Anda di halaman 1dari 18

BAB 1.

KONSEP PENYAKIT

2.1 Definisi
Demam tifoid (typus abdominalis, enteric fever) adalah infeksi sistemik
yang disebabkan kuman salmonella enterika, khususnya varian-varian
turunannya, yaitu salmonella typhi, Paratyphi A, Paratyphi B dan Paratyphi
C. Kuman-kuman tersebut menyerang pencernaan, terutama diperut dan
usus. Demam tifoid sendiri merupakan penyakit infeksi akut yang sering
ditemukan di masyarakat (endemik) Indonesia (Suratun 2010).
Demam tifoid ialah suatu sindrom sistemik yang disebabkan oleh
salmonella typhi. Demam tifoid merupakan jenis terbanyak dari
salmonelosis. Jenis lain dari demam enterik adalah demam paratifoid yang
disebabkan oleh S. Paratyphi A, S. Schottmuelleri (semula S. Paratyphi B),
dan S. Hirschfeldii (semula S. Paratyphi C).
Demam tifoid memperlihatkan gejala lebih berat dibandingkan demam
enterik yang lain (Widagdo, 2011).
Beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa penyakit demam tifoid
adalah suatu penyakit infeksi akut yang menyerang saluran pencernaan yaitu
pada usus halus yang disebabkan oleh kuman salmonella typhi yang masuk
melalui makanan atau minuman yang tercemar dan ditandai dengan demam
berkepanjangan lebih dari satu minggu, gangguan pada saluran pencernaan,
dan lebih diperburuk dengan gangguan penurunan kesadaran.

2.2 Klasifikasi
Menurut WHO (2003), ada 3 macam klasifikasi demam tifoid dengan
perbedaan gejala klinis:
1. Demam tifoid akut non komplikasi
Ditandai dengan adanya demam berkepanjangan abnormalis fungsi
bowel (konstipasi pada pasien dewasa, dan diare pada anak-anak), sakit
kepala, malaise, dan anoksia. Bentuk bronchitis biasa terjadi pada fase
awal penyakit selama periode demam, sampai 25% penyakit
menunjukkan adanya resespot pada dada, abdomen dan punggung.
2. Demam tifoid akut dengan komplikasi
Pada demam tifoid akut keadaan mungkin dapat berkembang menjadi
komplikasi parah. Bergantung pada kualitas pengobatan dan keadaan

1
kliniknya, hingga 10% pasien dapat mengalami komplikasi, mulai dari
melena, perforasi, susu dan peningkatan ketidaknyamanan abdomen.
3. Keadaan karier
Terjadi pada 1-5% pasien, tergantung umur pasien. Karier tifoid bersifat
kronis dalam hal sekresi Salmenella typhi di feses.

2.3 Etiologi
Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi atau Salmonella
paratyphi dari Genus Salmonella. Bakteri ini berbentuk batang, gram negatif,
tidak membentuk spora, motil, berkapsul dan mempunyai flagela (bergerak
dengan rambut getar). Bakteri ini dapat hidup sampai beberapa minggu di
alam bebas seperti di dalam air, es, sampah dan debu. Bakteri ini dapat mati
dengan pemanasan (suhu 600C) selama 15-20 menit, pasteurisasi,
pendidihan dan khlorinisasi. Salmonella typhi adalah bakteri batang gram
negatif yang menyebabkan demam tifoid. Salmonella typhi merupakan salah
satu penyebab infeksi tersering di daerah tropis, khususnya di tempat-tempat
dengan higiene yang buruk (Rahayu E., 2013).

2.4 Patofisiologi
Penularan salmonella thypi dapat ditularkan melalui berbagai cara, yang
dikenal dengan 5F yaitu Food (makanan), Fingers (jari tangan/kuku),
Fomitus (muntah), Fly (lalat), dan melalui Feses (Padila, 2013). Feses dan
muntah pada penderita tifoid dapat menularkan bakteri salmonella typhi
kepada orang lain melalui perantara lalat, dimana lalat akan hinggap
dimakanan yang akan dikonsumsi oleh orang yang sehat. Apabila makanan
tersebut kurang memperhatikan kebersihan dirinya seperti mencuci tangan
dan makanan yang tercemar salmonella typhi masuk ke tubuh orang yang
sehat melalui mulut. Kemudian bakteri masuk ke dalam lambung, Salah satu
faktor penting yang menghalangi Salmonella typhi mencapai usus halus
adalah keasaman lambung. Bila keasaman lambung berkurang atau
makanan terlalu cepat melewati lambung, maka hal ini akan memudahkan
infeksi Salmonella typhi. Setelah masuk ke saluran cerna dan mencapai
usus halus, Salmonella typhi akan ditangkap oleh makrofag di usus halus
dan memasuki peredaran darah, menimbulkan bakteremia primer.
Selanjutnya, Salmonella typhi akan mengikuti aliran darah hingga sampai di

