Anda di halaman 1dari 40

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Retardasi mental

2.1.1 Definisi Retardasi mental

WHO (dikutip dari Menkes, 1990) mengatakan retardasi mental merupakan

kemampuan dalam mental yang tidak mencukupi. Menurut Carter CH

(dikutip dari Toback, 1980) retardasi mental merupakan suatu keadaan

dengan kecerdasan rendah sehingga mengakibatkan individu tidak mampu

untuk belajar maupun penyesuaian diri (adaptasi) terhadap tuntutan

masyarakat atau hal yang dianggap normal.

Melly Budiman (1991) mengemukakan individu dianggap retardasi mental

jika telah memenuhi kriteria sebagai berikut :

a. Fungsi intelektual umum dibawah rata-rata (normal)

b. Memiliki masalah dalam perilaku adaptif social

c. Gejalanya muncul sebelum usia 18 tahun atau pada tahap

perkembangan

Liptak GS (1996) berpendapat bahwa retardasi mental merupakan IQ di

bawah 70 atau 75 yang dimiliki anak, mempunyai keterbatasan dalam

keterampilan adaptif (terbatas pada komunikasi, home living, menolong

diri sendiri, keterampilan sosial, mengarahkan diri, bermasyarakat,

keamanan, kesehatan, fungsi akademik, memanfaatkan waktu luang dan

bekerja).

10
11

Sebastian SC (2002) mengatakan retardasi mental merupakan

perkembangan yang terlambat dimulai masa anak-anak dengan ciri

kemampuan kognitif atau intelektual di bawah rata-rata serta kekurangan

dalam perilaku adaptif sosial.

Menurut American Association on Mental Retardation (AAMR) retardasi

mental yaitu fungsi intelekual berada dibawah rata-rata diikuti oleh

kekurangan dalam 2 fungsi adaptif atau lebih seperti menolong diri sendiri,

komunikasi, mengarahkan diri, keterampilan sosial, keterampilan

akademik, memanfaatkan waktu luang dan bekerja, keamanan dan

kesehatan dan ketidakmampuan ini terjadi sebelum usia 18 tahun.

2.1.2 Penyebab Retardasi mental

Sebastian CS (2001) dan Harun KH (2002) mengatakan etiologi retardasi

mental adalah sebagai berikut :

1. Pranatal

a. Chromosomal aberrations

1) Sindrom Down

Kasus sindrom down sekitar 95% diakibatkan oleh trisomi 21 dan

yang lainnya diakibatkan oleh translokasi dan mosaik.

2) Delesi

Misal : sindrom cri-du-chat diakibatkan dilesi pada kromosom 5p3

3) Sindrom malformasi disebabkan mikrodilesi

Misal : sindrom prader-wili (paternal origin) dan angelman (maternal

origin) terjadi mikrodelesi terhadap kromosom 15q11-12 berbeda

dalam fenotip karena mekanisme imprinting.


12

b. Disorders with autosomal –dominant inheritance

Contohnya adalah tuberous sclerosis yang diakibatkan mutasi gen pada

pembentukan lapisan ektodermal dari fetus. Jika diagnosis tuberous

sclerosis ditegakkan, kedua orang tuanya harus diperiksa sebab risiko

kejadian dapat berulang 50% setiap kehamilan.

c. Disorders with autosomal-recessive inheritance

Kebayakan penyakit metabolik terjadi pada hal ini. Misalnya

phenylketonuria (PKU), penyakit metabolik yang banyak diketahui.

Gangguan ini pertama kali terjadi pada tahun 1934 oleh Folling pada

anak retardasi mental.

d. X-linked mental retardation

Fragile X syndrome adalah penyebab kedua setelah sindrom down pada

retardasi mental. Kelainan kromosom terjadi pada lokasi Xq27.3.

e. Infeksi maternal

1) Infeksi rubella terjadi saat kehamilan di bulan pertama yang dapat

mempengaruhi organogenesis fetus (50%). Infeksi yang terjadi di

bulan ketiga kehamilan dapat menyebabkan gangguan

perkembangan fetus (15%). Gangguan yang diakibatkan infeksi

rubella seperti retardasi mental, mikrosefali, katarak, gangguan

pendengaran serta kelainan jantung bawaan.

2) Infeksi sitomegalovirus kongenital dapat mengakibatkan gangguan

pendengaran sensorineural, retardasi psikomotor dan mikrosefali.

3) Toksoplasmosis kongental menyebabkan bayi sekitar 20% dapat

terinfeksi dan mengalami gangguan hidrosefalus, gangguan

perkembangan psikomotor, mikrosefali, gangguan perkembangan

mata dan gangguan pendengaran.


13

4) HIV kongenital dapat mengakibatkan ensefalopati yang ditandai

seperti kelainan neurologi progresif, mikrosefali, disabilitas intektual

dan kelainan perillaku.

f. Zat-zat racun

Zat teratogen yang penting untuk ibu hamil yaitu etanol, yang dapat

mengakibatkan Feel Alcohol Syndrome (FAS), alkohol dapat

mengakibatkan tiga gangguan utama yaitu : gambarkan dismotfik (bila

terpajan pada tahap organogenesis), retardasi pertumbuhan prenatal

serta pascanatal, disfungsi susunan saraf pusat, termasuk disabilitas

ringan atau sedang, perkembangan sensorik lambat, hiperaktivitas.

Beratnya gangguan tergantung pada jumlah alkohol yang dikonsumsi.

g. Toksemia kehamilan dan insufisiensi plasenta

Intrauterine Growth Restriction (IUGR) dapat disebabkan seperti

toksemia kehamilan dapat menyebabkan gangguan pada sistem saraf

pusat. Prematuritas dan IUGR adalah predisposisi komplikasi perinatal

yang dapat mempengaruhi SSP dan menyebabkan gangguan

perkembangan lainnya.

2. Perinatal

a. Infeksi

Infeksi pada periode neonatal dapat mengakibatkan masalah

perkembangan seperti herpes simplek tipe 2 yang mengakibatkan

ensefalitis dan masalahnya. Infeksi bakteri mengakibatkan sepsis dan

meningitis dapat menyebabkan hidrosefalus.

b. Gangguan kelahiran

Prematuritas, asfiksia berat, trauma lahir, dan gejala-gejala neurologis

pada masa bayi harus diwaspadai sebagai faktor risiko retardasi mental.
14

c. Gangguan perinatal lainnya

Contohnya pada retinopathy of prematurity (fibroplasias retrolental)

sebab pemakaian oksigen 100% pada bayi premature, selain

menyebabkan kebutaan juga dapat menyebabkan kerusakan SSP dan

disability intelektual begitu juga dengan hiperbilirubinemia dapat

mengakibatkan kern ikterus dan disabilitas intelektual.

3. Pascanatal

a. Infeksi, contohnya meningitis dan ensefalitis

b. Zat-zat racun , contohnya keracunan logam-logam berat

c. Penyebab pascanatal lainnya

Contohnya tumor ganas pada otak , trauma kepala pada kecelakaan,

hampir tenggelam (near-drowning)

d. Gangguan psikososial.

Contohnya deprivasi maternal, kurang stimulus, kemiskinan dan

lainnya.

2.1.3 Gejala Klinis Retardasi mental

Shapiro BK (2007) dalam Soetjiningsih dan Ranuh (2014) gejala klinik

yang sering menyertai retardasi mental berdasarkan umur adalah

sebagai berikut :

1. Newborn

Sindrom dismorfik, mikrosefali, disfungsi sistem organ major.

2. Early infancy (2-4 bulan)

Gagal berinteraksi dengan lingkungan, gangguan penglihatan atau

pendengaran

3. Later infancy (6-12 bulan)

Keterlambatan motorik kasar.


15

4. Toddlers (2-3 tahun)

kesulitan atau keterlambatan bicara.

5. Preschool (3-5 tahun)

Keterlambatan atau kesulitan berbicara; masalah perilaku termasuk

kemampuan bermain; keterlambatan perkembangan motorik halus

seperti menggunting, mewarnai, dan menggambar

6. School age (>5 tahun)

Kemampuan akademik kurang; masalah perilaku (kecemasan,

perhatian, nakal dan lainnya).

