[Document Subtitle]
Ridwan Aldilah
ABSTRACT
[Type the abstract of the document here. The abstract is typically a short
summary of the contents of the document.]
Daftar Isi
Daftar Isi ................................................................................................................................ 2
Pendahuluan ........................................................................................................................ 4
Pada umumnya risiko bencana alam meliputi bencana akibat faktor geologi
(gempabumi, tsunami dan letusan gunung api), bencana akibat
hydrometeorologi (banjir, tanah longsor, kekeringan, angin topan), bencana
akibat faktor biologi (wabah penyakit manusia, penyakit tanaman/ternak, hama
tanaman) serta kegagalan teknologi (kecelakan industri, kecelakaan
transportasi, radiasi nuklir, pencemaran bahan kimia). Bencana akibat ulah
manusia terkait dengan konflik antar manusia akibat perebutan sumberdaya
yang terbatas, alasan ideologi, religius serta politik. Sedangkan kedaruratan
kompleks merupakan kombinasi dari situasi bencana pada suatu daerah konflik.
Dalam sejarah gempa Indonesia sudah tercatat 47 gempa diatas 5 skala richter
sejak tahun 2000 hingga sekarang. Gempa diatas kekuatan 5 skala richter
merupakan potensi bencana alam yang mampu merenggut banyak korban dan
kerugian yang tidak sedikit. Seperti contohnya gempa yang paling dasyat dalam
kurun waktu tahun 2000-2013 yakni gempa Sumatra aceh dan kepulauan
Andaman pada desember ahun 2004 yang menewaskan 227.898 jiwa. Selain itu
ada gempa Jogjakarta pada Mei 2006 yang merenggut 5.749 jiwa dan memporak-
porandakan provinsi daerah istimewa Jogjakarta sehingga menimbulkan
dampak bencana lainnya yakni pengungsian masyarakat karena tempat tinggal
masyarakat rata dengan tanah dan dibutuhkan rehabilitasi yang tidak sebentar
dan mempengaruhi kehidupan masyarakat kala itu.
Perlu adanya sebuah sistem penanggulangan bencana secara umum dan bencana
gempa secara khusus guna memperkuat ketahanan bangsa dan Negara dan
mengurangi dampak yang signifikan diakibatkan oleh bencana itu sendiri.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
mengamanatkan pada pasal 35 dan 36 agar setiap daerah dalam upaya
penanggulangan bencana, mempunyai perencanaan penanggulangan bencana.
Secara lebih rinci disebutkan di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun
2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana. Dengan demikian
diharapkan terbentuknya kesadaran masyarakat sehingga menciptakan sekolah-
sekolah tangguh bencana atau kampung / kelurahan tangguh bencana. Dengan
program ini diharapkan senantiasa masyarakat Indonesia mampu menghadapi
bencana alam dan mampu bangkit secara ceat dan sistematis setelah bencana
terjadi.
Pemahaman Bencana
Definisi Bencana
Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan
mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik
oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga
mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian
harta benda, dan dampak psikologis.
Definisi tersebut menyebutkan bahwa bencana disebabkan oleh faktor alam, non
alam, dan manusia. Oleh karena itu, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007
tersebut juga mendefinisikan mengenai bencana alam, bencana nonalam, dan
bencana sosial, berikut ini merupakan definisi dari bencana-bencana yang
disebutkan diatas :
1. Gempa Bumi
Bencana yang dapat timbul oleh gempa bumi ialah berupa kerusakan atau
kehancuran bangunan (rumah, sekolah, rumah sakit dan bangunan umum
lain), dan konstruksi prasarana fisik (jalan, jembatan, bendungan, pelabuhan
laut/udara, jaringan listrik dan telekomunikasi, dli), serta bencana sekunder
yaitu kebakaran dan korban akibat timbulnya kepanikan.
2. Tsunami
Tsunami adalah gelombang pasang yang timbul akibat terjadinya gempa
bumi di laut, letusan gunung api bawah laut atau longsoran di laut. Namun
tidak semua fenomena tersebut dapat memicu terjadinya tsunami. Syarat
utama timbulnya tsunami adalah adanya deformasi (perubahan bentuk yang
berupa pengangkatan atau penurunan blok batuan yang terjadi secara tiba-
tiba dalam skala yang luas) di bawah laut.. Terdapat empat faktor pada
gempa bumi yang dapat menimbulkan tsunami, yaitu: 1). pusat gempa bumi
terjadi di Iaut, 2). Gempa bumi memiliki magnitude besar, 3). kedalaman
gempa bumi dangkal, dan 4). terjadi deformasi vertikal pada lantai dasar laut.
Gelombang tsunami bergerak sangat cepat, mencapai 600-800 km per jam,
dengan tinggi gelombang dapat mencapai 20 m.
3. Letusan Gunung Api
Pada letusan gunung api, bencana dapat ditimbulkan oleh jatuhan material
letusan, awan panas, aliran lava, gas beracun, abu gunung api, dan bencana
sekunder berupa aliran Iahar. Luas daerah rawan bencana gunung api di
seluruh Indonesia sekitar 17.000 km2 dengan jumlah penduduk yang
bermukim di kawasan rawan bencana gunung api sebanyak kurang lebih 5,5
juta jiwa. Berdasarkan data frekwensi letusan gunung api, diperkirakan tiap
tahun terdapat sekitar 585.000 orang terancam bencana letusan gunung api.
