Anda di halaman 1dari 19

BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Definisi

Osteoporosis adalah gangguan metabolism tulang sehingga massa tulang berkurang.


Komponen matriks tulang, yaitu mineral dan protein berkurang. Resorpsi terjadi lebih
cepat daripada formasi tulang, sehingga tulang menjadi tipis (Pusdiknakes, 1995).

Osteoporosis merupakan kelainan dengan penurunan massa tulang total. Pada kondisi
ini terdapat perubahan pergantian tulang homeostasis normal, kecepatan resorpsi tulang
lebih besar daripada kecepatan pembentukan tulang, yang mengakibatkan penurunan
massa tulang total (Brunner & Suddart, 2000).Kondisi ini menyebabkan terjadinya
pelebaran sumsum tulang dan saluran havers. Trabekula berkurang dan menjadi tipis.
Akibatnya, tulang mudah retak. Tulang yang mudah terkena osteoporosis adalah
vertebrata, pelipis, dan tengkorak.

Tulang secara progresif menjadi porus, rapuh dan mudah patah. Tulang menjadi
mudah fraktur dnegan stress yang tidak akan menimbulkan pengaruh pada tulang normal.

B. Etiologi
Perkembangan osteoporosis sangat kompleks, meliputi faktor-faktor nutrisi, fisik,
hormone, dan genetic. Tiga faktor utama yang memengaruhi osteoporosis adalah:

1. Defisiensi kalsium. Defisiensi kalsium dapat disebabkan oleh asupan kalsium dalam
makanan yang tidak adekuat sehingga mempercepat penurunan massa tulang.
Menurunnya kalsium ada hubungannya dengan bertambahnya usia karena
berkurangnya absorpsi kalsium, tidak adekuatnya asupan vitamin D, atau
penggunaan obat-obatan lain tertentu (kortikosteroid dalam waktu yang lama).

2. Kurangnya latiahan fisik teratur. Imobilisasi dapat menyebabkan menurunnya


massa tulang. Olahraga atau latihan fisik yang teratur dapat mencegah penurunan
massa tulang.

3. Jenis kelamin. Hormone reproduksi mempengaruhi kekuatan tulang. Pada wanita


pascamanopause, hormone reproduksi dan tumbuhan kalsium tulang menurun.
Hormone pada wanita yang menurun dalam hal ini adalah esterogen. Dengan
demikian, wanita lebih cepat mengalami osteoporosis daripada pria. Wanita usia
45 tahun memperlihatkan bukti pada sinar-X adanya osteoporosis, sedangkan pada
pria terjadi setelah usia 70 tahun. Selain tiga hal tersebut, gangguan kelenjar
endokrin dapat menmyebabkan osteoporosis yaitu penyakit Chusing,
tirotoksikosis, atau hipereksresi kelenjar adrenal.

Faktor lain risiko terjadinya osteoporosis adalah kurang terpanajn sinar


matahari, banyak mengkonsumsi alcohol, nikotin dan kafein, kurang aktifitas
fisik, atau adanya riwayat keluarga dengan osteoporosis.

C. Jenis Jenis Osteoporosis

Terdapat dua jenis osteoporosis, yaitu:

1. Osteoporosis Primer

Osteoporosis primer adalah kehilangan massa tulang yang terjadi sesuai dengan
proses penuaan. Sampai saat ini osteoporosis primer masih menduduki tempat utama
karena lebih banyak ditemukan dibandingkan osteoporosis sekunder (Ode, 2012).
Pada wanita biasanya disebabkan oleh pengaruh hormonal yang tidak seefektif
biasanya. Osteoporosis ini terjadi karena kekurangan kalsiumakibat penuaan usia
(Syam dkk, 2014). Menurut Zaviera (2007) osteoporosis primer ini terdiri dari 2
bagian yaitu:

a. Tipe I (Post-menopausal)

Terjadi 15-20 tahun setelah menopause (53-75 tahun). Ditandai oleh fraktur
tulang belakang dan berkurangnya gigi geligi. Hal ini disebabkan luasnya
jaringan trabekular pada tempat tersebut, dimana jaringan trabekular lebih
responsif terhadap defisiensi esterogen.

b. Tipe II (Senile)

Terjadi pada pria dan wanita usia 70 tahun keatas. Ditandai oleh fraktur panggul
dan tulang belakang tipe wedge. Hilangnya masa tulang kortikal terbesar terjadi
pada usia tersebut.

