Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hipokondriasis merupakan salah satu dari enam gangguan somatoform yang
dikategorikan dalam DSM-IV. Hipokondriasis sebagai seseorang yang
berpreokupasi dengan ketakutan atau keyakinan menderita penyakit yang serius.
Gejala yang timbul bisa saja merupakan pernyataan gejala fisik yang dilebih-
lebihkan, yang justru akan memperberat gejala fisik yang disebabkan oleh
keyakinan bahwa pasien tersebut sedang sakit.
Hipokondriasis dan gangguan somatoform lain merupakan gangguan
psikiatri paling sulit dan kompleks untuk diterapi secara medis. Gangguan
somatoform sendiri adalah suatu kelompok gangguan yang memiliki gejala fisik di
mana tidak dapat ditemukan penjelasan medis yang adekuat. Namun dalam
perkembangan ilmu kedokteran, kriteria diagnostik telah direvisi untuk kepentingan
perawatan dan penelitian klinis. Studi random dengan memberikan terapi dengan
menggunakan kontrol placebo telah selesai. Studi perbandingan keefektifan klinis
juga sedang dikembangkan.
Terdapat faktor psikososial berupa konflik psikis bawah sadar yang
mempunyai tujuan tertentu. Ditemukan pula faktor genetik dalam transmisi
gangguan ini. Selain itu, dihubungkan pula dengan adanya penurunan metabolisme
(hipometabolisme) suatu zat tertentu di lobus frontalis dan hemisfer nondominan.
Seperti kelainan psikiatri lain, gangguan somatoform membutuhkan
perencanaan terapi yang kreatif, kaya, dan bersifat biopsikososial oleh klinisi yang
meliputi dokter umum, sub-spesialis, dan ahli psikiatri profesional. Strategi
penatalaksanaan pada hipokondriasis meliputi pencatatan gejala, tinjauan
psikososial, dan psikoterapi.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Hipokondriasis


Hipokondriasis didefinisikan sebagai seseorang yang berpreokupasi dengan
ketakutan atau keyakinan menderita penyakit yang serius. Pasien dengan
hipokondriasis memiliki interpretasi yang tidak realistis maupun akurat terhadap
gejala atau sensasi fisik meskipun tidak ditemukan penyebab medis. Preokupasi
pasien menimbulkan penderitaan bagi dirinya dan menganggu kemampuannya
untuk berfungsi secara baik di bidang sosial, interpersonal dan pekerjaan.1
Hipokondriasis didefinisikan sebagai preokupasi seseorang mengenai rasa takut
menderita, atau yakin memiliki, penyakit berat. Rasa takut atau keyakinan ini
muncul ketika seseorang salah menginterpretasikan gejala atau fungsi tubuh. Istilah
hipokondriasis berasal dari istilah medis kuno hipokondrium (“di bawah rusuk”)
dan mencerminkan keluhan abdomen yang lazim ada pada banyak pasien dengan
gangguan ini. Hipokondriasis terjadi akibat interpretasi yang tidak realistik atau
tidak akurat mengenai gejala atau sensasi fisik, walaupun tidak ada penyebab medis
diketahui yang ditemukan. Preokupasi pasien mengakibatkan distress yang
signifikan pada mereka dan menganggu kemampuan mereka berfungsi dalam peran
pribadi, sosial, maupun pekerjaan.3

2.2 Epidemiologi
Prevalensi terjadinya hipokondriasis sebesar 4 - 6 % dari seluruh populasi
pasien medik umum dengan angka persentase tertinggi dapat mencapai 15%. Gejala
hipokondriasis dapat terjadi pada segala usia, namun awitan gejala biasanya sering
terjadi pada usia 20-30 tahun. Keluhan hipokondriasis terjadi pada 3% mahasiswa
kedokteran yang umumnya terjadi pada 2 tahun pertama pendidikan, namun bersifat
sesaat saja.1
Laki-laki dan perempuan secara setara dapat mengalami hipokondriasis.
Sejumlah bukti menunjukkan bahwa diagnosis hipokondriasis lebih lazim pada

2
orang kulit hitam daripada kulit putih, tetapi posisi sosial, tingkat edukasi, dan
status perkawinan tidak tampak memengaruhi diagnosis.3