2
kandung empedu. Bersama dengan sekresi empedu ke dalam saluran
cerna, Salmonella typhi kembali memasuki saluran cerna dan akan
menginfeksi Peyer’s patches, yaitu jaringan limfoid yang terdapat di ileum,
kemudian kembali memasuki peredaran darah, menimbulkan bakteremia
sekunder. Pada saat terjadi bakteremia sekunder, dapat ditemukan gejala-
gejala klinis dari demam tifoid. Salmonella typhi mempunyai 3 macam
antigen, yaitu:
1. Antigen O (Antigen somatik), yaitu terletak pada lapisan luar dari tubuh
kuman. Bagian ini mempunyai struktur kimia lipopolisakarida atau
disebut juga endotoksin. Antigen ini tahan terhadap panas dan alkohol
tetapi tidak tahan terhadap formaldehid.
2. Antigen H (Antigen flagela), yang terletak pada flagela, fimbriae atau pili
dari kuman. Antigen ini mempunyai struktur kimia suatu protein dan
tahan terhadap formaldehid tetapi tidak tahan terhadap panas dan
alkohol yang telah memenuhi kriteria penilaian.
3. Antigen Vi yang terletak pada kapsul (envelope) dari kuman yang dapat
melindungi kuman terhadap fagositosis. Ketiga macam antigen tersebut
di atas di dalam tubuh penderita akan menimbulkan pula pembentukan 3
macam antibodi yang lazim disebut aglutinin (Sudoyo A.W., 2010).

2.5 Manifestasi klinis


Menurut Ardiansyah (2012) masa inkubasi demam tifoid berkisar antara
7-21 hari, namun dapat mencapai 3-30 hari. Selama masa inkubasi mungkin
ditemukan gejala prodromal yaitu perasaan tidak enak badan, lesu, nyeri
kepala, pusing dan tidak bersemangat, yang kemudian demam, gangguan
pada saluran pencernaan, dan gangguan kesadaran.
a. Masa inkubasi
Masa inkubasi dapat berlangsung 7-21 hari, walaupun pada umumnya
adalah 10-14 hari. Pada awal penyakit keluhan dan gejala penyakit yang
dirasakan seperti gejala influenza, berupa : anoreksia, rasa malas, sakit
kepala bagian depan, nyeri otot, lidah kotor, dan nyeri perut. (Parry et al,
2002)
b. Minggu pertama (awal terinfeksi)
Setelah melewati masa inkubasi 10-14 hari, gejala penyakit itu pada
awalnya sama dengan penyakit infeksi akut yang lain, seperti demam

