Anda di halaman 1dari 13

Zat gizi yang dapat menghambat penyerapan zat besi dalam pembentukan

hemoglobin seperti kalsium, tannin, fitat dan oksalat. Kalsium merupakan


inhibitor penyerapan besi heme dan non heme. Kalsium menghambat
penyerapan mukosa awal daripada transfer serosal besi heme,
penghambatan kalsium terjadi dalam langkah-langkah akhir dari transportasi
sel mukosa ke plasma (Roughead, et al.,2005)

Zat inhibitor besi adalah zat dalam bahan makanan yang dapat
menghambat absorbsi besi (DeMaeyer, 1995). Absorbsi zat besi dapat
dihambat oleh tingginya derajat sejumlah faktor pengkelat zat besi termasuk
asam karbonat, asam oksalat, fosfat dan fitat. Faktor serat dalam sayuran
dapat menghambat absorbsi zat besi (Kasdan, 2000).

Penyebab utama kekurangan zat besi adalah gangguan penyerapan zat


besi non-hem karena adanya faktor inhibitor seperti asam fitat atau senyawa
polifenol yang banyak terdapat dalam makanan nabati, buah-buahan,
sayuran, rempah-rempah, kacang-kacangan, sereal dan yang paling tinggi
terdapat dalam teh, kopi, anggur merah, kakao dan berbagai macam teh
herbal (Hurrell, 1999).

Fitat, asam oksalat, tanin bahkan fosfat yang ada dalam berbagai bahan
makanan nabati cenderung membentuk endapan zat besi yang tidak larut
yang menyebabkan zat besi tersebut tidak dapat diserap. Fitat yang terdapat
dalam biji-bijian (grain), tanin yang ada dalam teh dan sayuran tertentu
(Linder, 1992).

Zat yang menghambat penyerapan zat besi antara lain adalah asam fitat,
asam oksalat, dan polifenol seperti tanin yang terdapat pada teh dan kopi
(Thankachan et al. 2008 dalam Yulianasari, 2009).

Zat penghambat absorpsi besi yang sering dikonsumsi atlet berkisar


antara satu sampai tiga macam, yaitu teh, kopi, atau hasil olahan kedelai
yang mengandung asam fitat (Syamsianah dan Handarsari, 2008). Studi-
studi telah menunjukkan bahwa komponen makanan yang paling
menghambat penyerapan Fe adalah asam fitat, polifenol, kalsium dan
leguminosa protein (Hurrell, 1998).
Menurut Susilo (2004) faktor penghambat penyerapan zat besi antara
lain adalah tanin, fitat, oksalat, dan kalsium yang akan mengikat zat besi
sebelum diserap oleh mukosa usus menjadi zat yang tidak dapat larut,
sehingga akan mengurangi penyerapannya. Dengan berkurangnya
penyerapan zat besi, karena faktor penghambat tersebut, maka jumlah feritin
juga akan berkurang yang berdampak pada menurunnya jumlah zat besi
yang akan digunakan untuk sintesa hemoglobin dan mengganti hemoglobin
yang rusak. Hal ini merupakan salah satu faktor penyebab rendahnya kadar
hemoglobin dalam darah.

Sedangkan Lukmasari (2010) mengemukakan bahwa faktor yang


mempengaruhi rendahnya kadar Fe didalam tubuh antara lain adanya zat-zat
penghambat penyerapan Fe yaitu asam fitat, asam oksalat, dan tanin yang
banyak terdapat pada serealia, sayuran, kacang-kacangan dan teh .

Sementara menurut Jannah (2011) adanya zat penghambat, seperti fitat,


oksalat, dan tanin dalam makanan nabati juga menyebabkan absorpsi besi,
zink, dan tembaga menjadi terganggu.

Tanin merupakan senyawa polifenol yang dapat mengikat zat besi


menjadi bentuk yang tidak dapat larut sehingga sukar untuk diserap,
demikian juga dengan fitat dan oksalat (Susilo, 2004). Tanin adalah asam
tanat dan asam galotanat yang tidak berwarna sampai kuning atau coklat.
Tanin terdiri dari katekin, leokoantosianin dan asam hidroksil yang masing-
masing dapat menimbulkan warna bila bereaksi dengan ion logam (Winarno,
1988).

