Anda di halaman 1dari 55

[Document Title]

[Document Subtitle]

Ridwan Aldilah

ABSTRACT

[Type the abstract of the document here. The abstract is typically a short
summary of the contents of the document.]
Daftar Isi
Daftar Isi ................................................................................................................................ 2

Pendahuluan ........................................................................................................................ 4

Pemahaman Bencana ........................................................................................................ 6


Definisi Bencana .......................................................................................................................... 6
Pengenalan Macam – Macam Bahaya Utama di Indonesia ........................................... 9

Manajemen Penanggulangan Bencana .................................................................... 13


Konsep Penanggulangan Bencana.......................................................................................13
Perencanaan Dalam Penanggulangan Bencana .............................................................14
Pengenalan Pengkajian Bencana ...................................................................................................16
Pengenalan Terhadap Kerentanan ...............................................................................................17
Analisis Kemungkinan Dampak Bencana ...................................................................................18
Pilihan Tindakan Penanggulangan Bencana .............................................................................20
Mekanisme Kesiapan Dan Penanggulangan Dampak Bencana .........................................24
Alokasi Dan Peran Pelaku Kegiatan Penanggulangan Bencana ........................................26

Bencana Gempa Dan Potensi Nya Secara Umum .................................................. 30


Peta Zonasi Gempa Di Indonesia..........................................................................................30
Peta Zonasi Gempa Di Provinsi Jawa Barat ......................................................................30
Tabel Potensi Bencana Gempa Menurut Kabupaten Di Provinsi Jawa Barat ......31

Manajemen Penanggulangan Bencana Gempa (Contoh Kasus Aceh) ........... 32

Pembentukan Badan Penanggulangan Bencana Gempa Serta Aktor, Peran


dan Tugasnya .................................................................................................................... 34
Tanggung Jawab Dan Wewenang .........................................................................................34
Tanggung Jawab....................................................................................................................................34
Wewenang...............................................................................................................................................35
Kordinasi Komando Dan Pengendalian ............................................................................36
Koordinasi ...............................................................................................................................................36
Komando..................................................................................................................................................37
Pengendalian..........................................................................................................................................38
Pembinaan Pengawasan Dan Pelaporan...........................................................................38

Pendidikan Kebencanaan Masyarakat Secara Khusus (Sekolah dan desa) 41


Pembentukan Sekolah Tangguh Bencana ........................................................................41
Nilai-Nilai .................................................................................................................................................41
Strategi .....................................................................................................................................................43
Pembentukan Desa Atau Kelurahan Tangguh Bencana ..............................................47
Prinsip-prinsip ......................................................................................................................................47
KriteriaUmum ........................................................................................................................................47
Peran Pemerintah di Tingkat Provinsi, Kabupaten/Kota, Kecamatan, dan
Desa/Kelurahan ....................................................................................................................................50
Peran Pemangku Kepentingan Non-pemerintah dan Masyarakat ..................................51

Kesimpulan Dan Saran................................................................................................... 53

Daftar Pustaka .................................................................................................................. 54


Pendahuluan

Indonesia yang terdiri dari gugusan kepulauan mempunyai potensi bencana


yang sangat tinggi dan juga sangat bervariasi dari aspek jenis bencana. Kondisi
alam terseut serta adanya keanekaragaman penduduk dan budaya di Indonesia
menyebabkan timbulnya risiko terjadinya bencana alam, bencana ulah manusia
dan kedaruratan kompleks, meskipun disisi lain juga kaya akan sumberdaya
alam.

Pada umumnya risiko bencana alam meliputi bencana akibat faktor geologi
(gempabumi, tsunami dan letusan gunung api), bencana akibat
hydrometeorologi (banjir, tanah longsor, kekeringan, angin topan), bencana
akibat faktor biologi (wabah penyakit manusia, penyakit tanaman/ternak, hama
tanaman) serta kegagalan teknologi (kecelakan industri, kecelakaan
transportasi, radiasi nuklir, pencemaran bahan kimia). Bencana akibat ulah
manusia terkait dengan konflik antar manusia akibat perebutan sumberdaya
yang terbatas, alasan ideologi, religius serta politik. Sedangkan kedaruratan
kompleks merupakan kombinasi dari situasi bencana pada suatu daerah konflik.

Kompleksitas dari permasalahan bencana tersebut memerlukan suatu penataan


atau perencanaan yang matang dalam penanggulangannya, sehingga dapat
dilaksanakan secara terarah dan terpadu. Penanggulangan yang dilakukan
selama ini belum didasarkan pada langkah-langkah yang sistematis dan
terencana, sehingga seringkali terjadi tumpang tindih dan bahkan terdapat
langkah upaya yang penting tidak tertangani.

Dalam sejarah gempa Indonesia sudah tercatat 47 gempa diatas 5 skala richter
sejak tahun 2000 hingga sekarang. Gempa diatas kekuatan 5 skala richter
merupakan potensi bencana alam yang mampu merenggut banyak korban dan
kerugian yang tidak sedikit. Seperti contohnya gempa yang paling dasyat dalam
kurun waktu tahun 2000-2013 yakni gempa Sumatra aceh dan kepulauan
Andaman pada desember ahun 2004 yang menewaskan 227.898 jiwa. Selain itu
ada gempa Jogjakarta pada Mei 2006 yang merenggut 5.749 jiwa dan memporak-
porandakan provinsi daerah istimewa Jogjakarta sehingga menimbulkan
dampak bencana lainnya yakni pengungsian masyarakat karena tempat tinggal
masyarakat rata dengan tanah dan dibutuhkan rehabilitasi yang tidak sebentar
dan mempengaruhi kehidupan masyarakat kala itu.

Perlu adanya sebuah sistem penanggulangan bencana secara umum dan bencana
gempa secara khusus guna memperkuat ketahanan bangsa dan Negara dan
mengurangi dampak yang signifikan diakibatkan oleh bencana itu sendiri.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
mengamanatkan pada pasal 35 dan 36 agar setiap daerah dalam upaya
penanggulangan bencana, mempunyai perencanaan penanggulangan bencana.
Secara lebih rinci disebutkan di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun
2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana. Dengan demikian
diharapkan terbentuknya kesadaran masyarakat sehingga menciptakan sekolah-
sekolah tangguh bencana atau kampung / kelurahan tangguh bencana. Dengan
program ini diharapkan senantiasa masyarakat Indonesia mampu menghadapi
bencana alam dan mampu bangkit secara ceat dan sistematis setelah bencana
terjadi.
Pemahaman Bencana

Definisi Bencana
Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan
mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik
oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga
mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian
harta benda, dan dampak psikologis.

Definisi tersebut menyebutkan bahwa bencana disebabkan oleh faktor alam, non
alam, dan manusia. Oleh karena itu, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007
tersebut juga mendefinisikan mengenai bencana alam, bencana nonalam, dan
bencana sosial, berikut ini merupakan definisi dari bencana-bencana yang
disebutkan diatas :

1. Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau


serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa
gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan,
dan tanah longsor.
2. Bencana nonalam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau
rangkaian peristiwa nonalam yang antara lain berupa gagal teknologi,
gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit.
3. Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau
serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi
konflik sosial antarkelompok atau antarkomunitas masyarakat, dan teror.
4. Kejadian Bencana adalah peristiwa bencana yang terjadi dan dicatat
berdasarkan tanggal kejadian, lokasi, jenis bencana, korban dan/ataupun
kerusakan. Jika terjadi bencana pada tanggal yang sama dan melanda
lebih dari satu wilayah, maka dihitung sebagai satu kejadian.
5. Gempa bumi adalah getaran atau guncangan yang terjadi di permukaan
bumi yang disebabkan oleh tumbukan antar lempeng bumi, patahan aktif,
akitivitas gunung api atau runtuhan batuan.
6. Letusan gunung api merupakan bagian dari aktivitas vulkanik yang
dikenal dengan istilah ?erupsi?. Bahaya letusan gunung api dapat berupa
awan panas, lontaran material (pijar), hujan abu lebat, lava, gas racun,
tsunami dan banjir lahar.
7. Tsunami berasal dari bahasa Jepang yang berarti gelombang ombak
lautan (?tsu? berarti lautan, ?nami? berarti gelombang ombak). Tsunami
adalah serangkaian gelombang ombak laut raksasa yang timbul karena
adanya pergeseran di dasar laut akibat gempa bumi.
8. Tanah longsor merupakan salah satu jenis gerakan massa tanah atau
batuan, ataupun percampuran keduanya, menuruni atau keluar lereng
akibat terganggunya kestabilan tanah atau batuan penyusun lereng.
9. Banjir adalah peristiwa atau keadaan dimana terendamnya suatu daerah
atau daratan karena volume air yang meningkat.
10. Banjir bandang adalah banjir yang datang secara tiba-tiba dengan debit
air yang besar yang disebabkan terbendungnya aliran sungai pada alur
sungai.
11. Kekeringan adalah ketersediaan air yang jauh di bawah kebutuhan air
untuk kebutuhan hidup, pertanian, kegiatan ekonomi dan lingkungan.
Adapun yang dimaksud kekeringan di bidang pertanian adalah
kekeringan yang terjadi di lahan pertanian yang ada tanaman (padi,
jagung, kedelai dan lain-lain) yang sedang dibudidayakan .
12. Kebakaran adalah situasi dimana bangunan pada suatu tempat seperti
rumah/pemukiman, pabrik, pasar, gedung dan lain-lain dilanda api yang
menimbulkan korban dan/atau kerugian.
13. Kebakaran hutan dan lahan adalah suatu keadaan di mana hutan dan
lahan dilanda api, sehingga mengakibatkan kerusakan hutan dan lahan
yang menimbulkan kerugian ekonomis dan atau nilai lingkungan.
Kebakaran hutan dan lahan seringkali menyebabkan bencana asap yang
dapat mengganggu aktivitas dan kesehatan masyarakat sekitar.
14. Angin puting beliung adalah angin kencang yang datang secara tiba-tiba,
mempunyai pusat, bergerak melingkar menyerupai spiral dengan
kecepatan 40-50 km/jam hingga menyentuh permukaan bumi dan akan
hilang dalam waktu singkat (3-5 menit).
15. Gelombang pasang atau badai adalah gelombang tinggi yang
ditimbulkan karena efek terjadinya siklon tropis di sekitar wilayah
Indonesia dan berpotensi kuat menimbulkan bencana alam. Indonesia
bukan daerah lintasan siklon tropis tetapi keberadaan siklon tropis akan
memberikan pengaruh kuat terjadinya angin kencang, gelombang tinggi
disertai hujan deras.
16. Abrasi adalah proses pengikisan pantai oleh tenaga gelombang laut dan
arus laut yang bersifat merusak. Abrasi biasanya disebut juga erosi
pantai. Kerusakan garis pantai akibat abrasi ini dipicu oleh terganggunya
keseimbangan alam daerah pantai tersebut. Walaupun abrasi bisa
disebabkan oleh gejala alami, namun manusia sering disebut sebagai
penyebab utama abrasi.
17. Kecelakaan transportasi adalah kecelakaan moda transportasi yang
terjadi di darat, laut dan udara.
18. Kecelakaan industri adalah kecelakaan yang disebabkan oleh dua
faktor, yaitu perilaku kerja yang berbahaya (unsafe human act) dan
kondisi yang berbahaya (unsafe conditions). Adapun jenis kecelakaan
yang terjadi sangat bergantung pada macam industrinya, misalnya bahan
dan peralatan kerja yang dipergunakan, proses kerja, kondisi tempat
kerja, bahkan pekerja yang terlibat di dalamnya.
19. Kejadian Luar Biasa (KLB) adalah timbulnya atau meningkatnya
kejadian kesakitan atau kematian yang bermakna secara epidemiologis
pada suatu daerah dalam kurun waktu tertentu. Status Kejadian Luar
Biasa diatur oleh Peraturan Menteri Kesehatan RI No.
949/MENKES/SK/VII/2004.
20. Konflik Sosial atau kerusuhan sosial atau huru hara adalah suatu
gerakan massal yang bersifat merusak tatanan dan tata tertib sosial yang
ada, yang dipicu oleh kecemburuan sosial, budaya dan ekonomi yang
biasanya dikemas sebagai pertentangan antar suku, agama, ras (SARA).
21. Aksi Teror adalah aksi yang dilakukan oleh setiap orang yang dengan
sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan sehingga
menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara
meluas atau menimbulkan korban yang bersifat masal, dengan cara
merampas kemerdekaan sehingga mengakibatkan hilangnya nyawa dan
harta benda, mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-
obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik
internasional.
22. Sabotase adalah tindakan yang dilakukan untuk melemahkan musuh
melalui subversi, penghambatan, pengacauan dan/ atau penghancuran.
Dalam perang, istilah ini digunakan untuk mendiskripsikan aktivitas
individu atau grup yang tidak berhubungan dengan militer, tetapi dengan
spionase. Sabotase dapat dilakukan terhadap beberapa sruktur penting,
seperti infrastruktur, struktur ekonomi, dan lain-lain.