2. Osteoporosis Sekunder

Osteoporosis sekunder disebabkan oleh penyakit tertentu, gangguan hormonal, dan


juga kesalahan pada gaya hidup seperti konsumsi alkohol secara berlebihan, rokok,
kafein, dan kurangnya aktifitas fisik. Berbeda dengan osteoporosis primer yang
terjadi karena faktor usia, osteoporosis sekunder bisa saja terjadi pada orang yang
masih berusia muda (Syam dkk, 2014).

D. Patofisiologi

Osteoporosis adalah abnormalitas pada proses remodelling tulang di mana resorpsi.


Tulang melebihi formasi tulang menyebabkan hilangnya massa tulang. Mineralisasi
tulang tetap terjadi. Remodelling tulang digambarkan dengan keseimbangan fungsi
osteoblas dan osteoklas. Meskipun pertumbuhan terhenti, remodelling tulang berlanjut.
Proses dinamik ini meliputi resorpsi pada satu permukaan tulang dan deposisi
pembentukan tulang pada tempat yang berlawanan. Hal ini di pengaruhi oleh beban berat
badan dan gravitasi, sama halnya dengan masalah seperti penyakit sistemik. Proses
seluler di laksanakan oleh sel tulang spesifik dan di modulasi oleh hormon lokal dan
sistemik, serta peptida.

Remodeling tulang terjadi pada tiap permukaan tulang dan berlanjut sepanjang hidup.
Jika masa tulang tetap pada dewasa, menunjukan terjadinya keseimbangan antara
formasi dan resorpsi tulang. Keseimbangan ini di laksanakan oleh osteoblas dan
osteoklas pada unit remodelling tulang. Remodelling di butuhkan untuk menjaga
kekuatan tulang. Kondisi osteoporosis merupakan suatu hasil interaksi yang kompleks
menahun antara factor genetic dan factor lingkungan. Berbagai factor terlibat dalam
interaksi ini dengan menghasilkan suatu kondisi penyerapan tulang lebih banyak di
bandingkan dengan pembentukan yang baru. Kondisi ini memberikan manifestasi
penurunan massa tulang total. Kondisi osteoporosis yang tidak mendapatkan intervensi
akan memberikan dua manifestasi penting, di mana tulang menjadi rapuh dan terjadinya
kolaps tulang (terutama area vertebra yang mendapat tekanan tinggi pada saat berdiri).
Hal ini akan berlanjut pada berbagai kondisi dan masalah pada pasien dengan
osteoporosis (Helmi, 2014).

E. Gejala Osteoporosis

Osteoporosis dapat muncul tanpa sengaja selama beberapa dekade karena osteoporis
tidak menyebabkan gejala sampai terjadi patah tulang. Selain itu, beberapa fraktur
osteoporosis dapat lolos deteksi selama bertahun-tahun karena tidak memperlihatkan
gejala. Gejala yang yang berhubungan dengan patah tulang osteoporosis biasanya adalah
nyeri. Lokasi nyeri tergantung pada lokasi fraktur. Sedangkan gejala osteoporosis pada
pria mirip dengn gejala osteoporis pada wanita. Kepadatan tulang berkurang secara
perlahan, sehingga pada awalnya osteoporosis tidak menimbulkan gejala. Biasanya
gejala akan timbul pada wanita berusia 51-75 tahun, meskipun bisa lebih cepat ataupun
lambat. Jika kepadatan tulang berkurang, tulang dapat menjadi kolaps atau hancur, maka
akan timbul nyeri tulang dan kelainan bentuk (Syam, dkk).

Sedangkan menurut (Zaviera, 2007) penyakit osteoporosis ini sering disebut penyakit
silent disease karena proses kepadatan tulang berkurang secara perlahan lahan dan
berlangsung secara proggresif dan bertahun-tahun tanpa kita sadari maka dari itu hampir
semua osteoporosis ini tidak menimbulkan gejala sehingga banyak orang yang tidak
menimbulkan gejala sehingga banyak orang yang tidak menyadari bahwa dirinya terkena
osteoporosis, tetapi ada juga penderita osteoporosis mempunyai tanda dan gejala seperti
ini yaitu :

1. Nyeri tulang dan sendi terutama jika nyeri dipunggung saat dibuat berdiri, berjalan
beraktivitas dan disentuh. Sifat nyerinya tersebut tajam atau seperti terbakar bisa
karena adanya fraktur.

2. Deformitas atau perubahan bentuk tulang seperti kifosis dan jari jari tangan dan kaki
terlihat membengkok atau adanya berubahan abnormal.

