Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN

Faringitis merupakan salah satu Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA) yang
banyak terjadi pada anak. Keterlibatan tonsil pada faringitis tidak menyebabkan
perubahan pada durasi atau derajat beratnya penyakit. Faringitis biasa terjadi pada
anak, meskipun jarang pada anak berusia di bawah 1 tahun. Insidens meningkat
sesuai dengan bertambahnya umur, mencapai puncaknya pada usia 4 - 7 tahun,
dan berlanjut hingga dewasa. Insidens faringitis Streptokokus tertinggi pada usia
5 - 18 tahun, jarang pada usia di bawah 3 tahun, dan sebanding antara laki-laki
dan perempuan.
Faringitis dapat disebabkan oleh bakteri atau virus. Oleh karena itu, diperlukan
strategi untuk melakukan diagnosis dan memberikan tatalaksana, agar dapat
membedakan pasien-pasien yang membutuhkan terapi antibiotik, dan mencegah
serta meminimalisasikan penggunaan medikamentosa yang tidak perlu.
Diperkirakan sebanyak 30 juta kasus tonsilofaringitis didiagnosis setiap
tahunnya di Amerika Serikat. Sebelas persen anak usia sekolah berobat ke dokter
setiap tahun dengan diagnosis faringitis.

1
BAB II
LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien
Nama : An. AT
Umur : 1 tahun 7 bulan
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Cepoksawit, Sawit, Boyolali
Tanggal masuk RS : 12 september 2017
Nomor rekam Medis : 199xxx

B. Identitas Orang Tua


Tabel 2.1 Identitas Orang Tua
Ayah Ibu
Nama Tn. T Ny. S
Usia 28 tahun 26 tahun
Pendidikan D3 SMA
Pekerjaan Wiraswasta Ibu rumah tangga
Alamat Cepoksawit, Sawit, Boyolali Cepoksawit, Sawit, Boyolali

C. Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara Alloanamnesa dengan ayah dan ibu pasien
tanggal 13 September 2017 jam 11.00 WIB di Bangsal Hamka RSU PKU
Muhammadiyah Delanggu.
1. Keluhan utama : Batuk
2. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang dengan keluhan batuk sejak 4 hari Sebelum Masuk
Rumah Sakit (SMRS). Ibu pasien mengaku awalnya An. AT memakan es
krim kemudian anaknya menjadi batuk kering tidak disertai dahak, lalu ibu
pasien meminumkan obat yang didapat saat memeriksakan An. AT 2
minggu yang lalu ke dokter Spesialis Anak dengan keluhan yang sama,
ibu pasien mengaku tidak tahu nama maupun kandungan obat tersebut.

2
Setelah diberikan obat, batuk tidak kunjung mereda. Hingga akhirnya 2
hari SMRS batuk semakin banyak terutama saat pagi hari, terdengar suara
“nggrok-nggrok” saat batuk dan ibu pasien mengaku batuk menjadi
berdahak banyak dan sulit dikeluarkan, hanya dapat keluar saat pasien
muntah lendir berwarna bening bercampur makanan sebanyak 2 kali.
Batuk juga disertai demam sejak 2 hari SMRS, ibu mengaku demam
nya naik turun dan tinggi namun tidak sempat diukur dengan termometer.
Demam turun jika diberikan obat penurun panas, terakhir minum obat
penurun panas 5 jam SMRS. Selain itu ibu pasien mengeluhkan anaknya
pilek hingga sulit bernafas, lendir hidung berwarna bening dan
menyumbat salah satu lubang hidung namun tidak sampai meler.
Semenjak batuk anak menjadi susah makan dan minum, nafsu makan
berkurang anak menjadi rewel, lemas dan gelisah saat tidur. Buang air
besar dan buang air kecil tidak ada keluhan, tidak ada bunyi “ngik” saat
bernafas dan anak tidak mengorok saat tidur.
1 hari SMRS Ibu Pasien membawa An. AT ke fisioterapi RSU PKU
Delanggu untuk diuap, setelah diuap sesak nafas dan batuk sedikit
berkurang. Karena keluhan tidak kunjung mereda, kemudian ibu pasien
memeriksakan An. AT ke poli anak PKU Delanggu dan pasien disarankan
untuk di rawat inap.
3. Riwayat Penyakit Dahulu :
a. Riwayat keluhan yang sama : diakui jika anaknya sering
mengalami flu. 2 minggu SMRS An. AT mengalami batuk kering
selama 1 minggu, disertai demam yang tidak terlalu tinggi dan pilek
meler bertambah banyak saat pagi dan malam hari, lendir berwarna
bening. Kemudian An. AT diperiksakan ke dokter spesialis anak.
Setelah 5 hari meminum obat, demam turun, batuk mereda dan
sembuh.
b. Riwayat rawat inap : disangkal
c. Riwayat kejang demam : disangkal

