Anda di halaman 1dari 24

DEFINISI

Trauma mata adalah tindakan sengaja maupun tidak yang menimbulkan


perlukaan mata. Trauma mata merupakan kasus gawat darurat mata. Perlukaan yang
ditimbulkan dapat ringan sampai berat atau menimbulkan kebutaan bahkan
kehilangan mata.

JENIS-JENIS TRAUMA
Trauma mata berdasarkan penyebabnya dibagi ;
1) Mekanis :
 Tumpul
 Tajam
2) Bahan Kimia :
 Asam
 Basa
3) Termal
 Uap panas
 Luka bakar kontak langsung

1) TRAUMA MEKANIS
 TRAUMA TUMPUL
Trauma tumpul pada mata dapat diakibatkan benda yang keras atau benda yang
tidak keras, dimana benda tersebut dapat mengenai mata dengan keras
(kencang) ataupun lambat.
Tingkatan dari rudapaksa mata ini tergantung dari besar, berat, energi kinetik
dari obyek.
Mekanisme :
Gelombang tekanan akibat dari rudapaksa mata menyebabkan :
1. Tekanan yang sangat tinggi dan jelas dalam waktu yang singkat didalam
bola mata.
2. Perubahan yang menyolok dari bola mata.
3. Tekanan dalam bola mata akan menyebar antara cairan vitreous yang
kental dan jaringan sclera yang tidak elastis.

1
4. Akibatnya terjadi peregangan dan robeknya jaringan pada tempat dimana
ada perbedaan elastisitas, mis: daerah limbus, sudut iridocorneal,
ligamentum Zinii, corpus ciliare.
Respon dari jaringan terhadap rudapaksa mata tumpul :
1. Vasokonstriksi dari pembuluh darah perifer, sehingga terjadi iskemia dan
nekrosis lokal.
2. Diikuti dengan vasodilatasi, hiperpermeabilitas, aliran darah yang
menurun.
3. Dinding pembuluh darah robek maka cairan jaringan dan isi sel akan
menyebar menuju jaringan sekitarnya sehingga terjadi edema dan
perdarahan.
Karena tiap-tiap jaringan mempunyai sifat-sifat dan respon khusus terhadap
trauma maka akan dibicarakan satu-persatu.
A. PALPEBRA
Suatu benturan tumpul bisa mendorong mata ke belakang sehingga
kemungkinan merusak struktur pada permukaan (kelopak mata, konjungtiva,
sklera, kornea dan lensa) dan struktur mata bagian belakang (retina dan
persarafan). Karena palpebra merupakan pelindung bola mata maka saat terjadi
trauma akan melakukan refleks menutup. Hal ini akan menyebabkan terjadinya
hematoma palpebra. Hematoma ini terjadi karena keluarnya darah dari
pembuluh darah yang rusak pada trauma tersebut.

B. KONJUNGTIVA
 Edema Konjungtiva
Jaringan konjungtiva yang bersifat selaput lendir dapat menjadi
kemotik pada setiap kelainannya, demikian pula akibat trauma tumpul.
Bila kelopak terpajan ke dunia luar dan konjungtiva secara langsung kena

2
angin tanpa dapat mengedip,maka keadaan ini telah dapat mengakibatkan
edema pada konjungtiva.
Kemotik konjungtiva yang berat dapat mengakibatkan palpebra tidak
menutup sehingga bertambah rangsangan terhadap konjungtiva.
Pada edema konjungtiva dapat diberikan dekongestan untuk
mencegah pembendungan cairan didalam selaput lendir konjungtiva.
Pada kemotik konjungtiva berat dapat dilakukan insisi sehingga cairan
konjungtiva kemotik keluar melalui insisi tersebut.

 Hematoma Subkonjungtiva
Terjadi akibat pecahnya pembuluh darah yang terdapat pada atau
dibawah konjungtiva, seperti arteri konjungtiva dan arteri episklera.
Bila perdarahan ini terjadi akibat trauma tumpul maka perlu
dipastikan bahwa tidak terdapat robekan dibawah jaringan konjungtiva
atau sklera. Kadang-kadang hematoma subkonjungtiva menutupi keadaan
mata yang lebih buruk seperti perforasi bola mata. Pemeriksaan
funduskopi adalah perlu pada setiap penderita dengan perdarahan
subkonjungtiva akibat trauma. Bila tekanan bola mata rendah dengan pupil
lonjong disertai tajam penglihatan menurun dan hematoma subkonjungtiva
maka sebaiknya dilakukan eksplorasi bola mata untuk mencari
kemungkinan adanya ruptur bulbus okuli.
Pengobatan ini pada hematoma subkonjungtiva ialah dengan kompres
hangat. Perdarahan subkonjungtiva akan hilang atau diabsorpsi dalam 1-2
minggu tanpa diobati.