2.3 Etiologi
Pasien dengan hipokondriasis memiliki skema kognitif yang salah. Mereka
salah menginterpretasikan sensasi fisik. Sebagai contoh, seseorang yang normal
mempersepsikan sebagai rasa kembung, oleh pasien hipokondriasis dirasakan
sebagai sakit perut. Pasien hipokondriasis menambah dan memperbesar sensasi
somatik yang dialaminya karena rasa tidak nyaman secara fisik mempunyai ambang
dan toleransi yang rendah.1
Gejala hipokondriasis dipandang dari sudut model pembelajaran sosial sebagai
keinginan untuk mendapatkan peranan sakit oleh seseorang untuk menghadapi
masalah yang tampaknya berat dan tidak dapat dipecahkan. Peran sakit memberikan
peluang bagi seseorang untuk menghindari kewajiban berat, menunda tantangan
yang tak dikehendaki untuk mendapatkan permakluman untuk tidak memenuhi
tugas dan tanggung jawab.1
Teori yang lain mengemukakan bahwa hipokondriasis dapat suatu sifat yang
dipelajari yang dimulai masa kanak-kanak dimana pada anggota keluarganya sering
terpapar oleh suatu penyakit. Teori lain memandang hipokondriasis sebagai bentuk
varian gangguan mental lainnya, yang tersering adalah depresi dan cemas. Etiologi
lain yang diajukan adalah bahwa hipokondriasis adalah bagian dari gangguan
depresi atau obsesif-kompulsif dengan fokus gejala pada keluhan fisik.
Diperkirakan 80% pasien hipokondriasis juga mengalami gangguan depresi atau
cemas bersamaan.1
Berdasarkan teori psikodinamik dorongan agresivitas dan permusuhan yang
ditujukan kepada orang lain dipindahkan (lewat mekanisme represi dan
displacement) ke dalam keluhan-keluhan somatik. Kemarahan pasien
hipokondriasis berasal dari ketidakpuasan, enolakan dan kehilangan di masa lalu.
Namun pasien mengekspresikan kemarahannya di masa sekarang dengan mencari
bantuan dan kepedulian dari orang lain yang kemudian dicampakannya dengan
alasan bahwa orang tersebut tidak efektif. Hipokondriasis juga dipandang sebagai

3
pertahanan terhadap rasa bersalah, dan sebagai tanda dari kepedulian berlebihan
terhadap diri sendiri. Rasa sakit dan penderitaan somatik menjadi penebusan dan
peniadaan (undoing) yang dihayati sebagai hukuman terhadap kesalahan di masa
lalu (nyata maupun imajinasi) dan perasaan bahwa dirinya jahat serta berdosa.1

2.4 Gambaran Klinis


Pasien dengan hipokondriasis memiliki keyakinan bahwa mereka menderita
penyakit yang serius dan belum dapat dideteksi dan mereka sulit untuk diyakinkan
yang sebaliknya. Mereka menyimpan keyakinan bahwa mereka mengidap penyakit
dan seiring berjalannya waktu keyakinan tersebut akan beralih ke penyakit yang
lain. Keyakinan tersebut tetap bertahan walaupun dari hasil laboratorium negatif,
jinaknya perjalanan penyakit yang dicurigai dan penentraman dari dokter. Namun
keyakinan tersebut tidak sampai seperti waham. Terkadang hipokondriasis disertai
dengan gejala depresi atau berkomorbid dengan gangguan depresi dan gangguan
cemas. 1
Meskipun DSM-IV-TR menyebutkan bahwa gangguan ini harus sudah
berlangsung sekurangnya 6 bulan, keadaan hipokondrial yang sementara dapat
muncul setelah stress yang berat, paling sering adalah akibat kematian atau penyakit
yang sangat serius dari seseorang yang sangat penting bagi pasien, ataupun penyakit
serius yang yang pernah diderita oleh pasien namun telah sembuh, yang dapat
meninggalkan keadaan hipokondrial sementara pada kehidupan pasien. Keadaan
diatas dimana berlangsungannya kurang dari enam bulan, maka di diagnosis
sebagai gangguan somatoform yang tak tergolongkan.1,4