3
d. Riwayat alergi : diakui, ibu pasien mengaku An. AT
tidak memiliki alergi terhadap maknan, minuman, hewan maupun obat
namun memiliki alergi terhadap udara dingin.
4. Riwayat Penyakit Keluarga
a. Riwayat penyakit serupa : disangkal
b. Riwayat kejang demam : disangkal
c. Riwayat alergi : diakui, ibu ayah pasien mengaku
mempunyai alergi terhadap debu dan udara dingin. Setiap kali terpapar
dingin dan debu ibu dan ayah pasien seringkali merasa hidung
tersumbat disertai bersin-bersin.
5. Riwayat Sosial dan Ekonomi
Biaya selama pengobatan di RSU PKU Delanggu ditanggung oleh
BPJS kelas II. Pasien tinggal di lingkungan yang bersih, terhindar dari
asap pabrik dan debu. Tetangga orang-orang di sekitar rumah maupun
keluarga tidak ada yang mengalami batuk pilek, sakit TB paru dan tidak
ada yang merokok. Pasien gemar sekali memakan makanan ringan yang
gurih dan jarang minum minuman dingin.
6. Data Khusus
a. Riwayat Kehamilan/ Prenatal :
Selama hamil ibu tidak pernah menderita penyakit berat, tidak
mengkonsumsi obat-obatan ataupun jamu, tidak pernah mendapatkan
penyinaran, kontrol kehamilan teratur ke bidan sebanyak 4 kali,
mendapat imunisasi Tetanus Toksosid (TT) sebanyak 2 kali, lama
hamil cukup bulan.
b. Riwayat persalinan/ Natal :
Anak 1 dari 1 bersaudara, lahir spontan, ditolong bidan, saat lahir
menangis kuat, berat badan lahir 2.700 gram dan panjang 49 cm.
c. Riwayat Makanan dan Minuman :
1) ASI : 0 - 8 bulan
2) Susu formula : 8 bulan - sekarang, sekarang masih diberikan
namun hanya diberikan saat siang dan malam menjelang tidur.

4
3) Buah : 1 tahun - sekarang, anak senang sekali makan
buah, untuk selingan snack yang diberi 2 kali setiap hari selalu
diberikan buah terutama pisang dan pepaya. Untuk snack tidak
pernah diberikan cemilan kue ataupun protein nabati seperti tempe
atau tahu.
4) Bubur : 6 bulan - 10 bulan, makan pagi sering diberikan
bubur susu, untuk makan siang dan malam nya diberikan nasi,
pritein dan sayur yang dihaluskan hingga menjadi bubur.
5) Nasi tim : 11 bulan - 1 tahun 3 bulan, diberikan 3 kali sehari.
Ditambah lauk yang mengandung protein seperti ikan, daging atau
telur serta ditambah dengan sayur.
6) Nasi biasa : 1 tahun 4 bulan - sekarang, anak mudah
makannya, diberikan 3 kali sehari, lauk potein dari ikan, daging,
telur, tempe dan tahu serta ditambah dengan sayur.
d. Riwayat pertumbuhan dan perkembangan anak :
Ibu mengaku jika pertumbuhan anaknya kurang dibanding anak
seusianya, berat badan tidak bisa naik meskipun menurut ibu makan
dan minum anak cukup banyak.
Ibu pasien anaknya baik, bisa tertawa dan miring saat usia 4 bulan,
merangkak usia 6 bulan, duduk sendiri tanpa sandaran usia 8 bulan,
berdiri usia 9 bulan dan mulai bisa berjalan usia 1 tahun 1 bulan. Di
usianya sekarang anaknya aktif dan sudah mudah diajak komunikasi.
e. Riwayat Imunisasi :
Menurut ibu pasien imunisasi dasar sudah lengkap.

D. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan tanggal 13 September 2017 jam 11.20 WIB di
Bangsal Hamka RSU PKU Muhammadiyah Delanggu.
1. Keadaan umum : Tampak sakit sedang
2. Kesadaran : Compos mentis

5
3. Pengukuran
a. Vital sign
Nadi : 112 x/menit ( reguler, teraba kuat, isi dan tegangan
cukup)
Respirasi Rate : 38 x/ menit
Suhu : 38 ,2oC aksila
Tekanan darah : Tidak dilakukan
b. Antopometri
Berat badan : 8 kg
Panjang badan : 80 cm
Lingkar Kepala : 44 cm
Lingkar Lengan : 12 cm
c. Status Gizi

Grafik 1.Berat Badan menurut Usia

6
Grafik 2. Panjang Badan menurut Usia

Grafik 3.Berat Badan menurut Panjang Badan

7
Berdasarkan kurva pertumbuhan WHO 2007 didapatkan :
a) Berat Badan / Usia pada persentil -3 SD - (-2 SD)
b) Panjang Badan / Usia pada persentil -2 SD - 2 SD
c) BB /PB pada persentil -3 SD - (-2 SD)
Dapat disimpulkan status gizi bayi ini sebagai berikut :
a) Gizi kurang berdasarkan Berat Badan / Usia
b) Perawakan normal berdasarkan Panjang Badan / Usia
c) Kurus berdasarkan Berat Badan / Tinggi Badan
Status gizi: Gizi buruk, perawakan normal
4. Status Generalisata
a. Kepala : Bentuk mesosefali, rambut agak kecoklatan dan tidak
mudah dicabut, distribusi rata.
b. Mata : Palpebra edema(-/-), konjungtiva anemis (-/-), sklera
ikterik (-/-), mata cekung(+/+), pupil : bulat, central,
reguler 3mm, reflek pupil (+/+)
b. Telinga : Bentuk simetris (+/+), tidak ada deformitas, nyeri tekan
tragus maupun aurikula (-/-), liang telnga lapang, serumen
(-/-), secret (-/-), membran timpani intak
c. Hidung : Bentuk simetris, sekret (+/-) mukoid, deformitas (-), nafas
cuping hidung (-)
d. Mulut : Faring hiperemis, petekhie (-), granul (-), eksudat (-);
tonsil T1-T1 hiperemis (-), detritus(-), ulserasi(-)
e. Leher : Kelenjar getah bening submental dan submandibula kiri
teraba 1x1x0,5 cm, nyeri tekan (+), mobile, konsistensi
kenyal
f. Thorax :
Cor
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis (teraba kuat angkat)
Perkusi : Dalam batas normal
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II murni, suara tambahan (-).