3
tinggi yang berpanjangan yaitu setinggi 39ºC hingga 40ºC, sakit kepala,
pusing, pegal-pegal, anoreksia, mual , muntah, batuk, dengan nadi antara
80-100 kali permenit, denyut lemah, pernapasan semakin cepat dengan
gambaran bronkitis kataral, perut kembung dan merasa tidak enak,
sedangkan diare dan sembelit dapat terjadi bergantian. Pada akhir
minggu pertama,diare lebih sering terjadi. Khas lidah pada penderita
adalah kotor di tengah, tepi dan ujung merah serta bergetar atau tremor.
Epistaksis dapat dialami oleh penderita sedangkan tenggorokan terasa
kering dan beradang. Jika penderita ke dokter pada periode tersebut,
akan menemukan demam dengan gejala-gejala di atas yang bisa saja
terjadi pada penyakit-penyakit lain juga. Ruam kulit (rash) umumnya
terjadi pada hari ketujuh dan terbatas pada abdomen disalah satu sisi dan
tidak merata, bercak-bercak ros (roseola) berlangsung 3-5 hari, kemudian
hilang dengan sempurna (Brusch, 2011). Roseola terjadi terutama pada
penderita golongan kulit putih yaitu berupa makula merah tua ukuran 1-5
mm, berkelompok, timbul paling sering pada kulit perut, lengan atas atau
dada bagian bawah, kelihatan memucat bila ditekan (Soedarmo, 2010).
c. Minggu kedua
Jika pada minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur meningkat
setiap hari, yang biasanya menurun pada pagi hari kemudian meningkat
pada sore atau malam hari. Karena itu, pada minggu kedua suhu tubuh
penderita terus menerus dalam keadaan tinggi/demam. Terjadi
perlambatan relatif nadi penderita. Gejala toksemia semakin berat yang
ditandai dengan keadaan penderita yang mengalami delirium. Gangguan
pendengaran umumnya terjadi. Lidah tampak kering,merah mengkilat.
Nadi semakin cepat sedangkan tekanan darah menurun, sedangkan diare
menjadi lebih sering yang kadang-kadang berwarna gelap akibat terjadi
perdarahan. Pembesaran hati dan limpa. Perut kembung dan sering
berbunyi. Gangguan kesadaran. Mengantuk terus menerus, mulai kacau
jika berkomunikasi dan lain-lain (Supriyono, 2011).
d. Minggu ketiga
Pada minggu ketiga, demam semakin memberat dan terjadi anoreksia
dengan pengurangan berat badan yang signifikan. Konjungtiva terinfeksi,
dan pasien mengalami takipnu dengan suara crakcles di basis paru.
Jarang terjadi distensi abdominal. Beberapa individu mungkin akan jatuh

4
pada fase toksik yang ditandai dengan apatis, bingung, dan bahkan
psikosis. Nekrosis pada Peyer’s patch mungkin dapat menyebabkan
perforasi saluran cerna dan peritonitis. Degenerasi miokardial toksik
merupakan penyebab umum dari terjadinya kematian penderita demam
tifoid pada minggu ketiga (Brusch, 2011).
e. Minggu keempat
Pada minggu ke empat demam turun perlahan secara lisis, kecuali jika
fokus infeksi terjasi seperti kolesistitis, abses jaringan lunak maka demam
akan menetap (Soedarmo, 2010). Pada mereka yang mendapatkan
infeksi ringan dengan demikian juga hanya menghasilkan kekebalan yang
lemah,kekambuhan dapat terjadi dan berlangsung dalam waktu yang
pendek. Kekambuhan dapat lebih ringan dari serangan primer tetapi
dapat menimbulkan gejala lebih berat daripada infeksi primer tersebut.
Sepuluh persen dari demam tifoid yang tidak diobati akan mengakibatkan
timbulnya relaps (Supriyono, 2011)
2.6 Penatalaksanaan
Prinsip penatalaksanaan demam tifoid masih menganut trilogi
penatalaksanaan yang meliputi :
1. Istirahat dan perawatan,bertujuan untuk mencegah komplikasi dan
mempercepat penyembuhan. Tirah baring dengan perawatan dilakukan
sepenuhnya di tempat seperti makan, minum, mandi, dan BAB/BAK.
Posisi pasien diawasi untuk mencegah dukubitus dan pnemonia
orthostatik serta higiene perorangan tetap perlu diperhatikan dan dijaga.
2. Diet dan Terapi Penunjang.
Mempertahankan asupan kalori dan cairan yang adekuat, yaitu berupa:
a) Memberikan diet bebas yang rendah serat pada penderita tanpa
gejala meteorismus, dan diet bubur saring pada penderita dengan
meteorismus. Hal ini dilakukan untuk menghindari komplikasi
Perdarahan saluran cerna dan perforasi usus. Gizi penderita juga
diperhatikan agar meningkatkan keadaan umum dan mempercepat
proses penyembuhan.
b) Cairan yang adekuat untuk mencegah dehidrasi akibat muntah dan
diare.
c) Primperan (metoclopramide) diberikan untuk mengurangi gejala
mual muntah dengan dosis 3 x 5 ml setiap sebelum makan dan

