PENDAHULUAN
Hiperbilirubin dapat berpotensi menjadi toksik dan menyebabkan kematian dan jika
neonatus tersebut dapat bertahan hidup pada jangka panjang akan menimbulkan sekuele
nerologis. Tatalaksana hiperbilirubinemia bertujuan untuk mencegah agar kadar bilirubin
tidak terkonjugasi dalam darah tidak mencapai kadar yang neurotoksik.3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
Hiperbilirubinemia merupakan keadaan dimana kadar bilirubin serum total dalam darah
>5 mg/dL (86μmol/L). Hiperbilirubinemia sering dijumpai pada minggu pertama setelah
kelahiran, sebagian besar ringan dan dapat membaik tanpa pengobatan. Ikterus atau jaundice
adalah warna kuning pada kulit, konjungtiva, dan mukosa akibat penumpukan bilirubin tak
terkonjugasi pada jaringan. Ikterus pada neonatus akan terlihat bila kadar bilirubin serum
>5 mg/dL. Istilah hiperbilirubinemia sering disalah artikan sebagai ikterus berat yang
membutuhkan terapi segera. Sesungguhnya, hiperbilirubinemia dan ikterus/jaundice
merupakan terminologi yang merujuk pada keadaan yang sama.3
Hiperbilirubinemia fisiologis tidak disebabkan oleh faktor tunggal tapi kombinasi dari
berbagai faktor yang berhubungan dengan maturitas fisiologis neonatus. Hiperbilirubinemia
patologis disebabkan oleh inkompatibilitas darah (Rhesus atau ABO), hemolisis, sepsis,
kelainan metabolisme, defisiensi enzim glucose-6-phospate dehydrogenase (G6PD), Sindrom
Gulbert dan Sindrom Crigler-Najjar. Inkompatibiltas ABO dan defisiensi G6PD merupakan
penyebab hiperbilirubinemia terbanyak di Indonesia.1
2.2 KLASIFIKASI
a. Ikterus Fisiologis4
Ikterus fisiologis adalah ikterus yang paling sering terjadi pada bayi baru lahir di
minggu pertama kehidupannya disebabkan oleh peningkatan bilirubin tak terkonjugasi
akibat proses fisiologis pada neonatus. Proses tersebut antara lain karena penurunan level
glukoronil transferase, tingginya kadar eritrosit neonatus, masa hidup eritrosit yang lebih
pendek (80-90 hari), dan belum matangnya fungsi hepar.
Kadar bilirubin tidak terkonjugasi (unconjugated bilirubin, UCB) pada neonatus
cukup bulan dapat mencapai 6-8 mg/dL pada usia 3 hari, setelah itu berangsur
turun. Pada bayi prematur, awitan ikterus terjadi lebih dini, kadar bilirubin naik
perlahan tetapi dengan kadar puncak lebih tinggi, serta memerlukan waktu lebih lama
untuk menghilang, mencapai 2 minggu. Kadar bilirubin pada neonatus prematur dapat
mencapai 10-12 mg/dL pada hari ke-5 dan masih dapat naik menjadi >15 mg/dL tanpa
adanya kelainan tertentu. Kadar bilirubin akan menurun dengan sendirinya dan mencapai <2
2
mg/dL setelah usia 1 bulan, baik pada bayi cukup bulan maupun prematur. Tanda ikterus
fisiologis, yaitu:
1. Tidak muncul pada hari pertama
2. Kadar bilirubin terkonjugasi harus < 2 mg/dL
3. Peningkatan kadar bilirubin < 0,2 mg/dL/jam atau < 5 mg/dL/hari
4. Ikterus tidak menetap > 2 minggu pada bayi cukup bulan
b. Ikterus dianggap patologis bila waktu kemunculannya, durasi dan pola berbeda dari
ikterus pada neonatus perlu pemeriksaan lebih lanjut apabila terdapat kriteria berikut
ini:4
1. Ikterus telah timbul pada saat kelahiran atau kurang dari 24 - 36 jam masa
kehidupan.
