Anda di halaman 1dari 39

Patricia Vanessa Antolis

PRETEST JUNIOR NEFROLOGY

Soal A

1. Definisi Sindrom Nefrotik:1

 Sindrom nefrotik (SN) adalah keadaan klinis yang ditandai dengan gejala:
1. Proteinuria masif (> 40 mg/m2 LPB/jam atau 50 mg/kg/hari atau rasio
protein/kreatinin pada urin sewaktu > 2 mg/mg atau dipstik ≥ 2+)
2. Hipoalbuminemia < 2,5 g/dL
3. Edema
4. Dapat disertai hiperkolesterolemia > 200 mg/dL

Hal ini disebabkan oleh peningkatan permeabilitas melalui membran basal


yang rusak pada glomerulus ginjal, terutama karena infektif atau trombo-
emboli. Ini adalah hasil dari abnormalitas permeabilitas glomerulus yang
penyebab primernya adalah dengan penyakit spesifik pada ginjal atau
penyebab sekunder akibat infeksi bawaan, diabetes, lupus erythematosus
sistemik, neoplasia, atau penggunaan obat tertentu.2,3,4

2. Definisi Sindrom Nefrotik Resisten Steroid (SNRS)

 Resisten steroid : tidak terjadi remisi pada pengobatan prednison dosis penuh

(full dose) 2 mg/kgbb/hari selama 4 minggu.

Berdasarkan pernyataan beberapa ahli, sindrom nefrotik resisten steroid dapat

dibagi menjadi dua, yaitu sebagai berikut:5,6

1. Initial resistence

Merupakan keadaan tidak tercapainya remisi pada fase awal sindrom nefrotik.

Respon terhadap terapi lebih jelek dibanding late resistence. Survival rates ginjal

dari golongan ini pada:


a. Tahun pertama sebesar 94,6%

b. Tahun ke-5 sebesar 70,0%

c. Tahun ke-10 sebesar 56,0%

d. Tahun ke-15 sebesar 34,0%

2. Late resistence

Merupakan keadaan dimana terjadi perbaikan atau remisi pada fase awal

sindrom nefrotik namun terjadi relaps pada perkembangannya. Respon terapi

cenderung lebih bagus. Survival rates ginjal dari golongan ini pada:

a. Tahun pertama sebesar 100%

b. Tahun ke-5 sebesar 100%

c. Tahun ke-10 sebesar 83,0%

d. Tahun ke-15 sebesar 83,0%

3. Definisi Sindrom Nefrotik Sensitif Steroid (SNSS)

 Sensitif steroid : remisi terjadi pada pemberian prednison dosis penuh selama
4 minggu

Andersen melaporkan bahwa jenis kelamin laki-laki dan usia onset muda

berhubungan dengan risiko tinggi terjadinya relaps sering atau dependen steroid

pada anak dengan SNSS.

4. Definisi Remisi:

 Remisi : proteinuria negatif atau trace (proteinuria < 4 mg/m2 LPB/jam) 3


hari berturut-turut dalam 1 minggu
Publikasi ISKDC melaporkan bahwa SNKM (SN kelainan minimal) 80-90%
mengalami remisi total dengan pengobatan steroid 8 minggu.1

5. Definisi Relaps:
 Relaps : proteinuria ≥ 2+ (proteinuria >40 mg/m2 LPB/jam) 3 hari berturut-
turut dalam 1 minggu
 Relaps jarang : relaps kurang dari 2 x dalam 6 bulan pertama setelah respons
awal atau kurang dari 4 x per tahun pengamatan
 Relaps sering (frequent relaps): relaps ≥ 2 x dalam 6 bulan pertama setelah
respons awal atau ≥ 4 x dalam periode 1 tahun
 Dependen steroid : relaps 2 x berurutan pada saat dosis steroid diturunkan
(alternating) atau dalam 14 hari setelah pengobatan dihentikan

6. Definisi GNA (Glomerulonefritis Akut):

GNAPS adalah suatu bentuk peradangan glomerulus yang secara


histopatologi menunjukkan proliferasi & Inflamasi glomeruli yang didahului oleh
infeksi group A β-hemolytic streptococci (GABHS) dan ditandai dengan gejala
nefritik seperti hematuria, edema, hipertensi, oliguria yang terjadi secara akut.29

Sindrom nefritik akut (SNA): suatu kumpulan gejala klinik berupa


proteinuria, hematuria, azotemia, red blood cast, oliguria & hipertensi (PHAROH)
yang terjadi secara akut.29

Glomerulonefritis akut (GNA): suatu istilah yang lebih bersifat umum dan
lebih menggambarkan suatu proses histopatologi berupa proliferasi & inflamasi
sel glomeruli akibat proses imunologik.29

Dalam kepustakaan istilah GNA dan SNA sering digunakan secara


bergantian. GNA merupakan istilah yang lebih bersifat histologik, sedangkan
SNA lebih bersifat klinik.29
Dalam kepustakaan disebutkan bahwa selain GNAPS, banyak penyakit
yang juga memberikan gejala nefritik seperti hematuria, edema, proteinuria
sampai azotemia, sehingga digolongkan ke dalam SNA.29

7. Definisi Hipertensi:

Definisi

Batasan hipertensi menurut The Fourth Report on the Diagnosis, Evaluation, and
Treatment of High Blood Pressure in Children and Adolescent adalah sebagai
berikut :30

- Hipertensi adalah nilai rata-rata tekanan darah sistolik dan atau diastolik lebih
dari persentil ke-95 berdasarkan jenis kelamin, usia, dan tinggi badan pada
pengukuran sebanyak 3 kali atau lebih.
- Prehipertensi adalah nilai rata-rata tekanan darah sistolik dan atau diastolik
antara persentil ke-90 dan 95. Pada kelompok ini harus diperhatikan secara
teliti adanya faktor risiko seperti obesitas. Berbagai penelitian menunjukkan
bahwa kelompok ini memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk menjadi
hipertensi pada masa dewasa dibandingkan dengan anak yang normotensi.

Tabel 1. Klasifikasi Hipertensi pada Anak Usia 1 tahun atau Lebih dan Usia
Remaja30
8. Definisi Infeksi Saluran Kemih (ISK):

