Anda di halaman 1dari 8

SEJARAH HUKUM PERDATA

Hukum perdata Belanda berasal dari hukum perdata Perancis yaitu Code Napoleon
yang disusun berdasarkan hukum Romawi Corpus Juris Civilis yang pada waktu itu
dianggap sebagai hukum yang paling sempurna. Hukum Privat yang berlaku di
Perancis dimuat dalam dua kodifikasi yang disebut Code Civil (hukum perdata) dan
Code de Commerce (hukum dagang). Sewaktu Perancis menguasai Belanda (1806-
1813), kedua kodifikasi itu diberlakukan di negeri Belanda yang masih dipergunakan
terus hingga 24 tahun sesudah kemerdekaan Belanda dari Perancis (1813).

Pada Tahun 1814 Belanda mulai menyusun Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(Sipil) atau KUHS Negeri Belanda, berdasarkan kodifikasi hukum Belanda yang
dibuat oleh MR.J.M. KEMPER disebut ONTWERP KEMPER namun sayangnya
KEMPER meninggal dunia 1824 sebelum menyelesaikan tugasnya dan dilanjutkan
oleh NICOLAI yang menjabat sebagai Ketua Pengadilan Tinggi Belgia. Keinginan
Belanda tersebut terealisasi pada tanggal 6 Juli 1880 dengan pembentukan dua
kodifikasi yang baru diberlakukan pada tanggal 1 Oktober 1838 oleh karena telah
terjadi pemberontakan di Belgia yaitu :

1. Burgerlijk Wetboek yang disingkat BW [atau Kitab Undang-Undang


Hukum Perdata-Belanda.

2. Wetboek van Koophandel disingkat WvK [atau yang dikenal dengan Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang]

Kodifikasi ini menurut Prof Mr J, Van Kan BW adalah merupakan terjemahan dari
Code Civil hasil jiplakan yang disalin dari bahasa Perancis ke dalam bahasa
nasional Belanda.

Hukum perdata Indonesia adalah hukum perdata yang berlaku bagi seluruh Wilayah
di Indonesia. Hukum perdata yang berlaku di Indonesia adalah hukum perdata barat
Belanda yang pada awalnya berinduk pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
yang aslinya berbahasa Belanda atau dikenal dengan Burgerlijk Wetboek dan biasa
disingkat dengan B.W. Sebagian materi B.W. sudah dicabut berlakunya & sudah
diganti dengan Undang-Undang RI misalnya mengenai UU Perkawinan, UU Hak
Tanggungan, UU Kepailitan.

1
Pada 31 Oktober 1837, Mr.C.J. Scholten van Oud Haarlem di angkat menjadi ketua
panitia kodifikasi dengan Mr. A.A. Van Vloten dan Mr. Meyer masing-masing sebagai
anggota yang kemudian anggotanya ini diganti dengan Mr. J.Schneither dan Mr. A.J.
van Nes. Kodifikasi KUHPdt. Indonesia diumumkan pada tanggal 30 April 1847
melalui Staatsblad No. 23 dan berlaku Januari 1948.

Setelah Indonesia Merdeka berdasarkan aturan Pasal 2 aturan peralihan UUD 1945,
KUHPdt. Hindia Belanda tetap dinyatakan berlaku sebelum digantikan dengan
undang-undang baru berdasarkan Undang – Undang Dasar ini. BW Hindia Belanda
disebut juga Kitab Undang – Undang Hukun Perdata Indonesia sebagai induk
hukum perdata Indonesia.

Isi KUHPerdata KUHPerdata terdiri dari 4 bagian yaitu :

1. Buku 1 tentang Orang / Personrecht

Mengatur tentang hukum perseorangan dan hukum keluarga, yaitu hukum yang
mengatur status serta hak dan kewajiban yang dimiliki oleh subyek hukum. Antara
lain ketentuan mengenai timbulnya hak keperdataan seseorang, kelahiran,
kedewasaan, perkawinan, keluarga, perceraian dan hilangnya hak keperdataan.
Khusus untuk bagian perkawinan, sebagian ketentuan-ketentuannya telah
dinyatakan tidak berlaku dengan di undangkannya UU nomor 1 tahun 1974 tentang
perkawinan.

