Anda di halaman 1dari 28

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) adalah penyebab utama

morbiditas dan mortalitas penyakit menular di duani. Hampir empat juta

orang meninggal akibat ISPA setiap tahunnya, 98%-nya disebabkan oleh

infeksi saluran pernapasan bawah. Tingkat mortalitas sangat tinggi pada bayi,

anak-anak, dan orang lanjut usia, terutama di negara-negara dengan

pendapatan per kapita rendah dan menengah. WHO memperkirakan insidens

infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) di negara berkembang dengan angka

kematian balita di atas 40 per 1000 kelahiran hidup adalah 15%-20%

pertahun pada usia golongan balita. Begitu pula, ISPA merupakan salah satu

penyebab utama konsultasi atau rawat inap di fasilitas pelayanan kesehatan

terutama pada bagian perawatan anak (World Health Organization, 2007).

Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan penyakit yang

sering terjadi pada anak. Insidens menurut kelompok umur Balita

diperkirakan 0,29 kasus per anak/tahun di negara berkembang dan 0,05 kasus

per anak/tahun di negara maju. Ini menunjukkan bahwa terdapat 156 juta

kasus baru di dunia per tahun dimana 151 juta kasus (96,7%) terjadi di negara

berkembang. Kasus terbanyak terjadi di India (43 juta), China (21 juta) dan

Pakistan (10juta) dan Bangladesh, Indonesia, Nigeria masing-masing 6 juta

kasus. Dari semua kasus yang terjadi di masyarakat, 7%-13% kasus berat dan
2

memerlukan perawatan rumah sakit. kasus batuk-pilek pada Balita di

Indonesia diperkirakan 2-3 kali per tahun (Rudan et al Bulletin WHO 2008).

Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) disebabkan oleh virus atau

bakteri. Penyakit ini diawali dengan panas disertai salah satu atau lebih

gejala: tenggorokan sakit atau nyeri telan, pilek, batuk kering atau berdahah.

Period prevalence ISPA dihitung dalam kurun waktu 1 bulan terakhir. Lima

provinsi dengan ISPA tertinggi adalah Nusa Tenggara Timur (41,7%), Papua

(31,1%), Aceh (30,0%), Nusa Tenggara Barat (28,3%), dan Jawa Timur

(28,3%). Karakteristik penduduk dengan ISPA yang tertinggi terjadi pada

kelompok umur 1-4 tahun (25,8%). Menurut jenis kelamin, tidak berbeda

antara laki-laki dan perempuan (Kemenkes RI, 2013).

ISPA di Indonesia masih merupakan masalah kesehatan yang penting

karena menyebabkan kematian balita yang cukup tinggi yaitu kira-kira 1 dari

4 kematian yang terjadi. Sekitar 40%-60% dari kunjungan di puskesmas

adalah penyakit ISPA. Dari seluruh kematian yang disebabkan oleh ISPA

mencakup 20%-30% kematian, yang terbesar umumnya karena pneumonia

dan pada balita berumur kurang dari 2 bulan (Depkes RI, 2011).

Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan penyakit yang

paling sering berada dalam daftar 10 (sepuluh) penyakit terbanyak di rumah

sakitmaupun puskesmas di Provinsi Sulawesi Tenggara. Sasaran program

pemberantasan ISPA adalah penderita pneumonia. Populasi yang rentan

terserang pneumonia adalah anak kurang dari 2 tahun, usia lanjut lebih dari

65 tahun, atau orang yang memiliki masalah kesehatan (malnutrisi, gangguan


3

imunologi). Perkiraan balita penderita pneumonia di Provinsi Sulawesi

Tenggara tahun 2015 sebesar 25.312 balita, sementara balita penderita

pneumonia yang ditemukan dan ditangani baru mencapai 3.669 kasus atau

sekitar 14,6% dari perkiraan penderita. Angka ini masih jauh dibawah target

nasional sebesar 80%. Penyakit ISPA di wilayah kerja puskesmas Wuna

kecamatan Barangka tiap tahunnya menduduki urutan pertama dalam daftar

10 besar penyakit. Risiko terjadinya ISPA dapat dilihat dari data kasus di

puskesmas Wuna kecamatan Barangka dengan wilayah kerja desa Wuna,

desa Waulai, desa Lafinde, desa Nihi dan desa Maperaha. Pada tahun 2015,

kasus ISPA balita sebanyak 128 dari 1.124 kasus ISPA. Sementara pada

tahun 2016 kasus ISPA balita sebanyak 81 dari 570 kasus ISPA yang ada

(Dinkes Provinsi Sultra, 2016; Profil Puskesmas Wuna, 2016).