3. Patah tulang (fraktur).


4. Kerangka tulang semakin memendek atau punggung semakin membungkuk
(penurunan tinggi badan).

5. Nafsu makan menurun menjadikan berat badan menurun atau kurus.

6. Sesak nafas karena organ tubuh semakin berdekatan karena tulang tidak mampu
menyangga lagi.

F. Pencegahan Osteoporosis

Pencegahan osteoporosis berarti mencegah berkurangnya massa tulang. Saat


menopause, tingkat esterogen menurun kira kira 50 persen dan massa tulang mulai 16
berkurang (Lane, 2001).

Menurut Mangoenprasodjo (2005) pencegahan osteoporosis dibagi menjadi tiga


bagian:

1. Pencegahan Primer

Pencegahan primer dilakukan dengan tujuan untuk tahap awal pencegahan


terjadinya osteoporosis. Salah satunya selalu memperhatikan faktor-faktor yang
dapat menyebabkan osteoporosis baik secara genetik ataupun karena faktor
lingkungan. Adapun cara pencegahan primer diantaranya:

a. Mengonsumsi makanan yang mengandung kalsium, seperti susu. Cairan putih


ini merupakan sumber kalsium dan fosfor yang sangat penting untuk
pembentukan tulang. Itulah sebabnya sumber nutrisi dari susu tak hanya baik
bagi terpeliharanya kebuguran tubuh, tetapi juga kesehatan tulang. Demi
mencegah keropos tulang, dibutuhkan keteraturan konsumsi susu sejak dini
hingga usia lanjut (lansia). Angka kecukupan gizi kalsium adalah 800-1200mg
perorang perhari atau setara dengan tiga sampai 4 gelas susu.

b. Melakukan latihan fisik atau biasa disebut dengan senam osteoporosis. Senam
osteoporosis merupakan Olahraga atau aktivitas fisik yang dapat meningkatkan
kepadatan mineral pada tulang atau mengurangi hilangnya jaringan tulang
terutama pada wanita premenopause dan postmenopause. Tujuan dilakukanya
senam osteoporosis adalah untuk memelihara kondisi punggung, mencegah dan
mengobati osteoporosis. Latihan ini dilakukan 15-20 menit, 3 sampai 5 kali
dalam seminggu minimal 2x 17 seminggu, latihan ini dilakukan dengan berdiri
dan telentang. Menurut mangoenprasodjo (2005) penelitian lain yang dilakukan
pada wanita-wanita setengah baya, menyatakan bahwa latihan olahraga seperti
senam osteoporosis membantu mencegah terkikisnya tulang tulang yang
biasanya terjadi pada usia baya.

c. Hindari faktor penghambat penyerapan kalsium atau mengganggu pembentukan


tulang seperti merokok, mengonsumsi alkohol, konsumsi obat yang
menyebabkan osteoporosis.

2. Pencegahan Sekunder

Cara pencegahan sekunder ini bertujuan untuk menghambat persebaran osteoporosis


yang sudah ada dalam tubuh mengkoplikasi penyakit yang lain. Dengan pencegahan
sekunder ini banyak sekali hal yang harus dilakukan salah satunya melakukan
pendeteksi dini pada penderita osteoporosis. Setelah didapatkan hasil untuk
memperkuat diagnosa osteoporosis maka yang harus dilakukan untuk tahap
pencegahan sekunder ini adalah sebagai berikut:

a. Konsumsi kalsium yang harus ditambah lebih banyak lagi

b. Terapi Sulih Hormon (TSH).

Setiap perempuan pada saat menopause mempunyai risiko osteoporosis. Salah


satu yang dianjurkan adalah pemakaian ERT (Estrogen Replacement Therapy)
pada mereka yang tidak ada kontraindikasi. ERT menurunkan risiko fraktur
sampai 50 persen pada panggul tulang dari vertebra.

c. Latihan fisik yang bersifat spesifik dan individual. Prinsipnya sama dengan
latihan beban dan tarikan (stretching) pada aksis tulang. Latihan tidak dapat
dilakukan secara missal karena perlu mendapat supervise dari tenaga medis.

d. Mengonsumsi E Calcitonin, tentunya sesuai anjuran dokter

e. Rutin memeriksakan diri ke layanan kesehatan


3. Pencegahan Tertier

Pencegahan tertier merupakan pencegahan yang dilakukan dikarenakan sudah terjadi


osteoporosis dan dicegah agar tidak mengalami keparahan atau sakit yang berlebih
yaitu dengan cara, setelah pasien mengalami osteoporosis atau fraktur jangan
biarkan melakukan gerak (mobilisasi) terlalu lama. Sejak awal perawatan, disusun
rencana mobilisasi, mulai mobilisasi pasif sampai aktif dan berfungsi mandiri. Dari
sudut rehabilitasi medis, pemakaian fisioterapi/okupasi terapi akan mengembalikan
kemandirian pasien secara optimal. Pemahaman pasien dan keluarganya tentang
osteoporosis diharapkan menambah kepedulian dan selanjutnya berperilaku hidup
sehat sesuai pedoman pencegahan osteoporosis.