2.1.4 Klasifikasi Retardasi mental

Terdapat beberapa klasifikasi retardasi mental yaitu :

1. Klasifikasi menurut American Assosiation Mental Deficiency (AAMD) dan

WHO

Tabel 2.1 Subklasifikasi Retardasi Mental


Derajat (IQ) AAMD WHO
Ringan 55-69 50-70
Sedang 40-54 35-49
Berat 25-39 20-34
Sangat berat 0-24 0-20
(Soetjiningsih, 2005)

2. Menurut Melly Budhiman (1991), sebagai berikut:

a. Retardasi mental tipe klinik

Pada tipe klinik ini mudah dideteksi sejak dini sebab kelainan fisik dan

mentalnya cukup berat. Penyebab yang sering seperti kelainan

organik. Sebagian besar anak ini memerlukan perawatan yang terus

menerus dan kelainan ini dapat terjadi pada kelas sosial tinggi dan

rendah. Orang tua penderita anak ini cepat mencari pertolongan

karena mereka melihat sendiri kelainan pada anaknya.


16

b. Retardasi mental tipe sosiobudaya

Biasanya, kelainan ini baru diketahui setelah anak masuk sekolah dan

ternyata tidak dapat mengikuti pelajaran. Penampilannya seperti anak

normal, sehingga tipe ini disebut juga dengan retardasi mental enam

jam sebab saat mereka keluar sekolah mereka dapat bermain seperti

anak-anak normal lainnya. Tipe ini kebanyakan berasal dari golongan

sosial ekonomi rendah. Para orang tua anak tipe ini tidak melihat ada

kelainan pada anaknya, mereka mengetahui kalau anaknya retardasi

mental dari gurunya atau dari psikolog sebab anaknya gagal naik

kelas beberapa kali.

3. Menurut American Association on Mental Retardation (AAMR)

AAMR hanya membagi retardasi mental menjadi 2 kategori yaitu ringan

dan berat.

Tabel 2.2 Perbedaan Tipe Retardasi Mental Berdasarkan DSM-IV-TR dan


AAMR.
DSM –IV-TR IQ AAMR
1. Ringan 55-69 51-75
2. Sedang 40-54
3. Berat 25-39 <50
4. Sangat berat <24
(Walker, WO, Johnson, CP 2006)

4. Klasifikasi berdasarkan pendidikan dan bimbingan

Tabel 2.3 Klasifikasi Berdasarkan Kemampuan untuk Dididik atau


Bimbingan
Kategori IQ Pendidikan Bimbingan Prevalensi
1. Ringan 55-70 Mampu didik Kadang- 0.9-2,7%
kadang
2. Sedang 40-54 Mampu latih Terbatas
3. Berat 25-39 Tidak Ekstensif 0.3-0.4%
mampu latih
4. Sangat <25 Tidak Prevasif
Berat mampu latih
(Harum, KH 2001)

5. Klasifikasi berdasarkan ada dan tidaknya komorbid

a. Retardasi mental dengan kelainan dismorfik


17

Lebih mudah untuk menegakkan diagnosis tipe ini

b. Retardasi mental tanpa kelaianan dismorfik

2.1.5 Pemeriksaan Penunjang

Terdapat beberapa pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan pada

anak dengan retardasi mental diantaranya (Shonkoff JP 1992) :

1. Kariotipe kromosom

a. Ada beberapa kelainan fisik yang tidak khas

b. Pengkajian ibu tercemar zat-zat teratogen

c. Ada beberapa kelaian bawaan

d. Genitalia yang tidak normal

2. EEG (Elektroensefalogram)

a. Gejala kejang yang dicurigai

b. Kesulitan memahami bahasa yang berat

3. CT (Cranial Computed Tomography) atau MRI (Magnetic Resonance

Imaging)

a. Pembesaran kepala yang progresif

b. Tuberosklerosis

c. Dicurigai kelainan otak yang luas

d. Kejang lokal

e. Dicurigai adanya tumor intracranial, dll

2.1.6 Penatalaksanaan

a. Penatalaksanaan Umum

Penanganan pada anak dengan retardasi mental bersifat

multidimensional dan sangat individual. Tetapi, perlu diketahui bahwa

penatalaksanaan multidisiplin adalah jalan terbaik bagi setiap anak.


18

Pada orang tua perlu diberi penjelasan tentang kondisi anaknya dan

apa yang dapat diharapkan dari terapi yang diberikan. Kadang-kadang

diperlukan waktu yang lama untuk meyakinkan orang tua mengenai

kondisi anaknya. Jika orang tua belum mampu menerima keadaan

anaknya maka perlu berkonsultasi dengan psikolog atau psikiater.

Diperlukan juga kerjasama yang baik antara orang tua dan guru dalam

penanganan anak di sekolah dan di rumah agar tidak terjadi

kesimpangsiuran. Anggota keluarga juga harus diberi pengertian terkait

kondisi anak dan masyarakat juga diberi penerangan tentang retardasi

mental agar anak dapat diterima dengan baik.

Anak retardasi mental memerlukan pendidikan khusus yang

disesuaikan dengan tarif IQ nya. Mereka digolongkan sebagai golongan

mampu didik untuk retardasi mental ringan dan golongan mampu latih

untuk anak dengan retardasi mental sedang. Sekolah khsusus untuk

anak retardasi mental ini adalah SLB-C. Di sekolah ini diajarkan

berbagai keterampilan dengan harapan dapat mandiri dikemudian hari.

Seluruh anak dengan retardasi mental juga memerlukan perawatan,

seperti pemeriksaan kesehatan rutin, monitoring terhadap tumbuh

kembangnya, imunisasi. Anak-anak ini sering disertai kelainan fisik

yang memerlukan penanganan khusus.

b. Penatalaksanaan Khusus

Penatalaksanaan khusus Menurut Sularyo dan Kadim (2000):

1. Tatalaksana Medis

Obat-obatan yang sering digunakan dalam pengobatan retardasi mental

yaitu terutama untuk menekan gejala-gejala hiperkinetik. Metilfenidat

(ritalin) dapat memperbaiki keseimbangan emosi dan fungsi kognitif.


19

Imipramin, dekstroamfetamin, klorpromazin, flufenazin, fluoksetin

kadang-kadang dipergunakan oleh psikiatri anak. Menaikkan

kemampuan belajar pada umumnya diberikan tioridazin (melleril),

metilfenidar, amfetamin, asam glutamate, gamma aminobutyric acid

(GABA).

2. Rumah Sakit/Panti Khusus

Penempatan di panti-panti khusus perlu dipertimbangkan atas dasar:

kedudukan sosial keluarga, sikap dan perasaan orang tua terhadap

anak, derajat retardasi mental, pandangan orang tua mengenai

prognosis anak, fasilitas perawatan dalam masyarakat, dan fasilitas

untuk membimbing orang tua dan sosialisasi anak.

Kerugian penempatan di panti khusus bagi anak DI adalah kurangnya

kontak dengan orang lain dan kurangnya variasi lingkungan yang

memberikan kebutuhan dasar bagi anak.

3. Psikoterapi

Psikoterapi dapat diberikan pada anak retardasi mental maupun orang

tua anak tersebut. Walaupun tidak dapat menyembuhkan retardasi

mental tetapi dengan psikoterapi dan obat-obatan dapat diusahakan

perubahan sikap, tingkah laku dan adaptasi sosialnya.

4. Konseling

Tujuan konseling dalam bidang retardasi mental ini adalah untuk

menentukan ada atau tidaknya retardasi mental dan derajat retardasi

mental, evaluasi mengenai sistem kekeluargaan dan pengaruh retardasi

mental pada keluarga, kemungkinan penempatan di panti khusus,

konseling pranikah dan prenatal.


