Anda di halaman 1dari 46

1

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Negara maritim dengan kepulauan terbesar di dunia adalah Indonesia
dimana negara Indonesia memiliki jumlah pulau yang mencapai 17.508 pulau
dan luas wilayah lautnya sekitar 3,1 juta km 2. Dengan luas wilayah lautnya
tersebut menjadikan Indonesia sebagai wilayah dengan kekayaan laut dan
memiliki keanekaragaman hayati laut terbesar di dunia. Kekayaan yang sangat
mendominasi wilayah laut Indonesia salah satunya adalah ekosistem terumbu
karang. Terumbu karang merupakan ekosistem khas daerah tropis dengan
pusat penyebaran di wilayah Indo-Pasifik. Diperkirakan luas terumbu karang
yang terdapat di perairan Indonesia adalah lebih dari 60.000 km2, yang
tersebar luas dari perairan Kawasan Barat Indonesia sampai Kawasan Timur
Indonesia.(Walters, 1994 dalam Suharsono, 1998).
Kabupaten Tapanuli Tengah adalah salah satu dari 33 kabupaten / kota di
Provinsi Sumatera Utara, yang wilayahnya berada di Kawasan Pantai Barat
Provinsi Sumatera Utara. Kondisi geografis Kabupaten Tapanuli Tengah
berada pada posisi koordinat 1°11’00” - 2°22’0” Lintang Utara dan 98°07’ -
98°12’ Bujur Timur dengan luas wilayah 6.194,98 km² meliputi 2.194,98 km²
luas daratan dan 4.000 km² luas laut. Sebagian besar wilayah administrasi
Kabupaten Tapanuli Tengah berada di Pulau Sumatera dan sebagian lagi
merupakan 31 (tiga puluh satu) pulau-pulau kecil, dengan pulau yang terbesar
adalah Pulau Mursala dengan luas ± 8.000 Ha. ( BPS Kabupaten Tapanuli
Tengah, 2014 ).
Kecamatan Andam Dewi merupakan salah satu kecamatan yang terdapat
di Kabupaten Tapanuli Tengah yang terletak pada koordinat antara Lintang
Utara 23 20’ - 34 55’ dan Bujur Timur 65 58’ - 76 36’. Kecamatan Andam
Dewi terletak pada daerah dengan ketinggian 0 – 3 meter diatas permukaan

laut. Dengan luas wilayah 122,42 dan berbatasan dengan sebelah Utara

Kabupaten Humbahas, sebelah Selatan Samudera Indonesia/ Kecamatan


Barus, sebelah Barat Kecamatan Sirandorung, dan sebelah Timur Kecamatan
Barus/ Kecamatan Barus Utara. ( BPS Andam Dewi, 2012 ).
Menurut hasil penelitian sebelumnya ( Rahmatsyah, dkk, 2015), tentang
tingkat pertumbuhan karang yang terancam di daerah Tapanuli Tengah akibat
bencana alam serta bleaching menjelaskan hasil analisis porites terumbu
2

karang pada tahun 1997-2012 menunjukkan bahwa partikel dibentuk


didominasi oleh aragonit dari CaCO3 sekitar 99.67% dengan sistem kristal
orthorhombik dan porositas dengan kisaran 55% - 60%, serta tingkat
pertumbuhan karang porites terjadi secara alamiah yang dipengaruhi oleh
gempa bumi, udara dan suhu permukaan air laut, intensitas curah hujan, dan
radiasi matahari dengan rata-rata pertumbuhan karang tingkat 9,1 mm/tahun,
dan pengaruh paling dominan yang disebabkan oleh gempa bumi di tahun
2005 dengan berkekuatan 6,8 skala Richter yang menyebabkan penurunan
tingkat pertumbuhan hingga 29%, lebih serta pengaruh suhu permukaan udara
dan laut yang meningkat pada tahun 1998 yaitu 0.9 °C dan menyebabkan
pertumbuhan terumbu karang mengalami tingkat penurunan 10.5%.
Jadi dalam penjelasan penelitian sebelumnya, ada Banyak faktor Natural
Causses yang mempengaruhi pemutihan terumbu karang, yang sudah di
jelaskan diantaranya adalah gempa bumi, udara dan suhu permukaan air laut,
intensitas curah hujan, dan radiasi matahari. Peneliti mengambil satu
parameter yang dapat merubah warna karang pada keadaan normalnya, atau di
sebut Coral Bleaching (Pemutihan Karang). Terumbu karang sangat sensitif
dan rentan terhadap kenaikan Sea Surface Temperature (SST) atau suhu
permukaan laut dari suhu normalnya (27 ° C). Bukti kejadian Pemutihan di
daerah Taman Laut mafia di tanzania dari juli 2015 hingga Maret 2016
menunjukkan bahwa karang hidup adalah 98,53% pada Juli 2015 dan
menurun menjadi 16% pada April - Mei 2016. Persentase tinggi dari seluruh
karang yang memutih tercatat dari Maret hingga Mei 2016, hasilnya
menunjukkan bahwa 43% insiden pemutihan karang mulai ter-amati dari
Agustus (31,9%) dalam tren yang meningkat hingga Mei 2016, Kenaikan SST
tidak hanya mempengaruhi terumbu karang tetapi juga produksi perikanan.
Suhu permukaan laut di Mafia telah meningkat sebesar 0,56 ° C sejak tahun
2001 hingga 2016. (Sebastian, 2018).

Suhu Permukaan Laut dapat mengalami perubahan, hal ini di karenakan


oleh adanya siklus ekosistem yang semakin sulit untuk di antisipasi setiap
tahunnya. Para ilmuan NASA atau (National Aeronautics and Space
Administration) mempercayai bahwa suhu malam hari di setiap benua di bumi
mengalami peningkatan. selain itu, mereka juga percaya ini tidak ada
hubungannya dengan matahari akan tetapi ada keterkaitannya dengan efek
rumah kaca/gas rumah kaca yang menahan panas di bumi (Casper. JK , 2010).
3