4. Banjir
Indonesia daerah rawan bencana, baik karena alam maupun ulah
manusia. Hampir semua jenis bencana terjadi di Indonesia, yang paling
dominan adalah banjir tanah longsor dan kekeringan. Banjir sebagai
fenomena alam terkait dengan ulah manusia terjadi sebagai akibat
akumulasi beberapa faktor yaitu : hujan, kondisi sungai, kondisi daerah
hulu, kondisi daerah budidaya dan pasang surut air laut. Potensi
terjadinya ancaman bencana banjir dan tanah longsor saat Ini disebabkan
keadaan badan sungai rusak, kerusakan daerah tangkapan air,
pelanggaran tata-ruang wilayah, pelanggaran hukum meningkat,
perencanaan pembangunan kurang terpadu, dan disiplin masyarakat
yang rendah. Pada sub bab ini perlu disebutkan lokasi-lokasi yang rawan
banjir di daerah yang bersangkutan.
5. Tanah Longsor
Longsoran merupakan salah satu jenis gerakan massa tanah atau batuan,
ataupun percampuran keduanya, menuruni atau keluar lereng akibat dari
terganggunya kestabilan tanah atau batuan penyusun lereng tersebut.
Pemicu dari terjadinya gerakan tanah ini adalah curah hujan yang tinggi
serta kelerengan tebing. Bencana tanah longsor sering terjadi di
Indonesia yang mengakibatkan kerugian jiwa dan harta benda. Untuk itu
perlu ditingkatkan kesiapsiagaan dalam menghadapi jenis bencana ini.
Dalam bab ini ditampilkan daerah-daerah yang rawan terhadap bencana
tanah longsor yang ditampilkan dalam bentuk peta, serta jika data
memungkinan ditampilkan juga statistik kejadian dan kerusakan yang
pernah dialami.
6. Kebakaran
Potensi bahaya kebakaran hutan dan lahan di Indonesia cukup besar.
Hampir setiap musim kemarau Indonesia menghadapi bahaya kebakaran
lahan dan hutan dimana berdapak sangat luas tidak hanya kehilangan
keaneka ragaman hayati tetapi juga timbulnya ganguan asap di wilayah
sekitar yang sering kali mengganggu negara-negara tetangga. Kebakaran
hutan dan lahan dari tahun ke tahun selalu terjadi. Hal tersebut memang
berkaitan dengan banyak hal. Dari ladang berpindah sampai penggunaan
HPH yang kurang bertanggungjawab, yaitu penggarapan lahan dengan
cara pembakaran. Hal lain yang menyebabkan terjadinya kebakaran
hutan adalah kondisi tanah di daerah banyak yang mengandung gambut.
Tanah semacam ini pada waktu dan kondisi tertentu kadang-kadang
terbakar dengan sendirinya. Pada sub bab ini perlu disebutkan lokasi-
lokasi yang rawan kebakaran di daerah yang bersangkutan.
7. Kekeringan
Bahaya kekeringan dialami berbagai wilayah di Indonesia hampir setiap
musim kemarau. Hal ini erat terkait dengan menurunnya fungsi lahan
dalam menyimpan air. Penurunan fungsi tersebut ditengarai akibat
rusaknya ekosistem akibat pemanfaatan lahan yang berlebihan. Dampak
dari kekeringan ini adalah gagal panen, kekurangan bahan makanan
hingga dampak yang terburuk adalah banyaknya gejala kurang gizi
bahkan kematian. Pada bab ini disajikan identifikasi daerah-daerah yang
rawan kekeringan serta ditampilkan dalam bentuk peta.
8. Epidemi dan Wabah Penyakit
Wabah adalah kejadian berjangkitnya suatu penyakit menular dalam
masyarakat yang jumlah penderitanya meningkat secara nyata melebihi
dari pada keadaan yang lazim pada waktu dan daerah tertentu serta
dapat menimbulkan malapetaka. Epidemi baik yang mengancam manusia
maupun hewan ternak berdampak serius berupa kematian serta
terganggunya roda perekonomian. Beberapa indikasi/gejala awal
kemungkinan terjadinya epidemi seperti avian influenza/Flu burung,
antrax serta beberapa penyakit hewan ternak lainnya yang telah
membunuh ratusan ribu ternak yang mengakibatkan kerugian besar bagi
petani. Pada bab ini disajikan identifikasi daerah-daerah yang rawan
terhadap wabah penyakit manusia/hewan yang berpotensi menimbulkan
bencana.
9. Kebakaran Gedung dan Pemukiman
Kebakaran gedung dan permukiman penduduk sangat marak pada musim
kemarau. Hal ini terkait dengan kecerobohan manusia diantaranya
pembangunan gedung/rumah yang tidak mengikuti standard keamanan
bangunan serta perilaku manusia. Hubungan arus pendek listrik,
meledaknya kompor serta kobaran api akibat lilin/lentera untuk
penerangan merupakan sebab umum kejadian kebakaran
permukiman/gedung. Dalam bab ini ditampilkan daerah-daerah yang
rawan terhadap bencana kebakaran ini serta jika data memungkinan
ditampilkan juga statistik kejadian dan kerusakan yang pernah dialami.
10. Kegagalan Teknologi
Kegagalan teknologi merupakan kejadian yang diakibatkan oleh
kesalahan desain, pengoperasian, kelalaian dan kesengajaan manusia
dalam menggunakan teknologi dan atau industri. Dampak yang
ditimbulkan dapat berupa kebakaran, pencemaran bahan kimia, bahan
radioaktif/nuklir, kecelakaan industri, kecelakaan transportasi yang
menyebabkan kerugian jiwa dan harta benda. Dalam bab ini ditampilkan
daerah-daerah yang rawan terhadap bencana kegagalan teknologi ini
serta jika data memungkinan ditampilkan juga statistik kejadian dan
kerusakan yang pernah dialami.
