PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Gigantisme adalah pertumbuhan abnormal terutama dalam tinggi badan (melebihi 2,14 m),
akibat kelebihan growth hormone pada anak sebelum fusi epifise (Brooker, 2009). Hubungan
antara gigantisme dan GH telah diketahui pertama kali sejak tahun 1886 oleh seorang
neurologis Perancis, Piere Marie yang mengatakan sebagai penyakit kronis endokrin.
Onset hipersekresi GH pada kanak-kanak akan menyebabkan terjadinya gigantisme dan bila
onset hipersekresi GH pada usia remaja (setelah penutupan celah efipiseal) akan terjadi
peningkatan tinggi badan dan akromegali (Eugster & Shim M, 2004). Insiden hipersekresi
GH dibagi menjadi dua kategori yaitu primer pada hipofisis dan peningkatan growth
hormone-realising hormone (GHRH) atau disregulasi. Kebanyakan insiden gigantisme karena
adenoma hipofisis yang mensekresis GH atau karena hyperplasia. Gigantisme tampak juga
pada keadaan lain seperti: multiple endocrine neoplasma (MEN) tipe I, Mc Cune-Albright
Syndrome (MAS), neurofibromatosis, sklerosis tuberosistas atau kompleks Carney (Shim,
2004).
Frekuensi gigantisme di Amerika Serikat sangat jarang, diperkirakan ada 100 kasus yang
dilaporkan hingga saat ini. Tidak ada predileksi ras pada gigantisme. Insiden kejadian
gigantisme tidak jelas. Pada orang dewasa kelebihan GH pada perempuan dan laki-laki
adalah sama (Shim, 2004). Gigantisme biasa terjadi di negara Barat karena gigantisme bisa
terdiagnosa secara dini, sedangkan di Afrika, Amerika Selatan dan Asia jarang terdiagnosa
secara dini (Herder, 2008).
B. TUJUAN
1. Tujuan Umum
Mampu memahami konsep dan mengaplikasikan asuhan keperawatan pada pasien yang
menderita gigantisme.
1. Tujuan Khusus
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. KONSEP DASAR
Gigantisme adalah kondisi seseorang yang kelebihan pertumbuhan, dengan tinggi dan
besar yang diatas normal. Gigantisme disebabkan oleh kelebihan jumlah hormon pertumbuhan.
Tidak terdapat definisi tinggi yang merujukan orang sebagai "raksasa." tinggi dewasa.
Gigantisme adalah kondisi seseorang yang kelebihan pertumbuhan, dengan tinggi dan
besar diatas normal yang disebabkan oleh sekresi Growth Hormone (GH) berlebihan dan terjadi
sebelum dewasa atau sebelum proses penutupan epifisis. (Corwin, 2007). Hormone ini
berfungsi untuk memacu pertumbuhan terutama pada peristiwa osifikasi, pada
cakraepifise dan mengatur metabolism lipid dan karbohidrat.
Bila kelebihan hormone ini terjadi pada masa pertumbuhan akan mengakibatkan
pertumbuhan yang tidak terkendali/menjadi lebih cepat. Pertumbuhan yang seperti ini
dikenal dengan gigantisme. Sedangkan bila kelebihan hormone ini terjadi pada masa
dewasa akan mengakibatkan pertumbuhan yang tidak normal pada beberapa bagian
organ tubuh. Hal yang paling terlihat adalah pertumbuhan jari tangan yang tidak normal
seperti membesar seperti bengkak serta raut wajah yang kelihatan lebih tebal kulitnya,
dagu memanjang. Pertumbuhan yang seperti ini dikenal dengan akromegali.