Suhu Pemukaan Air Laut Meningkat dan Perubahan Iklim dapat mempercepat
terumbu karang secara global. Prof . Ove Hoegk – Gulberg, ahli terumbu
karang dunia dari Queenland University Australia yang menyatakan, bila
manusia tetap menghasilkan gas emisi karbon seperti saat ini (Desember
2009), tanpa ada usaha pengurangan, maka 40 tahun kemudian (± tahun 2040)
dunia akan kehilangan lebih dari 50% terumbu karang (Sodiq.M, 2013) Hal
ini salah satu dari Anthropogenic Causses.
Sebelumnya telah di lakukan penelitian untuk Mengembangkan
Pemanfaatan citra landsat-8 TIRS dalam melakukan Pemetaan Pemantauan
kenaikan suhu termal di suatu daerah. Dengan Data Pengindraan jauh akan
mudah diolah jika kemajuan teknologi & algoritmanya, pengolahan data
spasial yang semakin berkembang secara terus menerus. algoritma split
window digunakan untuk mengambil data SST (sea surface temperature) atau
suhu permukaan laut. Di dalam penelitian sebelumnya SST menjadi salah satu
faktor penting dalam perubahan salinitas air, zonasi penangkapan ikan,
kenaikan suhu permukaan laut, upwelling, pusaran & prediksi topan. Selain
itu, SW (split window) memiliki dua keunggulan utama dibandingkan dengan
metode lain. Pertama, metode ini tidak memerlukan profil atmosfer yang
akurat. Kedua, metode ini memiliki kinerja tinggi untuk semua sensor dengan
setidaknya dua band termal (TIRS). Dalam studi ini, peneliti menyelidiki
metode split window untuk citra Landsat-8 karena merupakan satelit pertama
dari seri Landsat dengan resolusi tinggi yang memiliki dua band termal
(Bayat.F, 2016).

(Bruno, 2007) Kematian karang massal, dan banyak ahli ekologi karang
curiga bahwa suhu lautan yang tinggi secara anomali berkontribusi pada
meningkatnya insiden dan tingkat keparahan wabah penyakit coral bleaching.
Hipotesis ini didukung oleh pengamatan lokal misalnya, bahwa beberapa
penyakit karang menjadi lebih umum di musim panas tetapi belum pernah
diuji pada skala spasial besar atau dalam periode yang relatif lama.
Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik melakukan penelitian
mengenai Pembuktian Analisis pengaruh suhu permukaan air laut terhadap
memutihnya terumbu karang dengan landsat-8 TIRS menggunakan algoritma
split window, data BMKG sebagai data pembanding suhu permukaan air laut
yang sudah ada dengan data landsat-8 TIRS yang di olah menjadi data grafik,
4

Hal ini di karenakan bahwa perubahan suhu permukaan laut bisa saja
membuat terjadinya proses memutihnya terumbu karang akan tetapi terkadang
pengamatan satelite tidak sesuai dengan pengamatan In-situ (hal ini di
karenakan bahwa terumbu karang bisa saja melakukan adaptasi dengan adanya
perubahan iklim). Peneliti Mengambil Parameter Suhu permukaan air laut di
karenakan jika suhu permukaan air laut meningkat secara ekstrim akan
mempengaruhi Arus, Pasang surut, Angin dan bahkan Perubahan Garis Pantai
atau (dst, faktor Perubahan iklim di suatu daerah). Dengan judul :
Pemantauan Suhu Permukaan Air Laut dengan Menggunakan Landsat-8
TIRS Terhadap Stres Termal Terumbu Karang Di Perairan Tapanuli
Tengah Sitiris-Tiris.

1.2 Batasan Masalah


Berdasarkan latar belakang masalah yang di kemukaan diatas maka
peneliti membatasi permasalahan pada penelitian yaitu :
1. Peneliti Melakukan Penelitiannya dengan menggunakan Landsat-8
TIRS, di dalam Penelitian itu Peneliti ingin Mengamati Suhu
Permukaan air Laut pada Tahun 2016, 2017 dan 2018 Dengan
Bantuan Algoritma Split Window.
2. Data dari Hasil pengamatan menggunakan landsat 8 akan di
bandingkan dengan data suhu Permukaan air laut dari hasil penelitian
BMKG pada Tahun 2016, 2017 dan 2018.
3. Hasil dari Perbandingan data Akan di gunakan Untuk Mengamati
Anomaly dan Perubahan Suhu di masa yang akan datang yaitu pada
tahun 2020.

1.3 Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian yang telah di kemukaan dalam batasan masalah
diatas maka dapat di rumuskan masalah dalam penelitian ini sebagai
berikut :
1. Bagaimana Hasil Pengujian algoritma split window terhadap perubahan
suhu permukaan laut setelah terjadinya pemutihan karang massal pada
tahun 2016.
2. Mengetahui Perbandingan data BMKG dengan data landsat-8 TIRS dalam
3 tahun terakhir (pada tahun 2016, 2017 dan 2018) saat setelah data
Landsat-TIRS di estimasi dengan algoritma split window .
3. Mengetahui Sebaran Terumbu Karang Pada 3 Tahun Sebelumnya dari
tahun 2016 sampai 2018 dan Perbandingan sebaran Terumbu Karang pada
saat Pengamatan dalam Penelitian.
5

4. Bagaimana anomaly Suhu permukaan air laut pada Tahun 2020.

1.4 Tujuan
Sesuai dengan rumusan masalah maka tujuan peneliti dapat dirumuskan
sebagai :
1. Bagaimana Perbandingan data BMKG dengan data landsat-8 TIRS dalam
3 tahun terakhir (pada tahun 2016, 2017 dan 2018) saat setelah data
Landsat-TIRS di estimasi dengan algoritma split window.
2. Bagaimana Sebaran Terumbu Karang Pada 3 Tahun Sebelumnya dari
tahun 2016 sampai 2018 dan Perbandingan sebaran Terumbu Karang pada
saat Pengamatan dalam Penelitian.
3. Bagaimana anomaly Suhu permukaan air laut pada Tahun 2020.

1.5 Manfaat
Dengan melakukan penelitian ini, maka di harapkan dapat memberikan
manfaat sebagai berikut :
1. Sebagai bagian dalam membantu lembaga yang bergerak pada ilmu
kelautan di indonesia untuk mengantisipasi daerah Pesisir dari dampak
Natural Causses
2. Sebagai bahan referansi dan acuan bagi peneliti berikutnya yang relevan
dengan topik penelitian
3. Sebagai Pengujian dan perbandingan data suhu permukaan air laut pada
tahun 2016 sampai 2018 algoritma split window.
4. Sebagai Data Pembanding Tutupan Terumbu Karang Akibat Stress Termal
pada 3 tahun terakhir dan Antisipasi Anomaly suhu Permukaan air laut
terhadap terumbu Karang Pada tahun 2020.
6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sistem Informasi Geografis (SIG)