Manajemen Penanggulangan Bencana
1. Kerentanan Fisik
Secara fisik bentuk kerentanan yang dimiliki masyarakat berupa daya tahan
menghadapi bahaya tertentu, misalnya: kekuatan bangunan rumah bagi
masyarakat yang berada di daerah rawan gempa, adanya tanggul pengaman
banjir bagi masyarakat yang tinggal di bantaran sungai dan sebagainya.
2. Kerentanan Ekonomi
Kemampuan ekonomi suatu individu atau masyarakat sangat menentukan
tingkat kerentanan terhadap ancaman bahaya. Pada umumnya masyarakat
atau daerah yang miskin atau kurang mampu lebih rentan terhadap bahaya,
karena tidak mempunyai kemampuan finansial yang memadai untuk
melakukan upaya pencegahan atau mitigasi bencana.
3. Kerentanan Sosial
Kondisi sosial masyarakat juga mempengaruhi tingkat kerentanan terhadap
ancaman bahaya. Dari segi pendidikan, kekurangan pengetahuan tentang
risiko bahaya dan bencana akan mempertinggi tingkat kerentanan, demikian
pula tingkat kesehatan masyarakat yang rendah juga mengakibatkan rentan
menghadapi bahaya.
4. Kerentanan Lingkungan
Lingkungan hidup suatu masyarakat sangat mempengaruhi kerentanan.
Masyarakat yang tinggal di daerah yang kering dan sulit air akan selalu
terancam bahaya kekeringan. Penduduk yang tinggal di lereng bukit atau
pegunungan rentan terhadap ancaman bencana tanah longsor dan
sebagainya.
Semakin tinggi ancaman bahaya di suatu daerah, maka semakin tinggi risiko
daerah tersebut terkena bencana. Demikian pula semakin tinggi tingkat
kerentanan masayarakat atau penduduk, maka semakin tinggi pula tingkat
risikonya. Tetapi sebaliknya, semakin tinggi tingkat kemampuan masyarakat,
maka semakin kecil risiko yang dihadapinya. Dengan menggunakan perhitungan
analisis risiko dapat ditentukan tingkat besaran risiko yang dihadapi oleh daerah
yang bersangkutan. Sebagai langkah sederhana untuk pengkajian risiko adalah
pengenalan bahaya/ancaman di daerah yang bersangkutan. Semua
bahaya/ancaman tersebut diinventarisasi, kemudian di perkirakan kemungkinan
terjadinya (probabilitasnya) dengan rincian :
2 Tanah longsor 4 2
3 Banjir 4 3
4 Kekeringan 3 1
Gambaran potensi ancaman di atas dapat ditampilkan dengan model lain dengan
tiga warna berbeda yang sekaligus dapat menggambarkan prioritas seperti
berikut:
Gambar 4 Matriks Bencana
Upaya atau kegiatan dalam rangka pencegahan dan mitigasi yang dilakukan,
bertujuan untuk menghindari terjadinya bencana serta mengurangi risiko yang
ditimbulkan oleh bencana. Tindakan mitigasi dilihat dari sifatnya dapat
digolongkan menjadi 2 (dua) bagian, yaitu mitigasi pasif dan mitigasi aktif.
Tindakan pencegahan yang tergolong dalam mitigasi pasif antara lain adalah:
Penyusunan peraturan perundang-undangan
Pembuatan peta rawan bencana dan pemetaan masalah.
Pembuatan pedoman/standar/prosedur
Pembuatan brosur/leaflet/poster
Penelitian / pengkajian karakteristik bencana
Pengkajian / analisis risiko bencana
Internalisasi PB dalam muatan lokal pendidikan
Pembentukan organisasi atau satuan gugus tugas bencana
Perkuatan unit-unit sosial dalam masyarakat, seperti forum
Pengarus-utamaan PB dalam perencanaan pembangunan
Sedangkan tindakan pencegahan yang tergolong dalam mitigasi aktif antara lain:
5) Tanggap Darurat
6. Pemulihan
tahap prabencana,
saat tanggap darurat, dan
pascabencana.
Kesiapsiagaan
Peringatan Dini
Mitigasi Bencana
Kegiatan-kegiatan pra-bencana ini dilakukan secara lintas sector dan multi
stakeholder,oleh karena itu fungsi BNPB/BPBD adalah fungsi koordinasi.
pengkajian secara cepat dan tepat terhadap lokasi, kerusakan, dan sumber
daya;
penentuan status keadaan darurat bencana;
penyelamatan dan evakuasi masyarakat terkena bencana;
pemenuhan kebutuhan dasar;
perlindungan terhadap kelompok rentan; dan
pemulihan dengan segera prasarana dan sarana vital.
Pasca Bencana
Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada tahap pasca bencana meliputi:
rehabilitasi; dan
rekonstruksi.
Secara lebih rinci antara lain dapat dilihat pada Bab VI (Bab Pilihan Tindakan
Penanggulangan Bencana).
Mekanisme Penanggulangan Bencana
Mekanisme penanggulangan bencana yang akan dianut dalam hal ini adalah
mengacu pada UU No 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana
dan
Peraturan Pemerintah No 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan
Penanggulangan Bencana. Dari peraturan perundang-
undangan tersebut di
atas, dinyatakan bahwa mekanismetersebut dibagi ke dalam tiga tahapan yaitu :
Pada pra bencana maka fungsi BPBD bersifat koordinasi dan pelaksana,
Pada saat Darurat bersifat koordinasi, komando dan pelaksana
Pada pasca bencana bersifat koordinasi dan pelaksana.
