Anda di halaman 1dari 35

MAKALAH

ASUHAN KEPERAWATAN PADA TN. D


DENGAN GANGGUAN SISITEM RESPIRASI BRONKOPNEUMONIA
DIRUANG KANA RUMAH SAKIT HASAN SADIKIN BANDUNG

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 5
Astrid Carolline 4006180032 Anggota Tim
Arie Gustian 4006180044 Anggota Tim
Dwi Madya Nur Rudya 4006180039 Anggota Tim
Eka Yuliana 4006180004 Anggota Tim
Nadya Ima Mustika 4006180054 Anggota Tim
Nely Ismayanti 4006180054 Anggota Tim
Lusi Aprianti 4006180031 Anggota Tim
Sri Nur Indah Octavia 4006180055 Anggota Tim
Yudi Junaedi 4006180035 Anggota Tim
Yuliska Sari Dewi 4006180024 Anggota Tim
Nugraha Adi Ramdani 4006180009 Anggota Tim

PROGRAM PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
DHARMA HUSADA BANDUNG
2019
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang dengan
izin, rahmat, dan karunia-Nya, akhirnya penulis bisa menyelesaikan makalah
dengan judul “Asuhan Keperawatan Pada Tn. D Dengan Gangguan Sisitem
Respirasi Bronkopneumonia”. Sholawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi
Muhammad SAW, keluarganya, sahabatnya dan seluruh pemeluk agamanya.
Selama proses penyelesaian makalah ini tidak terlepas dari peran dan
dukungan dari orang-orang terbaik yang telah memberikan sumbangan baik
pikiran, bimbingan, pengarahan maupun dorongan semangat. Oleh karena itu,
secara khusus penulis sampaikan terima kasih kepada pihak yang terkait dalam
penyusunan makalah ini.
Semoga segala bantuan dan dukungan yang diberikan kepada kami,
mendapat imbalan yang berlipat dari Allah Subhanahu Wata’ala. Penulis menyadari
bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan yang mungkin
terdapat pada makalah ini. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun
sangat diharapkan untuk perbaikan di masa yang akan datang.
Besar harapan penulis makalah ini dapat bermanfaat untuk penulis
khususnya, serta bagi masyarakat pada umumnya. Semoga Allah SWT meridoi dan
dijadikan sebagai suatu bentuk amal ibadah. Amin

Bandung, Januari 2019

Penulis
Kelompok 5
DAFTAR ISI

COVER ............................................................................................................
KATA PENGANTAR .....................................................................................
DAFTAR ISI ....................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................
A. Latar Belakang ...................................................................................
B. Tujuan ................................................................................................
BAB II TINJAUAN PUSTAKA......................................................................
A. Bronkopneumia ..................................................................................
B. Sepsis .................................................................................................
BAB III KASUS ASUHAN KEPERAWATAN .............................................
A. Pengkajian ..........................................................................................
B. Pemeriksaan dan Penatalaksanaan .....................................................
C. Analisa Data .......................................................................................
D. Diagnosa Keperawatan ......................................................................
E. Rencana Asuhan Keperawatan ..........................................................
F. Implementasi Keperawatan ................................................................
G. Catatan Perkembangan.......................................................................
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sepsis merupakan suatu keadaan darurat medis. Penanganan sepsis secara
dini akan menghemat biaya dan mengurangi jumlah hari pelayanan rawat inap
dan rumah sakit bagi pasien. Namun seringkali sepsis terlambat terdignosa
karena gejala klinis dan tanda laboratorium yang saat ini digunakan tidak cukup
spesifik. Sepsis kurang dikenali dan dipahami karena definisinya yang
membingungkan, kurangnya dokumentasi sepsis sebagai penyebab kematian,
alat diagnostik yang tidak memadai, dan aplikasi yang tidak konsisten dari
pedoman klinis standar untuk mengobati sepsis.
Sepsis merupakan kondisi yang masih menjadi masalah kesehatan dunia
karena pengobatannya yang sulit sehingga angka kematiannya cukup tinggi.
Penelitian yang dilakukan di Inggris pada tahun 2001 sampai dengan tahun 2010
oleh Mc. Pherson et al. (2013) menyatakan bahwa 1 dari 20 kematian yang
terjadi di Inggris diakibatkan oleh sepsis, dengan prevalensi kejadian sebesar
5,5% untuk wanita dan 4,8% untuk pria. Angka kejadian sepsis yang dilaporkan
di Amerika tercatat 750.000 setiap tahunnya dan kematian sekitar 2% kasus
terkait dengan kejadian severe sepsis (Angus & Poll, 2013).
Sepsis berat merupakan penyebab kematian utama di Amerika Serikat dan
merupakan penyebab kematian tersering pada pasien kritis di non-coronary
Intensive Care Unit (ICU). Insidensi sepsis berat diperkirakan mencapai 300
kasus per 100.000 populasi di Amerika Serikat dan setengah dari kasus tersebut
terjadi di luar ICU. Seperempat dari total pasien yang mengalami sepsis berat.
akan meninggal selama perawatan, sedangkan syok septik dihubungkan dengan
angka kematian yang tinggi yaitu mencapai 50%. Hampir sebagian besar
permasalahan akibat sepsis terjadi di negara berkembang, dimana sekitar dua
pertiga populasi dunia berada (WHO, 2011).
Penelitian yang dilakukan pada pasien sepsis berat di 150 unit pelayanan
intensif (ICU) di 16 negara Asia didapatkan hasil angka mortalitas di rumah sakit
mencapai 44,5%. Dalam penelitian di sebuah rumah sakit pendidikan di
Yogyakarta, Indonesia, ada 631 kasus sepsis pada tahun 2007, dengan angka
kematian sebesar 48,96%.
Terdapat faktor - faktor yang mempengaruhi perjalanan penyakit sepsis
sehingga bisa berkembang menjadi sepsis berat bahkan syok, diantaranya adalah
faktor klinis (usia, jenis kelamin, fokus infeksi, dan skor APACHE II), hitung
jumlah darah lengkap (hitung leukosit termasuk diferensiasi subtipe dan
penghitungan band, hemoglobin, hematokrit, dan trombosit) dan hasil
pemeriksaan laboratorium lainnya (kadar laktat serum, glukosa, transaminase
liver, bilirubin, dan kreatinin), kondisi hemodinamik (tekanan darah sistolik dan
denyut jantung), parameter respiratorik (laju pernafasan dan PaO2/FiO2),
urinalisis (total keluaran urin), serta penyakit – penyakit komorbid (hipertensi,
diabetes, gagal ginjal kronik, dan keganasan). Selain faktor – faktor diatas, hal
yang penting lainnya adalah bahwa semua pasien yang kemungkinan menderita
sepsis harus dilakukan kultur darah yang sangat berguna untuk mempersempit
pemilihan antibiotik dan dapat mengungkap sebab dari kegagalan terapi.
Bronkopneumonia merupakan radang yang menyerang paru-paru dimana
daerah konsolidasi atau area putih pada paru-paru terdapat cairan atau seluler
yang tersebar luas disekitar bronkus dan bukan bercorak lobaris (Wijaya & Putri,
2013). Bronkopneumonia dapat dijumpai pada bayi dan anak dibawah usia 6
tahun. Istilah untuk Bronkopneumonia digunakan dalam menggambarkan
pneumonia yang mempunyai pola penyebaran berbercak, teratur dalam satu atau
lebih area terlokalisasi di dalam bronki dan meluas ke parenkim paru (Smeltzer
& Bare, 2013).
Menurut penelitian Johnson et al., 2008, di Nigeria dari 419 orang dewasa,
234 (72,4%) mengalami Bronkopneumonia. Menurut WHO (World Health
Organization), kasus bronkopneumonia merupakan penyebab kematian terbesar
di seluruh dunia. Bronkopneumonia membunuh 920.136 orang dewasa rata-rata
pada usia diatas 23 tahun (WHO, 2015). Angka prevalensi bronkopneumonia di
Indonesia, pada orang dewasa adalah 18,5% dari jumlah penduduk Indonesia
(Riskesdas, 2013). Menurut Dinas Kesehatan Bandung tahun 2013, cakupan
penemuan kasus bronkopneumonia pada balita tahun 2013 sebesar 22,5 masih
diatas tahun 2012 namun masih dibawah angka tahun 2010 sebesar 74,46%.
Masalah keperawatan yang lazim muncul pada orang yang mengalami
Bronkopneumonia yaitu gangguan pertukaran gas, ketidakefektifan bersihan
jalan napas, ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh, intoleransi
aktivitas, dan resiko ketidakseimbangan elektrolit (Nurarif & Kusuma, 2015).
Proses peradangan dari proses penyakit bronchopneumonia menimbulkan
manifestasi klinis yang ada sehingga muncul beberapa masalah dan salah
satunya adalah gangguan pertukaran gas. Gangguan pertukaran gas adalah
kelebihan atau kekurangan oksigenasi dan atau eliminasi karbondioksida pada
membran alveolus-kapiler (PPNI, 2017).