2.1.1 Definisi Sistem Informasi Geografis
Sistem Informasi Geografis atau disingkat SIG dalam bahasa Inggris
Geographic Information System (disingkat GIS). SIG dapat diartikan
sebagai :”suatu komponen yang terdiri dari perangkat keras, perangkat lunak, data
geografis dan sumberdaya manusia yang bekerja bersama secaraefektif untuk
menangkap, menyimpan, memperbaiki, memperbaharui, mengelola,
memanipulasi, mengintegrasikan, menganalisa, danmenampilkan data dalam suatu
informasi berbasis geografis” (Tim SIG PT. Geomatik-Konsultan, 2010).
Sistem Informasi Geografis merupakan sistem informasi khusus yang
mengelola data yang memiliki informasi spasial (bereferensi keruangan). Secara
singkatnya adalah sistem komputer yang memiliki kemampuan untuk
membangun, menyimpan, mengelola dan menampilkan informasi berefrensi
geografis atau data geospasial untuk mendukung penyelesaian dalam perencanaan
dan pengelolaan suatu wilayah, misalnya data yang diidentifikasi menurut
lokasinya, dalam sebuah database. Sumber daya manusia juga dimasukkan
sebagai orang yang membangun dan mengoperasikannya dan data sebagai bagian
dari sistem ini (Adam, 2008).

2.1.2 Komponen – Komponen Sistem Informasi Geografis (SIG)


Sistem Informasi Geografis memiliki komponen-komponen sebagai berikut
(Ariawan, 2010):
1. Hardware
Sistem Informasi Geografis membutuhkan komputer untuk penyimpanan dan
pemprosesan data. Ukuran dari sistem komputerisasi bergantung pada tipe SIG itu
sendiri.

2. Software
Sebuah software Sistem Informasi Geografis haruslah menyediakan fungsi dan
tool yang mampu melakukan penyimpanan data, analisis dan menampilkan
informasi geografis. Sebagai inti dari sistem SIG adalah software dari SIG itu
sendiri yang menyediakan fungsi-fungsi untuk penyimpanan, pengaturan, link,
query dan analisis data geografi.

3. Data
Data dalam SIG dibagi atas dua bentuk, yakni geographical atau data spasial, dan
atribut atau data non spasial.
a. Data spasial adalah data yang terdiri atas lokasi eksplisit suatu geografi yang
diset ke dalam bentuk koordinat. Sumber-sumber data spasial termasuk kertas
peta, diagram, dan scan suatu gambar atau bentuk digitalnya ke dalam sistem.
7

Secara fundamental, cara kerja SIG berdasarkan pada dua tipe model data
geografis, yaitu model data vektor dan model data raster.
1. Dalam model vektor, informasi posisi point, garis dan poligon disimpan
dalam bentuk koordinat x, y. Bentuk garis, seperti jalan dan sungai
dideskripsikan sebagai kumpulan dari koordinat-koordinat point. Bentuk
poligon, seperti daerah penjualan disimpan sebagai pengulangan koordinat
yang tertutup.
2. Data raster terdiri atas sekumpulan pixel, seperti peta hasil scanning
maupun gambar/image. Masing-masing pixel memiliki nilai tertentu yang
bergantung pada bagaimana image tersebut ditangkap atau digambarkan.
Sebagai contoh, pada sebuah image hasil penginderaan jarak jauh dari
sebuah satelit, masing-masing pixel direpresentasikan sebagai energi
cahaya yang dipantulkan dari posisi permukaan bumi.

b. Data atribut adalah gambaran data yang terdiri atas informasi yang relevan
terhadap suatu lokasi, seperti kedalaman, ketinggian, lokasi penjualan, dan
Iain-lain dan bisa dihubungkan dengan lokasi tertentu dengan maksud untuk
memberikan identifikasi, seperti alamat, kode pin, dan Iain-lain.

4. Metode
SIG didesain dan kembangkan untuk manajemen data yang akan mendukung
proses pengambilan keputusan organisasi. Pada beberapa organisasi penggunaan
SIG dapat dalam bentuk dan standar tersendiri untuk metode analisisnya. Jadi,
metodologi yang digunakan merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan
untuk beberapa proyek SIG.

5. Manusia
Pemakai SIG pun memiliki tingkatan tertentu, dari tingkatan spesialis teknis
yang mendesain dan memelihara sistem sampai pada pengguna yang
menggunakan SIG untuk menolong pekerjaan mereka sehari-hari.

2.1.3 Cara Kerja Sistem Informasi Geografis


Cara kerja sistem informasi geografis SIG dapat mempresentasikan dunia
nyata (real world) diatas monitor komputer sebagaimana lembaran peta dapat
mempresentasikan dunia nyata di atas kertas. Namun SIG memiliki kekuatan
lebih dan fleksibilitas daripada lembaran peta kertas. Peta merupakan representasi
grafis dari dunia nyata, obyek – obyek yang dipresentasikan diatas peta disebut
unsur peta atau map features, contoh : sungai, jembatan, gedung, jalan, dan
lainnya. Karena peta mengorganisasikan unsur – unsur berdasarkan lokasi –
lokasinya, maka peta sangat baik dalam memperlihatkan hubungan atau relasi
yang dimiliki oleh unsur – unsurnya (Ariawan, 2010).
SIG menghubungkan sekumpulan unsur – unsur peta dengan atribut –
atributnya di dalam satuan – satuan yang disebut layer. Sungai, bangunan, jalan,
laut, batas – batas administrasi, perkebunan dan hutan merupakan contoh – contoh
layer. Kumpulan dari layer ini akan membentuk suatu basisdata SIG. Dengan
demikian, perancangan basis data merupakan hal yang esensial di dalam SIG.
8

Rancangan basisdata akan menentukan efektifitas dan efisiensi proses – proses


masukan, pengelolaan dan keluaran SIG (Prasetyo, 2011).
Konsep dasar dari proses sistem informasi geografis (SIG) dapat dilihat pada
Gambar 2.1

Gambar 2.1. Layers, Tabel, dan Basisdata SIG


(Prahasta, 2009)

