebihan GH pada perempuan dan laki-laki
adalah sama (Shim, 2004). Gigantisme biasa terjadi di negara Barat karena gigantisme bisa
terdiagnosa secara dini, sedangkan di Afrika, Amerika Selatan dan Asia jarang terdiagnosa
secara dini (Herder, 2008).

Kelainan gigantisme dapat mengakibatkan peningkatan metabolisme tubuh dan terganggunya


keseimbangan tubuh. Asuhan keperawatan yang tepat sangat diperlukan untuk mengatasi
masalah yang muncul akibat gangguan hipofisis yang terjadi. Penatalaksanaan keperawatan
yang tepat dan cepat diperlukan agar pasien dapat kembali memenuhi kebutuhan dasarnya
secara mandiri. Melalui makalah ini diharapkan mahasiswa mengerti dan memahami asuhan
keperawatan pada pasien dengan gangguan kelenjar hipofisis dengan baik dan benar.

B. TUJUAN

1. Tujuan Umum

Mampu memahami konsep dan mengaplikasikan asuhan keperawatan pada pasien yang
menderita gigantisme.

1. Tujuan Khusus

1. Mengetahui konsep teori gigantisme:

1) Mengetahui definisi gigantisme.


2) Mengetahui etiologi gigantisme.

3) Mengetahui manifestasi klinik gigantisme.

4) Mengetahui patofisiologi (WOC) gigantisme.

5) Mengetahui pemeriksaan diagnostik gigantisme.

6) Mengetahui komplikasi gigantisme.

7) Mengetahui penatalaksanaan gigantisme.

8) Menjelaskan prognosis gigantisme.

1. Mengetahui asuhan keperawatan pada pasien dengan gigantisme:

1) Mengetahui pengkajian pada pasien dengan gigantisme.

2) Mengetahui diagnosis keperawatan pada pasien dengan gigantisme.

3) Mengetahui intervensi keperawatan pada pasien dengan gigantisme.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. KONSEP DASAR

Kelenjar hipofisis/pituitary/master of gland memiliki 3 lobus, salah satunya yaitu


lobus anterior/adenohypophysis, menghasilkan hormone yang didominasi oleh hormone
yang mengatur mengenai pertumbuhan, reproduksi dan masalah stress. Hormone
pertumbuhan (GH = Growth Hormone), juga dinamakan Somatotropic Hormone (SH)
atau somatotropin, merupakan molekul protein kecil yang mengandung 191 asam amino
dalam satu rantai dan mempunyai berat molekul 22.005. Hormone ini menyebabkan
pertumbuhan semua jaringan tubuh yang mampu tumbuh, meningkatkan penambahan
ukuran sel, dan meningkatkan mitosis bersama peningkatan jumlah sel.

Gigantisme adalah kondisi seseorang yang kelebihan pertumbuhan, dengan tinggi dan
besar yang diatas normal. Gigantisme disebabkan oleh kelebihan jumlah hormon pertumbuhan.
Tidak terdapat definisi tinggi yang merujukan orang sebagai "raksasa." tinggi dewasa.
Gigantisme adalah kondisi seseorang yang kelebihan pertumbuhan, dengan tinggi dan
besar diatas normal yang disebabkan oleh sekresi Growth Hormone (GH) berlebihan dan terjadi
sebelum dewasa atau sebelum proses penutupan epifisis. (Corwin, 2007). Hormone ini
berfungsi untuk memacu pertumbuhan terutama pada peristiwa osifikasi, pada
cakraepifise dan mengatur metabolism lipid dan karbohidrat.

Gigantisme adalah pertumbuhan abnormal, terutama dalam tinggi badan (melebihi


2,14 m) akibat kelebihan growth hormone pada anak sebelum fusi epifisis (Brooker,
2005). Gigantisme merupakan suatu penyakit kelebihan pertumbuhan longitudinal tulang
skelet yang dijumpai akibat kelebihan GH sebelum pubertas (Corwin, 2008). Gigantisme
merupakan peningkatan hormone protein dalam banyak jaringan, meningkatkan
penguraian asam lemak dan jaringan adipose dan kadar glukosa darah (Smeltzer & Bare,
2002). Jadi, gigantisme adalah suatu penyakit akibat hipersekresi growth hormone yang
terjadi pada anak-anak sebelum fusi epifise atau lempeng tulang menutup yang dapat
menyebabkan pertumbuhan abnormal.

Bila kelebihan hormone ini terjadi pada masa pertumbuhan akan mengakibatkan
pertumbuhan yang tidak terkendali/menjadi lebih cepat. Pertumbuhan yang seperti ini
dikenal dengan gigantisme. Sedangkan bila kelebihan hormone ini terjadi pada masa
dewasa akan mengakibatkan pertumbuhan yang tidak normal pada beberapa bagian
organ tubuh. Hal yang paling terlihat adalah pertumbuhan jari tangan yang tidak normal
seperti membesar seperti bengkak serta raut wajah yang kelihatan lebih tebal kulitnya,
dagu memanjang. Pertumbuhan yang seperti ini dikenal dengan akromegali.