Sekresi GH berlebihan memiliki beberapa penyebab potensial dan dapat terjadi dalam
konteks sejumlah gangguan heterogen. Kasus hipersekresi GH dapat dibagi menjadi dua
ketegori utama yaitu primer pada hipofisis dan peningkatan sekresi growth hormone-
realising hormone (GHRH) atau disregulasi. Kebanyakan insiden gigantisme karena
adenoma hipofisis yang mensekresis GH atau karena hiperplasia. Gigantisme juga
tampak pada keadaan lain seperti multiple endocrine neoplasma (MEN) tipe 1, Mc Cune-
Albright Syndrome (MAS), neurofibromatosis, sklerosis tuberosistas atau kompleks
Carney (Eugster & Pescovitz, 1999)
Sumber
Mekanisme
Kelebihan Konteks Klinis Temuan yang Terkait
Patogenetik
GH
2. Adenoma hipofise:
C. Manifestasi Klinik
Pada pasien gigantisme terjadi pertumbuhan linier yang cepat, wajah kasar, pembesaran
kaki dan tangan. Pada anak muda, pertumbuhan cepat kepala dapat mendahului
pertumbuhan linier dan memiliki masalah penglihatan dan prilaku. Pada kebanyakan
kasus yang terekam, pertumbuhan abnormal menjadi nyata pada masa pubertas.
Jangkung dapat tumbuh sampai ketinggian 8 kaki atau lebih (Behrman, Kliegman &
Arvin, 2000).
Adapun menurut Kowalak (2011) manifestasi klinis pasien dengan gigantisme adalah:
1. Rasa sakit pada punggung, artralgia, dan artritis akibat pertumbuhan tulang yang
cepat.
4. Defisiensi pada sistem hormon yang lain (jika tumor yang memproduksi GH
menghancurkan sel-sel penghasil hormon yang lain).
5. Intoleransi glukosa dan diabetes melitus akibat kerja GH yang merupakan antagonis
insulin.
D. Patofisiologi
Jika adenoma penghasil GH terjadi sebelum lempeng epifisis menutup, seperti pada anak
prapubertas, kadar GH yang berlebihan akan menyebabkan gigantisme. Hal ini ditandai
dengan peningkatan umum ukuran tubuh serta lengan dan tungkai yang memanjang
berlebihan. Penderita gigantisme biasanya berperawakan tinggi lebih dari 2 meter dengan
proporsi tubuh yang normal, hal ini terjadi karena jaringan lunak seperti otot tetap
tumbuh. Gigantisme juga dapat mengalami hiperhidrosis yaitu keadaan dimana
terjadinya hipermetabolisme yang menyebabkan keringat berlebih. Penderita dapat pula
mengalami gangguan penglihatan apabila tumor pada kelenjar hipofisis menekan
chiasma opticum yang merupakan jalur saraf mata. Pembesaran jaringan saraf yang
tertekan juga mengakibatkan terjadinya sensasi kesemutan dan kelemahan pada lengan
dan kaki.
E. Pemeriksaan Diagnostik
Menurut Behrman, Kliegman & Arvin (2000) pemeriksaan penunjang yang perlu
dilakukan untuk menegakkan diagnosa gigantisme adalah:
1. Laboratorium
b. Pengukuran kadar IGF-1 berkisar 2,6-21,7 U/mL (kadar normal: 0,3-1,4 U/mL).
2. Radiologi
F. Komplikasi
1. Diabetes mellitus
GH juga mempengauhi metabolisme karbohidrat. Pada keadaan berlebihan, akan
meningkatkan penggunaan karbohidrat dan mengganggu pengambilan glukosa ke
dalam sel. Resistensi terhadap insulin karena GH tampak berhubungan dengan
kegagalan postreseptor pada kerja insulin. Kejadian ini mengakibatkan intoleransi
glukosa dan hiperinsulinisme sekunder. Intoleransi glukosa dan hiperinsulinisme
terjadi masing-masing pada 50% dan 70% kasus.
Pertumbuhan tulang dan kartilago berlebihan menyebabkan artralgia dan pada kasus
yang sudah berlangsung lama menyebabkan artritis degeneratif pada tulang vertebra,
panggul dan lutut. Bila terjadi hipersekresi GH selama beberapa tahun, terjadilah
komplikasi-komplikasi lanjut, mencakup deformitas kosmetis yang progesif dan
artritus degeneratif yang menimbulkan cacat (yang sering menimbulkan terapi
pembedahan).