Pengenalan Macam – Macam Bahaya Utama di Indonesia


Berikut ini merupakan potensi bahaya utama bencana di Indonesia.

1. Gempa Bumi

Bencana yang dapat timbul oleh gempa bumi ialah berupa kerusakan atau
kehancuran bangunan (rumah, sekolah, rumah sakit dan bangunan umum
lain), dan konstruksi prasarana fisik (jalan, jembatan, bendungan, pelabuhan
laut/udara, jaringan listrik dan telekomunikasi, dli), serta bencana sekunder
yaitu kebakaran dan korban akibat timbulnya kepanikan.
2. Tsunami

Tsunami adalah gelombang pasang yang timbul akibat terjadinya gempa
bumi di laut, letusan gunung api bawah laut atau longsoran di laut. Namun
tidak semua fenomena tersebut dapat memicu terjadinya tsunami. Syarat
utama timbulnya tsunami adalah adanya deformasi (perubahan bentuk yang
berupa pengangkatan atau penurunan blok batuan yang terjadi secara tiba-
tiba dalam skala yang luas) di bawah laut.. Terdapat empat faktor pada
gempa bumi yang dapat menimbulkan tsunami, yaitu: 1). pusat gempa bumi
terjadi di Iaut, 2). Gempa bumi memiliki magnitude besar, 3). kedalaman
gempa bumi dangkal, dan 4). terjadi deformasi vertikal pada lantai dasar laut.
Gelombang tsunami bergerak sangat cepat, mencapai 600-800 km per jam,
dengan tinggi gelombang dapat mencapai 20 m.
3. Letusan Gunung Api

Pada letusan gunung api, bencana dapat ditimbulkan oleh jatuhan material
letusan, awan panas, aliran lava, gas beracun, abu gunung api, dan bencana
sekunder berupa aliran Iahar. Luas daerah rawan bencana gunung api di
seluruh Indonesia sekitar 17.000 km2 dengan jumlah penduduk yang
bermukim di kawasan rawan bencana gunung api sebanyak kurang lebih 5,5
juta jiwa. Berdasarkan data frekwensi letusan gunung api, diperkirakan tiap
tahun terdapat sekitar 585.000 orang terancam bencana letusan gunung api.
4. Banjir

Indonesia daerah rawan bencana, baik karena alam maupun ulah
manusia. Hampir semua jenis bencana terjadi di Indonesia, yang paling
dominan adalah banjir tanah longsor dan kekeringan. Banjir sebagai
fenomena alam terkait dengan ulah manusia terjadi sebagai akibat
akumulasi beberapa faktor yaitu : hujan, kondisi sungai, kondisi daerah
hulu, kondisi daerah budidaya dan pasang surut air laut. Potensi
terjadinya ancaman bencana banjir dan tanah longsor saat Ini disebabkan
keadaan badan sungai rusak, kerusakan daerah tangkapan air,
pelanggaran tata-ruang wilayah, pelanggaran hukum meningkat,
perencanaan pembangunan kurang terpadu, dan disiplin masyarakat
yang rendah. Pada sub bab ini perlu disebutkan lokasi-lokasi yang rawan
banjir di daerah yang bersangkutan.
5. Tanah Longsor
Longsoran merupakan salah satu jenis gerakan massa tanah atau batuan,
ataupun percampuran keduanya, menuruni atau keluar lereng akibat dari
terganggunya kestabilan tanah atau batuan penyusun lereng tersebut.
Pemicu dari terjadinya gerakan tanah ini adalah curah hujan yang tinggi
serta kelerengan tebing. Bencana tanah longsor sering terjadi di
Indonesia yang mengakibatkan kerugian jiwa dan harta benda. Untuk itu
perlu ditingkatkan kesiapsiagaan dalam menghadapi jenis bencana ini.
Dalam bab ini ditampilkan daerah-daerah yang rawan terhadap bencana
tanah longsor yang ditampilkan dalam bentuk peta, serta jika data
memungkinan ditampilkan juga statistik kejadian dan kerusakan yang
pernah dialami.
6. Kebakaran

Potensi bahaya kebakaran hutan dan lahan di Indonesia cukup besar.
Hampir setiap musim kemarau Indonesia menghadapi bahaya kebakaran
lahan dan hutan dimana berdapak sangat luas tidak hanya kehilangan
keaneka ragaman hayati tetapi juga timbulnya ganguan asap di wilayah
sekitar yang sering kali mengganggu negara-negara tetangga. Kebakaran
hutan dan lahan dari tahun ke tahun selalu terjadi. Hal tersebut memang
berkaitan dengan banyak hal. Dari ladang berpindah sampai penggunaan
HPH yang kurang bertanggungjawab, yaitu penggarapan lahan dengan
cara pembakaran. Hal lain yang menyebabkan terjadinya kebakaran
hutan adalah kondisi tanah di daerah banyak yang mengandung gambut.
Tanah semacam ini pada waktu dan kondisi tertentu kadang-kadang
terbakar dengan sendirinya. Pada sub bab ini perlu disebutkan lokasi-
lokasi yang rawan kebakaran di daerah yang bersangkutan.
7. Kekeringan

Bahaya kekeringan dialami berbagai wilayah di Indonesia hampir setiap
musim kemarau. Hal ini erat terkait dengan menurunnya fungsi lahan
dalam menyimpan air. Penurunan fungsi tersebut ditengarai akibat
rusaknya ekosistem akibat pemanfaatan lahan yang berlebihan. Dampak
dari kekeringan ini adalah gagal panen, kekurangan bahan makanan
hingga dampak yang terburuk adalah banyaknya gejala kurang gizi
bahkan kematian. Pada bab ini disajikan identifikasi daerah-daerah yang
rawan kekeringan serta ditampilkan dalam bentuk peta.
8. Epidemi dan Wabah Penyakit

Wabah adalah kejadian berjangkitnya suatu penyakit menular dalam
masyarakat yang jumlah penderitanya meningkat secara nyata melebihi
dari pada keadaan yang lazim pada waktu dan daerah tertentu serta
dapat menimbulkan malapetaka. Epidemi baik yang mengancam manusia
maupun hewan ternak berdampak serius berupa kematian serta
terganggunya roda perekonomian. Beberapa indikasi/gejala awal
kemungkinan terjadinya epidemi seperti avian influenza/Flu burung,
antrax serta beberapa penyakit hewan ternak lainnya yang telah
membunuh ratusan ribu ternak yang mengakibatkan kerugian besar bagi
petani. Pada bab ini disajikan identifikasi daerah-daerah yang rawan
terhadap wabah penyakit manusia/hewan yang berpotensi menimbulkan
bencana.
9. Kebakaran Gedung dan Pemukiman

Kebakaran gedung dan permukiman penduduk sangat marak pada musim
kemarau. Hal ini terkait dengan kecerobohan manusia diantaranya
pembangunan gedung/rumah yang tidak mengikuti standard keamanan
bangunan serta perilaku manusia. Hubungan arus pendek listrik,
meledaknya kompor serta kobaran api akibat lilin/lentera untuk
penerangan merupakan sebab umum kejadian kebakaran
permukiman/gedung. Dalam bab ini ditampilkan daerah-daerah yang
rawan terhadap bencana kebakaran ini serta jika data memungkinan
ditampilkan juga statistik kejadian dan kerusakan yang pernah dialami.
10. Kegagalan Teknologi

Kegagalan teknologi merupakan kejadian yang diakibatkan oleh
kesalahan desain, pengoperasian, kelalaian dan kesengajaan manusia
dalam menggunakan teknologi dan atau industri. Dampak yang
ditimbulkan dapat berupa kebakaran, pencemaran bahan kimia, bahan
radioaktif/nuklir, kecelakaan industri, kecelakaan transportasi yang
menyebabkan kerugian jiwa dan harta benda. Dalam bab ini ditampilkan
daerah-daerah yang rawan terhadap bencana kegagalan teknologi ini
serta jika data memungkinan ditampilkan juga statistik kejadian dan
kerusakan yang pernah dialami.
Manajemen Penanggulangan Bencana

Konsep Penanggulangan Bencana


Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab dalam penyelenggaraan
penanggulangan bencana. Sebagaimana didefinisikan dalam UU 24 Tahun 2007
tentang Penanggulangan Bencana, penyelenggaraan Penanggulangan Bencana
adalah serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan
yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap
darurat, dan rehabilitasi. 
Rangkaian kegiatan tersebut apabila digambarkan
dalam siklus penanggulangan bencana adalah sebagai berikut :

Gambar 1 Siklus Penanggulangan Bencana


Pada dasarnya penyelenggaraan adalah tiga tahapan yakni :

1) Pra bencana yang meliputi:


 situasi tidak terjadi bencana
 situasi terdapat potensi bencana.
2) Saat Tanggap Darurat yang dilakukan dalam situasi terjadi bencana
3) Pascabencana yang dilakukan dalam saat setelah terjadi bencana

Tahapan bencana yang digambarkan di atas,
sebaiknya tidak dipahami sebagai


suatu pembagian tahapan yang tegas, dimana kegiatan pada tahap tertentu akan
berakhir pada saat tahapan berikutnya dimulai. Akan tetapi harus dipahami
bahwa setiap waktu semua tahapan dilaksanakan secara bersama-sama dengan
porsi kegiatan yang berbeda. Misalnya pada tahap pemulihan, kegiatan
utamanya adalah pemulihan tetapi kegiatan pencegahan dan mitigasi juga sudah
dimulai untuk mengantisipasi bencana yang akan datang.