20

5. Pendidikan

Pendidikan yang penting disini bukan hanya asal sekolah, namun

bagaimana mendapatkan pendidikan yang cocok bagi anak yang

terbelakang ini. Terdapat empat macam tipe pendidikan untuk retardasi

mental:

a. Kelas khusus sebagai tambahan dari sekolah biasa

b. Sekolah luar biasa C

c. Panti khusus

d. Pusat latihan kerja

6. Latihan

Menurut Jevuska (2010), latihan dan pendidikan yang diberikan kepada

anak retardasi mental yaitu:

a. Mempergunakan dan mengembangkan sebaik-baiknya kapasitas

yang ada

b. Memperbaiki sifat-sifat yang salah atau yang anti sosial

c. Mengajarkan suatu keahlian (skill) agar anak itu dapat mencari

nafkah kelak mereka mudah sekali tertarik kepada hal-hal yang lain.

Harus diusahakan untuk mengikat perhatian mereka dengan

merangsang panca indera, misalnya dengan alat permainan yang

berwarna atau berbunyi, dan semuanya harus konkrit, artinya dapat

dilihat, didengar dan diraba. Prinsip-prinsip ini yang mula-mula

dipakai oleh Fiabel dan Pestalozzi, sehingga sekarang masih

digunakan di taman kanak-kanak (Judarwanto 2009). Latihan

diberikan secara kronologis dan meliputi:

1. Latihan rumah, yaitu pelajaran-pelajaran mengenai makan

sendiri, berpakaian sendiri, kebersihan badan.


21

2. Latihan sekolah, yaitu penting dalam hal ini ialah perkembangan

sosial

3. Latihan teknis, yaitu berikan sesuai minat, jenis kelamin dan

kedudukan sosial.

4. Latihan moral, yaitu sejak kecil anak harus diberitahukan apa

yang baik dan apa yang tidak baik. Agar ia mengerti maka tiap-

tiap pelanggaran disiplin perlu disertai dengan hukuman dan tiap

perbuatan yang baik perlu disertai hadiah.

7. Kemandirian

Menurut Supratiknya (1995), kemandirian retardasi mental yaitu:

a. Retardasi mental ringan

Penderita ini memiliki IQ antara 52-67, sesudah dewasa IQ mereka

setara dengan anak berusia 8-11 tahun. Penyesuaian sosial mereka

hampir setara dengan remaja normal, namun kalah dalam hal

imajinasi, kreativitas, dan kemampuan membuat penilaian-penilaian.

Mereka ini edukabel atau dapat dididik. Jika kasus diketahui sejak

dini dan selanjutnya mendapatkan program pendidikan luar biasa,

sebagian besar dari mereka mampu menyesuaikan diri dalam

pergaulan, mampu menguasai keterampilan akademik dan

keterampilan kerja sederhana, dan dapat menjadi warga

masyarakat yang mandiri.

b. Retardasi mental sedang

Golongan ini memiliki IQ 36-51. Sesudah dewasa IQ mereka setara

dengan anak-anak usia 4-7 tahun. Mereka trainable atau dapat

dilatih, yaitu apabila kasus diketahui secara dini, selanjutnya

didampingi oleh orang tua dan mendapatkan latihan secukupnya,

mereka dapat cukup mandiri dalam mengurus dirinya, termasuk bisa


22

produktif secara ekonomis, baik dalam perawatan di rumah atau di

panti asuhan.

c. Retardasi mental berat

Golongan ini memiliki IQ 20-35. Mereka sering disebut “dependent

retarded” atau penderita lemah mental yang tergantung. Retardasi

mental berat sering disebut penderita lemah mental yang

bergantung. Mereka dapat dilatih melakukan tugas-tugas

sederhana, sedangkan untuk semua hal lain yang lebih kompleks

mereka sangat tergantung pada pertolongan orang lain.

d. Retardasi mental sangat berat

Golongan ini memiliki IQ kurang dari 20. Mereka sering disebut

golongan “life support retarded” atau golongan lemah mental yang

perlu ditangani secara penuh agar dapat bertahan hidup.

Kemampuan adaptasi dan bicara mereka sangat terbatas.

Kesehatan mereka cenderung buruk dan rentan terhadap penyakit,

sehingga biasanya tidak berumur panjang. Jika mampu bertahan

hidup, mereka sepenuhnya harus dirawat.

2.1.7 Perkembangan Retardasi mental

Perkembangan anak retardasi mental ditinjuau dari perkembangan fisik,

kognitif, bahasa, emosi dan penyesuaian sosial serta keribadiannya, dapat

dilihat dari tanda-tandanya sebagai berikut:

a. Perkembangan fisik dan motorik anak retardasi mental terdapat

beberapa yang serupa dan sebagian lainnya tertinggal jauh dari anak

normal. Pada umumnya perkembangan fisik dan motorik anak tidak

secepat anak normal (Umdjani Martasuta, dalam Somantri, 2006).

Dengan demikian tingkat kesegaran jasmani anak setingkat lebih

rendah dari anak normal pada usia yang sama. Dalam hal mempelajari
23

bentuk-bentuk gerak fungsional, yang merupakan dasar dari semua

keterampilan gerak, anak memerlukan latihan secara khusus,

sementara anak normal dapat belajar keterampilan gerak fundamental

secara mudah pada saat bermain.

b. Perkembangan kognitif yang mencakup lima proses yaitu: persepsi,

memori, pemunculan ide-ide, evaluasi dan penalaran (Messen, Conger,

& Kagan, dalam Somantri, 2006), anak retardasi mental banyak

memiliki keterbasan, sehingga peroleh pengetahuannya kurang jika

dibandingkan dengan anak normal. Berdasarkan hasil penelitian, anak

yang memiliki kemampuan mental yang sama dengan anak normal,

ternyata tidak memiliki keterampilan kognitif yang sama. Dalam hal

memecahkan masalah, anak melakukannya bersifat coba- coba dan

salah (trial and error), sedangkan anak normal menggunakan kaidah

dan strategi. Kecepatan belajar anak jauh tertinggal oleh anak normal,

demikian juga ketepatan atau keakuratan responnya kurang. Akan

tetapi apabila diberi tugas yang bersifat diskriminasi visual, ternyata ia

hampir sama dengan anak normal. Memori anak pada ingatan jangka

pendek berbeda dengan anak normal, tetapi pada ingatan jangka

panjang sama halnya yang lain adalah karena fleksibitas mental yang

kurang, maka anak retardasi mental mengalami kesulitan dalam

mengkoordinasikan bahan yang akan dipelajari. (Somantri, 2006).

c. Perkembangan bahasa anak disabilitas intelektual umumnya tidak bisa

menggunakan kalimat majemuk, dalam percakapan sehari-hari ia

banyak menggunakan kalimat tunggal. Anak banyak mengalami

gangguan artikulasi, kualitas suara, dan ritme serta keterlambatan

dalam perkembangan bicara. Anak yang memiliki kemampuan mental


24

yang sama dengan anak normal, menunjukan perkembangan morfologi

dalam level yang sama dengan anak normal. Akan tetapi anak yang

mempunyai kemampuan mental yang lebih, perkembangan

morfologinya ada di bawah anak normal.

Dalam hal perkembangan kemampuam bahasa (semantik) anak

retardasi mental menunjukkan keterlambatan, ia lebih banyak

menggunakan kata-kata positif, kata-kata yang lebih umum, hampir

tidak pernah menggunakan kata-kata khusus dan kata ganti, serta lebih

sering mengunakan kata-kata tunggal. (Somantri, 2006).

d. Perkembangan dalam menerima informasi, menurut Fidler dan Nadel

(2007) anak retardasi mental kesulitan dalam memproses informasi,

sehingga sulit mengenali, dan mengelola emosi.

2.1.8 Pencegahan

Penyembuhan retardasi mental ini bisa dikatakan tidak ada dan fungsi sel-

sel otak yang rusak tidak mungkin dapat kembali normal, yang penting

adalah pencegahan primer yaitu usaha yang dilakukan untuk mencegah

terjadinya penyakit. Anak diberi perlindungan terhadap penyakit-penyakit

potensial yang dapat mengakibatkan retardasi mental contohnya melalui

imunisasi.