2.1.4 Manfaat Sistem Informasi Geografis


Sistem informasi geografis memiliki manfaat di berbagai bidang seperti:
1. Manajemen tata guna lahan
2. Inventarisasi Sumber daya alam
Manfaat SIG dalam data kekayaan sumber daya alamialah sebagai berikut :
a. Untuk mengetahui persebaran berbagai sumber daya alam, misalnya
minyak bumi, batubara, emas, dan barang tambang lainnya.
b. Untuk mengetahui persebaran kawasan lahan.
3. Pengawasan daerah bencana alam
Kemampuan SIG untuk pengawasan daerah bencana alam, misalnya:
a. Memantau luas wilayah bencana alam
b. Pencegahan terjadinya bencana alam pada masa datang
c. Menyusun rencana-rencana pembangunan kembali daerah bencana
4. Perencanaan wilayah dan kota
Kemampuan SIG dalam perencanaan wilayah dan kota seperti:
a. Untuk bidang sumber daya, seperti kesesuaian lahan pemukiman,
pertanian, perkebunan, tata guna lahan, pertambangan dan energi, analisis
daerah rawan bencana.
b. Untuk bidang perencanaan ruang, seperti perencanaan tata ruang wilayah,
perencanaan kawasan industri, pasar, kawasan permukiman penataan
sistem dan status pertahanan.
c. Untuk bidang manajemen atau sarana-prasarana suatu wilayah, seperti
manajemen sistem informasi jaringan air bersih, perencanaan dan
perluasan jaringan listrik.
d. Untuk bidang pariwisata, seperti inventarisasi pariwisata dan analisis
potensi pariwisata suatu daerah.
e. Untuk bidang transportasi, seperti inventarisasi jaringan transportasi
publik, kesesuaian rute alternatif, perencanaan perluasan sistem jaringan
jalan, analisis kawasan rawan kemacetan dan kecelakaaan.
9

f. Untuk bidang sosial dan budaya, seperti untuk mengetahui luas dan
persebaran penduduk suatu wilayah, mengetahui luas dan persebaran lahan
pertanian serta kemungkinan pola drainasenya, pendataan dan
pengembangan pusat – pusat pertumbuhan dan pembangunan pada suatu
kawasan, pendataan dan pengembangan pemukiman penduduk, kawasan
industri, sekolah, rumah sakit, sarana hiburan dan perkantoran (Adam,
2008).
Aplikasi SIG mempunyai keunggulan dalam hal pemrosesan data spasial
digital, sehingga output data yang diperoleh dari hasil analisa dapat lebih cepat
dan akurat.

2.2 Penginderaan Jauh


Penginderaan jauh atau inderaja (remote sensing) adalah seni dan ilmu untuk
mendapatkan informasi tentang obyek, area atau fenomena melalui analisa
terhadap data yang diperoleh dengan menggunakan alat tanpa kontak langsung
dengan obyek, daerah ataupun fenomena yang dikaji (Lillesand dan Kiefer,1979).
Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang
suatu objek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan
suatu alat tanpa kontak langsung dengan objek, daerah, atau fenomena yang dikaji
dan dilanjutkan dengan pengolahan, analisis, dan interpretasi terhadap data
tersebut (Trisakti, 2012).
Alat yang dimaksud dalam pengertian diatas adalah alat pengindera atau
sensor. Pada umumnya sensor dibawa oleh wahana baik berupa pesawat, balon
udara, satelit maupun jenis wahana yang lainnya. Hasil perekaman oleh alat yang
dibawa oleh suatu wahana ini selanjutnya disebut sebagai data penginderaan jauh.
Data yang diperoleh dari hasil penginderaan jauh berupa citra yang
menggambarkan objek yang mirip dengan wujud dan letaknya dipermukaan bumi
dalam liputan yang luas.
Penginderaan jauh terdiri atas 3 komponen utama yaitu obyek yang diindera,
sensor untuk merekam obyek dan gelombang elektronik yang dipantulkan atau
dipancarkan oleh permukaan bumi. Interaksi dari ketika komponen ini
menghasilkan data penginderaan jauh yang selanjutnya melalui proses interpretasi
dapat diketahui jenis obyek area ataupun fenomena yang ada (Howard, 1996).
Beberapa contoh manfaat dalam aplikasi penginderaan jauh adalah:
1. Identifikasi penutupan lahan (landcover)
2. Identifikasi dan monitoring pola perubahan lahan
3. Manajemen dan perencanaan wilayah
4. Manajemen sumber daya hutan
5. Eksplorasi mineral
6. Pertanian dan perkebunan
7. Manajemen sumber daya air
8. Manajemen sumber daya laut
Pengambilan data spasial sendiri dilapangan dapat menggunakan metode
trestrial survey atau metode ground base dan juga metode penginderaan jauh.
Kedua metode itu dapat dijelaskan sebagai berikut:
10

a. Metode ground based, merupakan metode pengambilan data secara langsung


dilapangan. Pengukuran dilakukan secara in-situ melalui kegiatan survey
lapangan.
b. Metoda penginderaan jauh (Remote Sensing), merupakan pengukuran dan
pengambilan data spasial berdasarkan perekaman sensor pada perangkat
kamera udara, scanner, atau radar. Contoh hasil perekaman yang dimaksud
adalah citra.
Bagan alur pengambilan data dengan metode penginderaan jauh dapat dilihat pada
Gambar 2.2

Metoda Remote Sensing

Kondisi
Permukaan Sensor Data Observasi dan Spatial
Bumi Citra Pengukuran database

Gambar 2.2. Bagan alur pengambilan data dengan metode penginderaan


jauh (Trisakti, 2012)

2.2.1 Prinsip Perekaman Sensor


Prinsip perekaman oleh sensor dalam pengambilan data melalui metode
penginderaan jauh dilakukan berdasarkan perbedaan daya reflektansi energi
elektromagnetik masing-masing objek di permukaan bumi. Daya reflektansi yang
berbeda-beda oleh sensor akan direkam dan didefinisikan sebagai objek yang
berbeda yang dipresentasikan dalam sebuah citra.
Proses perekaman oleh sensordalam pengambilan data melalui metode
penginderaan jauh dapat dilihat pada Gambar 2.3, dan bentuk dari sensor satelit
dapat dilihat pada Gambar 2.4. serta penggambaran proses perekaman permukaan
oleh sesnor penginderaan jauh dapat dilihat pada Gambar 2.5

Gambar 2.3. Proses perekaman oleh sensor


(Trisakti, 2012)
11

Gambar 2.4. Bentuk sensor


(Trisakti, 2012)

Gambar 2.5. Proses perekaman permukaan oleh sensor penginderaan


jauh (Trisakti, 2012)

a) Warna dalam Gelombang


Gelombang adalah suatu cara perpindahan energi dari satu tempat ke tempat
lainnya. Energi dipindahkan melalui pergerakan lokal yang relatif kecil pada
lingkungan sekitarnya. Energi pada sinar berjalan karena perubahan lokal yang
fluktuatif pada medan listrik dan medan magnet, oleh karena itu disebut radiasi
elekt romagnetik.
1. Panjang gelombang, frekuensi, dan kecepatan cahaya
Setiap warna mempunyai panjang gelombang dan frekuensi yang berbeda.
Bentuknya dapat ditunjukkan dalam suatu bentuk gelombang sinusoida. Gambar
gelombang dari berbagai macam frekuensi warna dapat di pada gambar 2.6