2.5 Diagnosis
Kriteria diagnostik DSM-IV-TR hipokondriasis mengharuskan pasien memiliki
preokupasi dengan keyakinan yang salah bahwa mereka mengalami penyakit berat
dan keyakinan yang salah tersebut didasarkan pada kesalahan interpretasi tanda dan
sensasi fisik. Keyakinan tersebut harus ada selama sedikitnya 6 bulan walaupun
tanpa adanya temuan patologis pada pemeriksaan neurologis atau medis. Kriteria
diagnostik juga mengharuskan bahwa keyakinan tersebut tidak memiliki intensitas

4
waham (lebih tepat didiagnosis sebagai gangguan waham) dan bahwa keyakinan
tersebut tidak boleh terbatas pada penderitaan mengenai penampilan (lebih sesuai
didiagnosis sebagai gangguan dismorfik tubuh). Gejala hipokondriasis harus
memiliki intensitas yang menyebabkan distress emosional atau menganggu
kemampuan pasien untuk berfungsi di dalam area penting kehidupan. Klinisi dapat
memicu adanya tilikan buruk; pasien secara konsekuen tidak menyadari bahwa
kekhawatiran mereka mengenai penyakit berlebihan.3,4
Diagnosis berdasarkan DSM-IV-TR kriteria hipokondriasis adalah sebagai
berikut: 3,4
1) Preokupasi dengan ketakutan atau ide bahwa seseorang mempunyai penyakit
serius berdasarkan interpretasi yang salah terhadap gejala-gejala tubuh.
2) Preokupasi menetap meskipun telah dilakukan evaluasi medik dan
penentraman.
3) Keyakinan pada kriteria A tidak mempunyai intensitas waham (seperti
gangguan waham, jenis somatik) dan tak terbatas pada kepedulian tentang
penampilan seperti pada body dysmorphic disorder).
4) Preokupasi menimbulkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau
hendaya dalam bidang sosial, pekerjaan dan fungsi penting lainnya.
5) Lamanya gangguan sekurangnya 6 bulan.
6) Preokupasi bukan disebabkan karena gangguan cemas menyeluruh, gangguan
obsesif kompulsif, gangguan panik, episode depresif, cemas perpisahan, atau
gangguan somatoform lainnya.

Tentukan jika: 3
Dengan tilikan buruk : jika sebagian besar waktu selama episode saat ini, orang
tersebut tidak menyadari bahwa kekhawatiran memiliki penyakit serius adalah
berlebihan dan tidak beralasan

5
Sedangkan diagnosis hipokondriasis berdasarkan PPDGJ – III adalah :
1) Keyakinan yang menetap perihal adanya sekurang-kurangnya satu penyakit
fisik yang serius yang melandasi keluhan atau keluhan-keluhannya, meskipun
pemeriksaan yang berulang-ulang tidak menunjang adanya alasan fisik yang
memadai, ataupun adanya preokupasi yang menetap kemungkinan deformitas
atau perubahan bentuk penampakan fisiknya (tidak sampai waham). 2
2) Tidak mau menerima nasehat atau dukungan penjelasan dari beberapa dokter
bahwa tidak ditemukan penyakit atau abnormalitas fisik yang melandasi
keluhan-keluhannya. 2

Termasuk : 2
 Gangguan dismorfik tubuh (Body Dysmorphic Disorder)
 Dismorfofobia
 Neurosis hipokondrik
 Hipokondriasis
 Nosofobia

2.6 Diagnosis Banding


Menurut PPDGJ – III diagnosis banding dari hipokondriasis yaitu:
 Gangguan somatisasi
Penekanannya adalah pada adanya gangguan itu sendiri dan konsekuensi
nantinya, dan bukan pada gejala-gejala itu secara sendiri-sendiri seperti pada
gangguan somatisasi. Pada gangguan hipokondrik juga ada kecenderungan
preokupasi pada satu atau dua kemungkinan gangguan fisik, yang akan
dikemukakannya secara konsisten, sedangkan pada gangguan somatisasi
gejalanya lebih banyak dan dengan kemungkinan untuk berubah. Pada
gangguan hipokondrik, tidak ada perbedaan mencolok pada laki-laki atau
perempuan atau pun adanya konotasi khas keluarga.2