Perencanaan Dalam Penanggulangan Bencana

Secara umum perencanaan dalam penanggulangan bencana dilakukan pada


setiap tahapan dalam penyelenggaran penanggulangan bencana. Dalam
penyelenggaraan penanggulangan bencana, agar setiap kegiatan dalam setiap
tahapan dapat berjalan dengan terarah, maka disusun suatu rencana yang
spesifik pada setiap tahapan penyelenggaraan penanggulangan bencana.

Gambar 2 Bagan Perencanaan Dalam Penanggulangan Bencana

1. Pada tahap Prabencana dalam situasi tidak terjadi bencana, dilakukan


penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana (Disaster Management
Plan), yang merupakan rencana umum dan menyeluruh yang meliputi
seluruh tahapan / bidang kerja kebencanaan. Secara khusus untuk upaya
pencegahan dan mitigasi bencana tertentu terdapat rencana yang disebut
rencana mitigasi misalnya Rencana Mitigasi Bencana Banjir DKI Jakarta.
2. Pada tahap Prabencana dalam situasi terdapat potensi bencana dilakukan
penyusunan Rencana Kesiapsiagaan untuk menghadapi keadaan darurat
yang didasarkan atas skenario menghadapi bencana tertentu (single
hazard) maka disusun satu rencana yang disebut Rencana Kontinjensi
(Contingency Plan).
3. Pada Saat Tangap Darurat dilakukan Rencana Operasi (Operational Plan)
yang merupakan operasionalisasi/aktivasi dari Rencana Kedaruratan
atau Rencana Kontinjensi yang telah disusun sebelumnya.
4. Pada Tahap Pemulihan dilakukan Penyusunan Rencana Pemulihan
(Recovery Plan) yang meliputi rencana rehabilitasi dan rekonstruksi yang
dilakukan pada pasca bencana. Sedangkan jika bencana belum terjadi,
maka untuk mengantisipasi kejadian bencana dimasa mendatang
dilakukan penyusunan petunjuk /pedoman mekanisme penanggulangan
pasca bencana.

Perencanaan penanggulangan bencana disusun berdasarkan hasil analisis risiko


bencana dan upaya penanggulangannya yang dijabarkan dalam program
kegiatan penanggulangan bencana dan rincian anggarannya.

Perencanaan penanggulangan bencana merupakan bagian dari perencanaan


pembangunan. Setiap rencana yang dihasilkan dalam perencanaan ini
merupakan program/kegiatan yang terkait dengan pencegahan, mitigasi dan
kesiapsiagaan yang dimasukkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang
(RPJP), Jangka Menengah (RPJM) maupun Rencana Kerja Pemerintah (RKP)
tahunan.

Rencana penanggulangan bencanaditetapkan oleh Pemerintah dan pemerintah


daerah sesuai dengan kewenangan untuk jangka waktu 5 (lima) tahun.

Penyusunan rencana penanggulangan bencana dikoordinasikan oleh:

1. BNPB untuk tingkat nasional;


2. BPBD provinsi untuk tingkat provinsi; dan
3. BPBD kabupaten/kota untuk tingkat kabupaten/kota.
Rencana penanggulangan bencana ditinjau secara berkala setiap 2 (dua) tahun
atau sewaktu-waktu apabila terjadi bencana.

Secara garis besar proses penyusunan / penulisan rencana penanggulangan


bencana adalah sebagai berikut :

Gambar 3 Penyususnan Perencanaan Penanggulangan Bencana

Pengenalan Pengkajian Bencana


Dilihat dari potensi bencana yang ada, Indonesia merupakan negara dengan potensi
bahaya (hazard potency) yang sangat tinggi dan beragam baik berupa bencana alam,
bencana ulah manusia ataupun kedaruratan komplek. Beberapa potensi tersebut
antara lain adalah gempa bumi, tsunami, letusan gunung api, banjir, tanah longsor,
kekeringan, kebakaran lahan dan hutan, kebakaran perkotaan dan permukiman,
angin badai, wabah penyakit, kegagalan teknologi dan konflik sosial. Potensi bencana
yang ada di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi 2 kelompok utama, yaitu
potensi bahaya utama (main hazard) dan potensi bahaya ikutan (collateral hazard).
Potensi bahaya utama (main hazard potency) ini dapat dilihat antara lain pada peta
rawan bencana gempa di Indonesia yang menunjukkan bahwa Indonesia adalah
wilayah dengan zona-zona gempa yang rawan.
1. Gempa Bumi
Bencana yang dapat timbul oleh gempa bumi ialah berupa
kerusakan atau kehancuran bangunan (rumah, sekolah, rumah sakit dan
bangunan umum lain), dan konstruksi prasarana fisik (jalan, jembatan,
bendungan, pelabuhan laut/udara, jaringan listrik dan telekomunikasi, dli),
serta bencana sekunder yaitu kebakaran dan korban akibat timbulnya
kepanikan.

Pengenalan Terhadap Kerentanan


Kerentanan (vulnerability) adalah keadaan atau sifat/perilaku manusia atau
masyarakat yang menyebabkan ketidakmampuan menghadapi bahaya atau
ancaman. Kerentanan ini dapat berupa:

1. Kerentanan Fisik

Secara fisik bentuk kerentanan yang dimiliki masyarakat berupa daya tahan
menghadapi bahaya tertentu, misalnya: kekuatan bangunan rumah bagi
masyarakat yang berada di daerah rawan gempa, adanya tanggul pengaman
banjir bagi masyarakat yang tinggal di bantaran sungai dan sebagainya.
2. Kerentanan Ekonomi

Kemampuan ekonomi suatu individu atau masyarakat sangat menentukan
tingkat kerentanan terhadap ancaman bahaya. Pada umumnya masyarakat
atau daerah yang miskin atau kurang mampu lebih rentan terhadap bahaya,
karena tidak mempunyai kemampuan finansial yang memadai untuk
melakukan upaya pencegahan atau mitigasi bencana.
3. Kerentanan Sosial

Kondisi sosial masyarakat juga mempengaruhi tingkat kerentanan terhadap
ancaman bahaya. Dari segi pendidikan, kekurangan pengetahuan tentang
risiko bahaya dan bencana akan mempertinggi tingkat kerentanan, demikian
pula tingkat kesehatan masyarakat yang rendah juga mengakibatkan rentan
menghadapi bahaya.
4. Kerentanan Lingkungan

Lingkungan hidup suatu masyarakat sangat mempengaruhi kerentanan.
Masyarakat yang tinggal di daerah yang kering dan sulit air akan selalu
terancam bahaya kekeringan. Penduduk yang tinggal di lereng bukit atau
pegunungan rentan terhadap ancaman bencana tanah longsor dan
sebagainya.

Analisis Kemungkinan Dampak Bencana


Pertemuan dari faktor-faktor ancaman bencana/bahaya dan kerentanan
masyarakat, akan dapat memposisikan masyarakat dan daerah yang
bersangkutan pada tingkatan risiko yang berbeda. Hubungan antara ancaman
bahaya, kerentanan dan kemampuan dapat dituliskan dengan persamaan
berikut:

Risiko = f (Bahaya x Kerentanan/Kemampuan)

Semakin tinggi ancaman bahaya di suatu daerah, maka semakin tinggi risiko
daerah tersebut terkena bencana. Demikian pula semakin tinggi tingkat
kerentanan masayarakat atau penduduk, maka semakin tinggi pula tingkat
risikonya. Tetapi sebaliknya, semakin tinggi tingkat kemampuan masyarakat,
maka semakin kecil risiko yang dihadapinya. Dengan menggunakan perhitungan
analisis risiko dapat ditentukan tingkat besaran risiko yang dihadapi oleh daerah
yang bersangkutan. Sebagai langkah sederhana untuk pengkajian risiko adalah
pengenalan bahaya/ancaman di daerah yang bersangkutan. Semua
bahaya/ancaman tersebut diinventarisasi, kemudian di perkirakan kemungkinan
terjadinya (probabilitasnya) dengan rincian :

 5 Pasti (hampir dipastikan 80 - 99%).


 4 Kemungkinan besar (60 – 80% terjadi tahun depan, atau sekali dalam
10 tahun mendatang)
 3 Kemungkinan terjadi (40-60% terjadi tahun depan, atau sekali dalam
100 tahun)
 2 Kemungkinan Kecil (20 – 40% dalam 100 tahun) •
 1 Kemungkian sangat kecil (hingga 20%)

Jika probabilitas di atas dilengkapi dengan perkiraan dampaknya apabila


bencana itu memang terjadi dengan pertimbangan faktor dampak antara lain:
 jumlah korban;

 kerugian harta benda;

 kerusakan prasarana dan sarana;

 cakupan luas wilayah yang terkena bencana;
 dan dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan,

maka, jika dampak inipun diberi bobot sebagai berikut:

 5 Sangat Parah (80% - 99% wilayah hancur dan lumpuh total)


 4 Parah
(60 – 80% wilayah hancur)
 3 Sedang
(40 - 60 % wilayah terkena berusak)
 2 Ringan (20 – 40% wilayah yang rusak)
 1 Sangat Ringan
(kurang dari 20% wilayah rusak)

Maka akan di dapat tabel sebagaimana contoh di bawah ini :

No Jenis Ancaman Bahaya Probabilitas Dampak

1 Gempa bumi Diikuti Tsunami 1 4

2 Tanah longsor 4 2

3 Banjir 4 3

4 Kekeringan 3 1

5 Angin Putting Beliung 2 2

Gambaran potensi ancaman di atas dapat ditampilkan dengan model lain dengan
tiga warna berbeda yang sekaligus dapat menggambarkan prioritas seperti
berikut:
Gambar 4 Matriks Bencana

Berdasarkan matriks diatas kita dapat memprioritaskan jenis ancaman bahaya


yang perlu ditangani.

