Dermatitis Atopi+Emfisema
Disusun Oleh :
Pembimbing :
Dr. H. Bambang Suharto, Sp.A, MH.Kes
Telah diajukan dan disahkan oleh Dr. H. Bambang Suharto, SpA, M.HKes di RSUD
Arjawinangun, Cirebon pada tanggal….., bulan….., tahun 2018
Mengetahui :
Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa,
karena atas rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas presentasi kasus dengan
judul “Dermatitis Atopi+Emfisema” sebagai tugas kepaniteraan Ilmu Kesehatan Anak RSUD
Arjawinangun. Tidak lupa shalawat serta salam penulis panjatkan kepada Nabi Besar
Muhammad SAW.
Pada kesempatan ini, izinkan penulis untuk mengucapkan terima kasih kepada semua
pihak yang telah membantu penulis untuk menyelesaikan tugas presentasi kasus ini, terima kasih
kepada dr. Isyanto, Sp.A selaku kepala kepaniteraan Ilmu Kesehatan Anak , kepada dr. H.
Bambang Suharto, Sp.A, MH.Kes, yang telah meluangkan waktu dalam membimbing dan
memberi masukan-masukan kepada penulis mengenai tugas presentasi kasus ini dan kepada dr.
Dani Kurnia, Sp.A, yang turut membantu dan membimbing penulis, dan juga kepada seluruh
dokter, staf bagian Ilmu Kesehatan Anak, orang tua penulis yang telah mendukung secara moril
maupun materil demi terwujudnya cita-cita penulis, dan teman-teman sejawat lainnya yang turut
membantu penyusun selama kepaniteraan di bagian Ilmu Kesehatan Anak. Semoga Allah SWT
memberikan balasan yang sebesar-besarnya atas bantuan yang diberikan selama ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan presentasi kasus ini masih banyak terdapat
kekurangan. Oleh sebab itu penulis mengharapkan saran serta kritik yang dapat membangun
dalam tugas ini untuk perbaikan di kemudian hari. Semoga dapat berguna dan bermanfaat bagi
kita semua baik sekarang maupun yang akan datang. Amin.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Penulis
DAFTAR ISI
Dermatitis Atopik (DA) adalah penyakit peradangan kulit yang kronis, ditandai rasa
gatal ringan sampai berat, bersifat kumat-kumatan, sebagian besar muncul pada saat bayi
dan anak. Prevalensi DA meningkat tiga kali lipat Sejak tahun 1960. Peningkatan insidensi
DA kemungkinan disebabkan oleh beberapa faktor misalnya urbanisasi, polusi, dan hygiene
hypothesis. DA merupakan masalah kesehatan masyarakat dunia, dengan prevalensi pada
anak sebesar 10-20% dan pada dewasa sekitar 1-3%. Sebesar 50% kasus DA muncul pada
tahun pertama kehidupan. Prevalensi DA di Asia Tenggara bervariasi antar negara dari 1,1%
pada usia 13-14 tahun di Indonesia sampai 17,9% pada usia 12 tahun di Singapura.
Berbagai faktor turut berperan pada patogenesis DA, antara lain faktor genetik terkait
dengan kelainan sawar kulit, kelainan imunologik, dan faktor lingkungan. Terdapat
peningkatan transepidermal water loss (TEWL), kulit kering, dan peningkatan kadar serum
IgE pada pasien DA. Kulit kering memudahkan masuknya alergen, iritan, dan keadaan
patologik kulit.
Pedoman Asia Pasifik membuat penatalaksanaan yang holistik pada DA yang tertuang
dalam 5 pilar penatalaksanaan DA meliputi edukasi pasien, pencegahan dan modifikasi
faktor pencetus, peningkatan fungsi sawar kulit yang optimal, penatalaksanaan kelainan kulit
inflamasi, dan kontrol siklus gatal garuk. Saat ini telah didapatkan kemajuan dalam
penatalaksanaan DA, namun oleh karena sifat penyakit yang kronis dan residif, secara umum
belum didapatkan pengobatan DA yang memuaskan. Kepatuhan terhadap terapi biasanya
rendah disebabkan lamanya kebutuhan penggunaan obat, baik pada periode kambuh maupun
periode pemeliharaan.
Emfisema adalah suatu kelainan anatomis paru yang ditandai oleh pelebaran rongga
udara distal bronchiolus terminalis, disertai kerusakan dinding alveoli. Emfisema termasuk
dalam Chronic Obstructive Pulmonary Diseases (COPD). Beberapa hal yang dapat
menyebabkan terjadinya emfisema paru yaitu rokok, polusi, infeksi, faktor genetik,
dan obstruksi jalan napas. Penyakit infeksi saluran napas seperti pneumonia, bronkitis akut,
asma bronkial (yang biasanya memiliki atopi) dapat mengarah pada obstruksi jalan napas,
yang pada akhirnya dapat menyebakan terjadinya emfisema.
1
1.2 TUJUAN
Penyajian presentasi kasus ini bertujuan untuk memberikan informasi mengenai kasus
dermatitis atopi dan emfisema.