Gambar 2.6 Gelombang frekuensi warna cahaya

Jika kita menggambarkan suatu berkas sinar sebagai bentuk gelombang, jarak
antara dua puncak atau jarak antara dua lembah atau dua posisi lain yang identik
dalam gelombang dinamakan panjang gelombang, dapat dilihat pada gamabr 2.7
12

Gambar 2.7 Panjang Gelombang

Puncak- puncak gelombang ini bergerak dari kiri ke kanan. Jika dihitung
banyaknya puncak yang lewat tiap detiknya, maka akan didapatkan frekuensi.
Frekuensi sebesar 1 Hz menyatakan peristiwa gelombang yang terjadi satu kali
per detik. Sebagai alternatif, dapat diukur waktu antara dua buah kejadian/
peristiwa (dan menyebutnya sebagai periode), lalu ditentukan frekuensi (f )
sebagai hasil kebalikan dari periode (T ) (Chandra, 2009), rumus menghitung
frekuensi pada persamaan 2.1 sebagai berikut

(2.1)

Sinar oranye, mempunyai frekuensi sekitar 5 x 1014 Hz ( dapat dinyatakan dengan


5 x 108 MHz - megahertz). Artinya terdapat 5 x 1014 puncak gelombang yang lewat
tiap detiknya. Sinar mempunyai kecepatan tetap pada media apapun. Sinar selalu
melaju pada kecepatan sekitar 3 x 108meter per detik pada kondisi hampa, dan
dikenal dengan kecepatan cahaya. Hubungan antara panjang gelombang dan
frekuensi dari suatu warna dengan kecepatan cahaya dapat dilihat persamaan 2.2
sebagai berikut
(2.2)
dengan,
c = kecepatan cahaya ( 3 x 108 m/s) ,
λ = panjang gelombang (m) dan
v = frekuensi (Hz).dengan,
Hubungan ini artinya jika kita menaikkan frekuensi, maka panjang
gelombang akan berkurang. Sebagai contoh, jika kita mendapatkan sinar warna
merah mempunyai panjang gelombang 650 nm, dan hijau 540 nm, maka dapat
diketahui bahwa warna hijau memiliki frekuensi yang besar daripada warna
merah.
2. Spektrum Warna
Warna yang kita lihat diinterpretasikan dalam bentuk spektrum warna atau
spektrum sinar tampak. Gambaran spektrum sinar tampak dapat dilihat pada
gambar 2.8
13

Gambar 2.8 Spektrum Warna


(Mulyanta, 2006)
Spektrum warna tidak hanya terbatas pada warna-warna yang dapat kita lihat.
Pada spektrum yang lebih lengkap, akan ditunjukan ultraunggu dan infra-merah,
tetapi dapat diperlebar lagi hingga sinar-X dan gelombang radio, diantara sinar
yang lain. Gambar 2.9 menunjukan posisi spektrum-spektrum warna sebagai
berikut

Gambar 2.9 Spektrum Gelombang Elektromagnetik


(Mulyanta, 2006)

3. Konversi Warna (Analog ke Digital)


Mata manusia dapat menangkap ilusi warna yang tidak terbatas karena
informasi yang ditangkap mata bersifat analog atau disebut pula informasi yang
continues. Teknologi yang dapat menangkap ilusi warna yang sangat luas adalah
teknologi fotografi. Spektrum warna dapat ditangkap oleh sebuah image hasil foto
telah luas cakupannya. Image hasil foto secara teoritis dapat meangkap warna dan
gradasinya tanpa batas melebihi media digital yang dapat diterima oleh monitor
komputer serta peralatan output lain (Mulyanta, 2006).
Proses kuantifikasi diperlukan dalam dunia digital untuk menerjemahkan
tingkat warna dan gradasi pada dunia continues yang tidak terbatas. Gamabr 2.
Memperlihatkan perbedaan antara continues tone dengan metode kuantifikasi
dengan tingkatan 16 atau empat bit (24). Continues tone memperlihatkan bahwa
14

gradasi tingkat kecerahan yang dicakupnya tdak terbatas, dimana secara teoritis
tingkatan warna seperti ini sangat mustahil dikantifikasi dengan metode apapun.
Metode kuantifikasi yang ada saat ini adalah mencoba mendekati continues tone
dengan metode kuantifikasi secara diskret dan level tertentu (Mulyanta, 2006).

Gambar 2.10.Continues Tone dan kuantifikasinya


(Mulyanta, 2006)

Metode digit biner yakni mempresentasikan data continues dengan menggunakan


metode kuantitatif. Representasi data continues dilakukan dengan metode 16
tingkatan nilai biner. Range yang didapat dicakup dari kombinasi bit empat digit
hanya 24. Image yang dihasilkan dengan 16 tingkatan warna menghasilkan gradasi
yang lebih alami dibandingkan dengan bitonal image yang hanya mengenal nilai
hitam dan putih. Tingkatan warna yang nyaman diterima mata manusia
mempunyai lebar 8 bit agar menghasilkan 256 (28) kombinasi gelap terang.
Tingkatan warna sangat bergantung pada jumlah panjang bit yang berjumlah 2 bit
dengan 4 bit hingga 24 bit. Anda dapat menghitung jumlah warna dengan
melakukan pemangkatan menggunakan lebar bit, misalnya 2 bit berarti, 2 2 = 4
tingkatan warna berbeda, sedangkan lebar 4 bit berarti mempunyai 2 4 = 16
tingkatan warna yang berbeda, demikian seterusnya.
Pixel yakni elemen dasar pembentuk gambar akan terlihat secara indivisual
(picture element). Tingkatan jumlah pixel diebut resolusi. Jumlah bit pada setiap
pixel didefenisikan sebagai resolusi warna (bit depth). Semakin tinggi bit depth-
nya, semakin banyak variasi jumlah tone, baik tingkatan gelap terang maupun
warna yang dihasilkan. Digital image dapat hanya berupa gambar hitam putih
tanpa gradasi, yang disebut bitonal image. Apabila bit depth semakin besar, maka
image dapat berupa tingkatan grayscale hingga warna yang bervariasi. Bitonal
image dihasilkan dari pixel (elemen dasar pembentuk gambar akan terlihat secara
indivisual, picture element) yang hanya berisi dua buah tone, yaitu hitam dan
putih. Nilai 0 bernilai hitam dan 1 bernilai warna putih. Grayscale image
terbentuk dari pixel yang mempresentasikan informasi multiple bit dengan range
antara 2 bit higga 8 bit. Sebagai contoh, image yang terbentuk dari 2 bit akan
mempunyai kombinasi, yaitu 22 = 4 kombinasi. Kombinasi dapat dilihat pada Tael
2.1 sebagai berikut
Tabel 2.1 Kombinasi image 2 bit
Kombinasi Bit Greyscale yang dihasilkan

