BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus
dengue dengan genusnya favivirus. Virus ini memiliki empat serotype. Yang ditularkan
melalui gigitan nyamuk aedes aegypti yang mana virus ini menyebabkan gangguan pada
pembuluh darah kapiler dan pada sistem pembekuan darah sehingga menyebabkan
2.2 ETIOLOGI
Penyakit DHF disebabkan oleh Virus Dengue, yang termasuk dalam genus
flaviviridae. Flavivirus merupakan virus dengan diameter 30 mm terdiri dari asam ribonukleat
Terdapat 4 serotipedari virus dengue, yaitu DEN-1, DEN-2 , DEN-3 dan DEN -4 yang
semuanya dapat menyebabkan demam dengue atau demam berdarah dengue. Keempat
serotipe ditemukan di Indonesia dengan DEN-3 merupakan serotipe yang terbanyak. Terdapt
reaksi silang antara serotipe dengue dengan flavivirus lainnya seperti yellow fever, Japanese
2.3 PATOGENESIS
serotipe,jumlah virulensi, 2. Faktor host, genetic, usia, status gizi, penyakit komorbid `dan
interaksi antara virus dengan host. 3. Faktor lingkungan, musim, curah hujan, suhu udara,
Peran sistem imun dalam infeksi virus dengue adalah sebagai berikut,
6
1. Infeksi pertama kali (primer) menimbulkan kekebalan seumur hidup untuk serotipe
penyebab.
3. Bayi yang lahir dari ibu yang memiliki antibody dapat menunjukkan manisfestasi klinis
4. Kebocoran plasm sebagai tanda karakteristik untuk DBD terjadi pada saat jumlah
5. Kebocoran plasma terjadi dalam waku singkat (24-48 jam) dan pada pemeriksaan
2.3.1 Imunopatogenesis
respons imun atau reaksi inflamasi yang terjadi secara terintegrasi. Sel imun yang paling
penting dlam berinteraksi dengan virus dengue yaitu sel dendrit, monosit/makrofag, sel
endotel, dan trombosit. Sehingga, akan dikeluarkan berbagai mediator seperti sitokin,
peningkatan aktivitas sistem komplemen, serta terjadi aktivasi limfosit T. Apabila aktivasi sel
imun tersebut berlebihan, akan diproduksi sitokin (terutama proinflamasi), kemokin dan
mediator inlamasi lain dalam jumlah banyak. Akibat produksi berlebih dari zat-zat tersebut
akan menimbulkan berbagai kelainan yang akhirnya menimbulkan berbagai bentuk tandan
antibody spesifik terhadap virus dengue. Antibodi spesifik untuk virus dengue
terhadap satu serotipe tertentu juga dapat menmbulkan reaksi silang dengan serotipe
lain selama 6 bulan. Antibodi yang dihasilkan bisa menguntungkan dalam arti dapat
7
melindungi dari terjadinya penyakit, namun sebaliknya dapat pula memicu terjadinya
dependent lysis)
Virus dengue memiliki empat serotipe yang secara antigenic berbeda. Infeksi
virus primer oleh satu serotipe tertentu dapat menimbulkan kekebalan yang menetap
untuk serotipe yang bersangkutan (antibody homotipik). Pada saat yang bersamaan,
akan dibentuk antibodi serotipe lain (antibody heterotipik) sebagai bentuk adanya
kekebalan silang (cross imunity). Sehingga, apabila terjadi infeksi dari serotipe lain,
maka antibody serotipik akan berikatan dengan virus dan membentuk kompeks imun.
Kompleks imun akan berikatan denga reseptor Feγ yang banyak terutama pada
monosit dan makrofag. Virus bermultiplikasi didalam sel dan kemudian virus keluar
dari sel dan menyebabkan viremia. Kompleks imun juga dapat mengaktifkan kaskade
sistem komplemen untuk menghasilkan C3a dan C5a yang mempunyai dampak
Respon imun selular yang berperan adalah limfosit T (sel T). Sel T
spesifikuntuk virus dengue dapat menginali sel yang terinfeksi virus dengue dan
(lisis) sel terinfeksi dengue, serta memproduksi berbagai sitokin. Pada penelitian in
vitro diketahui bahwa baik sel T CD4 maupun sel T CD8 dapat menyebabkan lisis sel
target yang terinfeksi dengue. Dalam menjalankan fungsinya sel T CD4 lebih banyak
virus dengue. Sebaliknya, sel T CD8 lebih berperan untuk lisis sel target
Pada infeksi sekunder oleh virus dengue dengan serotipe berbeda, sel T
memori mempunyai aviditas yang lebih besar terhadap serotipe yang sebelumnya
dibandingkan dengan serotipe virus yang baru. Hal ini disebut sebagai original
antigenic sin. Dengan demikian, fungsi lisis terhadap virus yang baru tidak optimal,
sedangkan produksi sitokin berlebihan. Sitokin yang dihasilkan oleh sel T pada
umunya berperan dala memacu respon inflamasi dan meningkatkan permeabilitas sel
endotel vaskular.