2
BAB II LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Bayi. A
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 3 bulan
Tanggal Lahir : 27-08-2018
Alamat : Kebonturi
Pekerjaan orang tua : Wiraswasta (Ayah) dan Ibu rumah tangga (Ibu)
Tanggal Masuk : 5-12-2018
Tanggal Diperiksa : 6-12-2018
II. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Kemerahan dan bentol-bentol di kaki sebelah kiri sejak 1 bulan sebelum masuk
rumah sakit
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Dari hasil alloanamnesis dengan ibu pasien pada tanggal 6 Desember 2018,
didapatkan keluhan utama pasien yaitu kemerahan dan bentol-bentol di kaki
sebelah kiri sejak 1 bulan sebelum masuk rumah sakit. Awalnya terdapat bercak
kemerahan di kaki sebelah kiri kemudian timbul bentol-bentol yang awalnya berisi
air lalu menjadi berisi nanah. Terdapat demam dirasakan naik turun, naik terutama
pada saat muncul kemerahan dan bentol-bentol yang pecah berisi air dan nanah.
Keluhan tambahan yang dirasakan adalah batuk dan pilek sejak kurang lebih 1
minggu sebelum masuk rumah sakit. BAB pasien normal tidak ada lendir maupun
darah pada feses pasien. BAK pasien juga normal. Sebelumnya pasien sudah pernah
berobat dan dikasih salep namun ibu pasien lupa nama obatnya dan hasilnya kurang
memuaskan. Ibu pasien mengaku anaknya sebelum sakit suka dipakai kaos kaki dan
celana panjang sehingga terasa lembab di daerah kaki.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien belum pernah mengalami keluhan seperti ini sebelumnya.
3
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Di keluarga tidak ada yang mengalami sakit seperti ini dan nenek pasien ada yang
mengalami atopi.
5. Riwayat Kehamilan Ibu
Ibu os berusia 21 tahun, dan ini adalah kehamilannya yang pertama. G1P0A0 dan
kehamilan cukup bulan (38 minggu).
6. Riwayat Persalinan
Bayi lahir secara normal tanggal 27 Agustus 2018 dengan berat badan saat lahir 3
kg.
Keterangan:
: Ayah pasien
: Ibu pasien
: Pasien
Bagan 1. Genogram Keluarga Pasien
7. Perkembangan
Menurut orang tua pasien mengenai riwayat tumbuh kembang pasien, Pasien sudah
bisa tersenyum, memperhatikan benda yang bergerak, sudah bisa menggenggam
benda yang diberikan dan bereaksi terhadap suara yang keras atau dipanggil
namanya. Dirumah biasanya pasien berinteraksi dan bermain bersama kedua orang
tua dan neneknya.
8. Riwayat Makanan
Pasien masih memperoleh ASI hingga saat ini, selain itu ibu pasien juga
memberikan susu formula.
4
II. PEMERIKSAAN FISIK (dilakukan tanggal 6 Desember 2018)
A. Pemeriksaan Umum:
1. Kesan Umum : Tampak sakit ringan
2. Kesadaran : Compos Mentis
3. Tanda Utama :
Frekuensi nadi : 110x/menit
Frekuensi nafas : 28x/menit
Suhu : 37,8 oC
STATUS GIZI
Laki – laki, 3 bulan
BB : 6,2 kg
PB : 58 cm
Lingkar kepala: 39 cm
Lingkar lengan atas: 10 cm.
5
B. Pemeriksaan Khusus
1. Kepala: Bentuk dan ukuran kepala normocephal, rambut berwarna hitam
dan tidak mudah rontok, ubun-ubun tidak terlihat cekung.
2. Wajah:
Mata: Nystagmus (-), strabismus (-), edema palpebra (-), pergerakan
bola mata dalam batas normal, pupil kedua mata isokor, bulat, tidak
miosis maupun midriasis, konjungtiva tidak anemis (-).
Hidung: Napas cuping hidung (-/-), tidak terdapat sekret yang keluar
dari lubang hidung.
Mulut: Mukosa mulut normal, abses atau pus (-), sianosis bibir (-), lidah
dalam bentuk normal
3. Telinga: Bentuk telinga kanan dan kiri normal dan simetris, nyeri tekan (-)
, hiperemis (-), edama (-), massa(-), serta secret yang keluar dari lubang
telinga (-)
4. Leher: Bentuk simetris, trakea di tengah tidak ditemukan kaku kuduk,
tidak terdapat pembesaran kelenjar getah bening dan kelenjar tiroid (-)
5. Thoraks:
Inspeksi: Dinding dada simetris, retraksi dinding dada (-).
Palpasi: Gerakan diding dada simetris
Perkusi: Sonor di kedua lapang paru
Auskultasi: Vesikuler +/+, rh +/+, wh -/-
Penilaian pernapasan: napas teratur (+), tachypnea (-), stridor (-),
tarikan dinding dada (-/-) subcostal, sianosis (-).
6. Jantung:
S1 S2 tunggal regular, mur-mur (-), gallop (-).
7. Abdomen:
Inspeksi: Distensi (-), organomegali (-), kelainan congenital (-)
Auskultasi : Bising usus Normal
Palpasi : Massa (-), supel (+), hepar-lien tidak teraba
Perkusi : Timpani (+) diseluruh lapang abdomen
6
8. Ekstremitas:
Akral hangat, sianosis (-), ptekie (-), clubbing finger pada jari (-),
deformitas (-)
Ekstremitas bawah terutama kaki kiri terdapat eritem, papul, pustul
dan bula
III. CATATAN PERKEMBANGAN PASIEN HARIAN
Tabel 1. Catatan perkembangan pasien harian
Tanggal CATATAN PERKEMBANGAN PASIEN HARIAN
05/12/18
Berdasarkan hasil anamnesis, keluhan yang dirasakan yaitu
kemerahan dan bentol-bentol di kaki sebelah kiri sejak 1 bulan sebelum
masuk rumah sakit. Awalnya terdapat bercak kemerahan di kaki sebelah
kiri kemudian timbul bentol-bentol yang awalnya berisi air lalu menjadi
berisi nanah. Terdapat demam dirasakan naik turun, naik terutama
terutama pada saat muncul kemerahan dan bentol-bentol yang pecah
berisi air dan nanah. Keluhan tambahan yang dirasakan adalah batuk
berdahak dan pilek sejak kurang lebih 1 minggu sebelum masuk rumah
sakit.
