Anda di halaman 1dari 6

TUGAS MATA KULIAH

“AGROFORESRTRI”

Disusun Oleh :

Nama : Vanensya Vernanda Surya U 165040200111163


Dimas Adiwibowo 165040207111118
Kelas :E
Dosen : Prof. Ir. Kurniatun Hairiah, PhD

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2018
“Smallholder farmers’ perceptions of climate change and the roles of trees
and agroforestry in climate risk adaptation: evidence from Bohol,
Philippines”
“Persepsi petani kecil tentang perubahan iklim dan peran pohon dan agroforestri
dalam adaptasi risiko perubahan iklim: bukti dari Bohol, Filipina”
1. Pengantar
Perubahan iklim sangat berpengaruh bagi pertanian dan keamanan pangan.
Kondisi iklim yang buruk menyebabkan berbagai perubahan iklim yang menyebabkan
sumberdaya air semakin langka. Kelangkaan sumberdaya air menyebabkan produksi
semakin menurun. Para petani kecil yang bergantung pada kegiatan pertanian adalah yang
paling rentan dan tidak dapat beradaptasi dengan perubahan iklim ini. Di Filipina petani
dan nelayan sangat terbebani kehidupannya akibat dari perubahan iklim, yang
menyebabkan golongan petani dan nelayan adalah kelompok termiskin di Filipina.
Produksi pertanian dan pangan sangat tergantung pada ekosistem dan layanan yang
mereka berikan. Layanan lingkungan adalah manfaat nyata dan tidak berwujud yang
diperoleh orang dari lingkungannya untuk mencapai kesejahteraan (Millennium
Ecosystem Assessment, MEA 2003 ). Ekosistem menyediakan berbagai kebutuhan
manusia, diantaranya makanan, air, kayu, ekowisata, dan sebagai pelestari berbgai
kegiatan budaya dan keagamaan. Ekosistem yang baik akan memberikan layanan
lingkungan untuk memenuhi kebutuhan manusia untuk mencapai, kesejahteraan.
Perubahan iklim yang ekstrem mengancam keberlanjutan ekosistem dan
kesejahteraan manusia. Berbagai penelitian menyatakan efek negatif dari peningkatan
suhu pada hasil produksi tanaman utama seperti beras dan jagung, kuantitas dan kualitas
pakan ternak, dan kejadian hama dan penyakit. suhu permukaan laut yang meningkat juga
mengakibatkan kerugian produksi miliaran peso dari sektor perikanan Filipina. Dampak
dari perubahan iklim ini meningkatkan kerentanan manusia terhadap perubahan iklim,
terutama pada daerah perkotaan yang miskin dan marginal. “Climate smart” agriculture
merupakan salah satu cara untuk menangkal, berfokus pada membangun sistem produksi
berkelanjutan yang mampu menahan guncangan biofisik dan sosial-ekonomi sambil
memitigasi emisi gas rumah kaca, dan memastikan keamanan pangan dan pembangunan
secara keseluruhan. Penelitian menunjukkan bahwa agroforestri merupakan cara yang
tepat untuk mengurangi dampak dari perubahan iklim. Penelitian yang dilakukan oleh
Lasco et al menemeukan petani – petani kecil di DAS Pantabangan – Carranglan dapat
mengatasi perubahan iklim, diantaranya dengan reboisasi dan agroforestri.
Pohon telah mendukung sepertiga dari populasi pedesaan dengan memberikan
layanan lingkunan berupa penyediaan dan pengaturan dalam pertanian. Agroforestri
adalah pendekatan penggunaan lahan untuk memaksimalkan layanan lingkungan melalui
integrase pohon dan semak dengan sistem tanaman dana tau ternak. Penelitian
menunjukkan dengan adanya pohon dan semak di lahan pertanian dapat mencegah petani
terhadap tekanan biofisik dan sosial ekonomi dengan memberikan makanan , sumber
pangan alternatif, penyedia pakan ternak, memperbaiki sistem agroekologi, serta
meningkatkan efisiensi penggunaan air. Namun dengan terbatasnya data empiris tentang
bagaimana pohon dan sistem agroforestri mempengaruhi kemampuan masyarakat
setempat untuk mengatasi secara khusus risiko dan bahaya terkait iklim, banyak aspek
spesifik lokasi penerapan agroforestri yang belum jelas.
Studi ini mengeksplorasi hubungan antara pengetahuan petani dan persepsi
tentang perubahan iklim dan layanan lingkunan yang disediakan oleh pohon, dan
bagaimana pertanian sistem pohon dapat mempengaruhi pengambilan keputusan dan
perilaku mereka dalam menghadapi risiko iklim. Lebih khususnya studi ini meneliti
persepsi petani tentang perubahan iklim di Bohol, dan peran yang dimainkan pohon
dalam adaptasi risiko iklim. Dengan menyelidiki pengetahuan petani kecil mengenai
sistem pertanian pohon dan layanan lingkunan dalam skala individu dan rumah tangga,
serta mengetahui kemampuan petani dalam memahami perubahan iklim, dan peran pohon
serta mempromosikan potensi sistem pertanian bebrasis pohon.
Lokasi penelitian dilaksanakan di dua kota yaitu pilar dan dano di daerah DAS
Wahig-Inabanga di provinsi pulau Bohol, yang terletak di Visayas Tengah (Wilayah VII)
di Filipina. Bohol adalah salah satu pulau kecil di Filipina yang rentan terhadap bahaya
iklim. DAS Wahig-Inabanga adalah sekitar 61.269 ha, meliputi 16 dari 47 kota Bohol.
Dua pertiga dari luas lahan provinsi digunakan untuk produksi pertanian, sementara
seperempat diklasifikasikan sebagai domain publik (yaitu, hutan, hutan bakau, dan taman
nasional). penduduk Bohol-sumber utama pendapatan dan mata pencaharian adalah
pertanian. Tanaman utama yang diproduksi di provinsi Bohol termasuk beras, kelapa,
pisang, kelapa sawit, jagung, mangga, dan tanaman umbi-umbian seperti singkong, ubi
jalar, ubi ungu dan talas. Dalam hal ternak, sektor yang paling penting (berdasarkan
volume produksi) masing-masing adalah industri babi, unggas dan ternak.