8
Pulmo :
Tampak Depan Tampak Belakang

SD Vesikuler SD Vesikuler
Tabel 2.2 Pemeriksaan Fisik Pulmo
Pulmo Dextra Sinistra
Depan
Inspeksi Simetris, pengembangan Simetris, pengembangan
pernafasan paru normal, pernafasan paru normal ,
retraksi (-) retraksi (-)
Palpasi Simetris, gerak dada tidak Simetris, gerak dada tidak ada
ada yang tertinggal, masa (-) yang tertinggal, masa (-)
Perkusi Sonor seluruh lapang paru Sonor seluruh lapang paru
Auskultasi Suara dasar vesikuler, Suara dasar vesikuler,
wheezing (-), ronki (-), suara wheezing (-), ronki(-), suara
lendir (+) lendir (+)

g. Abdomen
Inspeksi : Bentuk cembung, warna kulit sama dengan sekitar
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi : Supel, turgor kulit normal , nyeri tekan (-) hepatomegali
(-), splenomegali (-)
Perkusi : Timpani seluruh regio abdomen

h. Ekstremitas
Tabel 2.3 Pemeriksaan Fisik Ekstremitas
Pemeriksaan Superior Inferior
Akral hangat + +
Oedem - -
Sianosis - -
Capilary Refill < 2 detik <2 detik

9
E. Usulan Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan darah rutin tanggal 12 september 2017 pukul 10.15
Tabel 2.4 Pemeriksaan Darah Rutin
Pemeriksaan Hasil Rujukan Satuan
Hematologi
Hemoglobin 12,5 9,5-14,0 g/dl
Lekosit 10,4 4,0-12,0 10^3/uL
Trombosit 309 150,0-400,0 10^3/uL
Eritrosit 5,08 4,50-5,50 10^6/uL
Hematokrit 35,0 25,0-55,0 %
Hitung jenis leukosit
Granulosit 38,6 50.0 -80.0 negatif
Limfosit 52,4 20.5 - 51.1 negatif
Monosit 14 2–9 negatif
MCV, MCHC, MCHC
MCV 81,1 80,3-103,4 U^3
MCH 27,2 26,0-34,4 Pg
MCHC 32,1 31.8– 36.3 g/dL
2. Pemeriksaan kultur apusan tenggorok
3. Uji tuberkulin
4. Foto rontgen thorax posisi Antero Posterior

F. Resume
Dari hasil anamnesis didapatkan pasien datang dengan keluhan batuk
berdahak sejak 4 hari SMRS. Awalnya batuk kering, setelah 2 hari minum
obat dari dokter spesialis anak batuk tidak mereda. Batuk semakin banyak,
nafas “nggrok-nggrok” dan batuk menjadi berdahak. Batuk disertai demam
naik turun, pilek dan mutah lendir bercampur makanan sebanyak 2 kali. An.
AT pernah mengalami keluhan yang sama 2 minggu SMRS, setelah
diperiksakan ke dokter spesialis anak batuk hilang dan sembuh. Terdapat
riwayat alergi debu dan dingin pada ayah dan ibu pasien. Ibu mengatakan
anaknya kurus meskipun ibu mengaku jika anaknya makanya banyak. Pasien
tinggal di lingkungan yang bebas dari debu dan asap rokok, tetangga maupun
orang sekitar rumah tidak ada yang batuk dan menjalani pengobatan TB paru.

10
Berdasarkan pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum anak sakit
sedang, kesadaran compos mentis, nadi 112 x/menit, respirasi rate 38 x/
menit, suhu 38,2oC aksila, kesan gizi buruk dan perawakan normal.
Pemeriksaan status generalisata didapatkan sekret bening pada lubang hidung
kanan, faring hiperemis, tonsil T1/T1, pembesaran kelenjar getah bening
submandibula dan submental, serta terdengar suara lendir pada pemeriksaan
paru. Hasil laboratorium didapatkan granulosit turun 38,6%, limfosit naik
52,4%dan monosit naik 14%.

G. Daftar masalah
No. Masalah Aktif No. Masalah Pasif
1. Batuk dahak banyak 1. Batuk kering
2. Demam
3. Rhinorea
4. Anoreksia
5. Emesis
6. Riwayat alergi kedua
orangtua
7. Gizi buruk
8. Faring hiperemis
9. Limfadenopati
10. Limfositosis
11. Monositosis

H. Inisial Plan :
1. Diagnosis klinis : - Faringitis akut
- Rhinitis
2. Diagnosis etiologi : Infeksi bakteri dan virus
3. Diagnosis pertumbuhan : Gizi buruk, perawakan normal
4. Diagnosis perkembangan : Sesuai usia
5. Diagnosis imunisasi : Sudah lengkap
6. Diagnosis sosial : Ekonomi cukup
7. Diferensial Diagnosis :
a. Tuberkulosis paru
b. Pertusis

11
8. Terapi :
a. Farmakoterapi
1) Infus D5 ½ NS
a) Kebutuhan cairan per 24 jam = 8 x 100 mL
= 800 mL / 24 jam
b) Kebutuhan cairan per jam = 800 / 24
= 34
= 30 mL / jam
c) Kebutuhan cairan infus = 2/3 x 30
= 20 mL / jam
R/ D5 ½ NS 500 ml fl No. I
Infus set No. I
Abocath 20 G No. I
S i.m.m (20 tpm mikro)