7
Gambar 1. Tampak eritem, bula, dan pustul
8
06/12/18
Pada hari berikutnya keluhan yang dirasakan yaitu masih terdapat
bentol-bentol berisi nanah dan air. Demam naik turun. Batuk(+), pilek
(-). BAB normal 1x dan BAK normal.
Pada pemeriksaan tanda vital didapatkan keadaan Umum tampak
sakit sedang, kesadaran compos mentis, nadi 130 x / menit, pernafasan
0
: 30 x/menit, suhu 36,2 C, SpO2 97% (tanpa oksigen). Pada
pemeriksaan fisik di kaki kiri didapatkan eritem, bula, pustul.
Berdasarkan pemeriksaan, masalah yang terdapat pada pasien
adalah Dermatitis atopi dan emfisema. Tatalaksana yang diberikan
adalah pemberian infus KDN 1 12 md/i, Ampicillin 3x200 mg, Antrain
3x0,15 cc
07/12/18 Keluhan yang dirasakan pada hari ini adalah kemerahan di kaki kiri
berkurang, bentol-bentol di kaki kiri tampak sudah mengering. Demam
sudah tidak ada. Batuk sudah jarang dan pilek (-). Pada pemeriksaan fisik
didapatkan skuama dan krusta.
9
Berdasarkan pemeriksaan, masalah yang terdapat pada pasien adalah
Dermatitis atopi dan emfisema. Tatalaksana yang diberikan adalah
pemberian infus KDN 1 12 md/i, Ampicillin 3x200 mg, Antrain 3x0,15
cc
2. RESUME
Pasien datang dengan keadaan umum tampak sakit sedang dengan kesadaran
compos mentis, tanda-tanda vital pasien seperti nadi, yaitu 140 kali permenit,
10
frekuensi pernafasan 30 kali permenit, suhu 39 o C. Pada pemeriksaan fisik kaki kiri
didapatkan eritem, pustul dan bula. Pada pemeriksaan penunjang pasien didapatkan
leukositosis.
VI. Terapi
Infus KDN 1 12 md/i
Ampicillin 3x200 mg
Antrain 3x0,15 cc
11
BAB III TINJAUAN PUSTAKA
I. Dermatitis Atopi
1.1. Definisi
Dermatitis atopik (DA) merupakan penyakit kulit yang paling sering ditemui pada
praktek umum, dan paling sering terjadi pada masa bayi dan anak-anak. Penyakit
kulit ini diturunkan secara genetik, ditandai oleh inflamasi, pruritus, dan lesi
eksematosa dengan episode eksaserbasi dan remisi. Penyakit ini sangat
mempengaruhi kualitas hidup pasien maupun keluarga dan orang-orang terdekat
pasien.2
1.2. Epidemiologi
Makanan
12
kulit (skin prick test) dan kadar IgE spesifik positif terhadap berbagai macam
makanan.
Allergen Hirup
Allergen hirup sebagai penyebab DA dapat lewat kontak, yang dapat dibuktikan
dengan uji tempel positif pada 30-50% penderita DA, atau lewat inhalasi. Perlu juga
diperhatikan bahwa DA juga 13opi diakibatkan oleh allergen hirup lainnya seperti
bulu binatang, jamur atau ragwed di Negara 4 musim.
Infeksi Kulit
1.4. Patogenesis
13
diferensiasi terminal epidermis (Gambar 1). Setelah keratinosit menjadi padat, protein
FLG melepaskan natural moisturizing factor (NMF).
Umumnya gejala DA timbul sebelum bayi berumur 6 bulan, dan jarang terjadi di bawah
usia 8 minggu.
14
1. Lesi kulit
Keluhan gatal dapat intermiten sepanjang hari dan lebih parah menjelang senja dan
malam. Sebagai konsekuensi keluhan gatal adalah garukan, prurigo papules, likenifikasi,
dan lesi kulit eksematosa. Lesi akut ditandai keluhan gatal intens, papul eritem disertai
ekskoriasi, vesikel di atas kulit eritem, dan eksudat serosa. Lesi subakut ditandai papul
eritem, ekskoriasi, skuamasi. DA kronik ditandai oleh plakat kulit tebal, likenifikasi
(accentuated skin markings), dan papul 15opical15 (prurigo nodularis).
Distribusi dan pola reaksi kulit bervariasi menurut usia pasien dan aktivitas penyakit.
Pada bayi, DA umumnya lebih akut dan terutama mengenai wajah, scalp, dan bagian
ekstensor ekstremitas. Daerah diaper (popok) biasanya tidak terkena. Pada anak yang
lebih tua, dan pada yang telah menderita dalam waktu lama, stadium penyakit menjadi
kronik dengan likenifikasi dan lokalisasi berpindah ke lipatan fleksura ekstremitas.
2. White demografisme
Goresan pada kulit penderita DA akan menyebabkan kemerahan dalam waktu 10-15 detik
diikuti dengan vasokonstriksi yang menyebabkan garis berwarna putih dalam waktu 10-
15 menit berikutnya.