Ancaman dinilai tingkat bahayanya dengan skala (3-1)


- Bahaya/ancaman tinggi nilai 3 (merah)
- Bahaya/ancaman sedang nilai 2
- Bahaya/ancaman rendah nilai 1

Pilihan Tindakan Penanggulangan Bencana


Pilihan tindakan yang dimaksud di sini adalah berbagai upaya penanggulangan
yang akan dilakukan berdasarkan perkiraan ancaman bahaya yang akan terjadi
dan kemungkinan dampak yang ditimbulkan. Secara lebih rinci pilihan tindakan
tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:

A. Pencegahan dan Mitigasi

Upaya atau kegiatan dalam rangka pencegahan dan mitigasi yang dilakukan,
bertujuan untuk menghindari terjadinya bencana serta mengurangi risiko yang
ditimbulkan oleh bencana. Tindakan mitigasi dilihat dari sifatnya dapat
digolongkan menjadi 2 (dua) bagian, yaitu mitigasi pasif dan mitigasi aktif.

Tindakan pencegahan yang tergolong dalam mitigasi pasif antara lain adalah:
 Penyusunan peraturan perundang-undangan
 Pembuatan peta rawan bencana dan pemetaan masalah.
 Pembuatan pedoman/standar/prosedur
 Pembuatan brosur/leaflet/poster
 Penelitian / pengkajian karakteristik bencana
 Pengkajian / analisis risiko bencana
 Internalisasi PB dalam muatan lokal pendidikan
 Pembentukan organisasi atau satuan gugus tugas bencana
 Perkuatan unit-unit sosial dalam masyarakat, seperti forum
 Pengarus-utamaan PB dalam perencanaan pembangunan

Sedangkan tindakan pencegahan yang tergolong dalam mitigasi aktif antara lain:

 Pembuatan dan penempatan tanda-tanda peringatan, bahaya,


larangan memasuki daerah rawan bencana dsb.
 Pengawasan terhadap pelaksanaan berbagai peraturan tentang
penataan ruang, ijin mendirikan bangunan (IMB), dan peraturan lain
yang berkaitan dengan pencegahan bencana.
 Pelatihan dasar kebencanaan bagi aparat dan masyarakat.
 Pemindahan penduduk dari daerah yang rawan bencana ke daerah
yang lebih aman.
 Penyuluhan dan peningkatan kewaspadaan masyarakat.

 Perencanaan daerah penampungan sementara dan jalur-jalur


evakuasi jika terjadi bencana.

 Pembuatan bangunan struktur yang berfungsi untuk mencegah,


mengamankan dan mengurangi dampak yang ditimbulkan oleh
bencana, seperti: tanggul, dam, penahan erosi pantai, bangunan tahan
gempa dan sejenisnya.

Adakalanya kegiatan mitigasi ini digolongkan menjadi mitigasi yang bersifat


non-struktural (berupa peraturan, penyuluhan, pendidikan) dan yang bersifat
struktural (berupa bangunan dan prasarana).
4) Kesiapsiagaan 


Kesiapsiagaan dilaksanakan untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya


bencana guna menghindari jatuhnya korban jiwa, kerugian harta benda dan
berubahnya tata kehidupan masyarakat. Upaya kesiapsiagaan dilakukan pada
saat bencana mulai teridentifikasi akan terjadi, kegiatan yang dilakukan antara
lain:

 Pengaktifan pos-pos siaga bencana dengan segenap unsur pendukungnya.


 Pelatihan siaga / simulasi / gladi / teknis bagi setiap sector
Penanggulangan bencana (SAR, sosial, kesehatan, prasarana dan
pekerjaan umum).
 Inventarisasi sumber daya pendukung kedaruratan
 Penyiapan dukungan dan mobilisasi sumberdaya/logistik.
 Penyiapan sistem informasi dan komunikasi yang cepat dan terpadu guna
mendukung tugas kebencanaan.
 Penyiapan dan pemasangan instrumen sistem peringatan dini (early
warning)
 Penyusunan rencana kontinjensi (contingency plan)
 Mobilisasi sumber daya (personil dan prasarana/sarana peralatan)

5) Tanggap Darurat 


Tahap Tanggap Darurat merupakan tahap penindakan atau pengerahan


pertolongan untuk membantu masyarakat yang tertimpa bencana, guna
menghindari bertambahnya korban jiwa. 
Penyelenggaraan penanggulangan
bencana pada saat tanggap darurat meliputi: 


 pengkajian secara cepat dan tepat terhadap lokasi, kerusakan,


kerugian, dan sumber daya;
 penentuan status keadaan darurat bencana;
 penyelamatan dan evakuasi masyarakat terkena bencana;
 pemenuhan kebutuhan dasar;
 perlindungan terhadap kelompok rentan; dan
 pemulihan dengan segera prasarana dan saranavital.

6. Pemulihan

Tahap pemulihan meliputi tahap rehabilitasi dan rekonstruksi. Upaya yang


dilakukan pada tahap rehabilitasi adalah untuk mengembalikan kondisi daerah
yang terkena bencana yang serba tidak menentu ke kondisi normal yang lebih
baik, agar kehidupan dan penghidupan masyarakat dapat berjalan kembali.

Kegiatan-kegiatan yang dilakukan meliputi:

 perbaikan lingkungan daerah bencana;


 perbaikan prasarana dan sarana umum;
 pemberian bantuan perbaikan rumah masyarakat;
 pemulihan sosial psikologis;
 pelayanan kesehatan;
 rekonsiliasidanresolusikonflik;
 pemulihan sosial, ekonomi, dan budaya;
 pemulihan keamanan dan ketertiban;
 pemulihanfungsipemerintahan;dan
 pemulihan fungsi pelayanan publik

Sedangkan tahap rekonstruksi merupakan tahap untuk membangun kembali


sarana dan prasarana yang rusak akibat bencana secara lebih baik dan
sempurna. Oleh sebab itu pembangunannya harus dilakukan melalui suatu
perencanaan yang didahului oleh pengkajian dari berbagai ahli dan sektor
terkait.

 pembangunan kembali prasarana dan sarana;


 pembangunan kembali sarana sosial masyarakat;
 pembangkitan kembali kehidupan sosial budaya masyarakat
 penerapan rancang bangun yang tepat dan penggunaan peralatan yang
lebih baik dan tahan bencana;
 partisipasi dan peran serta lembaga dan organisasi kemasyarakatan,
dunia usaha dan masyarakat;
 peningkatan kondisi sosial, ekonomi, dan budaya;
 peningkatan fungsi pelayanan publik; atau
 peningkatan pelayanan utama dalam masyarakat.

Mekanisme Kesiapan Dan Penanggulangan Dampak Bencana


Dalam melaksanakan penanggulangan bencana, maka penyelenggaraan
penanggulangan bencana meliputi :

 tahap prabencana,
 saat tanggap darurat, dan
 pascabencana.

Pada Pra Bencana



Pada tahap pra bencana ini meliputi dua keadaan yaitu :

 Dalam situasi tidak terjadi bencana


 Dalam situasi terdapat potensi bencana

Situasi Tidak Terjadi Bencana


Situasi tidak ada potensi bencana yaitu kondisi suatu wilayah yang
berdasarkan analisis kerawanan bencana pada periode waktu tertentu
tidak menghadapi ancaman bencana yang nyata. Penyelenggaraan
penanggulangan bencana dalam situasi tidak terjadi bencana meliputi :

 perencanaan penanggulangan bencana;


 pengurangan risiko bencana;
 pencegahan;
 pemaduan dalam perencanaan pembangunan;
 persyaratan analisis risiko bencana;
 pelaksanaan dan penegakan rencana tata ruang;
 pendidikan dan pelatihan; dan
 persyaratan standar teknis penanggulangan bencana.

Situasi Terdapat Potensi Bencana


Pada situasi ini perlu adanya kegiatan-kegiatan kesiap siagaan, peringatan
dini dan mitigasi bencana dalam penanggulangan bencana.

 Kesiapsiagaan
 Peringatan Dini
 Mitigasi Bencana
Kegiatan-kegiatan pra-bencana ini dilakukan secara lintas sector dan multi
stakeholder,oleh karena itu fungsi BNPB/BPBD adalah fungsi koordinasi.

Saat Tanggap Darurat



Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada saat tanggap darurat meliputi:

 pengkajian secara cepat dan tepat terhadap lokasi, kerusakan, dan sumber
daya;
 penentuan status keadaan darurat bencana;
 penyelamatan dan evakuasi masyarakat terkena bencana;
 pemenuhan kebutuhan dasar;
 perlindungan terhadap kelompok rentan; dan
 pemulihan dengan segera prasarana dan sarana vital.
Pasca Bencana

Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada tahap pasca bencana meliputi:

 rehabilitasi; dan
 rekonstruksi. 

Secara lebih rinci antara lain dapat dilihat pada Bab VI (Bab Pilihan Tindakan
Penanggulangan Bencana).
Mekanisme Penanggulangan Bencana 

Mekanisme penanggulangan bencana yang akan dianut dalam hal ini adalah
mengacu pada UU No 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana
dan
Peraturan Pemerintah No 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan
Penanggulangan Bencana. Dari peraturan perundang-
undangan tersebut di
atas, dinyatakan bahwa mekanismetersebut dibagi ke dalam tiga tahapan yaitu :
 Pada pra bencana maka fungsi BPBD bersifat koordinasi dan pelaksana,
 Pada saat Darurat bersifat koordinasi, komando dan pelaksana
 Pada pasca bencana bersifat koordinasi dan pelaksana.