3
C. KORNEA
 Edema Kornea
Trauma tumpul yang keras atau cepat mengenai mata dapat
mengakibatkan edema kornea malahan ruptur membran descement.
Edema kornea akan memberikan keluhan penglihatan kabur dan
terlihatnya pelangi sekitar bola lampu atau sumber cahaya yang dilihat.
Kornea akan terlihat keruh dengan uji placido yang positif.
Edema kornea yang berat dapat mengakibatkan masuknya serbukan
sel radang dan neovaskularisasi kedalam jaringan stroma kornea.
Pengobatan yang diberikan adalah larutan hipertonik seperti NaCl 5%
atau larutan garam hipertonik 2-8%, glukose 40% dan larutan albumin.
Bila terdapat peninggian tekanan bola mata maka diberikan
azetolamida. Pengobatan untuk menghilangkan rasa sakit dan
memperbaiki tajam penglihatan dengan lensa kontak lembek dan mungkin
akibat kerjanya menekan kornea terjadi pengurangan edema kornea.
Penyulit trauma kornea yang berat berupa terjadinya kerusakan
membran descement yang lama sehingga mengakibatkan keratopati bulosa
yang akan memberikan keluhan rasa sakit dan menurunkan tajam
penglihatan akibat astimagtisme ireguler.

 Erosi Kornea
Erosi kornea merupakan keadaan terkelupasnya epitel kornea yang
dapat diakibatkan oleh gesekan keras pada epitel kornea. Erosi dapat

4
terjadi tanpa cedera pada membran basal. Dalam waktu yang pendek epitel
sekitarnya dapat bermigrasi dengan cepat dan menutupi defek epitel
tersebut.
Pada erosi pasien akan merasa sakit sekali akibat erosi merusak
kornea yang mempunnyai serat sensibel yang banyak, mata berair,
denagan kornea yang keruh.
Pada kornea akan terlihat suatu defek epitel kornea yang bila diberi
perwanaan fluorescein akan berwarna hijau.
Epitel yang terkelupas atau terlipat sebaiknya dilepas atau dikupas.
Untuk mencegah infeksi bakteri diberikan antibiotika spektrum luas
seperti neosporin, kloramfenikol, dan sulfasetamide tetes mata. Akibat
rangsangan yang mengakibatkan spasme siliar maka diberikan siklopegik
aksi pendek seperti tropikamida. Pasien akan merasa lebih tertutup bila
dibebat tekan selama 24 jam. Erosi yang kecil biasanya tertutup kembali
setelah 48 jam.

D. BILIK MATA DEPAN


 Hifema (Perdarahan dalam bilik mata depan yang berasal dari iris dan
corpus siliare)
Respon vaskuler yang terkena adalah Arteri Ciliaris Anterior,
perdarahan vena di Schlemm kanal dan adanya hipotoni, seperti pada
siklodialisis. Pada umumnya 70 % kasus penyerapan terjadi dalam waktu
5-6 hari.
Bila perdarahan luas koagulasi dibilik mata depan akan luas dimana
terjadi gumpalan fibrin dan darah merah. Hal ini akan memperlambat

5
penyerapan ditambah lagi hambatan mekanis terhadap ” outflow ” humor
aquos disudut iridocorneal.
Pada beberapa produk darah menempel pada bagian anterior pigmen
membran dari iris didaerah pupil dan sudut iridocorneal.Walaupun
sepintas bilik mata depan jernih, tetapi iritis cukup kuat untuk membentuk
sinekia anterior dan posterior. Hifema sekunder pada umumnya nampak
antara hari ke 2 dan ke 5. biasanya diikuti dengan ancaman iritis.
Pada hifema ringan dapat terjadi glaukoma sekunder dengan
meningkatnya tekanan intraokuler. Hal ini dari adanya edema di trabekuler
meshwork, sehingga terjadi gangguan outflow humor aquos. Tekanan
intraokuli kadang baru terjadi beberapa hari setelah trauma, ini adalah
akibat adanya perdarahan sekunder. Frekuensi perdarahan sekunder tanpa
kenaikan tekanan intraokuler 30%. Frekuensi perdarahan sekunder dengan
kenaikan tekanan intraokuler 50%.

 PERAWATAN KONSERVATIF/TANPA OPERASI


1. Tirah baring sempurna (bed rest total)
Penderita ditidurkan dalam keadaan terlentang dengan posisi
kepala diangkat (diberi alas bantal) dengan elevasi kepala 30º - 45º. Hal
ini akan mengurangi tekanan darah pada pembuluh darah iris serta
memudahkan kita mengevaluasi jumlah perdarahannya. Ada banyak
pendapat dari banyak ahli mengenai tirah baring sempurna ini sebagai
tindakan pertama yang harus dikerjakan bila menemui kasus traumatik
hifema. Bahkan Darr dan Rakusin menunjukkan bahwa dengan tirah
baring sempurna absorbsi dari hifema dipercepat dan sangat
mengurangi timbulnya komplikasi perdarahan sekunder.

