Anda di halaman 1dari 6

Pengertian Fiqih Muamalah.

Secara umun pengertian Fiqih muamalah adalah hukum-hukum yang


berkaitan dengan tindakan manusia dalam persoalan keduniaan,
misalnya dalam persoalan jual beli, hutang piutang, kerja sama
dagang, perserikatan, kerja sama dalam penggarapan tanah, dan
sewa menyewa.

Shahhathah (Al-Ustaz Universitas Al-Azhar Cairo) dalam buku Al-


Iltizam bi Dhawabith asy-Syar’iyah fil Muamalat Maliyah (2002)
mengatakan, “Fiqh muamalah ekonomi, menduduki posisi yang
sangat penting dalam Islam. Tidak ada manusia yang tidak terlibat
dalam aktivitas muamalah, karena itu hukum mempelajarinya wajib
‘ain (fardhu) bagi setiap muslim.

Husein Shahhatah, selanjutnya menulis, “Dalam bidang muamalah


maliyah ini, seorang muslim berkewajiban memahami bagaimana ia
bermuamalah sebagai kepatuhan kepada syari’ah Allah. Jika ia tidak
memahami muamalah maliyah ini, maka ia akan terperosok kepada
sesuatu yang diharamkan atau syubhat, tanpa ia sadari. Seorang
Muslim yang bertaqwa dan takut kepada Allah swt, Harus berupaya
keras menjadikan muamalahnya sebagai amal shaleh dan ikhlas
untuk Allah semata” Memahami/mengetahui hukum muamalah
maliyah wajib bagi setiap muslim, namun un-tuk menjadi expert
(ahli) dalam bidang ini hukumnya fardhu kifayah. Oleh karena itu,
Khalifah Umar bin Khattab berkeliling pasar dan berkata :

“Tidak boleh berjual-beli di pasar kita, kecuali orang yang benar-


benar telah mengerti fiqh (muamalah) dalam agama Islam”
(H.R.Tarmizi).

Sehubungan dengan itulah Dr.Abdul Sattar menyimpulkan Muamalat


adalah inti terdalam dari tujuan agama Islam untuk mewujudkan
kemaslahatan manusia.
Menurut Wahbah Zuhaili, hukum muamalah itu terdiri dari hukum
keluarga, hukum kebendaan, hukum acara, perundang-undangan,
hukum internasional, hukum ekonomi dan keuangan.

4 Prinsip Muamalah dalam Islam


1. Pada dasarnya segala bentuk muamalat adalah mubah, kecuali
yang ditentukan oleh al-qur’an dan sunnah rasul. Bahwa hukum
islam memberi kesempatan luas perkembangan bentuk dan
macam muamalat baru sesuai dengan perkembangan kebutuhan
hidup masyarakat.
2. Muamalat dilakukan atas dasar sukarela, tanpa mengandung
unsur paksaan. Agar kebebasan kehendak pihak-pihak
bersangkutan selalu diperhatikan.
3. Muamalat dilakukan atas dasar pertimbangan mendatangkan
manfaat dan menghindari madharat dalam hidup masyarakat.
Bahwa sesuatu bentuk muamalat dilakukan ats dasar
pertimbangan mendatangkan manfaat dan menghindari
madharat dalam hidup masyarakat.
4. Muamalat dilaksanakan dengan memelihara nilai keadilan,
menghindari unsur-unsur penganiayaan, unsur-unsur
pengambilan kesempatan dalam kesempitan. Bahwa segala
bentuk muamalat yang mengundang unsur penindasan tidak
dibenarkan.

5 Batasan Muamalah dalam Islam


Setelah mengenal secara umum apa saja yang dibahas dalam fiqh
muamalat, ada prinsip dasar yang harus dipahami dalam
berinteraksi. Ada 5 hal yang perlu diingat sebagai landasan tiap kali
seorang muslim akan berinteraksi. Kelima hal ini menjadi batasan
secara umum bahwa transaksi yang dilakukan sah atau tidak, lebih
dikenal dengan singkatan MAGHRIB, yaitu Maisir, Gharar, Haram,
Riba, dan Bathil.
1. Maisir
Menurut bahasa maisir berarti gampang/mudah. Menurut istilah
maisir berarti memperoleh keuntungan tanpa harus bekerja keras.
Maisir sering dikenal dengan perjudian karena dalam praktik
perjudian seseorang dapat memperoleh keuntungan dengan cara
mudah. Dalam perjudian, seseorang dalam kondisi bisa untung atau
bisa rugi. Padahal islam mengajarkan tentang usaha dan kerja keras.
Larangan terhadap maisir / judi sendiri sudah jelas ada dalam
AlQur’an (2:219 dan 5:90)

