Anda di halaman 1dari 30

5

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI

Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus

dengue dengan genusnya favivirus. Virus ini memiliki empat serotype. Yang ditularkan

melalui gigitan nyamuk aedes aegypti yang mana virus ini menyebabkan gangguan pada

pembuluh darah kapiler dan pada sistem pembekuan darah sehingga menyebabkan

terjadinya perdarahan (Garna.H, 2012).

2.2 ETIOLOGI

Penyakit DHF disebabkan oleh Virus Dengue, yang termasuk dalam genus

flaviviridae. Flavivirus merupakan virus dengan diameter 30 mm terdiri dari asam ribonukleat

rantai tunggal dengan berat molekul 4x106.

Terdapat 4 serotipedari virus dengue, yaitu DEN-1, DEN-2 , DEN-3 dan DEN -4 yang

semuanya dapat menyebabkan demam dengue atau demam berdarah dengue. Keempat

serotipe ditemukan di Indonesia dengan DEN-3 merupakan serotipe yang terbanyak. Terdapt

reaksi silang antara serotipe dengue dengan flavivirus lainnya seperti yellow fever, Japanese

encephalitis, dan west nile virus (WHO, 2009).

2.3 PATOGENESIS

Patogenesis infeksi virus dengue berhubungan dengan 1. Faktor virus, yaitu

serotipe,jumlah virulensi, 2. Faktor host, genetic, usia, status gizi, penyakit komorbid `dan

interaksi antara virus dengan host. 3. Faktor lingkungan, musim, curah hujan, suhu udara,

kepadatan penduduk, mobilitas penduduk dan kesehatan lingkungan.

Peran sistem imun dalam infeksi virus dengue adalah sebagai berikut,
6

1. Infeksi pertama kali (primer) menimbulkan kekebalan seumur hidup untuk serotipe

penyebab.

2. Infeksi sekunder dengan serotipe virus yang berbeda (secondary heterologous

infection) pada umumnya memberikan manifestasi klinis yang lebih berat

dibandingkan dengan infeksi primer.

3. Bayi yang lahir dari ibu yang memiliki antibody dapat menunjukkan manisfestasi klinis

berat walaupun pada infeksi primer .

4. Kebocoran plasm sebagai tanda karakteristik untuk DBD terjadi pada saat jumlah

virus dalam darah menurun.

5. Kebocoran plasma terjadi dalam waku singkat (24-48 jam) dan pada pemeriksaan

patologi tidak ditemukan kerusakan dari sel endotel pembuluhdarah.

2.3.1 Imunopatogenesis

Patogenesis infeksi dengue diakibatkan oleh interaksi berbagai komponen dari

respons imun atau reaksi inflamasi yang terjadi secara terintegrasi. Sel imun yang paling

penting dlam berinteraksi dengan virus dengue yaitu sel dendrit, monosit/makrofag, sel

endotel, dan trombosit. Sehingga, akan dikeluarkan berbagai mediator seperti sitokin,

peningkatan aktivitas sistem komplemen, serta terjadi aktivasi limfosit T. Apabila aktivasi sel

imun tersebut berlebihan, akan diproduksi sitokin (terutama proinflamasi), kemokin dan

mediator inlamasi lain dalam jumlah banyak. Akibat produksi berlebih dari zat-zat tersebut

akan menimbulkan berbagai kelainan yang akhirnya menimbulkan berbagai bentuk tandan

dan gejala infeksi virus dengue.

a. Respon Imun Humoral

Respon imun humoral di perankan oleh limfosit B dengan menghasilkan

antibody spesifik terhadap virus dengue. Antibodi spesifik untuk virus dengue

terhadap satu serotipe tertentu juga dapat menmbulkan reaksi silang dengan serotipe

lain selama 6 bulan. Antibodi yang dihasilkan bisa menguntungkan dalam arti dapat
7

melindungi dari terjadinya penyakit, namun sebaliknya dapat pula memicu terjadinya

infeksi yang berat melalui mekanisme antibody dependent enhacement (ADE).

Antibodi anti dengue yang dibentuk umumnya berupa immunoglobulin (Ig) G

dengan aktivitas yang berbeda. Antibodi terhadap protein NS 1 berperan dalam

menghancurkan (lisis) sel yang terinfeksi melalui bantuan komplemen (complement

dependent lysis)

Virus dengue memiliki empat serotipe yang secara antigenic berbeda. Infeksi

virus primer oleh satu serotipe tertentu dapat menimbulkan kekebalan yang menetap

untuk serotipe yang bersangkutan (antibody homotipik). Pada saat yang bersamaan,

akan dibentuk antibodi serotipe lain (antibody heterotipik) sebagai bentuk adanya

kekebalan silang (cross imunity). Sehingga, apabila terjadi infeksi dari serotipe lain,

maka antibody serotipik akan berikatan dengan virus dan membentuk kompeks imun.

Kompleks imun akan berikatan denga reseptor Feγ yang banyak terutama pada

monosit dan makrofag. Virus bermultiplikasi didalam sel dan kemudian virus keluar

dari sel dan menyebabkan viremia. Kompleks imun juga dapat mengaktifkan kaskade

sistem komplemen untuk menghasilkan C3a dan C5a yang mempunyai dampak

langsung terhadap peningkatan perbeabilitas vascular.

b. Respon Imun Selular

Respon imun selular yang berperan adalah limfosit T (sel T). Sel T

spesifikuntuk virus dengue dapat menginali sel yang terinfeksi virus dengue dan

menimbulkan menimbulkan respon beragam berupa proliferasi sel T, menghancurkan

(lisis) sel terinfeksi dengue, serta memproduksi berbagai sitokin. Pada penelitian in

vitro diketahui bahwa baik sel T CD4 maupun sel T CD8 dapat menyebabkan lisis sel

target yang terinfeksi dengue. Dalam menjalankan fungsinya sel T CD4 lebih banyak

sebagai penghasil sitokin dibandingkan dengan fungsi menghancurkan sel terinfeksi

virus dengue. Sebaliknya, sel T CD8 lebih berperan untuk lisis sel target

dibandingkan produksi sitokin.