4. Kesulitan Psikososial
Tinggi secara ekstrim berhenti menjadi keuntungan dan dapat dianggap sebagai
beban, sehingga baik secara fisik maupun psikologis, cacat. Hal ini mendorong
pengobatan farmakologis remaja yang tinggi dengan steroid seks untuk
mempercepat fusi epifise, sebuah praktik yang telah ada sejak tahun 1950. Gadis
tinggi sering melaporkan kesulitan sosial akibat ukuran mereka, karena tinggi
patologis akibat kelebihan GH jelas jauh melampaui tinggi normal/sehat. Meskipun
tidak ada informasi mendalam mengenai profil psikologis pasien dengan gigantisme,
serangkaian kasus menunjukkan tingginya insiden depresi berat, penarikan sosial
dan rendah diri (Eugster & Pescovitz, 1999).
G. Penatalaksanaan
1. Terapi Pembedahan
Terapi pembedahan adalah cara pengobatan utama pada pasien kelainan GH yang
disebabkan adenoma. Ada 2 jenis terapi pembedahan yaitu:
b. Kraniotomi transfrontal.
Faktor yang mempengaruhi keberhasilan operasi adalah ukuran tumor, kadar hormon
sebelum operasi dan pengalaman dokter bedah. Pada pasien dengan mikroadenoma
(ukuran tumor < 1 cm) angka normalisasi IGF-I mencapai 75-95% kasus, sementara
pada makroadenoma angka normalisasi hormonal 40-68%.
2. Terapi Radiasi
Tidak digunakan sebagai terapi lini pertama karena lamanya rentang waktu
tercapainya terapi efektif sejak pertama kali dimulai. Terapi radiasi dapat dilakukan
dalam 2 cara yaitu:
3. Terapi Medikamentosa
a. Agonis dopamin
b. Analog somatostatin
4. Diet
Perubahan diet perlu dijelaskan kepada pasien dan keluarga karena intoleransi
karbohidrat dapat mengakibatkan DM. Diet DM dapat dipakai sebagai patokan.
Pasien tidak disarankan untuk merokok karena zat racun dalam rokok menghambat
penyerapan nutrisi makanan. Selain itu pasien harus berolahraga secara teratur untuk
menjaga stamina tubuh dan mengendalikan berat badan. Asupan gula dalam
makanan dan minuman harus dikurangi caranya gunakan gula khusus DM. Selain
itu, konsumsi buah-buahan, kurangi porsi makan nasi, dan perbanyak minum air
putih. Aktivitas fisik akan membakar kalori dalam tubuh. Selain itu olahraga dengan
teratur akan menjaga peredaran darah, memperbaiki kerja insulin dan mendorong
terjadinya pembakaran gula dalam darah agar diubah menjadi energi.
(langkahsehat.com/diet-sehat-untuk-penderita-diabetes-melitus).
H. Prognosis
I. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Riwayat Keperawatan
1) Keluhan Utama:
Kapan terjadinya gigantisme, apa yang dirasakan klien dan apa saja yang
sudah dilakukan untuk mengatasi sakitnya.
Adanya riwayat tumor hipofisis atau penyakit lain yang berkaitan dengan
gigantisme.
5) Riwayat psikososial
a) Pemeriksaan Fisik
B1 (Breathing)
2) B2 (Blood)
3) B3 (Brain)
Nyeri kepala, pusing, gangguan penglihatan akibat adanya adenoma.
4) B4 (Bladder)
Glomerulosklerosis.
5) B5 (Bowel)
Pertumbuhan longitudinal yang abnormal, lemah, letargia, hidroporesis, kifosis, artralgia dan
artritis.
2. Diagnosa Keperawatan
4. Resiko cidera berhubungan dengan gangguan sensori persepsi dan kondisi fisik.
3. Intervensi Keperawatan
Tujuan: Pasien mampu menerima dan beradaptasi dengan perubahan struktur tubuh setelah
dilakukan tindakan keperawatan.
Kriteria hasil:
2) Pasien mau bersosialisasi dengan lingkungan sekitar tanpa adanya gangguan citra diri.