Pendanaan
Sebagian besar pembiayaan untuk kegiatan-kegiatan Penanggulangan bencana
terintegrasikan dalam kegiatan-kegiatan pemerintahan dan pembangunan yang
dibiayai dari anggaran pendapatan dan belanja nasional, propinsi atau
kabupaten/kota. Kegiatan sektoral dibiayai dari anggaran masing-masing sektor
yang bersangkutan. Kegiatan-kegiatan khusus seperti pelatihan, kesiapan,
penyediaan peralatan khusus dibiayai dari pos-pos khusus dari anggaran
pendapatan dan belanja nasional, propinsi atau kabupaten/kota. Pemerintah
dapat menganggarkan dana kontinjensi untuk mengantisipasi diperlukannya
dana tambahan untuk menanggulangi kedaruratan. Besarnya dan tatacara akses
serta penggunaannya diatur bersama dengan DPR yang bersangkutan. Bantuan
dari masyarakat dan sektor non-pemerintah, termasuk badan-badan PBB dan
masyarakat internasional, dikelola secara transparan oleh unit-unit koordinasi.
Bencana Gempa Dan Potensi Nya Secara Umum
Tabel 0-1 tabel potensi bencana gempa menurut kabupaten di provinsi Jawa Barat
Manajemen Penanggulangan Bencana Gempa (Contoh Kasus
Aceh)
Berikut ini adalah rantai oprasi komando penanggulangan (Kodal) Provinsi NAD
sebagai gambaran oprasi penaggulangan bencana gempa dan tsunami.
Berikut ini adalah bagan yang menggambarkan Kodal Aceh dalam organigram
komando dan hirarki pertanggung jawaban secara jabatan dan fungsi :
Pembentukan Badan Penanggulangan Bencana Gempa Serta
Aktor, Peran dan Tugasnya
Tanggung Jawab
1) Pemerintah Daerah bertanggungjawab dalam penyelenggaraan
penanggulangan bencana di wilayahnya.
a. Bupati/Walikota sebagai penanggungjawab utama dalam
penyelenggaraan penanggulangan bencana di wilayahnya.
b. Gubernur memberikan dukungan perkuatan penyelenggaraan
penanggulangan bencana di wilayahnya.
2) Pemerintah Daerah bertanggung jawab untuk:
a. mengalokasikan dan menyediakan dana penanggulangan bencana
dalam APBD secara memadai untuk penyelenggaraan
penanggulangan bencana, pada setiap tahap pra-bencana, tanggap
darurat dan pasca-bencana.
b. memadukan penanggulangan bencana dalam pembangunan
daerah dalam bentuk:
i. mengintegrasikan pengurangan risiko bencana dan
penanggulangan bencana dalam Rencana Pembangunan
Jangka Panjang Daerah (RPJPD), Rencana Pembangunan
Jangka Menengah (RPJMD), dan Rencana Kerja Pemerintah
Daerah (RKPD);
ii. menyusun dan menetapkan rencana penanggulangan
bencana serta meninjau secara berkala dokumen
perencanaan penanggulangan bencana.
c. melindungi masyarakat dari ancaman dan dampak bencana,
melalui:
i. pemberian informasi dan pengetahuan tentang ancaman
dan risiko bencana di wilayahnya;
ii. pendidikan, pelatihan dan peningkatan keterampilan dalam
penyelenggaraan penanggulangan bencana;
iii. perlindungan sosial dan pemberian rasa aman, khususnya
bagi kelompok rentan bencana;
iv. pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, penanganan darurat,
rehabilitasi dan rekonstruksi.
d. melaksanakan tanggap darurat sejak kaji cepat, penentuan
tingkatan bencana, penyelamatan dan evakuasi, penanganan
kelompok rentan dan menjamin pemenuhan hak dasar kepada
masyarakat korban bencana yang meliputi :
i. pangan;
ii. pelayanan kesehatan;
iii. kebutuhan air bersih dan sanitasi;
iv. sandang;
v. penampungan dan tempat hunian sementara;dan
vi. pelayanan psiko-sosial.
e. memulihkan dan meningkatkan secara lebih baik:
i. kehidupan sosial-ekonomi, budaya dan lingkungan, serta
keamanan dan ketertiban masyarakat;
ii. infrastruktur/fasilitas umum/sosial yang rusak akibat
bencana.
3) Dalam hal pemerintah daerah tidak memiliki kemampuan sumberdaya
untuk penanggulangan bencana, pemerintah daerah yang bersangkutan
dapat meminta bantuan kepada Pemerintah.
Wewenang
Pemerintah Daerah memiliki kewenanganan dalam penyelenggaraan
penanggulangan bencana yang ditetapkan sbb :
1. Gubernur/Bupati/Walikota:
a. merumuskan dan menetapkan kebijakan penanggulangan bencana sesuai
dengan tingkat kewenangan dan karakteristik wilayahnya.
b. menentukan status dan tingkatan keadaan darurat bencana sesuai dengan
peraturan perundangan yang berlaku.
c. mengerahkan seluruh potensi/sumberdaya yang ada di wilayahnya untuk
mendukung penyelenggaraan penanggulangan bencana.
d. menjalin kerjasama dengan daerah lain atau pihak-pihak lain guna
mendukung penyelenggaraan penanggulangan bencana.
e. mengatur dan mengawasi penggunaan teknologi yang berpotensi sebagai
sumber ancaman yang berisiko menimbulkan bencana.
f. mencegah dan mengendalikan penggunaan dan pemanfaatan sumberdaya
alam yang melebihi kemampuan alam pada wilayah kewenangannya.
g. mengangkat seorang komandan penanganan darurat bencana atas usul
Kepala BPBD.
h. melakukan pengendalian atas pengumpulan dan penyaluran bantuan
berupa uang dan/atau barang serta jasa lain (misalnya relawan) yang
diperuntukkan untuk penanggulangan bencana di wilayahnya, termasuk
pemberian ijin pengumpulan sumbangan di wilayahnya.
i. menyusun perencanaan, pedoman dan prosedur yang berkaitan dengan
penyelenggaraan penanggulangan bencana di wilayahnya.