Dijelaskan oleh Almatsier (2004) tanin merupakan polifenol, terdapat


didalam teh, kopi dan beberapa jenis sayuran dan buah menghambat
absorbsi Fe dengan cara mengikatnya. Bahan makanan yang mengandung
tanin adalah teh, serealia, seperti beras, jagung, dalam sayuran seperti pare,
bayam, kacang-kacangan.

Salah satu minuman berkafein yang dapat menghambat penyerapan zat


besi adalah kopi, kopi merupakan salah satu penghambat yang cukup
penting dan tidak diragukan lagi karena mengandung polifenol (tanin)
(Thankachan et al. 2008 dalam Yulianasari, 2009).

Tanin merupakan salah satu faktor penyebab kejadian anemia, karena


keberadaan tanin dapat mempengaruhi absorbsi zat besi dalam intestin.
Tingginya konsumsi tanin disebabkan karena kebiasaan minum teh dan kopi
(Widagdo et.al, 2005).

Menurut Hurrell (1999) konsumsi teh hitam dan kopi telah terbukti sangat
menghambat penyerapan Fe dari makanan, kopi mempunyai efek
penghambat setengah dari teh. Sedangkan Kasdan (2000) mengemukakan
bahwa dibandingkan daging, teh dapat mengurangi absorbsi zat besi 50 %,
karena bentuk besi yang terlarut berikatan dengan tanin.

Efek tanin yang berasal dari minum kopi menunjukkan penurunan


penyerapan zat besi sebesar 39 % dimana minum kopi tersebut dikonsumsi
satu jam setelah mengkonsumsi hamburger (Susilo, 2004). Absorpsi zat besi
pada diet yang banyak mengandung makanan yang tinggi kandungan
taninnya akan menurun sekitar 1-2 persen (UNICEF 1998 dalam Yulianasari,
2009).

Sementara menurut Orbayinah (2007) baik teh hijau maupun teh hitam
mengandung katekin. Keduanya berpotensi untuk menghambat penyerapan
besi nonheme perlu diingat bahwa teh juga mengandung kafein. Selain
kafein, teh juga mengandung flavonoid, yang dapat menghambat penyerapan
zat besi dari unsur-unsur tumbuhan (nonheme) seperti sayur dan buah.
Namun, zat besi dari daging-dagingan (heme) tidak terpengaruh
penyerapannya.

Asam fitat adalah bentuk simpanan fosfor dalam biji-bijian merupakan


garam mio-inositol dalam heksa fosfat, mampu membentuk kompleks dengan
bermacam-macam kation atau protein dan mempengaruhi derajad kelarutan
komponen tersebut (Sangadji dalam Lukmasari, 2004). Asam fitat banyak
terdapat pada bahan makanan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan,
misalnya serealia (Husaini, 1989).

Asam fitat dan faktor lain didalam serat serealia dan asam oksalat
didalam sayuran menghambat penyerapan Fe. Faktor-faktor ini mengikat Fe,
sehingga mempersulit penyerapannya. Protein kedelai menurunkan absorbsi
Fe yang disebabkan oleh nilai fitat yang tinggi (Almatsier, 2004).

Fitat terdapat dalam gandum dan bji-bijian lain. Meskipun jumlahnya


sangat sedikit, fitat merupakan inhibitor yang dapat mengurangi absorbsi zat
besi. Fitat yang terkandung dalam sayuran akan menghambat absorbsi besi
dengan mengikat besi (DeMaeyer, 1995).
Almatsier (2001) mengemukakan bahwa asam fitat yang terdapat dalam
gandum dan biji-bijian lain. Meskipun jumlahnya sangat sedikit, fitat dapat
mengurangi penyerapan zat besi. Pengaruh penghambatan ini dapat
dinetralkan dengan asam askorbat.

Menurut Widagdo et al (2005) asam fitat banyak terdapat pada bahan


makanan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan dan serealia, dimana bahan
makanan tersebut merupakan bahan makanan utama pada sebagian besar
penduduk Indonesia.