6
Istirahat total ini harus dipertahankan minimal 5 hari mengingat
kemungkinan perdarahan sekunder. Hal ini sering sukar dilakukan,
terlebih-lebih pada anak-anak, sehingga kalau perlu harus diikat tangan
dan kakinya ke tempat tidur dan pengawasan dilakukan dengan sabar.
2. Bebat mata
Mengenai pemakaian bebat mata, masih belum ada persesuaian
pendapat di antara para ahli. Edward- Layden lebih condong untuk
menggunakan bebat mata pada mata yang terkena trauma saja, untuk
mengurangi pergerakan bola mata yang sakit. Selanjutnya dikatakan
bahwa pemakaian bebat pada kedua mata akan menyebabkan penderita
gelisah, cemas dan merasa tak enak, dengan akibat penderita (matanya)
tidak istirahat Akhirnya Rakusin mengatakan bahwa dalam
pengamatannya tidak ditemukan adanya pengaruh yang menonjol dari
pemakaian bebat atau tidak terhadap absorbsi, timbuInya komplikasi
maupun prognosa bagi tajam penglihatannya:
3. Pemakaian obat-obatan
Pemberian obat-obatan pada penderita dengan traumatik hifema
tidaklah mutlak, tapi cukup berguna untuk menghentikan perdarahan,
mempercepat absorbsinya dan menekan komplikasi yang timbul. Untuk
maksud di atas digunakan obat-obatan seperti :
(a) Koagulansia
Golongan obat koagulansia ini dapat diberikan secara oral
maupun parenteral, berguna untuk menekan/menghentikan
perdarahan, Misalnya : Anaroxil, Adona AC, Coagulen,
Transamin, vit K dan vit C.
Pada hifema yang baru dan terisi darah segar diberi obat anti
fibrinolitik (Dipasaran obat ini dikenal sebagai transamine/
transamic acid) sehingga bekuan darah tidak terlalu cepat diserap
dan pembuluh darah diberi kesempatan untuk memperbaiki diri
dahulu sampai sembuh. Dengan demikian diharapkan terjadinya
perdarahan sekunder dapat dihindarkan. Pemberiannya 4 kali 250
mg dan hanya kira-kira 5 hari jangan melewati satu minggu oleh
karena dapat timbulkan gangguan transportasi cairan COA dan

7
terjadinya glaukoma juga imbibisio kornea. Selama pemberiannya
jangan lupa pengukuran tekanan intra okular.
(b) Midriatika Miotika
Masih banyak perdebatan mengenai penggunaan obat-obat
golongan midriatika atau miotika, karena masing-masing obat
mempunyai keuntungan dan kerugian sendiri-sendiri: Miotika
memang akan mempercepat absorbsi, tapi meningkatkan kongesti
dan midriatika akan mengistirahatkan perdarahan. Gombos
menganjurkan pemberian midriatika bila didapatkan komplikasi
iridiocyclitis. Akhirnya Rakusin membuktikan bahwa pemberian
midriatika dan miotika bersama-sama dengan interval 30 menit
sebanyak dua kali sehari akan mengurangi perdarahan sekunder
dibanding pemakaian salah satu obat saja. Darr menentangnya
dengan tanpa menggunakan kedua golongan obat tersebut pada
pengobatan hifema traumatik.
(c) Ocular Hypotensive Drug
Semua para ahli menganjurkan pemberian acetazolamide
(Diamox) secara oral sebanyak 3x sehari bilamana ditemukan
adanya kenaikan tekanan intraokuler. Bahkan Gombos dan Yasuna
menganjurkan juga pemakaian intravena urea, manitol dan gliserin
untuk menurunkan tekanan intraokuler, walaupun ditegaskan
bahwa cara ini tidak rutin.
Pada hifema yang penuh dengan kenaikan tekanan intra
okular, berilah diamox, glyserin, nilai selama 24 jam :
Bila tekanan intra okular tetap tinggi atau turun, tetapi tetap
diatas normal, lakukan parasentesa yaitu pengeluaran darah melalui
sayatan di korneaBila tekanan intra okular turun sampai normal,
diamox terus diberikan dan dievaluasi setiap hari. Bila tetap normal
tekanan intra okularnya dan darahnya masih ada sampai hari ke 5-9
lakukan juga parasentesa.
(d) Kortikosteroid dan Antibiotika
Pemberian hidrokortison 0,5% secara topikal akan mengurangi
komplikasi iritis dan perdarahan sekunder dibanding dengan
antibiotika. Yasuna menganjurkan pemberian prednison 40 mg/hari
8
secara oral segera setelah terjadinya hifema traumatik guna
mengurangi perdarahan sekunder.
(e) Obat-obat lain
Sedativa diberikan bilamana penderita gelisah. Diberikan
analgetika bilamana timbul rasa nyeri.
 PERAWATAN OPERASI
Perawatan cara ini akan dikerjakan bilamana ditemukan glaukoma
sekunder, tanda imbibisi kornea atau hemosiderosis cornea dan tidak ada
pengurangan dari tingginya hifema dengan perawatan non-operasi selama
3 - 5 hari.
Untuk mencegah atrofi papil saraf optik dilakukan pembedahan bila
tekanan bola mata maksimal > 50 mmHg selama 5 hari atau tekanan bola
mata maksimal > 35 mmHg selama 7 hari. Untuk mencegah imbibisi
kornea dilakukan pembedahan bila tekanan bola mata rata-rata > 25
mmHg selama 6 hari atau bila ditemukan tanda-tanda imbibisi kornea.
Untuk mencegah sinekia anterior perifer dilakukan pembedahan bila
hifema total bertahan selama 5 hari atau hifema difus bertahan selama 9
hari.
Intervensi bedah biasanya diindikasikan pada atau setelah 4 hari. Dari
keseluruhan indikasinya adalah sebagai berikut :
a. Empat hari setelah onset hifema total
b. Microscopic corneal bloodstaining (setiap waktu)
c. Hifema total dengan dengan Tekanan Intra Okular 50 mmHg atau
lebih selama 4 hari (untuk mencegah atrofi optic)
d. Hifema total atau hifema yang mengisi lebih dari ¾ COA selama 6
hari dengan tekanan 25 mmHg (untuk mencegah corneal
bloodstaining)
e. Hifema mengisi lebih dari ½ COA yang menetap lebih dari 8-9 hari
(untuk mencegah peripheral anterior synechiae)
f. Pada pasien dengan sickle cell disease dengan hifema berapapun
ukurannya dengan Tekanan Intra Ocular lebih dari 35 mmHg lebih
dari 24 jam.Jika Tekanan Inta Ocular menetap tinggi 50 mmHg atau
lebih selama 4 hari, pembedahan tidak boleh ditunda. Suatau studi
mencatat atrofi optic pada 50 persen pasien dengan total hifema ketika
9
pembedahan terlambat. Corneal bloodstaining terjadi pada 43%
pasien. Pasien dengan sickle cell hemoglobinopathi diperlukan
operasi jika tekanan intra ocular tidak terkontrol dalam 24 jam.6
Tindakan operasi yang dikerjakan adalah
1. Paracentesa : mengeluarkan cairan/darah dari bilik depan bola mata
melalui lubang yang kecil di limbus. Parasentese dilakukan bila TIO
tidak turun dengan diamox atau jika darah masih tetap terdapat dalam
bilik mata depan pada hari 5-9.
Cara melakukan parasentese :
1 jam sebelum operasi, penderita diberikan “sedative cocktail”,
terdiri dari largaktil 25 mg, petidin 50 mg, phenergan 80mg. Mata
yang sakit didisinfeksi dengan asam pikrin 2 %. Kornea ditetesi
dengan pantokain 2% atau prokain 2 % tiap 3 menit, 3 kali.
Suntikkan retrobulbar novokain untuk blok semua otot-otot ekstra
okuler. Pasang spekulum untuk memegang kelopak mata, supaya
jangan menutup kembali. Dengan jarum parasentese yang steril
dilakukan insisi pada kornea di jam 6 dekat limbus. Jangan dilimbus,
karena banyak pembuluh darah. Dengan beratnya sendiri, darah akan
keluar melalui luka tersebut, sesudah jarum parasentese dikeluarkan
lagi.
2. Melakukan irigasi bilik depan bola mata dengan larutan fisiologik,
3. Dengan cara seperti melakukan ekstraksi katarak dengan membuka
corneo-scleralnya sebesar 120°.
E. IRIS
1. Iridodialisis
Trauma tumpul dapat mengakibatkan robekan pada pangkal iris
sehingga bentuk pupil menjadi berubah. Pasien akan melihat ganda
dengan satu matanya.
Pada iridosialisis akan terlihat pupil lonjong. Biasanya iridodialisis
terjadi bersama-sama dengan terbentuknya hifema.
Bila keluhan demikian maka pada pasien sebaiknya dilakukan
pembedahan dengan melakukan reposisi pangkal iris yang terlepas.

10
F. LENSA
a. Dislokasi Lensa. Dislokasi lensa terjadi pada putusnya zonula zinn
yang akan mengakibatkan kedudukan lensa terganggu.

b. Subluksasi Lensa. Terjadi akibat putusnya sebagian zonula zinn


sehingga lensa berpindah tempat. Subluksasi lensa dapat juga terjadi
spontan akibat pasien menderita kelainan pada zonula zinn yang rapuh
(sindrom Marphan). Pasien pasca trauma akan mengeluh penglihatan
berkurang. Subluksasi lensa akan memberikan gambaran pada iris
berupa iridodonesis. Akibat pegangan lensa pada zonula tidak ada
maka lensa yang elastic akan menjadi cembung, dan mata akan
menjadi lebih miopik. Lensa yang menjadi sangat cembung
mendorong iris ke depan sehingga sudut bilik mata tertutup. Bila
sudut bilik mata menjadi sempit pada mata ini mudah terjadi
glaucoma sekunder.
c. Luksasi Lensa Anterior. Bila seluruh zonula zinn di sekitar ekuator
putus akibat trauma maka lensa dapat masuk ke dalam bilik mata
depan. Akibat lensa terletak dalam bilik mata depan ini maka akan
terjadi gangguan pengaliran keluar cairan bilik mata sehingga akan
timbul glaucoma kongestif akut dengan gejala-gejalanya. Pasien akan
mengeluh penglihatan menurun mendadak, disertai rasa sakit yang

11
sangat, muntah, mata merah dengan blefarospasme. Terdapat injeksi
siliar yang berat, edema kornea, lensa di dalam bilik mata depan. Iris
terdorong ke belakang dengan pupil yang lebar. Tekanan bola mata
sangat tinggi.
d. Luksasi Lensa Posterior. Pada trauma tumpul yang keras pada mata
dapat terjadi luksasi lensa posterior akibat putusnya zonula zinn di
seluruh lingkaran ekuator lensa sehingga lensa jatuh ke dalam badan
kaca dan tenggelam di dataran bawah polus posterior fundus okuli.
Pasien akan mengeluh adanya skotoma pada lapang pandangannya
akibat lensa mengganggu kampus. Mata ini akan menunjukkan gejala
mata tanpa lensa atau afakia. Pasien akan melihat normal dengan
lensa +12.0 dioptri untuk jauh, bilik mata depan dalam dan iris
tremulans. Lensa yang terlalu lama berada dalam polus posterior
dapat menimbulkan penyulit akibat degenerasi lensa, berupa
glaucoma fakolitik ataupun uveitis fakotoksik
H. TRAUMA FUNDUS OCULI
Trauma tumpul yang mengenai mata dapat mengakibatkan kelainan
pada retina, koroid, dan saraf optik. Perubahan yang terjadi dapat berupa
edema retina, perdarahan retina, ablasi retina, maupun atrofi saraf
optik.
 Edema Retina dan Koroid
Trauma tumpul pada retina dapat mengakibatkan edema retina,
penglihatan akan sangat menurun. Edema retina akan memberikan
warna retina yang lebih abu-abu akibat sukarnya melihat jaringan
koroid melalui retina yang sembab. Berbeda dengan oklusi arteri
retina sentral dimana terdapat edema retina kecuali macula, sehingga
pada keadaan ini akan terlihat cherry red spot yang berwarna merah.
Edema retina akibat trauma tumpul juga mengakibatkan edema
makula sehingga tidak terdapat cherry red spot.
Pada trauma tumpul yang paling ditakutkan adalah terjadi edema
macula atau edema berlin. Pada keadaan ini akan terjadi edema yang
luas sehingga seluruh polus posterior fundus okuli berwarna abu-abu.

12
Umumnya penglihatan akan normal kembali setelah beberapa
waktu, akan tetapi dapat juga penglihatan berkurang akibat
tertimbunnya daerah macula oleh sel pigmen epitel.
 Ablasio Retina.
Trauma diduga merupakan pencetus untuk terlepasnya retina dari
koroid pada penderita ablasi retina. Biasanya pasien telah
mempunnyai bakat untuk terjadinya ablasi retina ini seperti retina tipis
akibat retinitis semata, miopia, dan proses degenerasi lainnya.
Pada pasien akan terdapat keluhan seperti adanya selaput yang
seperti tabir menganggu lapangan pandangannya. Bila terkena atau
tertutup daerah makula maka tajam penglihatannya akan menurun.
Pada pemeriksaan funduskopi akan terlihat retina yang berwarna
abu-abu dengan pembuluh darah yang terlihat terangkat dan berkelok-
kelok. Kadang-kadang terlihat pembuluh darah seperti yang terputus-
putus. Pada pasien dengan ablasi retina maka secepatnya dirawat
untuk dilakukan pembedahan oleh dokter mata.