2.2 Pendidikan Kesehatan

2.2.1 Definisi Pendidikan Kesehatan

Pendidikan kesehatan merupakan proses perubahan perilaku yang

dinamis, dimana perubahan tersebut bukan hanya proses transfer materi

atau teori dari seseorang ke orang lain dan bukan pula seperangkat

prosedur, akan tetapi perubahan tersebut terjadi adanya kesadaran dari

dalam diri individu, kelompok atau masyarakat sendiri (Wahit, dkk 2006).
25

2.2.2 Tujuan Pendidikan Kesehatan

Tujuan dari pendidikan kesehatan menurut Undang-Undang Kesehatan

No. 23 tahun 1992 maupun WHO yakni :”Meningkatkan kemampuan

masyarakat untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan baik

kesehatan fisik, mental dan sosialnya sehingga produktif secara ekonomi

maupun sosial, pendidikan kesehatan disemua program kesehatan baik

pemberantasan penyakit menular, sanitasi lingkungan, gizi masyarakat

pelayanan kesehatan maupun program kesehatan lainnya”.

Tujuan ini diperinci sebagai berikut:

1. Menjadikan kesehatan sebagai sesuatu yang bernilai di masyarakat

2. Mendorong individu agar mampu secara mandiri atau kelompok

mengadakan kegiatan untuk mencapai tujuan hidup sehat

3. Mendorong pengembangan dan penggunaan secara tepat sarana

pelayanan kesehatan yang ada.

Tujuan pendidikan kesehatan, secara operasional telah diperinci oleh

Wong (1974) sebagai berikut:

1. Agar masyarakat memiliki tanggung jawab yang lebih besar pada

kesehatannya keselamatan lingkungan dan masyarakatnya.

2. Agar orang melakukan langkah-langkah dalam mencegah terjadinya

penyakit menjadi lebih parah dan mencegah keadaan ketergantungan

melalui rehabilitasi cacat yang disebabkan oleh penyakit

3. Agar orang memiliki pengertian yang lebih baik tentang eksistensi dan

perubahan-perubahan sistem dan cara memanfaatkannya dengan

efisiensi dan efektif.


26

4. Agar orang mempelajari apa yang dapat dia lakukan sendiri dan

bagaimana caranya, tanpa selalu meminta pertolongan kepada sistem

pelayanan kesehatan yang formal.

2.2.3 Ruang Lingkup Pendidikan Kesehatan

Ruang lingkup pendidikan kesehatan dapat dilihat dari berbagai dimensi,

antara lain dimensi sasaran pendidikan, dimensi tempat pelaksanaan atau

aplikasinya dan dimensi tingkat pelayanan kesehatan. Ditinjau dari:

1. Dimensi sasaran, pendidikan kesehatan dapat dikelompokkan menjadi

3 yaitu:

a. Pendidikan kesehatan individual dengan sasaran individu

b. Pendidikan kesehatan kelompok dengan sasaran kelompok

c. Pendidikan kesehatan masyarakat dengan sasaran masyarakat luas.

2. Dimensi tempat pelaksanaannya, pendidikan kesehatan dapat

berlangsung di berbagai tempat, dengan sendirinya sasarannya

berbeda pula, yaitu:

a. Pendidikan kesehatan di sekolah, dilakukan di sekolah dengan

sasaran siswa

b. Pendidikan kesehatan di rumah sakit, dilakukan di rumah-rumah

sakit dengan sasaran pasien atau keluarga pasien, di puskesmas

dan lain sebagainya.

c. Pendidika kesehatan di tempat-tempat kerja dengan sasaran buruh

atau karyawan yang bersangkutan.

3. Dimensi tingkat pelayanan kesehatan, pendidikan kesehatan dapat

dilakukan berdasarkan 5 tingkat pencegahan menurut Leavel & Clark

sebagai berikut:

a. Health promotion atau peningkatan kesehatan, yaitu peningkatan

status kesehatan masyarakat, dengan melalui beberapa kegiatan.


27

1) Pendidikan kesehatan

2) Penyuluhan kesehatan masyarakat (PKM) seperti penyuluhan

tentang gizi

3) Pengamatan tumbuh kembang anak

4) Pengadaan rumah sehat

5) Konsultasi perkawinan

6) Pendidikan sex

7) Pengendalian lingkungan

8) Program P2M (Pemberantasan Penyakit Menular) melalui

kegiatan imunisasi dan pemberantasan vector

9) Stimulasi dan bimbingan dini atau awal dalam kesehatan keluarga

dan asuhan keperawatan pada anak atau balita serta penyuluhan

tentang pencegahan terhadap kecelakaan.

10) Program kesehatan lingkungan dengan tujuan menjaga

lingkungan hidup manusia agar aman dari bibit penyakit seperti

bakteri, virus dan jamur serta mencegah kemungkinan

berkembangnya vector.

11) Asuhan keperawatan prenatal dan pelayanan keluarga berencana

(KB).

12) Perlindungan gigi

13) Penyuluhan untuk pencegahan keracunan

b. General and specific protection merupakan usaha kesehatan untuk

memberikan perlindungan secara khusus atau umum kepada

seseorang atau masyarakat. Bentuk perlindungan tersebut dapat

berupa:

1. Imunisasi dan hygiene perseoranagan

2. Perlindungan diri dari kecelakaan


28

3. Perlindungan diri dari lingkungan

4. Kesehatan kerja

5. Perlindungan diri dari carcinogen, toxin dan allergen

6. Pengendalian sumber-sumber pencemaran, dan lain-lain.

c. Early diagnosis and prompt treatment yaitu usaha yang dilakukan

karena rendahnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat

terhadap kesehatan dan penyakit, maka sering sulit mendeteksi

penyakit-penyakit yang terjadi di dalam masyarakat. Bentuk usaha

tersebut dapat dilakukan melalui:

1. Penemuan kasus secara dini

2. Pemeriksaan umum lengkap

3. Pemeriksaan massal

4. Survey terhadap kontak, sekolah dan rumah.

5. Penanganan kasus

d. Disability limitation atau pembatasan kecacatan. Kurangnya

pengertian dan kesadaran masyarakat tentang kesehatan dan

penyakit, maka sering masyarakat tidak melanjutkan

pengobatannya sampai tuntas. Oleh karena itu, pendidikan

kesehatan juga diperlukan pada tahap ini, dan dapat berupa:

1. Penyempurnaan dan intensifikasi terapi lanjutan

2. Pencegahan komplikasi

3. Perbaikan fasilitas kesehatan

4. Penurunan beban sosial penderita, dan lain-lain.

e. Rehabilitation atau rehabilitasi. Setelah sembuh dari suatu penyakit

tertentu, kadang-kadang orang menjadi cacat. Untuk memulihkan

cacatnya tersebut kadang-kadang diperlukan latihan-latihan

tertentu. Oleh sebab itu jelas pendidikan kesehatan diperlukan


29

bukan saja untuk orang yang cacat tersebut, tetapi juga perlu

pendidikan kesehatan kepada masyarakat.

4. Sasaran pendidikan kesehatan dibagi dalam tiga kelompok sasaran

yaitu:

a. Sasaran primer, sasaran langsung pada masyarakat segala upaya

pendidikan atau promosi kesehatan

b. Sasaran sekunder, sasaran para tokoh masyarakat adadt,

diharapkan kelompok ini pada umumnya akan memberikan

pendidikan kesehatan pada masyarakat disekitarnya.

c. Sasaran tersier, sasaran pada pembuat keputusan atau penentu

kebijakan baik ditingkat pusat maupun ditingkat daerah, diharapkan

dengan keputusan dari kelompok ini akan berdampak kepada

perilaku kelompok sasaran sekunder yang kemudian pada

kelompok primer.