2. Laju kenaikan bilirubin serum >5mg/dl/24 jam
3. Kadar bilirubin >12 mg/dL pada bayi cukup bulan, khususnya bila tidak ada faktor
risiko atau 10 – 14 mg/dL pada bayi prematur
4. Ikterus bertahan setelah 8 hari pada bayi cukup bulan atau setelah 14 hari pada bayi
kurang bulan
5. Fraksi bilirubin direk >2 mg/dL pada kondisi apapun
6. Adanya tanda - tanda penyakit yang mendasari pada bayi (muntah,
letargis, malas menyusu, penurunan berat badan yang cepat, apnea, takipnea,
instabilitas suhu, feses pucat, urin gelap, kernikterus)
7. Terdapat riwayat keluarga: penyakit hemolitik, pucat, hepatomegali,
splenomegali, kegagalan fototerapi untuk menurunkan kadar bilirubin
c. Breastfeeding jaundice
3
Ikterus pada ini tidak selalu disebabkan oleh breastfeeding jaundice, karena dapat saja
merupakan hiperbilirubinemia fisiologis.
2.3 ETIOLOGI
Penyebab ikterus pada bayi baru lahir dapat disebabkan oleh beberapa faktor antara lain :8
1. Produksi yang berlebihan. Hal ini melebihi kemampuan bayi untuk mengeluarkan
kelebihan bilirubin tersebut.
- Hemolitik
Terdapat peningkatan bilirubin tidak terkonjugasi, retikulosit > 6%, hb <13
g/dL. Seperti pada:
Coombs’ test positif: Rh factor incompatibility, ABO incompatibility
Coombs’ test negatif: defek membrane eritrosit (sferositosis,
eliptositosis), defek enzim eritrosit (defisiensi G6PD, defisiensi
piruvat kinase), obat-obatan (contoh: streptomycin, vitamin K),
hemoglobinopati, sepsis, infeksi seperti bakteri, virus, dan protozoa.
- Non hemolitik
Terdapat peningkatan bilirubin tidak terkonjugasi, retikulosit normal.
Ekstravaskular: sefalohematoma, perdarahan SSP
Polisitemia: transfusi fetal-maternal, terlambatnya penjepitan tali pusat
4
2. Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi akibat dari gangguan fungsi hepar.
Terdapat peningkatan bilirubin tidak terkonjugasi, retikulosit normal. Gangguan ini
dapat disebabkan oleh:
- Ikterus fisiologis
Peningkatan kadar bilirubin serum pada minggu pertama kehidupan
disebabkan karena:
Beban bilirubin yang meningkat pada neonatus karena volume eritrosit
meningkat sebagai kompensasi tekanan parsial oksigen yang rendah,
umur eritrosit pendek dan peningkatan resirkulasi bilirubin
enterohepatal.
Kurangnya uptake hati sebagai dampak penurunan kadar protein
pengikat bilirubin.