Selama bertahun-tahun telah diakui bahwa hormone pertumbuhan terutama


disekresi selama masa pertumbuhan tetapi kemudian menghilang dari darah pada waktu
pubertas. Akan tetapi, telah terbukti bahwa hal ini jauh dari benar, karena setelah
pubertas, sekresi terus berlangsung dengan kecepatan sebesar atau hampir sama besar
seperti kecepatan waktu anak-anak. Selanjutnya, kecepatan sekresi hormone
pertumbuhan meningkat dan menurun dalam beberapa menit dalam hubungannya dengan
keadaan gizi atau stress seseorang, seperti selama kelaparan, hipoglikemia, gerak badan,
kegelisahan, dan trauma.
Konsentrasi normal hormone pertumbuhan pada orang dewasa sekitar 3 nanogram
per milliliter dan pada anak-anak sekitar 5 nanogram permililiter. Akan tetapi, nilai-nilai
ini sering meningkat sampai setinggi 50 milimikron per milliliter setelah pengurangan
cadangan protein tubuh atau karbohidrat.
B. Etiologi

Sekresi GH berlebihan memiliki beberapa penyebab potensial dan dapat terjadi dalam
konteks sejumlah gangguan heterogen. Kasus hipersekresi GH dapat dibagi menjadi dua
ketegori utama yaitu primer pada hipofisis dan peningkatan sekresi growth hormone-
realising hormone (GHRH) atau disregulasi. Kebanyakan insiden gigantisme karena
adenoma hipofisis yang mensekresis GH atau karena hiperplasia. Gigantisme juga
tampak pada keadaan lain seperti multiple endocrine neoplasma (MEN) tipe 1, Mc Cune-
Albright Syndrome (MAS), neurofibromatosis, sklerosis tuberosistas atau kompleks
Carney (Eugster & Pescovitz, 1999)

Penyebab sekresi GH yang berlebihan adalah:

Sumber
Mekanisme
Kelebihan Konteks Klinis Temuan yang Terkait
Patogenetik
GH

Kelebihan Mutasi Gsα Adenoma hipofisis gsp onkogen


GH hipofisis sporadis
primer

Hilangnya Adenoma hipofisis sporadis


heterozigositas 11q13

MEN tipe 1 Warisan dominan autosomal,


neoplasia pankreas, hipofisis,
paratiroid.

Abnormalitas di Carney kompleks Warisan dominan autosomal,


2p16 beberapa lentigines mixoma,
neoplasia endokrin.

Kelebihan Kelebihan GHRH Hiperplasia pituitari Tak ada sumber identifikasi


GH hipotalamus hipersekresi GH atau GHRH
sekunder
Sekresi GHRH Gangliositoma, Hubungan erat tumor neuron
tumor intrakranial neurositoma dengan sel pensekresi GH
hipofisis

Kelebihan GHRH Ca. pankreas, Penyebab yang sangat jarang


ektopik neoplasia bronkial dari gigantisme

Kelebihan GH Limpoma Salah melaporkan kasus


ektopik akromegali

Pola abnormal Neurofibromatosis Infiltrasi ke jalur


somatostatin dengan optik somatostatinergik
glioma/astrositoma
Etiologi gigantisme menurut Greenspan & Baxter (2000) adalah:

1. Fungsi hipotalamus yang abnormal menyebabkan sekresi GH berlebihan.

2. Adenoma hipofise:

a. Mikroadenoma : adenoma intrasellar dengan diameter < 1 cm yang disertai


dengan manifestasi hormone yang berlebihan tanpa pembesaran sellar atau
penekanan ekstrasellar.

b. Makroadenoma: adenoma yang berdiameter > 1 cm.

C. Manifestasi Klinik

Pada pasien gigantisme terjadi pertumbuhan linier yang cepat, wajah kasar, pembesaran
kaki dan tangan. Pada anak muda, pertumbuhan cepat kepala dapat mendahului
pertumbuhan linier dan memiliki masalah penglihatan dan prilaku. Pada kebanyakan
kasus yang terekam, pertumbuhan abnormal menjadi nyata pada masa pubertas.
Jangkung dapat tumbuh sampai ketinggian 8 kaki atau lebih (Behrman, Kliegman &
Arvin, 2000).

Adapun menurut Kowalak (2011) manifestasi klinis pasien dengan gigantisme adalah:

1. Rasa sakit pada punggung, artralgia, dan artritis akibat pertumbuhan tulang yang
cepat.

2. Tinggi badan yang berlebihan akibat pertumbuhan berlebihan sebelum lempeng


epifisis menutup.