G. Pemeriksaan Diagnostik

Seseorang yang ingin mengetahui mengalami osteoporosis atau tidak, biasanya


pemeriksaan yang digunakan adalah Densitas Mineral Tulang (DMT) agar mengetahui
kepadatan tulang pada orang tersebut (Hartono, 2004). Untuk menentukan tulang, ada 3
teknik yang biasa digunakan di Indonesia, antara lain:

1. Densitometry DXA (dual-energy X-ray absorpstiometry)

Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan yang paling tepat dan mahal. Orang
yang melakukan pemeriksaan ini tidak akan merasakan nyeri dan hanya dilakukan
sekitar 5-12 menit.

Keuntungan yang didapatkan jika melakukan pemeriksaan ini yaitu dapat


menentukan kepadatan tulang dengan baik (memprediksi resiko patah tulang
pinggul) dan mempunyai paparan radiasi yang sangat rendah. Akan tetapi alat ini
memiliki kelemahan yaitu membutuhkan koreksi berdasarkan volume tulang (secara
bersamaan hanya menghitung 2 dimensi yaitu tinggi dan lebar) dan jika pada saat
seseorang melakukan pengukuran dalam posisi yang tidak benar, maka akan
mempengaruhi hasil pemeriksaan (Cosman, 2009).

Hasil dari DXA dapat dinyatakan dengan T-score, yang dinilai dengan melihat
perbedaan BMD dari hasil pengukuran dengan nilai rata-rata BMD puncak. (Tandra,
2009)
Menurut WHO, kriteria T-score dibagi menjadi 3, yaitu T-score >-1 SD yang
menunjukan bahwa seseorang masih dalam kategori normal. T-score <1 sampai -2,5
dikategorikan osteopenia, dan , -2,5 termasuk dalam kategori osteoporosis berat
(WHO, 1994 dalam http://lib.ui.ac.id/)

2. Densitometry US (ultrasound)

Kerusakan yang terjadi pada tulang dapat di diagnosis dengan pengukuran


ultrasound, yaitu dengan menggunakan alat quantitative ultrasound (QUS). Hasil
pemeriksaan ini ditentukan dengan gelombang suara, karena cepat atau tidaknya
gelombang suara yang bergerak pada tulang dapat terdeteksi dengan alat QUS. Jika
suara terasa lambat, berarti tulang yang dimiliki padat. Akan tetapi, jika suara cepat,
maka tulang kortikal luar dan trabecular interior tipis. Pada beberapa penelitian
menyatakan bahwa dengan QUS dapat mengetahui kualitas tulang, akan tetapi QUS
dan DXA sama-sama dapat memperkirakan patah tulang (Lane, 2003).

3. Pemeriksaan CT (computed tomography)

Pemeriksaan CT merupakan salah satu pemeriksaan laboratorium yang dilakukan


dengan memeriksa biokimia CTx (C-Telopeptide). Dengan pemeriksaan ini dapat
dinilai kecepatan pada proses pengeroposan tulang dan pengobatan antiesorpsi oral
pun dapat dipantau (putri, 2009)

Kelebihan yang didapat jika menggunakan alat ini yaitu kepadatan tulang
belakang dan tempat biasanya terjadi patah tulang dapat diukur dengan akurat. Akan
tetapi pada tulang yang lain sulit diukur kepadatannya dan ketelitian yang dimiliki
tidak baik serta tingginya paparan radiasi. (Cosman, 2009).
BAB III