2.2.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pendidikan Kesehatan

Beberapa faktor yang perlu diperhatikan agar pendidikan kesehatan dapat

mencapai sasaran (Saragih, 2010) yaitu :

a. Tingkat Pendidikan

Pendidikan dapat mempengaruhi cara pandang seseorang terhadap

informasi baru yang diterimanya. Maka dapat dikatakan bahwa semakin

tinggi tingkat pendidikannya, semakin mudah seseorang menerima

informasi yang didapatnya.

b. Tingkat Sosial Ekonomi

Semakin tinggi tingkat sosial ekonomi seseorang, semakin mudah pula

dalam menerima informasi baru.

c. Adat Istiadat

Masyarakat kita masih sangat menghargai dan menganggap adat


30

istiadat sebagai sesuatu yang tidak boleh diabaikan.

d. Kepercayaan Masyarakat

Masyarakat lebih memperhatikan informasi yang disampaikan oleh

orang-orang yang sudah mereka kenal, karena sudah ada kepercayaan

masyarakat dengan penyampai informasi.

e. Ketersediaan waktu di masyarakat

Waktu penyampaian informasi harus memperhatikan tingkat aktivitas

masyarakat untuk menjamin tingkat kehadiran masyarakat dalam

penyuluhan.

2.2.5 Metode Pendidikan Kesehatan

Menurut Notoadmojo (2012), berdasarkan pendekatan sasaran yang ingin

dicapai, penggolongan metode pendidikan ada 3 (tiga) yaitu:

a. Metode berdasarkan pendekatan perorangan

Metode ini bersifat individual dan biasanya digunakan untuk membina

perilaku baru, atau membina seorang yang mulai tertarik pada suatu

perubahan perilaku atau inovasi. Dasar digunakannya pendekatan

individual ini karena setiap orang mempunyai masalah atau alasan

yang berbeda-beda sehubungan dengan penerimaan atau perilaku

baru tersebut. Ada 2 bentuk pendekatannya yaitu bimbingan dan

penyuluhan (Guidance and Counceling) dan Wawancara

b. Metode berdasarkan pendekatan kelompok

Penyuluh berhubungan dengan sasaran secara kelompok. Dalam

penyampaian promosi kesehatan dengan metode ini kita perlu

mempertimbangkan besarnya kelompok sasaran serta tingkat

pendidikan formal dari sasaran. Ada 2 jenis tergantung besarnya

kelompok, yaitu Kelompok besar dan Kelompok kecil


31

c. Metode berdasarkan pendekatan massa

Metode pendekatan massa ini cocok untuk mengkomunikasikan

pesan- pesan kesehatan yang ditujukan kepada masyarakat. Sehingga

sasaran dari metode ini bersifat umum, dalam arti tidak membedakan

golongan umur, jenis kelamin, pekerjaan, status social ekonomi,

tingkat pendidikan, dan sebagainya, sehingga pesan-pesan kesehatan

yang ingin disampaikan harus dirancang sedemikian rupa sehingga

dapat ditangkap oleh massa.

Menurut Ismaniar (2010), terdapat sembilan metode pembelajaran yang

dapat digunakan sebagai pilihan dalam pemberian pendidikan

kesehatan pada anak, antara lain:

a. Metode Bercakap-cakap/ Tanya Jawab

Seorang pendidik dapat mengarahkan berbagai pikiran dan

perasaan yang sedang dialami anak dengan mengajak mereka

bercakap-cakap tentang berbagai hal. Banyak topik bisa dijadikan

bahan percakapan, contohnya adalah bercakap-cakap tentang topik

yang disukai oleh anak-anak seperti makanan kesukaan, binatang

kesayangan, cita-cita, dan termasuk percakapan tentang kesehatan.

Percakapan yang dilakukan pendidik dengan anak-anak juga bisa

diselingi dengan anjuran agama tentang perilaku hidup sehat, dari

kegiatan bercakap maka disamping pengetahuan perilaku hidup

sehat meningkat, juga dapat mengasa kemampuan berkomunikasi

dan berinteraksi dengan orang lain pada anak usia dini.

b. Metode Demonstrasi

Metode demonstrasi merupakan kegiatan pendidik untuk

memberikan contoh kepada anak, dan selanjutnya anak bisa


32

menirukan apa yang dicontohkan pendidik kepadanya. Metode

demonstrasi memiliki makna yang penting bagi anak, karena melalui

metode ini maka dapat membantu mengembangkan kemampuan

untuk melakukan segala pekerjaan secara teliti, cermat dan tepat;

dan membantu mengembangkan kemampuan peniruan dan

pengenalan secara tepat. Dalam pembelajaran perilaku hidup sehat

sebagai contoh, pendidik mencontohkan kepada anak-anak cara

mencuci tangan yang benar, mungkin saja dengan cara pendidik

langsung membawa anak ke kamar mandi.

Metode demonstrasi merupakan metode pengajaran dengan cara

memperagakan benda, kejadian, aturan, dan urutan melakukan

suatu kegiatan, baik secara langsung maupun tidak langsung yaitu

melalui penggunaan media pengajaran yang relevan dengan pokok

bahasan atau materi yang sedang disajikan (Syah M., 2000).

Metode demonstrasi adalah metode yang digunakan untuk

memperlihatkan sesuatu proses atau cara kerja suatu benda yang

berkenaan dengan bahan ajar (Djamarah, S.B., 2000).

c. Metode Bermain Peran

Bermain peran adalah permainan yang dilakukan anak untuk

memainkan peran tertentu, dengan menirukan perilaku seseorang

dalam melakukan kegiatan sehari-hari. Perkembangan anak yang

dapat dikembangkan melalui metode bermian peran adalah

perkembangan kognitif, afektif dan psikomotor. Menggunakan

metode bermain peran pendidik dapat mengembangkan imajinasi

anak tentang pentingnya perilaku hidup sehat.


33

d. Metode Pemberian Tugas

Metode ini memberikan kesempatan yang luas pada anak untuk

melaksanakan tugas berdasarkan petunjuk yang telah dipersiapkan

pendidik, sehingga anak mendapat pengalaman secara nyata dan

melaksanakan tugas secara tuntas. Apabila metode ini digunakan

dalam proses pembelajaran hidup sehat, maka anak dapat

memperoleh pengalaman langsung dan nyata dalam

pengembangan perilaku hidup sehat. Tugas yang diberikan kepada

anak bisa dalam bentuk tugas pribadi maupun tugas kelompok.

Tugas yang dilakukan anak secara kelompok sangat bermanfaat

untuk mengembangkan perilaku sehat, anak belajar bersosialisasi,

bekerja sama, dan memahami karakater teman-temannya serta

belajar mematuhi aturan bersama. Sementara tugas pribadi dapat

mengemban kemampuan kemandirian anak dalam memecahkan

masalah dan memperkuat konsep diri mereka masing- masing.

Penggunaan metode pemberian tugas secara teratur akan dapat

menanamkan kebiasaan dan sikap belajar yang positif dan juga

dapat memotivasi anak untuk belajar mandiri.

e. Metode Praktek Langsung

Metode praktek langsung digunakan dalam menumbuhkembangkan

perilaku hidup sehat pada anak usia dini karena dapat memberikan

pengalaman belajar yang praktis pada anak, dan ini tentunya sangat

baik bagi pengembangan pribadi yang sehat dan realistis. Dalam

implementasinya seorang pendidik yang menggunakan metode ini

dapat memberikan kesempatan yang seluas-luasnya pada anak

misalnya dalam mempraktekkan cara menjaga kebersihan tangan,

kaki, mulut dan lainnya, juga dalam melakukan kegiatan yang terkait
34

dengan upaya menjaga kebugaran tubuh seperti senam dan

kegiatan olah raga. Metode praktek langsung ini disamping

melibatkan aktivtas pikiran dan penalaran dalam memecahkan

masalah kehidupan sehari-hari, juga dapat mengembangkan sikap

dan keterampilan motorik dalam area kesehatan.

Kelebihan metode praktik :

1. Untuk memperoleh kecakapan motorik, seperti melafalkan kata-

kata atau kalimat, membuat alat-alat dan gerakan.

2. Untuk memperoleh kecakapan mental, seperti dalam perkalian,

menjumlahkan, pengurangan.

3. Untuk memperoleh kecakapan dalam bentuk asosiasi yang

dibuat, seperti hubungan huruf-huruf dalam ejaan, penggunaan

symbol, membaca peta.

4. Pembentukan kebiasaan yang dilakukan dan menambah

ketepatan serta kecepatan pelaksanaan.

