Anda di halaman 1dari 4

Revolusi Pemasaran Farmasi

Kamis, 30 Oktober 2003


Oleh : Dyah Hasto Palupi

Pertempuran produk farmasi berlangsung habis-habisan. Seluruh energi kini terkuras untuk
menyusun trik pemasaran dan distribusi. Gimmick menjadi alternatif menggaet pasar.

Produsen farmasi kini tak ubahnya penjual jamu. Kendati tidak cuap-cuap di jalan,
kengototannya dalam menjual produk tidak jauh berbeda. Tampaknya, persaingan telah
mendorong produsen mengumbar produk secara lantang. Soal khasiat, manfaat, atau masalah
etika, urusan belakang. “Yang penting, kami mendapatkan pangsa pasar 5% saja sudah
bagus,” ujar seorang manajer produk analgesik yang tak mau disebutkan namanya.

Obat analgesik yang dijual bebas (over the counter/OTC) memang termasuk belantara yang
paling lebat penghuninya. Menurut Elsia Chandrawati, Manajer Pemasaran Sterling Products
Indonesia (SPI) “Glaxo Smith Kline, saat ini tidak kurang 140 merek produk analgesik
beredar di pasar. Dengan pertumbuhan volume 2,3% per tahun, diperkirakan total pasar
produk analgesik di Indonesia tahun 2002 mencapai Rp 940 miliar dengan total volume yang
dikonsumsi sebanyak 2,8 miliar tablet.”

Pertumbuhan industri farmasi secara keseluruhan tak kalah istimewa. Gambaran yang
diberikan M. Sjamsul Arifin, Sekjen Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia, tahun 2003
total pasar farmasi diperkirakan mencapai Rp 18 triliun, atau naik sekitar 15% dari tahun
2002 yang sebesar Rp 15,6 triliun. Kenaikan ini masih kalah jauh dari peningkatan tahun
2002 yang mencapai 23,6% dibanding 2001. “Industri farmasi memang masih sangat
menjanjikan bersamaan dengan kesadaran masyarakat menjaga kesehatan yang semakin
tinggi,” ujar Sjamsul meyakini.

Di satu sisi, bergairahnya industri farmasi jelas menggembirakan konsumen yang makin
peduli kesehatan. Namun di sisi lain, situasi itu menimbulkan persaingan yang sangat ketat.
Digambarkan Elsia, saking jenuhnya pasar analegesik, pihaknya yang menerbitkan Panadol
harus benar-benar menyiasati dengan trik pemasaran jitu. “Faktor 4-P harus menjadi kunci
pemasaran kami,” ujarnya. “Kami terus melihat peluang-peluang yang bisa dikembangkan,”
ujarnya lagi.

Panadol, misalnya, sejak 1997 terus diinovasi. Mula-mula dengan mengganti kemasannya
agar terlihat lebih modern, berikutnya, demi memperkuat ekuitas merek, variannya ditambah.
Karena selama ini konsumen menganggap Panadol terlalu lembut sebagai obat sakit kepala,
dikembangkan Panadol Extra dalam kemasan merah. “Konsumen tidak hanya ingin obat yang
aman, tapi juga yang bisa bekerja keras,” kata Elsia. Pihaknya menambah komposisi
parasetamol 500 dengan kafein 65 mg. Selain itu, untuk mengisi ceruk pasar dan ekstensi
produk, diluncurkan Panadol Cold & Flu, dan tahun 2002 dikembangkan Panadol untuk anak:
Panadol Drops, Panadol Syrup, dan Panadol tablet kunyah rasa ceri. “Kami mencoba agresif
mengembangkan produk,” tambahnya.

Hasil kerja keras Panadol lumayan berarti. Data Audit Ritel ACNielsen di 12 kota besar di
Indonesia selama Juni-Juni 2003, menunjukkan peningkatan performanya. Paramex
(Konimex) masih menonjol dengan penguasaan pasar 28%, disusul Bodrex (19%), Panadol
(untuk dewasa) 15%, serta Oskadon dan Bintang Toedjoe (masing-masing 11%).
Pembagian porsi pasar yang seperti itu jauh lebih bagus ketimbang di kategori ethical.
Menurut Sjamsul, pemimpin pasar di kategori ethical paling tidak hanya menguasai 10%
pangsa pasar. Jumlah pemain yang sangat banyak menjadikan persaingan sangat ketat.

Padahal, pemasaran obat-obat ethical jauh lebih rumit ketimbang OTC. Di kategori ini
dibutuhkan pendekatan personal kepada pihak dokter, apotek atau rumah sakit. Karena itu,
Sjamsul menduga, harga jual obat ethical jauh lebih tinggi ketimbang obat OTC akibat
mekanisme pasar yang terbentuk. “Mata rantai pemasaran obat ethical menjadi sangat
panjang,” ujarnya.