PENGKAJIAN PADA LANSIA DENGAN OSTEOPOROSIS

A. Wawancara
Wawancara merupakan pola komunikasi yang dilakukan untuk tujuan spesifik dan
difokuskan pada area dengan isi yang spesifik. Ada dua tipe wawancara, yaitu
wawancara langsung dan tidak langsung. Wawancara langsung adalah wawancara yang
dilakukan langsung kepada klien sedangkan wawancara tidak langsung adalah
wawancara yang dilakukan kepada keluarga klien, perawat, atau sumber lainnya untuk
mendapatkan data (Haryanto, 2008). Tujuan dari wawancara adalah untuk memperoleh
data tentang masalah kesehatan dan masalah keperawatan klien, serta untuk menjalin
hubungan antara perawat dengan klien. Selain itu wawancara juga bertujuan untuk
membantu klien memperoleh informasi dan berpartisipasi dalam identifikasi masalah dan
tujuan keperawatan, serta membantu perawat untuk menentukan investigasi lebih lanjut
selama tahap pengkajian (Nursalam, 2004).
Semua interaksi perawat dengan klien adalah berdasarkan komunikasi. Komunikasi
keperawatan adalah suatu proses yang kompleks dan memerlukan kemampuan skill
komunikasi serta interaksi. Komunikasi keperawatan biasanya digunakan untuk
memperoleh riwayat keperawatan. Istilah komunikasi terapeutik adalah suatu teknik
yang berusaha untuk mengajak klien dan keluarga untuk bertukar pikiran serta perasaan
(Nursalam, 2009).
Teknik tersebut mencakup keterampilan secara verbal maupun non verbal, empati,
dan rasa kepedulian yang tinggi. Teknik verbal meliputi pertanyaan terbuka atau tertutup,
menggali jawaban dan memvalidasi respon klien. Teknik non verbal meliputi :
mendengarkan secara aktif, diam, sentuhan, dan konta mata. Mendengarkan secara aktif
merupakan suatu hal yang penting dalam Universitas Sumatera Utara pengumpulan data,
tetapi juga merupakan sesuatu hal yang sulit dipelajari (Nursalam, 2009).
Wawancara pada lansia dengan osteoporosis dapat dilakukan bersama tanaga
kesehatan baik dipuskesmas maupun di lingkungan masyarakat seperti kader. Berikut
adalah contoh wawancara yang dilakukan untuk mengetahui informasi mengenai lansia
dengan osteoporosis:
1. Berapa banyak lansia yang menderita osteoporosis didaerah ini?
2. Apakah lansia yang mengalami osteoporosis cukup banyak?
3. Berapa banyak data kunjungan puskesmas mengenai lansia yang menderita
osteoporosis?
4. Gejala apa yang sering dikeluhkan lansia ketika mendatangi puskesmas?
5. Apakah lansia rutin mendatangi puskesmas untuk memeriksakan kesehatannya?
6. Apakah sudah ada program khusus untuk mengatasi lansia dengan osteoporosis?
7. Jika ia, apakah program tersebut berjalan dengan lancar?
8. Bagaimana hasil dari program tersebut?
9. Apakah lansia diberikan pendidikan kesehatan sebelumnya untuk mengetahui
mengenai penyakit osteoporosis yang dideritanya?
10. Apakah ada makanan yang terbiasa dimakan lansia yang bisa mengakibatkan
osteoporosis?
B. Observasi Partisipan
1. Definisi
Metode pengumpulan data untuk membantu perawat mengetahui informasi
tentang komunitas, pengaturan sosial, sekelompok orang, atau menilaistatus
kesehatan individu. Aspek unik dari observasi partisipan adalah bahwa pengamat
sengaja memahami pengaturan dan kondisi sosial tanpa memanipulasi mereka
dengan cara apapun. Pengamat mengumpulkan informasi melalui indera tentang
peristiwa alamiah yang terjadi, yaitu secara visual, pendengaran, sentuhan, bau,
ataupun rasa. Aspek penting dariobservasi partisipan adalah pengamat belajar dari
lingkungan, dan menahan diri untuk mempengaruhi partisipan dengan tidak
mengajukan pertanyaan pada partisipan.
2. Tujuan
a. Dapat digunakan untuk penilaian masyarakat, seperti: karakteristik
masyarakat, status ekonomi masyarakat, rekreasi yang biasa dilakukan
masyarakat, kebiasaan berkumpul masyarakat, kebanggaan dan spirit
masyarakat, kebiasaan berjalan-jalan masyarakat atau kecenderungan
mengisolasi diri di rumah, bahaya kesehatan yang terdapat di masyarakat,
kekuatan masyarakat, dan area masalah di lingkungan.
b. Dapat membantu perawat dalam mempelajari informasi yang mendalam
tentang suatu komunitas atau sekelompok orang.
c. Dapat digunakan saat perawat tidak mengenal budaya masyarakat, misalnya
keyakinan, nilai, dan praktik budaya masyarakat.
d. Dapat digunakan untuk proyek-proyek penelitian formal.
e. Dapat digunakan untuk mengeksplorasi hubungan antara pemberi perawatan
kesehatan dengan klien (masyarakat).