15
Sering dijumpai pada penderita penyakit alergi karena gosokan dan garukan jaringan di
bawah mata dengan akibat perangsangan melanosit dan peningkatan timbunan melanin.
6. Hiperpigmentasi
Terdapat daerah hiperpigmentasi akibat garukan terus menerus
7. Kulit Kering
8. Keringat berlebih
9. Gatal dan garukan berlebih
Terdapat 3 bentuk klinis dermatitis atopik, yaitu bentuk infantile, bentuk anak, dan
bentuk dewasa. :
Bentuk infantile
Berbentuk dermatitis akut eksudatif dengan predileksi daerah muka terutama pipi dan
daerah ekstensor ekstremitas
Bentuk anak
Gejala klinis ditandai oleh kulit kering (xerosis) yang lebih bersifat kronis dengan
predileksi daerah fleksura antekubiti, poplitea, tangan, kaki dan 16opical16ic16.
Bentuk dewasa
Terjadi sekitar usia 20 tahun. Umumnya berlokasi di daerah lipatan muka, leher, badan
bagian atas dan ekstremitas. Lesi berbentuk dermatitis kronik dengan gejala utama
likenifikasi dan skuamasi. 4
16
1.6. Diagnosis
Diagnosis DA ditegakkan jika terdapat paling sedikit 3 kriteria mayor dan 3 kriteria
minor.
Pemeriksaan Laboratorium
Darah Rutin
o Limfosit : jumlah limfosit absolute penderita alergi dalam batas normal
o Eosinofil : eosinophil pada penderita DA sering meningkat.
o PMN : jumlah PMN biasanya dalam batas normal.
o Komplemen : kadar komplemen biasanya normal atau sedikit meningkat
Bakteriologi
Uji kulit dan provokasi
Diagnosis banding
Skabies
Dermatitis seboroik infantile
Dermatitis kontak4
1.7.Komplikasi
1. Problem mata
Dermatitis palpebra dan blefaritis kronik dapat menyebabkan gangguan visus dan skar
kornea. Keratokonjungtivitis atopic biasanya bilateral dan menimbulkan gejala gatal,
17
terbakar, keluar air mata dan sekresi mukoid. Keratokonus adalah deformitas konikal
kornea akibat gosokan kronik. Katarak dilaporkan terjadi pada 21% pasien DA berat.
Belum jelas apakah ini akibat manifestasi primer DA atau sebagai akibat pemakaian
ekstensif steroid topical dan sistemik.
2. Infeksi
DA dapat mengalami komplikasi infeksi virus berulang yang merupakan refleksi dari
defek local fungsi sel T. Infeksi virus yang paling serius adalah akibat infeksi herpes
simplek, menghasilkan Kaposi varicelliform eruption atau eczema herpeticum. Setelah
inkubasi 5-12 hari, lesi vesikopustular, multiple dan gatal timbul dalam pola diseminata;
lesi vesikuler ber umbilated dan cenderung berkelompok, dan sering mengalami
perdarahan dan berkrusta, menghasilkan erosi punch-out dan sangat nyeri. Lesi dalam
bergabung menjadi area besar (dapat seluruh tubuh) yang mengelupas dan berdarah.
Vaksinasi smallpox pada pasien DA (bahkan pajanan pasien dengan individu yang
mendapat vaksinasi), dapat menyebabkan erupsi luas berat (eczema vaccinatum) yang
tampak sangat mirip dengan eczema herpeticum.
18
jarang pada control normal dan pasien asmatik. M furfur dan dermatofit lain penting
karena setelah terapi anti jamur, akan terjadi penurunan keparahan kulit DA.
Staphylococcus aureus dijumpai pada > 90% lesi kulit DA. Krusta kuning madu,
folikulitis, 19opical19 dan pembesaran KGB regional, merupakan indikasi adanya infeksi
sekunder (biasanya oleh S aureus) dan memerlukan terapi 19opical19ic. Pentingnya S
aureus pada DA didukung oleh observasi bahwa pasien DA berat, walaupun tanpa infeksi
berat, dapat menunjukkan respon klinis terhadap terapi kombinasi dengan 19opical19ic
dan steroid 19opical.
3. Dermatitis tangan
4. Dermatitis/eritroderma eksfoliatif
Komplikasi ini terjadi akibat superinfeksi, seperti S aureus penghasil toksin atau
infeksi herpes simplek, iritasi berulang, atau terapi yang tidak mencukupi. Pada beberapa
kasus, penghentian steroid sistemik yang dipakai mengontrol DA berat dapat menjadi
factor pencetus eritroderma eksfoliatif.6
1.8. Penatalaksanaan
19
Steroid topikal masih menjadi pilihan utama untuk mengatasi DA. Namun steroid
topikal tidak dapat menggantikan peranan emolien yang diaplikasikan berulang
untuk memperbaiki sawar kulit. Potensi steroid yang digunakan bersifat individual,
bergantung pada derajat dermatitis, lokasi dermatitis, luas permukaan kulit yang
terkena, dan usia pasien.
Cortikosteroid sistemik hanya di berikan untuk penanganan akut DA yang berat.
Penggunaan steroid sistemik jangka panjang tidak disarankan karena potensi efek
samping yang besar.