Kurangnya konjugasi karena masih rendahnya aktivitas enzim uridine
diphospate glucuronyl transferase (UDPGT)
5
- Obstruksi bilier: atresia bilier, choledochal cyst, primary sclerosing
cholangitis, batu empedu, neoplasma, Dubin-Johnson syndrome, Rotor’s
syndrome
- Infeksi: sepsis, ISK, sifilis, toksoplasmosis, tuberculosis, hepatitis,
rubella, herpes
- Gangguan metabolik: cystic fibrosis, galaktosemia, glycogen storage
disease, Gaucher’s disease, hypothyroidism, Wilson’s disease, Niemann-
Pick disease
- Obat-obatan: aspirin, acetaminophen, sulfa, alcohol, rifampisin,
erythromycin, kortikosteroid, tetracycline
2.4 PATOFISIOLOGI
Bilirubin diproduksi dalam sistem retikuloendotelial sebagai produk akhir dari
katabolisme heme dan terbentuk melalui reaksi oksidasi reduksi. Pada langkah pertama
oksidasi, biliverdin terbentuk dari heme melalui kerja heme oksigenase, dan terjadi pelepasan
besi dan karbon monoksida. Besi dapat digunakan kembali, sedangkan karbon monoksida
diekskresikan melalui paru-paru. Biliverdin yang larut dalam air direduksi menjadi bilirubin
yang hampir tidak larut dalam air dalam bentuk isomerik (oleh karena ikatan hidrogen
intramolekul). Bilirubin tak terkonjugasi yang hidrofobik diangkut dalam plasma, terikat erat
pada albumin. Bila terjadi gangguan pada ikatan bilirubin tak terkonjugasi dengan albumin
baik oleh faktor endogen maupun eksogen (misalnya obat-obatan), bilirubin yang bebas dapat
melewati membran yang mengandung lemak (lipid bilayer), termasuk sawar darah otak, yang
dapat mengarah ke neurotoksisitas.5
Bilirubin yang mencapai hati akan diangkut ke dalam hepatosit, dimana bilirubin
berikatan dengan ligandin. Masuknya bilirubin ke hepatosit akan meningkat sejalan dengan
terjadinya peningkatan konsentrasi ligandin. Konsentrasi ligandin ditemukan rendah pada
saat lahir namun akan meningkat pesat selama beberapa minggu kehidupan.6
6
dalam usus kecil proksimal melalui kerja B-glukuronidase. Bilirubin tak terkonjugasi ini
dapat diabsorbsi kembali dan masuk ke dalam sirkulasi sehingga meningkatkan bilirubin
plasma total. Siklus absorbsi, konjugasi, ekskresi, dekonjugasi, dan reabsorbsi ini disebut
sirkulasi enterohepatik. Proses ini berlangsung sangat panjang pada neonatus, oleh karena
asupan gizi yang terbatas pada hari-hari pertama kehidupan.6
Setelah konjugasi bilirubin menjadi bilirubin direk yang larut dalam air, terjadi ekskresi
segera ke sistem empedu kemudian ke usus. Di dalam usus, bilirubin direk ini tidak di
absorbsi; sebagian bilirubin direk dihidrolisis menjadi bilirubin indirek dan direabsorbsi,
siklus ini disebut siklus enterohepatik.8
2.7 Diagnosis
Anamnesis
- Gejala hiperbilirubinemia dikelompokkan menjadi :8
o Gejala akut : gejala yang dianggap sebagai fase pertama kernikterus pada
neonates adalah letargi, tidak mau minum dan hipotoni.
o Gejala kronik : tangisan yang melengking (high pitch cry) meliputi
hipertonus dan opistonus (bayi yang selamat biasanya menderita gejala
sisa berupa paralysis serebral dengan atetosis, gengguan pendengaran,
paralysis sebagian otot mata dan displasia dentalis).
- Riwayat keluarga ikterus, anemia, splenektomi, sferositosis, defisiensi glukosa 6-
fosfat dehidrogenase (G6PD).
- Riwayat keluarga dengan penyakit hati, menandakan kemungkinan
galaktosemia, deifisiensi alfa-1-antiripsin, tirosinosis, hipermetioninemia, penyakit
Gilbert, sindrom Crigler-Najjar tipe 1 dan II, atau fibrosis kistik.
- Riwayat saudara dengan ikterus atau anemia, mengarahkan pada kemungkinan
inkompatibilitas golongan darah atau breast-milk jaundice.
- Riwayat sakit selama kehamilan, menandakan kemungkinan infeksi virus atau
toksoplasma.
- Riwayat obat-obatan yang dikonsumsi ibu, yang berpotensi menggeser ikatan
bilirubin dengan albumin (sulfonamida) atau mengakibatkan hemolisis pada bayi
dengan defisiensi G6PD (sulfonamida, nitrofurantoin, antimalaria).
- Riwayat persalinan traumatik yang berpotensi menyebabkan perdarahan atau
hemolisis. Bayi asfiksia dapat mengalami hiperbilirubinemia yang disebabkan
ketidakmampuan hati memetabolisme bilirubin atau akibat perdarahan intrakranial.
Keterlambatan klem tali pusat dapat menyebabkan polisitemia neonatal dan
peningkatan bilirubin.