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas dapat dirumuskan masalah
“Bagaimanakah asuhan keperawatan pada pasien dengan diagnosa medis
bronkopneumonia dan sepsis?”.
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
TIC (Tutorial In Clinic) ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana asuhan
keperawatan pada pasien dengan diagnosa medis bronkopneumonia dan
Sepsis
2. Tujuan Khusus
Secara khusus tujuan dari TIC (Tutorial In Clinic) ini adalah untuk:
a. Mengidentifikasi data subjektif dan data objektif pada pasien dengan
diagnosa medis sepsis, bronkopneumonia.
b. Mengidentifikasi dan menentukan diagnosa keperawatan yang muncul
pada pasien dengan diagnosa medis sepsis, bronkopneumonia.
c. Menentukan intervensi keperawatan yang tepat pada pasien dengan
diagnosa medis sepsis, bronkopneumonia.
d. Melakukan implementasi keperawatan yang komprehensif pada pasien
dengan diagnosa medis sepsis, bronkopneumonia.
e. Mengevaluasi dan mengobservasi respon pasien terhadap tindakan
keperawatan dengan diagnosa medis sepsis, bronkopneumonia.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

I. BRONKOPNEUMIA
A. Pengertian
Bronkopneumia disebut juga pneumonia loburalis yaitu suatu peradangan
pada parenkim paru yang terlokalisir yang biasanya mengenai bronkiolus dan
juga mengenai alveolus disekitarnya, yang disebabkan oleh bermacam-macam
etiologi sperti bakteri, virus, jamur, dan benda-benda asing (Bennete, 2013).
Bronkopneumonia disebut juga pneumonia lobularis yaitu suatu
peradangan pada parenkim paru yang terlokalisir yang biasanya mengenai
bronkiolus dan juga mengenai alveolus disekitarnya, yang sering menimpa anak-
anak dan balita, yang disebabkan oleh bermacammacam etiologi seperti bakteri,
virus, jamur dan benda asing. Kebanyakan kasus pneumonia disebabkan oleh
mikroorganisme, tetapi ada juga sejumlah penyebab non infeksi yang perlu
dipertimbangkan. Bronkopneumonia lebih sering merupakan infeksi sekunder
terhadap berbagai keadaan yang melemahkan daya tahan tubuh tetapi bisa juga
sebagai infeksi primer yang biasanya kita jumpai pada anak-anak dan orang
dewasa (Bradley et.al., 2011).
Bronkopneumonia adalah peradangan pada parenkim paru yang
melibatkan bronkus atau bronkiolus yang berupa distribusi berbentuk bercak-
bercak (patchy distribution). Pneumonia merupakan penyakit peradangan akut
pada paru yang disebabkan oleh infeksi mikroorganisme dan sebagian kecil
disebabkan oleh penyebab non-infeksi yang akan menimbulkan konsolidasi
jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat (Bradley et.al., 2011).
Pneumonia merupakan penyakit infeksi saluran napas bawah akut pada
parenkim paru. Pneumonia disebabkan oleh mikroorganisme seperti bakteri,
virus, jamur, dan parasit (PDPI, 2014; Djojodibroto, 2009). Peradangan pada
paru yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis tidak dikategorikan ke
dalam pneumonia (Dahlana, 2014).
B. Etiologi
Sebagian besar penyebab bronkopneumonia adalah mikroorganisme
(virus, bekteri, jamur), dan sebagian kecil oleh penyebab lain seperti
hidrokarbon (minyak tanah, bensin, atau sejenisnya) dan masuknya makanan,
minuman, susu, isi lambung kedalam saluran pernafasan (aspirasi). Berbagai
penyebab bronkopneumonia tersebut dikelompokan berdasarkan golongan
umur, berat ringannya penyakit dan penyulit yang menyertainya (komplikasi).
Mkroorganisme tersering sebagai penyebab bronkopneumonia adalah virus dan
bakteri yaitu Diplococcus pneumonia, Streptococcus pneumonia, Virus
Influenza. Awalnya, mikroorganisme masuk melalui percikan ludah (droplet),
kemudian terjadi penyebaran mikroorganisme dari saluran nafas bagian atas ke
jaringan (parenkim) paru dan sebagian kecil karena penyebaran melalui aliran
darah (Misnadiarly, 2008).
Menurut Mansjoer (2008), etiologi terjadinya pneumonia diantaranya:
1. Bakteri
a. Pneumotorakokus, merupakan penyebab utama pneumonia. Pada orang
dewasa umumnya disebabkan oleh pneumokokus serotype 1 sampai
dengan 8. Sedangkan pada anak-anak serotype 14, 1, 6, dan 9. Insiden
meningkat pada usia lebih kecil 4 tahun dan menurun dengan
meningkatnya umur.
b. Steptokokus, sering merupakan komlikasi dari penyakit virus lain, seperti
mobildan varisela atau komlikasi penyakit kuman lainnya seperti pertusis,
pneumonia oleh pnemokokus.
c. Himiphilus influenza, pneumokokus aureginosa, tuberculosa.
d. Streptokokus, lebih banyak pada anak-anak dan bersifat progresif, resisten
terhadap pengobatan dan sering menimbulkan komplikasi seperti: abses
paru, empiema, tension pneumotoraks.
2. Virus
Virus respiratory syncytial, virus influenza, virus adeno, virus sistomegalik.
3. Aspirasi
Makanan, pada tetanus neonatorum, benda asing, koreson.
4. Pneumonia hipostatik
Penyakit ini disebabkan tidur terlentang terlalu lama, missal pada anak sakit
dengan kesadaran menurun.
5. Jamur
Histoplasmamosis capsultatum candi dan abicans, biastomokasis, kalsedis
mikosis, aspergilosis dan aktino mikosis.