Intervensi:
1) Gunakan alat seperti Body Image Instrumen (BII) untuk mengidentifikasi klien yang
memiliki keprihatinan tentang perubahan citra tubuh.
Rasionalisasi: 5 skala BII (penampilan umum, kompetensi tubuh, reaksi lainnya untuk
penampilan, nilai penampilan, dan bagian tubuh) dipamerkan sedang hingga tinggi
reliabilitas internal dan validitas konkuren.
2) Amati mekanisme biasa klien mengatasi selama masa stress yang ekstrim dan
memperkuat penggunaannya dalam krisis saat ini.
Rasionalisasi: Klien shock selama fase akut, dan sistem nilai mereka sendiri harus
dipertimbangkan. Klien sepakat lebih baik dengan perubahan dari waktu ke waktu.
3) Akui penolakan, kemarahan, atau depresi sebagai perasaan normal saat menyesuaikan
diri dengan perubahan dalam tubuh dan gaya hidup.
Rasionalisasi: Perubahan citra tubuh menyebabkan kecemasan. Orang-orang dalam situasi ini
menggunakan berbagai mekanisme koping sadar untuk berurusan dengan citra tubuh mereka
berubah. Mekanisme pertahanan normal, kecuali mereka digunakan sehingga mereka
mengganggu daripada meningkatkan rasa percaya diri.
Rasionalisasi: Hasil dari satu penelitian menunjukkan bahwa pembentukan tubuh laki-
laki beresiko untuk gangguan citra tubuh.
Rasionalisasi: Pasien melaporkan menjaga perasaan mereka kepada diri mereka sendiri
sebagai strategi koping yang sering digunakan.
6) Dorong klien untuk membahas konflik interpersonal dan sosial yang mungkin timbul.
Rasionalisasi: Sebuah persepsi yang baik terhadap citra tubuh yang terbaik dicapai dalam
kerangka sosial yang mendukung. Klien dengan dukungan jaringan sosial yang aktif
cenderung membuat kemajuan yang lebih baik
Rasionalisasi: Hal ini penting bagi klien untuk terlibat dalam perawatan mereka sendiri. Jika
mereka telah menerima informasi tentang citra perubahan tubuh mereka, pengobatan dan
rehabilitasi, mereka akan mampu untuk membuat pilihan mereka sendiri.
8) Dorong klien untuk melanjutkan rutinitas perawatan pribadi yang sama yang diikuti
sebelum perubahan citra tubuh.
1) Tentukan apakah pasien mengalami nyeri pada saat wawancara awal. Jika demikian,
campur tangan pada saat itu untuk memberikan bantuan nyeri.
Rasionalisasi: Intensitas, karakter, onset, durasi, memperparah dan menghilangkan faktor rasa
sakit harus dikaji dan didokumentasikan selama evaluasi awal pasien.
2) Observasi adanya tanda-tanda nyeri baik verbal maupun non verbal, seperti: ekspresi
wajah gelisah, cemas, meringis.
6) Diskusikan ketakutan klien tentang nyeri dibawah kontrol obat, overdosis, dan
kecanduan.
7) Ketika opioid yang diberikan, menilai intensitas nyeri, obat penenang dan status
pernafasan secara berkala.
Rasionalisasi: opioid dapat menyebabkan depresi pernafasan karena mereka mengurangi
respon dari kemoreseptor karbon dioksida yang terletak di pusat pernapasan otak .
8) Tinjau lembar catatan klien dan obat klien untuk menentukan tingkat keseluruhan
penghilang rasa sakit, efek samping dan persyaratan analgesik selama 24 jam terakhir.
Rasionalisasi: Pelacakan sistematis rasa sakit tampaknya menjadi faktor penting dalam
meningkatkan manajemen nyeri.
9) Ketika klien mampu mentolerir analgesik oral, mendapatkan resep untuk mengubah
ke rute oral, menggunakan grafik anti nyeri untuk menentukan dosis awal.
Rasionalisasi: Oral lebih disukai karena ini adalah yang paling nyaman dan hemat biaya.