Secara umum terdapat tiga faktor risiko terjadinya ISPA, yaitu faktor

lingkungan, faktor individu anak serta faktor perilaku. Faktor lingkungan

meliputi: pencemaran udara dalam rumah (asap rokok dan asap hasil

pembakaran bahan bakar untuk memasak dengan konsentrasi yang tinggi),

ventilasi rumah dan kepadatan hunian. Faktor individu anak meliputi: umur

anak, berat badan lahir, status gizi, vitamin A dan status imunisasi. Faktor

perilaku meliputi perilaku pencegahan dan penanggulangan ISPA pada bayi

atau peran aktif keluarga/masyarakat dalam menangani penyakit ISPA

(Prabu, 2009).

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Heryanto (2016) menyimpulkan

bahwa ada hubungan yang bermakna antara status imunisasi dengan kejadian
4

ISPA pada balita di Balai Pengobatan UPTD Puskesmas Sekar Jaya dengan

nilai p0,001, dan ada hubungan yang bermakna antara pemberian ASI

Eksklusif dengan kejadian ISPA pada balita di Balai Pengobatan UPTD

Puskesmas Sekar Jaya dengan nilai p0,000. Proporsi balita yang mengalami

ISPA lebih banyak terjadi pada balita yang tidak mendapatkan ASI eksklusif

yaitu 59,4% dibandingkan dengan balita yang mendapatkan ASI Eksklusif

yaitu 20%. Penelitian yang dilakukan oleh Winarni dkk. (2010) melaporkan

bahwa semakin tinggi perilaku merokok responden maka akan semakin tinggi

angka kejadian ISPA pada balita dan semakin kurang perilaku merokok

responden maka kejadian ISPA akan semakin kecil. Asap yang dihasilkan

dari pembakaran kayu/arang akan lebih banyak bila dibandingkan dengan

hasil pembakaran gas/minyak tanah. Banyaknya asap yang dihasilkan dari

pembakaran di dapur apabila asap tersebut tidak mudah keluar maka akan

mengganggu sistem pernapasan seseorang terutama balita yang berada di

ruangan dapur tersebut (Tulus, 2008).

Berdasarkan uraian di atas maka peneliti tertarik untuk mengkaji lebih

dalam tentang analisis faktor yang mempengaruhi kejadian Infeksi Saluran

Pernapasan Akut (ISPA) pada balita di Puskesmas Wuna kecamatan

Barangka Muna Barat.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Apakah pemberian imunisasi merupakan faktor yang mempengaruhi

kejadian ISPA pada balita di puskesmas Wuna kecamatan Barangka?


5

2. Apakah pemberian ASI eksklusif merupakan faktor yang mempengaruhi

kejadian ISPA pada balita di puskesmas Wuna kecamatan Barangka?

3. Apakah kebiasaan merokok di dalam rumah merupakan faktor yang

mempengaruhi kejadian ISPA pada balita di puskesmas Wuna kecamatan

Barangka?

4. Apakah penggunaan kayu bakar sebagai bahan bakar memasak

merupakan faktor yang mempengaruhi kejadian ISPA pada balita di

puskesmas Wuna kecamatan Barangka?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Tujuan umum dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui dan

menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian Infeksi Saluran

Pernapasan Akut (ISPA) pada balita di Puskesmas Wuna kecamatan

Barangka Muna Barat.

2. Tujuan Khusus

Tujuan khusus dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui faktor pemberian imunisasi dengan kejadian ISPA

pada balita di puskesmas Wuna kecamatan Barangka.

b. Untuk mengetahui faktor pemberian ASI eksklusif dengan kejadian

ISPA pada balita di puskesmas Wuna kecamatan Barangka.

c. Untuk mengetahui faktor kebiasaan merokok di dalam rumah dengan

kejadian ISPA pada balita di puskesmas Wuna kecamatan Barangka.


6

d. Untuk mengetahui faktor penggunaan kayu bakar sebagai bahan bakar

memasak dengan kejadian ISPA pada balita di puskesmas Wuna

kecamatan Barangka.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan ilmu

pengetahuan di bidang kedokteran tropis khususnya mengenai faktor-

faktor yang mempengaruhi kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut

(ISPA) pada balita di Puskesmas Wuna kecamatan Barangka Muna

Barat.

2. Manfaat Metodologis

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk

pengembangan penelitian lebih lanjut dalam ruang lingkup yang sama.