- Pemberian nutrisi parenteral total dapat menyebabkan hiperbilirubinemia direk
berkepanjangan.
9
- Pemberian ASI. Harus dibedakan antara breast feeding jaundice dan breast-milk
jaundice
Breastfeeding jaundice adalah ikterus yang disebabkan oleh kekurangan asupan
ASI.Biasanya timbul pada hari ke-2 atau ke-3 pada waktu produksi ASI belum
banyak. Untuk neonatus cukup bulan sesuai masa kehamilan (bukan bayi berat
lahir rendah), hal ini tidak perlu dikhawatirkan, karena bayi dibekali cadangan
lemak coklat, glikogen, dan cairan yang dapat mempertahankan metabolisme
selama 72 jam.Walaupun demikian keadaan ini dapat memicu terjadinya
hiperbilirubinemia, yang disebabkan peningkatan sirkulasi enterohepatik akibat
kurangnya asupan ASI. Ikterus pada bayi ini tidak selalu disebabkan oleh
breastfeeding jaundice, karena dapat saja merupakan hiperbilirubinemia
fisiologis.1
Breast-milk jaundice adalah ikterus yang disebabkan oleh air susu ibu (ASI).
Insidens pada bayi cukup bulan berkisar 2-4%. Pada sebagian besar bayi,
kadar bilirubin turun pada hari ke-4, tetapi pada breast-milk jaundice, bilirubin
terus naik, bahkan dapat mencapai 20-30 mg/dL pada usia 14 hari. Bila ASI
dihentikan, bilirubin akan turun secara drastis dalam 48 jam. Bila ASI diberikan
kembali, maka bilirubin akan kembali naik tetapi umumnya tidak akan setinggi
sebelumnya. Bayi menunjukkan pertambahan berat badan yang baik, fungsi hati
normal, dan tidak terdapat bukti hemolisis. Breast-milk jaundice dapat berulang
(70%) pada kehamilan berikutnya. Mekanisme sesungguhnya yang
menyebabkan breast-milk jaundice belum diketahui, tetapi diduga timbul akibat
terhambatnya uridine diphosphoglucuronic acid glucuronyl transferase
(UDGPA) oleh hasil metabolisme progesteron, yaitu pregnane-3-alpha2-beta-diol
yang ada di dalam ASI sebagian ibu.1
Pemeriksaan fisik
Ikterus terjadi akibat akumulasi bilirubin dalam darah sehingga kulit, mukosa dan
atau sklera bayi tampak kekuningan. Hiperbilirubinemia merupakan istilah yang
dipakai untuk ikterus neonatorum setelah ada hasil laboratorium yang menunjukkan
peningkatan kadar bilirubin. Ikterus akan tampak secara visual jika kadar bilirubin lebih
dari 5 mg/dl.
Secara klinis ikterus pada neonatus dapat dilihat segera setelah lahir atau beberapa
hari kemudian. Amati ikterus pada siang hari dengan lampu sinar yang cukup. Ikterus
10
akan terlihat lebih jelas dengan sinar lampu dan bisa tidak terlihat dengan penerangan
yang kurang, terutama pada neonatus yang kulitnya gelap. Penilaian ikterus akan lebih
sulit lagi apabila penderita sedang mendapatkan terapi sinar. Tekan kulit secara ringan
memakai jari tangan untuk memastikan warna kulit dan jaringan subkutan. Waktu
timbulnya ikterus mempunyai arti penting pula dalam diagnosis dan penatalaksanaan
penderita karena saat timbulnya ikterus mempunyai kaitan erat dengan kemungkinan
penyebab ikterus tersebut.
Caranya dengan jari telunjuk ditekankan pada tempat-tempat yang tulangnya
menonjol seperti tulang hidung, dada, lutut dan lain-lain. Tempat yang ditekan akan
tampak pucat atau kuning. Penilaian kadar bilirubin pada masing-masing tempat
tersebut disesuaikan dengan tabel yang telah diperkirakan kadar bilirubinnya.