3. Sakit kepala, muntah, serangan kejang, gangguan penglihatan, dan papiledema


(edema pada tempat nervus optikus memasuki rongga bola mata) yang semua terjadi
karena tumor yang menekan saraf dan jaringan pada struktur di sekitar.

4. Defisiensi pada sistem hormon yang lain (jika tumor yang memproduksi GH
menghancurkan sel-sel penghasil hormon yang lain).
5. Intoleransi glukosa dan diabetes melitus akibat kerja GH yang merupakan antagonis
insulin.

D. Patofisiologi

Gigantisme disebabkan oleh sekresi GH (Growth Hormone) yang berlebihan. Keadaan


ini dapat diakibatkan tumor hipofisis yang mensekresi GH atau karena kelainan
hipotalamus yang mengarah pada pelepasan GH secara berlebihan. Penyebab kelebihan
produksi hormon pertumbuhan juga berasal dari tumor pada sel-sel somatrotop yang
menghasilkan hormon pertumbuhan.

Jika adenoma penghasil GH terjadi sebelum lempeng epifisis menutup, seperti pada anak
prapubertas, kadar GH yang berlebihan akan menyebabkan gigantisme. Hal ini ditandai
dengan peningkatan umum ukuran tubuh serta lengan dan tungkai yang memanjang
berlebihan. Penderita gigantisme biasanya berperawakan tinggi lebih dari 2 meter dengan
proporsi tubuh yang normal, hal ini terjadi karena jaringan lunak seperti otot tetap
tumbuh. Gigantisme juga dapat mengalami hiperhidrosis yaitu keadaan dimana
terjadinya hipermetabolisme yang menyebabkan keringat berlebih. Penderita dapat pula
mengalami gangguan penglihatan apabila tumor pada kelenjar hipofisis menekan
chiasma opticum yang merupakan jalur saraf mata. Pembesaran jaringan saraf yang
tertekan juga mengakibatkan terjadinya sensasi kesemutan dan kelemahan pada lengan
dan kaki.

Hormon pertumbuhan mempengaruhi metabolisme beberapa zat penting tubuh, sehingga


penderita gigantisme sering mengalami endocrinopathies misalnya hipogonadisme,
hiperprolaktinema, diabetes/hiperglikemi. Hiperglikemi terjadi karena produksi hormone
pertumbuhan yang sangat banyak menyebabkan hormone pertumbuhan tersebut
menurunkan pemakaian glukosa di seluruh tubuh sehingga banyak glukosa yang beredar
di pembuluh darah. Dan sel-sel beta pulau Langerhans pancreas menjadi terlalu aktif
akibat hiperglikemi dan akhirnya sel-sel tersebut berdegenerasi. Akibatnya, kira-kira 10
persen pasien Gigantisme menderita Diabetes Melitus.

E. Pemeriksaan Diagnostik
Menurut Behrman, Kliegman & Arvin (2000) pemeriksaan penunjang yang perlu
dilakukan untuk menegakkan diagnosa gigantisme adalah:

1. Laboratorium

a. Kadar GH meningkat dan kadang-kadang mencapai 400 ng/mL. Pola sekresi


episodik dan arus nokturna dapat terpelihara pada beberapa penderita. Biasanya
tidak ada supresi kadar GH oleh hiperglikemia uji toleransi glukosa. Mugkin
tidak ada respons, respons normal atau respons paradoks terhadap berbagai
rangsangan lain. Misalnya L-dopa dapat secara paradoks menurunkan kadar
GH. Pemberian hormon pelepas tirotropin mengakibatkan peningkatan kadar
GH 3 x lipat pada anak raksasa berusia 5 tahun.

b. Pengukuran kadar IGF-1 berkisar 2,6-21,7 U/mL (kadar normal: 0,3-1,4 U/mL).

c. Adanya hiperprolaktinemia yang mencolok sebagai akibat dari adenoma


plurihormonal yang mensekresikan GH dan prolaktin.

d. Kadar glukosa darah dapat meningkat.

2. Radiologi

a. Rontgen tengkorak kepala memperlihatkan pelebaran sella tursica dan sinus


paranasalis, penebalan kalvarium dan pembesaran mandibula.

b. Rontgen ekstremitas menampakkan ikatan falangs dan bertambahnya penebalan


bantalan tumit adalah biasa. Maturasi tulang normal.

c. CT-scan dan MRI dapat menunjukkan pembesaran atau hiperplasi jaringan


hipofisis dan adanya tumor atau adenoma

F. Komplikasi

1. Diabetes mellitus
GH juga mempengauhi metabolisme karbohidrat. Pada keadaan berlebihan, akan
meningkatkan penggunaan karbohidrat dan mengganggu pengambilan glukosa ke
dalam sel. Resistensi terhadap insulin karena GH tampak berhubungan dengan
kegagalan postreseptor pada kerja insulin. Kejadian ini mengakibatkan intoleransi
glukosa dan hiperinsulinisme sekunder. Intoleransi glukosa dan hiperinsulinisme
terjadi masing-masing pada 50% dan 70% kasus.