2) Paracetamol
a) Dosis paracetamol per kali pemberian = 10 mg/KgBB
b) Dosis pemberian Pracetamol pada pasien = 8 x 10
= 80 mg
R/ Paracetamol drop 100 mg/ml fl No. I
S 0,8 ml drop p.r.n

3) Ambroxol
a) Dosis ambroxol per hari = 1,2 - 1,6 mg/KgBB
b) Dosis ambroxol pada pasien per hari = 1,6 x 8
= 12,8
= 12 mg
c) Dosis ambroxol pada pasien per kali = 12 / 3
= 4 mg
R/ Ambroxol drop 15 mg/ml fl No. I
S 3 dd 0,3 ml drop

12
4) Ondansetron
a) Dosis ondansetron per kali = 0,2 mg/KgBB
b) Dosis ondansetron pada pasien = 0,2 x 8
= 1,6 mg
c) Sediaan Ondansetron = Injeksi 2 mg per ml
R/ Ondansetron amp 2 ml fl No. II
S 3 dd 1/3 amp IV

5) Ampicillin
a) Dosis ampicillin per kali = 10 - 25 mg/Kg/BB
b) Dosis amoxicillin pada pasien = 25 x 8
= 200 mg
R/ Ampicillin vial 1 g fl No. III
S 3 dd 1/4 vial IV

6) Nebulisasi
R/ Salbutamol nebul 2,5 mg fl No. I
NaCL 0,9% 4 mL
S m neb (tiap 8 jam)

7) Rencana vaksin influenza 1 tahun sekali


b. Non farmakoterapi
1) Tirah baring
2) Hindari paparan alergi yaitu benda yang memiliki partikel kecil
seperti debu, asap dan lain-lain
3) Beri 2 sendok teh air madu yang dilarutkan dalam 250 ml air
matang karena air madu dapat membantu memperlancar
pengeluaran dahak

13
4) Posisi kepala lebih tinggi saat tidur untuk mempermudah lendir
hidung mengalir keluar serta untuk menekan timbulnya reflek
mutah
5) Evaluasi pemberian snack sehat pada anak
Snack merupakan kesempatan orangtua untuk memberikan
asupan nutrisi bagi anak. Orangtua perlu mengetahui bahwa anak,
terutama batita, berisiko untuk tidak mendapatkan kecukupan zat
gizi hanya dengan mengandalkan tiga makanan utama, sehingga
pemberian snack bergizi perlu dijadwalkan 2-3 kali sehari.
Pemberian snack haruslah terjadwal, dilakukan dengan prosedur
seperti pemberian makanan utama, yaitu anak duduk di kursi
makan dan tidak dilakukan sambil bermain, menonton televisi,
atau berjalan-jalan. Serta ingatkan orangtua bahwa
pemberian snack sepanjang hari tanpa jadwal dapat berdampak
buruk pada perilaku makan serta kemampuan mengatur rasa lapar
dan kenyang.
Tips memilih snack sehat untuk anak adalah
sediakan snack yang bergizi, artinya mengandung karbohidrat,
protein, lemak secara seimbang namun dengan porsi lebih kecil
dibandingkan makanan utama. Contoh snack misalnya seperti
bubur kacang hijau, sandwich keju mini, roti selai kacang, puding
susu, lemper, risoles, pastel dan makaroni panggang.
Siapkan snack dalam porsi-porsi kecil dan tampilan yang menarik
agar anak tertarik untuk menyantapnya dan tidak
memilih snack Bila memilih snack dalam kemasan, cermati
komposisi bahan, pastikan anak tidak mengonsumsi gula
berlebih.
9. Monitoring : Keadaan umum, suhu, nadi, RR, tanda dehidrasi
10. Edukasi :
a. Menjelaskan kepada orang tua pasien mengenai penyakit yang
diderita anaknya.

14
b. Pasien harus dirawat inap untuk dilakukan pemeriksaan dan
penanganan lebih lanjut.
c. Menganjurkan pasien untuk minum obat teratur
d. Bersihkan lendir hidung anak dengan lap basah sebelum memberi
makan atau minum
e. Menyarankan pada orangtua pasien jika ada anggota keluarga atau
orang lain yang menderita batuk agar tidak dekat dengan pasien
f. Mengurangi konsumsi makanan dan minuman yang dapat memicu
batuk, yaitu makanan ringan yang terlalu gurih ataupun minuman
yang terlalu dingin

I. Prognosis
Quo ad vitam : bonam
Quo ad sanam : bonam
Quo ad fungsionam : bonam

15
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Istilah faringitis akut digunakan untuk menunjukkan semua infeksi akut
pada faring, termasuk tonsilitis (tonsilofaringitis) yang berlangsung hingga 14
hari. Faringitis merupakan peradangan akut membran mukosa faring dan
struktur lain di sekitarnya. Karena letaknya yang sangat dekat dengan hidung
dan tonsil, jarang terjadi hanya infeksi lokal faring atau tonsil. Oleh karena itu,
pengertian faringitis secara luas mencakup tonsilitis, nasofaringitis, dan
tonsilofaringitis. Infeksi pada daerah faring dan sekitarnya ditandai dengan
keluhan nyeri tenggorok. Faringitis Streptokokus beta hemolitikus grup A
(SBHGA) adalah infeksi akut orofaring dan/atau nasofaring oleh SBHGA.