3. Persiapan
a. Perencanaan manajemen tim, meliputi: penetapan jangka waktu, lokasi
pengamatan, fokus pengamatan, pedoman tertulis tentang apa yang diamati,
waktu peninjauan hasil pengamatan bersama-sama tim untuk validitas data.
b. Untuk penelitian, dipersiapkan kerangka teoritis, lembar observasi,
penggunaan metode lain jika diperlukan untuk melengkapi metode observasi
partisipan, strategi pengamatan, penggunaan teknik purposive
sampling.Perizinan, baik izin dari partisipan ataupun lembaga tertentu.
4. Teknik perekaman data
a. Instrument observasi (lembar checklist)
b. Field notes
c. Journal
d. Audio/ visual recordings
e. Analisis data
5. Hasil pengamatan (field notes dan journal) dibuat transkrip.
a. Membaca ulang transkrip dan memahami data.
b. Pengelolaan dan analisis data dapat menggunakan bantuan software computer.
6. Hal-hal yang harus diperhatikan:
a. Pengamat harus terlibat dalam kelompok social.
b. Pengamat menahan diri dari interaksi yang sering dengan orang lain.
c. Pengamat subjektif dalam observasi sehingga data bias.
d. Kemungkinan adanya reaktivitas dari partisipan.
7. Contoh pengkajian :
a. Melihat bahwa teryata rumah lansia sangat minim pencahayaan
b. Melihat bahwa rumah lansia tidak terdapat ventilasi
c. Melihat bahwa rumah lansia tidak terdapat jendela
d. Melihat bahwa lansia di lingkungan tersebut jarang berolahraga
e. Melihat bahwa banyak lansia yang sedang merokok
f. Melihat bahwa sangat kurangnya antusiasme lansia terhadap program
posbindu yang ada di lingkungan tersebut
g. Melihat bahwa makanan lansia yang sembarangan dan tidak teratur

C. Survey (Question)
1. Definisi
Menurut Masri Singarimbun dalam bukunya yang berjudul Metode Penelitian
Survai, pengertian survei pada umumnya dibatasi pada penelitian yang datanya
dikumpulkan dari sampel atau populasi untuk mewakili seluruh populasi. Dengan
demikian, penelitian survei adalah penelitian yang mengambil sampel dari satu
populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data yang pokok
(Singarimbun, 2006)
Untuk perawat kesehatan komunitas, survey dapat digunakan untuk
mengumpulkan informasi demografi suatu komunitas, opini, pengetahuan, atau
pengalaman anggota masyarakat.
2. Tujuan
a. Survey dapat digunakan untuk mengumpulkan data untuk perencanaan
program, menambah data pengkajian komunitas, dan kontribusi untuk program
evaluasi.
b. Survey dapat digunakan untuk memperbarui atau melengkapi informasi yang
dibutuhkan untuk mengkaji kesehatan komunitas secara lebih baik dan
perencanaan program langsung.
c. Survey berguna dalam mendokumentasikan pola paparan bahaya lingkungan.
d. Survey dapat dilakukan dengan caradoor to door, paper and pencil
questionnaire
3. Persiapan
a. Menentukan tujuan dilakukan survey, tipe data yang diinginkan, sumber-
sumber yang tersedia.
b. Menentukan metoda survey: door to door, kuesioner via mail, atau telepon.
c. Menentukan tim survey, dan melatih anggota tim yang terlibat, serta
membuat rancangan biaya dan waktu yang dibutuhkan.
d. Menentukan sampel dan populasi survey.
4. Teknik perekaman data

a. Instrument observasi (lembar checklist)