2. Hipertensi dan Hipertrofi jantung

Sebagian besar kerusakan akibat hipersekresi GH yang kronis disebabkan oleh


stimulasi IGF-1 yang berlebihan. Pengaruh daya tumbuh dari IGF-1 menyebabkan
proliferasi yang khas pada jaringan lunak dan meningkatkan ukuran besarnya orrgan
lain hingga menimbulkan manifestasi klinis hipertrofi jantung. Hipertrofi jantung
terjadi sekitar 15% kasus dan hipertensi yang tidak diketahui penyebabnya terjadi
sekitar 25% kasus.

3. Artralgia dan artritis

Pertumbuhan tulang dan kartilago berlebihan menyebabkan artralgia dan pada kasus
yang sudah berlangsung lama menyebabkan artritis degeneratif pada tulang vertebra,
panggul dan lutut. Bila terjadi hipersekresi GH selama beberapa tahun, terjadilah
komplikasi-komplikasi lanjut, mencakup deformitas kosmetis yang progesif dan
artritus degeneratif yang menimbulkan cacat (yang sering menimbulkan terapi
pembedahan).

4. Kesulitan Psikososial

Tinggi secara ekstrim berhenti menjadi keuntungan dan dapat dianggap sebagai
beban, sehingga baik secara fisik maupun psikologis, cacat. Hal ini mendorong
pengobatan farmakologis remaja yang tinggi dengan steroid seks untuk
mempercepat fusi epifise, sebuah praktik yang telah ada sejak tahun 1950. Gadis
tinggi sering melaporkan kesulitan sosial akibat ukuran mereka, karena tinggi
patologis akibat kelebihan GH jelas jauh melampaui tinggi normal/sehat. Meskipun
tidak ada informasi mendalam mengenai profil psikologis pasien dengan gigantisme,
serangkaian kasus menunjukkan tingginya insiden depresi berat, penarikan sosial
dan rendah diri (Eugster & Pescovitz, 1999).

G. Penatalaksanaan

1. Terapi Pembedahan

Terapi pembedahan adalah cara pengobatan utama pada pasien kelainan GH yang
disebabkan adenoma. Ada 2 jenis terapi pembedahan yaitu:

a. Pembedahan mikro transfenoidal.

Pengangkatan adenoma transfenoidal secara selektif merupakan prosedur


pilihan.

b. Kraniotomi transfrontal.

Dibutuhkan pada sebagian kecil pasien yang mengalami ekstensi suprasellar


major sehingga menghalangi prosedur transfenoidal.

Faktor yang mempengaruhi keberhasilan operasi adalah ukuran tumor, kadar hormon
sebelum operasi dan pengalaman dokter bedah. Pada pasien dengan mikroadenoma
(ukuran tumor < 1 cm) angka normalisasi IGF-I mencapai 75-95% kasus, sementara
pada makroadenoma angka normalisasi hormonal 40-68%.

2. Terapi Radiasi

Tidak digunakan sebagai terapi lini pertama karena lamanya rentang waktu
tercapainya terapi efektif sejak pertama kali dimulai. Terapi radiasi dapat dilakukan
dalam 2 cara yaitu:

a. Penyinaran Sinar rotgen yaitu penyinaran konvesional yang menggunakan


sumber energy tinggi dengan dosis total 4000-5000 rad dan biasanya diberikan
sejumlah 180-210 rad per hari. Cara ini memerlukan waktu 10-20 tahun untuk
mencapai terapi yang efektif.
b. Penyinaran partikel berat yaitu penyinaran yang menggunakan partikel alfa
atau proton beam, gamma knife dan stereotactic radiotherapy. Cara ini dapat
memberikan remisi yang lebih cepat. Efektivitas stereotactic radiotherapy
terhadap pasien yang gagal dengan radioterapi konvensional memperlihatkan
penurunan kadar IGF-I sebesar 38% 2 tahun pasca terapi.

3. Terapi Medikamentosa

a. Agonis dopamin

Terdiri dari bromokriptin dan cabergoline. Monoterapi dengan cabergoline


mempunyai efikasi antara 10-35% dalam menormalisasi kadar IGF-I. Ini
merupakan satu-satunya alternatif pilihan bagi pasien yang menolak tindakan
operasi dan pemberian obat injeksi, karena hanya dopamin agonis yang dapat
dikonsumsi secara oral dalam tata laksana akromegali. Agonis bromocriptine
dopamin dapat memberikan perawatan medis ajuvan gigantisme yang aman
digunakan oleh anak-anak dalam jangka waktu lama.