Antihistamin oral digunakan untuk mengontrol gatal. Antihistamin sedatif misalnya
hydroxyzine, diphenhydramine, chlorpheniramine, lebih disarankan dibandingkan
anti histamin non-sedatif karena efek sedatifnya lebih bermanfaat dibandingkan efek
antipruritiknya.2
1.9 Prognosis
Penyakit cenderung lebih berat dan persisten pada anak, dan periode remisi lebih sering bila
anak bertambah usia. Resolusi spontan dilaporkan terjadi setelah usia 5 tahun pada 40-60%
pasien yang menderita sejak bayi. Walaupun penelitian terdahulu menunjukkan bahwa kisaran
84% anak akan terus menderita DA sampai dewasa, tetapi studi yang lebih baru melaporkan
bahwa DA sembuh pada kisaran 20% anak, dan menjadi kurang parah pada 65%. Faktor
prediktif berikut berkorelasi dengan prognosis jelek DA : DA luas pada masa anak, disertai
rhinitis alergik dan asma, riwayat DA pada orang tua atau saudara, awitan DA pada usia lebih
dini, anak tunggal, dan level IgE sangat tinggi.7
20
II. Emfisema
2.1.Definisi
Emfisema adalah suatu kelainan anatomis paru yang ditandai oleh pelebaran rongga
udara distal bronchiolus terminalis, disertai kerusakan dinding alveoli. Emfisema
termasuk dalam Chronic Obstructive Pulmonary Diseases (COPD). 8
2.2. Epidemiologi
Data World Health Organization (WHO), menunjukkan bahwa pada tahun 2012
COPD (emfisema) telah menempati urutan ke-3 setelah penyakit kardiovaskuler dan
stroke. Hasil survey penyakit tidak menular oleh Direktorat Jenderal PPM dan PL di 5
rumah sakit provinsi di Indonesia (Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung dan
Sumatera Selatan) pada tahun 2004, menunjukkan COPD menempati urutan pertama
penyumbang angka kesakitan (35%), diikuti asma bronkial (33%), kanker paru (30%) dan
lainnya (2%). Berdasarkan hasil survei Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun
2013, sebanyak 59% penduduk laki-laki dan 3,7% perempuan merupakan perokok. Di
Indonesia, COPD menduduki peringkat ke-3 sebagai penyebab kematian terbanyak dari
10 penyebab kematian utama. 9,10
2.3. Etiologi
Beberapa hal yang dapat menyebabkan terjadinya emfisema paru yaitu rokok,
polusi,infeksi, faktor genetik, dan obstruksi jalan napas (Washko, 2011) :
1. Rokok
Dapat menyebabkan gangguan pergerakkan silia pada jalan napas,
menghambat fungsi makrofag alveolar, menyebabkan hipertrofi dan hiperplasi
kelenjar mucus bronkus. Gangguan pada silia, fungsi makrofag
alveolar mempermudah terjadinya perdangan pada bronkus dan bronkiolus,
serta infeksi pada paru-paru. Peradangan bronkus dan bronkiolus akan mengakibatkan
obstruksi jalan napas, dinding bronkiolus melemah dan alveoli pecah.
Disamping itu, merokok akan merangsang leukosit polimorfonuklear
melepaskan enzim protease (proteolitik), dan menginaktifasi antiprotease
(Alfa-1 anti tripsin), sehingga terjadi ketidakseimbangan antara aktifitas
keduanya.
21
2. P o l u s i
P o l u t a n i n d u s t r i d a n u d a r a j u g a d a p a t m e n ye b a b k a n t e r j a d i n ya
emfisema.Insidensi dan angka kem atian emfisema dapat lebih tin ggi
d i d a e r a h ya n g p a d a t industrialisasi. Polusi udara seperti halnya asap tembakau juga
menyebabkan gangguan pada silia, menghambat fungsi makrofag alveolar.
3. Infeksi
Infeksi saluran napas akan menyebabkan kerusakan p aru lebih berat.
Penyakit i n f e k s i s a l u r a n n a p a s s e p e r t i p n e u m o n i a , b r o n k i o l i t i s a k u t ,
asma bronkiale, dapat m e n g a r a h p a d a o b s t r u k s i j a l a n n a p a s ,
y a n g p a d a a k h i r n y a d a p a t m e n y e b a b k a n terjadinya emfisema
4. F a k t o r g e n e t i k
D a r i f a k t o r g e n e t i k , p e n ye b a b ya n g d i k e t a h u i a d a l a h d e f i s i e n s i
Alfa-1 a n t i tripsin. Namun, cara yang tepat bagaimana defisiensi
antitripsin dapat menimbulkanemfisema masih belum jelas
5. Obstruksi jalan napas
Emfisema terjadi karena tertutupnya lumen bronkus atau bronk iolus.
Udara dapat masuk ke dalam alveolus pada waktu inspirasiakan tetapi tidak
dapat keluar pada waktu ekspirasi. Etiologinya ialah benda asing di dalam
lumen dengan reaksi lokal, tumor intrabronkial di mediastinum, kongenital. Pada jenis
yang terakhir, obstruksi dapat disebabkan oleh defek tulang rawan bronkus.
22
kehamilan, berat lahir dan pajanan semasa anak-anak. Penurunan fungsi paru
akibat gangguan pertumbuhan paru diduga berkaitandengan risiko mendapatkan
emfisema paru.
2. Faktor Lingkungan, t u j u h p u l u h s a m p a i d e l a p a n p u l u h p e r s e n
p e n c e m a r a n udara berasal dari gas buang kendaraan bermotor, sedangkan
pencemaran udara akibat industri 20-30%. Polusi udara terdiri dari polusi di dalam
ruangan (indoor ) seperti asap rokok, asap kompor, briket batu bara, asap kayu
bakar, asap obat nyamuk bakar, danl a i n - l a i n , p o l u s i d i l u a r r u a n g a n
( outdoor ) , s e p e r t i g a s b u a n g i n d u s t r i , g a s b u a n g kendaraan bermotor, debu
jalanan, kebakaran hutan, gunung meletus, dan lain-lain, dan polusi di tempat kerja
(bahan kimia, debu/zat iritasi, dan gas beracun).