Alokasi Dan Peran Pelaku Kegiatan Penanggulangan Bencana

Peran dan Fungsi Instansi Pemerintahan Terkait


Dalam melaksanakan penanggulangan becana di daerah akan memerlukan
koordinasi dengan sektor. Secara garis besar dapat diuraikan peran lintas sektor
sebagai berikut :

 Sektor Pemerintahan, mengendalikan kegiatan pembinaan pembangunan


daerah
 Sektor Kesehatan, merencanakan pelayanan kesehatan dan medik
termasuk obat-obatan dan para medis
 Sektor Sosial, merencanakan kebutuhan pangan, sandang, dan kebutuhan
dasar lainnya untuk para pengungsi
 Sektor Pekerjaan Umum, merencanakan tata ruang daerah, penyiapan
lokasi dan jalur evakuasi, dan kebutuhan pemulihan sarana dan
prasarana.
 Sektor Perhubungan, melakukan deteksi dini dan informasi
cuaca/meteorologi dan merencanakan kebutuhan transportasi dan
komunikasi
 Sektor Energi dan Sumber Daya Mineral, merencanakan dan
mengendalikan upaya mitigatif di bidang bencana geologi dan bencana
akibat ulah manusia yang terkait dengan bencana geologi sebelumnya
 Sektor Tenaga Kerja dan Transmigrasi, merencanakan pengerahan dan
pemindahan korban bencana ke daerah yang aman bencana.
 Sektor Keuangan, penyiapan anggaran biaya kegiatan penyelenggaraan
penanggulangan bencana pada masa pra bencana
 Sektor Kehutanan, merencanakan dan mengendalikan upaya mitigatif
khususnya kebakaran hutan/lahan
 Sektor Lingkungan Hidup, merencanakan dan mengendalikan upaya yang
bersifat preventif, advokasi, dan deteksi dini dalam pencegahan bencana.
 Sektor Kelautan merencanakan dan mengendalikan upaya mitigatif di
bidang bencana tsunami dan abrasi pantai.
 Sektor Lembaga Penelitian dan Peendidikan Tinggi, melakukan kajian dan
penelitian sebagai bahan untuk merencanakan penyelenggaraan
penanggulangan bencana pada masa pra bencana, tanggap darurat,
rehabilitasi dan rekonstruksi.
 TNI/POLRI membantu dalam kegiatan SAR, dan pengamanan saat darurat
termasuk mengamankan lokasi yang ditinggalkan karena penghuninya
mengungsi.

Peran dan Potensi Masyarakat


6) Masyarakat
Masyarakat sebagai pelaku awal penanggulangan bencana
sekaligus korban bencana harus mampu dalam batasan tertentu
menangani bencana sehingga diharapkan bencana tidak berkembang ke
skala yang lebih besar.
7) Swasta
Peran swasta belum secara optimal diberdayakan. Peran swasta
cukup menonjol pada saat kejadian bencana yaitu saat pemberian
bantuan darurat. Partisipasi yang lebih luas dari sektor swasta ini akan
sangat berguna bagi peningkatan ketahanan nasional dalam menghadapi
bencana.
8) Lembaga Non-Pemerintah
Lembaga-lembaga Non Pemerintah pada
dasarnya memiliki fleksibilitas dan kemampuan yang memadai dalam
upaya penanggulangan bencana. Dengan koordinasi yang baik lembaga
Non Pemerintah ini akan dapat memberikan kontribusi dalam upaya
penanggulangan bencana mulai dari tahap sebelum, pada saat dan pasca
bencana.
9) Perguruan Tinggi / Lembaga Penelitian
Penanggulangan bencana dapat
efektif dan efisien jika dilakukan berdasarkan penerapan
ilmupengetahuan dan teknologi yang tepat. Untuk itu diperlukan
kontribusi pemikiran dari para ahli dari lembaga-lembaga pendidikan
dan penelitian.
10)Media
Media memiliki kemampuan besar untuk membentuk opini
publik. Untuk itu peran media sangat penting dalam hal membangun
ketahanan masyarakat menghadapi bencana melalui kecepatan dan
ketepatan dalam memberikan informasi kebencanaan berupa peringatan
dini, kejadian bencana serta upaya penanggulangannya, serta pendidikan
kebencanaan kepada masyarakat.
11)Lembaga Internasional
Pada dasarnya Pemerintah dapat menerima
bantuan dari lembaga internasional, baik pada saat pra bencana, saat
tanggap darurta maupun pasca bencana. Namun demikian harus
mengikuti peraturan dan perundang-undangan yang berlaku.

Pendanaan
Sebagian besar pembiayaan untuk kegiatan-kegiatan Penanggulangan bencana
terintegrasikan dalam kegiatan-kegiatan pemerintahan dan pembangunan yang
dibiayai dari anggaran pendapatan dan belanja nasional, propinsi atau
kabupaten/kota. Kegiatan sektoral dibiayai dari anggaran masing-masing sektor
yang bersangkutan. Kegiatan-kegiatan khusus seperti pelatihan, kesiapan,
penyediaan peralatan khusus dibiayai dari pos-pos khusus dari anggaran
pendapatan dan belanja nasional, propinsi atau kabupaten/kota. Pemerintah
dapat menganggarkan dana kontinjensi untuk mengantisipasi diperlukannya
dana tambahan untuk menanggulangi kedaruratan. Besarnya dan tatacara akses
serta penggunaannya diatur bersama dengan DPR yang bersangkutan. Bantuan
dari masyarakat dan sektor non-pemerintah, termasuk badan-badan PBB dan
masyarakat internasional, dikelola secara transparan oleh unit-unit koordinasi.
Bencana Gempa Dan Potensi Nya Secara Umum

Peta Zonasi Gempa Di Indonesia


Berikut ini adalah zonasi potensi bencana gempa di Indonesia beserta sumber
yang berpotensi menyebabkan gempa yakni lempeng-lempeng tektonik.

Peta Zonasi Gempa Di Provinsi Jawa Barat


Tabel Potensi Bencana Gempa Menurut Kabupaten Di Provinsi Jawa Barat

Tabel 0-1 tabel potensi bencana gempa menurut kabupaten di provinsi Jawa Barat
Manajemen Penanggulangan Bencana Gempa (Contoh Kasus
Aceh)

Berikut ini adalah rantai oprasi komando penanggulangan (Kodal) Provinsi NAD
sebagai gambaran oprasi penaggulangan bencana gempa dan tsunami.
Berikut ini adalah bagan yang menggambarkan Kodal Aceh dalam organigram
komando dan hirarki pertanggung jawaban secara jabatan dan fungsi :
Pembentukan Badan Penanggulangan Bencana Gempa Serta
Aktor, Peran dan Tugasnya

Tanggung Jawab Dan Wewenang

Tanggung Jawab
1) Pemerintah Daerah bertanggungjawab dalam penyelenggaraan
penanggulangan bencana di wilayahnya.
a. Bupati/Walikota sebagai penanggungjawab utama dalam
penyelenggaraan penanggulangan bencana di wilayahnya.
b. Gubernur memberikan dukungan perkuatan penyelenggaraan
penanggulangan bencana di wilayahnya.
2) Pemerintah Daerah bertanggung jawab untuk:
a. mengalokasikan dan menyediakan dana penanggulangan bencana
dalam APBD secara memadai untuk penyelenggaraan
penanggulangan bencana, pada setiap tahap pra-bencana, tanggap
darurat dan pasca-bencana.
b. memadukan penanggulangan bencana dalam pembangunan
daerah dalam bentuk:
i. mengintegrasikan pengurangan risiko bencana dan
penanggulangan bencana dalam Rencana Pembangunan
Jangka Panjang Daerah (RPJPD), Rencana Pembangunan
Jangka Menengah (RPJMD), dan Rencana Kerja Pemerintah
Daerah (RKPD);
ii. menyusun dan menetapkan rencana penanggulangan
bencana serta meninjau secara berkala dokumen
perencanaan penanggulangan bencana.
c. melindungi masyarakat dari ancaman dan dampak bencana,
melalui:
i. pemberian informasi dan pengetahuan tentang ancaman
dan risiko bencana di wilayahnya;
ii. pendidikan, pelatihan dan peningkatan keterampilan dalam
penyelenggaraan penanggulangan bencana;
iii. perlindungan sosial dan pemberian rasa aman, khususnya
bagi kelompok rentan bencana;
iv. pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, penanganan darurat,
rehabilitasi dan rekonstruksi.
d. melaksanakan tanggap darurat sejak kaji cepat, penentuan
tingkatan bencana, penyelamatan dan evakuasi, penanganan
kelompok rentan dan menjamin pemenuhan hak dasar kepada
masyarakat korban bencana yang meliputi :
i. pangan;
ii. pelayanan kesehatan;
iii. kebutuhan air bersih dan sanitasi;
iv. sandang;
v. penampungan dan tempat hunian sementara;dan
vi. pelayanan psiko-sosial.
e. memulihkan dan meningkatkan secara lebih baik:
i. kehidupan sosial-ekonomi, budaya dan lingkungan, serta

keamanan dan ketertiban masyarakat;
ii. infrastruktur/fasilitas umum/sosial yang rusak akibat
bencana.
3) Dalam hal pemerintah daerah tidak memiliki kemampuan sumberdaya
untuk penanggulangan bencana, pemerintah daerah yang bersangkutan
dapat meminta bantuan kepada Pemerintah.

Wewenang
Pemerintah Daerah memiliki kewenanganan dalam penyelenggaraan
penanggulangan bencana yang ditetapkan sbb :

1. Gubernur/Bupati/Walikota:
a. merumuskan dan menetapkan kebijakan penanggulangan bencana sesuai
dengan tingkat kewenangan dan karakteristik wilayahnya.
b. menentukan status dan tingkatan keadaan darurat bencana sesuai dengan
peraturan perundangan yang berlaku.
c. mengerahkan seluruh potensi/sumberdaya yang ada di wilayahnya untuk
mendukung penyelenggaraan penanggulangan bencana.
d. menjalin kerjasama dengan daerah lain atau pihak-pihak lain guna
mendukung penyelenggaraan penanggulangan bencana.
e. mengatur dan mengawasi penggunaan teknologi yang berpotensi sebagai
sumber ancaman yang berisiko menimbulkan bencana.
f. mencegah dan mengendalikan penggunaan dan pemanfaatan sumberdaya
alam yang melebihi kemampuan alam pada wilayah kewenangannya.
g. mengangkat seorang komandan penanganan darurat bencana atas usul
Kepala BPBD.
h. melakukan pengendalian atas pengumpulan dan penyaluran bantuan
berupa uang dan/atau barang serta jasa lain (misalnya relawan) yang
diperuntukkan untuk penanggulangan bencana di wilayahnya, termasuk
pemberian ijin pengumpulan sumbangan di wilayahnya.
i. menyusun perencanaan, pedoman dan prosedur yang berkaitan dengan
penyelenggaraan penanggulangan bencana di wilayahnya.
2. Gubernur/Bupati/Walikota bersama DPRD menyusun dan menetapkan
peraturan daerah dalam penanggulangan bencana.