b. Analog somatostatin

Merupakan pilihan pertama dalam terapi medikamentosa karena memiliki


efektivitas yang tinggi dalam menormalisasi kadar IGF-I dan hormon
pertumbuhan (sekitar 70%). Bekerja menyerupai hormon somatostatin, yaitu
menghambat sekresi hormon pertumbuhan. Analog somatostatin juga dapt
mengurangi ukuran tumor sekitar 0-50% tapi hanya pada tingkat yang kecil.
Beberapa penelitian menunjukkan analog somatostatin aman dan efektif
digunakan dalam jangka panjang dalam pengobatan pasien dengan gigantisme
yang tidak disebabkan oleh tumor hipofise. Analog somatostatin diberikan
secara injeksi SC beberapa kali dalam sehari, namun saat ini sudah terdapat
sediaan baru dengan masa kerja panjang yang diberikan secara injeksi IM setiap
1 x/28 hari. Efek samping dari analog somatostatin terutama terdiri dari
keluhan gastrointestinal ringan sementara dan peningkatan resiko batu empedu.
Kendala utamanya adalah harga yang mahal.

c. Antagonis reseptor hormon pertumbuhan


Merupakan kelas baru dalam terapi medikamentosa akromegali.
Direkomendasikan untuk kasus akromegali yang tidak dapat dikontrol dengan
terapi pembedahan, pemberian agonis dopamin, maupun analog somatostatin.
Golongan ini dapat menormalisasi kadar IGF-I pada 90% pasien. Efektivitas
serta keamanan terapi obat golongan ini sebagai monoterapi atau kombinasi
dengan analog somatostatin memperlihatkan efektivitas masing-masing sebesar
56% dan 62% dalam menormalisasi kadar IGF-I.

4. Diet

Perubahan diet perlu dijelaskan kepada pasien dan keluarga karena intoleransi
karbohidrat dapat mengakibatkan DM. Diet DM dapat dipakai sebagai patokan.
Pasien tidak disarankan untuk merokok karena zat racun dalam rokok menghambat
penyerapan nutrisi makanan. Selain itu pasien harus berolahraga secara teratur untuk
menjaga stamina tubuh dan mengendalikan berat badan. Asupan gula dalam
makanan dan minuman harus dikurangi caranya gunakan gula khusus DM. Selain
itu, konsumsi buah-buahan, kurangi porsi makan nasi, dan perbanyak minum air
putih. Aktivitas fisik akan membakar kalori dalam tubuh. Selain itu olahraga dengan
teratur akan menjaga peredaran darah, memperbaiki kerja insulin dan mendorong
terjadinya pembakaran gula dalam darah agar diubah menjadi energi.
(langkahsehat.com/diet-sehat-untuk-penderita-diabetes-melitus).

H. Prognosis

Pada pasien-pasien yang berhasil dilakukan pengurangan hipersekresi GH, terdapat


penghentian pertumbuhan tulang yang berlebihan. Sebagai tambahan, pasien-pasien ini
mengalami perbaikan klinis yang cukup memuaskan, termasuk berkurangnya jaringan
lunak dan artralgia bersifat reversibel pada terapi yang berhasil. Intoleransi glukosa dan
hiperinsulinemia teratasi pada sebagian besar kasus. Namun, Angka harapan hidup turun
setengahnya karena komplikasi kardiopulmonal. Penatalaksanaan disebut berhasil bila
terjadi penghancuran jaringan yang memproduksi GH berlebih (Rubenstein, Wayne, &
Bradley, 2005).

I. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian

a. Riwayat Keperawatan

1) Keluhan Utama:

Keluhan utama pasien adalah adanya kelelahan dan kelemahan, kebutuhan


tidur atau istirahat meningkat, pertumbuhan organ tubuh yang berlebih,
postur tubuh yang tinggi pada gigantisme.

2) Riwayat Penyakit Sekarang:

Kapan terjadinya gigantisme, apa yang dirasakan klien dan apa saja yang
sudah dilakukan untuk mengatasi sakitnya.

3) Riwayat Penyakit Dahulu

Adanya riwayat tumor hipofisis atau penyakit lain yang berkaitan dengan
gigantisme.

4) Riwayat Kesehatan Keluarga:

Gigantisme dan akromegali tidak diturunkan dari riwayat keluarga yang


memilki penyakit akromegali dan gigantisme.

5) Riwayat psikososial

Adanya rasa cemas, gelisah, dan gangguan citra diri.

a) Pemeriksaan Fisik

B1 (Breathing)

Pola napas normal, tidak terjadi gangguan pola napas.

2) B2 (Blood)

Hipertensi, hipertrofi jantung, gagal jantung kongestif.

3) B3 (Brain)
Nyeri kepala, pusing, gangguan penglihatan akibat adanya adenoma.

4) B4 (Bladder)

Glomerulosklerosis.

5) B5 (Bowel)

Peningkatan laju metabolisme tubuh.

6) B6 (Bone and Integumen)

Pertumbuhan longitudinal yang abnormal, lemah, letargia, hidroporesis, kifosis, artralgia dan
artritis.

