Anda di halaman 1dari 7

MAKALAH

“KETENTUAN SALAM DAN ISTISNA”


Dibuat guna memenuhi tugas mata kuliah Fiqh Mu’amalah Kontemporer
Dosen Pengampu :

Di susun oleh

MUNADIA 1702220125

FAKULTAS EKONOMI AKUNTANSI


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH ACEH
TAHUN AJARAN 2019 M
KETENTUAN SALAM DAN ISTISNA

A. Pendahuluan
Di jaman yang modern ini masayarakat sudah banyak perubahan mengenai
jual beli, yang dahulu nya dengan cara tradisional yang hanya menggunakan
pertukaran barang / barter dengan saat ini yang bisa membeli barang dengan
menggunakan uang.
Didalam islam banyak sekali jual beli yang di perbolehkan, di antara nya
adalah Salam atau yang di kenal juga dengan istilah Al-Salaf. Jual beli salam ini
pada dasarnya adalah jual beli dengan pembayaran di muka, sedangkan barang
nya diserahkan belakangan.
Bentuk lainnya yang di perbolehkan adalah Bay’ al-Muqayyadah, (barter)
yaitu jual beli dengan cara menukar satu barang dengan barang lain. Misalnya,
menukar beras dengan gandum, atau menukar rotan dengan minyak tanah dan
lain-lain.
Selanjut nya bentuk lain adalah Aktivitas bisnis ada dalam bentuk
Bay’Samsarah, (broker) yaitu jual beli dengan memakai perantara. Misalnya,
sodara A ingin menjual motor lalu dia meminta kepada sodara B untuk menjualkan
motornya tersebut dengan harga sekian, dan jika mempunyai kelebihan maka
kelebihan nya tersebut miilik sodara B.
Ada juga aktivitas bisnis dalam bentuk bay’ Istishna’ yaitu akad jual barang
pesanan di antara dua belah pihak dengan spesifikasi dan pembayaran tertentu.
Barang yang dipesan belum diproduksi atau tidak tersedia di pasaran.
Pembayarannya dapat secara kontan atau dengan cicilan tergantung kesepakatan
kedua belah pihak.
B. Kententuan Istisna
Istisna di anggap sah jika ada keterangan yang sejelas jelasnya yang dapat
menghindari dari percekcokan tentang jenis, macam, sifat, kualitas dan kuantitas
barang pesanan nya. Menurut abu hanifah, bagi pemesan, ketiika melihat barang
dipesannya tidak sesuai dengan contoh pesanannya, boleh menarik kembali harga
sesuai dengan kondisi barang atau membatalkan perikatan. Hal ini karna ia
membeli barang yang belum di lihat nya dan barang yang di pesannya mungkin
tidak sesuai dengan sifat-sifat yang di pesan.1

Dewan Syariah Nasional menetapkan aturan tentang Jual beli Istishna


pada Nomor : 06/DSN-MUI/IV/2000 sebagai berikut2 :
Pertama : Ketentuan tentang Pembayaran :
1. Alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya,
baik berupa uang, baarng, tau manfaat.
2. Pembayaran dilakukan sesuai dengan kesepakatan.
3. Pembayaran tidak boleh dalam bentuk pembebasan
utang.

Kedua : Ketentuan tentang Barang :


1. Harus jelas ciri-cirinya dan dapat diakui sebagai utang.
2. Harus dapat dijelaskan spesifikasinya.
3. Penyerahannya dilakukan kemudian.
4. Waktu dan tempat penyerahan barang harus
ditetapkan berdasarkan kesepakatan .
5. Pembeli (pembeli, mustashni’) tidak boleh menjual
barang sebelum menerimanya.
6. Tidak boleh menukar baarang, kecuali dengan barang
sejenis sesuai kesepakatan.

1
Siah Khosyi’ah “FIQH MUAMALAH PERBANDINGAN”, Bandung ; Pustaka Setia, 2014 h. 119
2
Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah Fiqh Muamalah, Jakarta : Kencana, 2012 , h. 130
7. Dalam hal terdaapat cacat atau barang tidak sesuai
dengan kesepakatan, pemesan memiliki hak khiyar
(hak memilih) untuk melanjutkan atau membatalkan
akad.
Ketiga : Ketentuan Lain3 :
1. Dalam hal pemesanan sudah dikerjakan sesuai
dengan kesepakatan, hukumnya mengikat.
2. Semua ketentuan dalam juak beli salam yang tidak
disebutkan diatas berlaku pula pada jual beli istishna’.
3. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya
atau jika terjadi perselisihan di antara kedua belah
pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan
Abitrase Syariah setelah tidak tercapainya kesepakatan
melalui musyawarah.

Jual beli alistishna’ dapat dilakukan dengan cara membuat kontrak baru
dengan pihak lain. Kontrak baru tersebut dengan konsep istishna’ paralel.
Pelaksanaannya ada dua bentuk :
1. Produsen dipilih oleh pihak Bank Syariah
 Nasabah memesan barang yang diinginkannya kepada Bank
Syariah dengan kriteria tertentu
 Bank Syariah segera memesan barang kepada pembuat atau
produsen sesuai pesanan
 Bank Syariah menjual barang kepada nasabah yang memesan
barang sesuai dengan kesepakadan.
 Sesudah barang pesanan selesai,barang diserahkan oleh produsen
atas perintah Bank Syariah.