Kordinasi Komando Dan Pengendalian


Dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana, BPBD mempunyai fungsi
koordinasi, komando dan pelaksana, oleh karenanya hubungan kerja antara
BPBD dengan instansi atau lembaga terkait dapat dilakukan secara koordinasi,
komando dan pengendalian.

Koordinasi
1. Koordinasi BPBD dengan instansi atau lembaga dinas/badan secara
horisontal pada tahap prabencana, saat tanggap darurat dan
pascabencana, dilakukan dalam bentuk:
a. penyusunan kebijakan dan strategi penanggulangan bencana;
b. penyusunan perencanaan penanggulangan bencana;
c. penentuan standar kebutuhan minimun;
d. pembuatan prosedur tanggap darurat bencana;
e. pengurangan resiko bencana;
f. pembuatan peta rawan bencana;
g. penyusunan anggaran penanggulangan bencana;
h. penyediaan sumberdaya/logistik penanggulangan bencana;dan
i. pendidikan dan pelatihan, penyelenggaraan gladi/simulasi
penanggulangan bencana.
2. Koordinasi penyelenggaraan penanggulangan bencana dapat dilakukan
melalui kerjasama dengan lembaga/organisasi dan pihak-pihak lain yang
terkait sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
3. Kerjasama yang melibatkan peran serta negara lain, lembaga
internasional dan lembaga asing nonpemerintah dilakukan melalui
koordinasi BNPB sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
4. Rapat koordinasi penanggulangan bencana dilakukan minimal 1 (satu)
kali dalam satu tahun dan sewaktu-waktu sesuai dengan kebutuhan :
a. antara BPBD Kabupaten/Kota dan instansi
terkait/organisasi/lembaga terkait di tingkat kabupaten/Kota.
b. antara BPBD Provinsi dengan instansi/organisasi/lembaga terkait
di tingkat provinsi.
c. antara BPBD Provinsi dengan BPBD Kabupaten/Kota.

Komando
1. Dalam hal status keadaan darurat bencana, Gubernur/Bupati/Walikota
menunjuk seorang komandan penanganan darurat bencana atas usulan
Kepala BPBD.
2. Komandan Penanganan Darurat Bencana sebagaimana butir 1
mengendalikan kegiatan operasional penanggulangan bencana dan
bertanggung-jawab kepada Kepala Daerah.
3. Komandan Penanganan Darurat Bencana memiliki kewenangan komando
memerintahkan instansi/lembaga terkait meliputi:
a. pengerahan sumber daya manusia;
b. pengerahan peralatan;
c. pengerahan logistik; dan
d. penyelamatan;
4. Komandan Penanganan Darurat Bencana berwenang mengaktifkan dan
meningkatkan Pusat Pengendalian Operasi menjadi Pos Komando.
Pengendalian
BPBD bertugas untuk melakukan pengendalian dalam:

1. penggunaan teknologi yang secara tiba-tiba dan/atau berangsur menjadi


sumber ancaman bahaya bencana.
2. penguasaan dan pengelolaan sumberdaya alam yang berpotensi yang
secara tiba-tiba dan/atau berangsur berpotensi menjadi sumber bahaya
bencana.
3. pengurasan sumberdaya alam yang melebihi daya dukungnya yang
menyebabkan ancaman timbulnya bencana.
4. perencanaan dan penegakan rencana tata ruang wilayah dalam kaitan
penanggulangan bencana.
5. kegiatan penanggulangan bencana yang dilakukan oleh
lembaga/organisasi pemerintah dan non-pemerintah.
6. penetapan kebijakan pembangunan yang berpotensi menimbulkan
bencana.
7. pengumpulan dan penyaluran bantuan berupa uang dan/atau barang
serta jasa lain (misalnya relawan) yang diperuntukan untuk
penanggulangan bencana diwilayahnya, termasuk pemberian ijin
pengumpulan sumbangan di wilayahnya.

Pembinaan Pengawasan Dan Pelaporan


Dalam rangka penyelenggaraan penanggulangan bencana dilakukan pembinaan,
pengawasan dan pelaporan.

A. Pembinaan 
Pembinaan teknis penyelenggaraan penanggulangan


bencana

1. pada tingkat masyarakat dilakukan oleh BPBD Kabupaten/Kota


secara terpadu dengan instansi teknis terkait.
2. pada tingkat BPBD Kabupaten/Kota dilakukan oleh BPBD Provinsi
secara terpadu dengan instansi teknis terkait.
3. pada tingkat BPBD Provinsi dilakukan oleh BNPB secara terpadu
dengan instansi teknis terkait
B. Pengawasan
1. Dalam rangka pencapaian sasaran dan kinerja penanggulangan
bencana, dilakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan
penanggulangan bencana di masing-masing daerah.
2. Pengawasan terhadap penyelenggaraan penanggulangan bencana
dilakukan oleh BNPB dan/atau lembaga pengawas sesuai
peraturan perundang-undangan
C. Pelaporan
1. BPBD menyusun laporan penyelenggaraan penanggulangan
bencana di daerahnya.
2. Laporan penyelenggaraan penanggulangan bencana terdiri dari :
a. Laporan situasi kejadian bencana
b. Laporan bulanan kejadian bencana
c. Laporan menyeluruh penyelenggaraan penanggulangan
bencana
3. Laporan situasi kejadian bencana dibuat pada saat tanggap darurat
dengan memuat :
a. waktu dan lokasi kejadian bencana;
b. penyebab bencana
c. cakupan wilayah dampak bencana;
d. penyebab kejadian bencana;
e. dampak bencana (jumlah korban jiwa dan
kerusakan/kerugian serta dampak sosial ekonomi yang
ditimbulkan);
f. upaya penanganan yang dilakukan;
g. bantuan yang diperlukan;
h. kendala yang dihadapi.
4. Laporan bulanan kejadian bencana merupakan rekapitulasi jumlah
kejadian, dampak bencana yang disajikan dalam tabulasi.
5. Laporan penyelenggaraan penanggulangan bencana meliputi
kegiatan-kegiatan yang dilakukan pada prabencana, saat tanggap
darurat dan pascabencana yang dibuat setiap bulan dan setiap
tahun.
6. Laporan penerimaan dan penyaluran bantuan yang berasal dari
sumbangan masyarakat.
7. Laporan pertanggungjawaban dana kontinjensi bencana, dana siap
pakai, dan dana bantuan sosial berpola hibah yang berasal dari
BNPB.
Pendidikan Kebencanaan Masyarakat Secara Khusus (Sekolah
dan desa)

Pembentukan Sekolah Tangguh Bencana


Sekolah aman dibagi menjadi tiga definisi, yaitu definisi umum, definisi khusus
dan definisi terkait PRB. Berikut rinciannya: (a) Pengertian umum: Sekolah aman
adalah sekolah yang mengakui dan melindungi hak-hak anak dengan
menyediakan suasana dan lingkungan yang menjamin proses pembelajaran,
kesehatan, keselamatan, dan keamanan siswanya terjamin setiap saat; (b)
Pengertian Definisi Khusus: Sekolah aman adalah sekolah yang menerapkan
standar sarana dan prasarana yang mampu melindungi warga sekolah dan
lingkungan di sekitarnya dari bahaya bencana; (c) Pengertian terkait PRB:
Sekolah aman adalah komunitas pembelajar yang berkomitmen akan budaya
aman dan sehat, sadar akan risiko, memiliki rencana yang matang dan mapan
sebelum, saat, dan sesudah bencana, dan selalu siap untuk merespons pada saat
darurat dan bencana.
Prinsip-prinsip Pendidikan Ramah Anak yang dikembangkan dalam membentuk
Nilai-Nilai dan Prinsip-Prinsip Penerapan Sekolah/Madrasah Aman dari Bencana
adalah panduan bagi para pemangku kepentingan di sekolah/madrasah
termasuk anak. Nilai-nilai, Prinsip-Prinsip, Strategi dan Kerangka kerja
Sekolah/Madrasah Aman dari Bencana adalah sebagai berikut:

Nilai-Nilai
Pelaksanaan Sekolah/Madrasah aman dari bencana dalam pedoman ini
mempertimbangkan nilai-nilai:

a. Perubahan Budaya. Penerapan Sekolah/Madrasah Aman dari
Bencana ditujukan untuk menghasilkan perubahan budaya yang lebih
aman dari bencana dan perubahan dari aman menjadi berketahanan
dalam upaya mewujudkan masyarakat Indonesia yang tangguh
bencana.
b. Berorientasi Pemberdayaan. Meningkatkan kemampuan pengelolaan
sekolah/madrasah dan warga sekolah/madrasah termasuk anak untuk
menerapkan Sekolah/Madrasah Aman dari Bencana dalam
pengembangan kurikulum, sarana prasarana, pendidik dan tenaga
kependidikan, pengelolaan dan pembiayaan di sekolah/madrasah.
c. Kemandirian. Mengoptimalkan pendayagunaan sumberdaya yang
dimiliki sekolah/madrasah.
d. Pendekatan berbasis hak. Hak-hak asasi manusia termasuk hak-hak
anak sebagai pertimbangan utama dalam upaya penerapan
Sekolah/Madrasah Aman dari Bencana.
e. Keberlanjutan. Mengutamakan terbentuknya pelembagaan aktivitas
warga sekolah/madrasah termasuk anak dalam upaya penerapan
sekolah/madrasah dari bencana dengan mengaktifkan lembaga yang
sudah ada seperti TP UKS, Komite Sekolah, OSIS, Ekstrakurikuler, dsb.
f. Kearifan lokal. Menggali dan mendayagunakan kearifan lokal yang
mendukung upaya penerapan sekolah/madrasah aman dari bencana.
g. Kemitraan. Berupaya melibatkan pemangku kepentingan termasuk
anak secara individu maupun dalam kelompok untuk bekerjasama
dalam mencapai tujuan berdasarkan prinsip-prinsip
Sekolah/Madrasah Aman dari bencana.
h. Inklusivitas. Memperhatikan kepentingan warga sekolah/madrasah
terutama anak berkebutuhan khusus.
Prinsip-Prinsip
Pelaksanaan Sekolah/Madrasah aman dari bencana dalam pedoman ini
mempertimbangkan prinsip-prinsip sebagai berikut:

a. Berbasis hak. Penerapan Sekolah/Madrasah Aman dari Bencana
harus didasari sebagai pemenuhan hak pendidikan anak dalam
menerapkan keempat prinsip hak anak, yakni (1) Tidak ada satu anak
pun yang sampai menderita akibat diskriminasi dan sikap tidak hormat
yang menyangkut SARA, jenis kelamin, sikap, bahasa, pendapat,
kebangsaan, kepemilikan, kecacatan fisik dan mental, status kelahiran
dan lainnya, (2) Anak-anak memiliki hak atas kelangsungan dan
tumbuh kembangnya dalam semua aspek kehidupannya, termasuk
aspek fisik, emosional, psikososial, kognitif, sosial dan budaya, (3)
Kepentingan terbaik anak harus selalu menjadi pertimbangan didalam
seluruh keputusan atau aksi yang mempengaruhi anak dan kelompok
anak, termasuk keputusan yang dibuat oleh pemerintah, pemerintah
daerah, aparat hukum, bahkan yang diatur didalam keluarga anak itu
sendiri, dan (4) Anak-anak memiliki hak untuk berkumpul secara
damai, berpartisipasi aktif dalam setiap aspek yang mempengaruhi
kehidupan mereka, untuk mengekspresikan dengan bebas dan
mendapatkan pendapat mereka didengar dan ditanggapi dengan
sungguh-sungguh.
b. Interdisiplin dan Menyeluruh. Penerapan Sekolah/Madrasah Aman
dari Bencana terintegrasi dalam standar pelayanan minimum
pendidikan. Menyeluruh dimaksudkan bahwa penerapan
sekolah/madrasah aman dari bencana dilaksanakan secara terpadu
untuk mencapai standar nasional pendidikan.
c. Komunikasi Antar-Budaya (Intercultural Approach). Pendekatan
Penerapan Sekolah/Madrasah Aman dari Bencana harus
mengutamakan komunikasi antar-pribadi yang memiliki latar belakang
budaya yang berbeda (ras, etnik, atau sosio- ekonomi) sesuai dengan
jati diri bangsa dan nilai–nilai luhur kemanusiaan.

Strategi
Masih tingginya tingkat kerusakan sekolah/madrasah di daerah rawan
bencana di Indonesia, mendorong pemerintah untuk melakukan
sinkronisasi kebijakan dalam upaya Penerapan Sekolah/Madrasah Aman
dari bencana. Sekolah/madrasah diharapkan menjadi suatu lingkungan
yang aman terhadap ancaman bencana dan secara terus menerus
mengimplementasikan upaya pengurangan risiko bencana.
Pembentukan karakter anak didik baik laki-laki maupun perempuan di
Sekolah/Madrasah sangat dipengaruhi kondisi pendidik dan tenaga
kependidikan, infrastruktur, fasilitas, pengelolaan dan pembiayaan yang
bertanggung jawab, dan terutama proses pembelajaran yang dialami siswa.
Hal ini sejalan dengan tema strategis bidang pendidikan pada periode
tahun 2010-2015 yang menekankan pada pembangunan dan penguatan
pelayanan prima pendidikan.
Dalam rencana Penerapan Sekolah/Madrasah Aman dari Bencana dengan
jangka panjang, Pedoman ini menggunakan tiga tema strategis, yaitu (1)
Sinkronisasi Kebijakan (2) Peningkatan Partisipasi Publik termasuk anak
(3) Pelembagaan.
a. Sinkronisasi Kebijakan
Pemetaan kebijakan dari berbagai K/L/D/I menjadi bahan
pertimbangan utama dalam tema strategi sinkronisasi kebijakan. Dasar
hukum dalam pedoman ini disusun berdasarkan hasil sinkronisasi
kebijakan yang menjunjung tinggi nilai-nilai dan prinsip-prinsip
penerapan sekolah/madrasah aman dari bencana.
b. Peningkatan Partisipasi Publik termasuk Anak
Tema strategis peningkatan partisipasi publik termasuk anak dalam
pedoman ini adalah menjadikan anak dan kaum muda mitra dalam
Penerapan Sekolah/Madrasah Aman dari Bencana. Kegiatan penerapan
sekolah/madrasah aman terintegrasi dengan pengetahuan dan
keterampilan yang sudah dimiliki warga sekolah seperti Sekolah Sehat,
Sekolah Hijau, Sekolah Adiwiyata, Lingkungan Inklusi dan Ramah
Pembelajaran serta model-model Pendidikan Ramah Anak lainnya.
c. Pelembagaan
Penerapan sekolah/madrasah aman dari bencana sejalan dengan
peran dan fungsi masing-masing K/L/D/I terkait melalui pembentukan
kelembagaan yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Peran Pemangku Kepentingan
1) Peran peserta didik
a. Peserta didik melembagakan aktivitas pengurangan risiko bencana
b. Peserta didik menjadi tutor sebaya bagi sekolah yang belum
memenuhi standar sekolah aman.
2) Peran orangtua
a. Membantu merumuskan program Sekolah/Madrasah Aman
dengan Komite sekolah.
b. Orangtua membantu menyebarluaskan penerapan
Sekolah/Madrasah aman
3) Peran Pendidik dan Profesional Lainnya
a. Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan mengenai bahaya,
kerentanan dan kapasitas sekolah/madrasah termasuk anak
dalam upaya pengurangan risiko bencana.
b. Melakukan usaha-usaha terencana guna mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik aktif dalam
penerapan sekolah/madrasah aman dari bencana secara non-
struktural
c. Bekerja sama dengan warga sekolah lainnya termasuk anak dalam
upaya penerapan sekolah/madrasah aman dari bencana secara
struktural maupun non-struktural
4) Peran Komite Sekolah/Madrasah
a. Membentuk forum orangtua dan guru dalam upaya penerapan
sekolah/madrasah aman dari bencana melalui pengenalan materi
PRB kepada para peserta didik, pembuatan jalur evakuasi dan
upaya-upaya untuk mewujudkan sekolah/madrasah yang lebih
aman, sehatdan nyaman termasuk bagi anak berkebutuhan
khusus.
b. Komite Sekolah/Madrasah melakukan Pemantauan, pemeriksaan
Kelayakan Gedung, Pemeliharaan dan perawatan Gedung.
5) Peran Organisasi Non-pemerintah, Nasional, Internasional
a. Membantu sekolah/madrasah dalam melakukan upaya
pengurangan risiko bencana termasuk anak didik berkebutuhan
khusus.
b. Mendukung kemitraan dan membangun jejaring pengetahuan
antar sekolah/madrasah.
c. Mengembangkan dan menyediakan materi-materi pendidikan,
pengurangan risiko bencana.
d. Memberikan bantuan teknis penerapan sekolah/madrasah aman
dari bencana secara struktural maupun non- struktural
e. Membantu pemerintah dan pemerintah daerah dalam penerapan
sekolah/madrasah aman dari bencana secara struktural maupun
non-struktural
6) Peran Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah
a. Melakukan kegiatan-kegiatan penerapan sekolah/madrasah aman
dari bencana sejalan dengan ketiga tema strategis, prinsip-prinsip,
nilai-nilai dan kerangka kerja.
b. Memperkuat mekanisme pemantauan, evaluasi dan pelaporan
penerapan sekolah/madrasah aman dari bencana termasuk
pemutahiran data rehabilitasi sekolah, baik secara elektronik
maupun manual
c. Menyediakan pedoman dan petunjuk teknis yang diperlukan oleh
sekolah/madrasah dalam penerapan sekolah/madrasah aman dari
bencana secara struktural dan non-struktural.
d. Mendorong pembinaan berkelanjutan dengan mengintegrasikan
penerapan Sekolah/Madrasah Aman dari Bencana kedalam revisi
SKB 4 Menteri mengenai Pembinaan dan Pengembangan Usaha
Kesehatan Sekolah.
e. Memastikan perencanaan Penerapan Sekolah/Madrasah Aman
dari Bencana sebagai bagian dari Rencana Penanggulangan
Bencana.
7) Peran Media Massa
a. Media massa melakukan Sosialisasi dan advokasi penerapan
sekolah/madrasah aman dari bencana kepada masyarakat luas.
b. Media massa berperan sebagai alat kontrol dalam penerapan
sekolah/madrasah aman dari bencana.
Pembentukan Desa Atau Kelurahan Tangguh Bencana

Prinsip-prinsip
Upaya PRB yang menempatkan warga masyarakat yang tinggal di kawasan
rawan bencana sebagai pelaku utama, sebagai subjek yang berpartisipasi dan
bukan objek, akan lebih berkelanjutan dan berdaya guna. Masyarakat yang sudah
mencapai tingkat ketangguhan terhadap bencana akan mampu mempertahankan
struktur dan fungsi mereka sampai tingkat tertentu bila terkena bencana.
Program Desa/Kelurahan Tangguh Bencana dikembangkan berdasarkan prinsip-
prinsip berikut:
 Bencana adalah urusan bersama.
 Berbasis Pengurangan Risiko Bencana.
 Pemenuhan Hak Masyarakat.
 Masyarakat Menjadi Pelaku Utama.
 Dilakukan Secara Partisipatoris.
 Mobilisasi Sumber Daya Lokal.
 Inklusif.
 Berlandaskan Kemanusiaan.
 Keadilan dan Kesetaraan Gender
 Keberpihakan Pada Kelompok Rentan.
 Transparansi dan Akuntabilitas.
 Kemitraan.
 Multi Ancaman.
 Otonomi dan Desentralisasi Pemerintahan.
 Pemaduan ke Dalam Pembangunan Berkelanjutan.
 Diselenggarakan Secara Lintas Sektor.