C. Tanda dan Gejala


Menurut Arief Mansjoer (2008), manisfestasi klinis secara umum dapat
dibagi menjadi:
1. Manifestasi nonspesifik infeksi dan toksisitas berupa demam, sakit kepala,
iritabel, gelisah, malaise, nafsu makan kurang, keluhan
2. gastrointestinal.
3. Gejala umum pernafasan bahwa berupa batuk buruk, ekspektorasi sputum,
cuping hidung, sesak, sianosis.
4. Tanda pneumonia berupa peningkatan frekuensi nafas, suara nafas
melemah, ronchi, wheezing.
5. Tanda empiema berupa perkusi pekak, nyeri dada, kaku kuduk, nyeri
abdomen.
6. Infeksi ekstrapulmonal.

D. Patofisiologi
Sebagian besar penyebab dari brnkopneumonia ialah mikroorganisme
(jamur, bakteri, virus) dan sebagian kecil oleh penyebab lain seperti hidrokarbon
(bensin, minyak tanah, dan sejenisnya). Awalnya mikroorganisme masuk
melalui percikan ludah (droplet) infasi ini dapat masuk ke saluran pernafasan
atas dan menimbulkan reaksi imonologis dari tubuh. Reaksi ini menyebabkan
peredangan, dimana ketika terjadi peradangan ini tubuh dapat menyesuaikan diri
maka timbulah gejala demam pada penderita.
Reaksi peradangan ini dapat menimbulkan secret. Semakin lama secret
semakin menumpuk di bronkus maka aliran bronkus menjadi semakain sempit
dan pasien dapat merasa sesak. Tidak hanya terkumpul di bronkus, lama
kelamaan secret dapat sampai ke alveolus paru dan mengganggu sistem
pertukaran gas di paru.
Tidak hanya menginfeksi saluran nafas, bakteri ini juga dapat menginfeksi
saluran cerna ketika ia terbawa oleh darah. Bakteri ini dapat membuat flora
normal dalam usus menjadi agen pathogen sehingga timbul masalah GI tract.
Dalam keadaan sehat, pada paru tidak akan terjadi pertumbuhan
mikroorganisme. Keadaan ini disebabkan adanya mekanisme pertahanan paru.
Terdapatnya bakteri di dalam paru menunjukkan adanya gangguan daya tahan
tubuh, sehingga mikroorganisme dapat berkembang biak dan mengakibatkan
timbulnya infeksi penyakit. Masuknya mikroorganisme ke dalam saluran nafas
dan paru dapat melalui berbagai cara, antara lain inhalasi langsung dari udara,
aspirasi dari bahanbahan yang ada di nasofaring dan orofaring serta perluasan
langsung dari tempattempat lain, penyebaran secara hematogen. Mekanisme
daya tahan traktus respiratorius bagian bawah sangat efisien untuk mencegah
infeksi yang terdiri dari susunan anatomis rongga hidung, jaringan limfoid di
nasofaring, bulu getar yang meliputi sebagian besar epitel traktus respiratorius
dan sekret lain yang dikeluarkan oleh sel epitel tersebut. Reflek batuk, refleks
epiglotis yang mencegah terjadinya aspirasi sekret yang terinfeksi. Drainase
sistem limfatis dan fungsi menyaring kelenjar limfe regional.
Fagositosis, aksi limfosit dan respon imunohumoral terutama dari IgA.
Sekresi enzim – enzim dari sel-sel yang melapisi trakeo-bronkial yang bekerja
sebagai anti mikroba yang non spesifik. Bila pertahanan tubuh tidak kuat maka
mikroorganisme dapat melalui jalan nafas sampai ke alveoli yang menyebabkan
radang pada dinding alveoli dan jaringan sekitarnya.
Setelah itu mikroorganisme tiba di alveoli membentuk suatu proses
peradangan yang meliputi empat stadium, yaitu :
1. Stadium (4–12 jam pertama/ kongesti)
Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang
berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan
peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi.
Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari
sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan.
Mediator-mediator tersebut mencakup histamin dan prostaglandin.
Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen. Komplemen
bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot
polos vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru. Hal ini
mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang interstisium
sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus.
Penimbunan cairan diantara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang
harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida, sehingga mempengaruhi
perpindahan gas dalam darah dan sering mengakibatkan penurunan saturasi
oksigen hemoglobin.
2. Stadium II (48 jam berikutnya)
Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah
merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu (host) sebagai bagian
dari reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena adanya
penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga warna paru menjadi
merah dan pada perabaan seperti hepar, pada stadium ini udara alveoli tidak
ada atau sangat minimal sehingga anak akan bertambah sesak, stadium ini
berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48 jam.
3. Stadium III (3–8hari)
Disebut hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih
mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin
terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa
sel. Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi, lobus masih tetap
padat karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu
dan kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti.
4. Stadium IV (7–11hari)
Disebut juga stadium resolusi yang terjadi sewaktu respon imun dan
peradangan mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi oleh
makrofag sehingga jaringan kembali ke strukturnya semula