Tabel 1. Derajat ikterus pada neonatus menurut Kramer7
11
- Korioretinitis, berhubungan dengan infeksi kongenital
- Tanda hipotiroid
Pemeriksaan penunjang9,10
Riwayat rinci dan pemeriksaan fisik menunjukkan bahwa bayi yang berkembang dan
menyusui cukup merupakan elemen kunci untuk diagnosis. Pengujian berikut ini harus
dipertimbangkan jika kadar bilirubin serum lebih dari 12 mg/dl.
Kadar bilirubin terkonjugasi lebih besar dari 2 mg/dL menunjukkan kolestasis,
atresia bilier, atau sepsis.
Hitung darah lengkap dengan temuan jumlah retikulosit adalah sebagai berikut:
- Polisitemia (hematokrit > 65%)
- Anemia (hematokrit <40%)
- Sepsis (leukosit <5000/mL atau >20.000/mL), rasio neutrofil immatur dan
matang > 0,2
Berat jenis urine dapat berguna dalam penilaian status hidrasi.
Jika hemolisis dicurigai, pertimbangkan tes berikut:
- Golongan darah untuk mengevaluasi ABO, Rh atau ketidakcocokan golongan
darah lainnya
- Coombs tes, serta tes elusi untuk antibodi terhadap A atau B, untuk mengevaluasi
hemolisis dimediasi kekebalan
- Apusan darah tepi untuk mencari bentuk sel darah merah abnormal (ovalocytes,
acanthocytes, spherocytes, schistocytes).
- Kadar enzim G6PD
- Hitung retikulosit
Jika dicurigai sepsis, pertimbangkan tes berikut:
- Kultur darah
- Diferensial leukosit
- Jumlah trombosit
- Analisa dan kultur urin
Tanda-tanda penyakit kuning kolestatik menyingkirkan atresia bilier atau
penyebab lain dari kolestasis adalah sebagai berikut:
- Urin gelap atau positif bagi bilirubin
- Tinja berwarna terang
- Ikterus persisten selama lebih dari 3 minggu
12
Uji fungsi hati, pemeriksaan galaktosemia, defek metabolik, dan hipotiroidisme.
2.8 PENATALAKSANAAN
Pencegahan :
1. Pencegahan primer
- Menganjurkan ibu untuk menyusui bayinya paling sedikit 8-12 kali perhari
untuk beberapa hari pertama.
- Tidak memberikan cairan tambahan rutin seperti dekstrose atau air pada bayi
yang mendapat ASI dan tidak mengalami dehidrasi.
2. Pencegahan sekunder
- Harus melakukan penilaian sistematis terhadap resiko kemungkinan terjadinya
hiperbilirubinemia berat, selama periode neonatal.
13
- Tentang golongan darah: Semua wanita hamil harus diperiksa golongan darah
ABO dan rhesus serta penyaringan serum antibodi isoimun yang tidak biasa
- Bila golongan darah ibu tidak diketahui atau Rh negatif dilakukan
pemeriksaan antibodi direk (tes coombs), golongan darah dan tipe Rh (D)
darah tali pusat bayi.
- Bila golongan darah ibu O,Rh positif terdapat pilihan untuk dilakukan tes
golongan darah dan tes Coombs pada darah tali pusat bayi, tetapi hal itu tidak
diperlukan jika dilakukan pengawasan, penilaian terhadap resiko sebelum
keluar rumah sakit (RS) dan tidak lanjut yang memadai.
- Tentang penilaian klinis : Harus memastikan bahwa semua bayi secara rutin
dimonitor terhadap timbulnya ikterus dan menetapkan protokol terhadap
penilaian ikterus yang harus dinilai saat memeriksa tanda vital, terapi tidak
kurang dari setiap 8-12 jam.
- Protokol untuk penilaian ikterus harus melibatkan seluruh staf perawatan yang
dituntut untuk dapat memeriksa tingkat bilirubin secara transkutan atau
memeriksakan bilirubin serum total.