2. Gharar
Menurut bahasa gharar berarti pertaruhan. Terdapat juga mereka
yang menyatakan bahawa gharar bermaksud syak atau keraguan.
Setiap transaksi yang masih belum jelas barangnya atau tidak berada
dalam kuasanya alias di luar jangkauan termasuk jual beli gharar.
Boleh dikatakan bahwa konsep gharar berkisar kepada makna
ketidaktentuan dan ketidakjelasan sesuatu transaksi yang
dilaksanakan, secara umum dapat dipahami sebagai berikut :
sesuatu barangan yang itu wujud atau tidak;
– barangan yang ditransaksikan itu mampu diserahkan atau tidak;
– transaksi itu dilaksanakan secara yang tidak jelas atau akad dan
kontraknya tidak jelas, baik dari waktu bayarnya, cara bayarnya, dan
lain-lain.

Misalnya membeli burung di udara atau ikan dalam air atau membeli
ternak yang masih dalam kandungan induknya termasuk dalam
transaksi yang bersifat gharar. Atau kegiatan para spekulan jual beli
valas.

3. Haram
Ketika objek yang diperjualbelikan ini adalah haram, maka transaksi
nya mnejadi tidak sah. Misalnya jual beli khamr, dan lain-lain.
4. Riba
Pelarangan riba telah dinyatakan dalam beberapa ayat Al Quran.
Ayat-ayat mengenai pelarangan riba diturunkan secara bertahap.
Tahapan-tahapan turunnya ayat dimulai dari peringatan secara halus
hingga peringatan secara keras.

Tahapan turunnya ayat mengenai riba dijelaskan sebagai berikut :


Pertama, menolak anggapan bahwa riba tidak menambah harta
justru mengurangi harta. Sesungguhnya zakatlah yang menambah
harta. Seperti yang dijelaskan dalam QS. Ar Rum : 39.
ٓ‫مٓمن‬ ٓ ِّ َّ‫آليَ ۡربُ َوآْفِّيٓأَمۡ َٰ َو ِّلٓٱلن‬
ٓ‫اسٓفَ ََلٓيَ ۡربُوآْ ِّعندَٓٱ َّه‬
ِّ ُ ‫للِّٓ َو َمآ َءات َ ۡيت‬ ِّ ‫َو َمآٓ َءات َ ۡيتُمٓ ِّم‬
ِّ ٗ‫نٓرب‬
ٓ٣٩َٓٓ‫ض ِّعفُون‬ ۡ ‫للِّٓفَأ ُ ْو َٰلَئِّ َكٓهُ ُمٓٱ ۡل ُم‬
َّٓ ‫ٓو ۡجهَٓٱ‬َ َ‫زَ َك َٰو ٖةٓت ُ ِّريدُون‬
“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia
bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada
sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu
maksudkan untuk mencapai keridaan Allah, maka (yang berbuat
demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya)”
Kedua, riba digambarkan sebagai suatu yang buruk dan balasan yang
keras kepada orang Yahudi yang memakan riba. Allah berfiman
dalam QS. An Nisa : 160-161.
ٓ‫سبِّي ِّل‬
َ ٓ‫عن‬ َ ٓ ‫ص ِّد ِّه ۡم‬
َ ‫ٓو ِّب‬َ ‫ت ٓأ ُ ِّحلَّ ۡت ٓلَ ُه ۡم‬ َ ٓ ‫ظ ۡل ٖٓم ٓ ِّمنَ ٓٱلَّذِّينَٓ ٓهَادُوآْ َح َّرمۡ نَآ َعلَ ۡي ِّه ۡم‬
ٍ َ‫طيِّ َٰب‬ ُ ‫فَ ِّب‬
ِّٓ ‫اس ِّٓٓبٱ ۡل َٰ َب ِّط‬
ٓ‫ل‬ ٓ ِّ َّ‫ُٓوأ َ ۡك ِّل ِّه ۡم ٓأَمۡ َٰ َو َل ٓٱلن‬ َ ٓ ْ‫ ٓ َوأ َ ۡخ ِّذ ِّه ُٓم ٓٱ ِّلر َب َٰوٓاْ ٓ َوقَ ۡد ٓنُ ُهوا‬١٦٠ٓ‫للِّ ٓ َكثِّ ٗيرا‬
َ ‫ع ۡنه‬ َّٓ ‫ٱ‬
ٓ١٦١ٓ‫ٓم ۡن ُه ۡمٓ َعذَابًآأ َ ِّل ٗيما‬ ِّ َ‫َوأ َ ۡعت َ ۡدنَآ ِّل ۡل َٰ َك ِّف ِّرين‬
“Maka disebabkan kelaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan
atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya)
dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi
(manusia) dari jalan Allah, dan disebabkan mereka memakan riba,
padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan
karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang batil. Kami
telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka
itu siksa yang pedih.”
Ketiga, riba diharamkan dengan dikaitkan kepada suatu tambahan
yang berlipat ganda. Allah menunjukkan karakter dari riba dan
keuntungan menjauhi riba seperti yang tertuang dalam QS. Ali
Imran: 130.
‫َٰ ه‬ ۡ َ ‫َٰ َيأَيُّ َهآٱلَّذِّينَٓٓ َءا َمنُواْ ََٓلٓت َ ۡأ ُكلُوآْٱ ِّلر َب َٰوٓآْأ‬
ٓ َ‫للَٓلَ َعلَّ ُك ۡمٓت ُ ۡف ِّل ُحون‬ َٓ ‫ض َعفَ ٗة‬
َّٓ ‫ٓوٱتَّقُوٓآْٱ‬ َ ‫ض َٰ َع ٗفآ ُّم‬
ٓ١٣٠
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba
dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya
kamu mendapat keberuntungan.”

Keempat, merupakan tahapan yang menunjukkan betapa kerasnya


Allah mengharamkan riba. QS. Al Baqarah : 278-279 berikut ini
menjelaskan konsep final tentang riba dan konsekuensi bagi siapa
yang memakan riba.

ٓ٢٧٨َٓ‫ٓمنَ ٓٱ ِّلربَ َٰوٓآْإِّنٓ ُكنتُمٓ ُّم ۡؤ ِّمنِّين‬ َّٓ ‫َٰيَأَيُّ َهآٱلَّذِّينَٓٓ َءا َمنُوآْٱتَّقُوٓآْٱ‬
َ ‫للَٓ َوذَ ُروآْ َمآبَ ِّق‬
ِّ ‫ي‬
ٓ‫وسٓأ َ ۡم َٰ َو ِّل ُك ۡم‬ ُٓ ‫سو ِّل ه ِّهٓۦٓ َو ِّإنٓت ُ ۡبت ُ ۡمٓفَلَ ُك ۡم‬
ُ ‫ٓر ُء‬ َّٓ ‫ٓمنَ ٓٱ‬
ُ ‫للِّٓ َو َر‬ ِّ ‫ب‬ٖ ‫فَإِّنٓلَّ ۡمٓت َ ۡف َعلُوآْفَ ۡأذَنُوآْبِّ َح ۡر‬
ٓ ٓ٢٧٩ٓ َ‫ٓو ََلٓت ُ ۡظلَ ُمون‬ َ َ‫ََلٓت َ ۡظ ِّل ُمون‬
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan
tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang
yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan
sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan
memerangimu. Dan jika kamu bertobat (dari pengambilan riba),
maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak
(pula) dianiaya.”

5. Bathil
Dalam melakukan transaksi, prinsip yang harus dijunjung adalah
tidak ada kedzhaliman yang dirasa pihak-pihak yang terlibat.
Semuanya harus sama-sama rela dan adil sesuai takarannya. Maka,
dari sisi ini transaksi yang terjadi akan merekatkan ukhuwah pihak-
pihak yang terlibat dan diharap agar bisa tercipta hubungan yang
selalu baik. Kecurangan, ketidakjujuran, menutupi cacat barang,
mengurangi timbangan tidak dibenarkan. Atau hal-hal kecil seperti
menggunakan barang tanpa izin, meminjam dan tidak bertanggung
jawab atas kerusakan harus sangat diperhatikan dalam
bermuamalat.

Anda mungkin juga menyukai