8

Pada infeksi sekunder oleh virus dengue dengan serotipe berbeda, sel T

memori mempunyai aviditas yang lebih besar terhadap serotipe yang sebelumnya

dibandingkan dengan serotipe virus yang baru. Hal ini disebut sebagai original

antigenic sin. Dengan demikian, fungsi lisis terhadap virus yang baru tidak optimal,

sedangkan produksi sitokin berlebihan. Sitokin yang dihasilkan oleh sel T pada

umunya berperan dala memacu respon inflamasi dan meningkatkan permeabilitas sel

endotel vaskular.

c. Mekanisme Autoimun

Komponen virus dengue yang berperan dalam pembentukan antibody spesifik

yaitu protein E, pr, dan NS1. Protein yang paling berperan dalam mekanisme

autoimun dalam pathogenesis infeksi virus dengue yaitu protein NS1. Antibodi

terhadap protein NS1 dengue menunjukkan reaksi silang dengan sel endotel/ dan

trombosit, sehingga menimbulkan gangguan pada kedua sel tersebut serta dapat

memacu respons inflamasi. Sel endotel yang diaktivasi oleh antibody terhadap

protein NS1 dengue ternyata dapat mengekspesikan sitokin,kemokin dan molekul

adhesi. Antibodi terhadap prM juga dapat menyebabkan reaksi silang dengan sel

endotel. Proses autoimun ini diduga kuat karena karena terdapat kesamaan atau

kemiripan antara protein NS1 dan prM dengan komponen tertentu yang terdapat

pada sel endotel dan trombosit yang disebut dengan molecular mimicry. Autoantibodi

yang bereaksi dengan komponen dimaksud, mengakibatkan sel yang mengandung

molekul hasil ikatan antara keduanya akan dihancurkan oleh makrofag atau

mengalami kerusakan. Akibatnya, pada trombosit terjadi penghancuran sehingga

menyebabkan trombositopenia dan pada sel endotel terjadi peningkatan

permeabilitas yang mengakibatkan kebocoran plasma.

d. Peran Sitokin dan Mediator Inflamasi Lain

Sitokin merupakan suatu molekul protein dengan fungksi yang sangat

beragam dan berperan penting dalam respons imun tubuh melawan infeksi. Dalam
9

lingkup respon inflamasi, secara umum sitokin mempunyai sifat proinflamasi dan

antiinflamasi. Pada keadaan respon fisiologis, terjadi keseimbangan antara kedua

jenis sitokin tersebut. Apabila sitokin diproduksi dalam jumlah yang sangat banyak

dan reaksinya berlebihan, maka akan merugikan host.

Pada infeksi virus dengue, sitokin juga berperan dalam menentikan derajat

penyakit. Infeksi berat dalam hal ini DHF (apalagi DSS) ditandai dengan

peningkatan jenis dan jumlah sitokin yang sering disebut sebagai badai sitokin.

Dalam melakukan fungsinya sebagai sitokin saling berhubungan dan saling

memengaruhi satu dengan yang lainnya berupa suatu kaskade. Sitokin mana yang

paling berperan menyebabkan penyakit yang berat, beberapa penelitian

menghasilkan hasil yang beragam. Hal ini disebabkan karena beberapa alasan,

antara lain variasi dalam waktu pengambilan sampel pemeriksaan, usia, batasan

derajat penyakit, dan juga faktor genetic yang berbeda. Dari beberapa penelitian

sitokin yang perannya paling banyak dikemukakan yaitu TNF-, IL-Iβ, IL-6,IL-8,dan

IFN-γ. Mediator lain yang sering dikemukakan mempunyai peran penting dalam

menimbulkan derajad pemyakit berat yaitu kemokin CXCL-9, CXCL-10, dan CXCL-

11 yang dipicu oleh IFN-γ

e. Peran Sisitem Komplemen

Sistem komplemen diketahui ikut berperan dalam pathogenesis infeksi virus

dengue. Pada pasien dengan DHF atau DSS ditemukan kadar komplemen,

sehingga diduga bahwa aktivasi sistem komplemen mempunyai peran dalam

pathogenesis terjadi penyakit yang berat. Kompleks imun virus dengue dan

antibody pada infeksi sekunder dapat mengaktivasi sistem komplemen melalui

jalur klasik. Protein NS1 dapat mengaktivasi sistem komplemen secara langsung

melalui jalus alternatif dan apabila berlebihan dapat menyebabkan peningkatan

permeabilitas vascular.

f. Faktor Host
10

Beberapa faktor host yang dilaporkan dapat menjadi faktor risiko untuk

terkena infeksi virus dengue yang berat adalah usia, status gizi, faktor genetic, dan

penyakit tertentu khususnya penyakit yang berhubungan dengan sistem imun.

Anak-anak umumnya mempunyai perjalanan penyakit yang lebih berat

dibandingkan dengan dewasa. Mengenai mekanisme yang mendasari belum jelas,

tetapi diduga anak mempunyai sistem mikrovaskular yang lebih mudah untuk

mengalami peningkatan permeabilitas. Bayi usia 6-12 bulan mempunyai resiko

lebih berat, meskipun pada infeksi primer. Hal tersebut diduga melalui mekanisme

ADE yang sama dengan infeksi sekunder pada host dengan usia lebih dari satu

tahun. Antibodi (IgG) antidengue yang bersifat nonneutralising ditransfer dari ibu

pada saat kehamilan. Obesitas merupakan salah satu faktor risiko yang telah

banyak diteliti, pada umumnya berhubungan dengan human leucocyte antigen

(HLA) tertentu, yang menjadi resiko untuk lebih rentan atau sebaliknya lebih kebal

terhadap infeksi virus dengue. Beberapa penelitian juga telah banyak melaporkan

hubungan antara faktor genetik dengan derajad penyakit dengue. Faktor genetic

lain di luar pengkode HLA adalah gen pengkode sitokin TNF-α, IFN-γ dan IL-1,

serta gen yang mengkode reseptor IgG reseptor vitamin D, dan mannose binding

lectin.