14
Penggunaan Farmakoterapi : 10
Farmakoterapi telah digunakan untuk mengelola hiperbilirubinemia dengan
merangsang induksi enzim- enzim hati dan protein pembawa, guna mempengaruhi
penghancuran heme, atau untuk mengikat bilirubin dalam usus halus sehingga
reabsorpsi enterohepatik menurun. Antara lain :
1. Imunoglobulin intravena telah digunakan pada bayi- bayi dengan Rh yang berat
dan imunokompabilitas ABO untuk menekan hemolisis isoimun dan menurunkan
tindakan tranfusi. IVIG dapat digunakan dengan dosis 0,5 g- 1g/kgbb (single
dose)
2. Fenobarbital telah memperlihatkan hasil lebih efektif, merangsang aktifitas, dan
konsentrasi UDPGT dan ligandin serta dapat meningkatkan jumlah tempat ikatan
bilirubin. Terjadi peningkatan uptake hepar, konjugasi dan eksresi bilirubin.
Penggunaan fenobarbital setelah lahir masih kontroversial dan secara umum
tidak direkomendasikan. Diperlukan waktu beberapa hari sebelum terlihat
perubahan bermakna, hal ini membuat pengguaan fototerapi nampak jauh lebih
muda. Fenobarbital telah digunakan pertama kali pada inkompabilitas Rh untuk
mengurangi jumlah tindakan tranfusi ganti. Penggunaan fenobarbital profilaksis
untuk mengurangi pemakaian fototerapi atau transfusi ganti pada bayi dengan
defisiensi G6PD ternyata tidak membuahkan hasil.
3. Pencegahan hiperbilirubinemia dengan menggunakan metalloprotoporpirin juga
telah diteliti. Zat ini adalah analoq sintesis heme. Protoporpirin telah terbukti
efektif sebagai inhibitor kompetitif sari heme oksigenase, enzim ini deperlukan
untuk katabolisme heme menjadi biliverdin, dengan zat ini heme dicegah dari
katabolisme dan diekskresikan secara utuh didalam empedu.
4. Pada penelitian terhadap bayi kurang dan cukup bulan, bayi dengan datau tanpa
penyakit hemolitik, tin-protoporpirin (Sn-PP) dan tin- mesoporpirin (Sn-MP)
dapat menurunkan kadar bilirubin serum. Penggunaan fototerapi setelah
pemberian Sn-PP berhubungan dnegan timbulnya eritema foto toksik. Sn- MP
kurang bersifat toksik, khususnya jika digunakan bersamaan dengan fototerapi.
Pada penelitian terbaru dnegan penggunaan Sn-MP maka fototerapi pada bayi
cukup bulan tidak diperlukan lagi, sedangkan pada bayi kurang penggunaannya
15
telah banyak berkurang. Pemakaian obat ini masih dalam percobaan dan keluaran
jangka panjang belum diketahui, sehingga pemakaian obat ini sebaiknya hanya
digunakan untuk bayi yang mempunyai resiko tinggi tehadap kejadian
hiperbilirubinemia ynag berkembang menjadi disfungsi neurologi dan juga
sebagai klinikal trial.
5. Baru- baru ini dilaporkan bahwa pemberian inhibitor B Glukoronidase pada bayi
sehat cukup bulan yang mendapat ASI, seperti asam L-Aspartik dan casein
hoidrolisat dalam jumlah kecil (5ml / dosis – 6x perhari ) dapat meningkatkan
pengeluaran bilirubin feses dan ikterus menjadi berkurang dibandingkan dengan
bayi kontrol. Kelompok bayi yang mendapat campuran whey atau kasein (bukan
inhibitor B glukuronidase) Kuningnya juga tampak menurun dibandingkan
dengan kelompok kontrol, hal ini mungkin disebabkan oleh peningkatan ikatan
bilirubin konjugasi yang berakibat pada penurunan jalur enterohepatik.
Foto Terapi
16
2. Bayi dengan hemolitik isoimun dengan fototerapi intensif TSB meningkat diperlukan
transfusi tukar. Apabila memungkinkan berikan imunoglobulin 0,5 – 1 gr/kg > 2 jam,
ulangi dalam 12 jam bila perlu.