2. Buku 2 tentang Benda / Zakenrecht

mengatur tentang hukum benda, yaitu hukum yang mengatur hak dan kewajiban
yang dimiliki subyek hukum yang berkaitan dengan benda, antara lain hak-hak
kebendaan, waris dan penjaminan. Yang dimaksud dengan benda meliputi (i) benda
berwujud yang tidak bergerak misalnya tanah, bangunan dan kapal dengan berat
tertentu; (ii) benda berwujud yang bergerak, yaitu benda berwujud lainnya selain
yang dianggap sebagai benda berwujud tidak bergerak; dan (iii) benda tidak
berwujud (misalnya hak tagih atau piutang). Khusus untuk bagian tanah, sebagian
ketentuan-ketentuannya telah dinyatakan tidak berlaku dengan di undangkannya UU
nomor 5 tahun 1960 tentang agraria. Begitu pula bagian mengenai penjaminan
dengan hipotik, telah dinyatakan tidak berlaku dengan di undangkannya UU tentang
hak tanggungan.
2
3. Buku 3 tentang Perikatan /Verbintenessenrecht

mengatur tentang hukum perikatan (perjanjian) walaupun istilah ini sesunguhnya


mempunyai makna yang berbeda, yaitu hukum yang mengatur tentang hak dan
kewajiban antara subyek hukum di bidang perikatan, antara lain tentang jenis-jenis
perikatan yang terdiri dari perikatan yang timbul dari undang-undang dan perikatan
yang timbul dari adanya perjanjian, syarat-syarat dan tata cara pembuatan suatu
perjanjian. Khusus untuk bidang perdagangan, Kitab undang-undang hukum dagang
(KUHD) juga dipakai sebagai acuan. Isi KUHD berkaitan erat dengan KUHPer,
khususnya Buku III. Bisa dikatakan KUHD adalah bagian khusus dari KUHPer.

4. Buku 4 tentang Daluwarsa dan Pembuktian /Verjaring en Bewijs

mengatur hak dan kewajiban subyek hukum (khususnya batas atau tenggat waktu)
dalam mempergunakan hak-haknya dalam hukum perdata dan hal-hal yang
berkaitan dengan pembuktian. Sistematika yang ada pada KUHP tetap dipakai
sebagai acuan oleh para ahli hukum dan masih diajarkan pada fakultas-fakultas
hukum di Indonesia.

Hukum perdata merupakan salah satu bidang hukum yang mengatur hak dan
kewajiban yang dimiliki pada subyek hukum dan hubungan antara subyek hukum.
Hukum perdata disebut pula hukum privat atau hukum sipil sebagai lawan dari
hukum publik. Jika hukum publik mengatur hal-hal yang berkaitan dengan negara
serta kepentingan umum misalnya politik dan pemilu, hukum tata negara, kegiatan
pemerintahan sehari-hari hukum administrasi atau tata usaha negara, kejahatan
(hukum pidana), maka hukum perdata mengatur hubungan antara penduduk atau
warga negara sehari-hari, seperti misalnya kedewasaan seseorang, perkawinan,
perceraian, kematian, pewarisan, harta benda, kegiatan usaha dan tindakan-
tindakan yang bersifat perdata lainnya. Ada beberapa sistem hukum yang berlaku di
dunia dan perbedaan sistem hukum tersebut juga mempengaruhi bidang hukum
perdata, antara lain sistem hukum Anglo-Saxon yaitu sistem hukum yang berlaku di
Kerajaan Inggris Raya dan negara-negara persemakmuran atau negara-negara
yang terpengaruh oleh Inggris, misalnya Amerika Serikat, sistem hukum Eropa
kontinental, sistem hukum komunis, sistem hukum Islam dan sistem-sistem hukum
lainnya. Hukum perdata di Indonesia didasarkan pada hukum perdata di Belanda,
khususnya hukum perdata Belanda pada masa penjajahan.
3
Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer) yang berlaku di Indonesia tidak lain
adalah terjemahan yang kurang tepat dari Burgerlijk Wetboek (BW) yang berlaku di
kerajaan Belanda dan diberlakukan di Indonesia (wilayah jajahan Belanda)
berdasarkan azas konkordansi. Untuk Indonesia yang saat itu masih bernama
Hindia Belanda, BW diberlakukan mulai 1859. Hukum perdata Belanda sendiri
disadur dari hukum perdata yang berlaku di Perancis dengan beberapa
penyesuaian.

SEJARAH HUKUM PERDATA DI INDONESIA

Sebelum mengenal terlebih dahulu tentang sejarah hukum perdata, alangkah


baiknya mengenal terlebih dahulu apa itu hukum perdata. Hukum perdata
adalah aturan-aturan hukum yang mengatur tingkah laku setiap orang terhadap
orang lain yang berkaitan dengan hak dan kewajiban yang timbul dalam pergaulan
masyarakat maupun pergaulan keluarga. Menurut seorang pakar hukum
Internasional yaitu H. F. A Vollmar mengatakan bahwa hukum perdata adalah aturan-
aturan atau norma-norma yang memberikan pembatasan dan oleh karenanya
memberikan perlindungan pada kepentingan - kepentingan perseorangan dalam
perbandingan yang tepat antara kepentingan yang satu dengan kepentingan yang
lain dari orang - orang dalam suatu masyarakat tertentu terutama yang mengenai
hubungan keluarga dan hubungan lalu lintas.[1]

Hukum perdata dibedakan menjadi dua, yaitu hukum perdata material dan hukum
perdata formal. Hukum perdata material mengatur kepentingan-kepentingan perdata
setiap subjek hukum. Hukum perdata formal mengatur bagaimana cara seseorang
mempertahankan haknya apabila dilanggar oleh orang lain.