2.4 MANIFESTASI KLINIS

Manifestasi klinis infeksi virus dengue sangat luas dapat bersifat asimptomatik atau

tak bergejala, demam yang tidak khas atau sulit dibedakan dengan infeksi virus lain (sindrom

virus atau viral sindrome, undifferentiated fever), demam dengue (DD), demam berdarah

dengue (DBD) dan Expanded dengue syndrome/organopati (manifestasi klinis yang tidak

lazim).
11

Gambar 2.1 Klasifikasi Diagnosis Dengue Menurut WHO 2011

Demam dengue menimbulkan beberapa gejala berupa demam, mialgia, dan gejala

konstitusional lain yang tidak spesifik seperti rasa lemah dan anoreksia. Demam pada

umumnya timbul tinggi (39οC-40οC), mendadak, terus menerus (pola demam kurva kontinu),

bifasik dan berlangsung selama 2-7 hari. Penderita akan mengalami penurunan suhu tubuh

pada hari ketiga sakit yang masih dalam batas normal, lalu suhu kembali tinggi, pola ini

disebut pola demam bifasik. Demam disertai dengan mialgia, arthralgia, muntah, nyeri

retroorbital pada saat mata digerakkan atau ditekan. Gejala lain yang dapat ditemukan ialah

gangguan pencernaan, nyeri perut, dan sakit tenggorok. Hari ketiga atau keempat sakit

ditemukan adanya ruam makulopapular, ruam tersebut segera berkurang sehingga sering

luput dari perhatian. Ruam makulopapular serta petekie diselingi bercak-bercak putih di kaki

dan tangan akan muncul pada masa penyembuhan, dapat disertai rasa gatal yang disebut

ruam konvalesens. Manifestasi perdarahan pada umumnya ringan berupa uji torniket positif

(≥10 petekie dalam area 2,8 x 2,8 cm) atau beberapa petekie spontan.

Manifestasi DBD juga dimulai dengan demam yang tinggi, mendadak, kontinus,

kadang bifasik, berlangsung antara 2-7 hari. Demam disertai dengan gejala lain yang sering
12

ditemukan pada demam dengue seperti kemerahan (facial flushing), anoreksia, mialgia dan

antralgia. Gejala lain dapat berupa nyeri epigastrik, mual muntah, nyeri di daerah subkostal

kanan atau nyeri abdomen difus, kadang disertai nyeri tenggorok. Demam dapat mencapai

suhu 40oC dan dapat disertai kejang demam. Manifestasi perdarahan dapat berupa uji

tourniket yang positif, ptekie spontan yang dapat ditemukan di daerah ekstremitas, aksila,

wajah dan palatum mole. Epistaksis dan perdarahan gusi dapat ditemukan, kadang disertai

dengan perdarahan ringan saluran cerna, hematuria lebih jarang ditemukan.

Ruam makulopapular atau rubeliformis dapat ditemukan pada fase awal sakit. Ruam

konvalesens seperti pada demam dengue, dapat ditemukan pada masa penyembuhan.

Hepatomegali ditemukan sejak fase demam, dengan pembesaran yang bervariasi antara 2-

4cm bawah arkus kosta. Hepatomegali tidak disertai dengan ikterus dan tidak berhubungan

dengan derajat penyakit, namun hepatomegali lebih sering ditemukan pada DBD dengan

syok atau DSS.

Pada DBD terjadi kebocoran plasma yang secara klinis berbentuk efusi pleura,

apabila kebocoran plasma lebih berat dapat ditemukan asites. Pemeriksaan rontgen foto

dada posisi lateral dekubitus kanan, efusi pleura terutama di hemithoraks kanan merupakan

temuan yang paling sering dijumpai. Derajat luasnya efusi pleura seiring dengan beratnya

penyakit. Pemeriksaan ultrasonografi dapat dipakai untuk menemukan asites dan efusi

pleura. Peningkatan nilai hematokrit (>20% dari dasar) dan penurunan kadar protein plasma

terutama albumin serum (>0,5 g/dL dari data dasar) merupakan tanda indirek kebocoran

plasma. Kebocoran plasma berat menimbulkan berkurangnya volume intravaskular yang

akan menyebabkan syok hipovolemi yang dikenal sebagai syok dengue (DSS) yang dapat

memperburuk kondisi.

Para klinis dan epidemiologis membagi DBD menjadi empat derajat penyakit

berdasarkan tingkat keparahannya. Pada DBD derajat III dan IV diklasifikasikan sebagai

bentuk penyakit yang lebih parah yaitu DSS.


13

Tabel 2.1. World Health Organization Classification of Dengue Hemorrhagic Fever

Manifestasi klinis
Grade I Demam disertai gejala non spesifik, uji torniket positif sebagai satu-

satunya manifestasi perdarahan


Grade II Seperti grade I, tetapi manifestasi perdarahan terjadi spontan
Grade III Syok ringan dengan sirkulasi gagal ditandai adanya nadi melemah

dan cepat serta hipotensi


Grade IV Profound shock disertai nadi dan tekanan darah tidak terdeteksi

2.4.1 Perjalanan Penyakit Demam Berdarah Dengue

Manifestasi klinis DBD terdiri atas tiga fase yaitu fase demam, fase kritis dan

konvalesens atau penyembuhan. Setiap fase perlu pemantauan yang cermat, karena setiap

fase memiliki resiko yang dapat memperberat keadaan sakit.

Gambar 2.2 Perjalanan Penyakit Demam Berdarah Dengue

a. Fase Demam
14

Pada kasus ringan semua tanda dan gejala sembuh seiring dengan

menghilangnya demam. Perunan demam terjadi segera, tidak secara bertahap.

Menghilangnya demam dapat disertai berkeringat dan perubahan pada laju nadi dan

tekanan darah, hal ini merupakan gangguan ringan sistem sirkulasi akibat kebocoran

plasma yang tidak berat. Pada kasus sedang sampai berat terjadi kebocoran plasma

yang bermakna sehingga akan menimbulkan hipovolemi dan bila berat menimbulkan

syok dengan mortalitas yang tinggi.


b. Fase Kritis
Fase kritis terjadi saat demam turun, pada saat ini terjadi puncak kebocoran

plasma sehingga pasien dapat mengalami syok hipovolemi. Kewaspadaan dalam

mengantisipasi kemungkinan terjadi syok yaitu dengan menganal tanda dan gejala

yang mendahului syok atau warning sign. Warning sign umumnya terjadi menjelang

akhir fase demam yaitu antara hari ke 3-7. Muntah terus meneru dan nyeri perut

hebat merupakan petunjuk awal perembesan plasmadan bertambah hebat saat

pasien masuk ke keadaan syok. Penurunan jumlah trombosit yang cepat dan

progresif menjadi dibawah 100.000 sel/mm3 serta kenaikan hematokrit diatas data

dasar merupakan tanda awal perembesan plasma dan pada umumnya didahului oleh

leukopenia (<5.000 sel/mm3).


Adapun tanda bahaya atau warning sign yaitu
 Demam turun tetapi keadaan anak memburuk
 Nyeri perut dan nyeri tekan abdomen
 Muntah yang menetap
 Letargi atau gelisah
 Perdarahan mukosa
 Pembesaran hati
 Akumulasi cairan
 Oligouria
 Laboratorium menunjukkan peningkatan kadar hematokrit bersamaan

dengan penurunan cepat jumlah trombosit.


c. Fase Penyembuhan (konvalesens)
Apabila pasien dapat melalui fase kritis yang berlangsung sekitar 24-48 jam,

terjadi reabsorpsi cairan di ruang ekstravaskuler ke ruang intravaskuler yang

berlangsung secara bertahap pada 48-72 jam berikutnya. Keadaan umum dan nafsu

makan membaik, gejala gastrointestinal mereda, status hemodinamik stabil dan


15

diuresis menyusul kemudian. Pada beberapa pasien ditemukan ruam konvalesens.

Hematokrit kembali stabil atau mungkin lebih rendah karena efek dilusi cairan yang

direabsorbsi. Jumlah leukosit mulai meningkat segera setelah penurunan suhu tubuh

akan tetapi pemulihan jumlah trombosit umumnya lebih lambat.

2.4.2 Sindrom Syok Dengue

Sindrom syok dengue (DSS) merupakan syok hipovolemik yang terjadi pada DBD

yang diakibatkan oleh peningkatan permebilitas kapiler yang disertai perembesan plasma.

Syok dengue umumnya terjadi sekitar penurunan suhu tubuh (fase kritis) yaitu pada hari ke

4-5 (rentang hari ke 3-7) dan sering kali didahului oleh tanda bahaya (warning sign). Pasien

yang tidak mendapatkan terapi cairan intravena yang adekuat akan segera mengalami syok.

Tabel 2 memperlihatkan rangkaian hemodinamik pada anak dengan sirkulasi stabil, syok

terkompensasi dan syok dekompensasi.

Tabel 2.2 Hemodinamik pada anak dengan sirkulasi stabil, syok terkompensasi dan syok

dekompensasi

Parameter Sirkulasi stabil Syok Syok

terkompensasi dekompensasi

Kesadaran clear and lucid clear and lucid (syok Perubahan status

bisa tidak terdeteksi mental (gelisah,

apabila tidak combative)

memegang pasien)

Waktu pengisian Cepat (<2detik) Memanjang (>2 Sangat memanjang,

kapiler (CRT) detik) kulit mottled

Ekstremitas Hangat dan Dingin Dingin dan lembab

kemerahan

Volume nadi perifer Volume baik Lemah dan halus Lemah atau

menghilang
16

Tekanan darah Normal sesuai usia Tekanan sistolik Hipotensi (syok

normal tetapi hipotensi) tekanan

tekanan diastolik darah tidak terukur

meningkat, tekanan (profound shock)

nadi menyempit

(<20mmHg pada

anak)

Frekuensi jantung Normal sesuai usia Takikardi Takikardi berat,

bradikardi pada syok

lanjut

Frekuensi nafas Normal sesuai usia Quite tachypnea Asidosis metabolik/

hiperapnea/

pernapasan

Kusmaull

Diuresis Normal Cenderung menurun Oligouria/anuria

2.5 DIAGNOSIS

1. Anamnesis
- Demam merupakan tanda utama, terjadi mendadak tinggi, selama 2-7 hari
- Disertai lesu, tidak mau makan, mual dan muntah
- Pada anak besar dapat mengeluh nyeri kepala, nyeri otot dan nyeri perut
- Diare kadang-kadang dapat ditemukan
- Tanda perdarahan yang sering dijumpai yaitu perdarahan kulit dan mimisan
2. Pemeriksaan Fisik
- Gejala klinis DBD diawali demam mendadak tinggi, facial flush, muntah, nyeri

kepala, nyeri otot dan sendi, nyeri tenggorok dengan faring hiperemis, nyeri

dibawah lengkung iga kanan. Gejala penyerta tersebut mencolok pada demam

dengue daripada DBD.


- Sedangkan hepatomegali dan kelainan fungsi hati lebih sering ditemukan pada

DBD
17

- Perbedaan antara demam dengue dengan DBD adalah terjadinya peningkatan

permeabilitas kapiler pada DBD sehingga menyebabkan perembesan plasma,

hipvolemia dan syok.


- Perembesan plasma mengakibatkan ekstravasasi cairan ke dalam rongga

pleura dan rongga peritoneal selama 24-48 jam.


- Fase kritis sekitar hari ke-3 hingga hari ke-5 perjalanan penyakit. Pada saat ini

suhu turun, yang dapat merupakan awal penyembuhan pada fase infeksi ringan

namun pada DBD berat merupakan tanda awal syok.


- Perdarahan dapat berupa ptekie, epistaksis, melena maupun hematuria.

Tanda-tanda syok :

- Anak gelisah, sampai terjadi penurunan kesadaran, sianosis


- Nafas cepat, nadi teraba lembut kadang-kadang tidak teraba
- Tekanan darah turun, tekanan nadi <10 mmHg
- Akral dingin, capillary refill menurun
- Diuresis menurun sampai anuria
3. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
- Darah perifer, kadar hemoglobin, leukosit dan hitung jenis, hematokrit, trombosit.

Pada ha[usan darah perifer juga dapat dinilai limfosit plasma biru, peningkatan

15% menunjang diagnosis DBD


- Uji serologis, uji hemaglutinasi inhibisi dilakukan saat fase akut dan fase

konvalensens
 Infeksi primer, serum akut <1:20, serum konvalesens naik 4x atau lebih

namun tidak melebihi 1:1280


 Infeksi sekunder, serum akut <1:20, konvalesens 1:2560; atau serum akut

1:20. Konvalesens naik 4x atau lebih


 Persangkaan infeksi sekunder yang baru terjadu (presumtive secondary

infection): serum akut 1:1280, serum konvalesens dapat lebih besar atau

sama
- Pemeriksaan radiologis (urutan pemeriksaan sesuai indikasi klinis)
 Pemeriksaan foto dada, dilakukan atas indikasi (1) dalam keadaan klinis

ragu-ragu, namun perlu diingat bahwa terdapat kelainan radiologis pada

perembesan plasma 20-40%, (2) pemantauan klinis sebagai pedoman

pemberian cairan.
18

 Kelainan radiologis, dilatasi pembuluh darah paru terutama daerah hilus

kanan, hemitoraks kanan lebih radio opak dibanding kiri, kubah diafragma

kanan lebih tinggi dari pada kanan dan efusi pleura


 USG : efusi pleura, asites, kelainan (penebalan) dinding vesika felea dan

vesika urinaria.

Diagnosis DBD ditegakkan berdasarkan kriteria klinis dan laboratorium (WHO) :

 Demam 2-7 hari yang timbull mendadak , tinggi, terus menerus (kontinus)
 Manifestasi perdarahan baik yang spontan seperti petekie, purpura, ekimosis,

epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis dan atau melena; maupun uji

tourniquet yang positif


 Nyeri kepala, mialgia, artralgia, nyeri periorbital
 Dijumpai kasus demam berdarah dengue baik di lingkungan sekolah, rumah atau

di sekitar rumah
 Hepatomegali
 Terdapat kebocoran plasma yang ditandai dengan salag satu tanda/gelaja:
- Peningkatan nilai hematokrit >20% dari pemeriksaan awal atau dari data

populasi menurut umur


- Ditemukan adanya efusi pleura, asites
- Hipoalbuminemia, hipoproteinemia
 Trombositopenia <100.000/mm3

Demam disertai dengan dua atau lebih manifestasi klinis, ditambah bukti perembesan

plasma dan trombositopenia cukup untuk menegakkan mendiagnosis DBD.

Diagnosis DSS :

 Memenuhi kriteria DBD diatas


 Ditemukan tanda dan gejala syok hipovolemik baik yang terkompensasi maupun

yang dekompensasi

Tanda dan gelaja syok terkompensasi yaitu

1. Takikardia
2. Takipnea
3. Tekanan nadi (perbedaan antara sistolik dan diastolik) <20mmHg
4. Waktu pengisian kapiler (CRT)) > 2 detik
19

5. Kulit dingin
6. Produksi urin menurun < 1ml/kgBB/jam
7. Anak gelisah

Tanda dan gelaja syok dekompensasi yaitu

1. Takikardi
2. Hipotensi (sistolik dan diastolik menurun)
3. Nadi cepat dan kecil
4. Pernapasan kusmaull atau hiperpneu
5. Sianosis
6. Kulit lembab dan dingin
7. Profound shock : nadi tidak teraba dan tekanan darah tidak terukur

2.6 TATALAKSANA

Pengobatan kasus dengue menurut klasifikasi diagnosis WHO 2011 tidak jauh berbeda

dengan klasifikasi WHO 1997 yang selama ini dipergunakan di Indonesia. Dalam tatalaksana

kasus dengue terdapat dua keadaan klinis yang perlu diperhatikan yaitu:

 Sistem triase yang harus disosialisasikan kepada dokter yang bertugas di unit gawat

darurat atau puskesmas. Dalam sistem triase tersebut, dapat dipilah pasien dengue

dengan warning signs dan pasien yang dapat berobat jalan namun memerlukan

observasi lebih lanjut .

 Tatalaksana kasus sindrom syok dengue (DSS) dengan dasar pemberian cairan yang

adekuat dan monitor kadar hematokrit. Apabila syok belum teratasi selama 2 x 30

menit, pastikan apakah telah terjadi perdarahan dan transfusi PRC merupakan

pilihan.
20

Gambar 2.3 Alur triage yang dianjurkan

Dikutip dengan modi kasi dari World Health Organization. Comprehensive guideline for

preven on and control of dengue and dengue haemorrhagic fever. Revised and expanded edi

on. Regional o ce for South-East Asia, New Delhi, India 2011.4

2.6.1 Tatalaksana Pasien Rawat Inap Demam Berdarah Dengue

Fase Demam

Tatalaksana dengue sesuai dengan perjalanan penyakit yang terbagi atas 3 fase.

Pada fase demam yang diperlukan hanya pengobatan simtomatik dan suportif. Parasetamol

merupakan antipiretik pilihan pertama dengan dosis 10mg/kg/dosis selang per 4 jam apabila

suhu >38C. pemberian aspirin dan ibuprofen merupakan indikasi kontra. Kompres hangat

kadang membantu apabila anak merasa nyaman dengan pemberian kompres. Pemberian

antipiretik tidak mengurangi tingginya suhu, tetapi dapat memperpendek durasi demam.

Pengobatan suportif lain yang dapat diberikan antara lain larutan oralit, larutan gula-garam,

jus buah, susu, dan lain-lain. Apabila pasien memperlihatkan tanda dehidrasi dan muntah
21

hebat, koreksi dehidrasi sesuai kebutuhan. Apabila cairan intravena perlu diberikan, maka

pada fase ini biasanya kebutuhan sesuai rumatan. Semua pasien tersangka dengue harus

diawasi dengan ketat sejak hari sakit ke-3. Selama fase demam, belum dapat dibedakan

antara DD dengan DBD. Ruam makulopapular dan mialgia/artralgia lebih banyak ditemukan

pada pasien DD. Setelah bebas demam selama 24 jam tanpa antipiretik, pasien demam

dengue akan masuk dalam fase penyembuhan,

Fase Kritis

Pasien DBD memasuki fase kritis. Hepatomegali dengan konsistensi yang lunak

merupakan indikator fase kritis.Pasien harus diawasi ketat dan dirawat di rumah sakit.

Leukopenia <5000 sel/ mm3 dan limfositosisdisertai peningkatan limfosit atipikal

mengindikasikan bahwa dalam waktu 24 jam pasien akan bebas demam serta memasuki

fase kritis. Trombositopenia mengindikasikan pasien memasuki fase kritis dan memerlukan

pengawasan ketat di rumah sakit. Peningkatan nilai hematokrit (Ht) 10-20% menandakan

pasien memasuki fase kritis dan memerlukan pengobatan cairan intravena apabila tidak

dapat minum oral. Pasien harus dirawat dan diberikan cairan sesuai kebutuhan. Tanda vital,

hasil laboratorium, asupan dan keluaran cairan harus dicatat dalam lembar khusus.

Penurunan hematorkrit merupakan tanda-tanda perdarahan. Umumnya pada fase ini pasien

tidak dapat makan dan minum karena anoreksia atau dan muntah. Kewaspadaan perlu

ditingkatkan pada pasien dengan risiko tinggi, seperti bayi, DBD derajat III dan IV, obesitas,

perdarahan berat, penurunan kesadaran, adanya penyulit lain, seperti kelainan jantung

bawaan dll, atau rujukan dari Rumah Sakit lain. Cairan intravena diberikan apabila terlihat

adanya kebocoran plasma yang ditandai dengan peningkatan Ht 10-20% atau pasien tidak

mau makan dan minum melalui oral. Cairan yang dipilih adalah golongan kristaloid (ringer

laktat dan ringer asetat).

Fase Penyembuhan
22

Setelah masa kritis terlampaui, pasien akan masuk dalam fase penyembuhan, yaitu

saat keadaan overload mengancam. Pada pasien DBD, cairan intravena harus diberikan

dengan seksama sesuai kebutuhan agar sirkulasi intravaskuler tetap memadai. Apabila

cairan yang diberikan berlebihan maka kebocoran terjadi ke dalam rongga pleura dan

abdominal yang selanjutnya menyebabkan distres pernafasan. Tetesan intravena harus

disesuaikan berkala dengan mempertimbangkan tanda vital, kondisi klinis (penampilan

umum, pengisian kapiler), laboratoris (hemoglobin, hematokrit, lekosit, trombosit), serta

luaran urin. Pada fase ini sering dipergunakan antipiretik yang tidak tepat dan pemberian

antibiotik yang tidak perlu. Cairan intravena tidak perlu diberikan sebelum terjadinya

kebocoran plasma. Penderita DD umumnya tidak perlu diberikan cairan intravena. Cairan

yang dibutuhkan pada fase kritis setara dengan dehidrasi sedang yang berlangsung tidak

lebih dari 48 jam. Kemampuan untuk memberi cairan sesuai kebutuhan pada fase ini

menentukan prognosis. Sebagian pasien sembuh setelah pemberian cairan intravena,

sedangkan pasien dengan kondisi berat atau tidak mendapat cairan sesuai dengan

kebutuhan akan jatuh ke dalam fase syok. Pemberian cairan intravena sebelum terjadi

kebocoran plasma sebaiknya dihindarkan karena dapat menimbulkan kelebihan cairan.

Pemantauan tanda vital pada fase kritis bertujuan untuk mewaspadai gejala syok. Kegagalan

tatalaksana pada fase ini biasanya disebabkan oleh penggunaan cairan hipotonik dan

kertelambatan penggunaan koloid selama fase kritis. Dengue berat harus dipertimbangkan

apabila ditemui bukti adanya kebocoran plasma, perdarahan bermakna, penurunan

kesadaran, perdarahan saluran cerna, atau gangguan organ berat. Tata laksana dini

pemberian cairan untuk penggantian plasma dengan kristaloid dapat mencegah terjadinya

syok sehingga menghindari terjadinya penyakit berat. Apabila terjadi syok, maka berikan

cairan sebanyak-banyaknya 10-20 ml/kgBB atau tetesan lepas selama 10-15 menit sampai

tekanan darah dan nadi dapat diukur, kemudian turunkan sampai 10 ml/kg/jam. Berikan

oksigen pada kasus dengan syok. Enam sampai 12 jam pertama setelah syok, tekanan

darah dan nadi merupakan parameter penting untuk menentukan tetesan cairan, tetapi
23

kemudian perhitungkan semua parameter sebelum mengatur tetesan. Setelah resusitasi

awal, pantau pasien 1 sampai 4 jam. Secara umum, sebagian besar pasien DBD akan

sembuh tanpa komplikasi dalam waktu 24-48 jam setelah syok.

Tanda pasien masuk ke dalam fase penyembuhan adalah keadaan umum membaik,

meningkatnya nafsu makan, tanda vital stabil, Ht stabil dan menurun sampai 35-40%, dan

diuresis cukup. Pada fase penyembuhan dapat ditemukan confluent petechial rash (30%)

atau sinus bradikardi akibat mikokarditis yang umumnya tidak memerlukan pengobatan.

Cairan intravena harus dihentikan segera apabila memasuki fase ini. Apabila nafsu makan

tidak meningkat dan dan perut terlihat kembung dengan atau tanpa penurunan atau

menghilangnya bising usus, kadar kalium harus diperiksa karena sering terjadi hipokalemia

(fase diuresis). Buah-buahan, jus buah atau larutan oralit dapat diberikan untuk

menanggulangi gangguan elektrolit. Penderita dapai dipulangkan apabila paling tidak dalam

24 jam tidak terdapat demam tanpa antipiretik, kondisi klinis membaik, nafsu makan baik,

nilai Ht stabil,tiga hari sesudah syok teratasi, tidak ada sesak napas atau takipnea dan

jumlah trombosit >50.000/mm. Kegagalan tatalaksana umumnya disebabkan oleh kegagalan

untuk memantau tetesan dan jumlah cairan pengganti selama fase kritis. Pemberian cairan

yang berkelebihan atau lebih lama dari masa kebocoran plasma, kegagalan mengenal

perdarahan internal/tersembunyi, pemberian transfusi trombosit yang tidak perlu, serta

kegagalan memantau pasien berobat jalan, dan penggunaan pipa lambung (nasogastric

tube) untuk menentukan adanya perdarahan seringkali menjadi penyebab tata laksana yang

tidak tepat (IDAI, 2008).

2.6.2 Tatalaksana SSD

Pedoman tatalaksana SSD menurut WHO merekomendasikan bahwa penggantian

volume plasma dengan cairan kristaloid, lalu diikuti dengan koloid. Secara teoritis, koloid

memberikan keuntungan pada pasien dengan permeabilitas vaskuler meningkat, meskipun

dalam praktik klinik belum terbukti manfaat yang jelas. Namun sebaliknya, koloid dapat

menimbulkan efek buruk pada hemostasis yang merupakan pertimbangan penting pada
24

pasien dengan DBD. Oleh karena itu, beberapa studi terkini menunjukkan bahwa koloid

dapat diberikan terlebih dahulu sebelum cairan kristaloid untuk mengatasi syok.

Syok merupakan keadaan kegawatan. Pasien anak cepat mengalami syok dan

sembuh kembali bila diobati segera dalam 48 jam. Pasien harus dirawat dan segera diobati

bila dijumpai tanda-tanda syok yaitu gelisah, letargi/ lemah, ekstremitas dingin, bibir sianosis,

oliguri, dan nadi lemah, tekanan nadi menyempit (≤ 20 mmHg) atau hipotensi, dan

peningkatan mendadak kadar hematokrit atau peningkatan kadar hematokrit secara terus

menerus walaupun telah diberi cairan intravena.

Tatalaksana sindrom syok dengue terkompensasi

 Berikasn terapi oksigen 2-4L/menit

 Berikan resusitasi cairan dengan cairan kristaloid isotonik intravena dengan jumlah

cairan 10-20mL/kgBB dalam waktu 1 jam. Periksa hematokrit

 Bila syok teratasi, berikan cairan dengan dosis 10 mLkg BB/jam selama 1-2 jam

 Bila keadaan sirkulasi tetap stabil, jumlah cairan dikurangi secara bertahap menjadi

7,5,5,3,1,5 mL/kgBB/jam. Pada umumnya setelah 24-48 jam pasca resusitasi, cairan

intravena sudah tidak diperlukan. Pertimbangkan untuk mengurangi jumlah cairan

yang diberikan secara intravena bila masukkan cairan melalui oral makin membaik

 Bila syok tidak teratasi, periksa analisis gas darah, hematokrit, kalsium dan gula

darah untuk menilai kemungkinan adanya A-B-C-S yang memperberat syok

hipovolemik. Apabila salah satu atau beberapa kelainan tersebut ditemukan, segera

lakukan koreksi
25

Gambar 2.4 Bagan Tatalaksana Sindrom Syok Dengue Terkompensasi

(UKK Infeksi dan Pediatri Tropis IDAI)

Tatalaksana sindrom syok dengue dekompensasi


26

 Berikan oksigen 2-4L/menit

 Lakukan pemasangan akses vena. Apabila dua kali gagal atau lebih dari 3-5 menit

berikan cairan melalui prosedur intraosesus

 Berikan cairan kristaloid dan/atau koloid 10-20 mL/kgBB secara bolus dalam waktu

10-20 menit. Pada saat bersamaan usahakan dilakukan pemeriksaan hematocrit,

analisis gas darah, gula darah, dan kalsium

 Apabila syok teratasi, berikan cairan kristaloid dengan dosis 10mL/KgBB/jam selama

1-2 jam

 Apabila keadaan sirkulasi tetap stabil, berikan larutan kristaloid dengan julah cairan

dikurangi sercara bertahap menjadi 7,5, 5, 3, 1,5, mL/KgBB/jam. Pada umumnya

setelah 24-48 jam pasca resusitasi, cairan intravena sudah tidak di perlukan.

Pertimbangkan untuk mengurangi jumlah cairan yang diberikan secara intravena bila

masukan cairan melalui oral makin membaik

 Apabila syok belum teratasi periksa ulang hematokrit, jika hematokrit tinggi diberikan

kembali bolus kedua. Koreksi apabila asidosis, hipoglikemia atau hipokalsemia. Bila

hematokrit rendah atau normal dan ditemukan tanda perdarahan masif, berikan

transfusi darah segar (fresh whole blood) dengan dosis 10mL/KgBB atau fresh

packed red cell dengan doss 5 mL/KgBb. Jika nilai hematokrit rendah atau turun

nemun tidak ditemukan tanda perdarahan berikan bolus kedua, apabila tidak

membaik pertimbangkan pemberian transfusi darah. Pada syok berat (prolonged

shock, reccurent shock, profound shock), perdaraahn masif, ensefalopati/ensefalitis,

atau gagal napas, yang sulit diatasi memerlukan perawatan di unit perawatan

intensif.
27

Gambar 2.5 Bagan Tatalaksana Sindrom Syok Dengue Dekompensasi

(UKK Infeksi dan Pediatri Tropis IDAI)

2.6.3 Pemilihan terapi cairan pada DBD

Kunci tatalaksana DBD terletak pada deteksi dini fase kritis, yaitu saat suhu turun

(the time of defervescence) yang merupakan fase awal terjadinya kegagalan sirkulasi,

dengan melakukan observasi klinis disertai pemantauan kebocoran plasma dan gangguan

hemostasis. Prognosis DBD terletak pada pengenalan tanda- tanda bahaya secara awal dan

pemberian cairan larutan garam isotonik atau kristaloid sebagai cairan awal pengganti

volume plasma sesuai dengan berat ringan penyakit. Perhatian khusus pada kasus dengan

peningkatan hematokrit yang terus menerus dan penurunan jumlah trombosit yang cepat

(WHO, 2011).
28

 Fase Demam

Tatalaksana DBD fase demam tidak berbeda dengan tatalaksana DD, bersifat simtomatik

dan suportif yaitu pemberian cairan oral untuk mencegah dehidrasi. Apabila cairan oral tidak

dapat diberikan oleh karena tidak mau minum, muntah atau nyeri perut yang berlebihan,

maka cairan intravena rumatan perlu diberikan. Antipiretik kadang-kadang diperlukan, tetapi

perlu diperhatikan bahwa antipiretik tidak dapat mengurangi lama demam pada DBD.

 Fase Kritis

Periode kritis adalah waktu transisi, yaitu saat suhu turun pada umumnya hari ke 3-5 fase

demam. Pasien harus diawasi ketat terhadap kejadian syok yang mungkin terjadi.

Pemeriksaan kadar hematokrit berkala merupakan pemeriksaan laboratorium yang terbaik

untuk pengawasan hasil pemberian cairan yaitu menggambarkan derajat kebocoran plasma

dan pedoman kebutuhan cairan intravena. Hemokonsentrasi pada umumnya terjadi sebelum

dijumpai perubahan tekanan darah dan tekanan nadi. Tetesan berikutnya harus selalu

disesuaikan dengan tanda vital, kadar hematokrit, dan jumlah volume urin. Secara umum,

volume yang dibutuhkan selama terjadi peningkatan permeabilitas kapiler adalah jumlah

cairan dehidrasi sedang (rumatan ditambah 5-8%).

2.6.4 Jenis Cairan

Kristaloid: ringer laktat (RL), ringer asetat (RA), ringer maleate, garam faali (GF),

Dekstrosa 5% dalam larutan ringer laktat (D5/RL), Dekstrosa 5% dalam larutan ringer asetat

(D5/RA), Dekstrosa 5% dalam 1/2 larutan garam faali (D5/1/2LGF)


Koloid: Dekstran 40, Plasma, Albumin, Hidroksil etil starch 6%, gelafundin
29

Cairan intravena diperlukan, apabila:

1. Anak terus menerus muntah, tidak mau minum, demam tinggi sehingga tidak

mungkin diberikan minum per oral, ditakutkan terjadinya dehidrasi sehingga

mempercepat terjadinya syok;

2. Nilai hematokrit cenderung meningkat pada pemeriksaan berkala. Jumlah cairan

yang diberikan tergantung dari derajat dehidrasi dan kehilangan elektrolit;

3. Pada saat pasien datang, berikan cairan kristaloid sesuai cairan dehidrasi sedang (6-

7 ml/kgBB/jam). Monitor tanda vital, diuresis setiap jam dan hematokrit serta

trombosit setiap 6 jam. Selanjutnya evaluasi 12-24 jam.

.
30

Kebutuhan cairan berdasarkan berat badan ideal

Kecepatan pemberian cairan

 Fase Penyembuhan/konvalesen

Pada fase penyembuhan, ruam konvalesen akan muncul pada daerah esktremitas.

Perembesan plasma berhenti ketika memasuki fase penyembuhan, saat terjadi reabsorbsi

cairan ekstravaskular kembali ke dalam intravaskuler. Apabila pada saat itu cairan tidak

dikurangi, akan menyebabkan edema palpebra, edema paru dan distres pernafasan.
31

2.6.5 Konseling Informasi dan Edukasi

Penerangan pada orang tua mengenai petanda gejala syok yang mengharuskan

anak dibawa ke rumah sakit harus diberikan. Petanda tersebut antara lain adalah keadaan

yang memburuk sewaktu pasien mengalami penurunan suhu, setiap perdarahan yang

ditandai dengan nyeri abdominal akut dan hebat, mengantuk, lemah badan, tidur sepanjang

hari, menolak untuk makan dan minum, lemah badan, gelisah, perubahan tingkah laku, kulit

dingin, lembab, tidak buang air kecil selama 4-6 jam.

Anak harus dirawat apabila ada tanda-tanda syok, sangat lemah sehingga asupan

oral tidak dapat mencukupi, perdarahan, hitung trombosit <100.000/ mm3, dan atau

peningkatan Ht >10-20%, perburukan ketika penurunan suhu, nyeri abdominal akut hebat

serta tempat tinggal yang jauh dari Rumah Sakit (WHO, 2009)

BAB III

KESIMPULAN
32

Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus.

Patogenesis infeksi virus dengue berhubungan dengan : Faktor virus, yaitu serotipe,jumlah

virulensi, faktor host, genetic, usia, status gizi, penyakit komorbid `dan interaksi antara virus

dengan host, faktor lingkungan, musim, curah hujan, suhu udara, kepadatan penduduk,

mobilitas penduduk dan kesehatan lingkungan. Demam dengue menimbulkan beberapa

gejala berupa demam, mialgia, dan gejala konstitusional lain yang tidak spesifik seperti rasa

lemah dan anoreksia. Demam pada umumnya timbul tinggi (39οC-40οC), mendadak, terus

menerus (pola demam kurva kontinu), bifasik dan berlangsung selama 2-7 hari. Sedangkan

pada DBD disertai dengan terjadinya kebocoran plasma yang secara klinis berbentuk efusi

pleura, apabila kebocoran plasma lebih berat dapat ditemukan asites. Tatalaksana Pasien

rawat inap demam berdarah dengue dapat di bagi menjadi 3 fase yaitu fase demam, fase

kritais dan fase penyembuhan. Sedangkan Pedoman tatalaksana SSD menurut WHO

merekomendasikan bahwa penggantian volume plasma dengan cairan kristaloid, lalu diikuti

dengan koloid.

DAFTAR PUSTAKA

Garna H, editor. Buku ajar divisi infeksi dan penyakit tropis. Jakarta: Sagung Seto; 2012. p.

336.
33

Hadinegoro SR. Tata laksana demam dengue/demam berdarah dengue. Dalam:

Hadinegoro SR. Satari HI, penyunting. Demam berdarah dengue. Naskah lengkap

pelatihan bagi pelatih dokter spesialis anak & spesialis penyakit dalam, dalam tata

laksana kasus DBD. Ed ke-1. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;

1998. h. 82-137.

Kaushik A, Pineda C, Kest H. Diagnosis and management of dengue fever in children.

Peds in Review 2010;31(2):30.

Pudjiadi A., Hegar Badriul., Handryastuti S., Indris NS., Gandaputra EP., Harmoniato ED.

2009. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia.

Pusat data dan surveilans epidemiologi kementrian kesehatan republik indonesia. Demam

berdarah dengue. Buletin jendela epidemiologi 2010;2.

Rajapakse S. Intravenous immunoglobulins in the treatment of dengue illness. Trans R Soc

Trop Med Hyg 2008;103:867-70.

Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SRS, Satari HI, editors. Buku ajar infeksi dan pediatri

tropis. 2nd ed. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2012. p. 155-66.

Sudaryono. Perbedaan manifestasi klinis dan laboratorium berdasarkan jenis imunoglobulin

pada penderita demam berdarah dengue. Universitas Sebelas Maret Surakarta 2011.

UKK Infeksi dan Pediatri Tropis IDAI. Infeksi virus dengue. Dalam: Sudarmo SPS, Garna H,

Hadinegoro SR, Satari HI, penyunting. Buku ajar infeksi & pediatri tropis. Ed ke-2.

Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2008. h. 155-81.

WHO 2011. Comprehensive guidelines for prevention and control of dengue and dengue

haemorrhagic Fever. New Delhi: Mahatma Ghandi Marg; 2011.

World Health Organization. Dengue, guidelines for diagnosis, treatment, prevention, and

control. New edition, 2009. World Health Organization (WHO) and Special Program

for Research and Training in Tropical Diseases (TDR). France: WHO; 2009.

World Health Organization. Dengue: guidelines for diagnosis, treatment, prevention and

control.Geneva: WHO, 2009.


34

Anda mungkin juga menyukai