3. Apabila berat badan turun >12%, dehidrasi berikan formula/ASI peras/cairan
intravena (kristaloid).
4. Apabila TSB tidak menurun, atau TSB berubah pada kadar transfusi tukar, atau rasio
TSB/albumin melebihi fig. 4 à pertimbangkan transfusi tukar.
5. Tergantung penyebab hiperbilirubinemia, setelah terapi sinar distop dan setelah
pulang, periksa TSB setelah 24 jam kemudian
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan terapi sinar ialah:
Lampu yang dipakai sebaiknya tidak digunakan lebih dari 500 jam, untuk
menghindari turunnya energy yang dihasilkan oleh lampu yang digunakan.
Pakaian bayi dibuka agar bagian tubuh dapat seluas mungkin terkena sinar.
Kedua mata ditutup dengan penutup yang dapat memantulkan cahaya untuk
mencegah kerusakan retina. Penutup mata dilepas saat pemberian minum dan
kunjungan orang tua untuk memberikan rangsang visual pada neonatus. Pemantauan
iritasi mata dilakukan tiap 6 jam dengan membuka penutup mata.
17
Daerah kemaluan ditutup, dengan penutup yang dapat memantulkan cahaya untuk
melindungi daerah kemaluan dari cahaya fototeraphy.
Pada lampu diatur dengan jarak 20-30cm di atas tubuh bayi, untuk mendapatkan
energi yang optimal.
Posisi bayi diubah tiap 8 jam , agar tubuh mendapat penyinaran seluas mungkin.
Suhu tubuh diukur 4-6 jam sekali atau sewaktu-waktu bila perlu.
Pemasukan cairan dan minuman dan pengeluaran urine, feses, dan muntah diukur,
dicatat dan dilakukan pemantauan tanda dehidrasi
Hidrasi bayi diperhatikan, bila perlu konsumsi cairan ditingkatkan.
Lamanya terapi sinar dicatat.
Apabila dalam evaluasi kadar bilirubin serum barada dalam batas normal, terapi sinar
dihentikan. Jika kadar bilirubin masih tetap atau tidak banyak berubah, perlu dipikirkan
adanya beberapa kemungkinan, antara lain lampu yang tidak efektif atau bayi menderita
dehidrasi, hipoksia, infeksi, dan gangguan metabolism.
Kelainan yang mungkin timbul pada neonatus yang mendapati terapi sinar adalah :
Peningkatan kehilangan cairan yang tidak terukur.
Energi cahaya fototerapi dapat meningkatkan suhu lingkungan dan menyebabkan
peningkatan penguapan melalui kulit. Terutama bayi premature atau berat lahir sangat
rendah. Keadaan ini dapat di antisipasi dengan pemberian cairan tambahan.
Frekuensi defekasi meningkat. Meningkatnya bilirubin indirect pada usus akan
meningkatkan pembentukan enzim lactase yang dapat meningkatkan peristaltic usus.
Pemberian susu dengan kadar laktosa rendah akan mengurangi timbulnya diare.
Timbul kelainan kulit di daerah muka badan dan ekstremitas, dan akan segera hilang
setelah terapi berhenti. Di laporkan pada beberapa bayi terjadi “bronze baby
syndrome”, hal ini terjadi karena tubuh tidak mampu mengeluarkan dengan segera
hasil terapi sinar. Perubahan warna kulit ini bersifat sementara dan tidak
mempengaruhi proses tumbuh kembang bayi.
Peningkatan suhu.
Beberapa neonatus yang mendapat terapi sinar, menunjukkan kenaikan suhu tubuh,
ini disebabkan karena suhu lingkungan yang meningkat atau gangguan pengaturan
suhu tubuh bayi.
Kadang di temukan kelainan, seperti gangguan minum, letargi, dan iritabilitas. Ini
bersifat sementara dan hilang sendirinya.