5. Pemanfaatan kebiasaan-kebiasaan yang tidak memerlukan

konsentrasi dalam pelaksanaannya.

6. Pemanfaatan kebiasaan-kebiasaan membuat gerakan-gerakan

yang kompleks, rumit, menjadi lebih otomatis. Meningkatkan

motivasi dan gairah belajar peseta didik karena pekerjaan yang

dilakukan memberikan tantangan baru baginya.

7. Meningkatkan motivasi dan gairah belajar peserta didik karena

karena pekerjaan yang dilakukan memberikan tantangan baru

baginya.

8. Mempermudah dan memperdalam pemahaman tentang

berbagai teori yang terkait dengan praktik yang sedang

dikerjakan.
35

Kelemahan metode praktik :

1. Menghambat bakat dan inisiatif peserta didik, karena lebih

banyak penyesuaian

2. Menimbulkan penyesuaian dan diarahkan secara statis kepada

lingkungan

3. Kadang-kadang latihan yang dilaksanakan secara berulang-

ulang merupakan hal yang monoton, mudah membosankan.

4. Membentuk kebiasaan yang kaku, karena bersifat otomatis.

5. Dapat menimbulkan verbalisme

6. Memerlukan persiapan yang matang meliputi kegiatan dan

peralatan yang diperlukan.

f. Metode Bercerita

Metode bercerita adalah menyampaikan suatu cerita, dalam hal ini

tentunya yang mengandung unsur pendidikan dan dilakukan secara

lisan. Bercerita dapat dilakukan dengan memanfaatkan berbagai

media seperti menggunakan buku cerita bergambar, boneka, atau

media lainnya sehingga lebih menarik bagi anak usia dini. Metode

bercerita dapat melatih anak untuk belajar mendengarkan. Melalui

bercerita anak dapat memperoleh berbagai informasi baik tentang

pengetahuan, nilai dan sikap untuk dipahami dan diterapkan dalam

kehidupan sehari-hari.

g. Metode Bermain

Bermain adalah metode utama dalam membelajarkan anak usia

dini, karena sebagaimana sudah diketahui secara umum dunia anak

adalah bermain. Melalui kegiatan bermain akan mengembangkan

seluruh aspek kecerdasan anak, baik kecerdasan logika berpikir,

bahasa, keterampilan motorik, kemandirian, maupun kecerdasan


36

sosial emosional anak. Berbagai bentuk permainan bisa dipilih

dalam mengambangkan perilaku hidup sehat pada anak, dan anak

sebaiknya diberi kesempatan untuk memilih permainan yang

disukainya. Misalnya untuk mengembangkan perilaku sehat dari

aspek sosial emosional maka kegiatan sosio drama atau bermain

peran mungkin lebih tepat. Sementara, jika kita ingin

mengembangkan perilaku hidup sehat dari aspek fisik maka

kehiatan permainan berupa olah raga fisik dan senam sangat cocok.

h. Pembiasaan

Salah satu upaya untuk mengembangkan perilaku hidup sehat pada

anak usia dini adalah dengan metode pembiasaan. Melalui metode

pembiasaan yang dilakukan dalam perilaku hidup sehat sejak usia

dini makan itu akan menjadi gaya hidupnya sampai dewasa kelak.

Menggunakan cara yang bertahap dengan menunjukkan caranya,

pemberian kesempatan dan waktu yang cukup untuk berlatih secara

teratur maka perilaku sehat akan tertanam dalam kehidupan anak.

Banyak pembiasaan yang bisa kita ajarkan kepada anak

sehubungan dengan perilaku hidup sehat ini, misalnya kebiasaan

menjaga kebersihan, tidur dengan teratur, rajin berolahraga, dan

lain sebagainya. Dalam meode pembiasaan perilaku hidup sehat ini

kita tidak bisa luput dari “punishment” agar kebiasaan yang salah

dilakukan anak tidak dilakukannya kembali, sedangkan setiap anak

mampu melakukan kebiasaan hidup sehat diberi “reward” seperti

senyuman, anggukan kepala, pujian verbal, dan sebagainya

sehingga anak akan termotivasi untuk terus melakukan kebiasaan

yang baik tersebut.


37

i. Metode Bernyanyi

Melalui kegiatan menyanyi banyak sekali pesan-pesan pendidikan

yang bisa kita sampaikan kepada anak. Dengan demikian maka

pengetahuan dan keterampilan perilaku hidup sehat bisa kita

sampaikan kepada anak melalui kegiatan bernyanyi. Bernyanyi

adalah bagian dari kegiatan mengambangkan kecerdasan musik

anak. Musik bagi anak menyatu dalam pertumbuhan anak dimana

musik memiliki nilai tersendiri dalam mengembangkan kreativitas,

perasaan kebersamaan dalam kelompok, pertumbuhan fisik,

keterampilan intelektual dan pertumbuhan emosional. Banyak sekali

contoh nyanyian atau lagu yang berkembang di sekitar kita dan

mengandung pesan pengetahuan perilaku hidup sehat dan dapat

kita ajarkan kepada anak.

Bernyanyi merupakan salah satu unsur yang menciptakan

kegembiraan dan suasana riang. Pelatihan, pembiasaan,

pembelajaran dan pendidikan pada usia dini akan lebih efektif jika

digunakan juga media bernyanyi. Selain tidak terkesan menggurui,

memerintah atau melarang, juga disampaikan dengan suasana

riang gembira, mudah diingat dan tidak menyakitkan hati anak.

Lagu-lagu yang dinyanyikan pada usia ini perlu mencakup pelatihan

teknik berbicara, pengembangan kosakata, dan penguatan

kemampuan daya ingat.

Berdasarkan penelitian Verena (2013) menyebutkan bahwa anak

retardasi mental sedang sangat senang mendengarkan musik dan

bernyanyi. Pembelajaran dengan menggunakan lagu anak-anak


38

sebagai medianya adalah salah satu upaya dalam menyampaikan

materi pembelajaran agar anak termotivasi dan suasana belajar

menjadi menyenangkan, sehingga kemampuan anak retardasi

mental sedang dalam menyimak suatu materi pelajaran akan mudah

menghafal dan mengingatnya (Verena, 2013).

Kartini (2012) mengatakan bahwa melalui lagu anak dapat

berinteraksi verbal maupun non verbal dengan lingkungan atau

orang yang berada disekitarnya. Motorik halus dan kasar akan

terlatih dengan melakukan gerakan-gerakan yang berpedoman

pada lirik lagu yang sedang dinyanyikan. Bernyanyi dapat melatih

kognitif dan perkembangan bahasa anak. Bernyanyi tentu saja tidak

lepas dari kata dan kalimat yang harus diucapkan. Kosa kata dan

ingatan memori otak anak dapat dilatih dan ditingkatkan melalui

bernyanyi.

Menurut Syamsuri Jari, sebagaimana dikutip oleh Setyoadi (dalam

Fadlillah, 2012), menyebutkan bahwa di antara manfaat

penggunaan lagu (menyanyi) dalam pembelajaran adalah sebagai

berikut:

a) Sarana relaksasi dengan menetralisasi denyut jantung dan

gelombang otak.

b) Menumbuhkan minat dan menguatkan daya tarik pembelajaran.

c) Menciptakan proses pembelajaran lebih humanis dan

menyenangkan.

d) Sebagai jembatan dalam mengingat materi pembelajaran.

e) Membangun retensi, menyentuh emosi dan rasa etika peserta


39

didik

f) Proses internalisasi nilai yang terdapat pada materi

pembelajaran.

g) Mendorong motivasi belajar peserta didik.

De Porter dalam Rachmayanti (2011) menyatakan dari kutipan yang

berasal dari Magnesen, berpendapat bahwa 10% kita belajar dari

apa yang kita baca, 20% kita belajar dari apa yang kita dengar, 30%

kita belajar dari apa yang kita lihat, 50% kita belajar dari apa yang

kita lihat dan dengar, 70% kita belajar dari apa yang kita katakan,

dan 90% kita belajar dari apa yang kita katakan dan kita lakukan.