E. Komplikasi
Pneumonia biasanya dapat obati dengan baik tanpa menimbulkan
komplikasi. Bagaimanapun, komplikasi dapat terjadi pada beberapa pasien
terutama penderita yang termasuk ke dalam kelompok resiko tinggi (faktor
risiko):
1. Akumulasi cairan
Cairan dapat menumpuk diantara pleura dan bagian bawah dinding dada
(disebut efusi pleura) dan dapat pula terjadi empiema. Chest tube (atau
drainage secara bedah) mungkin dibutuhkan untuk mengeluarkan cairan.
2. Abses
Pengumpulan pus (nanah) pada area yang terinfeksi pneumonia disebut
dengan abses. Biasanya membaik dengan terapi antibiotik, namun meskipun
jarang terkadang membutuhkan tindakan bedah untuk membuangnnya.
3. Bakteremia
Banteremia muncul bila infeksi pneumonia menyebar dari paru masuk ke
peredaran darah. Ini merupakan komplikasi yang serius karena infeksi dapat
menyebar dengan cepat melaui peredaran darah ke organ-organ lain.
4. Kematian
Walaupun sebagian besar penderita dapat sembuh dari pneumonia, pada
beberapa kasus dapat menjadi fatal. Kurang dari 3 % penderita yang dirawat
di rumah sakit dan kurang dari 1 % penderita yang dirawat di rumah
meninggal dunia oleh peneumonia atau komplikasinya.
F. Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan penderita pneumonia adalah menghilangkan
infeksi dan mencegah terjadinya komplikasi akibat infeksi tersebut.
Penatalaksanaan pneumonia didasarkan kepada organisme apa yang
menyebabkan pneumonia tersebut (disebut engan terapi empirik). Kebanyakan
penderita membaik dengan terapi empirik ini.
Kebanyakan pasien dengan pneumonia ditatalaksana di rumah dengan
pemberian antibiotik-antibiotik oral. Penderita dengan faktor resiko untuk
menjadi lebih berat dapat ditatalaksana dengan perawatan di rumah sakit.
Monitoring di rumah sakit termasuk kontrol terhadap frekuensi denyut jantung
dan pernafasan, temperatur, dan oksigenisasi. Penderita yang dirawat di rumah
sakit biasanya diberikan antibiotik intravena dengan dosis dan pemberian yang
terkontrol. Lamanya hari perawatan di rumah sakit sangat bervariasi tergantung
bagaimana respon penderita terhadap pengobatan, apakah ada penyakit
penyerta/ sebelumnya, dan apakah ada masalah-masalah medis lainnya yang
dapat memperberat pneumonia yang dideritanya. Beberapa penderita, termasuk
penderita yang sebelumnya menderita kerusakan paru atau penyakit paru berat
lainnya, penderita dengan imunitas menurun, atau penderita dengan pneumonia
yang mengenai lebih dari 1 lobus (disebut multilobar pneumonia), dapat lebih
lambat untuk membaik atau mungkin membutuhkan perawatan lebih lama di
rumah sakit.
Berbagai macam regimen antibiotik tersedia untuk terapi pneumonia.
Pemilihan antibiotik mana yang baik digunakan bergantung pada banyak faktor,
termasuk:
1. Penyakit penyerta/ sebelumnya
2. Terinfeksi dengan bakteri yang resisten antibiotik tertentu.
Penderita yang sebelumnya menggunakan antibiotik untuk terapi penyakit
lain pada tiga bulan terakir mempunyai faktor resiko yang lebih tinggi untuk
terinfeksi bakteri yang resisten antibiotik tertentu. Untuk semua regimen
antibiotik, penting untuk menggunakan antibiotik tersebut sampai selesai dan
sesuai dengan prosedur penatalaksanaan.
Diagnosis etiologi pneumonia sangat sulit untuk dilakukan, sehingga
pemberian antibiotik diberikan secara empirik sesuai dengan pola kuman
tersering yaitu Streptococcus pneumonia dan H. influenza. Bila keadaan pasien
berat atau terdapat empiema, antibiotik adalah golongan sefalosporin. Antibiotik
parenteral diberikan sampai 48-72 jam setelah panas turun, dilanjutkan dengan
pemberian per oral selama 7 – 10 hari. Bila diduga penyebab pneumonia adalah
S.aureus, kloksasilin dapat segera diberikan. Bila alergi terhadap penisilin dapat
diberikan cefazolin, klindamisin, atau vancomycin. Lama pengobatan untuk
Stafilokokus adalah 3 – 4 minggu
II. SEPSIS
A. Definisi
Sepsis adalah respon inflamasi sistemik yang disebabkan oleh berbagai
macam organisme yang infeksius; bakteri gram negatif, bakteri gram positif,
fungi, parasit, dan virus. Tidak semua individu yang mengalami infeksi menjadi
sepsis, dan terdapat suatu rangkaian dari beratnya infeksi dari proses yang
terlokalisisir menjadi bakteriemia sampai ke sepsis dan menjadi septik syok
(Norwitz,2010).
Sepsis merupakan respon sistemik pejamu terhadap infeksi dimana
patogen atau toksin dilepaskan ke dalam sirkulasi darah sehingga terjadi aktivasi
proses inflamasi. Berbagai definisi sepsis telah diajukan, namun definisi yang
saat ini digunakan di klinik adalah definisi yang ditetapkan dalam consensus
American College of Chest Physician dan Society of Critical Care Medicine
pada tahun 1992 yang mendefinisikan sepsis, sindroma respon inflamasi
sistemik (systemic inflammatory response syndrome / SIRS), sepsis berat, dan
syok/renjatan septik (Chen et.al,2009).