2. Gubernur/Bupati/Walikota bersama DPRD menyusun dan menetapkan
peraturan daerah dalam penanggulangan bencana.
Koordinasi
1. Koordinasi BPBD dengan instansi atau lembaga dinas/badan secara
horisontal pada tahap prabencana, saat tanggap darurat dan
pascabencana, dilakukan dalam bentuk:
a. penyusunan kebijakan dan strategi penanggulangan bencana;
b. penyusunan perencanaan penanggulangan bencana;
c. penentuan standar kebutuhan minimun;
d. pembuatan prosedur tanggap darurat bencana;
e. pengurangan resiko bencana;
f. pembuatan peta rawan bencana;
g. penyusunan anggaran penanggulangan bencana;
h. penyediaan sumberdaya/logistik penanggulangan bencana;dan
i. pendidikan dan pelatihan, penyelenggaraan gladi/simulasi
penanggulangan bencana.
2. Koordinasi penyelenggaraan penanggulangan bencana dapat dilakukan
melalui kerjasama dengan lembaga/organisasi dan pihak-pihak lain yang
terkait sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
3. Kerjasama yang melibatkan peran serta negara lain, lembaga
internasional dan lembaga asing nonpemerintah dilakukan melalui
koordinasi BNPB sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
4. Rapat koordinasi penanggulangan bencana dilakukan minimal 1 (satu)
kali dalam satu tahun dan sewaktu-waktu sesuai dengan kebutuhan :
a. antara BPBD Kabupaten/Kota dan instansi
terkait/organisasi/lembaga terkait di tingkat kabupaten/Kota.
b. antara BPBD Provinsi dengan instansi/organisasi/lembaga terkait
di tingkat provinsi.
c. antara BPBD Provinsi dengan BPBD Kabupaten/Kota.
Komando
1. Dalam hal status keadaan darurat bencana, Gubernur/Bupati/Walikota
menunjuk seorang komandan penanganan darurat bencana atas usulan
Kepala BPBD.
2. Komandan Penanganan Darurat Bencana sebagaimana butir 1
mengendalikan kegiatan operasional penanggulangan bencana dan
bertanggung-jawab kepada Kepala Daerah.
3. Komandan Penanganan Darurat Bencana memiliki kewenangan komando
memerintahkan instansi/lembaga terkait meliputi:
a. pengerahan sumber daya manusia;
b. pengerahan peralatan;
c. pengerahan logistik; dan
d. penyelamatan;
4. Komandan Penanganan Darurat Bencana berwenang mengaktifkan dan
meningkatkan Pusat Pengendalian Operasi menjadi Pos Komando.
Pengendalian
BPBD bertugas untuk melakukan pengendalian dalam:
Nilai-Nilai
Pelaksanaan Sekolah/Madrasah aman dari bencana dalam pedoman ini
mempertimbangkan nilai-nilai:
a. Perubahan Budaya. Penerapan Sekolah/Madrasah Aman dari
Bencana ditujukan untuk menghasilkan perubahan budaya yang lebih
aman dari bencana dan perubahan dari aman menjadi berketahanan
dalam upaya mewujudkan masyarakat Indonesia yang tangguh
bencana.
b. Berorientasi Pemberdayaan. Meningkatkan kemampuan pengelolaan
sekolah/madrasah dan warga sekolah/madrasah termasuk anak untuk
menerapkan Sekolah/Madrasah Aman dari Bencana dalam
pengembangan kurikulum, sarana prasarana, pendidik dan tenaga
kependidikan, pengelolaan dan pembiayaan di sekolah/madrasah.
c. Kemandirian. Mengoptimalkan pendayagunaan sumberdaya yang
dimiliki sekolah/madrasah.
d. Pendekatan berbasis hak. Hak-hak asasi manusia termasuk hak-hak
anak sebagai pertimbangan utama dalam upaya penerapan
Sekolah/Madrasah Aman dari Bencana.
e. Keberlanjutan. Mengutamakan terbentuknya pelembagaan aktivitas
warga sekolah/madrasah termasuk anak dalam upaya penerapan
sekolah/madrasah dari bencana dengan mengaktifkan lembaga yang
sudah ada seperti TP UKS, Komite Sekolah, OSIS, Ekstrakurikuler, dsb.
f. Kearifan lokal. Menggali dan mendayagunakan kearifan lokal yang
mendukung upaya penerapan sekolah/madrasah aman dari bencana.
g. Kemitraan. Berupaya melibatkan pemangku kepentingan termasuk
anak secara individu maupun dalam kelompok untuk bekerjasama
dalam mencapai tujuan berdasarkan prinsip-prinsip
Sekolah/Madrasah Aman dari bencana.
h. Inklusivitas. Memperhatikan kepentingan warga sekolah/madrasah
terutama anak berkebutuhan khusus.