Pada penelitian ini, peneliti menggunakan metode praktik dan

bernyanyi karena disesuaikan dengan karakteristik anak retardasi

mental sedang.

2.2.6 Alat Bantu Pendidikan Kesehatan

Fitriani (2011) mengemukakan pada garis besarnya, alat bantu pendidikan

sebagai berikut:

1. Alat bantu lihat (visual aids) yang berguna dalam membantu

menstimulasi indera mata (penglihatan) pada waktu terjadinya

proses pendidikan. Alat ini ada dua bentuk, yaitu alat yang

diproyeksikan (slide, film, film strip dan sebagainya) dan alat-alat yang

tidak diproyeksikan.

2. Alat bantu dengar (audio aids) yaitu alat yang dapat membantu untuk

menstimulasi indra pendengar pada waktu proses penyampaian dalam

pendidikan, misalnya piringan hitam, radio, pita suara, dan

sebagainya.
40

3. Alat bantu lihat/dengar (audio-visual aids) seperti televisi dan video

cassete.

Disamping pembagian tersebut, alat peraga juga dapat dibedakan

menurut pembuatan dan penggunaannya :

1. Alat peraga yang rumit (complicated) seperti film, film strip, slide, dan

sebagainya yang menggunakan listrik dan proyektor.

2. Alat peraga sederhana seperti leaflet, model buku bergambar, benda-

benda yang nyata seperti buah-buahan dan sebagainya. Selain itu

juga poster, spanduk, leaflet, flanel graph, boneka wayang dan

sebagainya.

2.2.7 Media Pendidikan Kesehatan

Fitriani (2011) Media kesehatan berdasarkan fungsinya dibagi menjadi 3,

yakni:

a. Media cetak yaitu alat untuk menyampaikan pesan-pesan kesehatan,

antara lain: booklet, leaflet, flyer, flip chart, rubrik, poster, foto.

b. Media elektronik yaitu alat untuk menyampaikan pesan atau informasi

kesehatan, antara lain: televisi, radio, video (slide dan film strip)

c. Media papan yaitu papan yang dipasang di tempat-tempat umum

dapat dipakai dan diisi dengan pesan dan informasi kesehatan.

2.3 Keterampilan

2.3.1 Definisi Keterampilan

Keterampilan berasal dari kata terampil yang berarti cakap, mampu, dan

cekatan. Iverson (2001) menyatakan keterampilan membutuhkan

pelatihan dan kemampuan dasar yang dimiliki setiap orang dapat lebih

membantu menghasilkan sesuatu yang lebih bernilai dengan lebih cepat.


41

Robbins (2000) menyatakan keterampilan dibagi menjadi 4 kategori,

yaitu:

1. Basic Literacy Skill : Keahlian dasar yang sudah pasti harus dimiliki

oleh setiap orang seperti membaca, menulis, berhitung,serta

mendengarkan.

2. Technikal Skill : Keahlian secara teknis yang didapat melalui

pembelajaran dalam bidang teknik seperti mengoperasikan computer

dan alat digital lainnya.

3. Interpersonal Skill : Keahlian setiap orang dalam melakukan

komunikasi satu sama lain seperti mendengarkan seseorang, member

pendapat dan bekerja secara tim.

4. Problem Solving : Keahlian seseorang dalam memecahkan masalah

dengan menggunakan logika atau perasaannya.

2.3.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keterampilan

Notoadmodjo (2007) menyatakan keterampilan merupakan aplikasi dari

pengetahuan sehingga tingkat keterampilan seeorang berkaitan dengan

tingkat pengetahuan, dan pengetahuan dipengaruhi oleh :

a. Tingkat Pendidikan

Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, semakin baik

pengetahuan yang dimiliki. Sehingga, seseorang tersebut akan lebih

mudah dalam menerima dan menyerap hal-hal baru. Selain itu, dapat

membantu mereka dalam menyelesaikan hal-hal baru tersebut.

b. Umur, ketika umur seseorang bertambah maka akan terjadi

perubahan pada fisik dan psikologi seseorang. Semakin cukup umur

seseorang, akan semakin matang dan dewasa dalam berpikir dan

bekerja.
42

c. Pengalaman

Pengalaman dapat dijadikan sebagai dasar untuk menjadi lebih baik

dari sebelumnya dan sebagai sumber pengetahuan untuk

memperoleh suatu kebenaran. Pengalaman yang pernah didapat

seseorang akan mempengaruhi kematangan seseorang dalam

berpikir dalam melakukan suatu hal.

Sedangkan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi keterampilan secara

langsung menurut Widayatun (2005), yaitu :

a. Motivasi

merupakan sesuatu yang membangkitkan keinginan dalam diri

seseorang untuk melakukan berbagai tindakan. Motivasi inilah yang

mendorong seseorang bisa melakukan tindakan sesuai dengan

prosedur yang telah diajarkan.

b. Pengalaman

merupakan suatu hal yang akan memperkuat kemampuan seseorang

dalam melakukan sebuah tindakan (keterampilan). Pengalaman

membangun seseorang untuk bisa melakukan tindakan-tindakan

selanjutnya menjadi lebih baik yang dikarenakan sudah melakukan

tindakan-tindakan di masa lampaunya.

c. Keahlian

keahlian yang dimiliki seseorang akan membuat terampil dalam

melakukan keterampilan tertentu. Keahlian akan membuat seseorang

mampu melakukan sesuatu sesuai dengan yang sudah diajarkan.


43

2.4 Mencuci Tangan

2.4.1 Definisi Mencuci Tangan

Cuci tangan merupakan suatu kegiatan membersihkan kotoran yang

melekat pada kulit dengan memakai sabun dan air yang mengalir

(Depkes, 2007). Pernyataan ini serupa dengan Potter (2005) yang

menjelaskan bahwa cuci tangan adalah aktivitas membersihkan tangan

dengan cara menggosok dan menggunakan sabun serta membilasnya

pada air yang mengalir.

Mencuci tangan adalah proses menggosok kedua permukaan tangan

dengan kuat secara bersamaan menggunakan zat yang sesuai dan

dibilas dengan air dengan tujuan menghilangkan mikroorganisme

sebanyak mungkin (Jonshon, 2005). Brooker (2008) juga mengatakan

bahwa cuci tangan (hygiene tangan) adalah satu satunya prosedur

terpenting dalam pengendalian infeksi nosokomial.

2.4.2 Tujuan Mencuci Tangan

Tujuan dari mencuci tangan menurut Depkes RI tahun 2007 adalah salah

satu bentuk mencegah dari menularnya suatu infeksi. Sedangkan

menurut Ananto (2006) yaitu bentuk preventif terhadap kontaminasi silang

(orang ke orang atau benda yang terkontaminasi ke orang) suatu penyakit

atau kontaminasi kuman.

2.4.3 Indikasi Waktu Mencuci Tangan

Indikasi waktu untuk mencuci tangan menurut Kemenkes RI (2013)

adalah:

a. Setiap saat tangan kita kotor (seperti setelah memegang binatang,

uang, berkebun dll)

b. Sesudah BAB (buang air besar)


44

c. Sebelum mengambil makanan

d. Sesudah bersin, batuk ataupun membuang ingus

e. Sesudah pulang dari bepergian

f. Sesudah bermain

2.4.4 Cuci Tangan Bersih

Mencuci tangan bersih adalah membersihkan tangan dengan sabun dan

air bersih yang mengalir atau yang disiramkan. Waktu yang penting cuci

tangan bersih dengan sabun adalah sebelum makan dan sesudah makan,

setelah dari toilet (setelah buang air kecil dan buang air besar), sebelum

mengobati luka, sebelum melakukan kegiatan apapun yang memasukkan

jari-jari ke dalam mulut dan mata, setelah bermain dan olahraga, setelah

mengusap hidung atau bersin ditangan, setelah buang sampah, setelah

menyentuh hewan/unggas termasuk hewan peliharaan (Potter, 2005).

WHO (2009) mengeluarkan regulasi tentang peraturan mencuci tangan

baik pada kalangan medis maupun kalangan umum (perseorangan).