Definisi32

1. Infeksi saluran kemih (urinary tract infection=UTI) adalah bertumbuh dan


berkembang biaknya kuman atau mikroba dalam saluran kemih dalam jumlah
bermakna.
2. Bakteriuria ialah terdapatnya bakteri dalam urin. Disebut bakteriuria bermakna
bila ditemukannya kuman dalam jumlah bermakna. Pengertian jumlah
bermakna tergantung pada cara pengambilan sampel urin. Bila urin diambil
dengan cara mid stream, kateterisasi urin, dan urine collector, maka disebut
bermakan bila ditemukan kuman 105 cfu (colony forming unit) atau lebih
dalam setiap mililiter urin segar, sedangkan bila diambil dengan cara aspirasi
supra pubik, disebutkan bermakna jika ditemukan kuman dalam jumlah berapa
pun.
3. Bakteriuria asimtomatik (asymptomatic bacteriuria, covert bacteriuria) adalah
terdapatnya bakteri dalam saluran kemih tanpa menimbulkan manifestasi
klinis. Umumnya diagnosis bakteriuria asimtomatik ditegakkan pada saat
melakukan biakan urin ketika check-up rutin/uji tapis pada anak sehat atau
tanpa gejala klinis.
4. ISK simtomatik adalah ISK yang disertai gejala dan tanda klinik. ISK
simtomatik dapat dibagi dalam dua bagian yaitu infeksi yang menyerang
parenkim ginjal, disebut pielonefritis dengan gejala utama demam, dan infeksi
yang terbatas pada saluran kemih bawah (sistitis) dengan gejala utama berupa
gangguan miksi seperti disuria, polakisuria, kencing mengedan (urgency).
5. ISK non spesifik adalah ISK yang gejala klinisnya tidak jelas. Ada sebagian
kecil (10-20%) kasus yang sulit digolongkan ke dalam pielonefritis atau
sistitis, baik berdasarkan gejala klinik maupun pemeriksaan penunjang yang
tersedia.
6. ISK simpleks (simple UTI, uncomplicated UTI) adalah infeksi pada saluran
kemih yang normal tanpa kelainan struktural maupun fungsional saluran
kemih yang menyebabkan stasis urin.
7. ISK kompleks (complicated UTI) adalah ISK yang disertai dengan kelainan
anatomik dan atau fungsional saluran kemih yang menyebabkan stasis ataupun
aliran balik (refluks) urin. Kelainan saluran kemih dapat berupa batu saluran
kemih, obstruksi, anomali saluran kemih, kista ginjal, bulibuli neurogenik,
benda asing, dan sebagainya.
8. Pielonefritis akut adalah infeksi yang menyebabkan invasi bakteri ke
parenkim ginjal.
9. Sistitis akut adalah infeksi yang terbatas pada invasi kandung kemih.
10. Pielonefritis kronik. Istilah ini sebaiknya dipakai untuk kepentingan
histopatologik kelainan ginjal dengan ditemukannya proses peradangan kronis
pada interstisium ginjal dan secara radiologik ditemukan gambaran parut
ginjal yang khas pada kalises yang tumpul. Lebih dikenal dengan istilah
nefropati refluks, meskipun tidak selalu ditemukan refluks pada saat parut
ginjal terdeteksi.
11. ISK kambuh (relaps) yaitu bakteriuria yang timbul kembali setelah
pengobatan dengan jenis kuman yang sama dengan kuman saat biakan urin
pertama kalinya. Kekambuhan dapat timbul antara satu sampai 6 minggu
setelah pengobatan awal.
12. Reinfeksi yaitu bakteriuria yang timbul setelah selesai pengobatan dengan
jenis kuman yang berbeda dari kuman saat biakan pertama.
13. Infeksi persisten yaitu ISK yang timbul dalam periode pengobatan maupun
setelah selesai terapi.
14. Febrile UTI atau ISK febris atau ISK demam adalah ISK dengan biakan urin
dengan jumlah kuman bermakna yang disertai demam dengan suhu > 380C.10
ISK demam sering ditemukan pada bayi atau anak kecil, dan sekitar 60-65%
ISK demam merupakan pielonefirits akut.
15. ISK atipik adalah ISK dengan keadaan pasien yang serius, diuresis sedikit,
terdapat massa abdomen atau kandung kemih, peningkatan kreatinin darah,
septikemia, tidak memberikan respon terhadap antibiotik dalam 48 jam, serta
disebabkan oleh kuman non E. coli.
16. ISK berulang berarti terdapat dua kali atau lebih episode pielonefritis akut
atau ISK atas, atau satu episode pielonefritis akut atau ISK atas disertai satu
atau lebih episode sistitis atau ISK bawah, atau tiga atau lebih episode sistitis
atau ISK bawah.

9. Defini Acute Kidney Injury (AKI):

Beberapa definisi telah digunakan, terutama kriteria Risiko, Cidera,


Kegagalan, Kehilangan fungsi ginjal, penyakit ginjal stadium akhir (RIFLE), skor
RIFLE pediatrik (pRIFLE) berikutnya, dan kriteria Jaringan Cedera Ginjal Akut
(AKIN). Masing-masing definisi ini mendefinisikan dan membuat stadium dari
cedera ginjal sedikit berbeda, yang membuat studi perbandingan dan rekomendasi
standar mengenai manajemen menjadi lebih sulit.36

Definisi standar AKI diusulkan oleh kelompok kerja AKI Penyakit Ginjal:
Meningkatkan Hasil Global (KDIGO) pada tahun 2012 dan telah divalidasi pada
populasi pediatrik selanjutnya. Definisi ini mengidentifikasi dan menyusun AKI
berdasarkan perubahan kreatinin serum dari awal atau output urin sebagaimana
dirinci dalam Tabel 3. Kreatinin dasar didefinisikan sebagai nilai kreatinin serum
terendah dalam 3 bulan sebelumnya, memperkirakan tingkat filtrasi glomerulus
dasar (GFR) menggunakan persamaan Schwartz asli. Jika tidak ada ukuran
kreatinin serum sebelumnya yang tersedia, direkomendasikan untuk menggunakan
garis dasar yang diperkirakan yakni 120 mL/mnt/1,73 m2. Di masa depan, kita
dapat melihat definisi ini lebih lanjut diperluas untuk memasukkan kriteria
menggunakan serum cystatin C atau biomarker urin seperti neutrophil gelatinase-
associated lipocalin (NGAL), keduanya di antaranya baru-baru ini terbukti
mewakili penanda AKI sebelumnya dan pemulihan AKI dibandingkan kreatinin
serum.36
Tabel 3. Stadium AKI menurut KDIGO36

Stadium Kreatinin serum Output urin


1 Meningkat 1,5-1,9 kali dari dasar dalam <0,5 mL/kg/jam untuk
7 hari 6-12 jam
atau
Meningkat ≥3 mg/dL (26.5 μmol/L)
dalam 48 jam
2 Meningkat 2-2,9 kali dari dasar <0,5 mL/kg/jam untuk
≥12 jam
3 Meningkat ≥3 kali dari dasar <0,3 mL/kg/jam untuk
atau ≥24 jam
Meningkat ≥4 mg/dL (353,6 μmol/L) atau
atau Anuria untuk ≥12 jam
Inisiasi terapi pengganti ginjal
atau
Pada pasien yang <18 tahun, penurunan
pada estimasi GFR hingga <35
ml/mnt/1,73 m2.

10. Definisi Penyakit Ginjal Kronik:

Batasan yang dipakai untuk menyatakan penyakit ginjal kronik (PGK)


berdasar atas kriteria dari National Kidney Foundation/Kidney Disease Outcomes
Quality Initiative (NKF/ KDOQI).34 Kriterianya didasarkan pada terdapat penanda
kerusakan ginjal dan level fungsi ginjal (laju filtrasi glomerulus=LFG).7
Kedua kriteria PGK tersebut adalah:35
1. Kerusakan ginjal ≥3 bulan, yang didefinisikan sebagai abnormalitas struktur
atau fungsi ginjal (urinalisis, pencitraan ginjal, atau histologi ginjal) dengan
atau tanpa penurunan LFG.
2. LFG <60 mL/menit/1,73m2 selama ≥3 bulan dengan atau tanpa gejala
kerusakan ginjal.
Kriteria ini dipakai untuk anak mulai usia 2 tahun dan anak yang lahir
dengan kelainan struktur ginjal mayor dapat disebut PGK sebelum menunggu
waktu 3 bulan.

Tabel 2. Klasifikasi Stadium Penyakit Ginjal Kronik35


Stadium LFG (ml/ menit/ Deskripsi
1,73 m2)
1 ≥90 Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau
2 60-89 meningkat
3 30-59 Kerusakan ginjal dengan penurunan LFG ringan
4 15-29 Penurunan LFG sedang
5 <15 atau dialisis Penurunan LFG berat
Gagal ginjal

Penyebab PGK pada anak

Soal B

1. Prosedur mengukur tekanan darah

Tekanan darah sebaiknya diukur dengan menggunakan sfigmomanometer


air raksa, sedangkan sfigmomanometer aneroid memiliki kelemahan yaitu
memerlukan kalibrasi secara berkala. Osilometrik otomatis merupakan alat
pengukur tekanan darah yang sangat baik untuk bayi dan anak kecil, karena saat
istirahat teknik auskultasi sulit dilakukan pada kelompok usia ini. Sayangnya alat
ini harganya mahal dan memerlukan pemeliharaan serta kalibrasi berkala.39,40,41

Panjang cuff manset harus melingkupi minimal 80% lingkar lengan atas,
sedangkan lebar cuff harus lebih dari 40% lingkar lengan atas (jarak antara
akromion dan olekranon, (lihat Gambar 1 dan 2). Ukuran cuff yang terlalu besar
akan menghasilkan nilai tekanan darah yang lebih rendah, sedangkan ukuran cuff
yang terlalu kecil akan menghasilkan nilai tekanan darah yang lebih tinggi.42

Tekanan darah sebaiknya diukur setelah istirahat selama 3-5 menit,


suasana sekitarnya dalam keadaan tenang. Anak diukur dalam posisi duduk
dengan lengan kanan diletakkan sejajar jantung, sedangkan bayi diukur dalam
keadaan telentang. Jika tekanan darah menunjukkan angka di atas persentil ke-90,
tekanan darah harus diulang dua kali pada kunjungan yang sama untuk menguji
kesahihan hasil pengukuran.41

Teknik pengukuran tekanan darah dengan ambulatory blood pressure


monitoring (ABPM) menggunakan alat monitor portable yang dapat mencatat
nilai tekanan darah selama selang waktu tertentu. ABPM biasanya digunakan
pada keadaan hipertensi episodik, gagal ginjal kronik, anak remaja dengan
hipertensi yang meragukan, serta menentukan dugaan adanya kerusakan organ
target karena hipertensi. Tekanan darah sistolik ditentukan saat mulai
terdengarnya bunyi Korotkoff ke-1. Tekanan darah diastolik sesungguhnya
terletak antara mulai mengecil sampai menghilangnya bunyi Korotkoff. Teknik
palpasi berguna untuk mengukur tekanan darah sistolik secara cepat, meskipun
nilai tekanan darah palpasi biasanya sekitar 10 mmHg lebih rendah dibandingkan
dengan auskultasi.39,42,43,44

2. Pengumpulan material urin untuk urinalisis urin dan kultur urin

Bahan untuk pemeriksaan urin harus segar dan sebaiknya diambil pagi
hari. Bahan urin dapat diambil dengan cara punksi suprapubik (suprapubic
puncture = spp), kateterisasi dan urin porsi tengah (midstream urine). Bahan urin
yang paling mudah diperoleh adalah urin porsi tengah yang ditampung dalam
wadah bermulut lebar dan steril. Ketepatan diagnosis ISK dapat dilakukan dengan
cara menurunkan kontaminasi bakteri ketika sampel urin diambil.45,46

Idealnya, teknik pengumpulan urin harus bebas dari kontaminasi, cepat,


mudah dilakukan untuk semua umur oleh orang tua, murah, dan menggunakan
peralatan sederhana. Sayangnya tidak ada teknik yang memenuhi persyaratan ini.
Pengambilan sampel urin untuk biakan urin dapat dilakukan dengan cara aspirasi
suprapubik, kateter urin, pancar tengah (midstream), dan menggunakan urine
collector. Cara terbaik untuk menghindari kemungkinan kontaminasi ialah dengan
aspirasi suprapubik, dan merupakan baku emas pengambilan sampel urin untuk
biakan urin.45,46,47
Kateterisasi urin merupakan metode yang dapat dipercaya terutama pada
anak perempuan, tetapi cara ini traumatis. Teknik pengambilan urin pancar tengah
merupakan metode non-invasif yang bernilai tinggi, dan urin bebas terhadap
kontaminasi dari uretra. Pada bayi dan anak kecil, urin dapat diambil dengan
memakai kantong penampung urin (urine bag atau urine collector).45,46,48
Pengambilan sampel urin dengan metode urine collector, merupakan metode yang
mudah dilakukan, namun risiko kontaminasi yang tinggi dengan positif palsu
hingga 80%.6 Child Health Network (CHN) guideline (2002) hanya
merekomendasikan 3 teknik pengambilan sampel urin, yaitu pancar tengah,
kateterisasi urin, dan aspirasi supra pubik, sedangkan pengambilan dengan urine
bag tidak digunakan.48

Pengiriman bahan biakan ke laboratorium mikrobiologi perlu mendapat


perhatian karena bila sampel biakan urin dibiarkan pada suhu kamar lebih dari ½
jam, maka kuman dapat membiak dengan cepat sehingga memberikan hasil
biakan positif palsu. Jika urin tidak langsung dikultur dan memerlukan waktu
lama, sampel urin harus dikirim dalam termos es atau disimpan di dalam lemari
es. Urin dapat disimpan dalam lemar es pada suhu 40C, selama 48-72 jam
sebelum dibiak.45,47

3. Interpretasi urinalisis dan kultur

 Interpretasi urinalisis

Pemeriksaan urinalisis meliputi lekosituria, nitrit, leukosit esterase, protein


dan darah.

 Lekosituria : petunjuk kemungkinan bakteriuria, tdk dipakai sbg


patokan ada tidaknya ISK
 Nitrit : hasil perubahan nitrat oleh bakteri hasil positif : terdapat
bakteri dalam urin
 Leukosit esterase : enzim dalam lekosit netrofil menggambarkan
banyaknya lekosit dlm urin
 Hematuri dapat menyertai ISK, tetapi bukan indikator diagnostik
 Protein dan darah : sensitivitas dan spesifisitas rendah dalam
diagnosis ISK

Leukosituria merupakan petunjuk kemungkinan adanya bakteriuria, tetapi


tidak dipakai sebagai patokan ada tidaknya ISK. Leukosituria biasanya ditemukan
pada anak dengan ISK (80-90%) pada setiap episode ISK simtomatik, tetapi tidak
adanya leukosituria tidak menyingkirkan ISK. Bakteriuria dapat juga terjadi tanpa
leukosituria. Leukosituria dengan biakan urin steril perlu dipertimbangkan pada
infeksi oleh kuman Proteus sp., Klamidia sp., dan
Ureaplasma urealitikum.47,49

Pemeriksaan dengan stik urin dapat mendeteksi adanya leukosit esterase,


enzim yang terdapat di dalam lekosit neutrofil, yang menggambarkan banyaknya
leukosit dalam urin. Uji nitrit merupakan pemeriksaan tidak langsung terhadap
bakteri dalam urin. Dalam keadaan normal, nitrit tidak terdapat dalam urin, tetapi
dapat ditemukan jika nitrat diubah menjadi nitrit oleh bakteri. Sebagian besar
kuman Gram negatif dan beberapa kuman Gram positif dapat mengubah nitrat
menjad nitrit, sehingga jika uji nitrit positif berarti terdapat kuman dalam urin.
Urin dengan berat jenis yang tinggi menurunkan sensitivitas uji nitrit.45,49

Hematuria kadang-kadang dapat menyertai infeksi saluran kemih, tetapi


tidak dipakai sebagai indikator diagnostik. Protein dan darah mempunyai
sensitivitas dan spesifitas yang rendah dalam diagnosis ISK. Neutrophil gelatinase
associated lipocalin urin (uNGAL) dan rasio uNGAL dengan kreatinin urin
(uNGAL/Cr) merupakan petanda adanya ISK. NGAL adalah suatu iron-carrier-
protein yang terdapat di dalam granul neutrofil dan merupakan komponen
imunitas innate yang memberikan respon terhadap infeksi bakteri.45,48

Peningkatan uNGAL dan rasio uNGAL/Cr > 30 ng/mg merupakan tanda


ISK. Bakteri sulit dilihat dengan mikroskop cahaya, tetapi dapat dilihat dengan
mikrokop fase kontras.47 Pada urin segar tanpa dipusing (uncentrifuged urine),
terdapatnya kuman pada setiap lapangan pandangan besar (LPB) kira-kira setara
dengan hasil biakan 107 cfu/mL urin, sedangkan pada urin yang dipusing,
terdapatnya kuman pada setiap LPB pemeriksaan mikroskopis menandakan
jumlah kuman lebih dari 105 cfu/mL urin. Jika dengan mikroskop fase kontras
tidak terlihat kuman, umumnya urin steril.Anti coated bacteri (ACB) dalam urin
yang diperiksa dengan menggunakan fluorescein-labeled anti-immunoglobulin
merupakan tanda pielonefritis pada remaja dan dewasa muda, namun tidak
mampu laksana pada anak.45,48,50

Pengambilan spesimen urin:

Midstream

 non invasif yg bernilai tinggi


 Bebas kontaminasi uretra

Kateter Urin

 Metode yg terpercaya terutama pd anak perempuan


 Traumatis

Aspirasi supra pubik

 Baku emas pengambilan urin

 Cara terbaik menghindari kontaminasi

 Interpretasi biakan urin

 Bergantung pd teknik pengambilan, waktu, dan keadaan klinik

 Dibiakkan dl media agar darah & McConkey


Urin umumnya dibiak dalam media agar darah dan media Mc Conkey.
Beberapa bakteri yang tidak lazim menyebabkan ISK, tidak dapat tumbuh
pada media yang sering digunakan dan memerlukan media kultur khusus.
Interpretasi hasil biakan urin bergantung pada teknik pengambilan sampel urin,
waktu, dan keadaan klinik. Untuk teknik pengambilan sampel urin dengan cara
aspirasi supra pubik, semua literatur sepakat bahwa bakteriuria bermakna adalah
jika ditemukan kuman dengan jumlah berapa pun. Namun untuk teknik
pengambilan sampel dengan cara kateterisasi urin dan urin pancar tengah, terdapat
kriteria yang berbeda-beda. 47,48,50,51

Berdasarkan kriteria Kass, dengan kateter urin dan urin pancar tengah
dipakai jumlah kuman ≥ 105 cfu per mL urin sebagai bakteriuria bermakna,48,50
Dengan kateter urin, Garin dkk., (2007) menggunakan jumlah > 105 cfu/mL urin
sebagai kriteria bermakna,11dan pendapat lain menyebutkan bermakna jika
jumlah kuman > 50x103 cfu/mL, 50,52
dan ada yang menggunakan kriteria
bermakna dengan jumlah kuman > 104 cfu/mL.53 Paschke dkk. (2010)
menggunakan batasan ISK dengan jumlah kuman > 50x 103 cfu/mL untuk teknik
pengambilan urin dengan midstream/clean catch,sedangkan pada neonatus, Lin
dkk. (1999) menggunakan jumlah > 105 cfu/mL,53 dan Baerton dkk.,
menggunakan batasan kuman > 104 cfu/mL jika sampel urin diambil dengan urine
bag.51,52

Interpretasi hasil biakan urin bukanlah suatu patokan mutlak dan kaku
karena banyak faktor yang dapat menyebabkan hitung kuman tidak bermakna
meskipun secara klinis jelas ditemukan ISK.45,48

Cara lain untuk mengetahui adanya kuman adalah dipslide. Cara dipslide
adalah cara biakan urin yang dapat dilakukan setiap saat dan di mana saja, tetapi
cara ini hanya dapat menunjukkan ada tidaknya kuman, sedang indentifikasi jenis
kuman dan uji sensitivitas memerlukan biakan cara konvensional.45,47,51
4. Prosedur membuat resep HD :

 Pemeriksaan fisik & Tanda vital secara umum


 Pemeriksaan darah rutin, studi koogulasi, ureum creatinin, elektrolit, Na ,
K, Ca & Cl, Fosfat anorganik, protein total , albumin, globulin, HbsAg
 Melakukan perhitungan:
 Volume Ekstrakorporeal: volume pengisian tubing+volume priming
dialiser
 Jaga volume sirkuit < 8 ml/kgBB,
 volume darah ekstrakorporeal < 10 % volume darah total
 (60 ml/kgBB utk remaja – 80 ml/kgBB utk anak)
 Dialiser: BB: 20 – 30 kg (0.7); 30 – 40 kg (0.9); >40 kg (1.0)
 Tabel ukuran dialiser untuk anak:

 Cairan pencuci/dialisat : Komposisi: pH:7,1-7,3, dektrose, sodium,


potasium, calsium, Mg, Cl, asetate:2-4 mEq/L; Bicarbonate 30 – 40
mEq/L
 Blood flow ( Qb): Kecepatan aliran darah:
 Anak: 150 – 200 ml/m2/min atau 5 – 7 ml/kgBB/min
 Tujuan: utk klirens urea 2 – 3 ml/min/kgBB
 Dialisat flow(Qd): rata2 kecepatan dialisat 500 ml/min (300 – 800
ml/min
 (Protokol India: BB <20 kg: Qd 400 – 500mL/min;>20 kg 600 –
700mL/min

 Stop heparin minimal 1 jam sebelum sesi HD selesai

• Suportif tekanan darah: NaCl 0,9% 10 – 20 ml/kgBB, albumin 20%


1g/kgBB atau 5mL/kgBB,

• Target Berat Badan Post Dialisis

• Obat-obatan :
5. Prosedur pemantauan selama HD

Pemantauan Selama Dialisis58

1. Koagulasi
Secara visual, darah dalam sirkuit ekstrakorporeal berwarna sangat tua dalam
dialize terlihat garis-garis merah, dalam drip chamber terlihat busa dan
pembentukan bekuan darah.
2. Tekanan Darah
Hipertensi biasanya dipengaruhi oleh renin ataupun beberapa faktor lain yang
belum diketahui, pada penderita ini tekanan darah dapat meningkat selama
dialisis, walaupun cairan dihilangkan. Pada beberapa penderita pada waktu
HD dapat terjadi hipotensi intradialisis, penderita ini perlu penghentian
medikasi tekanan darah pada hari dialisis. Tekanan darah dan denyut nadi
diukur tiap 30 sampai 60 menit. Keluhan pusing ataupun perasaan lemah
menunjukkan hipotensi. Gejala-gejala hipotensi dapat tidak kentara, dan
kadang asimtomatis sampai tekanan darah jatuh ketingkat yang
membahayakan.
3. Suhu
Demam yang timbul sebelum dialisis merupakan temuan yang serius perlu
dicari penyebabnya. Manifestasi infeksi pada penderita dialysis sering tidak
kentara. Kenaikan suhu sekitar 0,5 derajat selama dialysis adalah normal
4. Daerah Akses Vaskuler
Daerah akses vaskuler harus dipastikan dari tanda-tanda infeksi sebelum
dialisis.
Efektifitas hemodialisa dilakukan 2 – 3 kali dalam seminggu selama 4 – 5
jam atau paling sedikit 10 – 12 jam perminggunya Sebelum dilakukan hemodilisa
maka perawat harus melakukan pengkajian pradialisa, dilanjutkan dengan
menghubungankan klien dengan mesin hemodialisa dengan memasang blood line
dan jarum ke akses vaskuler klien, yaitu akses untuk jalan keluar darah ke dialiser
dan akses masuk darah ke dalam tubuh. Arterio Venous (AV) fistula adalah akses
vaskuler yang direkomendasikan karena kecendrungan lebih aman dan juga
nyaman bagi pasien.54,56

Setelah blood line dan akses vaskuler terpasang, proses hemodialisa


dimulai. Saat dialysis darah dialirkan keluar tubuh dan disaring didalam dialiser.
Darah mulai mengalir dibantu pompa darah. Cairan normal salin diletakkan
sebelum pompa darah untuk mengantisipasi adanya hipotensi intradialisis. Infuse
heparin diletakkan sebelum atau sesudah pompa tergantung peralatan yang
digunakan. Darah mengalir dari tubuh melalui akses arterial menuju ke dialiser
sehingga terjadi pertukaran darah dan sisa zat. Darah harus dapat keluar masuk
tubuh klien dengan kecepatan 200-400 ml/menit.54,56

Proses selanjutnya darah akan meninggalkan dialiser. Darah meninggalkan


dialiser akan melewati detector udara. Darah yang sudah disaring kemudian
dialirkan kembali kedalam tubuh melalui akses venosa. Dialysis diakhiri dengan
menghentikan darah dari klien, membuka selang normal salin dan membilas
selang untuk mengembalikan darah pasien. Pada akhir dialysis, sisa akhir
metabolism dikeluarkan, keseimbangan elektrolit tercapai dan buffer system telah
diperbaharui.54,57
Soal C

1-5. Patofisiologi Sindrom Nefrotik, SNRS, SNSS, remisi, relaps

Kapiler glomerulus dilapisi oleh endotelium fenestrasi yang berada pada


membran basal glomerulus, yang ditutupi oleh epitel glomerulus, atau podosit,
yang membungkus kapiler yang disebut foot process, proses ini diinterdigitasi
dengan persimpangan sel-sel khusus yang disebut celah diafragma celah yang
bersama-sama membentuk filtrat glomerulus. Biasanya, protein yang lebih besar
(lebih besar dari 69 kD) tidak difiltrasi. Penghancuran podosit juga menyebabkan
kerusakan glomerulus yang tidak dapat diubah.5,6,7

Proteinuria yang lebih dari 85% albumin adalah proteinuria selektif.


Albumin memiliki muatan negatif, dan diketahui bahwa hilangnya muatan negatif
membran glomerulus bisa menyebabkan albuminuria. Proteinuria non-selektif,
yang merupakan kebocoran glomerulus dari semua protein plasma, tidak akan
melibatkan perubahan dalam muatan glomerulus melainkan cacat umum dalam
permeabilitas.

Mutasi pada beberapa protein podosit diidentifikasi pada keluarga dengan


sindrom nefrotik bawaan; faktor plasma dapat mengubah permeabilitas
glomerulus, terutama pada pasien dengan sindrom nefrotik yang resisten terhadap
steroid dan respons imun T-limfosit terpolarisasi yang terakhir dirubah, di mana
sel-T dapat menghasilkan produksi faktor permeabilitas. Peningkatan kadar
plasma IgE, IgG4, dan hubungan dengan atopy menunjukkan bias sitokin tipe II
pada pasien dengan MCNS. Studi in vitro menunjukkan bahwa podosit
mengekspresikan reseptor IL-4 dan IL-13, aktivasi reseptor ini dapat mengganggu
permeabilitas glomerulus yang mengakibatkan proteinuria. Tidak ada sitokin
tertentu yang memicu sindrom nefrotik.

Patogenesis sindrom nefrotik masih belum jelas meskipun ada bukti kuat
disregulasi kekebalan, terutama yang melibatkan imunitas yang diperantarai sel.
Kecenderungan penyakit untuk bermanifestasi dan kambuh setelah infeksi virus
atau episode atopik, hubungan dengan antigen HLA dan limfoma Hodgkin, dan
respons terapeutik terhadap steroid dan siklosporin mendukung hipotesis
'disregulasi kekebalan'.8 Bahkan, kelainan bagian dari sel T dan / atau fungsi telah
dilaporkan pada sejumlah pasien dengan minimal change nephropathy.9,10,11

Presentasi antigen pada limfosit T menyebabkan respons imun


terpolarisasi yaitu tipe 1 (didominasi oleh interleukin 2) dan tipe 2 (didominasi
oleh interleukin 4, 10 dan 13). Sitokin tipe 1 mendominasi imunitas yang
diperantarai sel dan sitokin tipe 2 pada atopi dan pengalihan sel-B untuk produksi
IgG4 dan IgE.12 Temuan peningkatan kadar IgE dalam plasma, IgG4 yang relatif
normal dan hubungan dengan atopi menunjukkan bias sitokin tipe 2 pada pasien
dengan minimal change nephropathy.8 Peningkatan produksi sitokin sistemik,
terutama interleukin-4 juga dilaporkan pada studi in vitro menunjukkan bahwa
podosit mengekspresikan reseptor untuk interleukin-4 dan interleukin-13; aktivasi
reseptor ini oleh masing-masing sitokin mungkin mengganggu permeabilitas
glomerulus yang menghasilkan proteinuria.13

Hipotesis lain yang berkembang adalah peran faktor sirkulasi sistemik


yang mungkin menghasilkan peningkatan permeabilitas glomerulus pada pasien
dengan minimal change nephropathy dan glomerulosklerosis segmental fokal.8
Berbagai faktor permeabilitas vaskular telah terlibat termasuk endothelial growth
factor, heparanase and hemopexin.14 Heparanase diduga meningkatkan
permeabilitas dinding kapiler glomerulus dengan memecah heparin sulfat
glukosaminoglikan. Degradasi ini telah lama dipostulatkan sebagai penyebab
peningkatan permeabilitas glomerulus terhadap protein.15

Namun, bukti terbaru menunjukkan bahwa cacat primer pada sindrom


nefrotik idiopatik mungkin berada pada tingkat podosit (sel epitel visceral
glomerulus). Agen imunosupresif konvensional seperti glukokortikoid dan CsA
sekarang diketahui secara langsung mempengaruhi struktur dan fungsi podosit;
menantang "teori imun" dari patogenesis sindrom nefrotik masa kanak-kanak dan
menggambarkan penyakit ini sebagai 'podocytopathy'.16 Cedera pada podosit
memang dapat terjadi pada banyak penyakit imunologis dan non-imunologis
ginjal. Podocytopathies yang didapat seperti MCN idiopatik dan FSGS dianggap
sebagai penyakit imunologis.

Sebuah hipotesis menyatukan konsep-konsep disregulasi kekebalan,


peningkatan permeabilitas glomerulus dan podocytopathy belum diusulkan,8
tetapi spekulasi bahwa protein podocyte kritis mungkin merupakan target
potensial untuk sitokin sel T atau faktor permeabilitas vaskular masih
membutuhkan konfirmasi lebih lanjut.11,14

Namun demikian, podosit jelas memainkan peran kunci baik dalam


pemeliharaan penghalang filtrasi glomerulus dan integritas struktural, karena
cedera dan berkontribusi terhadap kehilangan proteinuria dan sklerosis
progresif.17 Agen imunosupresif seperti kortikosteroid dan inhibitor kalsineurin
(CsA dan tacrolimus) diketahui memiliki efek langsung pada podosit melalui
regulasi beberapa sitokin dan beberapa jalur pensinyalan yang relevan untuk
menstabilkan sitoskeleton aktin, maturasi sel.17 Aksi dari non-imunologis
melindungi podosit terhadap cedera dan kerugian yang mengakibatkan efek anti-
proteinurik pada sindrom nefrotik.

Meskipun mekanisme patogenik untuk sindrom nefrotik secara tradisional


berfokus pada disregulasi sel T, ada peningkatan bukti bahwa sel B juga
memainkan peran mengingat efisiensi rituximab dalam mengobati penyakit.18
Rituximab adalah antibodi monoklonal chimeric yang menyerang reseptor CD 20
pada sel B yang awalnya digunakan untuk deplesi sel B pada berbagai gangguan
yang dimediasi neoplastik dan kekebalan tubuh19, tetapi pertama kali dilaporkan
untuk merawat anak dengan sindrom nefrotik pada 200420. Pada kasus dependent
steroid atau resisten, tingkat remisi parsial atau lengkap rata-rata 70-85%
dibuktikan dengan banyaknya pasien yang dapat menghentikan pengobatan
imunosupresif mereka.18 Mekanisme aksi yang tepat masih belum jelas tetapi
telah diketahui bahwa induksi sel T regulator dapat menyebabkan lamannya efek
penurunan proteinuria setelah selesainya terapi.21 Bukti saat ini dari studi
pengamatan menunjukkan bahwa rituximab dapat menginduksi remisi sindrom
nefrotik pada pasien dengan membranous nephropathy22,23,24, MCN, 20,25,26
dan
FSGS 27,28.

Banyak komplikasi sindrom nefrotik dapat dikaitkan dengan metabolisme


lipid yang tidak teratur dan dislipidemia. Abnormalitas ini termasuk peningkatan
kadar kolesterol plasma, trigliserida, dan apolipoprotein B; penurunan aktivitas
lipoprotein lipase di endotelium, otot dan jaringan adiposa; penurunan aktivitas
lipase hati, dan peningkatan kadar enzim PCSK9. Juga, adanya peningkatan kadar
plasma imature HDL dan mengurangi penghabisan kolesterol.

Inti dari kelainan pada sindrom nefrotik secara umum adalah


meningkatnya permeabilitas glomerulus terhadap protein akibat perubahan
muatan negatif pada membran basalis glomerulus yang pada keadaan normal
berperan untuk membatasi filtrasi protein serum. Hal ini mengakibatkan
protenuria masif, yang kemudian menyebabkan turunnya kadar protein serum,
terutama albumin serum.

Pada kasus idiopatik, menurut hasil biopsinya, terlihat penipisan luas pada
prosesus kaki podosit, selain itu dapat juga berhubungan dengan gangguan
kompleks pada sistem imun, terutama imun yang dimediasi oleh sel T. Pada
glomerulosklerosis fokal segmental ( GSFS ), faktor plasma yang diproduksi oleh
bagian dari limfosit yang teraktivasi, bertanggung jawab terhadap naiknya
permeabilitas dinding kapiler. Selain itu, mutasi pada protein podosit (podocin, α-
actinin 4) dan MYH9 (gen podosit) dikaitkan dengan glomerulosklerosis fokal
segmental ( GSFS ). Sindrom nefrotik resisten steroid dapat dikaitkan dengan
mutasi NPHS2 (podocin) dan gen WT1, serta komponen lain dari aparatus filtrasi
glomerulus, seperti celah pori, dan termasuk nephrin, NEPH1, dan CD-2 yang
terkait protein.

a. Proteinuria

Proteinuria merupakan kelainan utama pada SNRS dan keadaan ini masih
menetap walaupun sudah dilakukan terapi. Jika ekskresi protein ≥ 40 mg/jam/m2
luas permukaan badan, maka keadaan ini dikategorikan sebagai proteinuria berat,
yang digunakan sebagai pembeda proteinuria ringan pada pasien non sindrom
nefrotik.

Penting pada penderita SNRS untuk diperhatikan waktu terjadinya


resistensi terhadap steroid atau gagalnya mencapai remisi, apakah terjadi pada
fase awal empat minggu setelah pemberian terapi steroid dosis penuh (
2mg/kg/hari ) atau pada relaps setelah beberapa periode tercapai remisi. Hal ini
dapat menentukan prognosis penyakit terhadap respon terapi.3

b. Hipoalbuminemia

Pada penderita sindrom nefrotik resisten steroid, seperti halnya pada


sindrom steroid secara umum, hipoalbuminemia merupakan suatu menifestasi
klinik akibat bocornya protein ke dalam urin dalam jumlah banyak. Hal ini telah
dibuktikan dengan sebuah analisis immunochemical, didapatkan bahwa lebih dari
80% protein yang disekresi dalam proteinuria adalah albumin.29

Jumlah albumin dalam tubuh manusia ditentukan oleh masukan nutrisi


yang akan disinstesis hepar dan pengeluaran akibat degradasi metabolik. Ekskresi
renal, dan gastointestinal. Pada keadaan normal, laju sintesis albumin, degradasi
dan hilangnya dari tubuh adalah seimbang. Pada anak dengan sindrom nefrotik
terdapat hubungan terbalik antara laju ekskresi protein urin dan derajat
hipoalbuminemia. Namun keadaan ini tidak berkorelasi secara kuat, terutama pada
anak dengan proteinuria yang menetap lama dan tidak responsif steroid, albumin
serumnya dapat kembali normal atau hampir normal dengan atau tanpa perubahan
pada laju ekskresi protein. Laju sintesis albumin pada sindrom nefrotik dalam
keadaan seimbang ternyata tidak menurun, bahkan meningkat atau normal.
Namun, pada suatu penelitian pada anak dengan hipoalbuminemia pada sindrom
nefrotik, ditemukan kenaikan laju sintesis dua kali. Hal ini menunjukkan bahwa
kapasitas meningkatkan sintesis hati terhadap albumin tidak cukup untuk
mengkompensasi laju kehilangan albumin yang abnormal.

Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa hilangnya albumin dalam urin
bukan satu-satunya kontributor terjadinya hipoalbuminemia dan terdapat suatu
sistem homeostasis albumin kompleks yang berperan lebih besar dalam
hipoalbuminemia. Terjadi perubahan multipel pada sistem homeostasis albumin
yang tidak dapat dikompensasi dengan baik oleh adanya sintesis albumin hepar.

c. Edema
2. Patofisiologi SNRS

Manifestasi klinik pada SNRS tidak jauh berbeda dengan manifestasi


klinik sindrom nefrotik secara umum. Perbedaan yang dapat ditemukan adalah
kemungkinan prognosis dan respon pengobatan yang lebih buruk dari sindrom
nefrotik sensitif steroid. Sindrom nefrotik resisten steroid (steroid-resistant
nephrotic syndrome) dapat dikaitkan dengan mutasi pada NPHS2 (podocin) dan
gen WT1, serta komponen lain dari proses filtrasi glomerulus, seperti pori celah
(slit pore), dan termasuk nephrin, NEPH1, dan protein yang terkait dengan CD-
2.6,7

3. Patofisiologi SNSS

Diduga bahwa sindrom nefrotik terjadi karena gangguan imunitas selular


melalui pembentukan klon sel T abnormal yang menghasilkan mediator kimia
(limfokin) sehingga terjadi peningkatan permeabilitas membran basalis dan
menyebabkan proteinuria. Klon sel T abnormal diduga terdapat pada kelenjar
timus yang akan mengalami ablasi saat usia pubertas, hal ini menjelaskan
penyebab insiden sindrom nefrotik sensitif pada usia kurang dari 6 tahun tinggi,
usia lebih dari 6 tahun cenderung bersifat resisten steroid.9 Dalam penelitian kami
setelah diuji secara statistik menunjukkan tidak ada perbedaan kejadian SNSS dan
SNRS pada umur <6 tahun dan >6 tahun.62 Pada SNSS terjadi hiperkolesterolemia
yang berat tetapi dapat kembali normal setelah remisi.

6. Patofisiologi GNAPS
Pathophysiology of A PSGN

Pada GNAPS terjadi reaksi radang pada glomerulus yang menyebabkan


filtrasi glomeruli berkurang, sedangkan aliran darah ke ginjal biasanya normal.
Hal tersebut akan menyebabkan filtrasi fraksi berkurang sampai di bawah 1%.
Keadaan ini akan menyebabkan reabsorbsi di tubulus proksimalis berkurang yang
akan mengakibatkan tubulus distalis meningkatkan proses reabsorbsinya,
termasuk Na, sehingga akan menyebabkan retensi Na dan air.29

Penelitian-penelitian lebih lanjut memperlihatkan bahwa retensi Na dan air


didukung oleh keadaan berikut ini:29

1. Faktor-faktor endothelial dan mesangial yang dilepaskan oleh proses


radang di glomerulus.
2. Ekspresi berlebihan dari epithelial sodium channel.
3. Sel-sel radang interstitial yang meningkatkan aktivitas angiotensin
intrarenal.

Faktor-faktor inilah yang secara keseluruhan menyebabkan retensi Na dan


air, sehingga dapat menyebabkan edema dan hipertensi.29

Efek proteinuria yang terjadi pada GNAPS tidak sampai menyebabkan


edema lebih berat, karena hormon-hormon yang mengatur ekpansi cairan
ekstraselular seperti renin angiotensin, aldosteron dan anti diuretik hormon (ADH)
tidak meningkat. Edema yang berat dapat terjadi pada GNAPS bila ketiga hormon
tersebut meningkat.29

7. Patofisiologi Hipertensi

Tekanan darah pada pada prinsipnya ditentukan oleh curah jantung


(cardiac output/ CO) dan tahanan pembuluh darah sistemik (systemic vascular
resistance/ SVR). Curah jantung ditentukan oleh volume sekuncup (stroke
volume/SV) dan denyut jantung (heart rate/HR). Tahanan pembuluh darah
sistemik ditentukan oleh elastisitas pembuluh darah, kontraktilitas otot jantung,
dan beban tahanan (afterload). Volume sekuncup ditentukan oleh kontraktilitas
otot jantung dan beban volume (preload). Denyut jantung ditentukan oleh sistem
saraf simpatik. Sistem saraf simpatik menerima sinyal dari baroreseptor atau
kemoreseptor untuk ikut mengatur curah jantung.31

Tahanan pembuluh darah sistemik (SVR) terutama fungsi dari arteriol


perifer kecil. Perubahan struktur yang paling awal terjadi pada arteriol penderita
hipertensi, yaitu penebalan tunika media akibat deposisi matriks serta hipertrofi
dan hiperplasia otot polos. Pada pembuluh darah besar terjadi peningkatan elastin
dan kolagen di media, sedangkan otot polos berkurang sehingga menyebabkan
kehilangan elastisitas dan terjadi kekakuan (stiffness). Perubahan struktur
pembuluh darah pada hipertensi juga disertai perubahan fungsionalnya, yaitu
penurunan kemampuan relaksasi dan meningkatkan kontraksi.31
8. Patofisiologi Infeksi Saluran Kemih

Perjalanan mikroorganisme ke dalam saluran kemih dapat terjadi secara


asendens, hematogen limfatik, dan juga ekstensi langsung. Bakteri E. coli
misalnya, memiliki P. fimbriae yang dapat melekat pada sel uroepitel.
Selanjutnya, terjadi kerusakan/parut ginjal (pada pielonefritis) akibat endotoksin
bakteri yang akan memicu sistem kekebalan tubuh (innate immune system). Hal
ini akan merangsang pengeluaran sitokin, kemokin, dan berbagai faktor inflamasi.
Respons inflamasi akan menyebabkan 3 hal utama, yaitu, peningkatan
permeabilitas vaskular, serta pengambilan/recruitment neutrofil untuk meredakan
infeksi dan pembentukan skar/jaringan parut.33

9. Patofisiologi Acute Kidney Injury (AKI)

Dalam keadaan normal aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerolus
relatif konstan yang diatur oleh suatu mekanisme yang disebut otoregulasi. Dua
mekanisme yang berperan dalam autoregulasi ini adalah:37,38

 Reseptor regangan miogenik dalam otot polos pembuluh darah arteriol aferen
 Timbal balik tubuloglomerular

Selain itu norepinefrin, angiotensin II, dan hormon lain juga dapat
mempengaruhi autoregulasi. Pada gagal ginjal pre-renal yang utama disebabkan
oleh hipoperfusi ginjal. Pada keadaan hipovolemi akan terjadi penurunan tekanan
darah, yang akan mengaktivasi baroreseptor kardiovaskular yang selanjutnya
mengaktifasi sistim saraf simpatis, sistim rennin-angiotensin serta merangsang
pelepasan vasopressin dan endothelin-I (ET-1), yang merupakan mekanisme
tubuh untuk mempertahankan tekanan darah dan curah jantung serta perfusi
serebral. Pada keadaan ini mekanisme otoregulasi ginjal akan mempertahankan
aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus (LFG) dengan vasodilatasi arteriol
afferent yang dipengaruhi oleh reflek miogenik, prostaglandin dan nitric oxide
(NO), serta vasokonstriksi arteriol afferent yang terutama dipengaruhi oleh
angiotensin-II dan ET-1.37,38
Ada tiga patofisiologi utama dari penyebab acute kidney injury (AKI) :37,38

1. Penurunan perfusi ginjal (pre-renal)


2. Penyakit intrinsik ginjal (renal)
3. Obstruksi renal akut (post renal)
- Bladder outlet obstruction (post renal)
- Batu, trombus atau tumor di ureter

10. Patofisiologi Penyakit Ginjal Kronik

Beberapa faktor risiko yang memengaruhi terjadi progresivitas PGK


dibagi menjadi 2 (dua) kelompok, yaitu modifiable dan non-modifiable. Faktor
risiko yang termasuk ke dalam non-modifiable adalah berat lahir rendah, jumlah
nefron, etnis tertentu, usia, jenis kelamin, dan faktor genetik. Faktor risiko
modifiable adalah hipertensi, diabetes, obesitas, proteinuria, dislipidemia,
gangguan homeostasis mineral (seperti hiperfosfatemia), hiperurisemia, anemia,
dan nefrotoksin.35
Injury
Faktor-faktor inflamasi
Toksik
Stres fisiologi
Kelainan genetik

Respon Awal
Inflamasi
Produk protease
Apoptosis atau nekrosis
Produksi sitokin
Kebocoran kapiler
Stres oksidatif
Penurunan diferensiasi
seluler

Repair Process
Sintesis/remodeling ECM
Anglogenesis
Profilerasi sel
Difrensiasi dan reorganisasi sel

Insufisiensi berhasil excessive

Sembuh

Adaptasi
New Steady
Fisiologi abnormal stage
Siklus kronik dari adaptasi, jejas
respons, perbaikan dan adaptasi
Penyakit kronik

Gambar. Patogenesis penyakit ginjal kronik (PGK)35


DAFTAR PUSTAKA

1. Trihono PP, Alatas H, Tambunan T, Pardede SO. Konsensus Tatalaksana


Sindrom Nefrotik Idiopatik pada Anak. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan
Dokter Anak Indonesia; 2012.
2. Hill AJ, Stone DE, Elliott JP, Gerkin RD, Ingersoll M, Cook CR.
Management of Nephrotic Syndrome in the Pregnant Patient. J Reprod
Med. 2016;61(11-12):557-61.
3. Raina R, Krishnappa V. An update on LDL apheresis for nephrotic
syndrome. Pediatr. Nephrol. 2018;
4. Dumas De La Roque C, Prezelin-Reydit M, Vermorel A, Lepreux S,
Deminière C, Combe C, Rigothier C. Idiopathic Nephrotic Syndrome:
Characteristics and Identification of Prognostic Factors. J Clin Med.
2018;7(9).
5. Bagga A. Indian Academy of Pediatrics. Management of Steroid Resistant
Nephrotic Syndrome. Indian Pediatrics [Internet]. 2009 [cited 2014 Dec
01 ];46:35-47. Available from: Indian Pediatrics.
6. Otukesh S, Otukesh H. Management and Outcome of Steroid-Resistant
Nephrotic Syndrome in Children. IJKD [Internet]. 2009 [cited 2015 Jan
1 ];3:210-7. Available from: IJKD.
7. Vukojevic K, Raguz F, Saraga M, Filipovic N, Bocina I, Kero D, Glavina
Durdov M, Martinovic V, Saraga-Babic M. Glomeruli from patients with
nephrin mutations show increased number of ciliated and poorly
differentiated podocytes. Acta Histochem. 2018;120(8):748-756.
8. Esprit DH, Amin MS, Koratala A. Uncommon things to note about a
common cause of nephrotic syndrome. Clin Case Rep. 2018;6(8):1645-
1646.
9. Brkovic V, Milinkovic M, Kravljaca M, Lausevic M, Basta-Jovanovic G,
Marković-Lipkovski J, Naumovic R. Does the pathohistological pattern of
renal biopsy change during time? Pathol. Res. Pract. 2018;214(10):1632-
1637.
10. Bagga A, Mantan M. Nephrotic syndrome in children. Indian J Med
Res. 2005;122:13–28.
11. Neuhaus TJ, Shah V, Callard RE, Barratt TM. T-lymphocyte activation in
steroid-sensitive nephrotic syndrome in childhood. Nephrol Dial
Transplant. 1995;10:1348–1352.
12. Bagga A, Vasudev AS, Moudgil A, Srivastava RN. Peripheral blood
lymphocyte subsets in idiopathic nephrotic syndrome of childhood. Indian
J Med Res. 1996;104:292–295.
13. Mathieson PW. Immune dysregulation in minimal change nephropathy.
Nephrol Dial Transplant. 2003;18:26–29. doi: 10.1093/ndt/gfg1066.
14. Mosmann TR, Coffman RL. TH 1 and TH 2 cells: different patterns of
lymphokine secretion lead to different functional properties. Annu Rev
Immunol. 1989;7:145–173. doi: 10.1146/annurev.iy.07.040189.001045.
15. Van Den Berg JG, Aten J, Chand MA, Claessen N, Dijkink L, Wijdenes J,
et al. Interleukin-4 and interleukin-13 act on glomerular visceral epithelial
cells. J Am Soc Nephrol. 2000;11:413–422.
16. Brenchley PE. Vascular permeability factors in steroid sensitive nephrotic
syndrome and focal segmental glomerulosclerosis. Nephrol Dial
Transplant. 2003;18:21–25.
17. Holt RC, Webb NJ, Ralph S, Davies J, Short CP, Brenchley PE.
Heparanase activity is dysregulated in children with steroid-sensitive
nephrotic syndrome. Kidney Int. 2005;67:122–129.
18. Greenbaum LA, Benndorf R, Smoyer WE. Childhood nephrotic
syndrome-current and future therapies. Nat Rev Nephrol. 2012;8:445–458.
doi: 10.1038/nrneph.2012.115.
19. Schonenberger E, Ehrich JH, Haller H, Schiffer M. The podocyte as a
direct target of immunosuppressive agents. Nephrol Dial Transplant.
2011;26:18–24. doi: 10.1093/ndt/gfq617.
20. Tullus K, Marks SD. Indications for use and safety of rituximab in
childhood renal diseases. Pediatr Nephrol. 2013;28:1001–1009. doi:
10.1007/s00467-012-2260-3.
21. Scott SD. Rituximab: a new therapeutic monoclonal antibody for non-
Hodgkin’s lymphoma” Cancer Pract. 1998;6:195–197.
22. Benz K, Dotsch J, Rascher W, Stachel D. Change of the course of steroid-
dependent nephrotic syndrome after rituximab therapy. Pediatr Nephrol.
2004;19:794–797.
23. Bruneau S, Dantal J. New insights into the pathophysiology of idiopathic
nephrotic syndrome. Clin Immunol. 2007;122:62–74.
24. Remuzzi G, Chiurchiu C, Abbate M, Brusegan V. Rituximab for
idiopathic membranous nephropathy. Lancet. 2002;360:923–924.
25. Ruggnenti P, Chiurchiu C, Brusegan V, Abbate M. Rituximab in
idiopathic membranous nephropathy: a one-year prospective study. J Am
Soc Nephrol. 2003;14:1851–1857.
26. Fervenza FC, Cosio FG, Erickson SB, Specks U, Herzenberg AM, Dillon
JJ. Rituximab treatment of idiopathic membranous nephropathy. Kidney
Int. 2008;73:117–125.
27. Gilbert RD, Hulse E, Rigden S. Rituximab therapy for steroid-dependent
minimal change nephrotic syndrome. Pediatr Nephrol. 2006;21:1698–
1700.
28. Yang T, Nast CC, Vo A, Jordan SC. Rapid remission of steroid and
mycophenolate mofetil (MMF)-resistant minimal change nephrotic
syndrome after rituximab therapy. Nephrol Dial Transplant. 2008;23:377–
380.
29. Pescovitz MD, Book BK, Sidner RA. Resolution of recurrent focal
segmental glomerulosclerosis proteinuria after rituximab treatment. N Eng
J Med. 2006;354:1961–1963.
30. Suri M, Tran K, Sharma AP, Filler G, Grimmer J. Remission of steroid-
resistant nephrotic syndrome due to focal and segmental
glomerulosclerosis using rituximab. Int Urol Nephrol. 2008;40:807–810.
31. Unit Kerja Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Konsensus
Glomerulonefritis Akut Pasca Streptokokus. 2012. Badan Penerbit IDAI.
32. Unit Kerja Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Konsensus
Tatalaksana Hipertensi pada Anak. 2011. Badan Penerbit IDAI.
33. Lestari HI, Bahrun D. Hipertensi pada anak. In: Rachmadi D, Sekarwana
N, Hilmanto D, Garna H, editors. Buku ajar nefrologi anak. 3rd ed. Badan
Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2017. p. 557–85.
34. Unit Kerja Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Konsensus
Infeksi Saluran Kemih pada Anak. 2011. Badan Penerbit IDAI.
35. Rusdidjas, Ramayati R. Infeksi saluran kemih. In: Rachmadi D,
Sekarwana N, Hilmanto D, Garna H, editors. Buku ajar nefrologi anak. 3rd
ed. Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2017. p. 475–89.
36. Reyes D, Lew SQ, Kimmel PL. Gender differences in hypertension and
kidney disease. Medical Clinics of North America. 2005;89(3):613–30.
37. Sekarwana N, Pabuti A. Penyakit ginjal kronik. In: Rachmadi D,
Sekarwana N, Hilmanto D, Garna H, editors. Buku ajar nefrologi anak. 3rd
ed. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2017. p. 609–
24.
38. Ciccia E. Pediatric acute kidney injury : prevalence, impact and
management challenges. Int J Nephrol Renovasc Dis. 2017;10:77–84.
39. Lameire N, Biesen WV, Vanholder R. The rise of prevalence and the fall
of mortality of patients with acute renal failure: what the analysis of two
databases does and does not tell us. J Am Soc Nephrol. 2006;17:923-5.
40. Osterman M, Chang R: Acute Kidney Injury in the Intensive Care Unit
according to RIFLE. Critical Care Medicine 2007; 35:1837-1843.
41. National High Blood Pressure Education Program Working Group on
High Blood Pressure in Children and Adolescents. The fourth report on the
diagnosis, evaluation, and treatment of high blood pressure in children and
adolescent. Pediatrics. 2004;114:555-76.
42. National High Blood Pressure Education Program Working Group on
High Blood Pressure in Children and Adolescents. Update on the 1987
task force report on high blood pressure in children and adolescent: a
working group report from the national high blood pressure educational
program. Pediatrics. 1996;98: 649-58.
43. Tumbull F. Blood pressure lowering treatment trialistr collaboration.
Effects of different blood pressure-lowering regiment on major
cardiovascular events: results of prospectively-designed overviews of
randomized trials. Lancet. 2003;362:1527-35.
44. Flynn JT. Differentiation between primary and secondary hipertension in
children using ambulatory blood pressure monitoring. Pediatrics.
2002;110:89-93.
45. Feld LG, Corey H. Hypertension in childhood. Pediatr Rev.2007;28:283
98
46. Gregoric A, Andre JL, Soergel M. Normal blood pressure and
epidemiology of hypertension. Dalam Cochat P (penyunting). European
society for pediatric nephrology handbook. Lyon.2002:h.3003-7.
47. Lambert H, Coultard M. The child with urinary tract infection. Dalam:
Webb NJA, Postlethwaite RJ, penyunting, Clinical Paediatric Nephrology,
edisi ke-3, Oxford, Oxford University Press, 2003,h.197-225.
48. Stamm WE. Urinary tract infection. Dalam: Greenberg A, Cheny AK,
Coffman TM, Falk RJ, Jennette JC, penyunting, Primer on kidney
diseases: San Diego: National Kidney Foundation, Academic Press,
1994;h.243-6.
49. Bensman A, Dunand O, Ulinski T. Urinary tract infection. Dalam: Avner
ED, Harmon WE, Niaudet P, Yoshikawa N, penyunting. Pediatric
Nephrology, edisi ke-6, SpringerVerlag, Berlin Heidelberg, 2009,h.1229-
310.
50. Child Health Network guideline. Management of urinary tract infections in
children. 2002.
51. Yilmaz A, Sevketoglu E, Gedikbasi A, Karyagar S, Kiyak A,
Mulazimoglu M, dkk. Early prediction of urinary tract infection with
urinary neutrophil gelatinase associated lipocalin. Pediatr Nephrol
2009;24:2387-92.
52. Garin EH, Olavarria F, Araya C, Broussain M, Barrera C, Young L.
Diagnostic significance of clinical and laboratory findings to localize site
of urinary infection. Pediatr Nephrol 2007;22:1002-6.
53. Paschke AA, Zaoutis T, Conway PH, Xie D, Keren R. Previous
antimicrobial exposure is associated with drug-resistant urinary tract
infections in children. Pediatrics 2010;125:664-72.
54. Baerton M, Bell Y, Thame M, Nicholson A, Trotman H. Urinary tract
infection in neonates with serious bacterial infections admitted to the
University Hospital of the West Indies. West Indian Med J 2008;57:.
Diunduh dari: http://caribbean.
scielo.org/scielo.php?script=sci_aettext&pid=S0043.
55. American Academy of Pediatrics, Committee on quality inprovement,
subcommittee on urinary tract infection. Practice parameter: The
diagnosis, treatment, and evaluation of the initial urinary tract infection in
febrile infants and young children. Pediatrics 1999,103:843-52
56. Brunner & Suddarth. (2013). Keperawatan Medikal Bedah Edisis 12.
Jakarta . EGC.
57. Price, S.A., dan Wilson, L. M., 2005, Patofisiologi: Konsep Klinis
Prosesproses Penyakit, Edisi 6, Vol. 2, diterjemahkan oleh Pendit, B. U.,
Hartanto, H., Wulansari, p., Mahanani, D. A.,Penerbit Buku Kedokteran
EGC, Jakarta.
58. Black,J.M., dan Hawks,J.H.2005. Medical Surgical Nursing. New York.
Elsevier.
59. Hudak & Gallo, 2012. Keperawatan Kritis: Pendekatan Asuhan Holistic
Vol 1. Jakarta: EGC.
60. Pernefri. 2003. Konsensus Dialisis Perhimpunan Nefrologi Indonesia.
Jakarta.
61. Lubis, Harun Rasyid. 2015. Peresepan Hemodialisis Faktor Dializer.
Medan: Divisi Ginjal dan Hipertensi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam,
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
62. Kaneko K. Pathogenesis in childhood idiopathic nephrotic syndrome: An
update of patchwork. Current Pediat Reviews 2009;5:56-64.


Anda mungkin juga menyukai