Prinsip-Prinsip
Pelaksanaan Sekolah/Madrasah aman dari bencana dalam pedoman ini
mempertimbangkan prinsip-prinsip sebagai berikut:
a. Berbasis hak. Penerapan Sekolah/Madrasah Aman dari Bencana
harus didasari sebagai pemenuhan hak pendidikan anak dalam
menerapkan keempat prinsip hak anak, yakni (1) Tidak ada satu anak
pun yang sampai menderita akibat diskriminasi dan sikap tidak hormat
yang menyangkut SARA, jenis kelamin, sikap, bahasa, pendapat,
kebangsaan, kepemilikan, kecacatan fisik dan mental, status kelahiran
dan lainnya, (2) Anak-anak memiliki hak atas kelangsungan dan
tumbuh kembangnya dalam semua aspek kehidupannya, termasuk
aspek fisik, emosional, psikososial, kognitif, sosial dan budaya, (3)
Kepentingan terbaik anak harus selalu menjadi pertimbangan didalam
seluruh keputusan atau aksi yang mempengaruhi anak dan kelompok
anak, termasuk keputusan yang dibuat oleh pemerintah, pemerintah
daerah, aparat hukum, bahkan yang diatur didalam keluarga anak itu
sendiri, dan (4) Anak-anak memiliki hak untuk berkumpul secara
damai, berpartisipasi aktif dalam setiap aspek yang mempengaruhi
kehidupan mereka, untuk mengekspresikan dengan bebas dan
mendapatkan pendapat mereka didengar dan ditanggapi dengan
sungguh-sungguh.
b. Interdisiplin dan Menyeluruh. Penerapan Sekolah/Madrasah Aman
dari Bencana terintegrasi dalam standar pelayanan minimum
pendidikan. Menyeluruh dimaksudkan bahwa penerapan
sekolah/madrasah aman dari bencana dilaksanakan secara terpadu
untuk mencapai standar nasional pendidikan.
c. Komunikasi Antar-Budaya (Intercultural Approach). Pendekatan
Penerapan Sekolah/Madrasah Aman dari Bencana harus
mengutamakan komunikasi antar-pribadi yang memiliki latar belakang
budaya yang berbeda (ras, etnik, atau sosio- ekonomi) sesuai dengan
jati diri bangsa dan nilai–nilai luhur kemanusiaan.
Strategi
Masih tingginya tingkat kerusakan sekolah/madrasah di daerah rawan
bencana di Indonesia, mendorong pemerintah untuk melakukan
sinkronisasi kebijakan dalam upaya Penerapan Sekolah/Madrasah Aman
dari bencana. Sekolah/madrasah diharapkan menjadi suatu lingkungan
yang aman terhadap ancaman bencana dan secara terus menerus
mengimplementasikan upaya pengurangan risiko bencana.
Pembentukan karakter anak didik baik laki-laki maupun perempuan di
Sekolah/Madrasah sangat dipengaruhi kondisi pendidik dan tenaga
kependidikan, infrastruktur, fasilitas, pengelolaan dan pembiayaan yang
bertanggung jawab, dan terutama proses pembelajaran yang dialami siswa.
Hal ini sejalan dengan tema strategis bidang pendidikan pada periode
tahun 2010-2015 yang menekankan pada pembangunan dan penguatan
pelayanan prima pendidikan.
Dalam rencana Penerapan Sekolah/Madrasah Aman dari Bencana dengan
jangka panjang, Pedoman ini menggunakan tiga tema strategis, yaitu (1)
Sinkronisasi Kebijakan (2) Peningkatan Partisipasi Publik termasuk anak
(3) Pelembagaan.
a. Sinkronisasi Kebijakan
Pemetaan kebijakan dari berbagai K/L/D/I menjadi bahan
pertimbangan utama dalam tema strategi sinkronisasi kebijakan. Dasar
hukum dalam pedoman ini disusun berdasarkan hasil sinkronisasi
kebijakan yang menjunjung tinggi nilai-nilai dan prinsip-prinsip
penerapan sekolah/madrasah aman dari bencana.
b. Peningkatan Partisipasi Publik termasuk Anak
Tema strategis peningkatan partisipasi publik termasuk anak dalam
pedoman ini adalah menjadikan anak dan kaum muda mitra dalam
Penerapan Sekolah/Madrasah Aman dari Bencana. Kegiatan penerapan
sekolah/madrasah aman terintegrasi dengan pengetahuan dan
keterampilan yang sudah dimiliki warga sekolah seperti Sekolah Sehat,
Sekolah Hijau, Sekolah Adiwiyata, Lingkungan Inklusi dan Ramah
Pembelajaran serta model-model Pendidikan Ramah Anak lainnya.
c. Pelembagaan
Penerapan sekolah/madrasah aman dari bencana sejalan dengan
peran dan fungsi masing-masing K/L/D/I terkait melalui pembentukan
kelembagaan yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Peran Pemangku Kepentingan
1) Peran peserta didik
a. Peserta didik melembagakan aktivitas pengurangan risiko bencana
b. Peserta didik menjadi tutor sebaya bagi sekolah yang belum
memenuhi standar sekolah aman.