Secara Umum, kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata) yang dikenal
dengan istilah Bugerlijk Wetboek (BW) adalah kodifikasi hukum perdata yang
disusun di negeri Belanda. Penyusunan tersebut sangat dipengaruhi oleh Hukum
Perdata Prancis (Code Napoleon). Code Napoleon sendiri disusun berdasarkan
hukum Romawi (Corpus Juris Civilis) yang pada waktu itu dianggap sebagai hukum
yang paling sempurna.

4
KUH Perdata (BW) berhasil disusun oleh sebuah panitia yang diketuai oleh Mr. J.M.
Kemper dan sebagian besar bersumber dari Code Napoleon dan bagian yang lain
serta kodifisikasi KUH Perdata selesai pada 5 Juli 1830, namun diberlakukan di
negeri Belanda pada 1 Oktober 1838. pada tahun itu diberlakukan juga KUH Dagang
(WVK).

Pada tanggal 31 Oktober 1837 Scholten van Oud Haarlem diangkat menjadi ketua
panitia kodifikasi dengan Mr. A.A. Van Vloten dan Mr. Meyer masing-masing sebagai
anggota. Panitia tersebut juga belum berhasil. Akhirnya dibentuk panitia baru yang
diketuai Mr. C.J. scholten van Oud Haarlem lagi, tatapi anggotanya diganti, yaitu Mr.
J. Schneither dan Mr. J. Van Nes. Akhirnya panitia inilah yang berhasil
mengkodifikasi KUH Perdata Indonesia berdasarkan asas konkordasi yang sempit.
Artinya KUH Perdata Belanda banyak menjiwai KUH Perdata Indonesia karena KUH
Perdata Belanda dicontoh dalam kodifikasi KUH Perdata Indonesia.

Kodifikasi KUH Perdata (BW) Indonesia diumumkan pada 30 April 1847 melalui
Statsblad No. 23, dan mulai berlaku pada 1 Januari 1848. kiranya perlu dicatat
bahwa dalam menghasilkan kodifikasi KUH Perdata (BW) Indonesia ini Scholten dan
kawan-kawannya berkonsultasi dengan J. Van de Vinne, Directueur Lands Middelen
en Nomein. Oleh karenanya, ia juga turut berhasa dalam kodifikasi tersebut.[2]

Disamping itu, sejarah mengenai perkembangan hukum perdata yang berkembang


di Indonesia bahwa hukum perdata tertulis yang berlaku di Indonesia merupakan
produk hukum perdata Belanda yang di berlakukan asas Korkondansi yaitu hukum
yang berlaku di negeri jajahan (Belanda) yang sama dengan ketentuan yang berlaku
di negeri penjajah.

Secara makrosubtansial, perubahan – perubahan yang terjadi pada hukum perdata


Indonesia:Pertama, pada mulanya hukumperdata Indonesia merupakan ketentuan-
ketentuan pemerintahan Hindia-Belanda yang di berlakukan di Indonesia (Algemene
Bepalingen van Wetgeving/AB).Sesuai dengan stbll.No.23 tanggal 30 April 1847
yang terdiri dari 36 pasal. Kedua, dengan konkordansi pada tahun 1848 di
undangkan KUH perdata (BW) oleh pemerintah Belanda.Di samping BW berlaku
juga KUHD (WvK) yang di atur dalam stbl.1847 No.23.

5
Dalam Perspektif sejarah,hukum perdata yang berlaku di Indonesia terbagi dalam
dua periode, yaitu periode sebelum Indonesia merdeka dan periode setelah
Indonesia Merdeka.

Pertama, Sebelum Indonesia merdeka sebagaimana negara jajahan, maka hukum


yang berlaku di Indonesia adalah hukum bangsa penjajah. Hal yang sama dengan
hukum perdata. Hukum perdata yang di berlakukan bangsa belanda untuk Indonesia
mengalami adopsi dan penjalanan sejarah yang sangat panjang.

Pada mulanya hukum perdata belanda di rancang oleh suatu panitia yang di bentuk
tahun 1814 yang di ketuai oleh Mr.J.M Kempers (1776 – 1824).Tahun 1816,Kempers
menyampaikan rencana kode hukum tersebut pada pemerintah Belanda di dasarkan
pada hukum Belanda kuno dan di beri nama Ontwerp Kempers. Ontwerp
Kempers ini di tantang keras oleh P.Th.Nicolai,yaitu anggota parlemen
berkebangsaan Belgia dan sekaligus menjadi Presiden Pengadilan Belgia.Tahun
1824 Kempers meninggal,selanjutnya penyusunan kodifikasi code hukum di
serahkan Nicolai.Akibat perubahan tersebut,dasar pembentukan hukum perdata
Belanda sebagian besar berorientasikan pada code civil Perancis.Code civil
Perancis sendiri meresepsi hukum romawi,Corpus Civilis dari Justinianus.Dengan
demikian hukum perdata belanda merupakan kombinasi dari hukum
Kebiasaan/hukum Belanda kuno dan Code Civil Perancis.Tahun 1838,Kodifikasi
hukum perdata Belanda Di tetapkan dengan stbl.838.[3]

Pada tahun 1848,kodifikasi hukum perdata belanda di berlakukan di Indonesia


dengan stbl.1848.Dan Tujuh tahun kemudian,Hukum perdata di Indonesia kembali di
pertegas lagi dengan stbl.1919.

Kedua, Setelah Indonesia merdeka, hukum Perdata yang berlaku di Indonesia di


dasarkan pada pasal II aturan peralihan UUD 1945, yang pada pokoknya
menentukan bahwa segala peraturan di nyatakan masih berlaku sebelum di adakan
peraturan baru menurut UUD termasuk di dalamnya hukum perdata Belanda yang
berlaku di Indonesia. Hal ini untuk mencegah terjadinya kekosongan hukum
(rechtvacuum) di bidang hukum perdata. Namun, secara keseluruhan hukum
perdata Indonesia dalam perjalanan sejarahnya mengalami beberapa proses
pertumbuhan atau perubahan yang mana perubahan tersebut di sesuaikan dengan
kondisi bangsa Indonesia sendiri.[4]
6
CONTOH HUKUM PERDATA

a. Hukum warisan

Jika didalam sebuah keluarga mempunyai harta benda yang akan diwariskan saat
ketika ajal menjemput ataupun meninggal, ayah ialah kepala rumah tangga yang
kelak akan mewariskan harta benda nya kepada anak-anak nya ketika meninggal
kelak. Dari keinginan tersebut pasti akan menuliskan sebuah surat wasiat warisan.

Ketika sudah meninggal terjadi selisih paham saat pembagian warisan terjadi lah
selisih paham antara anak anak nya yang menerima warisan itu, dari situ lah
berujung pelaporan salah satu anak itu melaporkan kepada pihak yang berwenang
tentang perselisihan tentang warisan. Itulah contoh kasus yang merupakan salah
satu kasus perdata tentang warisan.

b. Hukum Perceraian

Kita sudah sering mendengar/melihat kasus satu ini di berita di tv ataupun media
koran, karena banyak pemberitaan kasus perceraian dikalangan artis. Karna
terjadinya perceraian didalam rumah tangga, dikarenakan ketika terjadi sebuah
permaslahan didalam sebuah rumah tangga yang tidak menemukan solusi ataupun
titik terang, maka sebagai jalan keluar/ alternatif keputusan
yang mesti diambil adalah perceraian.

Sebuah perceraian mungkin salah satu yang tidak boleh dilakukan dalam agama,
karena perceraian tidak boleh dialam agama namun berdampak tidak baik bagi
anak-anak nya dimasa yang akan datang. Namun, jika tetap tidak menemukan jalan
keluar, pasti keputusan yang diambil jika tidak menemukan titik terang atau tidak
mendapatkan solusi dengan melakukan perceraian. Ini adalah contoh salah satu
kasus perdata tentang perceraian.

c. Hukum pencemaran nama baik

7
Umumnya kasus ini terjadi di berbagai sosial media dikarenakan penulis di sosial
media ini membuat berita yang tidak pantas atau membuat orang terhina di tuliskan
di sosial media, dari pemberitaan tersebut korban tidak terima, sehingga korban
melaporkan si penulis berita tersebut ke pihak berwajib atau pihak yang berwenang
dengan tuduhan pencemaran nama baik serta perbuatan tidak menyenangkan
didalam media sosial, kasus seperti ini termasuk dalam kasus perdata tentang
pencemaran nama baik.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), h. 5.

[2]https://docs.google.com/document/d/1R7G1oRzVnzJWTBv_WvpJkYjxwRK_SE1F
pZ06FrVIG80/edit?pli=1 pada hari selasa,25-03-2014 jam 10:53 WIB.

[3] Titik Triwulan Tutik,Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional,


(Jakarta:Kencana,2010),Cet,2.h.18-19.

[4] Ibid.

Anda mungkin juga menyukai