c. Mekanisme Autoimun
yaitu protein E, pr, dan NS1. Protein yang paling berperan dalam mekanisme
autoimun dalam pathogenesis infeksi virus dengue yaitu protein NS1. Antibodi
terhadap protein NS1 dengue menunjukkan reaksi silang dengan sel endotel/ dan
trombosit, sehingga menimbulkan gangguan pada kedua sel tersebut serta dapat
memacu respons inflamasi. Sel endotel yang diaktivasi oleh antibody terhadap
adhesi. Antibodi terhadap prM juga dapat menyebabkan reaksi silang dengan sel
endotel. Proses autoimun ini diduga kuat karena karena terdapat kesamaan atau
kemiripan antara protein NS1 dan prM dengan komponen tertentu yang terdapat
pada sel endotel dan trombosit yang disebut dengan molecular mimicry. Autoantibodi
molekul hasil ikatan antara keduanya akan dihancurkan oleh makrofag atau
beragam dan berperan penting dalam respons imun tubuh melawan infeksi. Dalam
9
lingkup respon inflamasi, secara umum sitokin mempunyai sifat proinflamasi dan
jenis sitokin tersebut. Apabila sitokin diproduksi dalam jumlah yang sangat banyak
Pada infeksi virus dengue, sitokin juga berperan dalam menentikan derajat
penyakit. Infeksi berat dalam hal ini DHF (apalagi DSS) ditandai dengan
peningkatan jenis dan jumlah sitokin yang sering disebut sebagai badai sitokin.
memengaruhi satu dengan yang lainnya berupa suatu kaskade. Sitokin mana yang
menghasilkan hasil yang beragam. Hal ini disebabkan karena beberapa alasan,
antara lain variasi dalam waktu pengambilan sampel pemeriksaan, usia, batasan
derajat penyakit, dan juga faktor genetic yang berbeda. Dari beberapa penelitian
sitokin yang perannya paling banyak dikemukakan yaitu TNF-, IL-Iβ, IL-6,IL-8,dan
IFN-γ. Mediator lain yang sering dikemukakan mempunyai peran penting dalam
menimbulkan derajad pemyakit berat yaitu kemokin CXCL-9, CXCL-10, dan CXCL-
dengue. Pada pasien dengan DHF atau DSS ditemukan kadar komplemen,
pathogenesis terjadi penyakit yang berat. Kompleks imun virus dengue dan
jalur klasik. Protein NS1 dapat mengaktivasi sistem komplemen secara langsung
permeabilitas vascular.
f. Faktor Host
10
Beberapa faktor host yang dilaporkan dapat menjadi faktor risiko untuk
terkena infeksi virus dengue yang berat adalah usia, status gizi, faktor genetic, dan
tetapi diduga anak mempunyai sistem mikrovaskular yang lebih mudah untuk
lebih berat, meskipun pada infeksi primer. Hal tersebut diduga melalui mekanisme
ADE yang sama dengan infeksi sekunder pada host dengan usia lebih dari satu
tahun. Antibodi (IgG) antidengue yang bersifat nonneutralising ditransfer dari ibu
pada saat kehamilan. Obesitas merupakan salah satu faktor risiko yang telah
(HLA) tertentu, yang menjadi resiko untuk lebih rentan atau sebaliknya lebih kebal
terhadap infeksi virus dengue. Beberapa penelitian juga telah banyak melaporkan
hubungan antara faktor genetik dengan derajad penyakit dengue. Faktor genetic
lain di luar pengkode HLA adalah gen pengkode sitokin TNF-α, IFN-γ dan IL-1,
serta gen yang mengkode reseptor IgG reseptor vitamin D, dan mannose binding
lectin.
Manifestasi klinis infeksi virus dengue sangat luas dapat bersifat asimptomatik atau
tak bergejala, demam yang tidak khas atau sulit dibedakan dengan infeksi virus lain (sindrom
virus atau viral sindrome, undifferentiated fever), demam dengue (DD), demam berdarah
dengue (DBD) dan Expanded dengue syndrome/organopati (manifestasi klinis yang tidak
lazim).
11
Demam dengue menimbulkan beberapa gejala berupa demam, mialgia, dan gejala
konstitusional lain yang tidak spesifik seperti rasa lemah dan anoreksia. Demam pada
umumnya timbul tinggi (39οC-40οC), mendadak, terus menerus (pola demam kurva kontinu),
bifasik dan berlangsung selama 2-7 hari. Penderita akan mengalami penurunan suhu tubuh
pada hari ketiga sakit yang masih dalam batas normal, lalu suhu kembali tinggi, pola ini
disebut pola demam bifasik. Demam disertai dengan mialgia, arthralgia, muntah, nyeri
retroorbital pada saat mata digerakkan atau ditekan. Gejala lain yang dapat ditemukan ialah
gangguan pencernaan, nyeri perut, dan sakit tenggorok. Hari ketiga atau keempat sakit
ditemukan adanya ruam makulopapular, ruam tersebut segera berkurang sehingga sering
luput dari perhatian. Ruam makulopapular serta petekie diselingi bercak-bercak putih di kaki
dan tangan akan muncul pada masa penyembuhan, dapat disertai rasa gatal yang disebut
ruam konvalesens. Manifestasi perdarahan pada umumnya ringan berupa uji torniket positif
(≥10 petekie dalam area 2,8 x 2,8 cm) atau beberapa petekie spontan.
Manifestasi DBD juga dimulai dengan demam yang tinggi, mendadak, kontinus,
kadang bifasik, berlangsung antara 2-7 hari. Demam disertai dengan gejala lain yang sering
12
ditemukan pada demam dengue seperti kemerahan (facial flushing), anoreksia, mialgia dan
antralgia. Gejala lain dapat berupa nyeri epigastrik, mual muntah, nyeri di daerah subkostal
kanan atau nyeri abdomen difus, kadang disertai nyeri tenggorok. Demam dapat mencapai
suhu 40oC dan dapat disertai kejang demam. Manifestasi perdarahan dapat berupa uji
tourniket yang positif, ptekie spontan yang dapat ditemukan di daerah ekstremitas, aksila,
wajah dan palatum mole. Epistaksis dan perdarahan gusi dapat ditemukan, kadang disertai
Ruam makulopapular atau rubeliformis dapat ditemukan pada fase awal sakit. Ruam
konvalesens seperti pada demam dengue, dapat ditemukan pada masa penyembuhan.
Hepatomegali ditemukan sejak fase demam, dengan pembesaran yang bervariasi antara 2-
4cm bawah arkus kosta. Hepatomegali tidak disertai dengan ikterus dan tidak berhubungan
dengan derajat penyakit, namun hepatomegali lebih sering ditemukan pada DBD dengan
Pada DBD terjadi kebocoran plasma yang secara klinis berbentuk efusi pleura,
apabila kebocoran plasma lebih berat dapat ditemukan asites. Pemeriksaan rontgen foto
dada posisi lateral dekubitus kanan, efusi pleura terutama di hemithoraks kanan merupakan
temuan yang paling sering dijumpai. Derajat luasnya efusi pleura seiring dengan beratnya
penyakit. Pemeriksaan ultrasonografi dapat dipakai untuk menemukan asites dan efusi
pleura. Peningkatan nilai hematokrit (>20% dari dasar) dan penurunan kadar protein plasma
terutama albumin serum (>0,5 g/dL dari data dasar) merupakan tanda indirek kebocoran
akan menyebabkan syok hipovolemi yang dikenal sebagai syok dengue (DSS) yang dapat
memperburuk kondisi.
Para klinis dan epidemiologis membagi DBD menjadi empat derajat penyakit
berdasarkan tingkat keparahannya. Pada DBD derajat III dan IV diklasifikasikan sebagai
Manifestasi klinis
Grade I Demam disertai gejala non spesifik, uji torniket positif sebagai satu-
Manifestasi klinis DBD terdiri atas tiga fase yaitu fase demam, fase kritis dan
konvalesens atau penyembuhan. Setiap fase perlu pemantauan yang cermat, karena setiap
a. Fase Demam
14
Pada kasus ringan semua tanda dan gejala sembuh seiring dengan
Menghilangnya demam dapat disertai berkeringat dan perubahan pada laju nadi dan
tekanan darah, hal ini merupakan gangguan ringan sistem sirkulasi akibat kebocoran
plasma yang tidak berat. Pada kasus sedang sampai berat terjadi kebocoran plasma
yang bermakna sehingga akan menimbulkan hipovolemi dan bila berat menimbulkan
mengantisipasi kemungkinan terjadi syok yaitu dengan menganal tanda dan gejala
yang mendahului syok atau warning sign. Warning sign umumnya terjadi menjelang
akhir fase demam yaitu antara hari ke 3-7. Muntah terus meneru dan nyeri perut
pasien masuk ke keadaan syok. Penurunan jumlah trombosit yang cepat dan
progresif menjadi dibawah 100.000 sel/mm3 serta kenaikan hematokrit diatas data
dasar merupakan tanda awal perembesan plasma dan pada umumnya didahului oleh
berlangsung secara bertahap pada 48-72 jam berikutnya. Keadaan umum dan nafsu
Hematokrit kembali stabil atau mungkin lebih rendah karena efek dilusi cairan yang
direabsorbsi. Jumlah leukosit mulai meningkat segera setelah penurunan suhu tubuh
Sindrom syok dengue (DSS) merupakan syok hipovolemik yang terjadi pada DBD
yang diakibatkan oleh peningkatan permebilitas kapiler yang disertai perembesan plasma.
Syok dengue umumnya terjadi sekitar penurunan suhu tubuh (fase kritis) yaitu pada hari ke
4-5 (rentang hari ke 3-7) dan sering kali didahului oleh tanda bahaya (warning sign). Pasien
yang tidak mendapatkan terapi cairan intravena yang adekuat akan segera mengalami syok.
Tabel 2 memperlihatkan rangkaian hemodinamik pada anak dengan sirkulasi stabil, syok
Tabel 2.2 Hemodinamik pada anak dengan sirkulasi stabil, syok terkompensasi dan syok
dekompensasi
terkompensasi dekompensasi
Kesadaran clear and lucid clear and lucid (syok Perubahan status
memegang pasien)
kemerahan
Volume nadi perifer Volume baik Lemah dan halus Lemah atau
menghilang
16
nadi menyempit
(<20mmHg pada
anak)
lanjut
hiperapnea/
pernapasan
Kusmaull
2.5 DIAGNOSIS
1. Anamnesis
- Demam merupakan tanda utama, terjadi mendadak tinggi, selama 2-7 hari
- Disertai lesu, tidak mau makan, mual dan muntah
- Pada anak besar dapat mengeluh nyeri kepala, nyeri otot dan nyeri perut
- Diare kadang-kadang dapat ditemukan
- Tanda perdarahan yang sering dijumpai yaitu perdarahan kulit dan mimisan
2. Pemeriksaan Fisik
- Gejala klinis DBD diawali demam mendadak tinggi, facial flush, muntah, nyeri
kepala, nyeri otot dan sendi, nyeri tenggorok dengan faring hiperemis, nyeri
dibawah lengkung iga kanan. Gejala penyerta tersebut mencolok pada demam
DBD
17
suhu turun, yang dapat merupakan awal penyembuhan pada fase infeksi ringan
Tanda-tanda syok :
Pada ha[usan darah perifer juga dapat dinilai limfosit plasma biru, peningkatan
konvalensens
Infeksi primer, serum akut <1:20, serum konvalesens naik 4x atau lebih
infection): serum akut 1:1280, serum konvalesens dapat lebih besar atau
sama
- Pemeriksaan radiologis (urutan pemeriksaan sesuai indikasi klinis)
Pemeriksaan foto dada, dilakukan atas indikasi (1) dalam keadaan klinis
pemberian cairan.
18
kanan, hemitoraks kanan lebih radio opak dibanding kiri, kubah diafragma
vesika urinaria.
Demam 2-7 hari yang timbull mendadak , tinggi, terus menerus (kontinus)
Manifestasi perdarahan baik yang spontan seperti petekie, purpura, ekimosis,
di sekitar rumah
Hepatomegali
Terdapat kebocoran plasma yang ditandai dengan salag satu tanda/gelaja:
- Peningkatan nilai hematokrit >20% dari pemeriksaan awal atau dari data
Demam disertai dengan dua atau lebih manifestasi klinis, ditambah bukti perembesan
Diagnosis DSS :
yang dekompensasi
1. Takikardia
2. Takipnea
3. Tekanan nadi (perbedaan antara sistolik dan diastolik) <20mmHg
4. Waktu pengisian kapiler (CRT)) > 2 detik
19
5. Kulit dingin
6. Produksi urin menurun < 1ml/kgBB/jam
7. Anak gelisah
1. Takikardi
2. Hipotensi (sistolik dan diastolik menurun)
3. Nadi cepat dan kecil
4. Pernapasan kusmaull atau hiperpneu
5. Sianosis
6. Kulit lembab dan dingin
7. Profound shock : nadi tidak teraba dan tekanan darah tidak terukur
2.6 TATALAKSANA
Pengobatan kasus dengue menurut klasifikasi diagnosis WHO 2011 tidak jauh berbeda
dengan klasifikasi WHO 1997 yang selama ini dipergunakan di Indonesia. Dalam tatalaksana
kasus dengue terdapat dua keadaan klinis yang perlu diperhatikan yaitu:
Sistem triase yang harus disosialisasikan kepada dokter yang bertugas di unit gawat
darurat atau puskesmas. Dalam sistem triase tersebut, dapat dipilah pasien dengue
dengan warning signs dan pasien yang dapat berobat jalan namun memerlukan
Tatalaksana kasus sindrom syok dengue (DSS) dengan dasar pemberian cairan yang
adekuat dan monitor kadar hematokrit. Apabila syok belum teratasi selama 2 x 30
menit, pastikan apakah telah terjadi perdarahan dan transfusi PRC merupakan
pilihan.
20
Dikutip dengan modi kasi dari World Health Organization. Comprehensive guideline for
preven on and control of dengue and dengue haemorrhagic fever. Revised and expanded edi
Fase Demam
Tatalaksana dengue sesuai dengan perjalanan penyakit yang terbagi atas 3 fase.
Pada fase demam yang diperlukan hanya pengobatan simtomatik dan suportif. Parasetamol
merupakan antipiretik pilihan pertama dengan dosis 10mg/kg/dosis selang per 4 jam apabila
suhu >38C. pemberian aspirin dan ibuprofen merupakan indikasi kontra. Kompres hangat
kadang membantu apabila anak merasa nyaman dengan pemberian kompres. Pemberian
antipiretik tidak mengurangi tingginya suhu, tetapi dapat memperpendek durasi demam.
Pengobatan suportif lain yang dapat diberikan antara lain larutan oralit, larutan gula-garam,
jus buah, susu, dan lain-lain. Apabila pasien memperlihatkan tanda dehidrasi dan muntah
21
hebat, koreksi dehidrasi sesuai kebutuhan. Apabila cairan intravena perlu diberikan, maka
pada fase ini biasanya kebutuhan sesuai rumatan. Semua pasien tersangka dengue harus
diawasi dengan ketat sejak hari sakit ke-3. Selama fase demam, belum dapat dibedakan
antara DD dengan DBD. Ruam makulopapular dan mialgia/artralgia lebih banyak ditemukan
pada pasien DD. Setelah bebas demam selama 24 jam tanpa antipiretik, pasien demam
Fase Kritis
Pasien DBD memasuki fase kritis. Hepatomegali dengan konsistensi yang lunak
merupakan indikator fase kritis.Pasien harus diawasi ketat dan dirawat di rumah sakit.
mengindikasikan bahwa dalam waktu 24 jam pasien akan bebas demam serta memasuki
fase kritis. Trombositopenia mengindikasikan pasien memasuki fase kritis dan memerlukan
pengawasan ketat di rumah sakit. Peningkatan nilai hematokrit (Ht) 10-20% menandakan
pasien memasuki fase kritis dan memerlukan pengobatan cairan intravena apabila tidak
dapat minum oral. Pasien harus dirawat dan diberikan cairan sesuai kebutuhan. Tanda vital,
hasil laboratorium, asupan dan keluaran cairan harus dicatat dalam lembar khusus.
Penurunan hematorkrit merupakan tanda-tanda perdarahan. Umumnya pada fase ini pasien
tidak dapat makan dan minum karena anoreksia atau dan muntah. Kewaspadaan perlu
ditingkatkan pada pasien dengan risiko tinggi, seperti bayi, DBD derajat III dan IV, obesitas,
perdarahan berat, penurunan kesadaran, adanya penyulit lain, seperti kelainan jantung
bawaan dll, atau rujukan dari Rumah Sakit lain. Cairan intravena diberikan apabila terlihat
adanya kebocoran plasma yang ditandai dengan peningkatan Ht 10-20% atau pasien tidak
mau makan dan minum melalui oral. Cairan yang dipilih adalah golongan kristaloid (ringer
Fase Penyembuhan
22
Setelah masa kritis terlampaui, pasien akan masuk dalam fase penyembuhan, yaitu
saat keadaan overload mengancam. Pada pasien DBD, cairan intravena harus diberikan
dengan seksama sesuai kebutuhan agar sirkulasi intravaskuler tetap memadai. Apabila
cairan yang diberikan berlebihan maka kebocoran terjadi ke dalam rongga pleura dan
luaran urin. Pada fase ini sering dipergunakan antipiretik yang tidak tepat dan pemberian
antibiotik yang tidak perlu. Cairan intravena tidak perlu diberikan sebelum terjadinya
kebocoran plasma. Penderita DD umumnya tidak perlu diberikan cairan intravena. Cairan
yang dibutuhkan pada fase kritis setara dengan dehidrasi sedang yang berlangsung tidak
lebih dari 48 jam. Kemampuan untuk memberi cairan sesuai kebutuhan pada fase ini
sedangkan pasien dengan kondisi berat atau tidak mendapat cairan sesuai dengan
kebutuhan akan jatuh ke dalam fase syok. Pemberian cairan intravena sebelum terjadi
Pemantauan tanda vital pada fase kritis bertujuan untuk mewaspadai gejala syok. Kegagalan
tatalaksana pada fase ini biasanya disebabkan oleh penggunaan cairan hipotonik dan
kertelambatan penggunaan koloid selama fase kritis. Dengue berat harus dipertimbangkan
kesadaran, perdarahan saluran cerna, atau gangguan organ berat. Tata laksana dini
pemberian cairan untuk penggantian plasma dengan kristaloid dapat mencegah terjadinya
syok sehingga menghindari terjadinya penyakit berat. Apabila terjadi syok, maka berikan
cairan sebanyak-banyaknya 10-20 ml/kgBB atau tetesan lepas selama 10-15 menit sampai
tekanan darah dan nadi dapat diukur, kemudian turunkan sampai 10 ml/kg/jam. Berikan
oksigen pada kasus dengan syok. Enam sampai 12 jam pertama setelah syok, tekanan
darah dan nadi merupakan parameter penting untuk menentukan tetesan cairan, tetapi
23
awal, pantau pasien 1 sampai 4 jam. Secara umum, sebagian besar pasien DBD akan
Tanda pasien masuk ke dalam fase penyembuhan adalah keadaan umum membaik,
meningkatnya nafsu makan, tanda vital stabil, Ht stabil dan menurun sampai 35-40%, dan
diuresis cukup. Pada fase penyembuhan dapat ditemukan confluent petechial rash (30%)
atau sinus bradikardi akibat mikokarditis yang umumnya tidak memerlukan pengobatan.
Cairan intravena harus dihentikan segera apabila memasuki fase ini. Apabila nafsu makan
tidak meningkat dan dan perut terlihat kembung dengan atau tanpa penurunan atau
menghilangnya bising usus, kadar kalium harus diperiksa karena sering terjadi hipokalemia
(fase diuresis). Buah-buahan, jus buah atau larutan oralit dapat diberikan untuk
menanggulangi gangguan elektrolit. Penderita dapai dipulangkan apabila paling tidak dalam
24 jam tidak terdapat demam tanpa antipiretik, kondisi klinis membaik, nafsu makan baik,
nilai Ht stabil,tiga hari sesudah syok teratasi, tidak ada sesak napas atau takipnea dan
untuk memantau tetesan dan jumlah cairan pengganti selama fase kritis. Pemberian cairan
yang berkelebihan atau lebih lama dari masa kebocoran plasma, kegagalan mengenal
kegagalan memantau pasien berobat jalan, dan penggunaan pipa lambung (nasogastric
tube) untuk menentukan adanya perdarahan seringkali menjadi penyebab tata laksana yang
volume plasma dengan cairan kristaloid, lalu diikuti dengan koloid. Secara teoritis, koloid
dalam praktik klinik belum terbukti manfaat yang jelas. Namun sebaliknya, koloid dapat
menimbulkan efek buruk pada hemostasis yang merupakan pertimbangan penting pada
24
pasien dengan DBD. Oleh karena itu, beberapa studi terkini menunjukkan bahwa koloid
dapat diberikan terlebih dahulu sebelum cairan kristaloid untuk mengatasi syok.
Syok merupakan keadaan kegawatan. Pasien anak cepat mengalami syok dan
sembuh kembali bila diobati segera dalam 48 jam. Pasien harus dirawat dan segera diobati
bila dijumpai tanda-tanda syok yaitu gelisah, letargi/ lemah, ekstremitas dingin, bibir sianosis,
oliguri, dan nadi lemah, tekanan nadi menyempit (≤ 20 mmHg) atau hipotensi, dan
peningkatan mendadak kadar hematokrit atau peningkatan kadar hematokrit secara terus
Berikan resusitasi cairan dengan cairan kristaloid isotonik intravena dengan jumlah
Bila syok teratasi, berikan cairan dengan dosis 10 mLkg BB/jam selama 1-2 jam
Bila keadaan sirkulasi tetap stabil, jumlah cairan dikurangi secara bertahap menjadi
7,5,5,3,1,5 mL/kgBB/jam. Pada umumnya setelah 24-48 jam pasca resusitasi, cairan
yang diberikan secara intravena bila masukkan cairan melalui oral makin membaik
Bila syok tidak teratasi, periksa analisis gas darah, hematokrit, kalsium dan gula
hipovolemik. Apabila salah satu atau beberapa kelainan tersebut ditemukan, segera
lakukan koreksi
25
Lakukan pemasangan akses vena. Apabila dua kali gagal atau lebih dari 3-5 menit
Berikan cairan kristaloid dan/atau koloid 10-20 mL/kgBB secara bolus dalam waktu
Apabila syok teratasi, berikan cairan kristaloid dengan dosis 10mL/KgBB/jam selama
1-2 jam
Apabila keadaan sirkulasi tetap stabil, berikan larutan kristaloid dengan julah cairan
setelah 24-48 jam pasca resusitasi, cairan intravena sudah tidak di perlukan.
Pertimbangkan untuk mengurangi jumlah cairan yang diberikan secara intravena bila
Apabila syok belum teratasi periksa ulang hematokrit, jika hematokrit tinggi diberikan
kembali bolus kedua. Koreksi apabila asidosis, hipoglikemia atau hipokalsemia. Bila
hematokrit rendah atau normal dan ditemukan tanda perdarahan masif, berikan
transfusi darah segar (fresh whole blood) dengan dosis 10mL/KgBB atau fresh
packed red cell dengan doss 5 mL/KgBb. Jika nilai hematokrit rendah atau turun
nemun tidak ditemukan tanda perdarahan berikan bolus kedua, apabila tidak
atau gagal napas, yang sulit diatasi memerlukan perawatan di unit perawatan
intensif.
27
Kunci tatalaksana DBD terletak pada deteksi dini fase kritis, yaitu saat suhu turun
(the time of defervescence) yang merupakan fase awal terjadinya kegagalan sirkulasi,
dengan melakukan observasi klinis disertai pemantauan kebocoran plasma dan gangguan
hemostasis. Prognosis DBD terletak pada pengenalan tanda- tanda bahaya secara awal dan
pemberian cairan larutan garam isotonik atau kristaloid sebagai cairan awal pengganti
volume plasma sesuai dengan berat ringan penyakit. Perhatian khusus pada kasus dengan
peningkatan hematokrit yang terus menerus dan penurunan jumlah trombosit yang cepat
(WHO, 2011).
28
Fase Demam
Tatalaksana DBD fase demam tidak berbeda dengan tatalaksana DD, bersifat simtomatik
dan suportif yaitu pemberian cairan oral untuk mencegah dehidrasi. Apabila cairan oral tidak
dapat diberikan oleh karena tidak mau minum, muntah atau nyeri perut yang berlebihan,
maka cairan intravena rumatan perlu diberikan. Antipiretik kadang-kadang diperlukan, tetapi
perlu diperhatikan bahwa antipiretik tidak dapat mengurangi lama demam pada DBD.
Fase Kritis
Periode kritis adalah waktu transisi, yaitu saat suhu turun pada umumnya hari ke 3-5 fase
demam. Pasien harus diawasi ketat terhadap kejadian syok yang mungkin terjadi.
untuk pengawasan hasil pemberian cairan yaitu menggambarkan derajat kebocoran plasma
dan pedoman kebutuhan cairan intravena. Hemokonsentrasi pada umumnya terjadi sebelum
dijumpai perubahan tekanan darah dan tekanan nadi. Tetesan berikutnya harus selalu
disesuaikan dengan tanda vital, kadar hematokrit, dan jumlah volume urin. Secara umum,
volume yang dibutuhkan selama terjadi peningkatan permeabilitas kapiler adalah jumlah
Kristaloid: ringer laktat (RL), ringer asetat (RA), ringer maleate, garam faali (GF),
Dekstrosa 5% dalam larutan ringer laktat (D5/RL), Dekstrosa 5% dalam larutan ringer asetat
1. Anak terus menerus muntah, tidak mau minum, demam tinggi sehingga tidak
3. Pada saat pasien datang, berikan cairan kristaloid sesuai cairan dehidrasi sedang (6-
7 ml/kgBB/jam). Monitor tanda vital, diuresis setiap jam dan hematokrit serta
.
30
Fase Penyembuhan/konvalesen
Pada fase penyembuhan, ruam konvalesen akan muncul pada daerah esktremitas.
Perembesan plasma berhenti ketika memasuki fase penyembuhan, saat terjadi reabsorbsi
cairan ekstravaskular kembali ke dalam intravaskuler. Apabila pada saat itu cairan tidak
dikurangi, akan menyebabkan edema palpebra, edema paru dan distres pernafasan.
31
Penerangan pada orang tua mengenai petanda gejala syok yang mengharuskan
anak dibawa ke rumah sakit harus diberikan. Petanda tersebut antara lain adalah keadaan
yang memburuk sewaktu pasien mengalami penurunan suhu, setiap perdarahan yang
ditandai dengan nyeri abdominal akut dan hebat, mengantuk, lemah badan, tidur sepanjang
hari, menolak untuk makan dan minum, lemah badan, gelisah, perubahan tingkah laku, kulit
Anak harus dirawat apabila ada tanda-tanda syok, sangat lemah sehingga asupan
oral tidak dapat mencukupi, perdarahan, hitung trombosit <100.000/ mm3, dan atau
peningkatan Ht >10-20%, perburukan ketika penurunan suhu, nyeri abdominal akut hebat
serta tempat tinggal yang jauh dari Rumah Sakit (WHO, 2009)
BAB III
KESIMPULAN
32
Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus.
Patogenesis infeksi virus dengue berhubungan dengan : Faktor virus, yaitu serotipe,jumlah
virulensi, faktor host, genetic, usia, status gizi, penyakit komorbid `dan interaksi antara virus
dengan host, faktor lingkungan, musim, curah hujan, suhu udara, kepadatan penduduk,
gejala berupa demam, mialgia, dan gejala konstitusional lain yang tidak spesifik seperti rasa
lemah dan anoreksia. Demam pada umumnya timbul tinggi (39οC-40οC), mendadak, terus
menerus (pola demam kurva kontinu), bifasik dan berlangsung selama 2-7 hari. Sedangkan
pada DBD disertai dengan terjadinya kebocoran plasma yang secara klinis berbentuk efusi
pleura, apabila kebocoran plasma lebih berat dapat ditemukan asites. Tatalaksana Pasien
rawat inap demam berdarah dengue dapat di bagi menjadi 3 fase yaitu fase demam, fase
kritais dan fase penyembuhan. Sedangkan Pedoman tatalaksana SSD menurut WHO
merekomendasikan bahwa penggantian volume plasma dengan cairan kristaloid, lalu diikuti
dengan koloid.
DAFTAR PUSTAKA
Garna H, editor. Buku ajar divisi infeksi dan penyakit tropis. Jakarta: Sagung Seto; 2012. p.
336.
33
Hadinegoro SR. Satari HI, penyunting. Demam berdarah dengue. Naskah lengkap
pelatihan bagi pelatih dokter spesialis anak & spesialis penyakit dalam, dalam tata
1998. h. 82-137.
Pudjiadi A., Hegar Badriul., Handryastuti S., Indris NS., Gandaputra EP., Harmoniato ED.
Pusat data dan surveilans epidemiologi kementrian kesehatan republik indonesia. Demam
Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SRS, Satari HI, editors. Buku ajar infeksi dan pediatri
tropis. 2nd ed. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2012. p. 155-66.
pada penderita demam berdarah dengue. Universitas Sebelas Maret Surakarta 2011.
UKK Infeksi dan Pediatri Tropis IDAI. Infeksi virus dengue. Dalam: Sudarmo SPS, Garna H,
Hadinegoro SR, Satari HI, penyunting. Buku ajar infeksi & pediatri tropis. Ed ke-2.
WHO 2011. Comprehensive guidelines for prevention and control of dengue and dengue
World Health Organization. Dengue, guidelines for diagnosis, treatment, prevention, and
control. New edition, 2009. World Health Organization (WHO) and Special Program
for Research and Training in Tropical Diseases (TDR). France: WHO; 2009.
World Health Organization. Dengue: guidelines for diagnosis, treatment, prevention and