B. Etiologi
Sepsis biasanya disebabkan oleh infeksi bakteri (meskipun sepsis dapat
disebabkan oleh virus, atau semakin sering, disebabkan oleh jamur).
Mikroorganisme kausal yang paling sering ditemukan pada orang dewasa adalah
Escherichia coli, Staphylococcus aureus, dan Streptococcus pneumonia. Spesies
Enterococcus, Klebsiella, dan Pseudomonas juga sering ditemukan. Umumnya,
sepsis merupakan suatu interaksi yang kompleks antara efek toksik langsung dari
mikroorganisme penyebab infeksi dan gangguan respons inflamasi normal dari
host terhadap infeksi.
Kultur darah positif pada 20-40% kasus sepsis dan pada 40-70% kasus
syok septik. Dari kasus-kasus dengan kultur darah yang positif, terdapat hingga
70% isolat yang ditumbuhi oleh satu spesies bakteri gram positif atau gram
negatif saja; sisanya ditumbuhi fungus atau mikroorganisme campuran lainnya.
Kultur lain seperti sputum, urin, cairan serebrospinal, atau cairan pleura dapat
mengungkapkan etiologi spesifik, tetapi daerah infeksi lokal yang memicu
proses tersebut mungkin tidak dapat diakses oleh kultur.
Insidensi sepsis yang lebih tinggi disebabkan oleh bertambah tuanya
populasi dunia, pasien-pasien yang menderita penyakit kronis dapat bertahan
hidup lebih lama, terdapat frekuensi sepsis yang relatif tinggi di antara pasien-
pasien AIDS, terapi medis (misalnya dengan glukokortikoid atau antibiotika),
prosedur invasif (misalnya pemasangan kateter), dan ventilasi mekanis.
Sepsis dapat dipicu oleh infeksi di bagian manapun dari tubuh. Daerah
infeksi yang paling sering menyebabkan sepsis adalah paru-paru, saluran kemih,
perut, dan panggul. Jenis infeksi yang sering dihubungkan dengan sepsis yaitu:
1. Infeksi paru-paru (pneumonia)
2. Flu (influenza)
3. Appendiksitis
4. Infeksi lapisan saluran pencernaan (peritonitis)
5. Infeksi kandung kemih, uretra, atau ginjal (infeksi traktus urinarius)
6. Infeksi kulit, seperti selulitis, sering disebabkan ketika infus atau kateter telah
dimasukkan ke dalam tubuh melalui kulit
7. Infeksi pasca operasi
8. Infeksi sistem saraf, seperti meningitis atau encephalitis. Sekitar pada satu
dari lima kasus, infeksi dan sumber sepsis tidak dapat terdeteksi.17

C. Manifestasi Klinis
Perjalanan sepsis akibat bakteri diawali oleh proses infeksi yang ditandai
dengan bakteremia selanjutnya berkembang menjadi systemic inflammatory
response syndrome (SIRS) dilanjutkan sepsis, sepsis berat, syok sepsis dan
berakhir pada multiple organ dysfunction syndrome (MODS).
Sepsis dimulai dengan tanda klinis respons inflamasi sistemik (yaitu
demam, takikardia, takipnea, leukositosis) dan berkembang menjadi hipotensi
pada kondisi vasodilatasi perifer (renjatan septik hiperdinamik atau “hangat”,
dengan muka kemerahan dan hangat yang menyeluruh serta peningkatan curah
jantung) atau vasokonstriksi perifer (renjatan septik hipodinamik atau “dingin”
dengan anggota gerak yang biru atau putih dingin). Pada pasien dengan
manifestasi klinis ini dan gambaran pemeriksaan fisik yang konsisten dengan
infeksi, diagnosis mudah ditegakkan dan terapi dapat dimulai secara dini.
Pada bayi dan orang tua, manifestasi awalnya kemungkinan adalah
kurangnya beberapa gambaran yang lebih menonjol, yaitu pasien ini mungkin
lebih sering ditemukan dengan manifestasi hipotermia dibandingkan dengan
hipertermia, leukopenia dibandingkan leukositosis, dan pasien tidak dapat
ditentukan skala takikardia yang dialaminya (seperti pada pasien tua yang
mendapatkan beta blocker atau antagonis kalsium) atau pasien ini kemungkinan
menderita takikardia yang berkaitan dengan penyebab yang lain (seperti pada
bayi yang gelisah). Pada pasien dengan usia yang ekstrim, setiap keluhan
sistemik yang non-spesifik dapat mengarahkan adanya sepsis, dan memberikan
pertimbangan sekurangkurangnya pemeriksaan skrining awal untuk infeksi,
seperti foto toraks dan urinalisis.
Pasien yang semula tidak memenuhi kriteria sepsis mungkin berlanjut
menjadi gambaran sepsis yang terlihat jelas sepenuhnya selama perjalanan
tinggal di unit gawat darurat, dengan permulaan hanya ditemukan perubahan
samar-samar pada pemeriksaan. Perubahan status mental seringkali merupakan
tanda klinis pertama disfungsi organ, karena perubahan status mental dapat
dinilai tanpa pemeriksaan laboratorium, tetapi mudah terlewatkan pada pasien
tua, sangat muda, dan pasien dengan kemungkinan penyebab perubahan tingkat
kesadaran, seperti intoksikasi. Penurunan produksi urine (≤0,5ml/kgBB/jam)
merupakan tanda klinis yang lain yang mungkin terlihat sebelum hasil
pemeriksaan laboratorium didapatkan dan seharusnya digunakan sebagai
tambahan pertimbangan klinis.