3. Manfaat Aplikatif

Dari penelitian ini, pihak puskesmas dan orang tua balita

diharapkan agar lebih mempertimbangkan kebijakan yang berhubungan

dengan kesehatan balita terutama mengenai infestasi saluran pernapasan

akut (ISPA) serta memberikan informasi tentang penelitian yang telah

diperoleh.
7

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Kajian Umum Kepustakaan

1. Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)

a. Definisi ISPA

Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) adalah penyakit

infeksi akut yang menyerang salah satu bagian atau lebih dari saluran

nafas mulai dari hidung hingga kantong paru (alveoli) termasuk

jaringan adneksanya seperti sinus/rongga di sekitar hidung, rongga

telinga tengah dan pleura. Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga

(SKRT) tahun 2001 angka kematian akibat pneumonia, mencapai 5

kasus diantara 1000 bayi dan balita. Ini berarti ISPA mengakibatkan

150 ribu bayi dan balita meninggal setiap tahunnya, atau 12.500

korban perbulan, atau 416 kasus sehari, atau 17 anak per jam, atau 1

orang balita tiap 5 menit (Hayati, 2014).

ISPA adalah penyakit saluran pernapasan atas atau bawah,

biasanya menular, yang dapat menimbulkan berbagai spektrum

penyakit yang berkisar dari penyakit tanpa gejala atau infeksi ringan

sampai penyakit yang parahdan mematikan, tergantung pada patogen

penyebabnya, faktor lingkungan, dan faktor pejamu. ISPA juga

didefinisikan sebagai penyakit saluran pernapasan akut yang

disebabkan oleh agen infeksius yang ditularkan manusia dari manusia

ke manusia (World Health Organization, 2007).


8

b. Klasifikasi ISPA

Klasifikasi ISPA berdasarkan lokasi anatomis ada dua yaitu:

ISPA bagian atas yang menyerang hidung sampai epiglotis dengan

organ adneksanya, misalnya rinitis akut, faringitis akut, sinusitis akut,

dan ISPA bagian bawah yang menyerang organ saluran pernapasan

mulai dari bagian bawah epiglotis sampai alveoli paru, misalnya:

epiglotitis, laringitis, laringotrakeitis, bronkitis akut, bronkiolitis dan

pneumonia (World Health Organization, 2002).

Misnadiarly (2008) dalam Utami (2013), dalam pelaksanaan

program pemberantasan penyakit ISPA, kriteria untuk menggunakan

pola tatalaksana penderita ISPA adalah balita, ditandai dengan

adanya batuk atau kesukaran bernapas disertai dengan peningkatan

frekuensi napas sesuai golongan umur. Dalam penentuan klasifikasi

penyakit dibedakan atas 2 kelompok yaitu umur kurang dari dua

bulan dan umur dua bulan kurang dari lima tahun.

1. Kelompok umur < 2 bulan diklasifikasikan atas:

- Pneumonia berat didasarkan pada adanya batuk dan atau

kesukaran pernapasan disertai napas sesak atau tarikan

dinding dada bagian bawah ke dalam pada anak usia dua

bulan sampai kurang dari lima tahun. Untuk anak kurang dari

dua bulan, diagnosis pneumonia berat ditandai dengan adanya

napas cepat dimana frekuensi napas 60 kali per menit atau


9

lebih dan adanya tarikan dinding dada bagian bawah ke

dalam.

- Bukan pneumonia apabila ditandai dengan napas cepat tetapi

tidak disertai tarikan dinding dada ke dalam. Bukan

pneumonia mencakup kelompok penderita dengan batuk pilek

biasa yang tidak ditemukan adanya gejala peningkatan

frekuensi napas dan tidak ditemukan tarikan dinding dada

bagian bawah ke dalam (Depkes RI, 2002).

Ada beberapa tanda klinis yang dapat menyertai anak

dengan batuk yang dikelompokkan sebagai tanda bahaya:

- Tanda dan gejala untuk golongan umur kurang dari dua bulan

yaitu tidak bisa minum, kejang, kesadaran menurun, stridor

(ngorok), wheezing (napas bunyi), demam.

- Tanda dan gejala untuk golongan umur dua bulan sampai

kurang dari lima tahun yaitu tidak bisa minum, kejang,

kesadaran menurun dan stridor.

2. Kelompok Umur 2 Bulan - < 5 tahun, diklasifikasikan atas:

- Pneumonia sangat berat

Batuk atau kesulitan bernafas yang disertai dengan

sianosis sentaral, tidak dapat diminum, adanya penarikan

dinding dada, anak kejang dan sulit dibangunkan.

- Pneumonia berat
10

Batuk atau kesulitan bernafas dan penarikan dinding

dada, tetapi tidak disertai sianosis sentral dan dapat diminum.

- Pneumonia

Batuk atau kesulitan bernafas dan pernafasan cepat

tanpa penarikan dinding dada.

- Bukan pneumonia persisten

Batuk pilek biasa, batuk atau kesulitan bernafas tanpa

pernafasan cepat atau penarikan dinding dada.

c. Patogenesis

Menurut Somantri (2007), infeksi pernapasan akut

disebabkan karena peningkatan produksi mucus, peningkatan otot

polos bronchial dan edema mukosa. Aliran udara yang terhambat

akan meningkatkan kerja napas dan menimbulkan dispneu.

