Anda di halaman 1dari 14

STANDAR ASUHAN KEPERAWATAN

ASMA

OLEH:
FIRMAN PRASTIWI
I4051171023

PROGRAM PROFESI NERS


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
2018
SATUAN ASUHAN KEPERAWATAN

ASMA

A. KONSEP TEORI
1. Definisi
Asma merupakan penyakit yang ditandai dengan serangan berulang sesak
napas dan mengi, dengan tingkat keparahan dan frekuensi tiap orang bervariasi,
yang disebabkan peradangan saluran udara paru-paru dan mempengaruhi
sensitivitas ujung saraf disaluran napas sehingga mudah menimbulkan iritasi
(Reviona, 2014)
Asma merupakan peradangan kronis yang umum terjadi pada saluran napas
yang ditandai dengan gejala yang bervariasi dan berulang, penyumbatan saluran
napas yang bersifat reversibel, dan spasme bronkus gejala umum meliputi mengi,
batuk, dada terasa berat, dan sesak napas (Rustiani, 2017)
Asma merupakan suatu penyakit obstruksi saluran nafas yang dapat mengenai
mereka yang memiliki faktor resiko. Penyakit ini mempunyai spektrum gejala
klinis yang bervariasi mulai dari ringan hanya berupa batuk, sampai berat berupa
serangan yang mengancam jiwa. Keluhan yang sering dilaporkan pasien kepada
dokter beragam, tergantung persepsi masing-masing pasien (Sabri, 2014)
2. Etiologi
Sebenarmya telah banyak penelitian yang dilakukan oleh para ahli di bidang
asma untuk dapat menerangkan sebab terjadinya asma, namun belum satu pun
teori atau hipotesa yang dapat diterima atau disepakati semua ahli. Namun
terdapat faktor pemicu yang dapat menyebabkan asma (Ekarini, 2012):
a. Alergen
Alergen merupakan faktor pencetus atau pemicu asma yang sering dijumpai
pada pasien asma. Tungau debu ruangan, spora jamur, kecoa, serpihan kulit
binatang seperti anjing, kucing dan lain-lain dapat menimbulkan serangan
asma pada penderita yang peka.
b. Latihan
Sebagian besar pasien asma akan mendapat serangan jika melakukan aktivitas
jasmani atau olahraga yang berat. Lari cepat paling mudah menimbulkan
serangan asma. Serangan asma karena aktivitas biasanya terjadi segera setelah
selesai aktivitas tersebut.
c. Polusi Udara
Berbagai variasi polusi udara, asap rokok, asap kendaran, peningkatan ozon,
sulfurdioksida dan nitrogen dioksida dapat menjadi pencetus serangan asma.
Di daerah industri dan area pemukiman yang padat, kondisi iklim sering
menyebabkan polusi pada atmosfir.
d. Faktor kerja
Asma akibat kerja adalah asma pada orang dewasa yang disebabkan oleh
pemaparan tempat kerja dan bukan karena faktor lain diluar tempat kerja.
e. Infeksi pernapasan
Infeksi pernapasan (seperti virus dan bukan bakteri) atau alergi pada
mikroorganisme adalah faktor presipitasi utama pada serangan asma akut.
Influenza dan rhinovirus adalah patogen utama pada anak-anak dan dewasa.
f. Masalah hidung dan sinus
Sebagian besar pasien dengan asma mempunyai masalah kronis pada hidung
dansinus. Masalah pada nasal mencakup rhinitis alergi dan polip nasal.
Perawatan pada rhinitis alergi dapat menurukan frekuensi eksaserbasi asma.
g. Sensitif terhadap obat dan makanan tertentu
Obat-obat juga dapat mencetuskan serangan asma. Contoh obat-obatan yang
sering menjadi pemicu serangan asma adalah penisilin, sefalosporin, golongan
beta laktam lainnya. Sedangkan alergi makanan tertentu dapat menyebabkan
gejala asma. Pencegahan diet diperlukan untuk mencegah asma. Alergi
makanan sebagai pencetus asma jarang terjadi pada dewsa. Contoh makanan
yang sering menimbulkan alergi antara lain susu sapi, telur, udang, kepiting,
ikan laut, kacang tanah, coklat, kiwi, jeruk, bahan penyedap, pengawet dan
pewarna makanan.
h. Perubahan cuaca
Perubahan cuaca dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi
asma. Afmosfer yang mendadak dingin merupakan faktor pemicu terjadinya