B. Etiologi
Berbagai bakteri dan virus dapat menjadi etiologi faringitis, baik faringitis
sebagai manifestasi tunggal maupun sebagai bagian dari penyakit lain. Virus
merupakan etiologi terbanyak faringitis akut, terutama pada anak berusia ≤3
tahun (prasekolah). Virus penyebab penyakit respiratori seperti Adenovirus,
Rhinovirus, dan virus Parainfluenza dapat menjadi penyebab faringitis. Virus
Epstein Barr (Epstein Barr virus, EBV) dapat menyebabkan faringitis, tetapi
disertai dengan gejala infeksi mononukleosis seperti splenomegali dan
limfadenopati generalisata. Infeksi sistemik seperti infeksi virus campak,
Cytomegalovirus (CMV), virus Rubella, dan berbagai virus lainnya juga dapat
menunjukkan gejala faringitis akut.
Streptokokus beta hemolitikus grup A adalah bakteri penyebab terbanyak
faringitis/tonsilofaringitis akut. Bakteri tersebut mencakup 15−30% (di luar
kejadian epidemik) dari penyebab faringitis akut pada anak, sedangkan pada
dewasa hanya sekitar 5−10% kasus. Streptokokus Grup A biasanya bukan
merupakan penyebab yang umum pada anak usia prasekolah, tetapi pernah
dilaporkan terjadi outbreak di tempat penitipan anak (day care).

16
Mikroorganisme seperti Klamidia dan Mikoplasma dilaporkan dapat
menyebabkan infeksi, tetapi sangat jarang terjadi. Di negara Inggris dan
Skandinavia pernah dilaporkan infeksi Arcobacterium haemolyticum.
Beberapa bakteri dapat melakukan proliferasi ketika sedang terjadi infeksi
virus (copathogen bacterial) dan dapat ditemukan pada kultur, tetapi biasanya
bukan merupakan penyebab dari faringitis/tonsilofaringitis akut. Beberapa
bakteri tersebut adalah Staphylococcus aureus, Haemophilus influenzae,
Moraxella catarrhalis, Bacteroides fragilis, Bacteroides oralis, Bacteroides
melaninogenicus, spesies Fusobacterium, dan spesies Peptostreptococcus.
Mikroorganisme yang dapat menyebabkan faringitis dapat dilihat pada Tabel
3.1.
Tabel 3.1 Mikroorganisme penyebab Faringitis akut
Mikroorganisme Kelainan yang ditimbulkan
Bakteri
Streptokokus, group A Faringitis, tonsilitis, demam
Streptokokus, group C dan G scarlet Faringitis, tonsilitis,
Campuran bakteri anaerob scarlatiniform Vincent’s angina
Neisseria gonorrhoeae Faringitis,
Corynebacterium diphtheriae tonsilitis Difteri
Arcanobacterium haemolyticum Faringitis,
Yersinia enterocolitica scarlatiniform
Yersinia pestis Faringitis,
Francisella tularensis enterokolitis Plague
Tularemia (oropharyngeal form)
Virus
Virus Rhino
Common
Virus Corona
cold/rinitis
Virus Adeno
Common cold
Virus Herpes simplex 1 dan 2
Pharyngoconjunctival fever,
Virus Parainfluenza
IRA Faringitis,
Virus Coxsackie A
gingivostomatitis Cold, croup
Herpangina, hand-foot-and-
Virus Epstein-Barr
mouth disease
Virus Sitomegalo
Infeksi mononukleosis
Human immunodeficiency
Mononucleosis Virus
virus
Sitomegalo Infeksi HIV
VIrus Influenza A and B
primer

17
Influenza
Mikoplasma Pneumonia, bronkitis,
Mycoplasma pneumoniae faringitis(?) IRA, pneumonia
Pneumonia, faringitis (?)
Klamidia
Chlamydia psittaci
C. pneumoniae

C. Patogenesis
Nasofaring dan orofaring adalah tempat untuk organisme ini, kontak
langsung dengan mukosa nasofaring atau orofaring yang terinfeksi atau dengan
benda yang terkontaminasi seperti sikat gigi merupakan cara penularan yang
kurang berperan, demikian juga penularan melalui makanan.
Penyebaran SBHGA memerlukan pejamu yang rentan dan difasilitasi
dengan kontak yang erat. Infeksi jarang terjadi pada anak berusia di bawah 2
tahun, mungkin karena kurang kuatnya SBHGA melekat pada sel-sel epitel.
Infeksi pada toddlers paling sering melibatkan nasofaring atau kulit (impetigo).
Remaja biasanya telah mengalami kontak dengan organisme beberapa kali
sehingga terbentuk kekebalan, oleh karena itu infeksi SBHGA lebih jarang
pada kelompok ini.
Kontak erat dengan sekumpulan besar anak, misalnya pada kelompok anak
sekolah, akan mempertinggi penyebaran penyakit. Rata-rata anak prasekolah
mengalami 4−8 episode infeksi saluran respiratori atas setiap tahunnya,
sedangkan anak usia sekolah mengalami 2−6 episode setiap tahunnya.
Faringitis akut jarang disebabkan oleh bakteri, di antara penyebab bakteri
tersebut, SBHGA merupakan penyebab terbanyak. Streptokokus grup C dan D
telah terbukti dapat menyebabkan epidemi faringitis akut, sering berkaitan
dengan makanan (foodborne) dan air (waterborne) yang terkontaminasi. Pada
beberapa kasus dapat menyebabkan glomerulonefritis akut (GNA). Organisme
ini mungkin juga dapat menyebabkan kasus-kasus faringitis sporadik yang
menyerupai faringitis SBHGA, tetapi kurang berat. Streptokokus grup C dan D
lebih sering terjadi pada dewasa.