00 Hitam
15

01 Abu-abu gelap

10 Abu-abu terang

11 Putih

Sumber : Mulyanta, 2006


Image berwarna mempunyai bit depth antara 8 hingga 24 atau lebih tinggi
lagi. Image 24 bit terbagi menjadi 3 group, yaitu 8 untuk merah (red), 8 untuk
hijau (green), dan 8 untuk biru (blue). Kombinasi akan menghasilkan ilusi warna
hingga 224 nilai warna atau 16,7 juta warna. Gambaran tentang jumlah tone yag
dapat dihasilkan dari kombinasi binary digit (bit) dalam bit depth, daftar
kombinasi bit dan jumlah tone dapat dilihat pada Tabel 2.2 (Mulyanta, 2006).
Tabel 2.2 Daftar kombinasi bit dan jumlah tone
Bit Jumlah Tone

1 bit (21) 2

2 bit (22) 4

3 bit (23) 8

8 bit (24) 256

16 bit (216) 65.536

24 bit (224) 16,7 Juta

Sumber : Mulyanta, 2006

2.2.2 Klasifikasi Data Citra


Data Citra satelit sebagai hasil dari perekaman satelit memiliki beberapa
karakter yaitu:
1. Karakter spasial atau yang lebih dikenal sebagai resolusi spasial, bahwa data
citra penginderaan jauh memiliki luasan terkecil yang dapat direkam oleh
sensor. Sebagai contoh untuk Landsat TM memiliki luasan terkecil yang
mampu direkam adalah 30 x 30 m dan mampu merekam daerah selebar 185
km. 1 Scene citra landsat memiliki luas 185 km x 185 km.
2. Karakteristik spektral atau lebih sering disebut sebagai resolusi spektral, Data
penginderaan jauh direkam pada panjang gelombang tertentu. Masing-masing
satelit biasanya membawa lebih dari satu jenis sensor dimana tiap sensor akan
memiliki kemampuan untuk merekam panjang gelombang tertentu.
3. Karakteristik Temporal, Bahwa citra satelit dapat merekam suatu wilayah
secara berulang dalam waktu tertentu, sebagai contoh satelit Landsat 3 dapat
melakukan perekaman ulang terhadap satu wilayah setelah selang 18 hari
(Thoha, 2008).
Karakteristik data citra berdasarkan kolom (path) dan baris (row) pada pixel untuk
nilai DN dapat dilihat pada Gambar 2.11 dan penggambaran pembagian wilayah
di Indonesia berdasarkan kolom (path) dan baris (row) dapat dilihat pada Gambar
2.1
16

Gambar 2.11. Karakteristik data citra


(Yayasan pelaGIS, 2011)

Gambar 2.12. Peta Indonesia berdasarkan baris dan kolom


(Yayasan pelaGIS, 2011)
Jenis-jenis data citra satelit berdasarkan sensor untuk resolusi, panjang spektral
dan lama peredaran dapat dilihat pada Tabel 2.3
Tabel 2.3. Daftar Sensor Remote Sensing
Sensor Resolusi (m) Panjang spektral (μm) Lama peredaran
Landsat 15 0.45 – 2.35 16
SPOT 2.5 0.50 – 1.75 5
IRS 5 0.50 – 1.75 5
Ikonos 1 0.45 – 0.85 3
Quickbird 0.61 0.45 – 0.90 3
FORMOSAT 2 0.45 – 0.90 1
CARTOSAT 2.5 N/A 5
Worldview 0.46 0.40 – 1.04 1.1
ALOS 2.5 0.42 – 0.89 2
Geoeye 0.41 0.45 – 0.90 3
Airborne 1 – 25 0.42 – 14.00 N/A
Sumber : Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional, 2012
2.3 Citra Landsat 8 OLI
NASA melakukan peluncuran satelit Landsat Data Continuity
Mission(LDCM)tanggal 11 Februari 2013. Satelit ini mulai menyediakan produk
citra open access sejak tanggal 30 Mei 2013 dan menyerahkan satelit LDCM
kepada USGS sebagai pengguna datatersebut. Satelit ini kemudian lebih dikenal
sebagai Landsat 8. Pengelolaan arsip data citra ditangani oleh Earth Resources
Observation and Science (EROS) Center. Landsat 8 memerlukan waktu 99 menit
untuk mengorbit bumi dan melakukan liputan pada area yang sama setiap 16 hari
sekali. Resolusi temporal ini tidak berbeda dengan landsat versi sebelumnya
(Nasa, 2014).
Landsat 8 merupakan kelanjutan dari misi Landsat yang untuk pertama kali
menjadi satelit pengamat bumi sejak 1972, Landsat 1 yang awalnya bernama
Earth Resources Technology Satellite 1 diluncurkan 23 Juli 1972 dan mulai
17

beroperasi sampai 6 Januari 1978, Landsat 2 diluncurkan 22 Januari 1975


berakhir22 Januari 1981, Landsat 3 diluncurkan 5 Maret 1978 berakhir 31 Maret
1983, Landsat 4 diluncurkan 16 Juli 1982, dihentikan 1993. Landsat 5 diluncurkan
1 Maret 1984, dihentikan 26 Desember 2012, Landsat 6 yang telah diluncurkan 5
Oktober 1993 gagal mencapai orbit. Sementara Landsat 7 yang diluncurkan April
15 Desember 1999, masih berfungsi walau mengalami kerusakan sejak Mei 2003
(ESRI, 2001).
Landsat 8 lebih sering disebut sebagai satelit dengan misi melanjutkan landsat
7 dimana karakteristiknya yang mirip, baik resolusinya (spasial, temporal,
spektral), metode koreksi, ketinggian terbang maupun karakteristik sensor yang
dibawa. Beberapa tambahan yang menjadi titik penyempurnaan dari landsat 7
seperti jumlah band, rentang spektrum gelombang elektromagnetik terendah yang
dapat ditangkap sensor serta nilai bit (rentang nilai Digital Number) dari tiap
piksel citra. Satelit landsat 8 terbang dengan ketinggian 705 km dari permukaan
bumi dan memiliki area scan seluas 185 km x 185 km. NASA menargetkan satelit
Landsat 8 OLI mengemban misi selama 5 tahun beroperasi (sensor OLI dirancang
5 tahun dan sensor TIRS 3 tahun). Satelit Landsat 8 memiliki sensor Onboard
Operational Land Imager (OLI) dan Thermal Infrared Sensor (TIRS) dengan
jumlah kanal sebanyak 11 buah. 9 kanal (band 1-9) berada pada OLI dan 2 lainnya
(band 10 dan 11) pada TIRS. Karakteristik Landsat 8 OLI/TIRS dapat dilihat pada
Tabel 2.4