Keberadaan asam fitat dalam makanan merupakan penyebab utama


menurunnya zat besi, senyawa feri-fitat kurang larut dalam asam encer.
Selain mengikat ion logam, asam fitat juga dapat berikatan dengan protein
membentuk senyawa yang tidak larut. Fitat akan mempunyai efek
menghambat absorbsi sampai sekitar 1,5 kali asupan fitatnya berkisar antara
30-60 mg perhari (0,03-0,06 g/hari) (Susilo, 2004).

Selain tanin dan fitat, faktor inhibitor absorbsi zat besi yang lain adalah
asam oksalat. Kandungan asam oksalat yang tinggi dalam bahan makanan
mempunyai efek negatif terhadap absorbsi zat besi. Bahan makanan yang
mengandung asam oksalat antara lain bayam, kentang, kismis, kol, kembang
kol, selada, kacang hijau, kacang polong, teh, coklat, kopi, apel, tomat
(Noonan dan Savage, 1999).

Asam oksalat paling banyak terdapat pada sayuran. Asam oksalat akan
menghambat absorbsi besi yaitu dengan cara mengikat besi sehingga
mempersulit absorbsinya dalam tubuh (Almatsier, 2003).

Beberapa jenis sayuran hijau juga mengandung asam oksalat yang


dapat menghambat penyerapan besi, namun efek menghambatnya relatif
lebih kecil dibandingkan asam fitat dalam serealia dan tanin yang terdapat
dalam teh dan kopi (Almatsier, 2000).

Jannah (2011) menjelaskan bahwa oksalat, fitat, dan tanin yang banyak
terdapat pada makanan nabati merupakan faktor penghambat absorbsi besi,
zink, dan tembaga jika dikonsumsi secara bersamaan. Sumber tanin yang
sering dikonsumsi subjek (vegetarian vegan dan nonvegan) berupa brokoli,
wortel, bayam, apel, pisang, pir, kopi, coklat, dan tepung terigu. Jagung
manis, kacang tanah, beras, tahu, tempe, kedelai merupakan sumber fitat
yang sering dikonsumsi subjek. Sedangkan sumber oksalat yang sering
dikonsumsi subjek adalah singkong, ubi, jagung manis, kacang tanah,
selada, wortel, bayam, kentang, kembang kol, labu, brokoli, tomat, ketimun,
apel, jeruk, pir, dan teh. Meskipun belum ada standard yang menetapkan
kecukupan asupan oksalat, fitat, dan tanin, tetapi apabila dikonsumsi dalam
jumlah banyak dan sering akan dapat mengganggu absorbsi besi, zink, dan
tembaga.

Zat yang dapat menghambat penyerapan besi atau inhibitor antara lain
adalah kafein, tanin, oksalat, fitat, yang terdapat dalam produk-produk
kacang kedelai, teh, dan kopi. Kopi dan teh yang mengandung tanin dan
oksalat merupakan bahan makanan yang sering dikonsumsi oleh
masyarakat. Faktor diet lainnya yang membatasi tersedianya zat besi adalah
fitat, sebuah zat yang ditemukan dalam gandum. (Almatsier, 2002).

Pada kehamilan triwulan III, janin mengalami pertumbuhan dan


perkembangan yang sangat pesat. Umumnya nafsu makan ibu sangat baik,
dan ibu sering merasa lapar. Pada masa ini hindari makan berlebihan
sehingga berat badan tidak naik terlalu banyak. Bahan makanan yang
banyak mengandung lemak dan hidrat arang seperti yang manis-manis dan
gorengan perlu dikurangi. Bahan makanan sumber zat pembangun dan
pengatur perlu diberikan lebih banyak dibandingkan pada kehamilan triwulan
II, karena selain untuk pertumbuhan janin yang sangat pesat, juga diperlukan
untuk ibu dalam persiapan persalinan (Manuaba, 2009).

Untuk menentukan sampel dari populasi digunakan perhitungan maupun


acuan tabel yang dikembangkan para ahli. Secara umum, untuk penelitian
korelasional jumlah sampel minimal untuk memperoleh hasil yang baik
adalah 30, sedangkan dalam penelitian eksperimen jumlah sampel minimum
15 dari masing-masing kelompok dan untuk penelitian survey jumlah sampel
minimum adalah 100.
Roscoe (1975) yang dikutip Uma Sekaran (2006) memberikan acuan umum
untuk menentukan ukuran sampel :

Ukuran sampel lebih dari 30 dan kurang dari 500 adalah tepat untuk
kebanyakan penelitian

Jika sampel dipecah ke dalam subsampel (pria/wanita, junior/senior, dan


sebagainya), ukuran sampel minimum 30 untuk tiap kategori adalah tepat

Dalam penelitian mutivariate (termasuk analisis regresi berganda), ukuran


sampel sebaiknya 10x lebih besar dari jumlah variabel dalam penelitian

Untuk penelitian eksperimental sederhana dengan kontrol eskperimen yang


ketat, penelitian yang sukses adalah mungkin dengan ukuran sampel kecil
antara 10 sampai dengan 20

Sebagaimana dikemukakan oleh Baley dalam Mahmud (2011, hlm. 159)


yang menyatakan bahwa untuk penelitian yang menggunakan analisis data
statistik, ukuran sampel paling minimum adalah 30. Senada dengan
pendapat tersebut, Roscoe dalam Sugiono (2012, hlm. 91) menyarankan
tentang ukuran sampel untuk penelitian sebagai berikut: 67 Raden Andriani
Lestari, 2014 Pengaruh Kepemimpinan Partisipatif Dan Komitmen Organisasi
Terhadap Efektifitas Implementasi Rencana Stratejik Pada Madrasah Aliyah
Di Kabupaten Sukabumi Jawa Barat Universitas Pendidikan Indonesia |
repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu  Ukuran sampel yang layak dalam
penelitian adalah antara 30 sampai dengan 500.  Bila sampel dibagi dalam
kategori maka jumlah anggota sampel setiap kategori minimal 30.  Bila
dalam penelitian akan melakukan analisis dengan multivariate (korelasi atau
regresi ganda misalnya), maka jumlah anggota sampel minimal 10 kali dari
jumlah variabel yang diteliti. Misalnya variabel penelitiannya ada 5
(independen + dependen), maka jumlah anggota sampel = 10 x 5 = 50 
Untuk penelitian eksperimen yang sederhana, yang menggunakan kelompok
eksperimen dan kelompok kontrol, maka jumlah anggota sampel masing-
masing antara 10 s/d 20.
Kehamilan di bawah usia 20 tahun dapat menimbulkan banyak permasalahan
karena bisa mempengaruhi organ tubuh seperti rahim, bahkan bayi bisa
prematur dan berat lahir kurang. Hal ini disebabkan karena wanita yang hamil
muda belum bisa memberikan suplai makanan dengan baik dari tubuhnya ke
janin di dalam rahimnya (Marmi, 2012)

Umur Ibu Usia ibu pada saat melahirkan. Resiko tinggi : usia < 20 dan > 35
Normal = 20 – 35 tahun Kontinyu

Rentang usia yang memiliki resiko tinggi dalam kehamilan adalah kurang dari
20 tahun atau lebih dari 35 tahun, pada usia kurang dari 20 tahun kebutuhan
zat besimeningkat dan pengetahuannya masih rendah tentang kehamilan
sampai menyusui, demikian pula pada usia lebih dari 35 tahun kondisi fisik
sudahmenurun dan daya tahan tubuh juga tidak lagioptimal serta rentan
terhadap komplikasi penyakit sehingga akan lebih beresiko untuk hamil
(Henderson, 2006). Usia yang aman untuk kehamilan dikenal juga dengan
istilah reproduksi sehat yaitu dan antara 20 hingga 30 tahun, dikatakan aman
karna kematian maternal pada wanita hamil dan melahirkan pada rentang
usia tersebut ternyata 2 sampai 5 kali lebih rendah daripada kematian 16
maternal yang terjadi di rentang usia kurang dari 20 atau pun lebih dari 30
(Sarwono, 2012).

Absorpsi besi dari bahan makanan dipengaruhi oleh kondisi saluran cerna
dan kandungan bahan dalam makanan tersebut. Keasaman lambung dapat
meningkatkan kelarutan besi sehingga akan meningkatkan
bioavailabilitasnya. Dalam usus, absorpsi besi akan optimal pada pH 6.75.9
Bahan makanan yang mengandung polifenol atau pitat (inhibitor) dapat
menghambat penyerapan besi, karena bahan tersebut akan mengikat besi
dalam usus sehingga bersifat tidak larut dan menurunkan bioavailabilitasnya.
Hal ini hanya terjadi pada besi non heme karena dalam bentuk besi bebas
sehingga mudah diikat, sedangkan besi heme tidak dipengaruhi oleh inhibitor
12 tersebut. Beberapa senyawa yang mempengaruhi absorpsi besi seperti
pada tabel berikut ini.

Absorpsi besi dari bahan makanan dipengaruhi oleh kondisi saluran cerna
dan kandungan bahan dalam makanan tersebut. Keasaman lambung dapat
meningkatkan kelarutan besi sehingga akan meningkatkan
bioavailabilitasnya. Dalam usus, absorpsi besi akan optimal pada pH 6.75.9
Bahan makanan yang mengandung polifenol atau pitat (inhibitor) dapat
menghambat penyerapan besi, karena bahan tersebut akan mengikat besi
dalam usus sehingga bersifat tidak larut dan menurunkan bioavailabilitasnya.
Hal ini hanya terjadi pada besi non heme karena dalam bentuk besi bebas
sehingga mudah diikat, sedangkan besi heme tidak dipengaruhi oleh inhibitor
12 tersebut. Beberapa senyawa yang mempengaruhi absorpsi besi seperti
pada tabel berikut ini.

!hytat merupakan salah satu non polysaccharida dari dinding tanamanseperti


silakat dan oksalat. sam phytat termasuk chelat (senyawa pengikatmineral)
yang kuat yang bisa mengikat ion metal divalent membentuk phytatkomplek
sehingga mineral tidak bisa diserap oleh tubuh. "ineral tersebut yaitu#a, $n,
#u, "g dan %e (&ambar '. .) !ada sebagian besar cereal, *+ * -
phosphor terdapat sebagai asam phytat, kecernaan molekul phytat sangatber
variasi dari *+ * - tergantung bahan makanan dan umur
unggas. /nggasmuda lebih rendah kemampuan mencerna phytat, tetapi
pada unggas dewasa *-
. 0ecernaan phytat terjadi karena adanya phytase tanaman atau sintetis

Bab-9: Anti Nutrtisi IX-1

phytase dari mikroba usus. !erlakuan panas pada ransum seperti pelleting
atauekstusi tidak terlihat memperbaiki kecernaan pospor+phytat. !ada 1abel
'. .terlihat kandungan p+phytat dan phytase dari tanaman.

&ambar '. Struktur !hytat


1abel '.

. Kandungan P-phytat dan aktivitas Phytase dari beberapa bahanmakanan

*ahan PakanPhytatAkti+itas Phytat,T- k%// dari total P

#ereal dan by
product 2agung*,34 3 &andum*,3 ' '5 Sorghum*,34 34 Barley*,3
4 63 7at*,3' 4* 8edak gandum*,'3 3' 7ilseed meal
9 Soybean meal*,5' *6 #anola meal*, * ' Sunflawer meal*,6' * !eanu
t meal*,466*5 #ottonseed meal*,64 *: Sumber 9 ;eeson dan Summers. 3**

#ara memecahkan masalah adanya !+phytat dalam ransum yaitu


9 .!enambahan phytase9 kelemahan dari penambahan phytase ke
dalamransum akan menambah biaya ransum dan phytase mudah rusak

Bab-9: Anti Nutrtisi IX-2


selama proses pelleting. Sebagian besar phytase didenaturasi
padasuhu <

o
#. Sebaiknya enzym phytase ditambahkan
setelah prosespengolahan3.!enambahan sumber
pospor lainnya kedalam ransum seperti
dicalciumpospat.Sebagian besar cereal dan suplemen protein nabati relative
rendahkandungan phytase kecuali dedak gandum, sedangkan biji yang
mengandungminyak kandungan phytat lebih tinggi.