Vinjongtius, Direktur Sekretaris Korporat PT Kalbe Farma, Tbk., menolak jika disebutkan
penyebab mahalnya harga obat ethical adalah mekanisme yang panjang. Menurutnya, obat
ethical sudah memiliki media tersendiri untuk berpromosi. “Banyak sekali majalah atau jurnal
yang ditujukan untuk kepentingan medis yang dapat dimanfaatkan untuk promosi obat
ethical,” ungkap Vinjongtius tentang jurnal/majalah yang hanya bisa dimengerti oleh mereka
yang bergelut di dunia medis dan farmasi. Contohnya, Majalah Cermin Dunia Kedokteran
yang diterbitkan Kalbe Farma untuk kalangan tertentu. Di majalah itu, obat ethical bisa
berpromosi, tentang formula, khasiat, efek samping, cara kerja hingga cara penggunaannya.

Selain muncul di majalah khusus, pemasaran obat ethical paling lazim dilakukan melalui
medical representative. Tim med-rep ini, dengan dibekali pengetahuan produk secara reguler,
diwajibkan mengunjungi dokter dan rumah sakit. Biasanya, sebelum turun ke lapangan,
mereka mendapatkan pelatihan tentang pengetahuan produk dan bagaimana berkomunikasi
dalam bahasa promosi. “Tim med-rep adalah karyawan tetap Kalbe Farma, agar kami bisa
mengelola performa dan kinerja mereka,” ungkap Vinjongtius. Pemberian status karyawan
tetap ini, dijelaskannya, merupakan salah satu alat meminimalkan tindakan-tindakan yang
melanggar kode etik.

Bukan rahasia lagi, di tingkat penjualan oleh med-rep ini sering terjadi hal yang melanggar
etika. Seperti, pemaksaan terhadap dokter serta bonus dan insentif buat
dokter di luar batas kewajaran. Ini menjadi peluang perang
antarprodusen. “Sering kami harus saling menjegal agar produk kami
aman sampai ke tangan dokter,” ujar sumber SWA . Baginya, upaya
semacam itu sah, karena sebaliknya dokter juga memberi peluang
yang sama. “Perang di sini memang sudah sampai tahap memuakkan.
Produsen obat dan dokter/rumah sakit, sama-sama saling mendukung
dan memengaruhi,” katanya lagi .
Praktik menarik sering pula muncul di berbagai kegiatan, seperti seminar, reuni alumni
kedokteran/farmasi, dan simposium. Kasusnya sama saja, perang mendapat sponsor dan
publikasi. Umumnya, produsen yang nekat berani menawarkan hadiah-hadiah menggiurkan,
hingga jalan-jalan ke luar negeri. “Kalau modal produsen cekak, jangan harap bisa
berpartisipasi dalam acara seperti ini,” ujar sumber SWA pesimistis.

Persoalannya, dengan rawannya proses promosi obat ethical selama


ini, sampai batas mana promosinya dibenarkan? Menurut Sjamsul,
situasi akan semakin gawat jika UU Sosial Asuransi Kesehatan
diberlakukan. Pasalnya, dengan adanya UU itu, bukan hanya para
dokter/rumah sakit yang harus didekati secara personal, tapi juga
pihak asuransi. “Bisa dibayangkan, bagimana jadinya itu nanti,” kata
Sjamsul yang membayangkan keuntungan produsen farmasi bakal
menipis lagi. Saat ini saja, rata-rata margin yang diambil produsen
ethical sebesar 45%. Namun, karena biaya pemasaran juga besar,
35%-40%, berarti keuntungan bersih tak lebih dari 5%. “Kalau ada
pihak asuransi, entah bagaimana lagi jadinya,” ujarnya. Sjamsul
melihat, bisa jadi akan muncul efek lain, yakni pihak asuransi yang
kuat (memonopoli) akan sangat menentukan sehat-tidaknya
persaingan antarpemain di industri farmasi.
Dengan demikian, Sjamsul meyakini, ke depan, kiprah obat OTC justru lebih menjanjikan.
Dengan biaya pemasaran yang relatif lebih wajar, kemungkinan meraih keuntungan dari
volume yang besar jauh lebih menarik ketimbang obat ethical. “Walaupun marginnya kecil,
volume OTC jauh lebih besar,” tandasnya.