 Ruptur Koroid
Pada trauma keras dapat terjadi perdarahan subretina yang dapat
merupakan akibat ruptur koroid. Ruptur ini biasanya terletak di polus
posterior bola mata dan melingkar konsentris di sekitar papil saraf
optik.
Bila ruptur koroid ini terletak atau mengenai daerah makula lutea
maka tajam penglihatan akan turun dengan sangat. Ruptur ini bila
tertutup oleh perdarahan subretina agak sukar dilihat akan tetapi bila
darah tersebut telah diabsorpsi maka akan terlihat bagian ruptur
berwarna putih karena sklera dapat dilihat langsung tanpa tertutup
koroid.
13
 Avulsi Papil Saraf Optik
Pada trauma tumpul dapat terjadi saraf optik terlepas dari
pangkalnya didalam bola mata yang disebut sebagai avulsi papil saraf
optik. Keadaan ini akan mengakibatkan turunnya tajam penglihatan
yang berat dan sering berakhir dengan kebutaan. Penderita ini perlu
dirujuk untuk dinilai kelainan fungsi retina dan saraf optiknya.
 Optik Neuropati Traumatik
Trauma tumpul dapat mengakibatkan kompresi pada saraf optik,
demikian pula perdarahan dan edema sekitar saraf optik.
Penglihatan akan berkurang setelah cidera mata. Terdapat reaksi
defek aferen pupil tanpa adanya kelainan nyata pada retina. Tanda lain
yang dapat ditemukan adalah gangguan penglihatan warna dan
lapangan pandang. Papil saraf optik dapat normal dalam beberapa
minggu sebelum menjadi pucat.
Diagnosis banding penglihatan turun setelah sebuah cidera mata
adalah trauma retina, perdarahan badan kaca, trauma yang
mengakibatkan kerusakan pada khiasma optik.
Pengobatan adalah dengan merawat pasien pada waktu akut
dengan memberi steroid. Bila penglihatan memburuk setelah steroid
maka perlu dipertimbangkan untuk pembedahan.
 TRAUMA TAJAM
Trauma tajam pada mata adalah suatu trauma dimana seluruh lapisan jaringan
atau organ mengalami kerusakan.
 ETIOLOGI
Trauma tajam disebabkan benda tajam atau benda asing masuk ke dalam
bola mata.
 TANDA DAN GEJALA
1. Tajam penglihatan yang menurun
2. Tekanan bola mata rendah
3. Bilikmata dangkal
4. Bentuk dan letak pupil berubah
5. Terlihat adanya ruptur pada cornea atau sclera
6. Terdapat jaringan yang prolaps seperti caiaran mata iris,lensa,badan
kaca atau retina
14
7. Konjungtiva kemotis
 PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiology pada trauma mata sangat membantu dalam
menegakkan diagnosa, terutama bila ada benda asing .Pemeriksaan
ultra sonographi untuk menentukan letaknya, dengan pemeriksaan ini
dapat diketahui benda tersebut pada bilik mata depan, lensa, retina.
b. Pemeriksaan “Computed Tomography” (CT)
Suatu tomogram dengan menggunakan komputer dan dapat dibuat
“scanning” dari organ tersebut.
 PENATALAKSANAAN
Bila terlihat salah satu tanda diatas atau dicurigai adanya perforasi
bola mata, maka secepatnya dilakukan pemberian antibiotik topical, mata
ditutup, dan segera dikirim kepada dokter mata untuk dilakukan
pembedahan. Sebaiknya dipastikan apakah ada benda asing yang masuk
ke dalam mata dengan membuat foto. Pada pasien dengan luka tembus
bola mata selamanya diberikan antibiotik sistemik atau intravena dan
pasien dikuasakan untuk kegiatan pembedahan. Pasien juga diberi
antitetanus provilaksis, dan kalau perlu penenang. Trauma tembus dapat
terjadi akibat masuknya benda asing ke dalam bola mata. Benda asing
didalam bola mata pada dasarnya perlu dikeluarkan dan segera dikirim ke
dokter mata. Benda asing yang bersifat magnetic dapat dikeluarkan
dengan mengunakan magnet raksasa. Benda yang tidak magnetic
dikeluarkan dengan vitrektomi. Penyulit yang dapat timbul karena
terdapatnya benda asing intraokular adalah endoftalmitis, panoftalmitis,
ablasi retina, perdarahan intraokular dan ptisis bulbi.
 PATOFISIOLOGI
Trauma tajam pada mata karena benda tajam maka dapat mengenai
organ mata dari yang terdepan sampai yang terdalam. Trauma tajam bola
mata bisa mengenai :
A. PALPEBRA
Luka terbuka palpebra
- Anamnesa :
 keluhan rasa nyeri,
15
 bengkak dan berdarah.
- Pemeriksaan :
 tampak adanya luka terbuka dan perdarahan
- Pengobatan :
 pembersihan luka, kemudian dijahit.
Teknik penjahitan dilakukan sama dengan luka pada kulit tubuh
yang lain sesuai dengan arah dari M. Orbicularis.
Perhatian : Luka yang persis pada palpebra harus khusus
diperhatikan karena apabila penjahitan tidak tepat pada kedua
tepi luka akan memberi hasil kosmetik dan fungsional yang
jelek.
Bila perlu dapat ditambah dengan antibiotika, analgetik dan
antiinflamasi.
B. KONJUNGTIVA
1. Perdarahan
Penatalaksanaan sama dengan rudapaksa mata mekanis tumpul.
2. Robekan 1 cm
Tidak dijahit, diberikan antibiotika lokal.
3. Robekan lebih dari 1 cm,
Dijahit dengan benang cat gut atau sutera berjarak 0,5 cm antara
tiap-tiap jahitan.
Beri antibiotika lokal selama 5 hari dan bebat mata untuk 1-2
hari.
C. KORNEA
1. Erosi kornea
Penatalaksanaan seperti rudapaksa mata tumpul
2. Luka tembus kornea
Anamnesa :
 teraba nyeri,
 epifora,
 fotofobia,
 blefarospasme
Pemeriksaan :

16
 bagian yang mengalami kerusakan epitel menunjukkan
flurocein (+)
Pengobatan :
Tanpa mengingat jarak waktu antara kecelakaan dan
pemeriksaan, tiap luka terbuka kornea yang masih menunjukkan
tanda-tanda adanya kebocoran harus diusahakan untuk dijahit.
Jaringan intraokular yang keluar dari luka, misal : badan
kaca, prolap iris sebaiknya dipotong sebelum luka dijahit.
Janganlah sekali-kali dimasukkan kembali dalam bola mata.
Jahitan kornea dilakukan secara lamellar untuk menghindari
terjadinya fistel melalui bekas jahitan.
Luka sesudah dijahit dapat ditutup lembaran konjungtiva
yang terdekat. Tindakan ini dapat dianggap mempercepat
epitelialisasi.
Antibiotika lokal dalam bentuk salep, tetes atau
subkonjungtiva 0,3-0,5 U. Garamycin tiap 2 hari sekali.
Atopin tetes 0,5%-1% tiap hari. Dosis dikurangi bila pupil
sudah cukup lebar.
Bila ada tanda-tanda glaukoma sekunder dapat diberikan
tablet Analgetik, antiinflamasi, koagulasi dapat diberikan bila
perlu.
3. Ulkus kornea
Sebagian besar disebabkan oleh trauma yang mengalami infeksi
sekunder.
Anamnesa :
 teraba nyeri,
 epifora,
 fotofobia,
 blefarospasme.
Pemeriksaan :
 nampak kornea yang edema dan keruh.
 bagian yang mengalami kerusakan epitel menunjukkan
pengecatan ( + ).

17
Terapi :
 antibiotika lokal tetes, salep atau subkonjungtiva
 scraping atau pembersihan jaringan nekrotik secara hati-hati
bagian dari ulkus yang nampak kotor.
 Aplikasi panas. Kauter dilakukan dengan cara memanaskan
pasak.
 Cryo terapi

D. SCLERA
Luka terbuka atau tembus
Luka ini lekas tertutup oleh konjungtiva sehingga kadang sukar
diketahui. Luka tembus sclera harus dipertimbangkan apabila dibawah
konjungtiva nampak jaringan hitam (koroid).
Pengobatan : sama dengan luka tembus pada kornea.

E. OFTALMIA SIMPATETIK
Suatu uveitis yang diderita oleh mata kontralateral apabila mata
lainnya mengalami trauma atau trauma tembus yang mengenai
jaringan uvea. Frekuensi tertinggi terjadi 2-4 minggu sesudah trauma.
Proses berlangsung :
1. Tahap iritasi ( Sympatetic Iritation )
2. Tahap radang ( Sympatetic Inflamation )
TAHAP IRITASI

18
Anamnesa :
 keluhan nyeri,
 tanda-tanda radang ringan,
 epifora,
 fotofobia.
Pemeriksaan :
 tanda-tanda iritis ringan.
 Biasanya bersifat reversibel atau langsung tahap radang.
TAHAP RADANG
Dapat berlangsung akut/menahun.
Stadium ini bersifat irreversibel dan kemungkinan besar akan
memburuk bila pengobatan kurang sempurna.
Terapi :
 Mata traumatik : enukleasi bulbi dipertimbangkan bila visus 0
atau lebih jelek daripada mata simpatetik.
 Mata yang masih mempunyai visus walaupun terbatas selalu
menjadi pertimbangan yang sangat sulit apakah akan dilakukan
enukleasi atau dipertahankan.
F. BILIK MATA DEPAN
Penatalaksanaan sama dengan trauma tumpul.
G. IRIS
Iritis sering sebagai akibat dari trauma.
- Anamnesa :
 keluhan nyeri,
 epifora,
 fotofobia,
 blefarospasme
- Pemeriksaan :
 pupil miosis,
 reflek pupil menurun,
 sinekia posterior

19
- Terapi :
 Atropin tetes 0,5%- 1 %.
1-2 x perhari selama sinekia belum lepas.
 Antibiotik lokal.
Diamox bila ada komplikasi glaukoma.
H. LENSA
1. Katarak
Penatalaksanaan sama dengan trauma tumpul.

2. Dislokasi lensa
Penatalaksanaan sama dengan pada rudapaksa mata tumpul
I. KERUSAKAN SEGMEN POSTERIOR
Penatalaksanaan sama dengan rudapaksa mata tumpul
J. CORPUS ALIENUM (BENDA ASING)
- Anamnesa :
 mengeluh ada benda asing masuk kedalam mata
- Pemeriksaan :
 benda asing tersebut harus dicari secara teliti memakai
penerangan yang cukup mulai dari palpebra, konjungtiva,
fornixis, kornea, bilik mata depan.
 Bila mungkin benda tersebut berada dalam lensa, badan kaca
dimana perlu pemeriksaan tambahan berupa funduskopi dan
foto rontgen.
Benda asing yang masuk dalam mata dapat dibagi 2 kelompok
yaitu :
a. Benda logam :
misal : emas, perak, platina, besi, tembaga.
Benda logam ini dapat bersifat magnet atau non magnet.
b. Benda bukan logam :
batu, kaca, porselin, plastik, bulumata, dll.
Benda yang menimbulkan reaksi jaringan mata berupa
perubahan selular dan membran sehingga mengganggu
fungsi dari mata.

20
Misal : besi berupa siderosis dan tembaga berupa kalkosis.
Besi biasanya merusak jaringan yang mengandung epitel
sedangkan tembaga merusak bagian membran misal
descement kornea lensa, iris, badan kaca, dll.
- Pengobatan :
 mengeluarkan benda asing
 Bila lokalisasi di palpebra dan konjungtiva, kornea maka
dengan mudah dapat dilepaskan setelah pemberian anestesi
lokal.
 Untuk mengeluarkan perlu kapas lidi atau jarum suntik
tumpul/ tajam.
 Bila benda bersifat magnetik maka dapat dikeluarkan dengan
magnet portable atau giant magnet.
 Bila benda asing pada segmen posterior hendaknya dikirim ke
pusat oleh karena memerlukan tindakan yang lebih cermat dan
perlengkapan yang khusus.
 Pemberian antibiotika lokal pada benda asing di konjungtiva
dan kornea.
 Pada kornea dapat ditambahkan atropin 0,5 %-1 %, bebat mata
dan diamox bila ada tanda-tanda glaukoma sekunder.