b. Field notes
c. Journal
d. Audio/ visual recordings
e. Analisis data

5. Hal-hal yang harus diperhatikan :


a. Validitas dan reliabilitas instrument.
b. Sampel survey.
6. Question terhadap lansia dengan Osteoporosis
a. Apakah terdapat pencahayaan sinar matahari yang cukup terhadap rumah
lansia pada lingkungan tersebut?
b. Apakah terdapat ventilasi yang cukup untuk sirkulasi udara dirumah lansia
pada lingkungan tersebut?
c. Apakah lansia dirumah aktif dan mandiri dalam melakukan kegiatan sehari-
hari
d. Apakah lansia dilingkungan tersebut sering berolahraga?
e. Apakah banyak lansia yang merokok dilingkungan tersebut?
f. Bagaimana antusiasme pada lansia terhadap program posbindu yang
disediakan?
g. Bagaimana pola makan sehari-hari lansia dilingkungan tersebut?
D. Winshield Survey
1. Tipe Perkampungan
Lokasi yang kami amati merupakan tipe perkampungan dengan bentuk perumahan
yang sangat rapat dan bahkan tidak ada jarak antara satu rumah dengan rumah
lainnya.
2. Lingkungan Tempat Tinggal
Lingkungan yang kita amati yaitu lingkungan kumuh yang padat penduduk,
rumah-rumah tampak bangunan yang sudah lama dan jarang sekali terdapat
ventilasi dan jendela pada setiap rumah. Kebanyakan rumah penduduk terlingat
sangat gelap ketika siang hari sehingga kurangnya pencahayaan alami dari luar
yaitu matahari. Dan ketika pagi hari jarang sekali terlihat rumah warga terlihat
terbuka dan masih banyak yang tertutup sehingga sirkulasi udara kuran bagus.
Kebanyakan lansia sudah tinggal sendiri dan berpisah dari keluarga besarnya.
3. Kebiasaan
Tampak banyak lansia yang sedang merokok, lansia juga tidak makan dengan
teratur dan hanya makanan jajanan warung saja sehingga gizi tidak terpenuhi.
Lansia di lingkungan tersebut juga terlihat jarang olahraga pada pagi harinya atau
pada saat hari libur.
4. Pusat Pelayanan Kesehatan
Terdapat satu puskesmas dan satu posbindu, sangat terlihat jelas bahwa kegiatan
posbindu tampak sepi dan jarang terdapat keluarga yang membawa lansianya
mengikuti program yang contohnya seperti senam.
5. Ekonomi
Berdasarkan hasil wawancara beberapa keluarga, penghasilan setiap bulannya
sebesar Rp 1.500.000 – 3.000.000
6. Keamanan
Berdasarkan hasil wawancara terdapat siskamling dilingkungan tersebut.
7. Pendidikan
Berdasarkan hasil wawancara tingkat pendidikan lansia dari 20 lansia yaitu
sekolah dasar 10 orang, 5 orang SMP, dan 5 orang SMK.
E. Focus Group Discussion
1. Definisi
Focus group merupakan sekelompok kecil orang yang berkumpul untuk
menanggapi serangkaian pertanyaan. Partisipan dipilih yang memiliki
karakteristik tertentu dan pengalaman yang sama. Dalam sesi focus group,
seorang moderator memberikan pertanyaan terbuka kepada kelompok dan
kelompok didorong untuk mendiskusikan pendapat mereka.
2. Tujuan
a. Focus group dapat menangkap beberapa pengaruh kelompok pada
pengambilan keputusan dan pendapat, sehingga menjadi strategi
pengumpulan data yang unik.
b. Karena sifat mereka yang unik, dan fakta bahwa focus group mendorong
responden untuk memberikan jawaban mereka sendiri atas pertanyaan,
mereka menyediakan informasi berharga daripada metoda pengumpulan data
yang lain.
c. Merupakan metode pengumpulan data yang baik dalam pengkajian
komunitas karena mendapatkan data mengenai pemahaman tentang
keyakinan kesehatan dan pilihan perawatan kesehatan dari anggota
masyarakat
3. Persiapan
a. Menentukan tujuan dari focus group.
b. Membuat daftar pertanyaan.
c. Menentukan karakteristik partisipan (usia, budaya, jenis kelamin, status
social ekonomi), jumlah sampel/ partisipan (dengan menetapkan target
populasi) idealnya 6-10 orang, dan memilih lokasi focus group (nyaman,
privasi, mudah dijangkau, tidak bising).
d. Menyiapkan alat yang dibutuhkan, seperti tape recorder, kursi, meja.
e. Menyediakan makanan ringan dan tunjukkan sikap yang ramah.
f. Memilih moderator yang berpengalaman (sebaiknya yang tidak dikenal oleh
partisipan) dan co-moderator jika diperlukan
4. Teknik Perekamana Data
a. Co-moderator membuat catatan selama sesi focus group, dan moderator
membuat daftar ide-ide kelompok pada papan tulis/kertas koran
( flipchart).
b. Taping atau merekam hasil diskusi baik dengan audio maupun video.
c. Analisis data
d. Menggunakan software computer (NUDIST, 1996).