7) Endokrin dan Metabolik

Intoleransi glukosa, DM.

2. Diagnosa Keperawatan

1. Gangguan citra diri berhubungan dengan perubahan struktur tubuh.

2. Nyeri berhubungan dengan peningkatan tekanan intrakranial.

3. Cemas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan tentang penyakit.

4. Resiko cidera berhubungan dengan gangguan sensori persepsi dan kondisi fisik.

5. Penurunan curah jantung berhubungan dengan hipertrofi ventrikel kiri.

6. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelelahan sekunder peningkatan laju


metabolisme tubuh.

3. Intervensi Keperawatan

1. Gangguan citra diri berhubungan dengan perubahan struktur tubuh.

Tujuan: Pasien mampu menerima dan beradaptasi dengan perubahan struktur tubuh setelah
dilakukan tindakan keperawatan.

Kriteria hasil:

1) Pasien mengungkapkan hal positif tentang dirinya.

2) Pasien mau bersosialisasi dengan lingkungan sekitar tanpa adanya gangguan citra diri.

Intervensi:
1) Gunakan alat seperti Body Image Instrumen (BII) untuk mengidentifikasi klien yang
memiliki keprihatinan tentang perubahan citra tubuh.

Rasionalisasi: 5 skala BII (penampilan umum, kompetensi tubuh, reaksi lainnya untuk
penampilan, nilai penampilan, dan bagian tubuh) dipamerkan sedang hingga tinggi
reliabilitas internal dan validitas konkuren.

2) Amati mekanisme biasa klien mengatasi selama masa stress yang ekstrim dan
memperkuat penggunaannya dalam krisis saat ini.

Rasionalisasi: Klien shock selama fase akut, dan sistem nilai mereka sendiri harus
dipertimbangkan. Klien sepakat lebih baik dengan perubahan dari waktu ke waktu.

3) Akui penolakan, kemarahan, atau depresi sebagai perasaan normal saat menyesuaikan
diri dengan perubahan dalam tubuh dan gaya hidup.

Rasionalisasi: Perubahan citra tubuh menyebabkan kecemasan. Orang-orang dalam situasi ini
menggunakan berbagai mekanisme koping sadar untuk berurusan dengan citra tubuh mereka
berubah. Mekanisme pertahanan normal, kecuali mereka digunakan sehingga mereka
mengganggu daripada meningkatkan rasa percaya diri.

4) Mengidentifikasi klien beresiko untuk gangguan citra tubuh.

Rasionalisasi: Hasil dari satu penelitian menunjukkan bahwa pembentukan tubuh laki-
laki beresiko untuk gangguan citra tubuh.

5) Jangan meminta klien untuk mengeksplorasi perasaan kecuali mereka telah


menunjukkan kebutuhan untuk melakukannya.

Rasionalisasi: Pasien melaporkan menjaga perasaan mereka kepada diri mereka sendiri
sebagai strategi koping yang sering digunakan.

6) Dorong klien untuk membahas konflik interpersonal dan sosial yang mungkin timbul.

Rasionalisasi: Sebuah persepsi yang baik terhadap citra tubuh yang terbaik dicapai dalam
kerangka sosial yang mendukung. Klien dengan dukungan jaringan sosial yang aktif
cenderung membuat kemajuan yang lebih baik

7) Dorong klien untuk membuat keputusan sendiri, berpartisipasi dalam rencana


perawatan, dan menerima baik kekurangan dan kelebihan.

Rasionalisasi: Hal ini penting bagi klien untuk terlibat dalam perawatan mereka sendiri. Jika
mereka telah menerima informasi tentang citra perubahan tubuh mereka, pengobatan dan
rehabilitasi, mereka akan mampu untuk membuat pilihan mereka sendiri.

8) Dorong klien untuk melanjutkan rutinitas perawatan pribadi yang sama yang diikuti
sebelum perubahan citra tubuh.

Rasionalisasi: Mendorong kemandirian pasien dan meningkatkan percaya diri pasien.


1. Nyeri berhubungan dengan peningkatan tekanan intrakranial.

Tujuan: Nyeri berkurang atau hilang setelah dilakukan tindakan keperawatan.

Kriteria Hasil: Pasien mengungkapkan nyeri berkurang atau hilang.

1) Tentukan apakah pasien mengalami nyeri pada saat wawancara awal. Jika demikian,
campur tangan pada saat itu untuk memberikan bantuan nyeri.

Rasionalisasi: Intensitas, karakter, onset, durasi, memperparah dan menghilangkan faktor rasa
sakit harus dikaji dan didokumentasikan selama evaluasi awal pasien.

2) Observasi adanya tanda-tanda nyeri baik verbal maupun non verbal, seperti: ekspresi
wajah gelisah, cemas, meringis.

Rasionalisasi: Sebagai pengukur derajat nyeri yang dialami pasien.

3) Ukur nyeri dengan menggunakan skala penilaian nyeri.

Rasionalisasi: Untuk mengidentifikasi tingkat intensitaas nyeri.

4) Menentukan penggunaan obat klien saat ini.

Rasionalisasi: Untuk membantu dalam perencanaan perawatan sakit, dan mendapatkan


sejarah pengobatan.

5) Mendapatkan resep untuk mengelola asetaminofen, Cox-2 inhibitor atau obat


antiinflamasi nonsteroid/NSAID), kecuali kontraindikasi diberikan ATC.

Rasionalisasi: NSAID bertindak terutama di pinggiran untuk menghambat inisiasi impuls


nyeri. Kecuali kontraindikasi, semua pasien dengan nyeri akut harus menerima ATC non–
opioid. Analgesik regimen harus mencakup non-opioid, bahkan jika sakit cukup berat
sehingga membutuhkan penambahan opioid.

6) Diskusikan ketakutan klien tentang nyeri dibawah kontrol obat, overdosis, dan
kecanduan.

Rasionalisasi: Sejumlah kekhawatiran dapat mempengaruhi kesediaan klien untuk


melaporkan nyeri dan menggunakan analgesik opioid. Karena banyak kesalahpahaman
tentang nyeri dan pengobatan, pendidikan tentang kemampuan untuk mengontrol rasa sakit
secara efektif dan koreksi mitos tentang penggunaan opioid harus dimasukkan sebagai bagian
dari rencana perawatan. Ketergantungan ini sangat tidak mungkin setelah pasien
menggunakan opioid untuk nyeri akut.

7) Ketika opioid yang diberikan, menilai intensitas nyeri, obat penenang dan status
pernafasan secara berkala.
Rasionalisasi: opioid dapat menyebabkan depresi pernafasan karena mereka mengurangi
respon dari kemoreseptor karbon dioksida yang terletak di pusat pernapasan otak .

8) Tinjau lembar catatan klien dan obat klien untuk menentukan tingkat keseluruhan
penghilang rasa sakit, efek samping dan persyaratan analgesik selama 24 jam terakhir.

Rasionalisasi: Pelacakan sistematis rasa sakit tampaknya menjadi faktor penting dalam
meningkatkan manajemen nyeri.

9) Ketika klien mampu mentolerir analgesik oral, mendapatkan resep untuk mengubah
ke rute oral, menggunakan grafik anti nyeri untuk menentukan dosis awal.

Rasionalisasi: Oral lebih disukai karena ini adalah yang paling nyaman dan hemat biaya.
Penggunaan analgesik ketika berpindah dari satu opioid atau rute pemberian yang lain akan
membantu untuk mencegah hilangnya kontrol nyeri karena dosis diturunkan dan efek
samping dari overdosis.

15) Selain penggunaan analgesik, penggunaan dukungan klien metode nonfarmakologi untuk
mengontrol rasa sakit, seperti distraksi, imajinasi, relaksasi, pijat dan sesuatu yang panas dan
dingin.

Rasionalisasi: Strategi kognitif-perilaku dapat mengembalikan rasa klien kontrol diri,


efektivitas pribadi, dan partisipasi aktif dalam perawatan sendiri.

16) Ajarkan dan menerapkan intervensi nonfarmakologis ketika rasa sakit dikendalikan
dengan cukup baik dengan intervensi farmakologis

Rasinalisasi: Intervensi nonfarmakologi harus digunakan untuk melengkapi, bukan


menggantikan intervensi farmakologis.

17) Rencanakan aktivitas perawatan sekitar periode kenyamanan terbaik bila memungkinkan.

Rasionalisasi: Nyeri berkurang saat aktivitas.

18) Minta klien untuk menggambarkan nafsu makan, eliminasi usus, dan kemampuan untuk
beristirahat dan tidur. Memberi obat dan perawatan untuk meningkatkan fungsi-fungsi ini.
Mendapatkan resep untuk stimulan peristaltik untuk mencegah sembelit.

Rasionalisasi: Karena ada variasi individu yang besar dalam pengembangan efek samping
opioid, efek samping ini harus dipantau dan jika perkembangannya tidak bisa dihindari
(misalnya sembelit), dirawat dengan profilaksis. Opioid menyebabkan sembelit dengan
mengurangi peristaltik usus.

1. Cemas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan tentang penyakit.

Tujuan: Cemas hilang/berkurang setelah mendapat tindakan keperawatan.


Kriteria Hasil: Pasien mengungkapkan tingkat kecemasan yang bisa ditoleransi, cukup tidur
dan menunjukkan pengendalian diri terhadap ansietas dengan merencanakan strategi koping
untuk situasi penuh tekanan, mempertahankan performa peran, memantau distorsi persepsi
sensori, memantau manifestasi perilaku ansietas dan menggunakan teknik relaksasi untuk
meredakan ansietas.