Tabel 2.4. Karakteristik Landsat 8 untuk sensor OLI dan sensor TIRS

Band Spektral Panjang Gelombang Resolusi


(Ssensor OLI) (μm) Spasial (m)
Band 1 – Coastal / Aerosol 0.433 – 0.453 μm 30 m
Band 2 – Blue 0.450 – 0.515 μm 30 m
Band 3 – Green 0.525 – 0.600 μm 30 m
Band 4 – Red 0.630 – 0.680 μm 30 m
Band 5 – Near InfraRed 0.845 – 0.885 μm 30 m
Band 6 – Short Wavelength 1.560 – 1.660 μm 30 m
InfraRed
Band 7 – Short Wavelength 2.100 – 2.300 μm 30 m
InfraRed
Band 8 – Panchromatik 0.500 – 0.680 μm 15 m
Band 9 – Cirrus 1.360 – 1.390 μm 30 m
(Sensor TIR)
Band 10 – Long Wavelength 10.30 – 11.30 μm 100 m
InfraRed
Band 11 – Long Wavelength 11.50 – 12.50 μm 100 m
InfraRed
Sumber : Landsat Data of USGS, 2014

Perbandingan perbedaan untuk masing-masing Band dapat dilihat pada Tabel 2.5

Tabel 2.5. Perbandingan band Landsat 7 dan Landsat 8


18

ETM+ and OLI/TIRS Spectral Bands

L7 ETM+ Bands LDCM OLI/TIRS Band Requirements

30 m, Coastal/Aerosol, 0.433 – Band 1


0.453 μm (*A)

Band 1 30 m, Blue, 0.450 – 30 m, Blue, 0.450 – 0.515 μm Band 2


0.515 μm

Band 2 30 m, Green, 0.525 – 30 m, Green, 0.525 – 0.600 μm Band 3


0.605 μm

Band 3 30 m, Red, 0.630 – 30 m, Red, 0.630 – 0.680 μm Band 4


0.690 μm (*B)

Band 4 30 m, Near-IR, 0.775 – 30 m, Near-IR, 0.845 – 0.885 Band 5


0.900 μm μm (*B)

Band 5 30 m, SWIR-1, 1.550 – 30 m, SWIR-1, 1.560 – 1.660 Band 6


1.750 μm μm (*B)

Band 7 30 m, SWIR-2, 2.090 – 30 m, SWIR-2, 2.100 – 2.300 Band 7


2.350 μm μm (*B)

Band 8 15 m, Pan, 0.520 – 15 m, Pan, 0.500 – 0.680 μm Band 8


0.900 μm (*B)

30 m, Cirrus, 1.360 – 1.390 μm Band 9


(*C)

Band 6 60 m, LWIR, 10.00 – 100 m, LWIR-1, 10.30 – 11.30 Band 10


12.50 μm μm (*D)

100 m, LWIR-2, 11.50 – 12.50 Band 11


μm (*D)

Sumber : Landsat Data of USGS, 2014

Keterangan :
*A = Berguna untuk pemetaan wilayah pesisir
*B = Perbaikan bandwidht dari citra Landsat 7
*C = Beguna untuk mendeteksi awan cirrus
*D = TIR akan menghasilkan data untuk kedua bandwidht band termal.

Misi Landsat 8 OLI yang merupakan kelanjutan dari misi Landsat 7, memberikan
informasi yang hampir sama untuk kegunaan masing-masing yang dikategorikan
serupa. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 2.6

Tabel 2.6. Karakteristik band spektral citra satelit Landsat 7 ETM+


Band Panjang Spektral Kegunaan
Gelombang
(μm)
19

1 0,43 – 0,45 Biru Berguna dalam pemetaan area


pesisir.
2 0,52 – 0,60 Hijau Pengamaran puncak pantulan
vegetasi pada saluran hijau untuk
mengetahui kesehatan vegetasi.

3 0,63 – 0,69 Merah Membedakan jenis vegetasi.


Penyerapan oleh klororfil.
Memudahkan pembedaan lahan
terbuka dan lahan bervegatasi.
4 0.76 – 0.90 Inframerah Peka terhadap biomassa vegetasi.
Dekat Berguna untuk delineasi air dan
tanah.
5 1.55 – 1.75 Inframerah Pembedaan jenis vegetasi,
Sedang I kandungan air pada tanaman, dan
kondisi kelembaban tanah. Berguna
juga dalam membedakan antara
salju dan awan.
6 10.40 – 12.50 Inframerah Untuk membedakan formasi batuan
Termal dan untuk pemetaan hidrotermal.
7 2.08 – 2.35 Inframerah Klasifikasi vegetasi, pembedaan
Sedang II kelembaman tanah, analisis
gangguan vegetasi, pembedaan
antara tanah, batuan dan air.
8 0.52 0.90 Sinar Observasi objek di permukaan bumi
Tampak dengan resolusi spasial lebih tinggi.
dan
Inframerah
Dekat
Sumber : Karakteristik Citra Satelit, 2008

2.3.1 Keunggulan Landsat 8


Landsat 8 memiliki beberapa keunggulan khususnya terkait spesifikasi
band-band yang dimiliki maupun panjang rentang spektrum gelombang
elektromagnetik yang ditangkap, yakni :
1. Memiliki spesifikasi baru berupa band 1, 9, 10, dan 11. Band 1 (ultra
blue) dapat menangkap panjang gelombang elektromagnetik lebih rendah dari
pada band yang sama pada landsat 7, sehingga lebih sensitif terhadap
perbedaan reflektan air laut atau aerosol. Band ini unggul dalam membedakan
konsentrasi aerosol di atmosfer dan mengidentifikasi karakteristik tampilan air
laut pada kedalaman berbeda.
2. Deteksi terhadap awan cirrus juga lebih baik dengan dipasangnya kanal 9 pada
sensor OLI.
20