Di samping faktor yang mendorong penyerapan zat besi nonhem, terdapat


pula faktor-faktor yang menghambat. Faktor-faktor tersebut diantaranya
keadaan basa pada lambung karena kurangnya asam hidroklorat atau
adanya antasid, complexing agents, seperti fitat (di dalam kacang-kacangan,
biji-bijian, kedelai, dan produknya), oksalat (didalam sayuran), dan fosfat
yang membentuk senyawa yang tidak mudah larut sehingga sulit untuk
diserap oleh tubuh. Tannin yang terdapat di dalam teh, posfitin (fosfoprotein)
di dalam kuning telur, beberapa jenis serat makanan, garam kalsium fosfat,
dan protein kedelai turut menghambat absorbsi zat besi.

Teh yang diminum bersama-sama dengan hidangan lain ketika makan akan
menghambat penyerapan zat besi nonhem sampai 50%. Senyawa
ethylenediamine tetraacetic acid (EDTA) yang biasa digunakan sebagai
pengawet makanan juga menyebabkan penurunan absorbsi zat besi nonhem
sebesar 50%. Orange juice akan meningkatkan penyerapan zat besi dari
telur dan roti, tetapi apabila telur dikonsumsi bersamaan dengan roti maka
absorbsi zat besi dari roti akan semakin berkurang.

Energi Tambahan energi selain untuk ibu, janin juga perlu untuk tumbuh
kembang. Banyaknya energi yang dibutuhkan hingga melahirkan sekitar
80.000 Kkal atau membutuhkan tambahan 300 Kkal sehari. Rerata nasional
Konsumsi Energi per Kapita per Hari adalah 1.735,5 kkal. Kebutuhan kalori
tiap trimester antara lain: 1. Trimester I, kebutuhan kalori meningkat, minimal
2.000 kilo kalori/hari. 2. Trimester II, kebutuhan kalori akan meningkat untuk
kebutuhan ibu yang meliputi penambahan volume darah, pertumbuhan
uterus, payudara dan lemak. 3. Trimester III, kebutuhan kalori akan
meningkat
Ibu hamil termasuk kelompok rawan terhadap kekurangan gizi. Proses
kehamilan akan meningkatkan metabolisme energi dan zat gizi. Peningkatan
kebutuhan energi dan zat gizi diperlukan untuk pertumbuhan dan
perkembangan janin dan juga kebutuhan ibu sendiri. Ketidakmampuan dalam
memenuhi kebutuhan asupan zat gizi pada masa kehamilan akan
menyebabkan anemia serta meningkatkan risiko kesakitan pada ibu hamil
(Kementerian Kesehatan RI, 2012).

Kurang Energi Kronis (KEK) merupakan keadaan dimana ibu menderita


kekurangan makanan yang berlangsung menahun (kronis) sehingga
menimbulkan gangguan kesehatan pada ibu hamil (Depkes RI.2002). KEK
terjadi pada wanita usia subur (WUS) dan ibu hamil. Faktor penyebab KEK
pada ibu hamil sangat kompleks diantaranya, ketidak seimbangan asupan zat
gizi, penyakit infeksi, dan perdarahan (FKM.UI, 2007). KEK pada ibu hamil
juga berisiko melahirkan bayi dengan berat lahir rendah (BBLR) (Vita, 2014).
Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 yang dipublikasikan
tahun 2014, prevalensi risiko KEK ibu hamil umur 15- 49 tahun adalah 24,2%.
Hasil tersebut menunjukkan bahwa prevalensi risiko KEK pada ibu hamil
masih tinggi. Ibu hamil KEK dianggap sebagai 81 | P a g e masalah
kesehatan masyarakat bila prevalensinya ≥10% (Depkes RI, 2009)

Mahan, KL., dan Scot S., Stump. (2004). Krause’s food, Nutrition, dan Diet
Therapy. Saunders. Philadelhia.

Budianto, A K. 2009. Dasar-Dasar Ilmu Gizi. Malang. UMM Pers.

Kementrian Kesehatan RI. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2012. Jakarta


2013.

Anda mungkin juga menyukai