e. Menentukan tema-tema data, dan didiskusikan dengan partisipan.
f. Membuat daftar kode-kode.
5. Hal-hal yang harus diperhatikan
a. Perencanaan yang cermat dapat meminimalkan masalah yang mungkin
timbul.
b. Lokasi dan jadwal harus dipertimbangkan untuk memaksimalkan
kenyamanan partisipan.
6. Komponen dalam melakukan focus grup discussion dapat dilakukan terhadap
sekumpulan lansia yang terserango osteoporosis :
a. Apa itu penyakit osteoporosis?
b. Apa penyebab dari osteoporosis pada lansia?
c. Bagaimana tanda dan gejala yang terlihat pada osteoporosis?
d. Apakah penanganan yang tepat yang dapat dilakukan pada lansia yang
terkena osteoporosis?
e. Apakah pernah lansia yang terkena penyakit osteoporosis sampai dirawat
dirumah sakit?
f. Apakah akibat yang sangat tampak begitu jelas pada lansia yang terkena
osteoporosis?
F. Data Sekunder
Data sekunder yang didapat yaitu dari catatan kader daerah setempat mengenai
penyakit-penyakit yang terjadi pada lansia yang terkena penyakit osteoporosis, dan
didapatkan dari catatan hasil kunjungan puskesmas dan perhitungan angka kejadian
penyakit di tempat kerja puskesmas tersebut.
G. Pemeriksaan Fisik
1. Identitas
a. Identitas klien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, suku/bangsa, agama, pendidikan,
pekerjaan, tanggal masuk, tanggal pengkajian, nomor register, diagnosa
medik, alamat, semua data mengenai identitaas klien tersebut untuk
menentukan tindakan selanjutnya.
b. Identitas penanggung jawab
Identitas penanggung jawab ini sangat perlu untuk memudahkan dan jadi
penanggung jawab klien selama perawatan, data yang terkumpul meliputi
nama, umur, pendidikan, pekerjaan, hubungan dengan klien dan alamat
c. Riwayat Kesehatan
1) Keluhan utama
Biasanya pasien akan mengeluh nyeri pada area punggung, nyeri abdomen
akibat kifosis, susah untuk bergerak, dan beberapa ada yang mengalami
gangguan pernapasan
2) Riwayat penyakit dahulu
Dalam pengkajian merupakan riwayat penyakit yang pernah diderita
pasien sebelum diagnosis osteoporosis muncul seperti reumatik, Diabetes
Mellitus, hiperparatiroid, hipoparatiroid, hipogonade, gagal ginjal dan lain
sebagainya.
3) Riwayat penyakit sekarang
Merupakan keluhan-keluhan yang dirasakan pasien sehingga dibawa ke
Rumah Sakit, seperti nyeri pada punggung, nyeri abdomen. Dalam
pengkajian riwayat kesehatan, perawat perlu mengidentifikasi :
a) Rasa nyeri atau sakit tulang punggung (bagian bawah), leher, dan
pinggang
b) Berat badan menurun
c) Biasanya diatas 45 tahun
d) Jenis kelamin sering pada wanita
e) Pola latihan dan aktivitas
4) Riwayat penyakit keluarga
Dalam pengkajian, perlu mengkaji riwayat penyakit keluarga pasien, yaitu
apakah sebelumnya ada salah satu keluarga pasien yang memiliki penyakit
yang sama dengan pasien seperti osteoporosis, diabetes melitus, maupun
penyakit terkait genetik lainnya yang berhubungan dengan sistem skeletal
d. Pengkajian Bio-Psiko-Sosisal Dan Spiritual
1) Pola aktivitas sehari-hari Pola aktivitas dan latihan biasanya berhubungan
dengan olahraga, pengisian waktu luang dan rekreasi, berpakaian, makan,
mandi, dan toilet. Olahraga dapat membentuk pribadi yang baik dan
individu akan merasa lebih baik. Selain itu, olahraga dapat
mempertahankan tonus otot dan gerakan sendi. Lansia memerlukan
aktifitas yang adekuat untuk mempertahankan fungsi tubuh. Aktifitas
tubuh memerlukan interaksi yang kompleks antara saraf dan
muskuloskeletal. Beberapa perubahan yang terjadi sehubungan dengan
menurunnya gerak persendian adalah agility (kemampuan gerak cepat dan
lancar) menurun, dan stamina menurun.
2) Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan
a) Kaji pengetahuan pasien tentang penyakit
b) Kebiasaan minum alkohol, kafein
c) Riwayat keluarga dengan osteoporosis
d) Riwayat anoreksia nervosa, bulimia
e) Penggunaan steroid
3) Pola nutrisi metabolic
Inadekuat intake kalsium
4) Pola aktivitas dan latihan
a) Fraktur
b) Badan bungkuk
c) Jarang berolah raga
5) Pola tidur dan istirahat
Tidur terganggu karena nyeri
6) Pola persepsi kognitif
Nyeri punggung
7) Pola reproduksi seksualitas
Menopause
8) Pola mekanisme koping terhadap stress
Stres, cemas karena penyakitnya
BAB IV

PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai