Anda di halaman 1dari 3

Aceh, Syariat Islam dan Kesadaran

Historis
Rabu, 7 Januari 2015 14:00 WIB

Oleh Yuni Roslaili Usman

ACEH yang secara geografis terletak di ujung Pulau Sumatera, dipandang sebagai daerah
pertama yang menerima Islam. Dari sini pula tempat pertama perkembangan kerajaan yang
berdasarkan Islam seperti Perlak, Samudera Pasai dan Kesultanan Aceh Darussalam sebagai
kesultanan yang berhasil menyatukan kerajaan-kerajaan Islam kecil di Aceh ke dalam
kekuasaannya. Dalam sejarah dan tradisi Aceh, pusat kekuasaannya didirikan atas dasar
Islam. Dengan kata lain, Islamlah yang memberi dasar bagi adanya pusat kekuasaan itu.

Jika di Jawa (Kraton) dikalahkan oleh Islam dari pinggiran (Majapahit dikalahkan oleh
aliansi Demak-Kudus), maka di Aceh tidak mengenal konfrontasi kekuasaan seperti itu.
Dengan demikian Aceh tidaklah terjerat oleh keharusan untuk melanjutkan sistem dan tradisi
lamanya. Penguasa Aceh mendapatkan kesempatan untuk merumuskan tradisi baru yang
relatif terlepas dari keharusan doktrin dan kenyataan sosial yang ada sebelumnya.

Di samping Malaka, Aceh adalah negara kota Islam terpenting di dunia Melayu pada abad
ke-15 dan 17. Dalam bentuk pemerintahan negara kota, di abad ke-17, Aceh bukan saja jauh
lebih dikenal, tetapi menurut AH Johns, berdasarkan semua bukti yang ada, nampak posisi
Aceh sangat penting. Dengan suatu jangkauan hubungan internasional yang lebih luas dan
kehidupan intelektual keagamaan yang jauh lebih jelas, Aceh menjadi pusat perkembangan
sebuah kerajaan maritim yang perkasa yang sangat islami, mandiri dalam perdagangan dan
menjadi center intelektualisme Islam.

Peranannya sebagai pintu gerbang ke Tanah Suci bagi peziarah dan pelajar Jawi yang menuju
ke Mekkah, Madinah dan pusat-pusat pengetahuan di Mesir serta bagian-bagian lain dari
Kesultanan Turki, membuat Aceh berhubungan erat dengan kota-kota pelabuhan Muslim
yang lain dan menjadikannya sebuah pusat yang alamiah bagi poros ulama borjuasi. Dari
sinilah muncul nama-nama tokoh terkemuka seperti Hamzah Fansuri (w. 1600), Syamsuddin
al-Sumatrani (w. 1630), Nuruddin al-Raniry (w. 1657), dan Abdul Rauf al-Singkili (w. 1660).

Menyangkut hubungan dengan Timur Tengah, tidak ada negara lain di Nusantara yang
mempunyai hubungan politik dan diplomatik yang begitu intens dengan kerajaan-kerajaan
Islam di Mughal, Persia dan Turki Utsmani, kecuali Aceh. Dengan jalinan persahabatan itu,
Turki Utsmani membantu Aceh tidak hanya di bidang militer, tetapi juga di bidang politik
yang diindikasikan melalui pengakuan terhadap Aceh sebagai bagian dari Khilafah Islam.
Oleh karena itu, posisi Aceh pada abad ke-16 diakui di dunia Islam secara internasional.
Agaknya alasan inilah yang dijadikan sejarawan sebagai argumen untuk menyatakan Aceh
sebagai satu Negara Muslim terkemuka di dunia.

Di masa kolonialisme semangat perang yang tinggi terhadap Belanda disebabkan oleh faktor
teologis, di mana perang melawan Belanda berarti perang suci melawan kaphe (kafir) yang
bernilai jihad fi sabilillah. Adalah para ulama muncul dari Dayah dan Meunasah memimpin
perang sabil melawan kolonial Belanda. Keterikatan masyarakat Aceh dengan agamanya ini
juga diakui oleh kolonial Belanda. Adalah Gubernur Aceh, Van Sluys (1918-1928), pada
tanggal 18 maret 1922 telah menulis surat rahasia kepada Gubernur Batavia yang menyatakan
bahwa situasi politik di Aceh akan terganggu apabila ada usaha penyebaran agama selain
Islam.

Kaitannya dengan Indonesia, bahwa perasaan sebagai bagian dari Indonesia mulai tumbuh di
Aceh pada awal dasawarsa abad 20. Nasionalisme Indonesia mulai dikembangkan di Aceh
pada awal dasawarsa abad 20 yaitu pada kurun waktu 1919 sampai 1922 oleh Syarikat Islam.
Hasilnya adalah adanya pergeseran identitas keacehan atau keislaman menjuju sebuah
identitas yang mengindonesia. Titik puncak kecenderungan atas nasionalisme Indonesia
sebagai media pemersatu dalam perjuangan melawan Belanda terjadi pada 1945.

Di mana saat itu kebanyakan alumni dari mazhab Islam pembaharu membujuk para ulama
senior yang merupakan guru mereka untuk mendukung berdirinya republik baru di Indonesia.
Maka pada 15 Oktober 1945 empat orang tokoh Aceh pemimpin organisasi reformasi di
Aceh, yaitu Tgk Djakfar Lam Jabat, Tgk Muhammad Kruengkale, Tgk Hasballah Indrapuri,
dan Tgk Muhammad Daud Beureueh mengeluarkan fatwa yang kemudian menjadi pegangan
masyarakat Aceh saat itu dalam mempertahankan kemerdekaan RI. Fatwa tersebut
menyatakan bahwa kaum muslimin yang gugur dalam perang mempertahankan cita-cita
proklamasi Indonesia itu adalah mati syahid.

Syariat Islam

Setelah Indonesia merdeka, tuntutan untuk menerapkan syariat Islam muncul kembali.
Masyarakat Aceh yang sebelumnya telah menyatakan kepada Soekarno bahwa Aceh mau
membantu dan bergabung dengan Indonesia melawan Belanda untuk merebut kemerdekaan,
dengan catatan bahwa kepada Aceh nantinya diberikan hak untuk melaksanakan syariat
Islam. Maka Abu Beureueh pun berkali-kali menuntut penerapan syariat Islam ini kepada
Soekarno, namun pihak Soekarno hanya memberikan janji-janji semata. Bahkan alih-alih
menepati janjinya untuk memberikan hak bagi rakyat Aceh menerapkan syariat Islam, malah
Soekarno pada 1950 menghapus Provinsi Aceh, dan menggabungkannya ke dalam Provinsi
Sumatera Timur.

Kenyataan ini membuat rakyat Aceh merasa tertipu dan kecewa yang mendalam.
Kekecewaan itu minimal dilatarbelakangi oleh tiga hal; Pertama, kesadaran masyarakat Aceh
bahwa mereka adalah pendukung sepenuhnya kemerdekaan Republik Indonesia. Hal ini
dibuktikan dengan mereka telah mengumpulkan emas dan uang untuk membantu Pemerintah
Pusat, sehingga Jakarta mampu membeli pesawat terbang Dakota (DC-3) yang diberi nama
Seulawah, nama sebuah pegunungan di Aceh. Kedua, Aceh yang mayoritas berpenduduk
Muslim digabungkan dengan provinsi Sumatera Timur yang mayoritas berpenduduk Kristen.
Ketiga, bahwa Soekarno ketika berkunjung ke Aceh pada tahun 1948 telah bersumpah untuk
memberikan hak bagi rakyat Aceh untuk menjalankan syariat Islam.

Dari kisah itu dapat dipahami bagaimana kegelisahan mendalam yang dialami oleh para
pemimpin Aceh dalam menghadapi realitas yang terjadi saat itu. Bagaimana para ulama dan
zu’ama yang telah mempertaruhkan harkat dan martabat diri dan kepercayaan masyarakat
harus mempertanggung jawabkan seluruh ucapan dan janji-janji mereka saat perang
kemerdekaan bahwa Aceh akan mendapatkan hak untuk menjalankan syariat Islam, ketika
menghadapi kenyataan bahwa ternyata hak untuk menjalankan syariat Islam itu hanya
sekadar ilusi belaka?

Dalam hal ini ulama merasa malu karena kegagalannya dalam memenuhi komitmen kultural
mereka kepada masyarakat Aceh. Dari sini dapat dimengerti mengapa pemberontakan Daud
Beureueh baru berakhir setelah Aceh dikembalikan lagi sebagai provinsi. Dan itu bukan satu-
satunya gejolak yang timbul setelah kemerdekaan RI, tetapi banyak gejolak lain yang muncul
sebagai unjuk rasa kekecewaan dan ketidakpuasan atas kebijakan-kebijakan pemerintah
pusat, baik persoalan sosio-politik, agama dan ekonomi.

Kini, kekecewaan masyarakat Aceh terkait pelaksanaan syariat Islam agaknya mulai terobati.
Perubahan politik dan kebijakan di era reformasi ini telah membawa berbagai perubahan
penting dalam ketatanegaraan Indonesia, termasuk amandemen UUD 1945 yangdiiringi
dengan berbagai perubahan peraturan yang lebih rendah di bawahnya. Maka pada 4 Oktober
1999 Presiden BJ Habibie menandatangani UU No.44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Keistimewaan Aceh yang meliputi bidang agama, adat, pendidikan dan peran ulama dalam
penetapan kebijakan daerah. Menyusul kemudian, pada 9 Agustus 2001, Presiden Megawati
Soekarnoputri menandatangani UU No.18 Tahun 2001 tentang Daerah Otonomi Khusus
Nanggroe Aceh Darussalam.

Terlepas dari plus minusnya UU tersebut, yang terpenting terkait penerapan syariat Islam
adalah membenarkan pembentukan Mahkamah Syar’iyyah baik pada tingkat rendah (sagoe)
ataupun pada tingkat tinggi (nanggroe) yang wewenangnya dapat meliputi seluruh bidang
syariat, masalah perdata (muamalah) dan bidang pidana (jinayah). Kehadiran Mahkamah
Syar’iyyah ini merupakan episode baru bagi perkembangan sejarah peradilan di Indonesia
dengan kewenangan untuk mengadili perkara-perkara pidana semisal berzina, mencuri,
bahkan murtad sekalipun dengan menggunakan hukum Islam.

Selain itu dalam merespons UU No.18 Tahun 2001, dibentuk pula Dinas Syariat Islam untuk
menjadi lembaga resmi negara secara teknis yang bertanggung jawab dalam implementasi
syariat Islam di Aceh. Oleh karena itu berdasarkan UU tersebut, sungguh rakyat Aceh telah
diberikan keleluasaan menerapkan syariat Islam. Berpayungkan UU No.44 Tahun 1999
tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh, daerah ini telah dijamin keistimewaannya
secara legal formal dalam bidang agama, adat, pendidikan serta peran ulama dalam penetapan
kebijakan daerah.

Guna merespons semangat UU No.44/1999, dalam Perda No.5 Tahun 2000 disebutkan bahwa
pelaksanaan syariat Islam di Aceh meliputi masalah akidah, ibadah, muamalah, akhlak,
pendidikan, dakwah, baitul mal, kemasyarakatan, syiar Islam, pembelaan Islam, qadha’,
jinayat (pidana), munakahat dan mawaris. Penerapan syariat Islam di Aceh dikuatkan lagi
oleh UU No.18 Tahun 2001 dan UU No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA).
Ini artinya syariat Islam di Aceh dapat dilaksanakan secara kaffah. Permasalahannya
sekarang adalah apakah sejarah panjang atas kesadaran historis agamis ini telah dipahami
dengan baik oleh pemerintah dan masyarakat Aceh saat ini?

* Dr. Yuni Roslaili Usman, M.A., Dosen Studi Syariat Islam di Aceh, UIN Ar-Raniry,
Darussalam, Banda Aceh. Email: yuni_roslaili@yahoo.com

Anda mungkin juga menyukai