Potensi besar ini sudah disadari banyak produsen farmasi. Kini, hampir semua produsen
farmasi giat mengembangkan produk baru. Termasuk, produsen konvensional seperti PT
Phapros, Semarang. Yang terbaru, tidak mau kalah dari Pfizer yang memproduksi Viagra
ataupun Bintang Toedjoe yang menerbitkan Irex, Phapros sejak Agustus lalu juga mulai
penetrasi dengan X-Gra.

Joko Triyono, Direktur Pemasaran PT Phapros, tidak berkenan produknya disejajarkan


dengan Viagra, X-Gra, Hormoviton, atau bahkan Kuku Bima. “X-Gra diproduksi dari
kandungan alami (pasak bumi) murni. Tidak ada kandungan kimiawinya,” tegasnya.

X-Gra, menurutnya, diposisikan sebagai obat ilmiah. Karena itu, Joko tidak ingin berpromosi
jorjoran, tetapi secara bertahap. “Kami ingin menjaga bahwa bukan mitos yang didahulukan.
Kalau itu yang dilakukan, tidak akan ada pembelajaran,” jelasnya.

Apa pun alasannya, sesungguhnya, yang penting bagaimana produsen memanfaatkan


momentum pasar yang berkembang. Meskipun Phapros mengaku ingin mengedukasi pasar
secara perlahan-lahan, ia tetap membutuhkan target penjualan. Saat ini, nilai volume
penjualan X-Gra baru Rp 4,5 miliar/tahun. Sampai akhir 2003, jumlah produksinya
ditargetkan sebanyak 60 ribu boks. Lalu, dengan kondisi seperti ini, bagaimana mau bergerak
perlahan-lahan?

Banyak produsen yang memilih jalan revolusi yang lebih berani untuk mengejar target
penjualan. Yakni, menjalankan trik pemasaran dan distribusi, disertai gimmick yang memikat
konsumen. SPI, umpamanya, upayanya untuk meraih pasar patut diacungi jempol. Selain
mengembangkan produk, dari sisi promosi juga terlihat peningkatan fantastis. Menurut Elsia,
sejalan dengan penambahan produk, pihaknya juga meningkatkan anggaran promosi. “Tahun
ini tak kurang Rp 18 miliar untuk promosi semua produk Panadol,” ujarnya. Promosi besar-
besaran dilakukan saat peluncuran kembali Panadol Extra yang menghabiskan anggaran Rp
10 miliar. Selain beriklan secara above the line, gebrakan below the line juga
dilaksanakannya, seperti in store promotion dan promosi ke dokter. “Tujuannya, supaya
konsumen cepat mengerti,” jelas Elsia.
Yang menarik, Panadol kini memperkuat barisan distribusi ke warung-warung. Setelah
menguasai jalur distribusi supermarket dan minimarket sebesar 43%, apotek 32%, dan toko
obat 27%, giliran warung-warung menjadi prioritasnya. Rencananya, SPI menggandeng
distributor lain, selain PT Anugerah Pharmindo Lestari. Yang sekarang mulai terlihat, papan
iklan Panadol banyak terpajang di warung-warung di pelosok kota. “Kami sedang menyusun
strategi menggarap warung, meskipun investasinya mahal sekali,” tekad Elsia yang
menargetkan pertumbuhan Panadol mencapai 30% tahun 2003 (sekitar 197 juta tablet) dan
mampu menyodok Bodrex.

Bagi produsen farmasi, salah satu daya tarik menggaet konsumen adalah dengan memberikan
gimmick. Itulah yang dilakukan Hemaviton, Bodrex, atau Grup Bintang Toedjoe. Ketiga
produsen ini sangat cerdik membuat gebrakan-gebrakan yang menggairahkan pasar. Bodrex,
umpamanya, melakukan tur promosi ke daerah-daerah dengan tema Barisan Keluarga
Bodrex. Melalui endorser Dede Jusuf, Bodrex berusaha menancapkan citranya sebagai obat
sakit kepala pilihan. Extra Joss, apalagi. Meskipun bukan termasuk kategori farmasi,
langkahnya menginspirasi produsen farmasi melakukan hal serupa, misalnya dengan
membangun tema-tema berhadiah yang melibatkan masyarakat luas.

Joko menganggap, persaingan ketat yang terjadi masih merupakan sesuatu yang kondusif.
Asalkan tidak menyimpang dari aturan main, atau melakukan monopoli, menurutnya, sah-sah
saja. Saling intip pesaing, bagi dia, merupakan hal yang wajar yang pasti dilakukan semua
produsen farmasi. “Yang penting, jangan sampai overclaim terhadap indikasi obat hingga
merugikan konsumen,” pesannya.

Reportase: Taufik Hidayat, A. Mohammad B.S. dan Tutut Handayani.

Anda mungkin juga menyukai