3. F a k t o r p e r i l a k u , s e k i t a r 5 6 – 8 0 % d a r i s e m u a p e n ya k i t p e r n a p a s a n
kronik karena tembakau, termasuk emfisema paru. Asap rokok
m e r u p a k a n f a k t o r r i s i k o terpenting terjadinya emfisema paru. Perokok pasif dan
kebiasaan merokok selama hamil juga merupakan faktor risiko
e m f i s e m a p a r u . Kandungan bahan kimia pada asap rokok sampingan
ternyata lebih tinggi dibanding asap rokok utama, antara lain karena tembakau
terbakar pada temperatur lebih rendah ketika rokok sedang tidak dihisap, membuat
pembakaran menjadi kurang lengkap dan mengeluarkan lebih banyak bahan
kimia. Terdapat sekitar 4.000 zat kimia berbahaya k e l u a r m e l a l u i a s a p
rokok. Zat ya n g paling b a n ya k p e n g a r u h n ya terhadap
s a l u r a n pernapasan dan paru adalah sulfur dioksida, nitrogen dioksida dan ozon.
Ketiga zat tersebut dapat menurunkan faal paru.
2.5. Patogenesis
Terdapat 4 perubahan patologik yang dapat timbul pada pasien emfisema, yaitu :
Hilangnya elastisitas paru
Protease (enzim paru) merubah atau merusakkan alveoli dan saluran nafas kecil
dengan jalan merusakkan serabut elastin. Akibat hal tersebut, kantung alveolar
kehilangan elastisitasnya dan jalan nafas kecil menjadi kollaps atau menyempit.
Beberapa alveoli rusak dan yang lainnya mungkin dapat menjadi membesar.
Hyperinflation paru
23
Pembesaran alveoli mencegah paru-paru untuk kembali kepada posisi istirahat
normal selama ekspirasi.
Terbentuknya bullae
Dinding alveolar membengkak dan berhubungan untuk membentuk suatu bullae
(ruangan tempat udara) yang dapat dilihat pada pemeriksaan X-ray
Kollaps jalan nafas kecil dan udara terperangkap
Ketika berusaha untuk ekspirasi secara kuat, tekanan positif intratorak akan
menyebabkan kollapsnya jalan nafas.
Emfisema merupakan kelainan dimana terjadi kerusakan pada dinding alveolus yang
akan menyebabkan over distensi permanen ruang udara. Perjalanan udara akan terganggu
akibat dari perubahan ini. Kesulitan selama ekspirasi pada emfisema merupakan akibat
dari adanya destruksi dinding (septum) diantara alveoli, jalan napas kolaps sebagian, dan
kehilangan elastisitas untuk mengerut atau recoil. Pada saaat alveoli dan septum kolaps,
udara akan tertahan diantara ruang alveolus (disebut blebs) dan diantara parenkim paru-
paru (disebut bullae). Proses ini akan menyebabkan meningkatkan ventilatori pada ‘dead
space’ atau area yang tidak mengalami pertukaran gas atau darah.
Kerja napas meningkat dikarenakan terjadinya kekurangan fungsi jaringan paru-
paru untuk melakukan pertukaran O2 dan CO2. Emfisema juga menyebabkan destruksi
kapiler paru-paru, selanjutnya terjadi penurunan perfusi O2 dan penurunan ventilasi.
Emfisema masih dianggap normal jika sesuai dengan usia, tetapi jika hal ini timbul pada
pasien yang berusia muda biasanya berhubungan dengan bronkhitis kronis dan merokok.
24
25
2.6. Klasifikasi
Terdapat tiga tipe emfisema:
a. Emfisema sentriolobular
Merupakan tipe yang sering muncul dan memperlihatkan kerusakan bronkiolus, biasanya
pada daerah paru-paru atas. Inflamasi merambah sampai bronkiolus tetapi biasanya
kantung alveolus tetap bersisa.
b. Emfisema panlobular (panacinar)
Merusak ruang udara pada seluruh asinus dan umunya juga merusak paru-paru bagian
bawah. Tipe ini sering disebut centriacinar emfisema, sering kali timbul pada perokok.
Panacinar timbul pada orang tua dan pasien dengan defisiensi enzim alfa-antitripsin.
c. Emfisema paraseptal
Merusak alveoli lobus bagian bawah yang mengakibatkan isolasi blebs (udara dalam
alveoli) sepanjang perifer paru-paru. Paraseptal emfisema dipercaya sebagai sebab dari
pneumothorax spontan.
2.7. Diagnosis
d. Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi /anak, misalnya berat badan lahir rendah
(BBLR), infeksi saluran napas berulang, lingkungan asap rokok dan polusi udara.
B. Pemeriksaan Fisis
a. Inspeksi
- Pursed-lips breathing (mulut setengah terkatup mencucut).
- bantu napas.
- Pelebaran sela iga.
26
b. Palpasi
- Pada emfisema vocal fremitus melemah, sela iga melebar.
c. Perkusi
- Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma rendah, hepar
terdorong ke bawah.
d. Auskultasi
- Suara napas vesikuler normal atau melemah.
- Terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada ekspirasi paksa.