18
Transfusi Tukar
Transfusi tukar adalah suatu tindakan pengambilan sejumlah darah pasien yang
dilanjutkan dengan pengembalian darah dari donor dalam jumlah yang sama yang dilakukan
berulang-ulang sampai sebagian besar darah pasien tertukar.11 Pada pasien
hiperbilirubinemia, tindakan tersebut bertujuan mencegah ensefalopati bilirubin dengan cara
mengeluarkan bilirubin indirek dari sirkulasi. Pada bayi hiperbilirubinemia karena
isoimunisasi, transfusi tukar mempunyai manfaat lebih karena akan membantu mengeluarkan
antibodi maternal dari sirkulasi darah neonatus. Hal tersebut akan mencegah terjadinya
hemolisis lebih lanjut dan memperbaiki kondisi anemianya.
19
7. Transfusi tukar memakai 2 kali volume darah ( 2 kali exchange), yaitu 160 ml/kgBB
sehingga akan diperoleh darah baru pada bayi yang dilakukan transfusi tukar, terjadi
sekitar sekitar 87%.
20
BAB III
KESIMPULAN
Bilirubin berasal dari degradasi heme yang merupakan komponen hemoglobin. Pada
neonatus hepar belum berfungsi secara optimal, sehingga proses konjugasi bilirubin tidak
terjadi secara maksimal. Keadaan ini akan menyebabkan akumulasi bilirubin tak terkonjugasi
didalam darah yang mengakibatkan neonatus terlihat bewarna kuning pada sklera dan kulit. 3
Bilirubin dalam darah terdiri dari dua bentuk, yaitu bilirubin terkonjugasi dan bilirubin tak
terkonjugasi. Bilirubin terkonjugasi larut dalam air dan dapat dikeluarkan melalui urin.
Sedangkan bilirubin tak terkonjugasi tidak larut dalam air dan terikat pada albumin.3
21
DAFTAR PUSTAKA
1. Ikatan dokter anak indonesia. Pedoman pelayanan medis. Edisi ke 2. IDAI. 2011; H.147-
170.
2. Mishra S, Agarwal R, Deorari AK, Paul VK. Jaundice in the newborns. Indian journal of
pediatrics. 2016; 75: Pg. 157-163.
3. Maisels MJ. Neonatal Hyperbilirubinemia. In: Klaus MH, Fanaroff AA, editors. Care of
the High-Risk Neonate (Fifth Edition). Philadelphia: WB Saunders Co, 2001; p.324-62.
4. Ambalavanan N, Carlo WA. Jaundice and Hyperbilirubinemia in the Newborn. In:
Kliegman R, Stanton B, Schor N, St Geme J, Beherman R. Nelson Textbook of
Pediatrics. 2011. Philadelphia: Elsevier; 2015. p.603-8.
5. Mathindas S, Wilar R, Wahani A. Hiperbilirubinemia pada neonatus. Jurnal Biomedik.
Maret 2015; 5(1): 4-10
6. Maisels MJ. Neonatal Hyperbilirubinemia. In: Klaus MH, Fanaroff AA, editors. Care of
the High-Risk Neonate (Fifth Edition). Philadelphia: WB Saunders Co, 2001; p.324-62.
7. Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, editors. Nelson Textbook of Pediatrics (17th
Edition). Philadelphia PA: Saunders; 2004.
8. Pudjiadi AH, Hegar B, Handryastuti S, dkk. Hiperbilirubinemia. Dalam: Pedoman
Pelayanan Medis Ikatan Dokter Indonesia Edisi II. Jakarta: Ikatan Dokter Indonesia.
2011; h.114-122
9. Deshpande PG. Breast Milk Jaundice Workup. Diakses melalui:
http://emedicine.medscape.com/article/973629-workup
10. Maisels MJ. (1998). Jaundice. In: Taeugah H.W., Ballard R.A., Avery M.E., editors.
(eds). Schaffers and Avery’s Diseases of Newborn ( 7th ed.). Philadelphia: WB Saunders
Company; pp. 603– 708.
11. Amerian Academy of Pediatrics. Management of Hyperbilirubinemia in the
Newborn Infant 35 or More Weeks of Gestation. Pediatrics. 2004;114;297.
22