Patogenesis secara konkritnya yaitu adalah faktor-faktor penyebab

terdapatnya infeksi seperti perilaku terhadap lingkungan maupun

pengetahuan yang kurang tentang pencegahan. Mikroba menyerang

anak yang memiliki imun lemah masuk melalui saluran pernapasan

yakni dengan cara anak menghirup udara yang terdapat mikrobanya.

Mikroba masuk ke saluran pernapasan dan menginfeksi saluran

pernapasan. Pertahanan tubuh dengan mengeluarkan sel-sel yang

berfungsi membunuh mikroba sehingga terjadi refleks batuk dan juga

terdapatnya mukosa yang berusaha membunuh hingga terjadi

penumpukan secret pada saluran pernapasan.


11

Pertahanan tubuh yang baik akan membuat tubuh terus

berusaha untuk mengeluarkan mikroba dengan batuk. Pertahanan

tubuh yang tidak baik, tubuh menjadi lemah tidak dapat melawan

mikroba, hingga mikroba terus berjalan hingga saluran pernapasan

bawah yaitu melalui bronkus dan bronkiolus menuju alveoli. Reaksi

peradangan terjadi, maka saluran pernapasan meradang, terjadi

peningkatan produksi sekret sehingga tubuh merasa tidak nyaman,

merasa gatal dalam tenggorokan, batuk produktif dan sesak napas.

Peradangan bronkus menyebar ke parenkim paru sehingga

terjadi konsolidasi pada rongga alveoli dengan eksudat menyebabkan

penurunan jaringan paru dan terjadi kerusakan membrane alveolar

kapiler sehingga terjadi sesak napas. Mikroba dapat menyebar ke

seluruh tubuh sehingga terjadi demam, tidak nafsu makan, mual,

berat badan menurun, lemah dan aktifitas menjadi terganggu

(Muttaqin, 2008).

d. Etiologi ISPA

Bakteri adalah penyebab utama infeksi saluran pernapasan

bawah, dan Streptococcus pneumoniae di banyaknegara merupakan

penyebab paling umum pneumonia yang didapat dari luar rumah sakit

yang disebabkanoleh bakteri. Namun demikian, patogen yang paling

sering menyebabkan ISPA adalah virus, atau infeksigabungan virus-

bakteri. Sementara itu, ancaman ISPA akibat organisme baru yang


12

dapat menimbulkanepidemi atau pandemi memerlukan tindakan

pencegahan dan kesiapan khusus (World Health Organization, 2007).

e. Faktor Risiko ISPA

Menurut World Health Organization (2007), terjadinya ISPA

tertentu bervariasi menurut beberapa faktor. Penyebaran dan dampak

penyakit berkaitan dengan beberapa hal:

1. Kondisi lingkungan (misalnya, polutan udara, kepadatan hunian

rumah, kelembaban, kebersihan, musim, temperatur).

2. Ketersediaan dan efektivitas pelayanan kesehatan dan langkah

pencegahan infeksi untuk mencegah penyebaran (misalnya,

vaksin, akses terhadap fasilitas pelayanan kesehatan, kapasitas

ruang isolasi).

3. Faktor pejamu, seperti manusia, kebiasaan merokok, kemampuan

pejamu menularkan infeksi, status kekebalan, status gizi, infeksi

sebelumnya atau infeksi serentak yang disebabkan oleh patogen

lain, kondisi kesehatan umum.

4. Karakteristik patogen, seperti cara penularan, daya tular, faktor

virulensi (misalnya gen penyandi toksin), dan jumlah atau dosis

mikroba (ukuran inokulum).

f. Gejala ISPA

Widoyono (2008) menyatakan bahwa seorang anak yang

menderita ISPA bisa menunjukan bermacam-macam tanda dan

gejala, seperti batuk, bersin, serak sakit tenggorokan, sakit telinga,


13

keluar cairan dari telinga, sesak nafas, pernafasan yang cepat, nafas

yang berbunyi, penarikan dada ke dalam, bisa juga mual, muntah,

tidak mau makan, badan lemah dan sebagainya.

1. Tanda dan Gejala ISPA ringan

Tanda dan gejala untuk ISPA ringan antara lain batuk,

pilek, suara serak, dengan atau tanpa panas atau demam. Tanda

yang lainnya adalah keluarnya cairan dari telinga yang lebih dari

dua minggu, tanpa rasa sakit pada telinga.