5
dapat dihentikan kapan saja penderita sudah tidak mengalami mual
lagi.
3. Pemberiam antimikroba
Pada demam tifoid, obat pilihan yang digunakan dibagi menjadi
lini pertama dan lini kedua. Kloramfenikol, kotrimosazol, dan
amoksisilin/ampisilin adalah obat demam tifoid lini pertama. Lini kedua
adalah kuinolon (tidak dianjurkan untuk anak dibawah 18 tahun),
sefiksim, dan seftriakson.
Kloramfenikol dengan dosis 4 x 500 mg per hari dapat diberikan
secara oral maupun intravena, diberikan sampai dengan 7 hari bebas
panas. Kloramfenikol bekerja dengan mengikat unit ribosom dari kuman
salmonella, menghambat pertumbuhannya dengan menghambat
sintesis protein. Sementara kerugian penggunaan kloramfenikol adalah
angka kekambuhan yang tinggi (5-7%), penggunaan jangka panjang (14
hari), dan seringkali menyebabkan timbulnya karier. Tiamfenikol, dosis
dan efektifitasnya pada demam tofoid sama dengan kloramfenikol yaitu
4 x 500 mg, dan demam rata-rata menurun pada hari ke-5 sampai ke-6.
Komplikasi hematologi seperti kemungkinan terjadinya anemia aplastik
lebih rendah dibandingkan dengan kloramfenikol. Ampisillin dan
Amoksisilin, kemampuan untuk menurunkan demam lebih rendah
dibandingkan kloramfenikol, dengan dosis 50-150 mg/kgBB selama 2
minggu. Trimetroprim-sulfamethoxazole, (TMPSMZ) dapat digunakan
secara oral atau intravena pada dewasa pada dosis 160 mg TMP
ditambah 800 mg SMZ dua kali tiap hari pada dewasa. Sefalosforin
Generasi Ketiga, yaitu seftriakson dengan dosis 3- 4 gram dalam
dekstrosa 100 cc diberikan selama ½ jam perinfus sekali sehari,
diberikan selama 3-5 hari. Golongan Flurokuinolon (norfloksasin,
siprofloksasin). Secara relatif obat – obatan golongan ini tidak mahal,
dapat ditoleransi dengan baik, dan lebih efektif dibandingkan obat –
obatan lini pertama sebelumnya (kloramfenikol, ampisilin, amoksisilin
dan trimethoprimsulfamethoxazole). Flurokuinolon memiliki kemampuan
untuk menembus jaringan yang baik, sehingga mampu membunuh
S.thypi yang berada dalam stadium statis dalam monosit/makrofag dan
dapat mencapai level obat yang lebih tinggi dalam kantung empedu
dibanding dengan obat yang lain. Obat golongan ini mampu

6
memberikan respon terapeutik yang cepat, seperti menurunkan keluhan
panas dan gejala lain dalam 3 sampai 5 hari. Penggunaan obat
golongan flurokuinolon juga dapat menurunkan kemungkinan kejadian
karier pasca pengobatan. Kombinasi 2 antibiotik atau lebih diindikasikan
pada keadaan tertentu seperti toksik tifoid, peritonitis atau perforasi,
serta syok septik. Pada wanita hamil, kloramfenikol tidak dianjurkan
pada trimester ke-3 karena menyebabkan partus prematur, kematian
fetus intrauterin, dan grey syndrome pada neonatus. Tiamfenikol tidak
dianjurkan pada trimester pertama karena memiliki efek teratogenik.
Obat yang dianjurkan adalah ampisilin, amoksisilin, dan seftriakson.

2.7 Pemeriksaan penunjang


1. Pemeriksaan darah tepi
Leukopenia, limfositosis, aneosinofilia, anemia, trombositopenia
2. Pemeriksaan SGOT dan SGPT
Jumlah SGOT dan SGPT akan meningkat, tetapi akan normal jika
sembuh dari demam thypoid
3. Pemeriksaan sumsum tulang
Menunjukkan gambaran hiperaktif sumsum tulang
4. Biakan empedu
Terdapat basil salmonella typhosa pada urin dan tinja. Jika pada
pemeriksaan selama dua kali berturut-turut tidak didapatkan basil
salmonella typhosa pada urin dan tinja, maka pasien dinyatakan betul-
betul sembuh
5. Pemeriksaan widal
Didapatkan titer terhadap antigen 0 adalah 1/200 atau lebih, sedangkan
titer terhadap antigen H walaupun tinggi akan tetapi tidak bermakna untuk
menegakkan diagnosis karena titer H dapat tetap tinggi setelah dilakukan
imunisasi atau bila penderita telah lama sembuh.
6. Uji Tubex
Uji Tubex merupakan uji semi-kuantitatif kolometrik yang cepat (beberapa
menit) dan mudah untuk dikerjakan. Uji ini mendeteksi antibodi anti-
S.typhi O9 pada serum pasien, dengan cara menghambat ikatan antara
IgM anti-O9 yang terkonjugasi pada partikel latex yang berwarna dengan
lipopolisakarida S.typhi yang terkonjugasi pada partikel magnetik latex.