KriteriaUmum
Program Desa/Kelurahan Tangguh Bencana akan mengacu juga pada kerangka
masyarakat tangguh internasional yang dikembangkan berdasarkan Kerangka
Aksi Hyogo, yakni mengandung aspek tata kelola; pengkajian risiko; peningkatan
pengetahuan dan pendidikan kebencanaan; manajemen risiko dan pengurangan
kerentanan; dan aspek kesiapsiagaan serta tanggap bencana. Karena akan tidak
mudah bagi desa/kelurahan untuk langsung mencapai kondisi ideal yang
mengandung semua aspek tersebut, Desa/Kelurahan Tangguh Bencana dibagi
menjadi tiga kriteria utama, yaitu Desa/Kelurahan Tangguh Bencana Utama,
Madya dan Pratama. Kriteria ini ditetapkan berdasarkan tingkat pencapaian atas
beberapa indicator dan salah satu alat indikator dapat berupa kuisioner.
Kuesioner dapat digunakan untuk mengukur tingkat ketangguhan sebuah desa
atau kelurahan dalam menghadapi bencana, atau kategori pencapaian suatu desa
dalam tiga kriteria utama desa tangguh, yakni Desa/Kelurahan Tangguh Bencana
Utama, Madya dan Pratama. Pertanyaan dibagi dalam tiga pertanyaan utama
sebagai berikut:
1. Pertanyaan pertama: mengidentifikasi apakah telah ada upaya
atau prakarsa-prakarsa awal untuk mencapai indikator pada
nomor yang bersangkutan.
2. Pertanyaan kedua: mengidentifikasi apakah indikator nomor
bersangkutan telah tercapai, tetapi belum menunjukkan kinerja
yang memuaskan.
3. Pertanyaan ketiga: mengidentifikasi apakah pencapaian indikator
pada nomor tersebut telah diikuti dengan kinerja yang
memuaskan dan jelas- jelas membawa perubahan yang berarti
dalam pengurangan risiko bencana.
Pertanyaan disusun dengan jawaban ‘Ya’ atau ‘Tidak’ dan setiap jawaban ‘Ya’
akan diberi skor 1, sementara jawaban ‘Tidak’ akan diberi skor 0. Berdasarkan
penilaian ini desa atau kelurahan dapat dikelompokkan menjadi.
- Desa/Kelurahan Tangguh Bencana Utama (skor 51-60)
- Desa/Kelurahan Tangguh Bencana Madya (skor 36-50)
- Desa/Kelurahan Tangguh Bencana Pratama (skor 20-35) 

Selain sebagai alat untuk mengukur tingkat ketangguhan secara sederhana,
kuesioner juga dapat digunakan sebagai dasar atau acuan dalam pengembangan
desa/kelurahan tangguh bencana. Hasil penilaian kuesioner menyajikan aspek-
aspek yang masih kurang dan harus ditingkatkan, sehingga pengembang
desa/kelurahan tangguh dapat mengarahkan upayanya secara lebih terfokus dan
terpadu. Penilaian tingkat ketangguhan melalui kuesioner ini merupakan
penilaian yang sifatnya sederhana dan sedikit subjektif. Agar menjadi lebih
objektif, penilaian dapat dilengkapi dengan teknik dan instrumen penilaian lain
yang lebih kuat dan lebih terinci. Hasil penilaian akan menghasilkan tiga kategori
Desa/Kelurahan Tangguh dengan kriteria sebagai berikut ini:
1. Desa/Kelurahan Tangguh Bencana Utama 

Tingkat ini adalah tingkat tertinggi yang dapat dicapai oleh sebuah
desa/kelurahan yang berpartisipasi dalam program ini. Tingkat ini
dicirikan dengan:
a. Adanya kebijakan PRB yang telah dilegalkan dalam bentuk
Perdes 
atau perangkat hukum setingkat di kelurahan
b. Adanya dokumen perencanaan PB yang telah dipadukan ke
dalam 
RPJMDes dan dirinci ke dalam RKPDes
c. Adanya forum PRB yang beranggotakan wakil-wakil
masyarakat, 
termasuk kelompok perempuan dan kelompok
rentan, dan wakil 
pemerintah desa/ kelurahan, yang
berfungsi dengan aktif.
d. Adanya tim relawan PB Desa/Kelurahan yang secara rutin
terlibat aktif dalam kegiatan peningkatan kapasitas,
pengetahuan dan pendidikan kebencanaan bagi para
anggotanya dan masyarakat pada 
umumnya
e. Adanya upaya-upaya sistematis untuk mengadakan
pengkajian risiko, 
manajemen risiko dan pengurangan
kerentanan, termasuk kegiatan- 
kegiatan ekonomi produktif
alternatif untuk mengurangi kerentanan
f. Adanya upaya-upaya sistematis untuk meningkatkan
kapasitas 
kesiapsiagaan serta tanggap bencana
2. Desa/Kelurahan Tangguh Bencana Madya 

Tingkat ini adalah tingkat menengah yang dicirikan dengan:
a. Adanya kebijakan PRB yang tengah dikembangkan di tingkat
desa 
atau kelurahan
b. Adanya dokumen perencanaan PB yang telah tersusun tetapi
belum 
terpadu ke dalam instrumen perencanaan desa
c. Adanya forum PRB yang beranggotakan wakil-wakil dari
masyarakat, 
termasuk kelompok perempuan dan kelompok
rentan, tetapi belum 
berfungsi penuh dan aktif
d. Adanya tim relawan PB Desa/Kelurahan yang terlibat dalam
kegiatan 
peningkatan kapasitas, pengetahuan dan
pendidikan kebencanaan bagi para anggotanya dan
masyarakat pada umumnya, tetapi belum rutin dan tidak
terlalu aktif
e. Adanya upaya-upaya untuk mengadakan pengkajian risiko,
manajemen risiko dan pengurangan kerentanan, termasuk
kegiatan- kegiatan ekonomi produktif alternatif untuk mengurangi
kerentanan, tetapi belum terlalu teruji
f. Adanya upaya-upaya untuk meningkatkan kapasitas kesiapsiagaan
serta tanggap bencana yang belum teruji dan sistematis
3. Desa/Kelurahan Tangguh Bencana Pratama
Tingkat ini adalah tingkat awal yang dicirikan dengan:
a. Adanya upaya-upaya awal untuk menyusun kebijakan PRB di
tingkat 
desa atau kelurahan
b. Adanya upaya-upaya awal untuk menyusun dokumen
perencanaan 
PB
c. Adanya upaya-upaya awal untuk membentuk forum PRB yang

beranggotakan wakil-wakil dari masyarakat
d. Adanya upaya-upaya awal untuk membentuk tim relawan PB

Desa/Kelurahan
e. Adanya upaya-upaya awal untuk mengadakan pengkajian risiko,

manajemen risiko dan pengurangan kerentanan
f. Adanya upaya-upaya awal untuk meningkatkan kapasitas

kesiapsiagaan serta tanggap bencana

Peran Pemerintah di Tingkat Provinsi, Kabupaten/Kota, Kecamatan, dan


Desa/Kelurahan
BPBD di tingkat provinsi dapat mendorong BPBD di tingkat kabupaten/kota
untuk mengembangkan program Desa/Kelurahan Tangguh Bencana. Pada tahap-
tahap awal BPBD kabupaten/kota perlu berperan aktif dalam mendorong dan
memfasilitasi desa-desa/kelurahan untuk merencanakan dan melaksanakan
program ini. Selain bantuan teknis, BPBD Kabupaten/Kota diharapkan turut
memberikan dukungan sumber daya untuk pengembangan program di tingkat
desa/kelurahan dan masyarakat.

Pemerintah di tingkat kecamatan diharapkan membantu BPBD kabupaten/kota


dalam memantau dan memberi bantuan teknis bagi pelaksana program di
tingkat desa atau kelurahan. Di tingkat masyarakat, para pemimpin masyarakat,
tokoh adat dan tokoh agama akan bekerja sama dengan aparat pemerintah
dalam mobilisasi warga untuk mengadopsi pendekatan program ini. Peran
pemerintah di tingkat provinsi, kabupaten/kota, kecamatan dan desa/ kelurahan
akan diatur dengan lebih terinci dalam pedoman yang akan diterbitkan.

Peran Pemangku Kepentingan Non-pemerintah dan Masyarakat


Penanggulangan bencana dan pengurangan risiko bencana merupakan tanggung
jawab semua pihak, karena bencana dapat mengenai siapa saja tanpa pandang
bulu. Oleh karena itu, kerjasama antar pemerintah dan pihak- pihak non
pemerintah merupakan suatu hal penting dalam upaya pengurangan risiko
bencana. Pemerintah membuka peluang sebesar-besarnya bagi perguruan tinggi,
LSM, organisasi masyarakat, sektor swasta, dan pihak- pihak lainnya untuk
berpartisipasi aktif dalam pengurangan risiko bencana, termasuk dalam
pengembangan Desa/Kelurahan Tangguh Bencana dan prakarsa-prakarsa
serupa lainnya.

Intervensi pemerintah dan pihak-pihak non-pemerintah dalam program Desa/


Kelurahan Tangguh Bencana haruslah bersifat sesedikit mungkin dan lebih
sebagai semacam stimulan. Oleh karena itu, di ujung program, yaitu di tingkat
masyarakat, masyarakat sendirilah yang harus berperan aktif sebagai inisiator,
perencana dan pelaksananya. Program ini harus bersifat “dari”, “oleh” dan
“untuk” masyarakat. Keterlibatan masyarakat dapat diatur melalui kelompok-
kelompok siaga bencana/PRB atau tim relawan PB berbasis komunitas
desa/kelurahan. Kelompok dapat dibentuk secara khusus atau memanfaatkan
dan mengembangkan kelompok yang sudah ada di desa/kelurahan, baik
kelompok berbasis teritorial maupun sektoral/kategorial. Tim ini bukan
merupakan bagian dari struktur pemerintah desa, tetapi pemerintah desa
terlibat di dalamnya bersama dengan unsur-unsur masyarakat sipil.

Kelompok siaga bencana/tim relawan PB berbasis komunitas desa/kelurahan


perlu menjamin adanya partisipasi dan keterwakilan kepentingan kelompok
rentan dan mereka yang kurang beruntung dalam pembangunan (kelompok
terpinggirkan) dalam proses pengambilan keputusan. Dalam kepengurusan juga
perlu dijamin adanya keterwakilan semua unsur masyarakat dan keikutsertaan
kelompok marjinal. Kelompok ini haruslah bekerja dengan kompak, efektif,
dapat dipercaya, berwenang dan kreatif. Juga penting untuk memastikan
hubungan kelembagaan yang baik dengan pemerintahan desa dan pemangku
kepentingan lain. Dalam jangka panjang kelompok dapat ditingkatkan menjadi
Forum PRB Desa/Kelurahan. Forum PRB Desa/Kelurahan perlu membangun
jejaring dengan forum-forum sejenis di tingkat kecamatan maupun
kabupaten/kota untuk membangun solidaritas yang luas.
Kesimpulan Dan Saran

Untuk membentuk sebuah usaha yang komprehensif guna menciptakan


masyarakat yang tangguh akan bencana alam perlu adanya usaha maksimal dari
berbagai kalangan, bukan hanya pemerintah tapi juga masyarakat harus
terbentuk kesadarannya secara utuh. Untuk memenuhi semua itu perlu adanya
disiplin tinggi bagi semua kalangan untuk mewujudkan perencanaan yang telah
ditetapkan sehingga seluruh elemen senantiasa siap ketika bencana datang atau
menerpa dan mampu untuk bangkit dengan cepat setelah bencana terjadi.
Daftar Pustaka

Anda mungkin juga menyukai