18
Arcanobacterium hemolyticum relatif jarang menyebabkan faringitis dan
tonsilitis akut, tetapi sering menyerupai faringitis Streptokokus. Penyakit ini
cenderung terjadi pada remaja dan dewasa muda.
Saat ini faringitis difteri jarang ditemukan di negara maju. Penyakit ini
terutama terjadi pada anak yang tidak diimunisasi dan yang berasal dari
kelompok sosial ekonomi rendah. Infeksi mononukleosis disebabkan oleh
EBV, anggota dari famili Herpesviridae, dan sebagian besar terjadi pada anak
berusia 15−24 tahun. Frekuensi kejadian faringitis Mycoplasma pneumoniae
masih belum jelas. Chlamydia pneumoniae menyebabkan faringitis baik
sebagai suatu sindrom tersendiri, bersamaan dengan pneumonia, atau
mendahului pneumonia. Apabila tidak terdapat penyakit saluran respiratori-
bawah, biasanya tidak teridentifikasi.
Bakteri maupun virus dapat secara langsung menginvasi mukosa faring
yang kemudian menyebabkan respon peradangan lokal. Rhinovirus
menyebabkan iritasi mukosa faring sekunder akibat sekresi nasal. Sebagian
besar peradangan melibatkan nasofaring, uvula, dan palatum mole. Perjalanan
penyakitnya ialah terjadi inokulasi dari agen infeksius di faring yang
menyebabkan peradangan lokal, sehingga menyebabkan eritema faring, tonsil,
atau keduanya. Infeksi Streptokokus ditandai dengan invasi lokal serta
penglepasan toksin ekstraselular dan protease. Transmisi dari virus yang
khusus dan SBHGA terutama terjadi akibat kontak tangan dengan sekret
hidung dibandingkan dengan kontak oral. Gejala akan tampak setelah masa
inkubasi yang pendek, yaitu 24−72 jam.

D. Manifestasi Klinis
Gejala faringitis yang khas akibat bakteri Streptokokus berupa nyeri
tenggorokan dengan awitan mendadak, disfagia, dan demam. Urutan gejala
yang biasanya dikeluhkan oleh anak berusia di atas 2 tahun adalah nyeri
kepala, nyeri perut, dan muntah. Selain itu juga didapatkan demam yang dapat
mencapai suhu 40°C, beberapa jam kemudian terdapat nyeri tenggorok. Gejala
seperti rinorea, suara serak, batuk, konjungtivitis, dan diare biasanya

19
disebabkan oleh virus. Kontak dengan penderita rinitis juga dapat ditemukan
pada anamnesis.
Pada pemeriksaan fisis, tidak semua pasien tonsilofaringitis akut
Streptokokus menunjukkan tanda infeksi Streptokokus, yaitu eritema pada
tonsil dan faring yang disertai dengan pembesaran tonsil.
Faringitis streptokokus sangat mungkin jika dijumpai gejala dan tanda
berikut:
1. Awitan akut, disertai mual dan muntah faring hiperemis
2. Demam
3. Nyeri tenggorokan
4. Tonsil bengkak dengan eksudasi
5. Kelenjar getah bening leher anterior bengkak dan nyeri
6. Uvula bengkak dan merah
7. Ekskoriasi hidung disertai lesi impetigo sekunder
8. Ruam skarlatina
9. Petekie palatum mole.
Akan tetapi, penemuan tersebut bukan merupakan tanda pasti faringitis
Streptokokus, karena dapat juga ditemukan pada penyebab tonsilofaringitis
yang lain.
Sedangkan bila dijumpai gejala dan tanda berikut ini, maka
kemungkinan besar bukan faringitis streptokokus:
1. Usia di bawah 3 tahun
2. Awitan bertahap
3. Kelainan melibatkan beberapa mukosa
4. Konjuntivitis, diare, batuk, pilek, suara serak
5. Mengi, ronki di paru
6. Eksantem ulseratif.
Tanda khas faringitis difteri adalah membran asimetris, mudah berdarah,
dan berwarna kelabu pada faring. Membran tersebut dapat meluas dari batas
anterior tonsil hingga ke palatum mole dan/atau ke uvula.
Pada faringitis akibat virus, dapat juga ditemukan ulkus di palatum mole

20
dan dinding faring serta eksudat di palatum dan tonsil, tetapi sulit dibedakan
dengan eksudat pada faringitis Streptokokus. Gejala yang timbul dapat
menghilang dalam 24 jam, berlangsung 4-10 hari (self limiting disease),
jarang menimbulkan komplikasi, dan memiliki prognosis yang baik.