D. Patofisiologi
Normalnya, pada keadaan infeksi terdapat aktivitas lokal bersamaan dari
sistem imun dan mekanisme down-regulasi untuk mengontrol reaksi. Efek yang
menakutkan dari sindrom sepsis tampaknya disebabkan oleh kombinasi dari
generalisasi respons imun terhadap tempat yang berjauhan dari tempat infeksi,
kerusakan keseimbangan antara regulator pro-inflamasi dan anti inflamasi
selular, serta penyebarluasan mikroorganisme penyebab infeksi.15
1. Kaskade inflamasi (Inflammatory cascade)
Bakteri merupakan patogen yang sering dikaitkan dengan
perkembangan sepsis. Patofisiologi sepsis dapat dimulai oleh komponen
membran luar organisme gram negatif (misalnya, lipopolisakarida, lipid A,
endotoksin) atau organisme gram positif (misalnya, asam lipoteichoic,
peptidoglikan), serta jamur, virus, dan komponen parasit.
Umumnya, respons imun terhadap infeksi mengoptimalkan
kemampuan sel-sel imun (eutrophil, limfosit, dan makrofag) untuk
meninggalkan sirkulasi dan memasuki tempat infeksi. Signal oleh mediator
ini terjadi melalui sebuah reseptor trans-membran yang dikenal sebagai Toll-
like receptors. Dalam monosit, nuclear factor-kB (NF-kB) diaktifkan, yang
mengarah pada produksi sitokin pro-inflamasi, tumor necrosis factor α (TNF-
α), dan interleukin 1 (IL-1). TNF-α dan IL-1 memacu produksi toxic
downstream mediators, termasuk prostaglandin, leukotrien, platelet-
activating factor, dan fosfolipase A2. Mediator ini merusak lapisan endotel,
yang menyebabkan peningkatan kebocoran kapiler. Selain itu, sitokin ini
menyebabkan produksi molekul adhesi pada sel endotel dan neutrofil.
Interaksi endotel neutrofilik menyebabkan cedera endotel lebih lanjut melalui
pelepasan komponen neutrofil. Akhirnya, neutrofil teraktivasi melepaskan
oksida nitrat (NO), vasodilator kuat. Dengan demikian memungkinkan
neutrofil dan cairan mengalami ekstravasasi ke dalam ruang ekstravaskular
yang terinfeksi yang mengarah ke syok septik.
Oksida nitrat dapat mengganggu adhesi leukosit, agregasi trombosit,
dan mikrotrombosis, serta permeabilitas mikrovaskular. Peningkatan NO
tampaknya memberikan manfaat dalam arti meningkatkan aliran di tingkat
mikrosirkulasi, meskipun tentu saja vasodilatasi di tingkat makrosirkulasi
merupakan penyebab hipotensi yang membahayakan dan refrakter yang dapat
mengakibatkan gangguan fungsi organ dan kematian.
E. Komplikasi
Komplikasi bervariasi berdasarkan etiologi yang mendasari. Potensi
komplikasi yang mungkin terjadi meliputi:
1. Cedera paru akut (acute lung injury) dan sindrom gangguan fungsi respirasi
akut (acute respiratory distress syndrome)
Milieu inflamasi dari sepsis menyebabkan kerusakan terutama pada
paru. Terbentuknya cairan inflamasi dalam alveoli mengganggu pertukaran
gas, mempermudah timbulnya kolaps paru, dan menurunkan komplian,
dengan hasil akhir gangguan fungsi respirasi dan hipoksemia. Komplikasi
ALI/ ARDS timbul pada banyak kasus sepsis atau sebagian besar kasus sepsis
yang berat dan biasanya mudah terlihat pada foto toraks, dalam bentuk
opasitas paru bilateral yang konsisten dengan edema paru. Pasien yang septik
yang pada mulanya tidak memerlukan ventilasi mekanik selanjutnya
mungkin memerlukannya jika pasien mengalami ALI/ ARDS setelah
resusitasi cairan.
2. Disseminated Intravascular Coagulation (DIC)
Pada DIC yang disebabkan oleh sepsis, kaskade koagulasi diaktivasi
secara difus sebagai bagian respons inflamasi. Pada saat yang sama, sistem
fibrinolitik, yang normalnya bertindak untuk mempertahankan kaskade
pembekuan, diaktifkan.
Sehingga memulai spiral umpan balik dimana kedua sistem diaktifkan
secara konstan dan difus−bekuan yang baru terbentuk, lalu diuraikan.
Sejumlah besar faktor pembekuan badan dan trombosit dikonsumsi dalam
bekuan seperti ini. Dengan demikian, pasien berisiko mengalami komplikasi
akibat thrombosis dan perdarahan. Timbulnya koagulopati pada sepsis
berhubungan dengan hasil yang lebih buruk.
3. Gagal jantung
Depresi miokardium merupakan komplikasi dini syok septik, dengan
mekanisme yang diperkirakan kemungkinannya adalah kerja langsung
molekul inflamasi ketimbang penurunan perfusi arteri koronaria. Sepsis
memberikan beban kerja jantung yang berlebihan, yang dapat memicu
sindroma koronaria akut (ACS) atau infark miokardium (MCI), terutama pada
pasien usia lanjut. Dengan demikian obat inotropic dan vasopressor (yang
paling sering menyebabkan takikardia) harus digunakan dengna berhati-hati
bilamana perlu, tetapi jangan diberikan bila tidak dianjurkan.
4. Gangguan fungsi hati
Gangguan fungsi hati biasanya manifest sebagai ikterus kolestatik,
dengan peningkatan bilirubin, aminotransferase, dan alkali fosfatase. Fungsi
sintetik biasanya tidak berpengaruh kecuali pasien mempunyai status
hemodinamik yang tidak stabil dalam waktu yang lama.
5. Gagal ginjal
Hipoperfusi tampaknya merupakan mekanisme yang utama terjadinya
gagal ginjal pada keadaan sepsis, yang dimanifestasikan sebagai oliguria,
azotemia, dan sel-sel peradangan pada urinalisis. Jika gagal ginjal
berlangsung berat atau ginjal tidak mendapatkan perfusi yang memadai, maka
selanjutnya terapi penggantian fungsi ginjal (misalnya hemodialisis)
diindikasikan.
6. Sindroma disfungsi multiorgan
Disfungsi dua sistem organ atau lebih sehingga intervensi diperlukan untuk
mempertahankan homeostasis.
a. Primer, dimana gangguan fungsi organ disebabkan langsung oleh infeksi
atau trauma pada organ-organ tersebut. Misal, gangguan fungsi
jantung/paru pada keadaan pneumonia yang berat.
b. Sekunder, dimana gangguan fungsi organ disebabkan oleh respons
peradangan yang menyeluruh terhadap serangan. Misal, ALI atau ARDS
pada keadaan urosepsis.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn. D
DENGAN GANGGUAN SISITEM RESPIRASI BRONKOPNEUMONIA
DIRUANG KANA RUMAH SAKIT HASAN SADIKIN BANDUNG

A. Pengkajian
1. Identitas Pasien
a. Nama : Tn. D
b. Usia : 32 tahun
c. Status perkawaninan : Menikah
d. Pekerjaan : Tukang Sapu jalan
e. Agama : Islam
f. Suku : Sunda
g. Alamat : Rancaekek
h. Tanggal masuk RS : 13 Januari 2019
i. Diagnosa Medis : Beonkopneumonia akut

2. Identitas Penanggung Jawab


a. Nama : Ny I
b. Usia : 31 tahun
c. Hubungan dengan pasien : Istri
d. Alamat : Rancaekek
3. Riwayat Kesehatan
a. Keluhan Utama
Klien mengeluh sesak
b. Riwayat Kesehatan Sekarang
Pada saat dilakukan pengkajian pada tanggal 14 januari 2019 klien
mengeluh sesak, sesak di rasakan tidak berkurang pada saat posisi semi
fowler, pernapasan klien dangkal dan cepat.
c. Riwayat kesehatan dahulu
Keluarga klien mengatakan klien belum pernah mengalami keluhan seperti
ini sebelumnya, klien pernah dirawat sebelumnya karena penyakit demam
typhoid.
d. Riwayat kesehatan keluarga
Keluarga klien mengatakan tidak ada anggota keluarga yang mengalami
keluhan seperti klien sebelumnya.
e. Riwayat Psikososial dan Spiritual
1. Support sistem terdiri dari dukungan keluarga
Klien mengatakan keluarga mendukung untuk kesembuhannya
2. Komunikasi terdiri dari pola interaksi
Klien mengatakan interaksi sebelum dan sesudah masuk rumah sakit
tidak terganggu hanya dibatasi
3. Sistem nilai kepercayaan
Klien mengatakan kepercayaan dalam beribadah tidak terganggu.
f. Lingkungan
1. Rumah : Bersih
2. Tempat kerja : Banyak polusi
g. Pola kebiasaan sehari hari sebelum dan di rumah sakit