2. Tanda dan Gejala ISPA sedang

Tanda dan gejala ISPA sedang meliputi tanda dan gejala

pada ISPA ringan ditambah satu atau lebih tanda dan gejala

seperti pernafasan yang lebih cepat (lebih dari 50 kali per menit),

wheezing (nafas menciut-ciut), dan panas 39oC atau lebih. Tanda

dan gejala lainnya antara lain sakit telinga, keluarnya cairan dari

telinga yang belum lebih dari dua minggu, sakit campak.

3. Tanda dan Gejala ISPA berat

Tanda dan gejala ISPA berat meliputi tanda dan gejala

ISPA ringan atau sedang ditambah satu atau lebih tanda dan

gejala seperti penarikan dada ke dalam pada saat menarik nafas

yang merupakan tanda utama ISPA berat, stridor, dan tidak

mampu atau tidak mau makan. Selain itu tanda dan gejala dapat

disertai kulit kebiru- biruan (sianosis), nafas cuping hidung

(cuping hidung ikut bergerak kembang kempis waktu bernafas),


14

kejang, dehidrasi, kesadaran menurun, terdapatnya membran

(selaput) difteri.

g. Penatalaksanaan ISPA

Sasaran program pemberantasan ISPA adalah penderita

pneumonia. Penatalaksanaan pneumonia menurut buku Pedoman

Pengobatan Dasar di Puskesmas adalah (Depkes RI, 2007):

- Penderita pneumonia dapat dirawat dirumah, namun bila

keadaannya berat penderita harus dirawat di rumah sakit untuk

mendapat perawatan yang memadai, seperti cairan intravena bila

sangat sesak, oksigen, serta sarana rawat lainnya. Bayi

memerlukan perhatian lebih khusus lagi.

- Diberikan kotrimoksazol 2 x 2 tablet.

Dosis anak:

 2-12 bulan : 2 x ¼ tablet

 1-3 tahun : 2 x ½ tablet

 3-5 tahun : 2 x 1 tablet

- Antibiotik pengganti adalah amoksisilin atau ampisilin.

- Pada kasus dimana rujukan tidak memungkinkan diberikan

injeksi amoksisilin dan / atau gentamisin.

- Pada orang dewasa terapi kausal secara empiris adalah penisilin

prokain 600.000-1.200.000 IU sehari atau ampisilin 1 gram 4 x

sehari terutama pada penderita dengan batuk produktif.


15

- Bila penderita alergi terhadap golongan penisilin dapat diberikan

eritromisin 500 mg 4 x sehari. Demikian juga bila diduga

penyebabnya mikoplasma (batuk kering).

- Tergantung jenis batuk dapat diberikan kodein 8 mg 3 x sehari

atau bronkodilator (teofilin atau salbutamol).

h. Penularan, Pencegahan dan Pemberantasan ISPA

Menurut World Health Organization (2008), pola penyebaran

ISPA yang utama adalah melalui droplet yang keluar dari

hidung/mulut penderita saat batuk atau bersin. Penularan juga dapat

terjadi melalui kontak (termasuk kontaminasi tangan oleh sekret

saluran pernapasan, hidung, dan mulut) dan melalui udara dengan

jarak dekat saat dilakukan tindakan yang berhubungan dengan

saluran napas.

Widoyono (2008) dalam Khairudin dkk. (2014: 142), bagian

penting dalam pencegahan penyakit ISPA adalah memutus rantai

penularan. Hal itu dapat dilakukan dengan cara menghentikan kontak

agen penyebab penyakit dengan pejamu. Faktor pencegahan

penularan menitikberatkan pada penanggulangan faktor risiko

penyakit seperti lingkungan dan perilaku. Perilaku hidup bersih dan

sehat dapat mencegah terjadinya masalah kesehatan termasuk

pencegahan, penularan dan mempercepat kesembuhan ISPA.

Andarmoyo (2012) seperti dikutip Sukarto dkk. (2016: 2),

pencegahan kejadian ISPA tidak terlepas dari peran orang tua yang
16

harus mengetahui cara-cara pencegahan ISPA. ISPA dapat dicegah

dengan mengetahui penyakit ISPA, mengatur pola makan balita,

menciptakan lingkungan yang nyaman dan menghindar faktor

pencetus. Peran orang tua dalam pencegahan ISPA pada balita

termasuk dalam peran orang tua dalam perawatan anak. Peran aktif

orang tua dalam pencegahan ISPA sangat diperlukan karena yang

biasa terkena dampak ISPA adalah usia balita dan anak-anak yang

kekebalan tubuhnya masih rentan terkena infeksi. Sehingga

diperlukan peran orang tua dalam menangani hal ini. Orang tua harus

mengerti tentang dampak negatif dari penyakit ISPA seperti ISPA

ringan bisa menjadi pneumonia yang kronologisnya dapat

mengakibatkan kematian, jika tidak segera ditangani.