K. OTOT EKSTRA OKULAR


Kelainan Pergerakan Mata. Hal ini pada trauma dapat disebabkan :
 kelainan pada otot mata
 kelainan pada persarafan otot mata
 kelainan pada jaringan orbita lainnya
Walaupun gangguan pergerakan bola mata tidak dapat menyebabkan
kebutaan atau penurunan tajam penglihatan namun kegiatan sehari-
hari dapat terganggu dengan adanya keluhan diplopia.
21
- Anamnesa :
 akibat diplopia timbul keluhan pusing, mual, muntah
- Pemeriksaan. :
 hambatan pergerakan bola mata dapat akibat paralisa atau
ototnya sendiri yang terjepit.
Test Forced Duction :
Untuk membedakan gangguan karena kelumpuhan atau ototnya
yang terjepit.
Cara : Mata ditetesi anestesi lokal, kemudian otot yang akan
diperiksa dipegang dengan pinset dan ditarik ke arah gerak otot
tersebut.
 bila lancar – berarti paralisa
 bila sukar – ada hambatan / otot terjepit
- Pengobatan :
PARALISA :
 anti inflamasi dan neurokopik
 untuk menghindari diplopia satu mata :
a. pada parese ringan – mata sehat ditutup supaya mata
parese terlatih
b. pada parese berat – mata parese yang ditutup.
Setelah 3-6 bulan tidak ada kemajuan berarti tetap
strabismus dan atau diplopia – maka penderita perlu
dirujuk untuk tindakan operasi.
Sebab setelah 6 bulan dianggap telah mengalami
penyembuhan maksimal atau sudah timbul komplikasi
kontraktur-kontraktur.
2) TRAUMA KIMIA
 TRAUMA ASAM
Trauma asam merupakan salah satu jenis trauma kimia mata dan
termasuk kegawatdaruratan mata yang disebabkan zat kimia bersifat asam
dengan pH < 7. Beberapa zat asam yang sering mengenai mata adalah asam
sulfat, asam asetat, hidroflorida, dan asam klorida. Jika mata terkena zat kimia
bersifat asam maka akan terlihat iritasi berat yang sebenarnya akibat akhirnya

22
tidak berat. Asam akan menyebabkan koagulasi protein plasma. Dengan
adanya koagulasi protein ini menimbulkan keuntungan bagi mata, yaitu
sebagai barrier yang cenderung membatasi penetrasi dan kerusakan lebih
lanjut. Hal ini berbeda dengan basa yang mampu menembus jaringan mata dan
akan terus menimbulkan kerusakan lebih jauh. Selain keuntungan, koagulasi
juga menyebabkan kerusakan konjungtiva dan kornea. Dalam masa
penyembuhan setelah terkena zat kimia asam akan terjadi perlekatan antara
konjugtiva bulbi dengan konjungtiva tarsal yang disebut simblefaron.(Susanto,
2004; Vaughan, 2000)
Penatalaksanaan yang tepat pada trauma kimia adalah irigasi dengan
menggunakan salin isotonic steril dan memeriksa pH permukaan mata dengan
meletakkan seberkas kertas indicator di forniks. Ulangi irigasi apabila pH tidak
terletak antara 7,3-7,7. (Vaughan, 2000).
 TRAUMA BASA
Trauma akibat bahan kimia basa akan memberikan iritasi ringan pada
mata apabila dilihat dari luar. Namun, apabila dilihat pada bagian dalam mata,
trauma basa ini mengakibatkan suatu kegawatdaruratan. Basa akan menembus
kornea, camera oculi anterior, dan sampai retina dengan cepat, sehingga
berakhir dengan kebutaan. Pada trauma basa akan terjadi penghancuran
jaringan kolagen kornea. Bahan kimia basa bersifat koagulasi sel dan terjadi
proses persabunan, disertai dengan dehidrasi.
Menurut klasifikasi Thoft, trauma basa dapat dibedakan menjadi:
Derajat 1 : terjadi hiperemi konjungtiva disertai dengan keratitis pungtata
Derajat 2 : terjadi hiperemi konjungtiva disertai hilangnya epitel kornea
Derajat 3 : terjadi hiperemi disertai dengan nekrosis konjungtiva dan
lepasnya epitel kornea
Derajat 4 : konjungtiva perilimal nekrosis sebanyak 50%
Tindakan bila terjadi trauma basa adalah secepatnya melakukan irigasi
dengan garam fisiologik selama mungkin. Bila mungkin irigasi dilakukan
paling sedikit 60 menit setelah trauma. Penderita diberi sikloplegia, antibiotika,
EDTA untuk mengikat basa. EDTA diberikan setelah 1 minggu trauma basa,
diperlukan untuk menetralisir kolagenase yang terbentuk pada hari ketujuh.
Penyulit yang dapat terjadi adalah simblefaron, kekeruhan kornea, edema, dan
neovaskularisasi kornea, katarak, disertai dengan ptisis bola mata.
23
3) TRAUMA TERMAL
Trauma karena uapnya merupakan sekunder dari api nya sedangkan kontak
langsung karena terekspos dari larutan panas ataupun benda yang panas. Derajat
keparahan pada trauma termal ini bergantung pada:
1. Temperatur dari objek
2. Luas area yang terkena suhu panas
3. Lamanya durasi kontak Kebanyakan trauma termal mengenai permukaan
superfisial dari epitelium kornea dan konjungtiva.
Luka bakar pada superfisial cenderung menyebabkan kornea keabuan-abuan dan
opasifikasi Adanya nekrosis jaringan di debridement dengan perlahan. Pemberian
siklopegik dan patching penting. Antibiotik tetes diberikan jika ada abrasi pada
kornea. Umumnya luka bakar superfisial penyembuhan pada 24-48 jam tanpa
sequele. Trauma yang berat dapat menyebabkan nekrosis kornea dan perforasi.
Intervensi keratoplasti dan transplantasi stem sel limbal dapat dipertimbangkan

DAFTAR PUSTAKA

1. Tjokronegoro, Arjatmo. 2003. Ilmu Penyakit Mata,3 rd edisi. Jakarta : Balai Penerbit

FKUI

2. James, Bruce, et al. 2006 . Lecture Notes Oftalmologi, 9th eds. Surabaya : Airlangga.
24

Anda mungkin juga menyukai