6
 Gangguan depresif
Apabila gejala depresif sangat menonjol dan timbulnya lebih dahulu dari
gangguan hipokondrik, maka gangguan depresif mungkin merupakan gangguan
primer. 2
 Gangguan waham
Keyakinan terhadap gangguan hipokondrik tidak mempunyai keteguhan
yang sama seperti pada gangguan depresif atau pun skizofrenia yang disertai
waham somatik, gangguan di mana pasien merasa yakin bahwa dirinya
mempunyai penampilan yang kurang menyenangkan atau memiliki
kejanggalan fisik, harus diklasifikasikan dalam gangguan waham. 2
 Gangguan anxietas dan gangguan panik
Gejala somatik dari anxietas kadang-kadang ditafsirkan sebagai penyakit
fisik yang serius, akan tetapi pada keadaan ini kekhawatiran pasien biasanya
dapat diredakan dengan penjelasan medis fisiologis sehingga tidak berkembang
menjadi keyakinan akan adanya penyakit fisik.2

2.7 Tatalaksana
Pasien hipokondriasis biasanya menolak terapi sikiatrik. Beberapa bersedia
menerima terapi psikiatrik apabila dilakukan pada setting medis dan dengan fokus
menurunkan stress dan edukasi untuk menghadapi penyakit kronik. Psikoterapi
kelompok bermanfaat bagi pasien hipokondriasis karena memberikan dukungan
sosial dan interaksi sosial sehingga menurunkan kecemasan. Bentuk psikoterapi
lain yang dapat bermanfaat adalah psikoterapi individual berorientasi tilikan, terapi
perilaku, terapi kognitif dan hypnosis dapat berguna bagi pasien.3
Pemeriksaan fisik terjadwal yang teratur membantu menenangkan pasien,
bahwa dokternya tak meninggalkannya dan keluhannya ditangan secara serius.
Namun prosedur diagnostik dan terapi invasif dilakukan hanya bila ada bukti
obyektif untuk dilakukan tindakan tersebut.3
Farmakoterapi diberikan pada pasien hipokondriasis yang berkomorbiditas
dengan gangguan lain seperti gangguan cemas dan gangguan depresi. Atau apabila
hipokondriasis merupakan kondisi sekunder terhadap gangguan mental primer

7
lainnya, maka gangguan primer harus diatasi. Apabila hipokondriasis merupakan
reaksi situasional sesaat, maka pasien harus dibantu untuk mengatasi stress tanpa
memperkuat perilaku sakitnya dan pemanfaatan peran sakitnya sebagai solusi
terhadap masalahnya.3

Terapi Kognitif
Tujuan dari terapi kognitif untuk hipokondriasis adalah untuk mengarahkan
pasien untuk mengenali, bahwa masalah utama mereka adalah rasa takut terhadap
menderita suatu penyakit dan bukannya menderita penyakit itu. Pasien juga diminta
untuk memantau sendiri kekhawatiran yang muncul dan mengevaluasi kenyataan
dan alasannya. Terapis juga membujuk pasien untuk mempertimbangkan
penjelasan alternatif untuk tanda fisik yang biasanya mereka interpretasikan sebagai
suatu penyakit. Percobaan mengenai kebiasaan juga digunalan sebagai usaha untuk
mengubah kebiasaan pikiran pasien. Singkatnya, pasien diberitahukan untuk secara
intens fokus pada gejala fisik yang spesifik dan memantau peningkatan rasa cemas
yang muncul. Keluarga juga perlu diikutsertakan untuk mengobservasi rasa cemas
yang muncul.

Manajemen Stres
Sebuah studi oleh Clark dkk membandingkan terapi kognitif dan juga
manajemen stress kebiasaan. Manajemen ini difokuskan pada keadaan dimana
stress berkontribusi pada kekhawatiran berlebihan terhadap kesehatan. Pasien
diminta untuk mengidentifikasi stressor yang ada dan diajarkan teknik manajemen
stres untuk membantu pasien mampu menghadapi stressor yang ada. Teknik yang
diajarkan kepada pasien adalah teknik relaksasi dan kemampuan untuk
memecahkan masalah. Walaupun teknik ini tidak secara langsung difokuskan
terhadap terapi hipokondriasis, teknik ini mampu mengurangi gejala yang muncul.

8
Pencegahan Paparan dan Respon
Terapi ini dimulai dengan meminta pasien membuat daftar kecemasan
hipokondriasis mereka, seperti memeriksa sensasi tubuh, memastikannya ke dokter,
dan menghindari pikiran tentang suatu penyakit.

2.8 Prognosis
Perjalanan penyakit hipokondriasis biasanya episodik. Setiap episode
berlangsung berbulan-bulan sampai tahunan dan dipisahkan oleh periode tenang
yang sama lamanya. Terdapat asosiasi yang kuat antara kekambuhan
hipokondriasis dengan stressor psikososial. Kira-kira sepertiga sampai setengah
dari pasien hipokondriasis mengalami perbaikan yang bermakna. Prognosis yang
baik berkaitan dengan status sosial-ekonomi yang tinggi, pengobatan terhadap
cemas dan depresi yang responsif, awitan dari gejala yang mendadak, tidak ada
gangguan kepribadian dan tidak ada kondisi medik nonpsikiatrik yang terkait. Pada
anak-anak yang menderita hipokondriasis akan membaik saat remaja akhir atau
dewasa awal.1

9
BAB III
KESIMPULAN

Hipokondriasis didefinisikan sebagai seseorang yang berpreokupasi dengan


ketakutan atau keyakinan menderita penyakit yang serius. Pasien dengan
hipokondriasis memiliki interpretasi yang tidak realistis maupun akurat terhadap
gejala atau sensasi fisik meskipun tidak ditemukan penyebab medis. Gejala
hipokondriasis dapat terjadi pada segala usia, namun awitan gejala biasanya sering
terjadi pada usia 20-30 tahun.
Pasien dengan hipokondriasis memiliki keyakinan bahwa mereka menderita
penyakit yang serius dan belum dapat dideteksi dan mereka sulit untuk diyakinkan
yang sebaliknya. Menurut DSM-IV-TR menyebutkan bahwa gangguan ini harus
sudah berlangsung sekurangnya 6 bulan.
Tatalaksana bagi pasien dengan hipokondriasis dapat dilakukan terapi
kognitif, manajemen stress maupun pencegahan paparan dan respon. Selain itu
psikoterapi kelompok bermanfaat bagi pasien hipokondriasis karena memberikan
dukungan sosial dan interaksi sosial sehingga menurunkan kecemasan.
Farmakoterapi diberikan pada pasien hipokondriasis yang berkomorbiditas dengan
gangguan lain seperti gangguan cemas dan gangguan depresi. Atau apabila
hipokondriasis merupakan kondisi sekunder terhadap gangguan mental primer
lainnya, maka gangguan primer harus diatasi.
Kira-kira sepertiga sampai setengah dari pasien hipokondriasis mengalami
perbaikan yang bermakna. Prognosis yang baik berkaitan dengan status sosial-
ekonomi yang tinggi, pengobatan terhadap cemas dan depresi yang responsif,
awitan dari gejala yang mendadak, tidak ada gangguan kepribadian dan tidak ada
kondisi medik nonpsikiatrik yang terkait.

10
DAFTAR PUSTAKA

1. Hadisukanto, Gitayani. 2013. Gangguan Somatoform dalam Buku Ajar


Psikiatri Edisi Kedua. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Hal 294 – 297.
2. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1993. Pedoman Penggolongan dan
Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III Cetakan Pertama. Jakarta :
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Hal 213 – 216.
3. Sadock, Benjamin J dan Virginia A. Sadock. 2016. Gangguan Somatoform dan
Gangguan Nyeri dalam Kaplan & Sadock Buku Ajar Psikiatri Klinis Edisi 2.
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hal 273 – 275.
4. American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorders (DSM-IV-TR). 4th ed. Washington DC:. American Psychiatric Press,
2000.

11

Anda mungkin juga menyukai