- Ekspirasi memanjang.
- Bunyi jantung terdengar jauh
C. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Darah Rutin
a. Hemoglobin(Hb)
Nilai Hb pada penderita COPD dapat bervariasi tergantung pada beratnya penyakit dan
riwayat hipoksia yang lama akibat adanya hipoventilasi. Riwayat hipoksia yang lama
menyebabkan terjadinya peningkatan kadar hemoglobin diatas nilai normal
b. Hematokrit (Hm)
Nilai Hm dapat mengalami peningkatan diatas nilai normal seiring dengan peningkatan
kadar Hb, yang menunjukkan tanda-tanda polisitemia sekunder akibat hipoksia yang kronis.
c. Leukosit
Nilai Leukosit pada COPD dapat bervariasi mulai normal sampai terjadinya leukositosis
ringan sampai berat
2. Pemeriksaan Kimia
a. Analisa gas darah
Menilai terjadinya gagal napas kronik stabil dan gagal napas akut. Pada Kasus COPD analisa
gas darah sangat penting untuk menilai status respiratorik pasien. Analisa gas darah dapat
digunakan untuk mendiagnosis, terapi dan monitoring terutama pada kasus yang disertai
kegagalan pernapasan. Tiga komponen yang berperan yaitu PaO2 untuk menentukan derajat
hipoksemia, PaCO2 untuk menilai kemampuan ventilasi paru, dan pH untuk menentukan
status metabolik atau respiratorik.
27
b. Elektrolit
Gangguan keseimbangan elektrolit sering terjadi pada kasus COPD karena berkurangnya
fungsi otot pernapasan sebagai akibat sekunder dari gangguan ventilasi secara kronik.
Gangguan keseimbangan elektrolit yang sering terjadi pada COPD yang berat adalah:
hipofosfatemia, hiperkalemia, hipokalsemia dan hipomagnesemia.
c. Protein Fase Akut
Proses inflamasi pada COPD tidak hanya menyebabkan respon inflamasi paru yang
abnormal tapi juga menimbulkan inflamasi sistemik. Proses inflamasi ini merangsang sistem
hematopoetik terutama sumsum tulang untuk melepaskan leukosit dan trombosit serta
merangsang hepar untuk memproduksi protein fase akut seperti C-Reactive Protein (CRP).
d. α1-antitrypsin
Protein α1-antitrypsin termasuk dalam kelompok protein anti protease, protein ini berperan
penting untuk mencegah kerusakan alveoli oleh neutrofil elastase. Defisiensi α1-antitrypsin
dapat menyebabkan terjadinya emfisema pada usia pertengahan terutama pada perokok.
Penurunan kadar α1-antitrypsin sampai kurang dari 35% dari nilai normal (150-350 mg/dl)
menyebabkan proteksi terhadap jaringan parenkim paru berkurang sehingga terjadi
penghancuran dinding alveoli. Defisiensi α1-antitrypsin hanya terjadi pada 1-2% penderita
COPD.
3. Pemeriksaan Bakteriologi
Pemeriksaan bakteriologi sputum dapat dilakukan dengan pewarnaan gram dan kultur
resistensi yang diperlukan untuk mengetahui pola kuman dan untuk memlih antibiotik yang
tepat
4. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan foto thorax pasien COPD kadang-kadang masih normal, tetapi pemeriksaan
ini dapat menyingkirkan diagnosis penyakit paru lainnya. Hasil pemeriksaan radiologis
dapat berupa kelainan :
- Paru hiperinflasi atau hiperlusen
- Diafragma mendatar
28
- Bulla
Diagnosis banding
B e b e r a p a k e l a i n a n p a d a p a r u ya n g b e r s i f a t a k u t d a n k r o n i s m e m p u n ya i
b e b e r a p a persamaan. Adapun beberapa penyakit yang mempunyai kesamaan dengan
emphysema seperti:
1.Asthma
2. Bronchiectasis
3.Chronic bronchitis
4.Heart failure
5.Lung tumor
6.Pneumonia
7.Pulmonary embolus
2.7. Penatalaksanaan
1. Bronkodilator
Dianjurkan penggunaan dalam bentuk inhalasi kecuali pada eksaserbasi oral atau
sistemik. O b a t yang termasuk bronkodilator adalah golongan
x a n t i n , β2 a g o n i s , antikolinergik. Golongan xantin, obat golongan teofilin sering
digunakan pada emfisema paru. Obat ini menghambat enzim fosfodiesterase
sehingga cAMP yang bekerja sebagai bronkod ilator dapat dipertahankan pada
kadar yang tinggi ex : teofilin, aminofilin. β2 agonis, obat ini menimbulkan bronkodilatasi.
Reseptor beta berhubungan erat dengan adenil siklase yaitu substansi penting
yang menghasilkan siklik AMP yang menyebabkan bronkodilatasi. Pemberian dalam
bentuk a e r o s o l / s p r a y l e b i h e f e k t i f . O b a t ya n g t e r g o l o n g b e t a - 2 a g o n i s
a d a l a h : t e r b u t a l i n , metaproterenol dan albuterol. Antikolinergik, obat ini
bekerja dengan menghambat reseptor kolinergik sehingga menekan enzim
guanilsiklase. Kemudian pembentukan cAMP sehingga bronkospasme menjadi
terhambat, contohnya: Ipratropium bromida diberikand a l a m b e n t u k i n h a l a s i .
2. Anti inflamasi
Pilihan utama bentuk metilprednisolon atau prednisone.
29
3. Antibiotik
4. Mukolitik
Pemberian mukolitik tidak diberikan secara rutin. Hanya digunakan sebagai
pengobatan simptomatik bila terdapat dahak yang kental dan lengket. P e m b e r i a n
ekspectoran dan mucolitik, usaha untuk mengeluarkan
d a n mengurangi mukus merupakan yang utama dan penting pada pengelolaan
emfisema paru. Ekspectoran dan mucolitik yang biasa dipakai adalah bromheksin dan
karboksimetil sistein diberikan pada keadaan eksaserbasi. Asetil sistein selain bersifat
mukolitik juga mempunyai efek anti oksidans yang melindungi saluran napas dari
kerusakan yangdisebabkan oleh oksidans.
2.8. Komplikasi
Beberapa komplikasi yang dapat terjadi adalah:
1. Hipoxemia
Hipoxemia didefinisikan sebagai penurunan nilai PaO2 kurang dari 55
m m H g , dengan nilai saturasi Oksigen <85%. Pada awalnya klien akan mengalami
perubahanmood, penurunan konsentrasi dan pelupa. Pada tahap lanjut timbul cyanosis.
2. Asidosis Respiratory
Timbul akibat dari peningkatan nilai PaCO2 (hiperkapnia). Tanda yang
munculantara lain: nyeri kepala, fatique, lethargi, dizzines, takipnea.
3. Infeksi Respiratory
Infeksi pernafasan akut disebabkan karena peningkatan
p r o d u k s i m u k u s , peningkatan rangsangan otot polos bronchial dan edema mukosa.
Terbatasnya aliran udara akan meningkatkan kerja nafas dan timbulnya dyspnea.
30
BAB IV PEMBAHASAN
Dermatitis atopik (DA) merupakan penyakit kulit yang paling sering ditemui pada
praktek umum, dan paling sering terjadi pada masa bayi dan anak-anak. Penyakit kulit ini
diturunkan secara genetik, ditandai oleh inflamasi, pruritus, dan lesi eksematosa dengan
episode eksaserbasi dan remisi. Penyakit ini sangat mempengaruhi kualitas hidup pasien
maupun keluarga dan orang-orang terdekat pasien.2
Berdasarkan hasil temuan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang, didapatkan diagnosis pasien adalah dermatitis atopi. Dermatitis atopi pada
pasien diturunkan secara genetik dimana nenek pasien memiliki atopi, terdapat juga
predileksi dermatitis atopi pada pasien adalah di bagian lipatan kaki kiri. Keluhan di kaki
kiri juga hilang timbul dalam 1 bulan dan keadaan tempat kaki kiri terasa lembab sehingga
kulit menjadi hipersensitif. Selain dermatitis atopi, terdapat juga infeksi pada kaki
ditandai dengan demam yang naik turun dimana naik jika bentol-bentol di kaki kiri pecah
berisi air dan nanah. Penderita dengan Dermatitis atopi mempunyai kecenderungan untuk
disertai infeksi kulit oleh kuman umunya Staphylococcus aureus, virus, dan jamur. Akibat
infeksi kuman Stafilokokus akan dilepaskan sejumlah toksin yang bekerja sebagai
superantigen, mengaktifkan makrofag dan limfosit T, yang selanjutnya melepaskan
histamine. Oleh karena itu, penderita dermatitis atopi dan disertai infeksi harus diberikan
kombinasi antibiotika terhadap kuman stafilokokus dan steroid topical. Pada pasien juga
terdapat batuk dan pilek yang menandakan adanya infeksi pada saluran nafas. Penyakit
infeksi saluran napas seperti pneumonia, bronkitis akut, asma bronkial dapat mengarah
pada obstruksi jalan napas, yang pada akhirnya dapat menyebakan terjadinya emfisema.
Dari hasil pemeriksaan fisik yang telah dilakukan yang menunjang diagnosis antara
lain pada pemeriksaan tanda-tanda vital didapatkan demam pada tanggal 5 Desember
2018, didukung oleh pemeriksaan lab darah rutin yang menunjukan leukositosis (27.700
uL), pada pemeriksaan fisik pada kaki kiri terdapat eritem, pustul dan bula. Setelah
diberikan antibiotik demam menjadi turun dan kemerahan serta bentol di kaki berkurang
sehingga menunjukkan kemungkinan ada infeksi sekunder pada kaki kiri yang awalnya
hipersensitif terhadap keringat atau daerah lembab. Pemeriksaan fisik paru juga
didapatkan adanya ronki. Infeksi saluran nafas juga bisa menyebabkan terjadinya
emfisema. Namun masih terdapat kekurangan. Batuk dan pilek pada anak di bawah 2
31
tahun bisa disebabkan oleh bronkiolitis,bronkitis dan pneumonia. Selain itu belum
dilakukannya rontgen thorax sehingga diagnosis kurang dapat dipastikan.
Karena berbagai kekurangan dari hasil temuan pada pemeriksaan, disarankan untuk
melakukan pemeriksaan lanjutan untuk menegakkan diagnosis dermatitis atopi.
Pemeriksaan-pemeriksaan yang bisa dilakukan adalah uji kulit (Prict test). Untuk
menegakkan diagnosis emfisema dilakukan pemeriksaan rontgen thorax. Hasil
pemeriksaan radiologis dapat berupa kelainan : Paru hiperinflasi atau hiperlusen,
Diafragma mendatar , Corakan bronchovasculer meningkat, Bulla.
32
BAB V KESIMPULAN
33
DAFTAR PUSTAKA
34