E. Diagnosis
Upaya diagnosis sementara sudah cukup optimal berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, yang didapatkan banyak hal yang mendukung ke Faringitis
akut streptokokus.
AAFP (Asociation of American Family Phisician) merekomendasikan
penatalaksanaan pasien dengan gejala nyeri tenggorokan sebagai berikut:

21
Modifikasi Skor Centor dan Pedoman Pemeriksaan kultur:

F. Tatalaksana
Usaha untuk membedakan faringitis bakteri dan virus bertujuan agar
pemberian antibiotik sesuai indikasi. Faringitis Streptokokus grup A
merupakan satu-satunya faringitis yang memiliki indikasi kuat dan aturan
khusus dalam penggunaan antibiotik (selain difteri yang disebabkan oleh
Corynebacterium diphteriae).
Pemberian antibiotik tidak diperlukan pada faringitis virus, karena tidak
akan mempercepat waktu penyembuhan atau mengurangi derajat keparahan.
Istirahat cukup dan pemberian cairan yang sesuai merupakan terapi suportif
yang dapat diberikan. Selain itu, pemberian gargles (obat kumur) dan
lozenges (obat hisap), pada anak yang cukup besar dapat meringankan keluhan
nyeri tenggorok. Apabila terdapat nyeri yang berlebih atau demam, dapat
diberikan parasetamol atau ibuprofen. Pemberian aspirin tidak dianjurkan,
terutama pada infeksi Influenza, karena insidens sindrom Reye kerap terjadi.

22
Pemberian antibiotik pada faringitis harus berdasarkan pada gejala klinis
dan hasil kultur positif pada pemeriksaan usapan tenggorok. Akan tetapi,
hingga saat ini masih terdapat pemberian antibiotik yang tidak rasional untuk
kasus faringitis akut. Salah satu penyebabnya adalah terdapat overdiagnosis
faringitis menjadi faringitis akut Streptokokus, dan memberikan antibiotik
karena khawatir dengan salah satu komplikasinya, berupa demam reumatik.
Antibiotik pilihan pada terapi faringitis akut Streptokokus grup A adalah
Penisilin V oral 15-30 mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis selama 10 hari atau
benzatin penisilin G IM dosis tunggal dengan dosis 600.000 IU (BB<30 kg)
dan 1.200.000 IU (BB>30 kg). Amoksisilin dapat digunakan sebagai
pengganti penisilin pada anak yang lebih kecil, karena selain efeknya sama,
amoksisilin juga memiliki rasa yang lebih enak. Amoksisilin dengan dosis 50
mg/kgBB/hari dibagi 2 selama 6 hari, efektivitasnya sama dengan Penisilin V
oral selama 10 hari. Untuk anak yang alergi penisilin dapat diberikan
eritromisin etil suksinat 40 mg/kgBB/hari, eritromisin estolat 20-40
mg/kgBB/hari, dengan pemberian 2, 3, atau 4 kali per hari selama 10 hari;
atau dapat juga diberikan makrolid baru misalnya azitromisin dengan dosis
tunggal 10 mg/kgBB/hari, selama 3 hari berturut-turut. Antibiotik golongan
sefalosporin generasi I dan II dapat juga memberikan efek yang sama, tetapi
pemakaiannya tidak dianjurkan, karena selain mahal risiko resistensinya juga
lebih besar.
Kegagalan terapi adalah terdapatnya Streptokokus persisten setelah terapi
selesai. Hal ini terjadi pada 5−20% populasi, dan lebih banyak pada populasi
dengan pengobatan penisilin oral dibandingkan dengan suntik. Penyebabnya
dapat karena komplians yang kurang, infeksi ulang, atau adanya flora normal
yang memproduksi β-laktamase. Kultur ulang apusan tenggorok hanya
dilakukan pada keadaan dengan risiko tinggi, misalnya pada pasien dengan
riwayat demam reumatik atau infeksi Streptokokus yang berulang.
Apabila hasil kultur kembali positif, beberapa kepustakaan menyarankan
terapi kedua, dengan pilihan obat oral klindamisin 20–30 mg/kgBB/hari
selama 10 hari; amoksisilin-klavulanat 40 mg/kgBB/hari terbagi menjadi 3

23
dosis selama 10 hari; atau injeksi Benzathine penicillin G intramuskular, dosis
tunggal 600.000 IU (BB <30kg) atau 1.200.000 IU (BB >30 kg). Akan tetapi,
bila setelah terapi kedua kultur tetap positif, kemungkinan pasien merupakan
pasien karier, yang memiliki risiko ringan terkena demam reumatik. Golongan
tersebut tidak memerlukan terapi tambahan.

24
BAB IV
PEMBAHASAN

Pada kasus ini sesuai dengan gejala dan tanda yang ditemukan, pasien
mengalami peradangan pada faring atau faringitis yang bersifat akut karena
berlangsung < 14 hari. Faringitis pada pasien ini disebabkan karena infeksi virus
dan bakteri. Pada infeksi virus ditandai dengan adanya rhinorea dan batuk serta
infeksi bakteri ditandai dengan adanya anoreksia (kemungkinan pasien mengalami
disfagia), demam di atas 38oC dan terdapat pembesaran kelenjar leher anterior.
Infeksi virus dan bakteri bisa saja terjadi secara bersamaan, kemungkinan besar
diawali oleh infeksi virus terlebih dahulu yang akan menyebabkan imun pasien
turun. Keadaan imun turun atau imunokompramais memudahkan bakteri untuk
menginvasi dan bermultiplikai dalam jaringan tubuh. Selain itu penegakan
etiologi bisa menggunakan skor Mc. Isaac untuk memastikan penyebab faringitis
akut karena infeksi virus atau bakteri. Berikut adalah penilaiannya:

Dari penilain skor Mc. Isaac di atas didapatkan nilai 2, yang berarti harus
dilakukan kultur swab tenggorok, jika hasil kultur positif maka dapat diberikan