7
Hasil positif uji Tubex ini menunjukkan terdapat infeksi Salmonellae
serogroup D walau tidak secara spesifik menunjuk pada S.typhi. Infeksi
oleh S.paratyphi akan memberikan hasil negatif (Sudoyo, 2010)

8
2.8 Pathways
Salmonella thyposa

Penurunan peristaltik usus


Masuk kedalam darah masuk kedalam saluran
pencernaan

Bakteri mengeluarkan endotoksin bakteri masuk ke usus halus


Peningkatan asam lambung
Penurunan tonus otot
Peradangan lokal meningkat inflamasi usus halus

Gangguan pada pusat termoregulasi bising usus menurun gangguan saluran


Kelemahan fisik
pencernaan Malaise

kegagalan termoregulasi
Anoreksia Diare
Imobilisasi
Peningkatan metabolisme Nyeri Akut

Mual Muntah
Intoleransi Aktivitas
Dehidrasi Badan terasa tidak enak

Hipertermi Ketidakmampuan mencerna makanan Tidak bisa tidur nyenyak


Kehilangan cairan aktif

Pola tidur tidak menyehatkan


Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh Asupan cairan kurang

Gangguan pola tidur


Defisien volume cairan

9
BAB 2. ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Pengkajian Keperawatan


3.1.1 Anamnesa
1) Riwayat kesehatan dahulu
Apakah pasien pernah mengalami riwayat demem thypoid atau
yang lainnya sebelumnya
2) Riwayat kesehatan sekarang
Pasien dengan demam thypoid biasanya mengeluh perasaan
tidak enak badan, lesu, nyeri kepala, pusing dan tidak
bersemangat, demam, gangguan pada saluran pencernaan,
sampai dengan gangguan kesadaran.
3) Riwayat kesehatan keluarga
Apakah keluarga ada yang pernah mengalami demam typoid atau
yang lainnya
4) Riwayat Tumbuh Kembang
Yang dimaksud dengan riwayat tumbuh kembang adalah kelaian-
kelainan fisik atau kematangan dari perkembangan dan
pertumbuhan seseorang yang dapat mempengarui keadaan
penyakit, misalnya pernah ikterus saat proses kelahiran yang
lama atau lahir prematur.
3.1.2 Pemeriksaan fisik
1) Keadaan umum
Biasanya pasien dengan thypoid mengalami demam, badan
lemah, muka pucat, merasa mual dan perut tidak enak.
2) Kepala
Konjungtiva anemis, mata cowong. muka pucat, bibir kering, lidah
kotor, dan hidung terjadi epistaksis.
3) Sistem kardiovaskuler
Biasanya pasien dengan thypoid ditemukan adanya tekanan
darah yang meningkat akan tetapi bisa didapatkan takikardi ketika
mengalami peningkatan suhu tubuh.
4) Sistem integumen
Turgor kulit menurun, pucat, berkeringat banyak, akral hangat,
kadang-kadang terdapat juga bintik bintik merah di kulit
5) Sistem abdomen

10
Perut kembung dan terdapat nyeri tekan
6) Sistem eliminasi
Pasien thypoid kadang-kadang mengalami diare atau bisa juga
konstipasi, produk kemih pasien bisa mengalami penurunan
7) Sistem persarafan
Ada beberapa pasien dengan demam thypoid akan memunculkan
gejala sampai dengan penurunan kesadaran
3.1.3 Data psikologi dan sosial
1) Riwayat psikososial
Demam thypoid biasanya membuat anak gelisah sampai
menangis karena efek dari gejala yang menyebabkan badan
terasa tidak enak.
2) Lingkungan dan tempat tinggal
Mengkaji mengenai kebersihan lingkungan, tempat tinggal, area
lingkungan rumah, dan kebiasaan anak yang dapat ditanyakan ke
keluarga

3.2 Diagnosa Keperawatan


Beberapa diagnosa yang sering muncul pada pasien dengan demam tipoid
adalah sebegai berikut :
1. Hipertermi berhubungan dengan dehidrasi
2. Diare berhubungan dengan inflamasi gastrointestinal
3. Mual berhubungan dengan iritasi gastrointestinal
4. Defisien volume cairan berhubungan dengan asupan cairan kurang
5. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan ketidakmampuan mencerna makanan
6. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologis
7. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan imobilisasi
8. Gangguan pola tidur berhubungan dengan pola tidur tidak menyehatkan.

11
3.3 Intervensi

No Hari, Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Intervensi Paraf


Tanggal, Hasil
Jam
Senin, 7 Hipertermi b.d dehidrasi Setelah dilakukan asuhan Perawatan Demam (3740) Ns.Maida
Januari 2018 keperawatan 2x24 jam a. Pantau suhu dan
08.00 Termoregulasi (0800) tanda-tanda vital
dapat dipertahankan pada lainnya
skala 3 ditingkatkan ke b. Monitor warna kulut
skala 5 dengan indicator dan suhu
: c. Monitor asupan dan
1. Hipertermi keluaran, sadari
2. Melaporkan perubahan kehilangan
tingkat cairan yang tidak
kenyamanan dirasakan
suhu. d. Tutup pasien dengan
selimut atau pakaian
ringan tergaantung

12
pada fase demam.
e. Dorong konsumsi
cairan.
Ketidak Setelah dilakukan asuhan Manajemen nutrisi (1100) Ns.Maida
seimbangan keperawatan 1x24 jam a. Tentukan status gizi
nutrisi kurang Status Nutrisi (1004) dan kemampuan
dari kebutuhan dapat dipertahankan pada pasien untuk
tubuh b.d skala 3 ditingkatkan ke memenuhi kebutuhan
ketidakmampuan skala 5 dengan indicator gizi.
mencerna : b. Atur diet yang
makanan 1. Asupan makanan diperlukan.
2. Asupan cairan c. Ciptakan lingkungan
3. Asupan Gizi yang optimalpada
saat mengkonsumsi
makanan.
d. Pastikan makanan
disajikan menarik dan
pada suhu yang
cocok untuk
konsumsi secara

13
optimal.
e. Anjurkan keluarga
membawa makanan
favorit pasien yang
sesuai.
Nyeri akut berhubungan Setelah dilakukan asuhan Ns.Maida
dengan agen cedera keperawatan 2x24 jam Manajemen nyeri (1400)
biologis Kontrol Nyeri (1604) a. Observasi petunjuk
1. Menggunakan nonverbal mengenai
tindakan ketidaknyamanan
pengurangan b. Ajarkan prinsip-
nyeri tanpa prinsip manajemen
analgesic nyeri
2. Melaporkan nyeri c. Ajarkan penggunaan
yang terkontrol. teknik
nonfarmakologi.

14
3.4 Evaluasi

No Diagnosa Evaluasi Paraf


1. Hipertermi b.d dehidrasi S : keluarga mengatakan pasien Ƞ
sudah tidak panas dan nyeri
O : TTV normal
A : Tujuan Tercapai
P : Intervensi dihentikan
2. Ketidak seimbangan S : Keluarga mengatakan nafsu Ƞ
nutrisi kurang dari makan pasien meningkat
kebutuhan tubuh b.d O : Pasien tampak
ketidakmampuan menghabiskan makanannya
mencerna makanan. A : Tujuan Tercapai
P : Hentikan intervensi
3. Nyeri akut berhubungan S : Pasien mengatakan nyerinya Ƞ
dengan agen cedera biologis sudah berkurang
O: TTV normal, skala nyeri
menurun
A : Tujuan tercapai
P : Intervensi dihentikan

3.5 Discharge Planning

1. Penderita harus dapat diyakinkan cuci tangan dengan sabun setelah


defekasi
2. Mereka yang diketahui sebagai karier dihindari untuk mengelola
makanan
3. Lalat perlu dicegah menghinggapi makanan dan minuman.
4. Penderita memerlukan istirahat
5. Diit lunak yang tidak merangsang dan rendah serat
6. Berikan informasi tentang kebutuhan melakukan aktivitas sesuai dengan
tingkat perkembangan dan kondisi fisik anak

15
7. Jelaskan terapi yang diberikan: dosis, dan efek samping
8. Menjelaskan gejala-gejala kekambuhan penyakit dan hal yang harus
dilakukan untuk mengatasi gejala tersebut
9. Tekankan untuk melakukan kontrol sesuai waktu yang ditentukan.