Iklim provinsi diklasifikasikan dalam 4 (IV) tipe, dicirikan oleh curah hujan yang
kurang lebih merata sepanjang tahun sehingga cocok untuk pertanian tadah hujan.
Namun, data curah hujan terbaru dari Badan Layanan Atmosfer, Geofisika dan Astronomi
Filipina (PAGASA) menunjukkan peningkatan dari Januari hingga Maret (Q1), dengan
curah hujan tertinggi yang terdaftar pada 2011 dan 2008. Curah hujan yang sedikit
meningkat diamati dari April hingga Juni (Q2) dan Juli hingga September (Q3), dengan
curah hujan tertinggi terbaru untuk kuartal yang dicatat pada tahun 1995. Di sisi lain,
curah hujan sedikit menurun terlihat dari Oktober hingga Desember ( Q4), dengan curah
hujan tinggi terbaru untuk kuartal yang dicatat pada tahun 2000, 2001 dan 2003.
Proyeksi iklim untuk Bohol pada tahun 2020 diperkirakan mengalami kenaikan
suhu sekitar 1oC antara bulan September dan Februari, dan kenaikan 1,2 o C antara bulan
Maret dan Agustus. Juga pada tahun 2020, jumlah curah hujan diperkirakan akan
berkurang sebanyak 7,1% selama bulan-bulan musim panas (yaitu, Maret, April dan
Mei), sementara suhu akan diperkirakan antara 4,5 dan 10%. Perubahan iklim seperti itu
dapat memiliki dampak langsung pada produktivitas pertanian dan pada gilirannya,
ketahanan pangan di provinsi tersebut.

