Anda di halaman 1dari 17

PITYRIASIS ROSEA: KLASIFIKASI

FrancescoDragoa Giulia Ciccaresea Alfredo Reboraa Francesco Broccolob


Aurora Parodia

a
DISSAL, Departemen Dermatologi, IRCCS AOU San Martino-IST, Universitas
Genoa, Genoa, dan
b
Departemen Ilmu Kesehatan, Universitas Milano-Bicocca, Monza, Italia

Kata kunci : Pityriasis rosea · Human herpesvirus-6/7 · Klasifikasi

ABSTRAK

Pityriasis rosea (PR) adalah bersifat akut, penyakit self-limitig


exanthematous dengan reaktivasi sistemik human herpesvirus (HHV)-6 dan/atau
HHV-7. Penyakit ini biasanya ditandai dengan plak eritematosa dan diikuti oleh
erupsi sekunder pada tubuh (seperti 'pohon natal'). Lamanya penyakit ini dapat
bervariasi dari 2 minggu sampai beberapa bulan. Selain PR memiliki lesi yang
khas, bentuk atipikal juga jelas. Klasifikasi PR sebelumnya didasarkan pada ciri
morfologi atipikalnya bukan pada mekanisme patogenetik yang mendasari
penyakit ini. Terutama, sebagian besar bentuk morfologis atipikal mengikuti
bentuk klasik lesi pada penyakit ini. Klasifikasi yang kami ajukan yaitu dengan
mempertimbangkan patogenesis, gambaran klinis, dan perjalanan penyakit,
sehingga dapat membantu dalam mengidentifikasi bentuk PR serta untuk
menghindari kesalahan diagnosa dan menetapkan pilihan pengobatan
terbaik. Klasifikasi ini memberikan indikasi untuk mengelola PR yang berpotensi
membahayakan (seperti PR selama kehamilan) dan PR-like eruptions.

1
PENDAHULUAN

Pityriasis rosea (PR) adalah penyakit self-limitig exanthematous akut


1-4
dengan reaktivasi sistemik human herpesvirus (HHV)-6 dan/atau HHV-7 .
Penyakit ini biasanya ditandai dengan plak eritematosa, tunggal, skuama, (herald
patch, HP, atau mother spot) diikuti oleh erupsi sekunder yang terdiri dari lesi
papulosquamous yang lebih kecil pada garis tengah tubuh, memberikan gambaran
“pohon natal” muncul dengan durasi beberapa hari dan maksimum sekitar 2
minggu. Lamanya penyakit ini dapat bervariasi dari 2 minggu sampai beberapa
bulan, dan gejala konstitusional dapat mendahului atau menyertai erupsi kulit 4-10.
Diagnosis banding penyakit yang harus dipertimbangkan meliputi: sifilis sekunder
(di mana pada lesi tidak terdapat skuama, biasanya terjadi pada telapak
tangan/telapak kaki, dan disertai dengan limfadenopati); dermatitis seboroik
(biasanya pada kulit kepala), Eczema nummular (biasanya ditemukan pada tulang
kering dan punggung tangan), dan pityriasis lichenoides chronica (yang lebih
kronis dan relaps tanpa HP).

Sedangkan untuk exanthem lainnya, selain lesi khas pada PR, juga disertai
11-15 16
dengan bentuk atipikal yang khas . Setelah klasifikasi PR atipikal , Chuh
dkk11. Mengusulkan klasifikasi PR yang lain yang didasarkan pada morfologi,
ukuran, jumlah, distribusi, lokasi, dan tingkat keparahan gejala. Secara
keseluruhan, klasifikasi PR sebelumnya terutama didasarkan pada ciri morfologi
atipikalnya dan bukan pada mekanisme patogenetik yang mendasari penyakit
tersebut. Sebagian besar bentuk morfologis atipikal mengikuti bentuk klasik lesi
pada penyakit ini. Oleh karena itu kami mengusulkan klasifikasi PR yang
disederhanakan dan komprehensif, berdasarkan bentuk atipikal, perbedaan
patogenesis, gambaran klinis, dan perjalanan penyakit (tabel 1).

2
Tabel 1. Fitur utama dari bentuk PR yang berbeda

Tipe PR Patoge- Bagian HP, Keter- Gejala Histo- Durasi Terapi


nesis kulit % libatan siste- patologi rata-
yang mukosa, mik, % rata
terlibat %
Klasik Reakti- Pung- 12- 16 ≥ 69 Para- 45 hari Bed rest
vasi gung 90 keratosis,
sistemik dan spongio-
HHV-6/7 dada, sis
sporadis tungkai, (epider-
mis);
ekstra-
vasasi sel
darah
merah,
infil-trasi
limfosit
(dermis)
Relaps Reakti- Pung- 0 14 100 Para- 15 hari Asiklovir
vasi gung (tidak keratosis,
sistemik dan parah spongio-
HHV-6/7 dada, diban- sis
relapsing tungkai dingkan (epider-
(ukuran dengan mis);
dan bentukk ekstra-
jumlah lasik) vasasi sel
lesi darah
lebih merah,
sedikit infil-trasi
diban- limfosit
dingkan (dermis)
dengan
bentuk
klasik)
Persisten viremia Pung- 75 75 92 Para- > 12 hari Asiklovir
HHV-6/7 gung keratosis,
plasma dan spongio-
persisten dada, sis
tungkai, (epider-
mis);
ekstra-
vasasi sel
darah