2) Peran orangtua
a. Membantu merumuskan program Sekolah/Madrasah Aman
dengan Komite sekolah.
b. Orangtua membantu menyebarluaskan penerapan
Sekolah/Madrasah aman
3) Peran Pendidik dan Profesional Lainnya
a. Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan mengenai bahaya,
kerentanan dan kapasitas sekolah/madrasah termasuk anak
dalam upaya pengurangan risiko bencana.
b. Melakukan usaha-usaha terencana guna mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik aktif dalam
penerapan sekolah/madrasah aman dari bencana secara non-
struktural
c. Bekerja sama dengan warga sekolah lainnya termasuk anak dalam
upaya penerapan sekolah/madrasah aman dari bencana secara
struktural maupun non-struktural
4) Peran Komite Sekolah/Madrasah
a. Membentuk forum orangtua dan guru dalam upaya penerapan
sekolah/madrasah aman dari bencana melalui pengenalan materi
PRB kepada para peserta didik, pembuatan jalur evakuasi dan
upaya-upaya untuk mewujudkan sekolah/madrasah yang lebih
aman, sehatdan nyaman termasuk bagi anak berkebutuhan
khusus.
b. Komite Sekolah/Madrasah melakukan Pemantauan, pemeriksaan
Kelayakan Gedung, Pemeliharaan dan perawatan Gedung.
5) Peran Organisasi Non-pemerintah, Nasional, Internasional
a. Membantu sekolah/madrasah dalam melakukan upaya
pengurangan risiko bencana termasuk anak didik berkebutuhan
khusus.
b. Mendukung kemitraan dan membangun jejaring pengetahuan
antar sekolah/madrasah.
c. Mengembangkan dan menyediakan materi-materi pendidikan,
pengurangan risiko bencana.
d. Memberikan bantuan teknis penerapan sekolah/madrasah aman
dari bencana secara struktural maupun non- struktural
e. Membantu pemerintah dan pemerintah daerah dalam penerapan
sekolah/madrasah aman dari bencana secara struktural maupun
non-struktural
6) Peran Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah
a. Melakukan kegiatan-kegiatan penerapan sekolah/madrasah aman
dari bencana sejalan dengan ketiga tema strategis, prinsip-prinsip,
nilai-nilai dan kerangka kerja.
b. Memperkuat mekanisme pemantauan, evaluasi dan pelaporan
penerapan sekolah/madrasah aman dari bencana termasuk
pemutahiran data rehabilitasi sekolah, baik secara elektronik
maupun manual
c. Menyediakan pedoman dan petunjuk teknis yang diperlukan oleh
sekolah/madrasah dalam penerapan sekolah/madrasah aman dari
bencana secara struktural dan non-struktural.
d. Mendorong pembinaan berkelanjutan dengan mengintegrasikan
penerapan Sekolah/Madrasah Aman dari Bencana kedalam revisi
SKB 4 Menteri mengenai Pembinaan dan Pengembangan Usaha
Kesehatan Sekolah.
e. Memastikan perencanaan Penerapan Sekolah/Madrasah Aman
dari Bencana sebagai bagian dari Rencana Penanggulangan
Bencana.
7) Peran Media Massa
a. Media massa melakukan Sosialisasi dan advokasi penerapan
sekolah/madrasah aman dari bencana kepada masyarakat luas.
b. Media massa berperan sebagai alat kontrol dalam penerapan
sekolah/madrasah aman dari bencana.
Pembentukan Desa Atau Kelurahan Tangguh Bencana
Prinsip-prinsip
Upaya PRB yang menempatkan warga masyarakat yang tinggal di kawasan
rawan bencana sebagai pelaku utama, sebagai subjek yang berpartisipasi dan
bukan objek, akan lebih berkelanjutan dan berdaya guna. Masyarakat yang sudah
mencapai tingkat ketangguhan terhadap bencana akan mampu mempertahankan
struktur dan fungsi mereka sampai tingkat tertentu bila terkena bencana.
Program Desa/Kelurahan Tangguh Bencana dikembangkan berdasarkan prinsip-
prinsip berikut:
Bencana adalah urusan bersama.
Berbasis Pengurangan Risiko Bencana.
Pemenuhan Hak Masyarakat.
Masyarakat Menjadi Pelaku Utama.
Dilakukan Secara Partisipatoris.
Mobilisasi Sumber Daya Lokal.
Inklusif.
Berlandaskan Kemanusiaan.
Keadilan dan Kesetaraan Gender
Keberpihakan Pada Kelompok Rentan.
Transparansi dan Akuntabilitas.
Kemitraan.
Multi Ancaman.
Otonomi dan Desentralisasi Pemerintahan.
Pemaduan ke Dalam Pembangunan Berkelanjutan.
Diselenggarakan Secara Lintas Sektor.
KriteriaUmum
Program Desa/Kelurahan Tangguh Bencana akan mengacu juga pada kerangka
masyarakat tangguh internasional yang dikembangkan berdasarkan Kerangka
Aksi Hyogo, yakni mengandung aspek tata kelola; pengkajian risiko; peningkatan
pengetahuan dan pendidikan kebencanaan; manajemen risiko dan pengurangan
kerentanan; dan aspek kesiapsiagaan serta tanggap bencana. Karena akan tidak
mudah bagi desa/kelurahan untuk langsung mencapai kondisi ideal yang
mengandung semua aspek tersebut, Desa/Kelurahan Tangguh Bencana dibagi
menjadi tiga kriteria utama, yaitu Desa/Kelurahan Tangguh Bencana Utama,
Madya dan Pratama. Kriteria ini ditetapkan berdasarkan tingkat pencapaian atas
beberapa indicator dan salah satu alat indikator dapat berupa kuisioner.
Kuesioner dapat digunakan untuk mengukur tingkat ketangguhan sebuah desa
atau kelurahan dalam menghadapi bencana, atau kategori pencapaian suatu desa
dalam tiga kriteria utama desa tangguh, yakni Desa/Kelurahan Tangguh Bencana
Utama, Madya dan Pratama. Pertanyaan dibagi dalam tiga pertanyaan utama
sebagai berikut:
1. Pertanyaan pertama: mengidentifikasi apakah telah ada upaya
atau prakarsa-prakarsa awal untuk mencapai indikator pada
nomor yang bersangkutan.
2. Pertanyaan kedua: mengidentifikasi apakah indikator nomor
bersangkutan telah tercapai, tetapi belum menunjukkan kinerja
yang memuaskan.
3. Pertanyaan ketiga: mengidentifikasi apakah pencapaian indikator
pada nomor tersebut telah diikuti dengan kinerja yang
memuaskan dan jelas- jelas membawa perubahan yang berarti
dalam pengurangan risiko bencana.
Pertanyaan disusun dengan jawaban ‘Ya’ atau ‘Tidak’ dan setiap jawaban ‘Ya’
akan diberi skor 1, sementara jawaban ‘Tidak’ akan diberi skor 0. Berdasarkan
penilaian ini desa atau kelurahan dapat dikelompokkan menjadi.
- Desa/Kelurahan Tangguh Bencana Utama (skor 51-60)
- Desa/Kelurahan Tangguh Bencana Madya (skor 36-50)
- Desa/Kelurahan Tangguh Bencana Pratama (skor 20-35)
Selain sebagai alat untuk mengukur tingkat ketangguhan secara sederhana,
kuesioner juga dapat digunakan sebagai dasar atau acuan dalam pengembangan
desa/kelurahan tangguh bencana. Hasil penilaian kuesioner menyajikan aspek-
aspek yang masih kurang dan harus ditingkatkan, sehingga pengembang
desa/kelurahan tangguh dapat mengarahkan upayanya secara lebih terfokus dan
terpadu. Penilaian tingkat ketangguhan melalui kuesioner ini merupakan
penilaian yang sifatnya sederhana dan sedikit subjektif. Agar menjadi lebih
objektif, penilaian dapat dilengkapi dengan teknik dan instrumen penilaian lain
yang lebih kuat dan lebih terinci. Hasil penilaian akan menghasilkan tiga kategori
Desa/Kelurahan Tangguh dengan kriteria sebagai berikut ini:
1. Desa/Kelurahan Tangguh Bencana Utama
Tingkat ini adalah tingkat tertinggi yang dapat dicapai oleh sebuah
desa/kelurahan yang berpartisipasi dalam program ini. Tingkat ini
dicirikan dengan:
a. Adanya kebijakan PRB yang telah dilegalkan dalam bentuk
Perdes
atau perangkat hukum setingkat di kelurahan
b. Adanya dokumen perencanaan PB yang telah dipadukan ke
dalam
RPJMDes dan dirinci ke dalam RKPDes
c. Adanya forum PRB yang beranggotakan wakil-wakil
masyarakat,
termasuk kelompok perempuan dan kelompok
rentan, dan wakil
pemerintah desa/ kelurahan, yang
berfungsi dengan aktif.
d. Adanya tim relawan PB Desa/Kelurahan yang secara rutin
terlibat aktif dalam kegiatan peningkatan kapasitas,
pengetahuan dan pendidikan kebencanaan bagi para
anggotanya dan masyarakat pada
umumnya
e. Adanya upaya-upaya sistematis untuk mengadakan
pengkajian risiko,
manajemen risiko dan pengurangan
kerentanan, termasuk kegiatan-
kegiatan ekonomi produktif
alternatif untuk mengurangi kerentanan
f. Adanya upaya-upaya sistematis untuk meningkatkan
kapasitas
kesiapsiagaan serta tanggap bencana
2. Desa/Kelurahan Tangguh Bencana Madya
Tingkat ini adalah tingkat menengah yang dicirikan dengan:
a. Adanya kebijakan PRB yang tengah dikembangkan di tingkat
desa
atau kelurahan
b. Adanya dokumen perencanaan PB yang telah tersusun tetapi
belum
terpadu ke dalam instrumen perencanaan desa
c. Adanya forum PRB yang beranggotakan wakil-wakil dari
masyarakat,
termasuk kelompok perempuan dan kelompok
rentan, tetapi belum
berfungsi penuh dan aktif
d. Adanya tim relawan PB Desa/Kelurahan yang terlibat dalam
kegiatan
peningkatan kapasitas, pengetahuan dan
pendidikan kebencanaan bagi para anggotanya dan
masyarakat pada umumnya, tetapi belum rutin dan tidak
terlalu aktif
e. Adanya upaya-upaya untuk mengadakan pengkajian risiko,
manajemen risiko dan pengurangan kerentanan, termasuk
kegiatan- kegiatan ekonomi produktif alternatif untuk mengurangi
kerentanan, tetapi belum terlalu teruji
f. Adanya upaya-upaya untuk meningkatkan kapasitas kesiapsiagaan
serta tanggap bencana yang belum teruji dan sistematis
3. Desa/Kelurahan Tangguh Bencana Pratama
Tingkat ini adalah tingkat awal yang dicirikan dengan:
a. Adanya upaya-upaya awal untuk menyusun kebijakan PRB di
tingkat
desa atau kelurahan
b. Adanya upaya-upaya awal untuk menyusun dokumen
perencanaan
PB
c. Adanya upaya-upaya awal untuk membentuk forum PRB yang
beranggotakan wakil-wakil dari masyarakat
d. Adanya upaya-upaya awal untuk membentuk tim relawan PB
Desa/Kelurahan
e. Adanya upaya-upaya awal untuk mengadakan pengkajian risiko,
manajemen risiko dan pengurangan kerentanan
f. Adanya upaya-upaya awal untuk meningkatkan kapasitas
kesiapsiagaan serta tanggap bencana