Pemberantasan yang dilakukan adalah dengan penyuluhan

kesehatan yang terutama ditujukan kepada para ibu, penatalaksanaan

kasus yang rasional dan imunisasi balita (Depkes RI, 2002).

2. Balita

Syafarilla (2011) seperti dikutip Hayati (2014: 63), usia balita

lebih sering terkena penyakit dibandingkan orang dewasa. Hal ini

disebabkan sistem pertahanan tubuh pada balita terhadap penyakit infeksi

masih dalam tahap perkembangan. Salah satu penyakit infeksi yang

paling sering diderita oleh balita adalah Infeksi Saluran Pernafasan Akut

(ISPA).

3. Tinjauan Umum tentang Variabel dalam Penelitian


17

a. Pemberian Imunisasi

Hidayat (2009) dalam Namira (2013: 20) Indonesia memiliki

jenis imunisasi yang diwajibkan oleh pemerintah (imunisasi dasar)

yakni imunisasi BCG, hepatitis B, polio, DPT, dan campak.

Imunisasi dasar ini diberikan pada anak sesuai dengan usianya. Anak

yang telah mendapatkan imunisasi lengkap tubuhnya akan bertambah

kekebalan tubuhnya sehingga tidak mudah terserang penyakit-

penyakit tertentu yang sering dialami oleh anak-anak.

Pemberian imunisasi dapat mencegah berbagai jenis

penyakitinfeksitermasuk ISPA. Untuk mengurangi faktor yang

meningkatkan mortalitas ISPA, diupayakan imunisasi lengkap

terutama DPT dan Campak. Bayi dan balita yang mempunyai status

imunisasi lengkapbila menderita ISPA dapat diharapkan

perkembangan penyakitnyatidak akan menjadi berat (Hayati, 2014).

b. Pemberian ASI Eksklusif

Ranantha dkk. (2014) dalam Heryanto (2016) sejalan dengan

hasil penelitiannya dengan judul Hubungan antara Karakteristik

Balita dengan Karakteristik ISPA pada Balita di Desa Gandon

Kecamatan Kaloran Kabupaten Temanggung, menunjukkan bahwa

ada hubungan antara ASI eksklusif dengan kejadian ISPA pada balita

(p = 0,0001). Dapat diketahui bahwa balita yang tidak diberi ASI

eksklusif mempunyai risiko 16,429 kali lebih besar untuk terjadinya

ISPA daripada balita yang diberi ASI eksklusif.


18

c. Kebiasaan Merokok di dalam Rumah

Fajriwin (lihat Winarni, 2010: 17) asap rokok dari orang tua

yang merokok dapat menyebabkan pencemaran udara dalam rumah

yang dapat merusak mekanisme paru-paru. Asap rokok juga diketahui

sebagai sumber oksidan. Asap rokok yang berlebihan dapat merusak

sel paru-paru baik sel saluran pernapasan maupun sel jaringan paru

seperti alveoli.

Menurut Winarni dkk. (2010) dalam hasil penelitiannya

dengan menggunakan metode desain cross sectional diperoleh

adanya hubungan antara perilaku merokok orang tua dan anggota

keluarga yang tinggal dalam satu rumah dengan kejadian ISPA pada

balita. Hal ini menunjukkan bahwa semakin kurang atau buruk

perilaku merokok responden maka akan semakin tinggi angka

kejadian ISPA pada balita dan semakin baik perilaku merokok

responden maka kejadian ISPA akan semakin kecil.

d. Penggunaan Kayu Bakar sebagai Bahan Bakar Memasak

Asap yang dihasilkan dari pembakaran kayu/arang akan lebih

banyak bila dibandingkan dengan hasil pembakaran gas/minyak

tanah. Banyaknya asap yang dihasilkan dari pembakaran di dapur

apabila asap tersebut tidak mudah keluar maka akan mengganggu

sistem pernapasan seseorang terutama balita yang berada di ruangan

dapur tersebut (Tulus, 2008).


19

B. Kerangka Teori

Faktor Individu:

1. Usia

2. BBLR

3. Status gizi

4. Imunisasi

5. ASI eksklusif

Faktor Perilaku:

1. Kebiasaan merokok di dalam rumah


ISPA
2. Penggunaan kayu bakar sebagai bahan

bakar memasak

Faktor Lingkungan:

1. Kondisi fisik rumah


6. BBLR
2. Kepadatan hunian rumah
7. Status Gizi

8. Imunisasi

9. ASI eksklusif
Gambar 1. Kerangka Teori
20

C. Kerangka Konsep

Banyak faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya ISPA tetapi

mengingat kemampuan dan keterbatasan peneliti, maka tidak semua faktor

diteliti oleh peneliti. Penelitian hanya terbatas pada faktor pemberian

imunisasi, pemberian ASI eksklusif, kebiasaan merokok di dalam rumah dan

memasak dengan menggunakan kayu bakar terhadap kejadian ISPA pada

balita di puskesmas Wuna kecamatan Barangka kabupaten Muna Barat.

Berdasarkan pola pemikiran tersebut, maka dibuatlah kerangka konsep

variabel seperti pada gambar 2.

Imunisasi ASI eksklusif

ISPA

Kebiasaan merokok di Penggunaan kayu bakar

dalam rumah sebagai bahan bakar

memasak

Gambar 2. Kerangka Konsep


21

Keterangan:

= variabel independen (bebas)

= variabel dependen (terikat)

= penghubung antarvariabel yang diteliti

D. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan masalah yang dibahas maka hipotesis penelitian yang

diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

 Hipotesis Nol (Ho)

a. Pemberian imunisasi bukan merupakan faktor yang mempengaruhi

kejadian ISPA pada balita di puskesmas Wuna kecamatan Barangka

Muna Barat.

b. Pemberian ASI eksklusif bukan merupakan faktor yang

mempengaruhi kejadian ISPA pada balita di puskesmas Wuna

kecamatan Barangka Muna Barat.

c. Merokok di dalam rumah bukan merupakan faktor yang

mempengaruhi kejadian ISPA pada balita di puskesmas Wuna

kecamatan Barangka Muna Barat.

d. Penggunaan kayu bakar sebagai bahan bakar memasak bukan

merupakan faktor yang mempengaruhi kejadian ISPA pada balita di

puskesmas Wuna kecamatan Barangka Muna Barat.


22

BAB III
METODE PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian jenis analitik observasional dengan

menggunakan pendekatan cross sectional yang bertujuan untuk mengetahui

dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian Infeksi Saluran

Pernapasan Akut (ISPA) pada balita di Puskesmas Wuna kecamatan

Barangka Muna Barat.

B. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan mulai bulan November hingga

Desember 2017 di wilayah kerja puskesmas Wuna kecamatan Barangka

kabupaten Muna Barat.

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Riyanto (2011), populasi adalah seluruh individu atau objek yang

akan diteliti dan memenuhi karakterisktik yang telah ditentukan.

Sedangkan Sugiyono (2013), populasi adalah generalisasi yang terdiri

atas obyek/subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu

yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik

kesimpulannya.

Populasi dalam penelitian ini adalah semua balita yang tercatat

menderita ISPA di puskesmas Wuna kecamatan Barangka kabupaten

Muna Barat.
23

2. Sampel

Menurut Sugiyono (2013), sampel adalah bagian dari jumlah dan

karakteristik yang dimikili oleh populasi tersebut. Sedangkan Arikunto

(2013), sampel adalah sebagian atau wakil yang diteliti. Pada penelitian

ini obyek yang akan diteliti yaitu balita yang tercatat menderita ISPA di

puskesmas Wuna kecamatan Barangka kabupaten Muna Barat. Sampel

penelitian ini tercatat sebanyak 79 balita. Dengan alasan karena

populasinya di bawah 100 sesuai dengan pendapat Arikunto yaitu apabila

populasi kurang dari 100, maka sampel diambil dari keseluruhan populasi

yang ada sehingga disebut penelitian populasi.

3. Teknik Pengambilan Sampel

Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan

teknik total sampling atau sampel jenuh. Menurut Sugiyono (2013), total

sampling atau sampel jenuh yaitu teknik penentuan sampel dengan cara

mengambil seluruh anggota populasi sebagai responden atau sampel. Jadi

sampel dalam penelitian ini adalah semua balita yang tercatat menderita

ISPA di puskesmas Wuna kecamatan Barangka kabupaten Muna Barat

yang berjumlah 79 balita.

4. Kriteria Sampel

a. Kriteria Inklusi

Kriteria inklusi yaitu terdiri dari hal-hal yang harus ada pada

seseorang untuk menjadi responden. Adapun kriteria inklusi pada

penelitian ini adalah :


24

1) Berusia < 5 tahun

2) Bersedia menjadi responden dalam penelitian

3) Berdomisili di wilayah kerja puskesmas Barangka

b. Kriteria Ekslusi

Kriteria ekslusi merupakan hal-hal yang tidak boleh terdapat

pada seseorang yang akan menjadi responden. Adapun kriteria ekslusi

pada penelitian ini adalah balita yang mempunyai gangguan sistem

imunitas yang kompleks atau yang tidak memenuhi kriteria inklusi.

D. Teknik Pengumpulan Data

1. Teknik Pengumpulan Data

a. Data Primer

Data primer dalam penelitian ini diperoleh dari kunjungan

rumah dilakukan dengan cara melakukan wawancara langsung

kepada responden dengan menggunakan kuesioner dan observasi

atau pengamatan langsung di rumah yang dilengkapi dengan data

dokumentasi.

b. Data Sekunder

Data sekunder dari penelitian ini diperoleh dari pencatatan

dan pelaporan di puskesmas Wuna kecamatan Barangka.

2. Instrument Penelitian

 Kuesioner

 Alat tulis

 Kamera
25

 Laptop

3. Pengolaha Data

Data yang dikumpulkan kemudian akan diolah dengan langkah-

langkah:

a. Editing, yaitu memeriksa kelengkapan, kejelasan jawaban, kejelasan

makna jawaban, konsistensi maupun kesalahan antar jawaban

kuesioner.

b. Coding, yaitu apabila semua data telah terkumpul dan selesai diedit

di lapangan, kemudian akan dilakukan pengkodean data berdasarkan

buku kode yang telah disusun sebelumnya dan telah dipindahkan ke

format aplikasi program SPSS di computer.

c. Entry, yaitu memasukkan data untuk diolah menggunakan computer.

d. Tabulating, yaitu mengelompokkan data sesuai variabel yang akan

diteliti guna memudahkan analisis data.

E. Kriteria Objektif dan Definisi Operasional


26

F. Alur Penelitian

Pengajuan surat permohonan data awal/studi pendahuluan

Menyusun proposal

Pemaparan proposal

Mengurus surat izin penelitian dari Balitbang ke puskesmas


Wuna kecamatan Barangka

Pengisian kuesioner dan wawancara

Pengumpulan dan pengolahan data

Analisis data

Penyajian hasil akhir

Gambar 3. Bagan Alur Penelitian

G. Teknik Analisis Data

1. Teknik Analisis Data

a. Analisis Univariat

Analisa data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah

analisa univariat dengan menampilkan tabel-tabel distribusi untuk

melihat gambaran distribusi frekuensi reponden menurut berbagai


27

variabel yang diteliti yaitu variabel independen dan variabel

dependen.

b. Analisis Bivariat

Analisa bivariat digunakan untuk menganalisis hubungan

antara dua variabel yaitu variabel dependen dan independen

menggunakan uji Chi square SPSS versi 21 dengan mencari nilai OR

(Odds Ratio) untuk mengetahui besarnya hubungan antarvariabel.

Interpretasi hasil menggunakan derajat kemaknaan yaitu 5% dengan

hasil Ho ditolak jika p value <α atau p value <0,05.

2. Penyajian Data

Data hasil analisis univariat dan bivariat disajikan dalam bentuk

tabel. Setiap tabel diberikan penjelasan berdasarkan hasil analisis data.

H. Etika Penelitian

Etika merupakan hal yang sangat penting dalam melaksanakan

sebuah penelitian mengingat penelitian berhubungan langsung dengan

manusia, maka segi etika penelitian harus diperhatikan karena manusia

mempunyai hak asasi.

Dalam penelitian ini, peneliti meminta perizinan kepada objek

peneliti. Peneliti harus melalui beberapa tahap pengurusan perizinan

seperti meminta persetujuan dari kepala puskesmas, setelah mendapat

persetujuan kemudian peneliti mendatangi objek penelitian dan meminta

persetujuan untuk menjadi partisipan. Setelah mendapat persetujuan barulah

melaksanakan penelitian dengan memperhatikan hal berikut :


28

1. Informed consent

Merupakan cara persetujuan antara peneliti dengan partisipan,

dengan memberikan lembar persetujuan (informed consent). Informed

consent tersebut diberikan sebelum penelitian dilaksanakan

denganmemberikan lembar persetujuan untuk menjadi objek penelitian.

Tujuan informed consent adalah agar objek penelitian tahu maksud dan

tujuanpenelitian, mengetahui dampaknya, jika objek penelitian bersedia

maka mereka menandatangani lembar persetujuan serta bersedia untuk

didokumentasikan dan jika partisipan tidak bersedia maka peneliti harus

menghormati hak dari mereka.

2. Anonimity (tanpa nama)


Merupakan etika dalam penelitian tidak memberikan atau

mencantumkan nama responden pada lembar alat ukur dan hanya

menuliskan kode pada lembar pengumpulan data atau hasil penelitian

yang disajikan.

3. Kerahasiaan (confidentiality)

Merupakan etika dalam penelitian untuk menjamin kerahasiaan

dari hasil penelitian baik informasi maupun masalah lainnya, semua

partisipan yang telah dikumpulkan dijamin kerahasiaannya oleh

peneliti, hanya kelompok data tertentu yang dilaporkan pada hasil

penelitian.

Anda mungkin juga menyukai