serangan asma. Serangan kadang-kadang berhubungan dengan musim seperti
musim hujan, musim kemarau, musim panas, musim bunga (serbuk sari
beterbangan).
3. Klasifikasi
Menurut Smeltzer dan Bare (2010) klasifikasi asma adalah:
a. Asma alergik
Dapat disebabkan oleh alergen, misal serbuk sari, binatang, makanan dan
jamur. Kebanyakan alergen terdapat di udara dan bersifat musiman, biasanya
pasien juga memiliki riwayat keluarga yang alergik dan riwayat medis eczema
atau rhinitis alergik. Pajanan terhadap alergen mencetuskan asma. Anak-anak
dengan asma alergik sering dapat mengatasi kondisi sampai masa remaja.
b. Asma idiopatik atau nonalergik
Jenis asma ini tidak berhubungan dengan alergen spesifik. Faktor seperti
common cold, infeksi traktus respiratorius, latihan, emosi dan polutan
lingkungan dapat mencetuskan serangan. Selain itu beberapa agen
farmakologi juga dapat menjadi faktor seperti aspirin dan agen antiinflamasi
nonsteroid lain, pewarna rambut, antagonis beta-adrenergik dan pengawet
makanan. Serangan pada asma ini menjadi lebih berat dan sering, kemudian
dapat berkembang menjadi bronkitis kronis dan emfisema.
c. Asma gabungan
Merupakan bentuk asma yang paling umum. Asma ini memiliki karakteristik
dari bentuk alergik maupun idiopatik/nonalergik.
4. Patofisiologi
Asma merupakan inflamasi kronik saluran napas. Berbagai sel inflamasi
berperan terutama sel mast, eosinofil, sel limfosit T, makrofag, neutrofil dan sel
epitel. Faktor lingkungan dan faktor lain berperan sebagai pencetus inflamasi
saluran napas pada pasien asma. Inflamasi saluran napas pada pasien asma
merupakan hal yang mendasari gangguan fungsi yaitu terdapatnya obstruksi
saluran napas yang menyebabkan hambatan aliran udara yang dapat kembali
secara spontan atau setelah pengobatan (Sundaru, 2009). Obstruksi pada pasien
asma dapat disebabkan oleh kontraksi otot-otot yang mengelilingi bronkus yang
menyempitkan jalan napas, pembengkakan membran yang melapisi bronkus dan
pengisian bronkus dengan mukus yang kental (Smeltzer & Bare, 2010).
Asma dapat terjadi melalui dua jalur, yaitu jalur imunologis dan saraf otonom.
Jalur imunologis didominasi oleh antibodi IgE yang merupakan reaksi
hipersensitivitas tipe I (tipe alergi), terdiri dari fase cepat dan fase lambat. Reaksi
alergi timbul pada orang dengan kecenderungan untuk membentuk sejumlah
antibodi IgE abnormal dalam jumlah yang besar, golongan ini disebut atopi. Pada
asma alergi, antibodi IgE terutama melekat pada permukaan sel mast pada
interstisial paru yang berhubungan erat dengan bronkiolus dan bronkus kecil. Bila
seseorang menghirup alergen maka akan terjadi fase sensitisasi yang
menyebabkan antibodi IgE orang tersebut meningkat. Alergen kemudian berikatan
dengan antibodi IgE yang melekat pada sel mast dan menyebabkan sel ini
berdegranulasi mengeluarkan berbagai macam mediator. Beberapa mediator yang
dikeluarkan adalah histamin, leukotrien, faktor kemotaktik eosinofil dan
bradikinin. Ini akan menimbulkan efek edema lokal pada dinding bronkiolus kecil,
sekresi mukus yang kental dalam lumen bronkiolus dan spasme otot polos
bronkiolus yang menyebabkan inflamasi saluran napas. Pada reaksi alergi fase
cepat, obstruksi saluran napas terjadi segera yaitu 10-15 menit setelah pajanan
alergen. Spasme bronkus yang terjadi merupakan respons terhadap mediator sel
mast terutama histamin yang bekerja langsung pada otot polos bronkus. Pada fase
lambat, reaksi terjadi setelah 6-8 jam pajanan alergen dan bertahan selama 16-24
jam, bahkan kadang-kadang sampai beberapa minggu. Sel-sel inflamasi seperti
eosinofil, sel T, sel mast dan Antigen Presenting Cell (APC) merupakan sel-sel
kunci dalam patogenesis asma (Rengganis, 2012).
Pada jalur saraf otonom, inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast
intralumen, makrofag alveolar, nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran
napas. Peregangan vagal menyebabkan refleks bronkus, sedangkan mediator
inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast dan makrofag akan membuat epitel jalan
napas lebih permeabel dan memudahkan alergen masuk ke dalam submukosa,
sehingga meningkatkan reaksi yang terjadi. Kerusakan epitel bronkus oleh
mediator yang dilepaskan pada beberapa keadaan reaksi asma dapat terjadi tanpa
melibatkan sel mast misalnya pada hiperventilasi, inhalasi udara dingin, asap,
kabut dan SO2. Pada keadaan tersebut reaksi asma terjadi melalui refleks saraf.
Ujung saraf eferen vagal mukosa yang terangsang menyebabkan pelepasan
neuropeptid sensorik senyawa P, neurokinin A dan Calcitonin Gene-Related
Peptide (CGRP). Neuropeptida itulah yang menyebabkan terjadinya
bronkokonstriksi, edema bronkus, eksudasi plasma, hipersekresi lendir, dan
aktivasi sel-sel inflamasi (Rengganis, 2008). Sistem saraf otonom mempersarafi
paru, tonus otot bronkial diatur oleh impuls saraf vagal melalui sistem
parasimpatis. Pada asma idiopatik, ketika ujung saraf pada jalan napas dirangsang
oleh faktor pencetus maka akan meningkatkan pelepasan jumlah asetilkolin. Ini
menyebabkan bronkokonstriksi juga merangsang pembentukan mediator kimiawi
(Smeltzer & Bare, 2010).
5. Patway
Terlampir
6. Tanda dan Gejala
Gejala asma bersifat episodik, berupa batuk, sesak napas, mengi, rasa berat di
dada. Gejala biasanya timbul atau memburuk terutama malam atau dini hari.
Setelah pasien asma terpajan alergen penyebab maka akan timbul dispnea, pasien
merasa seperti tercekik dan harus berdiri atau duduk dan berusaha mengerahkan
tenaga lebih kuat untuk bernapas. Kesulitan utama terletak saat ekspirasi,
percabangan trakeobronkial melebar dan memanjang selama inspirasi namun sulit
untuk memaksa udara keluar dari bronkiolus yang sempit karena mengalami
edema dan terisi mukus. Akan timbul mengi yang merupakan ciri khas asma saat
pasien berusaha memaksakan udara keluar. Biasanya juga diikuti batuk produktif
dengan sputum berwarna keputih-putihan (Price & Wilson, 2012).
Tanda selanjutnya dapat berupa sianosis sekunder terhadap hipoksia hebat dan
gejala-gejala retensi karbon dioksida (berkeringat, takikardi dan pelebaran tekanan
nadi). Pada pasien asma kadang terjadi reaksi kontinu yang lebih berat dan
mengancam nyawa, dikenal dengan istilah “status asmatikus”. Status asmatikus
adalah asma yang berat dan persisten yang tidak berespon terhadap terapi
konvensional, dan serangan dapat berlangsung lebih dari 24 jam. Asma dapat
bersifat fluktuatif (hilang timbul) yang berarti dapat tenang tanpa gejala tidak
mengganggu aktivitas tetapi dapat eksaserbasi dengan gejala ringan sampai berat
bahkan dapat menimbulkan kematian (Smeltzer & Bare, 2010).
7. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Nurarif (2015) pemeriksaan penunjang asma meliputi :
 Spirometer : dilakukan sebelum dan sesudah ronkodilator hirup (nebulizer)
 Sputum : eosinofil meningkat
 Eosinofil darah meningkat
 Uji kulit
 Rongen dada yaitu patologis paru
 AGD : terjadi pada asma berat PCO2 turun
8. Penatalaksanaan
Menurut Nurarif (2015) Pengobatan asma secara garis besar dibagi dalam
pengobatan non farmakologik dan pengobatan farmakologik
1. Pengobatan non farmakologik
a. Penyuluhan
Penyuluhan ini ditujukan pada peningkatan pengetahuan klien tentang
penyakit asthma sehinggan klien secara sadar menghindari faktor-faktor
pencetus, serta menggunakan obat secara benar dan berkonsoltasi pada tim
kesehatan.
b. Menghindari faktor pencetus
Klien perlu dibantu mengidentifikasi pencetus serangan asthma yang ada