Prosedur dalam melakukan kegiatan mencuci tangan bersih juga telah

diatur jelas. Prosedur cuci tangan bersih dengan sabun terdiri dari 11

langkah adalah sebagai berikut: Basahi kedua tangan dengan air mengalir,

gunakan sabun cair/batangan pada seluruh permukaan tangan, gosok

kedua telapak tangan hingga timbul busa pada seluruh permukaan tangan,

telapak tangan kanan di atas punggung kiri dengan jari menyilang dan

sebaliknya, gosok telapak tangan kanan dan kiri dengan jari menyilang,

dengan jari saling bertautan, putar/gosok kedua telapak tangan, gosok

jempol kiri dengan arah memutar (rotasi) dengan tangan kanan

menggenggam jempol tangan kiri dan sebaliknya, gosok dengan arah

memutar, jari-jari tangan kanan menggenggam di telapak tangan kiri dan


45

sebaliknya, bilas dengan air bersih mengalir, keringkan tangan dengan

handuk/tissue sekali pakai, dan tutup kran air (WHO, 2009).

National Health Service Greater Glasgow and Clyde (NHSGGC) telah

mengeluarkan aturan cuci tangan bersih dengan 6 langkah yaitu gosok

kedua telapak tangan, gosok punggung dan sela-sela jari tangan kiri

dengan tangan kanan dan sebaliknya, gosok kedua telapak tangan dan

sela-sela jari, jari-jari sisi dalam dari kedua tangan saling mengunci, gosok

ibu jari kiri berputar dalam genggaman tangan kanan dan lakukan

sebaliknya, gosokkan dengan memutar ujung jari-jari tangan kanan di

telapak tangankiri dan sebaliknya (NHSGGC, 2017).

2.4.5 Manfaat Mencuci Tangan

Cuci tangan dapat berfungsi sebagai prevensi penyakit melalui dengan

teknik membunuh kuman penyakit yang ada ditangan. Dengan

mencuci tangan, maka tangan akan menjadi bersih dan bebas dari

kuman. Jika tangan dalam keadaan bersih maka dapat mencegah

penularan penyakit seperti cacingan, penyakit kulit, diare, Infeksi saluran

pernafasan akut (ISPA) dan flu burung (Proverawati dan Rahmawati,

2012).

2.4.6 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keterampilan Cuci Tangan

Retardasi mental

Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi keterampilan aktivitas mencuci

tangan anak retardasi mental dibagi menjadi dua yaitu: faktor internal dan

eksternal (Sandra, 2010).

a. Faktor Internal

Faktor internal adalah faktor yang ada pada diri anak retardasi mental

yaitu:
46

1) Usia

Usia anak retardasi mental lebih difokuskan pada perkembangan

mentalnya. Ketika anak retardasi mental berusia 6 tahun maka usia

mentalnya setara dengan anak berusia 4 tahun, sehingga anak tidak

dapat dipaksakan untuk menerima materi pembelajaran seperti anak

normal. Selain itu, Perbedaan umur masing-masing anak retardasi

mental menentukan tingkat pertumbuhan dan perkembangan

seseorang serta pengalaman seseorang sehingga dapat disimpulkan

bahwa semakin tua seseorang maka tingkat pertumbuhan dan

perkembangan serta pengalamannya juga akan bertambah.

2) Kognitif

Anak retardasi mental memiliki kemampuan yang terbatas dan

kesulitan dalam menyelesaikan masalah. Kondisi ini menyebabkan

anak kesulitan memahami materi yang dijelaskan oleh guru. Materi

pembelajaran harus disesuaikan dengan kemampuan masing-

masing anak dengan retardasi mental.

3) Kondisi Fisik

Anak retardasi mental memiliki daya tahan tubuh yang lemah.

Apabila anak tersebut tidak mampu merawat diri maka anak akan

lebih mudah terserang penyakit. Selain itu, kelemahan motorik yang

dapat menghambat anak melakukan aktivitas.

4) Jenis Kelamin

Secara umum anak laki-laki lebih aktif bermain jika dibandingkan

dengan anak perempuan. Anak laki-laki cenderung lebih aktif

bergerak dibanding anak perempuan. Jenis kelamin laki-laki dan

perempuan memiliki pengaruh terhadap agresifitas anak bukan pada


47

kemampuan cuci tangan anak. Hasil penelitian diperkuat oleh

McDougall (dalam Rahmawati, 2011) menyatakan tidak terdapat

hubungan yang signifikan antara anak laki-laki dan perempuan usia

sekolah khususnya anak retardasi mental dalam keterbatasan

melakukan aktivitas sehari-hari. Anak laki-laki dan perempuan

mengalami keterbatasan jika anak dalam kondisi sakit.

5) Lama Sekolah

Semakin sering anak retardasi mental diberikan latihan serta

demonstrasi tertentu yang bersifat sederhana akan membantu anak

mengingat latihan yang diberikan oleh guru tetapi tingkat

intelejensinya tidak akan meningkat seperti anak normal pada

umumnya. Lamanya anak sekolah akan mempengaruhi kemampuan

anak retardasi mental. Anak retardasi mental yang lama sekolah

akan sering terpapar dan sering diberikan pelatihan dengan frekuensi

teratur maka anak akan lebih mudah mengingat bentuk kegiatan

yang telah dilakukan. Pengulangan latihan tertentu dan bervariasi

memudahkan anak mengingat dan meminimalkan rasa bosan pada

anak (Santyasa, 2007).

b. Faktor Eksternal

Faktor eksternal adalah faktor yang muncul dari luar anak retardasi

mental.

1) Lingkungan

Apabila di lingkungan terdekat anak disabilitas intelktual yaitu orang

tua tidak mendukung kemampuan anak merawat diri seperti

mengajarkan anak melatih merawat diri sendiri maka anak selalu

bergantung pada orang lain untuk memenuhi kebutuhannya.


48

2) Pendidikan

Pendidikan orang tua akan mempengaruhi pemberian asuhan pada

anak. Orang tua yang pendidikannya rendah akan kesulitan

mengajarkan anaknya melatih merawat diri sendiri.

2.4.7 Cuci Tangan pada Anak Retardasi mental

Karakteristik anak retardasi mental adalah mereka tidak mampu untuk

melakukan aktivitas yang berhubungan dengan akademik, tidak memiliki

inisiatif, kekanak-kanakan, sering melamun atau sebaliknya hiperaktif serta

tidak mampu untuk beradaptasi dalam lingkungan sosialnya (Muttaqin,

2008). Anak retardasi mental memiliki keterbatasan kemampuan untuk

berpikir dan secara fisik anak mengalami kelainan, namun sebagian anak

retardasi mental masih memiliki potensi untuk belajar memelihara diri

seperti makan, minum, berpakaian, memelihara kebersihan dan menjaga

keselamatan. Anak dengan retardasi mental mampu menunjukkan bahwa

mereka dapat dilatih dengan keterampilan sederhana (Nuryanti, 2008)

Kegiatan mencuci tangan merupakan kegiatan yang terdiri dari beberapa

langkah sederhana. Individu normalnya mampu melakukan kegiatan cuci

tangan dengan mudah tanpa kesulitan, tetapi berbeda dengan anak

retardasi mental. Kegiatan cuci tangan bagi anak tersebut akan terasa sulit

dilakukan karena keterbatasan berpikir yang dimilikinya. Perlu adanya

metode yang tepat sehingga pelaksanaan kegiatan cuci tangan dapat

diajarkan pada anak dengan tepat. Prosedur mencuci tangan bersih

berpedoman pada standar NHSGGC.

Anak retardasi mental memiliki keterbatasan dalam memahami

pembelajaran, oleh karena itu diperlukan cara lain yang dapat


49

menumbuhkan motivasi belajar anak. Salah satu cara yang dapat

menumbuhkan semangat belajar anak tersebut menggunakan metode

praktik dan bernyanyi. Modifikasi belajar menggunakan praktik dan

bernyanyi akan lebih menyenangkan bagi anak-anak selama mengikuti

pembelajaran.

Anda mungkin juga menyukai