Intervensi:

1) Kaji dan dokumentasikan tingkat kecemasan pasien, termasuk reaksi fisik.

2) Gali teknik yang berhasil dan tidak berhasil menurunkan cemas di masa lalu.

3) Pada saat ansietas berat, dampingi pasien, bicara dengan tenang dan berikan
ketenangan serta rasa nyaman.

4) Beri dorongan pada pasien untuk mengungkapkan secara verbal pikiran dan perasaan
untuk mengekternalisasikan ansietas.

5) Sediakan pengalihan melalui TV, radio, permainan serta terapi okupasi untuk
menurunkan ansietas dan memperluas fokus.

6) Sediakan informasi faktual menyangkut diagnosis, terapi dan prognosis.

7) Berikan obat penurun ansietas bila perlu.

1. Resiko cidera berhubungan dengan gangguan sensori persepsi dan kondisi fisik.

Tujuan: Resiko cidera menurun setelah dilakukan tindakan keperawatan.

Kriteria Hasil: Pasien mampu memperlihatkan pengendalian resiko cidera yaitu dengan
memantau faktor resiko perilaku individu dan lingkungan, mengembangkan strategi
pengendalian resiko yang efektif, menerapkan strategi pengendalian resiko pilihan dan
memodifikasi gaya hidup untuk mengurangi resiko.

Intervensi:

1) Identifikasi faktor yang mempengaruhi kebutuhan keamanan, misalnya perubahan


status mental.

2) Identifikasi faktor lingkungan yang memungkinkan resiko jatuh.

3) Orientasikan kembali pasien terhadap realitas dan lingkungan saat ini bila dibutuhkan.

4) Bantu ambulasi pasien bila perlu.

5) Sediakan alat bantu berjalan (seperti tongkat atau walker).

6) Jauhi bahaya lingkungan (misalnya beri pencahayaan yang adekuat).


7) Berikan materi edukasi yang berhubungan dengan strategi dan tindakan untuk
mencegah cidera.

1. Penurunan curah jantung berhubungan dengan hipertrofi ventrikel kiri.

Tujuan: Menunjukkan curah jantung yang memuaskan setelah dilakukan tindakan


keperawatan.

Kriteria Hasil: Pasien akan mempunyai indeks jantung dan fraksi ejeksi dalam batas normal;
haluaran urine, BJ urine, BUN dan kreatinin plasma dalam batas normal; warna kulit normal;
peningkatan toleransi terhadap aktivitas fisik; menggambarkan diet, obat, aktivitas dan
batasan yang diperlukan; mengidentifikasi tanda dan gejala perburukan kondisi yang dapat
dilaporkan.

Intervensi:

1) Kaji dan dokumentasikan tekanan darah, adanya sianosis, status pernapasan dan status
mental.

2) Pantau tanda kelebihan cairan.

3) Kaji toleransi aktivitas pasien dengan memperhatikan adanya awitan napas pendek,
nyeri, palpitasi.

4) Evaluasi respons pasien terhadap terapi O2.

5) Ajarkan untuk melaporkan dan menggambarkan awitan palpitasi dan nyeri, durasi,
faktor pencetus, daerah kualitas dan intensitas.

6) Berikan informasi tentang teknik penurunan stress.

7) Konsultasikan dengan dokter menyangkut parameter pemberian atau penghentian obat


tekanan darah.

1. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelelahan sekunder peningkatan laju


metabolisme tubuh.

Tujuan: Menoleransi aktivitas yang biasa dilakukan setelah dilakukan tindakan keperawatan.

Kriteria Hasil: Pasien mampu menunjukkan toleransi aktivitas dan mendemonstrasikan


penghematan energi.

Intervensi:

1) Kaji tingkat kemampuan pasien untuk berpindah dari tempat tidur, berdiri, ambulasi
dan melakukan AKS dan AKSI.
2) Kaji respons emosi, sosial dan spiritual terhadap aktivitas.

3) Evaluasi motivasi dan keinginan pasien untuk meningkatkan aktivitas.

4) Tentukan penyebab keletihan.

5) Pantau respons kardiorespiratori terhadap aktivitas.

6) Pantau asupan nutrisi untuk memastikan sumber-sumber energi yang adekuat.

7) Instruksikan kepada pasien dan keluarga tindakan untuk menghemat energi, misalnya
menyimpan alat/benda yang sering digunakan di tempat yang mudah dijangkau.

8) Hindari menjadwalkan pelaksanaan aktivitas perawatan selama periode istirahat.

9) Rencanakan aktivitas bersama pasien dan keluarga yang dapat meningkatkan


kemandirian dan ketahanan.

10) Kolaborasikan dengan ahli terapi okupasi, fisik atau rekreasi untuk merencanakan dan
memantau program aktivitas, jika perlu.

Anda mungkin juga menyukai