3
merah,
infil-trasi
limfosit
(dermis)
Pada Aktivitas Pung- 58 35 45 Para- 16 hari Bed rest
anak- infeksi gung keratosis,
anak HHV-6/7 dan spongio-
yanglebi dada, sis
h lama tungkai, (epider-
(infeksi mis);
primer) ekstra-
vasasi sel
darah
merah,
infil-trasi
limfosit
(dermis)
Pada Reaktiva Pung- 50 16 ≥ 69 Para- 45 hari Bed rest
kehamil- si HHV- gung (lebihp keratosis, (8-12 dan
an 6/7 dan dan arahjika spongio- minggu follow
transmisi dada, PR sis jika PR up
ke dalam tungkai, timbul (epider- timbul
intrauteri lesi luas padausi mis); padausia
ne jika PR a ekstra- kehamil-
timbul kehamil vasasi sel an15
padausi -an15 darah minggu)
a minggu merah,
kehamil ) infil-trasi
-an15 limfosit
minggu (dermis)
PR like Reaksi Pung- 0 50 0 Derma- 2minggu Penghen-
eruption obat atau gung titis setelahm tian obat
vaksin dan inter- eng-
dada, face dan hentikan
tungkai, eosi- obat
wajah: nofil
lesi
difus
dan
kon-
fluen

4
Klasifikasi PR

1. PR klasik

Erupsi Khas

10
Prevalensi PR klasik (CPR) yaitu sebesar 1,3% , namun mungkin dapat
bertambah karena muncul bentuk atipikal dan jumlah pasien yang salah
didiagnosis oleh ahli nondermatologi. Biasanya terjadi pada usia antara 10 dan
5,6
35 tahun, dan tidak ada perbedaan jenis kelamin pada penyakit ini . Meskipun
prevalensi lebih tinggi terjadi pada musim dingin 7,8, tetapi terdapat pendapat yang
kontroversial terhadap pernyataan tersebut9. Terdapat 613 pasien PR antara
Januari 2003 dan Desember 2014 di Departemen Dermatologi, Universitas Genoa,
Genoa, Italia, PR terjadi merata sepanjang tahun.

PR klasik terjadi pada 12-90% kasus17 dengan plak soliter (HP), yang
merupakan plak eritematosa berbentuk seperti medali dengan skuama disekitarnya
dan pusat bagian lesi tersebut pucat serta sedikit tertekan. Biasanya terjadi pada
punggung- jarang ditemukan pada tungkai - dan semakin membesar, berdiameter
3 cm atau lebih. Lesi ini akan tetap ada selama 2 minggu, setelah itu akan terjadi
erupsi sekunder. Erupsi sekunder ini ditandai dengan makulaberukuran lebih kecil
dan simetris disepanjang garis tengah tubuh (distribusi pohon natal). Lesi pada
mukosa oral, terjadi pada 16% pasien Kaukasia5, yang dapat dikategorikan
menjadi 5 kelompok yaitu punctuate hemorrhagic, erosi atau ulserasi (yang paling
sering terjadi), makula eritematosa, lesi annular erythematous, dan plak
eritematosa. Gejala prodromal juga sering ditemukan seperti: malaise, mual,
kehilangan nafsu makan, sakit kepala, sulit berkonsentrasi, mudah tersinggung,
gejala saluran pernapasan bagian atas (sampai 69%), nyeri sendi, pembengkakan
kelenjar getah bening, sakit tenggorokan, dan demam ringan. Gejala ini mungkin
juga menetap selama erupsi. Rasa gatal hebat terjadi pada 25% pasien, gatal
sedang atau ringan terjadi pada 50%, dan tidak ada gatal sebanyak 25% pasien 5.
PR Klasik terjadi selama 45 hari, dan lesi secara bertahap menghilang
tanpa meninggalkan tanda-tanda pada kulit5. Patogenesis penyakit ini yaitu

5
adanya infeksi HHV-6/7 sistemik yang didasarkan pada deteksi DNA HHV-6/7
dalam plasma, mRNA dan antigen spesifik pada lesi kulit pasien dengan
PR. Selain itu, virion herpesvirus dalam berbagai tahap morfogenesis dapat
dideteksi dengan mikroskop elektron pada lesi kulit pasien dan pada supernatan
cocultured peripheral blood mononuclear cell pasien PR1-5.

CPR mudah dikenali yaitu didasarkan pada: manifestasi klinis, dan


pemeriksaan histologis tidak perlu dilakukan. Namun, pada histopatologi dapat
ditemukan parakeratosis focal, spongiosis, dan acanthosis pada epidermis dan
extravasated sel darah merah yang disertai dengan infiltrat perivaskular limfosit,
monosit, dan eosinofil pada dermis5.

Karena PR adalah penyakit yang memerlukan perawatan terbaik yaitu


dengan menyarankan istirahat di tempat tidur. Dalam studi terkontrol plasebo, 800
mg asiklovir 5 kali sehari dapat mempercepat penyembuhan lesi18.

2. Erupsi Atipikal
Menurut Chuh dkk.11, erupsi atipikal dapat diklasifikasikan berdasarkan
morfologi, ukuran, jumlah, distribusi, lokasi lesi, tingkat keparahan gejala dan
perjalanan penyakit.

Secara morfologis, lesi dapat bervariasi (vesikular, purpura, hemorrhagic,


5, 11
atau urtikarial) . Berdasarkan ukuran lesi, dapat berupa lesi yang sangat besar
(PR gigantea Darier) atau lesi dengan ukuran kecil (seperti pada PR papular)
[10].Sedangkan berdasarkan distribusi, wajah, aksila, dan selangkangan
didominasi oleh inverse PR10,19. Berdasarkan jumlah dan durasi lesi, 'pityriasis
marginata et circinata' sering ditemukan di daerah aksila atau inguinal, dengan
durasi lesi selama berbulan-bulan, lesi agak eritema dan sentrifugal20. Lesi jarang
ditemukan diwajah, kulit kepala, tangan, jari,kelopak mata, dan penis5, 10.

Rasa gatal hebat mungkin dapat disertai dengan rasa sakit dan sensasi
terbakar (PR irritata)21, terutama jika setelah menggunakan obat.

6
Berdasarkanmusim yaitu dapat berupa: PR psoriasiform di musim panas dan
krusta di musim dingin22.

3. Relapsing PR
CPR dapat menyebabkan kekambuhan10. Relapsing PR adalah varian dari
exanthem yang berulang, biasanya dalam waktu 1 tahun dari lesi awal, hal ini
terjadi karena adanya penurunan kekebalan tubuh yang dimediasi oleh sel pada
saat terjadi ketegangan psikologis/fisik13. Relapsing PR terjadi pada 2,8% pasien
sesuai dengan Bjornberg dan Hellgren10 dan 3,7% ditemukan berdasarkan
pengalaman penulis13. Relapsing PR ini sebagian besar terdiri dari satu episode
kambuh23,24.Tingkat kekambuhan ini mungkin sebagian besar diremehkan oleh
dokter karena tidak mungkin dokter yang sama yang membuat diagnosis awal
dapat mengamati fase kekambuhan tersebut. Kekambuhan ini juga sulit untuk
didiagnostik. HP biasanya tidak ada pada fase kekambuhan tersebut, serta ukuran
dan jumlah lesi lebih sedikit dibandingkan dengan episode serangan
pertama(primer)13. Durasi fase kambuh ini (rata-rata 15 hari) serta lebih pendek
daripada episode primer. Dapat juga disertai dengan gejala konstitusional,
meskipun gejala tersebut kurang parah dibanding pada episode primer13. Mengapa
fase kambuh biasanya terjadi dalam waktu yang lebih pendek dibanding episode
primer tidak diketahui secara pasti. Dapat dibuat beberapa hipotesis patogenetik
penyakit ini, mengingat perilaku HHV lain, seperti virus Epstein-Barr, memiliki
fitur struktural, genomik, antigen yang sama dengan HHV-6/7 dan memiliki
banyak sifat biologis. Selama infeksi HHV, imunitas yang dimediasi oleh sel
sangat penting untuk mengendalikan infeksi virus dan replikasi virus.Dalam 6-12
bulan setelah terjadi infeksi mononukleosis atau virus Epstein-Barrreaktif,
beberapa pasien akan mengalami fase 'relaps' dengan gejala konstitusional, pada
saat fase ini terjadi dibutuhkan sistem kekebalan tubuh untuk melawan virus
tersebut25. Demikian pula, semua PR relaps akan berlangsung dalam jangka waktu
yang terbatas (6-18 bulan). Sementara itu, sistem kekebalan tubuh tidak
sepenuhnya tidak efektif, meski masih dalam masa pemulihan dari kegagalan

7
melawan virus tapi sistem tersebut memungkinkan untuk terjadi pengaktifan
kembali, dan hal ini dapat menjelaskan mengapa erupsi pada PR relaps dan gejala
sistemik kurang parah dibandingkan dengan episode primer. Oleh karena itu,
kemungkinan terjadinya relapsing erupsi kulit sesuai dengan relapsing reaktivasi
sistemik HHV-6/7.Pengobatan dengan asiklovir (800 mg, 5 kali sehari selama 10
hari) dilaporkan efektif dalam mengobati PR relaps18.

4. PR Persisten
PR Persisten adalah bentuk atipikal yang berlangsung selama lebih dari 12
minggu, tanpa adanya gejala konstitusional14. Dengan tidak adanya gold standar
diagnostik, dapat dilakukan pengukuran viremia HHV-6/7 plasma (diukur dengan
PCR real-time kuantitatif) pada semua fase penyakit dan pada semua tanda/gejala
PR yang dirasakan pasien. Seperti pada PR klasik5 PR relaps13, pada sebagian
besar pasien dengan PR persisten, penyakit dimulai dengan HP (75%). Gejala
sistemik (sulit berkonsentrasi dan kelelahan)sesuai dengan reaktivasi sistemik
HHV-6/7. Lesi oral, menyerupai bintik Nagayama dapat ditemukan pada infeksi
26
HHV-6 primer , juga lebih sering terjadi pada penyakit ini dari pada pada
CPR27, serta ditemukan tanda infeksi aktif lebih lanjut28. Selain itu, tingkat
viremia plasma lebih tinggi pada PR persisten daripada pada CPR14. Selama
2 tahun terakhir, kami merawat 5 pasien dengan PR persisten dengan diberikan
terapi berupa asiklovir dosis tinggi (800 mg, 5 kali sehari selama 10 hari),
setelah 4 minggu terjadi perbaikan lesi kulit, perbaikan gejala sistemik, dan
penurunan viral load serum yang signifikan.

5. PR Pada Anak-Anak
PR pada anak-anak dapat dianggap sebagai bentuk yang berbeda karena
gejala klinis dan laboratorium yang khas. Penyakit ini jarang terjadi pada anak-
anak berusia di bawah 10 tahun15, 29, dan prevalensi PR pada anak-anak sekitar
8% pada orang Kaukasia10,15 dan lebih banyak ditemukan pada anak berkulit
gelap (26%) di mana sering ditemukan pada wajah dan kulit kepala (30% banding

8
8% pada pasien Kaukasia). Juga dapat ditemukan lesi papular dan
hiperpigmentasi10,29. Perbandingan HP yang terjadi pada anak-anak dan orang
dewasa (50 vs 58%)5,10,15, namun selang waktu antara HP dan erupsi kulit lebih
pendek (4 hari vs 2 minggu). Durasi exanthema juga lebih pendek (16 vs 45 hari
pada orang dewasa)15. Lesi Oropharyngeal lebih sering terjadi pada orang dewasa
(35 vs 16% pasien Kaukasia26 dan 9% pasien berkulit gelap29). Sebaliknya,
prevalensi gejala sistemik pada orang dewasa dan anak-anak
(48%15 vs 69%)5. Seperti pada orang dewasa, titer antibodi IgG tinggi dan viremia
plasma HHV-6/7 menunjukkan reaktivasi virus daripada infeksi primer. Selain
itu, viremia plasma HHV-6/7, baik selama fase akut dan setelah pemulihan, lebih
tinggi pada anak-anak daripada pada orang dewasa15. Mengingat bahwa infeksi
HHV-6/7 primer terjadi paling sering pada usia di bawah 3 tahun. Pengobatan
dengan obat antiviral tidak disarankan, mengingat durasi ruam lebih singkat.

6. PR Pada Kehamilan

PR dilaporkan lebih sering terjadi pada orang yang hamil dari pada yang
tidak hamil (18 vs 6%) [30]. Karena pada saat kehamilan, keadaan respons imun
berubah, lebih berisiko terjadi reaktivasi virus dan transmisi intrauterine
HHV-6/7. Sebelumnya kami telah mengamati 61 wanita yang menderita PR
selama kehamilan, kami menemukan 22 pasien (36%) mengalami beberapa
masalah selama kehamilan, dan 8 mengalami keguguran (13%)31,32. Pasien
dengan kehamilan normal biasanya memiliki CPR, sedangkan semua wanita yang
mengalami keguguran mengalami gejala atipikal dengan lesi kulit yang meluas,
durasi penyakit 8-12 minggu, dan terdapat gejala konstitusional berat (kelelahan,
sakit kepala, tidak dapat berkonsentrasi, insomnia, dan kehilangan selera
makan).Setelah diteliti, Tak satu pun dari wanita yang mengalami keguguran
tersebut tidak memiliki faktor risiko PR, serta penyakit ini tidak menyebabkan
kematian janin intrauterine. Semua pasien tersebut bertindak sebagai carrier atau
membawa DNA HHV-6 di plasma, plasenta, lesi PR, dan jaringan janin,
sedangkan di antara 5 pasien dengan masalah perinatal hanya 1 yang bertindak

9
sebagai carrier atau pembawa DNA HHV-6 di plasma, PR lesi, dan plasenta; Pada
pasien dengan kehamilan normal hanya terdapat 2 carrier DNA HHV-6 di plasma
dantidak ada di plasenta, DNA HHV-7 terdeteksi pada lesi plasma dan PR pada 3
wanita yang mengalami keguguranjuga pada pasien dengan kehamilan normal (3
kasus di plasma dan 2 di lesi PR). Secara keseluruhan, tingkat aborsi pada wanita
denganPR sama dengan pada populasi umum (13%), namun perlu dicatat bahwa
ketika PR timbul padausia kehamilan kurang daari 15 minggu, menyebabkan
tingkat aborsi menjadi ebih tinggi (57%), mungkin hal tersebut disebabkan oleh
risiko penularan HHV-6 (intrauterineatau HHV-7) meningkat. Oleh karena itu,
pada pasien tersebut, terutama pada pasien dengan PR agresif, maka harus
dilakukan skrining DNA HHV-6 pada plasma31,32.

7. PR-Like Eruptions
PR-Like Eruptions adalah ruam kulit akibat obat dengan ciri klinis yang
sangat menyerupai PR dan seringkali sulit dibedakan antara keduanya. Baru-baru
ini, telah ditetapkan kriteria untuk membedakan kedua bentuk penyakit
tersebut12,33. Pada PR-like eruptions, lesi eritematopapular lebih konfluen dan rasa
gatal yang lebih hebat daripada CPR, PR-like eruptions juga biasanya mengenai
anggota badan yang lebih luas, dan dalam beberapa kasus ditemukan di wajah
(tempat yang yang jarang ditemukan pada CPR). Tidak ditemukan gejala
prodromal. Pada pemeriksaan laboratorium pada pasien denganPR like erupstions
sering ditemukan eosinofilia dalam darah, DNA HHV-6/7 dalam plasma dan sel
darah mononuklear perifer biasanya negatif.Berbeda dengan CPR, pada
pemeriksaan histopatologi ditemukan keratinosit nekrotik di dalam epidermis,
dermal eusinofil infiltrat, infiltrasi perivaskular, dan tanda degenerasi vakuolar
junctional. Pasien dengan PR like eruptions cepat sembuh setelah menghentikan
obat. Oleh karena itu, manifestasi klinis dan pemeriksaan histopatologis dapat
membantu membedakan PR klasik dengan PR like eruptions.Banyak obat dapat
menyebabkan PR like eruptions sepertimetafromazin, kaptopril, klonidin,
metronidazol, D-penicillamine, isotretinoin, levamisol, pyribenzamine, obat

10
antiinflamasi nonsteroid, omeprazol, terbinafin, ergotamin tartrat, inhibitor tirosin
kinase, dan agen biological (adalimumab)5. PR like eruptions juga dapat terjadi
setelah vaksinasidifteri, cacar, pneumokokus, virus hepatitis B, BCG, dan human
papillomavirus5,34. Terdapat satu hal yang dapat membedakan antara PR klasik
dan PR like eruptionsyaitupenggunaan obat tertentu, hal ini sangat penting karena
PR dapat timbul selama dan setelah penggunaan obat tertentu. Dalam kasus
seperti ini, obat (jika sangat diperlukan untuk kesehatan pasien) dapat dilanjutkan
dengan hati-hati, sedangkan pada kasus PR like eruptions lebih baik
menghentikan obat dengan segera, agar tidak terjadi reaksi obat yang lebih
berbahaya5,12,33.

DISKUSI
Meskipun jarang, PR dapat muncul dengan bentuk morfologi lesi yang
berbeda serta dengan tingkat keparahan gejala yang berbeda.Upaya untuk
mengklasifikasikan PR ini telah dilakukan sebaik mungkin 1924 [16]. Baru-baru
ini, Chuh dkk.11 mengusulkan klasifikasi lain berdasarkan bentuk atipikal
penyakit ini yaitu dengan mempertimbangkan morfologi, ukuran, jumlah,
distribusi, lokasi, tingkat keparahan gejala, dan perjalanan penyakit. Secara
keseluruhan, klasifikasi tersebut didasarkanpada morfologi lesi, distribusi lesi dan
tingkat keparahan gejala. Sebaliknya, sistem klasifikasi yang kami usulkan yaitu
berdasarkan manifestasi klinis PR dan mekanisme patogenetik yang mendasari
berbagai bentuk lesi, serta perubahan modalitas HHV-6 dan/atau HHV-7 yang
lain. Kami pada dasarnya membagi PR menjadi PR pada orang dewasa (PR
klasik, kambuh, persisten, dan kehamilan) dan PR pada anak-anak. PR like
eruptions dianggap sebagai bentuk yang berbeda (gbr.1).

11
Axis 1 - gejala prodromal dan HP

Gejala prodromal - muncul (coryza, demam, nyeri otot generalisata,


kelelahan, malaise, artralgia, gejala gastrointestinal); sementara / nyaris
tidak ada; riwayat gejala tersebut tidak ada pada pasien

HP - tidak ada;; tunggal; multipel; gigantic; HP hanya bermanifestasi;


Penyakit ini tidak berkembang melampaui HP

Axis 2 - jumlah dan distribusi lesi

Jumlah - beberapa lesi (kurang dari 5, oligo-lesional); banyak lesi;


suberythrodermic; eritroderma pada PR

Distribusi - unilateral; terlokalisasi; regional; mukosa (terutama pada mulut


danalat kelamin); acral; PR inversus (PR melibatkan banyak tempat); bahu
dan pinggul (limb-girdle PR); lesi yang lebih sedikit namun lebih besar,
terlokalisasi pada aksila dan groin (pityriasis circinata et marginata of CPR
Vidal);aktinik (photo-distributed); photo-spared (erupsi
tipikal
Axis 3 - ukuran, morfologi, dan orientasi lesi dan
atipikal)
Ukuran – gigantic (PR gigantea dari Darier) vs miniatur

Morfologi - papular; papulosquamous; papulovesicular; vesikular;


lichenoid; urtikaria; like-EM; punctuate/purpura/hemorrhagic; folikular

Orientasi - khas, yaitu garis-garis lipatan kulit (garis langer); atipikal,


lipatan kulit: tersebar; Blaschkoid (sepanjang garis Blaschko); segmental
(dermatom)
Axis 4 - gejala dan durasi klinis

Gejala –pruritus hebat (PR irritata); sedikit pruritus; cukup


pruritus;nonpruritic/asimtomatik
Durasi klinis - sangat pendek (kurang dari 2 minggu); sangat lama (lebih
dari 6 bulan)
PR rekuren

Axis 5 - variasi morfologis berdasarkan musim, psoriasiform di musim


panas; crusted/haemalis di musim dingin

PR rekuren PR pada anak-anak PR persisten

PR pada kehamilan PR like eruptions

12
Gambar 1. Perbandingan klasifikasi PR sebelumnya (main body) dan sistem
klasifikasi (panah dan panel).CPR, pada erupsi khas dan atipikalnya, mencakup
semua varian morfologis dari klasifikasi sebelumnya. Dari penyakit ini, kami
mengenalkan PR persisten dan recuren. PR pada anak biasanya berlangsung
sekitar 12 hari (short course). PR dalam kehamilan dan PR like eruptions tidak
sesuai dengan varian exanthem. PR pada kehamilan mungkin merupakan CPR.

Pada PR klasik dewasa (PRPR), reaktivasi sistemik HHV-6/7, berkaitan


dengan penggunaan obat-obatan, atau gangguan psikologis/fisik lainnya, yang
dapat menyebabkan erupsi kulit khas yaitu berlangsung selama sekitar 45 hari,
lesi pada mukosa, dan gejala konstitusional.PR exanthems dengan morfologi
atipikal, ukuran, atau distribusi lesi dapat dianggap sebagai varian atipikal CPR
baik secara patogenesis dan manifestasi klinis5. Perbandingan klasifikasi baru kita
ini dengan klasifikasi yang sebelumnya yang hanya berdasarkan bentuk PR
atipikal11, terdapat bagian yang sama diantara keduanyayaitu klasifikasi yang
didasarkan pada morfologi dan distribusi lesi, tetapi terdapat beberapa aspek yang
telah kita sertakan pada CPR (erupsi khas dan atipikal;gbr.1). Klasifikasi PR yang
terbaru didasarkan pada gejala prodromal, fitur HP, jumlah lesi sekunder, ukuran
dan orientasi, manifestasi klinis PR, dan perbedaan musim22. Perbandingan
klasifikasi ini dengan klasifikasi kita, terdapat kesamaan yaitu berdasarkan
manifestasi klinis: kita juga mempertimbangkan manifestasi klasik penyakit ini,
tingkat kekambuhan, atau berdasarkan durasi exanthem.

Pada klasifikasi kami, berbagai manifestasi HP dan lesi sekunder telah


dimasukkan ke dalam CPR sebagai varian morfologi, dan variasi musim belum
diperhitungkan karena dalam pengalaman kami PR terjadi sepanjang tahun pada
semua musim5.

Episode relaps dari PR sesuai dengan relaps pada reaktivasi sistemik


HHV-6/7, terjadi dalam kurun waktu yang singkat dan berlanjut sampai sistem
kekebalan tubuh kembali dapat melawan replikasi virus. Meskipun demikian,
sistem kekebalan tubuh tidak sepenuhnya tidak efektif. Ukuran dan jumlah lesi

13
berkurang dibandingkan episode primer, durasi lesi juga menjadi lebih pendek,
dan gejala konstitusional yang timbul juga kurang parah. Pada PR persisten,
persistensi viremia HHV-6/7 plasma dapat meningkat selama erupsi kulit yaitu
selama lebih dari 12 minggu serta terjadi keterlibatan mukosa dan gejala sistemik
yang lebih berat dibandingkan dengan CPR14. PR pada anak benar-benar dianggap
sebagai bentuk yang berbeda dibandingkan dengan CPR. Sebenarnya, hal ini
berbeda dari patogenesis, manifestasi klinis dan laboratorium. Durasi erupsi kulit
lebih pendek dibandingkan dengan PR pada orang dewasa serta viremia HHV-6/7
juga lebih pendek. Sebaliknya, pada anak-anak, rata-rata viral load HHV-6/7 tetap
ada bahkan setelah masa penyembuhan. Selain itu, baik selama fase akut dan
setelah resolusi, viremia plasma jauh lebih tinggi pada anak-anak daripada pada
orang dewasa15, hal mungkin disebabkan olehinfeksi HHV-6/7 primer dan karena
aktivitas virus masih intensif. PR pada kehamilan dapat dimasukkan ke dalam
CPR, lesi kulit yang luas, durasi lesi yang lama, dan gejala konstitusional yang
parah. Bentuk atipikal ini memerlukan tindakan lanjut yang lebih cepat karena
dapat terjadi pengaktifan kembali virus di dalam plasma, dan HHV-6
akan bertransmisi ke dalam intrauterine dan bahkan dapat menyebabkan kematian
janin, terutama jika PR timbul pada usia kehamilan 15 minggu31,32. PR like
eruptions bukanlah bentuk PR yang benar, karena memiliki patogenesis jauh
berbeda dari bentuk yang telah dijelaskan sebelumnya. Sebenarnya, penyakit ini
tidak berkaitan dengan reaktivasi HHV-6/7 sistemik namun merupakan reaksi
terhadap obat yang bermanifestasi menyerupai lesi pada PR5,12,33. Kesimpulan,
klasifikasi yang kami usulkan yaitu dengan mempertimbangkan patogenesis,
gambaran klinis, dan perjalan penyakit. Dalam praktik klinis, dapat sangat
membantu dalam mengidentifikasi bentuk-bentuk PR yang berbeda dari CPR,
tidak hanya morfologi lesi saja, aspek yang telah dipertimbangkan dalam sistem
klasifikasi sebelumnya, tetapi juga perjalanan klinis penyakit untuk menghindari
kesalahan diagnosa dan menetapkan pilihan pengobatan terbaik. Klasifikasi ini
diindikasi untuk mengelola PR yang berpotensi membahayakan (seperti PR dalam
kehamilan) dan PR like eruptions.

14
DAFTAR PUSTAKA

1. Drago F, Ranieri E, Malaguti F, Losi E, ReboraA: Human herpesvirus 7 in


pityriasis rosea.Lancet 1997; 349: 1367–1368.
2. Drago F, Ranieri E, Malaguti F, BattifoglioML, Losi E, Rebora A: Human
herpesvirus 7in patients with pityriasis rosea. Electron
microscopyinvestigations and polymerasechain reaction in mononuclear
cells, plasmaand skin. Dermatology 1997; 195: 374–378.
3. Watanabe T, Nakamura K, Jacob SE, AquilinoEA, Orestein JM, Black JB,
Blauvelt A: Pityriasisrosea is associated with systemic activeinfection with
both human herpesvirus-7 andhuman herpesvirus-6. J Invest
Dermatol2002; 119: 793–797.
4. Broccolo F, Drago F, Careddu AM, FoglieniC, Turbino L, Cocuzza CE,
Gelmetti C, LussoP, Rebora A, Malnati MS: Additional evidencethat
pityriasis rosea is associated withreactivation of human herpesvirus-6 and
-7. JInvest Dermatol 2005; 124: 1234–1240.
5. Drago F, Broccolo F, Rebora A: Pityriasis rosea:an update with a critical
appraisal of itspossible herpesviral etiology. J Am Acad Dermatol2009;
61: 303–318.
6. Tay YK, Goh CL: One-year review of pityriasisrosea at the National Skin
Centre, Singapore.Ann Acad Med Singapore 1999; 28: 829–831.
7. Chuang TY, Ilstrup DM, Perry HO, KurlandLT: Pityriasis rosea in
Rochester, Minnesota:1969 to 1978. J Am Acad Dermatol 1982; 7:80–89.
8. Harman M, Aytekin S, Akdeniz S, Inaloz HS:An epidemiological study of
pityriasis roseain the Eastern Anatolia. Eur J Epidemiol 1998;14: 495–497.
9. Chuh AA, Dofitas BL, Comisel GG, Reveiz L,Sharma V, Garner SE, et al:
Interventions forpityriasis rosea. Cochrane Database Syst Rev2007;
2:CD005068.
10. Bjornberg A, Hellgren L: Pityriasis rosea. Astatistical, clinical, and
laboratory investigationof 826 patients and matched healthy controls.Acta
Derm Venereol Suppl (Stockh)1962; 42(suppl 50):1–68.

15
11. Chuh A, Zawar V, Lee A: Atypical presentationsof pityriasis rosea: case
presentations. JEur Acad Dermatol Venereol 2005; 19: 120–126.
12. Drago F, Ciccarese G, Rebora A, Parodi A:Pityriasis rosea and pityriasis
rosea-like eruption:can they be distinguished? J Dermatol2014; 41: 864–
865.
13. Drago F, Ciccarese G, Rebora A, Parodi A: Relapsingpityriasis rosea.
Dermatology 2014;229: 316–318.
14. Drago F, Broccolo F, Ciccarese G, Rebora A,Parodi A: Persistent
pityriasis rosea: an unusualform of pityriasis rosea with persistentactive
HHV-6 and HHV-7 infection. Dermatology2015; 230: 23–26.
15. Drago F, Ciccarese G, Broccolo F, Cozzani E,Parodi A: Pityriasis rosea in
children: clinicalfeatures and laboratory investigations. Dermatology2015;
231: 9–14.
16. Klauder JV: Pityriasis rosea with particularreference to its unusual
manifestations.JAMA 1924; 82: 178–183.
17. Percival GH: Pityriasis rosea. Br J Dermatol1932; 44: 241–253.
18. Drago F, Vecchio F, Rebora A: Use of highdoseacyclovir in pityriasis
rosea. J Am AcadDermatol 2006; 54: 82–85.
19. Gibney MD, Leonardi CL: Acute papulosquamouseruption of the
extremities demonstratingan isomorphic response. Inverse pityriasisrosea
(PR). Arch Dermatol 1997; 133: 654.
20. Zawar V, Godse K: Annular groin eruptions:pityriasis rosea of Vidal. Int J
Dermatol 2011;50: 195–197.
21. Eslick GD: Atypical pityriasis rosea or psoriasisguttata? Early examination
is the key to acorrect diagnosis. Int J Dermatol 2002; 41:788–791.
22. Zawar V, Chuh A: Follicular pityriasis rosea.A case report and a new
classification of clinicalvariants of the disease. J Dermatol CaseRep 2012;
6: 36–39.
23. Halkier-Sørensen L: Recurrent pityriasis rosea.New episodes every year
for five years. Acase report. Acta Derm Venereol 1990; 70:179–180.

16
24. Zawar V, Kumar R: Multiple recurrences ofpityriasis rosea of Vidal: a
novel presentation.Clin Exp Dermatol 2009; 34:e114–e116.
25. Dunmire SK, Hogquist KA, Balfour HH: Infectiousmononucleosis. Curr
Top MicrobiolImmunol 2015; 390: 211–240.
26. Hall CB, Long CE, Schnabel KC, Caserta MT,McIntyre KM, Costanzo
MA, Knott A, DewhurstS, Insel RA, Epstein LG: Human herpesvirus-6
infection in children. A prospectivestudy of complications and
reactivation.N Engl J Med 1994; 331: 432–438.
27. Vidimos AT, Camisa C: Tongue and cheek:oral lesions in pityriasis rosea.
Cutis 1992; 50:276–280.
28. Asano Y, Yoshikawa T, Suga S, Kobayashi I,Nakashima T, Yazaki T,
Kajita Y, Ozaki T: Clinicalfeatures of infants with primary
humanherpesvirus 6 infection (exanthem subitum, roseolainfantum).
Pediatrics 1994; 93: 104–108.
29. Jacyk WK: Pityriasis rosea in Nigerians. Int JDermatol 1980; 19: 397–399.
30. Corson EF, Luscombe HA: Coincidence withpityriasis rosea with
pregnancy. AMA ArchDerm Syphilol 1950; 62: 562–564.
31. Drago F, Broccolo F, Zaccaria E, Malnati M,Cocuzza C, Lusso P, Rebora
A: Pregnancyoutcome in patients with pityriasis rosea. JAm Acad
Dermatol 2008; 58:S78–S83.
32. Drago F, Broccolo F, Javor S, Drago F, ReboraA, Parodi A: Evidence of
human herpesvirus-6 and -7 reactivation in miscarryingwomen with
pityriasis rosea. J Am Acad Dermatol2014; 71: 198–199.\
33. Drago F, Broccolo F, Agnoletti A, Drago F,Rebora A, Parodi A: Pityriasis
rosea and pityriasisrosea-like eruptions. J Am Acad Dermatol2014; 70:
196.
34. Drago F, Ciccarese G, Javor S, Parodi A: Vaccine-induced pityriasis rosea
and pityriasisrosea-like eruptions: a review of the literature.J Eur Acad
Dermatol Venereol 2016; 30: 544–545

17

Anda mungkin juga menyukai