2. Pengumpulan data
Kelompok fokus masyarakat (FGD) dilakukan di barangay di kota Danao dan
Pilar pada Agustus 2012. Unit pemerintah daerah membantu tim studi dalam menetapkan
kriteria seleksi untuk responden, yang meliputi petani kecil, perwakilan masyarakat
berbasis organisasi petani, dan pejabat pemerintah daerah. Petani dan perwakilan
organisasi petani ditempatkan di dalam satu fokus grup, terpisah dengan pejabat
pemerintah lokal dan perwakilan masyarakat. FGD memberikan pelatihan serta langkah
langkah untuk mencapai target. Pertanyaan diajukan kepada peserta FGD dalam dialek
lokal (Boholanon) untuk memastikan pemahaman yang lebih baik antara fasilitator dan
responden.
Terdapat 3 kegiatan utama. Pertama, latihan pemetaan sumber daya untuk
mengkarakterisasi lokasi penelitian dan mengidentifikasi produk pertanian daerah
tersebut. Kedua, peserta diminta untuk mengingat dan mengidentifikasi perubahan iklim
dan peristiwa besar terkait iklim antara tahun 1980 dan 2012 serta dampaknya terhadap
produksi pertanian, dan mekanisme koping yang sesuai serta strategi adaptasi yang telah
atau sedang digunakan. Strategi adaptasi kemudian dinilai oleh para peserta sesuai
dengan kepentingannya. Akhirnya, kegiatan ketiga menampilkan presentasi informatif
singkat pada klasifikasi fungsional terhadap layanan lingkungan berdasarkan lkerangka
MEA. Setelah itu, peserta FGD menyebutkan berbagai penggunaan pohon di dalam dan
di luar pertanian, dan menghubungkannya dengan fungsi mereka dalam membantu petani
beradaptasi dengan risiko iklim. Respons mengenai peran pohon kemudian
diklasifikasikan ke dalam pengelompokan fungsional untuk ES, dan diberi peringkat
sesuai dengan kepentingan petani. Survei ini mencakup total 636 rumah tangga, mewakili
setidaknya 10% dari total populasi pertanian di masing-masing desa yang dipilih. Rumah
tangga diidentifikasi melalui pengambilan sampel acak, tetapi responden (yaitu kepala
rumah tangga atau pasangannya) diwawancarai berdasarkan ketersediaan.
Sampel survei rumah tangga mencakup proporsi yang hampir sama dari
responden pria (52%) dan wanita (48%). Usia rata-rata responden adalah 49 tahun,
dengan responden termuda pada usia 21 tahun dan tertua pada usia 88 tahun. Hanya 2%
dari responden tidak memiliki pendidikan formal, sebagian besar responden telah
menepuh setidaknya beberapa tahun sekolah dasar. Rumah tangga rata-rata memiliki
sekitar lima tingkatan, yang sebagian besar berada di tingkatan rendah dan menengah.
Satu dari tiga rumah tangga bergantung sepenuhnya pada pendapatan di pertanian,
sementara sisanya memiliki akses ke (hingga empat) sumber pendapatan off farm dan non
– farm. Sebagian besar petani mengelola kurang dari 1 ha total lahan pertanian, dengan
sebagian besar memiliki antara satu dan tiga bidang pertanian. Secara umum, lahan
dimiliki, atau di bawah perjanjian sewa-guna-usaha.
Ada enam sistem produksi pertanian yang berbeda di wilayah studi. Dua dari
setiap tiga tambak biasanya bercampur tanaman, pohon, dan ternak (agrosil-vopasture),
sementara yang lain hanya menggabungkan tanaman dan pohon (agrisilviculture), atau
tanaman dan ternak (agropasture). Sebagian kecil petani juga hanya mempraktikkan
budidaya tanaman atau kehutanan. Ada empat produk pertanian utama di daerah ini: biji-
bijian, buah-buahan dan sayuran, ternak, dan kayu. Sebagian besar lahan pertanian hanya
ditanami dengan satu tanaman sekaligus. Padi dan jagung adalah tanaman biji-bijian yang
paling umum, sementara sayuran seperti terong, kacang panjang dan okra juga biasa
ditanam untuk konsumsi dan pendapatan. Sekitar empat dari lima rumah tangga juga
melaporkan memiliki setidaknya satu jenis ternak. Pohon dan semak sering digunakan
untuk mendefinisikan batas-batas pertanian, sementara rumah-rumah dipagari dengan
pohon-pohon berbuah untuk konsumsi dan pendapatan rumah tangga. Spesies pohon
buah yang paling umum di daerah penelitian termasuk nangka, mangga, pisang, dan
pomelo. Demikian pula, 70% petani juga memiliki setidaknya satu jenis kayu / pohon
perkebunan di atau dekat pertanian mereka, yang paling populer adalah gmelina, mahoni,
molave, dan auri, dengan kelapa yang dinilai kayu dan buahnya.
Biasanya petani dengan pengalaman yang lebih (sudah berumur) lebih mungkin
untuk merasakan perubahan iklim. Petani berpengalaman cenderung lebih dapat
beradaptasi dengan perubahan iklim termasuk adaptasi dengan menanam pohon. Gender
dan pendidikan bukanlah indikator pengaruh persepsi perubahan iklim, mengamati bahwa
responden yang tidak memiliki pendidikan formal secara signifikan lebih kecil
kemungkinannya untuk memahami pengaturan layanan lingkungan, budaya dan
pendukung yang disediakan oleh pohon dan hutan. Kelompok sosial Dalam beberapa
konteks, petani yang menjadi anggota organisasi lokal ternyata lebih cenderung menanam
pohon untuk beradaptasi dengan perubahan iklim. Lokasi seperti ketinggian, desa, kota,
atau negara terkadang mempengaruhi persepsi perubahan iklim, dan adaptasi, contohnya
persepsi petani Afrika tentang perubahan iklim, dan menemukan bahwa petani yang
tinggal di Burkina Faso, Mesir, Etiopia, Afrika Selatan, dan Niger secara signifikan lebih
mungkin merasakan perubahan suhu, sementara petani yang tinggal di Ghana, Niger,
Senegal dan Ethiopia juga secara signifikan lebih mungkin mengenali perubahan dalam
pola curah hujan.
Kekayaan dan pendapatan juga mempengaruhi presepsi terhadap perubahan
iklim. Petani subsisten lebih mungkin untuk mengamati perubahan suhu dan curah hujan
daripada petani yang memiliki pendapatan lebih tinggi, mungkin karena ketergantungan
mereka yang lebih besar pada sumber daya alam untuk mata pencaharian mereka. Petani
dengan akses ke layanan penyuluhan lebih cenderung beradaptasi dengan perubahan
iklim karena selain mendapat sumber dukungan teknis, layanan tersebut juga memberikan
informasi tentang perubahan iklim dan dampaknya.

3. Hasil dan Diskusi


Adanya presepsi atas perubahan iklim di Bohol. Petani dan anggota masyarakat
mengakui adanya perubahan iklim. Fenomena iklim yang disebut El Nin~o Southern
Oscillation (El Nin~o dan La Nin~a). El Nin~o merupakan peristiwa yang dibawa oleh
pemanasan dari Timur dan Samudra Pasifik bagian Tengah yang dikaitkan dengan
terjadinya kekeringan besar di Filipina, yang telah berulang dalam interval yang lebih
pendek dalam beberapa tahun terakhir.Sebuah Lembaga mengeksplorasi faktor penentu
persepsi petani dari perubahan iklim. Hasil menunjukkan bahwa responden dengan akses-
akses seperti listrik untuk menunjukkan pada persebsi perubahan curah hujan dan
meningkatkan suhu. Lebih khusus lagi yaitu akses air untuk irigasi dalam persepsi curah
hujan.
FGD telah menetapkan bahwa petani di Bohol telah menilai pohon untuk jasa
terhadap lingkungan, seperti kemampuan untuk memberikan keteduhan, dapat menjadi
pagar, dan menjaga kelembaban tanah dan struktur. Termasuk penyediaan makanan,
kayu-kayu, pakan tambahan untuk ternah, dan pupuk. Umumnya untuk spesies non kayu
sebagian besar sebagai sumber makanan atau pendapatan dari penjualan produk non-
kayu. Spesies kayu yang ditanam diantaranya Balete, Talisay, Akasia, Mahoni dan Narra.
Sedangkan non-kayu antara lain mangga, kelapa, rambutan, caimito, kopi dan nangka.
LPM mengungkapkan hubungan yang positif antara persepsi pohon sebagai mengatasi
perubahan iklim dan variable prediktor.
Memahami pentingnya pohon dalam menghadapi perubahan iklim adalah kurang
mungkin antara petani dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi, meskipun ini tingkat
hanya pada 10% dari signifikansi. Ternyata Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa
persepsi petani tentang pohon-pohon penting dalam mengatasi perubahan iklim yang
secara signifikan dipengaruhi oleh sumber daya pertanian rumah tangga tersedia. Adanya
akses listrik dan sejumlah pendapatan off/on farm merupakan indikator kekayaan.
Indikator ini merupakan prediktor dan presepsi pohon yang penting dalam mengatasi
perubahan iklim. Bedasarkan tingkat pendidikan di Bohol, semakin tinggi taraf
pendidikan seseorang belum tentu dalam presepsi peran penting on-farm berpengaruh
terhadap dampak iklim. Karena hasil menunjukkan hasil terbesar jawaban iya dari lulusan
sekolah dasar (19%), SMA (14%). Dengan menyadari nilai pohon dalam meningkatkan
mekanisme terhadap perubahan iklim, diantara responden mendapatkan informasi iklim
dari instansi pemerintah. Sumber paling popular yang pertama ialah media massa yaitu
televisi dan radio, sedangkan instansi pemerintah merupakan opsi kedua.

4. Kesimpulan
Presepsi petani kecil di Filipina mengenai perubahan iklim. Hasil menunjukkan
bahwa seluruh stakeholder (petani, masyarakat dan anggota masyarakat), dalam kasus
pada Bohol mengamati pentingnya peran pohon dalam membangun ketahanan terhadap
resiko iklim kurang mungkin untuk diaplikasikan mengingat responden dengan tingkat
yang harus lebih tinggi dan berasal dari pendapatan produk pohon, dimana terdapat faktor
dalam akses listrik dan irigasi sebagai persepsi curah hujan dan perubahan iklim.
Sebaliknya, menilai nilai dari pepohonan dalam resiko adaptasi iklim yang terkait dengan
akses listrik dan angka dari off/on farm yang telah ditanam oleh anggota rumah tangga,
mengamati peningkatan suhu, penurunan hasil dan pemerintah sebagai sumber informasi
tentang iklim.

Anda mungkin juga menyukai