pada lingkungannya, serta diajarkan cara menghindari dan mengurangi
faktor pencetus, termasuk pemasukan cairan yang cukup bagi klien.
c. Fisioterapi
Fisioterpi dapat digunakan untuk mempermudah pengeluaran mukus. Ini
dapat dilakukan dengan drainage postural, perkusi dan fibrasi dada.
2. Pengobatan farmakologik
a. Agonis beta
Bentuk aerosol bekerja sangat cepat diberika 3-4 kali semprot dan jarak
antara semprotan pertama dan kedua adalan 10 menit. Yang termasuk obat
ini adalah metaproterenol ( Alupent, metrapel ).
b. Metil Xantil
Golongan metil xantin adalan aminophilin dan teopilin, obat ini diberikan
bila golongan beta agonis tidak memberikan hasil yang memuaskan. Pada
orang dewasa diberikan 125-200 mg empatkali sehari.
c. Kortikosteroid
Jika agonis beta dan metil xantin tidak memberikan respon yang baik,
harus diberikan kortikosteroid. Steroid dalam bentuk aerosol (
beclometason dipropinate ) dengan disis 800 empat kali semprot tiap hari.
Karena pemberian steroid yang lama mempunyai efek samping maka yang
mendapat steroid jangka lama harus diawasi dengan ketat.
d. Kromolin
Kromolin merupakan obat pencegah asthma, khususnya anak-anak .
Dosisnya berkisar 1-2 kapsul empat kali sehari.
e. Ketotifen
Efek kerja sama dengan kromolin dengan dosis 2 x 1 mg perhari.
Keuntunganya dapat diberikan secara oral.
f. Iprutropioum bromide (Atroven)
Atroven adalah antikolenergik, diberikan dalam bentuk aerosol dan
bersifat bronkodilator.
B. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
Pengkajian Primer
a. Airway
 Peningkatan sekresi pernafasan
 Bunyi nafas krekles, ronchi, weezing
b. Breathing
 Distress pernafasan : pernafasan cuping hidung, takipneu/bradipneu,
retraksi.
 Menggunakan otot aksesoris pernafasan
 Kesulitan bernafas : diaforesis, sianosis
c. Circulation
 Penurunan curah jantung : gelisah, latergi, takikardi
 Sakit kepala
 Gangguan tingkat kesadaran : ansietas, gelisah
 Papiledema
 Urin output meurun
d. Dissability
Mengetahui kondisi umum dengan pemeriksaan cepat status umum dan
neurologi dengan memeriksa atau cek kesadaran, reaksi pupil.
Pengkajian Sekunder
a. Anamnesis
Anamnesis pada penderita asma sangat penting, berguna untuk
mengumpulkan berbagai informasi yang diperlukan untuk menyusun strategi
pengobatan. Gejala asma sangat bervariasi baik antar individu maupun pada diri
individu itu sendiri (pada saat berbeda), dari tidak ada gejala sama sekali sampai
kepada sesak yang hebat yang disertai gangguan kesadaran.
Keluhan dan gejala tergantung berat ringannya pada waktu serangan. Pada
serangan asma bronkial yang ringan dan tanpa adanya komplikasi, keluhan dan
gejala tak ada yang khas. Keluhan yang paling umum ialah : Napas berbunyi,
Sesak, Batuk, yang timbul secara tiba-tiba dan dapat hilang segera dengan spontan
atau dengan pengobatan, meskipun ada yang berlangsung terus untuk waktu yang
lama.
b. Pemeriksaan Fisik
Berguna selain untuk menemukan tanda-tanda fisik yang mendukung
diagnosis asma dan menyingkirkan kemungkinan penyakit lain, juga berguna
untuk mengetahui penyakit yang mungkin menyertai asma, meliputi pemeriksaan :
1. Status kesehatan umum
Perlu dikaji tentang kesadaran klien, kecemasan, gelisah, kelemahan
suara bicara, tekanan darah nadi, frekuensi pernapasan yang
meningkatan, penggunaan otot-otot pembantu pernapasan sianosis batuk
dengan lendir dan posisi istirahat klien.
2. Integumen
Dikaji adanya permukaan yang kasar, kering, kelainan pigmentasi,
turgor kulit, kelembapan, mengelupas atau bersisik, perdarahan, pruritus,
ensim, serta adanya bekas atau tanda urtikaria atau dermatitis pada
rambut di kaji warna rambut, kelembaban dan kusam.
3. Thorak
a. Inspeksi
Dada di inspeksi terutama postur bentuk dan kesemetrisan adanya
peningkatan diameter anteroposterior, retraksi otot-otot Interkostalis,
sifat dan irama pernafasan serta frekwensi peranfasan.
b. Palpasi.
Pada palpasi di kaji tentang kosimetrisan, ekspansi dan taktil
fremitus.
c. Perkusi
Pada perkusi didapatkan suara normal sampai hipersonor sedangkan
diafragma menjadi datar dan rendah.
d. Auskultasi.
Terdapat suara vesikuler yang meningkat disertai dengan expirasi
lebih dari 4 detik atau lebih dari 3x inspirasi, dengan bunyi
pernafasan dan Wheezing.
c. Sistem pernafasan
1. Batuk mula-mula kering tidak produktif kemudian makin keras dan
seterusnya menjadi produktif yang mula-mula encer kemudian menjadi
kental. Warna dahak jernih atau putih tetapi juga bisa kekuningan atau
kehijauan terutama kalau terjadi infeksi sekunder.
2. Frekuensi pernapasan meningkat
3. Otot-otot bantu pernapasan hipertrofi.
4. Bunyi pernapasan mungkin melemah dengan ekspirasi yang memanjang
disertai ronchi kering dan wheezing.
5. Ekspirasi lebih daripada 4 detik atau 3x lebih panjang daripada inspirasi
bahkan mungkin lebih
6. Pada keadaan yang lebih berat dapat ditemukan pernapasan cepat dan
dangkal dengan bunyi pernapasan dan wheezing tidak terdengar(silent
chest), sianosis.
2. Diagnosa Keperawatan
a. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan tachipnea, peningkatan
produksi mukus, kekentalan sekresi dan bronchospasme.
b. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membran kapiler –
alveolar
c. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan batuk persisten dan
ketidakseimbangan antara suplai oksigen dengan kebutuhan tubuh
3. Intervensi Keperawatan
a. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan tachipnea, peningkatan
produksi mukus, kekentalan sekresi dan bronchospasme.
 Tujuan : Bebasnya jalan nafas dari hambatan sekret
 Kriteria Hasil
1. Menunjukkan jalan nafas yang paten
2. Mampu mengidentifikasikan dan mencegah factor yang dapat
menghambat jalan nafas
 Intervensi Keperawatan
1. Kaji bersihan jalan napas klien
Rasional : Untuk menentukan tindakan selanjutnya
2. Auskultasi bunyi napas
Rasional : Ronchi menandakan adanya sekret pada jaan nafas
3. Anjurkan keluarga untuk memberikan air minum yang hangat
Rasional: membantu mengencerkan dahak sehingga mudah untuk
dikelurkan
4. Kolaborasi pemberian terapi medikasi
Rasional : Mengurangi gejala asma klien
b. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membran kapiler –
alveolar
 Tujuan : Pertukaran gas baik
 Kriteria Hasil
1. Peningkatan ventilasi
2. TTV dalam rentang normal
 Intervensi Keperawatan
1. Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
Rasional : posisi semi fowler membuka ekspansi paru
2. Observasi TTV
Rasional : Mengetahui TTV menentukan tindakan
3. Anjarkan keluarga monitoir pernafasan klien
Rasional: memberi informasi keluarga terkait frekuensi nafas klien
4. Kolaborasi pemberian terapi medikasi
Rasional : Agar tidak terjadi gangguan pertukaran gas
c. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan batuk persisten dan
ketidakseimbangan antara suplai oksigen dengan kebutuhan tubuh
 Tujuan : aktivitas tidak terganggu
 Kriteria Hasil
1. Berpartisipasi dalam aktivitas fisik tanpa disertai peningkatan nadi dan
RR
2. Mampu melakukan aktivitas sehari hari (ADLs) secara mandiri
 Intervensi Keperawatan
1. Bantu klien untuk mengidentifikasi aktivitas yang mampu dilakukan
Rasional : mengetahui aktivitas yang dapat dilakukan klien
2. Observasi TTV
Rasional : Mengetahui TTV menentukan tindakan
3. Bantu keluarga untuk mengidentifikasi kekurangan dalam beraktivitas
Rasional: memberi informasi keluarga terkait aktivitas klien
4. Kolaborasi dengan fisioterapi terkait latihan yang dilakukan
Rasional : memberi latihan ke klien sesuai dengan batasan
kemampuan
DAFTAR PUSTAKA

Reviona Desta, Munir Sri Melati, Azrin Miftah. (2014). Penilaian Derajat Asma Dengan
Menggunakan Asthma Control Test (Act) Pada Pasien Asma Yang Mengikuti
Senam Asma Di Pekanbaru. Jom. Vol.1 No.2.
https://media.neliti.com/media/publications/188671-ID-none.pdf

Rustiani, Damayanti Ria, Pratama Rika Yuanita. (2017). Hubungan Perilaku Dengan
Kekambuhan Penyakit Asma. Jurnal Wawasan Kesehatan. Volume 4, Nomor 1
http://journal.stikes-kapuasraya.ac.id/index.php/JIIK-WK/article/view/7

Sabri Yessy Susanty, Chan Yusrizal. (2014). Penggunaan Asthma Control Test (ACT) secara
Mandiri oleh Pasien untuk Mendeteksi Perubahan Tingkat Kontrol Asmanya.
Jurnal Kesehatan Andalas. Volume 3. Nomor 3
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=299992&val=7288&title=Pen
ggunaan%20Asthma%20Control%20Test%20(ACT)%20secara%20Mandiri%20ol
eh%20Pasien%20untuk%20Mendeteksi%20Perubahan%20Tingkat%20Kontrol%2
0Asmanya

Ekarini Ni Luh Putu . (2012). Analisis Faktor-Faktor Pemicu Dominan Terjadinya Serangan
Asma Pada Pasien Asma. Thesis. Fakultas Ilmu Keperawatan. Universitas
Indonesia

Smeltzer SC., Bare BG. (2010). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : EGC. Hal :
45-47.

Sundaru, Heru. 2009. Perkembangan Terkini dalam Penatalaksanaan Asma. Bronkial.


Division of Allergy & Clinical Immunology Faculty of Medicine Indonesian
University.

Rengganis. Iris (2012) Diagnosis dan tatalaksana asma Bronchial. Majalah Kedokteran
Indonesia.

Price SA, Wilson LM. 2012. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, edisi ke-6.
Jakarta: EGC.

Nurarif .A.H. dan Kusuma. H. (2015). APLIKASI Asuhan Keperawatan Berdasarkan.


Diagnosa Medis & NANDA NIC-NOC. Jogjakarta: MediAction
PATWAY ASMA

Anda mungkin juga menyukai