25
antibiotik. Namun pada kasus ini, antibiotik langsung diberikan tanpa melakukan
pemeriksaan kultur swab tenggorok. Hal ini dikarenakan pemeriksaan kultur swab
tenggorok cukup lama sedangkan dari tanda dan klinis mengarah ke faringitis
streptokokus yaitu anak tampak toksik sehingga pemberian antibiotik harus segera
diberikan dengan tujuan untuk menangani fase akut dan mencegah adanya gejala
sisa.
Antibiotik yang dipilih adalah golongan Pensilin yaitu Ampicillin injeksi.
Terapi injeksi dipilih karena pada 5-20% populasi yang menggunakan terapi
penisilin oral sering mengalami kegagalan terapi. Penyebabnya dapat karena
komplians yang kurang, infeksi ulang, atau adanya flora normal yang
memproduksi β-laktamase.
Nebulisasi dengan salbutamol dan NaCl 0,9% diberikan karena produksi
lendir cukup banyak hingga pasien tampak sesak ditambah dengan adanya riwayat
alergi pada kedua orang tua pasien, hal ini akan memperberat gejala karena anak
juga memiliki risiko terhadap alergi 40 - 50% yang akan menimbulkan reaksi
rangsangan pengeluaran mukus yang berlebihan. Nebulisasi bertujuan untuk
merelaksasi otot-otot pernafasan serta meningkatkan klirens mukosilier. Jika silia-
silia saluran pernafasan aktif membersihkan dan membawa lendir keluar maka
harapannya lendir berkurang dan nafas menjadi lancar. Selain itu vaksin influenza
dianjurkan karena ibu pasien mengaku bahwa anaknya sering mengalami flu
ditambah dengan adanya risiko alergi dari kedua orang tua maka vaksin bisa
diberikan 1 tahun sekali untuk mencegah kambuhnya rhinitis atau salesma.
Diagnosis banding juga dipikirkan ke arah Tuberkulosis (TB) Paru karena
meskipun tidak ada riwayat kontak dengan penderita TB Paru namun beberapa
tanda dan gejala termasuk dalam kriteria diagnosis TB Paru yaitu adanya
penurunan berat badan tanpa penyebab yang jelas padahal ibu pasien mengaku
bahwa makan anaknya cukup banyak serta ditemukan adanya pembesaran
kelenjar getah bening yang multipel. Sehingga tes mantoux dan foto Thorax
dibutuhkan untuk menunjang diagnosis.
Selain itu kemungkinan pertusis juga dipikirkan, meskipun ibu mengaku
imunisasi anak lengkap termasuk imunisasi DPT namun belum bisa dipastikan

26
bahwa itu benar karena ibu pasien tidak bisa menunjukkan kartu KMS anak,
sehingga mungkin saja imunisasi DPT belum diberikan atau imunisasi DPT
belum lengkap diberikan. Jika dilihat dari tanda dan gejalanya pasien mengalami
batuk paroksismal disertai dengan whoop dan muntah dan didaapatkan klinis yang
baik diantara episode batuk, gejala tersebut merupakan gejala yang sering muncul
pada pertusis.
Sementara untuk pemberian, porsi dan jadwal makan besar yang diberikan
oleh ibu pasien sudah benar, namun untuk pemberian snack belum tepat. Ibu
pasien seringkali memberikan buah saja saat jam makan snack, padahal snack
merupakan sarana pendukung asupan nutrisi anak dan membentuk perilaku makan
yang sehat. Beberapa orangtua memandang waktu snack sebagai sarana untuk
memanjakan anak. Orangtua berpikir bahwa sang anak telah mendapat kecukupan
nutrisinya melalui makanan utama dan pemberian snack hanya bertujuan untuk
kesenangan. Orangtua cenderung memiliki snack kemasan karena praktis, mudah
didapat terutama saat di luar rumah, dan rasanya enak, misalnya keripik, wafer,
biskuit, dan permen. Orangtua perlu mengetahui bahwa anak, terutama batita,
berisiko untuk tidak mendapatkan kecukupan zat gizi hanya dengan
mengandalkan tiga makanan utama, sehingga pemberian snack bergizi perlu
dijadwalkan 2-3 kali sehari. Pemberian snack haruslah terjadwal, dilakukan
dengan prosedur seperti pemberian makanan utama, yaitu anak duduk di kursi
makan dan tidak dilakukan sambil bermain, menonton televisi, atau berjalan-
jalan.

27
DAFTAR PUSTAKA

Behrman, Kliegman, Arvin. Ilmu Kesehatan Anak Nelson Edisi 15. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2000.

Bisno AL, Gerber MA, Gwaltney JM Jr, Kaplan EL, Schwartz RH. Practice
guidelines for the diagnosis and management of group A streptococcal
pharyngitis. Infectious Diseases Society of America. Clin Infect Dis
2002;35:113–25.

Garna H, Melinda H. Pedoman Diagnosis Dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak Edisi
ke-3. Bandung: Bag. Ilmu Kesehatan Anak FK UNPAD RS Dr. Hasan
Sadikin. 2005.

Malino IY, Soenarto SS. Uji diagnosis kriteria McIsaac pada penderita faringitis
akut Streptococcus β haemolyticus. Tesis Program Magister Biomedik
Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada (sudah dipublikasikan). 2012.

McIsaac WJ, Goel V, To T, Low DE. The validity of a sore throat score in family
practice. CMAJ 2000;163:811–5.

28

Anda mungkin juga menyukai