3
Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah Fiqh Muamalah, Jakarta : Kencana, 2012 , h. 131
2. Produsen dipilih sendiri oleh nasabah
 Negosiasai antara nasabah dan produsen tentang pesanan barang
 Nasabah memesan barang kepada Bank Syariah sebagai penjual, atau
Bank Syariah mewakilkan kepada nasabah untuk memesan barang
kepada produsen.
 Bank Syariah menjual barang kepada nasabah sebagai pembeli
 Bank Syariah memesan dan membeli barang kepada produsen
sesuai dengan pesanan pembeli atau nasabah.

Berkaitan dengan syarat istisna, kalangan Hanafiyah mensyaratkan tiga hal


agar istisna sah. Tiga syarat ini apabila salah satunya tidak terpenuhi, maka akad
istisan dianggap rusak atau batal4.
a. Barang yang menjadi obyek istisna harus jelas, baik jenis, macam kadar
sifatnya. Apabila salah satu unsure ini tidak jelas, maka akad istisna rusak.
Karena barang tersebut pada dasarnya adalah obyek jual beli yang harus
diketahui. Apabila seseorang memesan suatu barang,harus dijelaskan
spesifikasinya; bahan,jenis,model,ukuran,bentuk,sifat,kualitasnya,serta hal
hal yang terkait dengan barang tersebut. Jangan sampai ada hal yang tidak
jelas,karena hal tersebut dapat menimbulkan perselisihan pada pihak yang
bertransaksi.
b. Barang dipesan merupakan barang yang biasa digunakan untuk keperluan
dan sudah umum digunakan, seperti pakaian , perabotan rumah , furnitur ,
dsb
c. Tidak diperbolehkan menetapkan dan memastikan waktu tertentu untuk
menyerahkan barang pesanan. Apabila waktu penyerahan telah ditetapkan,
maka dikategorikan sebagai akad salam.

4
Imam Mustofa, “FIQIH MU’AMALAH…, h. 81
Dewan Syariah Nasional menetapkan aturan tentang Jual beli Istishna Paralel
pada Nomor : 22/DSN-MUI/ III/2002 sebagai berikut5 :

Pertama : Ketentuan Umum


1. Jika LKS melakukan transaksi istishna’ untuk
memenuhi kewajibannya kepada nasabah ia
dapat melakukan istishna’ lagi dengan pihak
lain pada objek yang sama, dengan syarat
istishna’ pertama tidak bergantung (mu’allaq)
pada istishna’ kedua.
2. LKS selaku mustashni’ tidak diperkenankan
untuk memunggut MDC (margin during
construction) dari nasabah (shani’) karena hal
ini tidak sesuai dengan prinsip syariah.
3. Sumua rukun dan syarat yang berlaku dalam
akad istishna’ (Fatwa DSN Nomor 06/DSN-
MUI/IV/2000) berlaku pula dalam istishna’
parallel.
Kedua : Ketentuan Lain :
1. Jika salah satu pihak tidak menunaikan
kewajiban atau jika terjadi perselisihan di antara
kedua belah pihak, maka penyelesaiannya
dilakukan melalui Badan Abitrase Syariah
setelah tidak tercapainya kesepakatan melalui
musyawarah.
2. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan
dengan ketentuan jika dikemudian hari ternyata
terdapat kekeliruan, akan diubah dan
disempurnakan sebagaimana mestinya.

5
Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah Fiqh Muamalah, Jakarta : Kencana, 2012 , h. 134
DAFTAR PUSTAKA

Enizar, “Hadis Ekonomi”, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2013

Khosy’ah, Siah, “Fiqh Muamalah Perbandingan”, Bandung : Pustaka Setia, 2014

Imam Mustofa, “Fiqih Mu’amalah Kontemporer”, Yogyakarta : Kaubaka Dipantara,


2014

M. Ali Hasan, “Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam”, Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada, 2003

M. Fauzan, “Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah”, Jakarta : Kencana, 2009

Mardani, “Fiqh Ekonomi Syariah Fiqh Muamalah”, Jakarta : Kencana, 2012

Rasjid , Sulaiman, “Fiqh Islam”, Bandung : Percetakan Sinar Baru, 2013

Siah Khosyi’ah “Fiqh Muamalah Perbandingan”, Bandung ; Pustaka Setia, 2014

Sudarsono, “Pokok-Pokok Hukum Islam”, Jakarta : PT. Rineka Cipta, 2001

Siti Mujiatun, “JUAL BELI DALAM PERSPEKTIF ISLAM : SALAM DAN ISTISNA’” dalam
JURNAL RISET AKUNTANSI DAN BISNIS, (Sumatera Utara : Universitas
Muhamadiyah, Volume 13, No . 2, September 2013)

Anda mungkin juga menyukai