No Kebiasaan Sebelum masuk RS Di RS


1 Pola persepsi dan Klien menganggap kesehatan itu penting,
menajemen kesehatan sehingga saat sakit klien langsung meminta
pertolongan tenaga kesehatan, keputusan datang
pada tenaga medis dirundingkan bersama istrinya
2 Pola Nutrisi
Asupan Oral Puasa
Frekuensi 3x/hari Puasa
Nafsu makan Baik Puasa
Makanan tambahan Puasa
Makanan alergi Tidak ada Puasa
Asupan cairan Oral Puasa
Jenis cairan Air putih Puasa
Volume ±1 liter Puasa
3 Pola eliminasi
BAK
a.
Frekuensi 4 sampai 5/hr
Jumlah output 1500cc/hari
Warna Kuning Kuning kecokelatan
BAB
Frekuensi 1x/3hari Belum BAB
Warna Cokelat Belum BAB
4 Pola personal hygiene
Mandi
a. 1x/hari Belum mandi, seka 1x/hari
Oral hygiene 1x/hari Belum pernah
5 Pola aktivitas
Olahraga Jarang Tidak pernah
6 Pola istirahat tidur
Lama tidur 5 sampai 7 jam 4 sampai 5 jam
Pengguanaan obat bantu Tidak Tidak
7 Pola kognitif dan Klien mengatakan masih bisa melihat benda,
persepsi mendengar suara dan bisikan, merasakan pahit
dan manis dan tidak menggunakan alat bantu
penglihatan, Pendengaran, Bahasa yang digunakan
di rumah adalah Bahasa daerah
8 Persepsi diri dan konsep Klien menagatakan ingin cepat sembuh,
diri
9 Peran dan hubungan Klien mengatakan dia tinggal bersama istrinya
10 Koping dan manejemen Klien mengatakan jika mempunyai masalah ia
stress akan bercerita kepada istrinya
11 Nilai dan kepercayaan Klien mengatakan dia adalah bersuku sunda,
sehari hari menggunakan Bahasa sunda, beragama
islam dan yakin bahwa ia pasti sembuh

h. Pemerikaan Fisik
Kesadaran : Composmentis
Tekanan Darah : 130/90 mmHg
Nadi : 102x/menit
Respirasi : 24x/menit
Suhu : 38,4

Pemeriksaan Fisik Head to Toe


1. Kepala
Bentuk kepala bulat, tidak ada lesi, tidak ada hematoma
2. Rambut
Warna rambut hitam, tidak ada kotoran, tidak ada kerontokan, tidak
ada alopesia, distribusi rambut merata
3. Mata
Simetris, tidak ada penggunaan alat bantu penglihatan, pupil isokor,
sklera tidak ikterik, konjungtiva tidak anemis
4. Hidung
Simetris, bersih, terdapat penggunaan oksigen non-rebreathing mask
dan penggunaan NGT
5. Mulut
Warna mukosa sedikit pucat, tidak lembab, tidak ada stomatitis
6. Leher
Tidak ada pembengkakan, tidak ada nyeri saat menelan
7. Dada
Bentuk dada simetris, terdapat retraksi otot dada, tidak ada
pembengkakan, terdapat nyeri tekan pada dada bagian bawah kanan dan
kiri.
8. Abdomen
Bentuk simetris, adanya bekas luka dibagian kiri atas abdomen
9. Genital
Terpasang kateter urin, tidak ada distensi kandung kemih, tidak ada
nyeri, tidak ada BAB selama dirumah sakit, BAK berwarna cokelat tua.
10. Ekstremitas
Atas : terdapat Infus IV di tangan kanan
Bawah : tidak ada nyeri pada sendi dan tulang

B. Pemeriksaan Penunjang dan Penatalaksaan Medis


1. Laboratorium
2. Penatalaksaan Medis
a. Ciprofloxacin 400mg via oral
b. Metronidazole 700 mg via IV
c. Omeprazole 40mg IV
C. Analisa Data
No Data Etiologi Masalah
1 DS: Jamur, bakter, kuman Gangguan
Klien mengatakan pertukaran gas
sesak Masuk ke saluran
pernafasan atas
DO:
1. Nadi: 102 Infeksi saluran pernafasan
2. RR: 24x/menit bawah
3. Klien terlihat
gelisah Dilatasi pembuluh darah
4. Klien terlihat
memakai otot Eksudat plasma masuk ke
bantu pernapasan alveoli
5. Klien memakai
oksigen Gangguan difusi dalam
6. pernafasan klien plasma
cepat dan
dangkal Gangguan pertukaran gas

2 DS: Jamur, virus, bakteri Nyeri akut


Klien mengeluh
nyeri pada dada Infeksi saluran nafas
bawah
DO:
1. klien terlihat Dilatasi pembuluh darah
meringis
2. Skala nyeri klien Edema antar kapiler dan
5 (1-10) alveoli

Iritas PMN eritrosit

Edema paru

Pergeseran diding paru

Compliance paru menurun

Suplai oksigen menurun

Metabolism anaerob

Asam laktat meningkat

Pengeluaran aspetor nyeri


Nyeri dipersepsikan

Nyeri akut

3 DS: Jamur, bakteri, virus Hipertermi

DO: Invasi saluran nafas atas


1. Suhu 38,4
Infeksi saluran pernafasan
bawah

Peradangan

Peningkatan suhu tubuh

Hipertermi

D. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan penumpukan eksudat
2. Nyeri akut berhubungan dengan penurunan compliance paru
3. Hipertermi berhubungan dengan inflamasi parenkim paru
E. Rencana Asuhan Keperawatan
Nama Klien/Ruang : Tn. D/Ruang Kana Nama Mahasiswa : Kelompok 5
No. RM/DX Medis : /Bronkopnomonia & Sepsis NIM : 40061800
Rencana Asuhan Keperawatan
No DX
Tujuan Intervensi Rasional
1 Gangguan pertukaran gas Setelah dilakukan 1. Kaji frekuensi dan 1. Frekuensi dan kedalaman
b.d penumpukan eksudat tindakan keperawatan kedalaman pernafasan, catat pernafasan menunjukan
selama 3x24 jam adanya perubahan bunyi derajat gagal nafas,
DS: gangguan pertukaran nafas tambahan perubahan bunyi nafas
Klien mengatakan sesak gas pada klien dapat mrnunjukan obstruksi
teratasi dengan kriteria sekunder
DO: hasil klien tidak tampak
1. Nadi: 102 gelisah, pernafasan 2. obsevasi warna kulit, 2. Sianosis menunjukan
2. RR: 24x/menit klien tidak dangkal dan membrane mukosa, dan kuku vasokontriksi terhadap
3. Klien terlihat gelisah cepat. catat ada sianosis demam dan terjadi hiposia
4. Klien terlihat 3. kaji status mental 3. Gelisah dan bingung dapat
memakai otot bantu menunjukan hipoksia
pernapasan 4. observasi suhu tubuh 4. Demam dapat meningkatkan
5. Klien memakai metabolic
oksigen 5. kolaborasi pemberian terapi 5. memaksimalkan pernafasan
6. pernafasan klien cepat oksigen
dan dangkal
2 Nyeri akut b.d penurunan Setelah dilakukan 1. kaji TTv setiap 4 jam 1. Untuk menentukan tindakan
compliance paru tindakan keperawatan selanjutnya
selama 3x24 jam nyeri 2. Ajarkan teknik distraksi 2. untuk mengurangi nyeri
DS: akut pada klien dapat 3. Kolaborasi pemberian 3. untuk mengurangi nyeri
Klien mengeluh nyeri teratasi dengan kriteria analgetik
pada dada hasil klien tidak
meringis, skala nyeri
DO: turun pada 2 dari rentan
1. klien terlihat meringis 0 sampai 10
2. Skala nyeri klien 5
(1-10)
3 Hipertermi b.d inflamasi Setelah dilakukan 1. observasi tanda vital 1. Untuk menentukan tindakan
parenkim paru tindakan keperawatan selanjutnya
selama 3x24 jam
DS: hipertermi pada klien 2. Anjurkan untuk banyak 2. Meminimalisir produksi
dapat teratasi dengan istirahat panas yang dihasilkan oleh
DO: kriteria hasil suhu tubuh tubuh
1. Suhu 38,4 kembali ke rentang 3. Anjurkan memakai pakaian 3. Membenatu mempermudah
normal 37,5 tipis penguapan panas
4. Mempercepat penurunan
4. Berikan kompres produksi panas
5. Untuk menurunkan panas
5. kolaborasi pemberian
penurun panas
F. Implementasi Keperawatan
DX
NO HARI/TGL IMPLEMENTASI RESPON PARAF
KEPERAWATAN
1 Gangguan Selasa, 14 1. Menkaji frekuensi dan 1. klien mengatakan masih
pertukaran gas b.d januari kedalaman pernafasan, catat sesak
penumpukan 2019 adanya perubahan bunyi nafas
eksudat tambahan
2. Mengobsevasi warna kulit, 2. Mukosa bibir pucat,
membrane mukosa, dan kuku terdapat sianosis
catat ada sianosis
3. Mengkaji status mental 3. Klien terlihat gelisah
4. Mengobservasi suhu tubuh 4. Suhu tubuh klien
meningkat
5. Berkolaborasi pemberian terapi 5. Klien mengatakan masih
oksigen sesak
2 Nyeri akut b.d Selasa, 14 1. Mengkaji TTV setiap 4 jam 1. Suhu tubuh klien
penurunan januari meningkat, tekanan darah
compliance paru 2019 klien menurun, nadi klien
meningkat
2. Mengajarkan teknik distraksi 2. Klien mengatakan nyeri,
skala nyeri 4
3. Berkolaborasi pemberian 3. Klien mengatakan masih
analgetik nyeri di bagian dada kiri
bawah
3 Hipertermi b.d Selasa, 14 1. Mengbservasi tanda vital 1. Suhu tubuh klien
inflamasi parenkim januari meningkat, tekanan darah
paru 2019 klien menurun, nadi klien
meningkat
2. Menganjurkan untuk banyak 2. Klien masih terlihat
istirahat gelisah
3. Mengajurkan memakai pakaian 3. Klien terlihat sudah
tipis memakai kain tipis
4. Memberikan kompres 4. Klien terlihat memakain
kompres
5. Berkolaborasi pemberian 5. Suhu tubuh klien masih
penurun panas tinggi
G. Catatan Perkembangan
NO DX KEP HARI/TGL SOAP PARAF
1 Gangguan Selasa S: Klien mengatakan masih sesak
pertukaran gas b.d 15 januari O:
penumpukan 2019 1. Pernafasan klien masih cepat dan dangkal
eksudat 2. klien masih gelisah
3. N :100
A: Masalah gangguan pertukaran gas belum teratasi
P: lanjutkan intervensi
2 Nyeri akut b.d Selasa S: Klien mengatakan masih nyeri
penurunan 15 januari O:
compliance paru 2019 1. Skala nyeri 4
2. Klien masih terlihat sedikit meringis
A: Masalah nyeri akut belum teratasi
P: lanjutkan intervensi
3 Hipertermi b.d Selasa S: Klien mengatakan masih kedinginan
inflamasi 15 januari O:
parenkim paru 2019 1. Suhu: 38,4
A: Masalah ipertermi belum teratasi
P: lanjutkan intervensi
1 Gangguan Rabu S: Klien mengatakan masih sesak
pertukaran gas b.d 16 januari O:
penumpukan 2019 1. Pernafasan klien masih cepat dan dangkal,
eksudat 2. klien masih gelisah,
3. N :103
A: Masalah gangguan pertukaran gas belum teratasi
P: lanjutkan intervensi
2 Nyeri akut b.d Rabu S: Klien mengatakan masih nyeri
penurunan 16 januari O:
compliance paru 2019 1. skala nyeri 5
2. klien masih terlihat sedikit meringis
A: Masalah nyeri akut belum teratasi
P: lanjutkan intervensi
3 Hipertermi b.d Rabu S: Klien mengatakan masih kedinginan
inflamasi 16 januari O:
parenkim paru 2019 1. Suhu 38,5
A: Masalah hipertermi belum teratasi
P: lanjutkan intervensi
DAFTAR PUSTAKA

Bradley JS, Byington CL, Shah SS, Alverson B, Carter ER, Harrison C. The
management of community-acquired pneumonia in infants and children older
than 3 months of age: Clinical practice guidelines by the pediatric infectious
diseases society and the infectious diseases society of America.2011
Dahlan,Sopiyudin,2014. Statistik Untuk Kedokteran Dan Kesehatan Edisi 6.
Jakarta, Salmba Medika.
Mansjoer, A, 2008, Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem
Muskuluskeletal, Jakarta: EGC
Misnadiarly, 2008, Penyakit Infeksi Saluran Napas Pneumoni pada Anak Orang
Dewasa, Usia Lanjut Edisi 1, Jakarta, Pustaka Obor Populer.
Norwitz, Errol & Schorge, John. 2010. At a Glance Obstetri & Ginekologi Edisi
Kedua. Jakarta : Penerbit Erlangga.

Anda mungkin juga menyukai