16
BAB 3. PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi akut yang menyerang saluran
pencernaan yaitu pada usus halus yang disebabkan oleh kuman salmonella
typhi yang masuk melalui makanan atau minuman yang tercemar dan
ditandai dengan demam berkepanjangan lebih dari satu minggu, gangguan
pada saluran pencernaan, dan lebih diperburuk dengan gangguan
penurunan kesadaran.
Gejala klinis demam tifoid pada anak biasanya lebih ringan daripada
orang dewasa. Gambaran klinis demam tifoid pada anak umur < 5 tahun,
khususnya di bawah 1 tahun lebih sulit diduga karena seringkali tidak khas
dan sangat bervariasi. Masa inkubasi demam tifoid berkisar antara 7-21 hari,
namun dapat mencapai 3-30 hari. Selama masa inkubasi mungkin
ditemukan gejala prodromal yaitu perasaan tidak enak badan, lesu, nyeri
kepala, pusing dan tidak bersemangat, yang kemudian demam, gangguan
pada saluran pencernaan, dan gangguan kesadaran.

3.2 Saran
Seseorang dengan demam tipoid harus prinsip penatalaksanaan demam
tifoid masih menganut trilogi penatalaksanaan meliputi pertama, istirahat dan
perawatan yang bertujuan untuk mencegah komplikasi dan mempercepat
penyembuhan. Kedua, diet dan terapi penunjang yakni dengan diet bebas
yang rendah serat pada penderita, cairan yang adekuat untuk mencegah
dehidrasi akibat muntah dan diare, dan primperan (metoclopramide)
diberikan untuk mengurangi gejala mual muntah. Ketiga, yakni pemberian
antimikroba pada demam tifoid, dengan obat pilihan yang digunakan
kloramfenikol, kotrimosazol, amoksisilin/ampisilin, kuinolon (tidak dianjurkan
untuk anak dibawah 18 tahun), sefiksim, dan seftriakson.

17
DAFTAR PUSTAKA

Ardiansyah, M. 2012. Buku Saku Diagnosa Keperawatan, Jakarta: EGC

Brusch, J.L. 2011. Typhoid Fever Clinical Presentation. Diakses dari:


http://emedicine.medscape.com/article/231135-clinical pada tanggal 24
November 2018

Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 2006. Pedoman Pengendalian Demam


Tifoid. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Padila. (2013). Asuhan Keperawatan Penyakit Dalam. Yogyakarta: Nuha Medika

Rahayu, E. 2013. Sensitivitas uji widal dan tubex untuk diagnosis demam tifoid
berdasarkan kultur darah. Semarang: Universitas Muhammadiyah
Semarang.

Saputra, R.K,. Majid, Ruslan,. Bahar, Hartati. 2017. Hubungan Pengetahuan,


Sikap Dan Kebiasaan Makan Dengan Gejala Demam Thypoid Pada
Mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Halu Oleo Tahun
2017. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Kesehatan Masyarakat Vol. 2/NO.6/ Mei
2017; ISSN 250-731X.

Sudoyo, A. W. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 3. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia

Supriyono. 2011. Demam Tifoid (Typhoid Fever). Diakses dari:


http://gizi.depkes.go.id/wpcontent/uploads/2012/08/DEMAMTIFOID2011.pd
fpada tanggal 24 November 2018

Suratun dan Lusianah. (2010). Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem

Soedarmo. 2010. Buku Ajar Infeksi dan pediatri topis. Badan Penerbit IDAI,
Jakarta.

Widagdo. (2011). Masalah dan Tatalaksana Penyakit Infeksi pada Anak. Jakarta
: Sagung Seto

18

Anda mungkin juga menyukai