Penggunaan analgesik ketika berpindah dari satu opioid atau rute pemberian yang lain akan
membantu untuk mencegah hilangnya kontrol nyeri karena dosis diturunkan dan efek
samping dari overdosis.
15) Selain penggunaan analgesik, penggunaan dukungan klien metode nonfarmakologi untuk
mengontrol rasa sakit, seperti distraksi, imajinasi, relaksasi, pijat dan sesuatu yang panas dan
dingin.
16) Ajarkan dan menerapkan intervensi nonfarmakologis ketika rasa sakit dikendalikan
dengan cukup baik dengan intervensi farmakologis
17) Rencanakan aktivitas perawatan sekitar periode kenyamanan terbaik bila memungkinkan.
18) Minta klien untuk menggambarkan nafsu makan, eliminasi usus, dan kemampuan untuk
beristirahat dan tidur. Memberi obat dan perawatan untuk meningkatkan fungsi-fungsi ini.
Mendapatkan resep untuk stimulan peristaltik untuk mencegah sembelit.
Rasionalisasi: Karena ada variasi individu yang besar dalam pengembangan efek samping
opioid, efek samping ini harus dipantau dan jika perkembangannya tidak bisa dihindari
(misalnya sembelit), dirawat dengan profilaksis. Opioid menyebabkan sembelit dengan
mengurangi peristaltik usus.
Intervensi:
2) Gali teknik yang berhasil dan tidak berhasil menurunkan cemas di masa lalu.
3) Pada saat ansietas berat, dampingi pasien, bicara dengan tenang dan berikan
ketenangan serta rasa nyaman.
4) Beri dorongan pada pasien untuk mengungkapkan secara verbal pikiran dan perasaan
untuk mengekternalisasikan ansietas.
5) Sediakan pengalihan melalui TV, radio, permainan serta terapi okupasi untuk
menurunkan ansietas dan memperluas fokus.
1. Resiko cidera berhubungan dengan gangguan sensori persepsi dan kondisi fisik.
Kriteria Hasil: Pasien mampu memperlihatkan pengendalian resiko cidera yaitu dengan
memantau faktor resiko perilaku individu dan lingkungan, mengembangkan strategi
pengendalian resiko yang efektif, menerapkan strategi pengendalian resiko pilihan dan
memodifikasi gaya hidup untuk mengurangi resiko.
Intervensi:
3) Orientasikan kembali pasien terhadap realitas dan lingkungan saat ini bila dibutuhkan.
Kriteria Hasil: Pasien akan mempunyai indeks jantung dan fraksi ejeksi dalam batas normal;
haluaran urine, BJ urine, BUN dan kreatinin plasma dalam batas normal; warna kulit normal;
peningkatan toleransi terhadap aktivitas fisik; menggambarkan diet, obat, aktivitas dan
batasan yang diperlukan; mengidentifikasi tanda dan gejala perburukan kondisi yang dapat
dilaporkan.
Intervensi:
1) Kaji dan dokumentasikan tekanan darah, adanya sianosis, status pernapasan dan status
mental.
3) Kaji toleransi aktivitas pasien dengan memperhatikan adanya awitan napas pendek,
nyeri, palpitasi.
5) Ajarkan untuk melaporkan dan menggambarkan awitan palpitasi dan nyeri, durasi,
faktor pencetus, daerah kualitas dan intensitas.
Tujuan: Menoleransi aktivitas yang biasa dilakukan setelah dilakukan tindakan keperawatan.
Intervensi:
1) Kaji tingkat kemampuan pasien untuk berpindah dari tempat tidur, berdiri, ambulasi
dan melakukan AKS dan AKSI.
2) Kaji respons emosi, sosial dan spiritual terhadap aktivitas.
7) Instruksikan kepada pasien dan keluarga tindakan untuk menghemat energi, misalnya
menyimpan alat/benda yang sering digunakan di tempat yang mudah dijangkau.
10) Kolaborasikan dengan ahli terapi okupasi, fisik atau rekreasi untuk merencanakan dan
memantau program aktivitas, jika perlu.