3. Band thermal (kanal 10 dan 11) bermanfaat untuk mendeteksi perbedaan suhu
permukaan bumi dengan resolusi spasial 100 m. Pemanfaatan sensor ini dapat
membedakan bagian permukaan bumi yang memiliki suhu lebih panas
dibandingkan area sekitarnya. Pengujian telah dilakukan untuk melihat
tampilan kawah puncak gunung berapi, dimana kawah yang suhunya lebih
panas, pada citra landsat 8 terlihat lebih terang dari pada area-area sekitarnya.
4. Landsat 8 memiliki nilai (Digital Number-DN) dengan interval yang lebih
panjang, yaitu 0-65536 dari sebelumnya yakni berkisar antara 0-256.
Kelebihan ini merupakan akibat dari peningkatan sensitifitas landsat dari yang
semula tiap piksel memiliki kuantifikasi 8 bit, sekarang telah ditingkatkan
menjadi 16 bit. Peningkatan ini akan lebih membedakan tampilan obyek-
obyek di permukaan bumi sehingga mengurangi terjadinya kesalahan
interpretasi. Tampilan citra pun menjadi lebih halus, baik pada band
multispektral maupun pankromatik.
5. Terkait resolusi spasial, landsat 8 memiliki kanal-kanal dengan resolusi tingkat
menengah, setara dengan kanal-kanal pada landsat 5 dan 7. Kanal pada OLI
memiliki resolusi 30 m, kecuali untuk pankromatik 15 m. Dengan demikian
produk-produk citra yang dihasilkan oleh landsat 5 dan 7 pada beberapa
dekade masih relevan bagi studi data time series terhadap landsat 8.
6. Kelebihan lainnya tentu saja adalah akses data yang terbuka dan gratis.
Resolusi 30 m dan piksel 16 bit akan memberikan begitu banyak informasi
berharga bagi para pengguna, serta produk citra ini bersifat time
series tanpa striping.

2.3.2 Peluang Pemanfaatan Citra Landsat 8 OLI


Ketersediaan data citra time series yang cukup panjang meliputi seluruh
wilayah Indonesia, gratis dan resolusi (spasial, temporal, radiometrik) cukup
bagus (tingkat menengah) merupakan 3 keunggulan yang dimiliki sekaligus oleh
citra landsat.
Keunggulan ini tidak dimiliki oleh citra-citra lainnya, sehingga sangat
mendukung upaya pemanfaatan landsat 8 ini untuk berbagai keperluan, seperti
1. Monitoringperubahan penutupan lahan,
2. Deforestasi dan degradasi pada kawasan hutan.
Laju degradasi/deforestasi dapat diketahui dengan membandingkan
penutupan lahan hutan pada tahun tertentu dengan tahun-tahun sebelumnya
(mencakup pula karakteristik indeks vegetasinya). Permasalahan yang muncul
sebelum hadirnya landsat 8 pada landsat 7 adalah adanya striping pada data
setelah tahun 2003. Ini mengganggu khususnya dalam melakukan koreksi
radiometrik pada tahap pra pengolahan. Landsat 8 tidak mengalami striping
sehingga perubahan penutupan lahan lebih mudah dianalisis. Ketersediaan
informasi spasial mengenai kawasan yang rawan degradasi akan memberi
informasi upaya pencegahan kerusakan lebih lanjut. Secara visual, perbedaan
tampilan obyek antara hutan yang relatif belum terganggu dengan yang telah
terganggu pada citra landsat 8 dengan kombinasi band berbasis true
color dapat dilihat lebih baik.
21

3. Informasi tentang tingkat deforestasi dan degradasi tersebut membantu para


analis dalam memprediksi perubahan potensi cadangan karbon di dalam
kawasan hutan (program REDD, Reducing Emissions from Deforestation and
Forest Degradation).
Dengan dukungan Sistem Informasi Geografis dan Remote
Sensing perhitungan cadangan karbon dalam skala luas akan lebih efisien. Hal
ini mengingat kawasan hutan di Indonesia memiliki luasan yang cukup besar
(hampir 130 juta ha) dengan bentang lahan (biogeofisik) yang sangat beragam.
Informasi tentang karakteristik vegetasi penutup lahan di masing-masing
tempat yang bisa jadi sulit diakses di lapangan dapat disediakan oleh
perangkatremote sensing. Jenis data citra yang dapat dimanfaatkan untuk
monitoring cadangan karbon tersebut diantaranya adalah landsat dan MODIS.
4. Gangguan pada kawasan hutan berupa kebakaran hutan dan lahan dapat pula
diidentifikasi dengan memanfaatkan data landsat 8.
Citra ini dapat memberikan informasi tentang area-area yang diduga
sedang terbakar dengan pemanfaatan kombinasi band yang ada pada 11 kanal
landsat (khususnya kanal 10 dan 11). Pemasangan 2 kanal (10 dan 11) pada
landsat 8 sebagai penyempurnaan 1 kanal pada landsat 7 meningkatkan
sensitifitas sensor untuk membedakan sifat obyek berlainan berdasarkan
karakteristik suhunya. Pemanfaatan 2 band termal ini untuk memperbaiki
metoda deteksi kebakaran hutan dan lahan di Indonesia.

2.4 Konsep Pengolahan Citra


Secara umum pengolahan citra terbagi kedalam:
2.4.1. Pra-processing Citra,
Pra-processing citra, merupakan pengolahan awal sebelum proses
pengklasifikasian. Image pra-processing merupakan kegiatan pra-analisa data
citra satelit.Tujuan dari pengolahan data citra adalah mempertajam data geografis
dalam bentuk digital menjadi suatu tampilan yang lebih berarti bagi pengguna,
dapat memberikan informasi kuantitatif suatu obyek, serta dapat memecahkan
masalah.
Data citra yang terekam sensor sangat dipengaruhi oleh kondisi atmosfer,
sudut pengambilan data dari sensor, dan waktu pengambilan data. Kondisi
tersebut menyebabkan data citra satelit memiliki bias nilai informasi yang harus
dikoreksi. Tahapan dalam pengolahan citra akan mengkoreksi atau mereduksi bias
yang ditimbulkan tadi.
Kegiatan dalam pra-pengolahan citra meliputi:

1. Koreksi Radiometrik
Koreksi radiometrik merupakan suatu proses yang bertujuan untuk melakukan
transformasi data dari suatu system grid dengan menggunakan suatu transformasi
geometric. Proses tersebut mutlak dilakukan apabila posisi citra akan disesuaikan
22

dengan peta atau citra lainnya yang juga mempunyai sistem proyeksi peta
(Budianto, 2010).
Data citra satelit awal yang belum diolah biasanya mengandung noise yang
ditimbulkan olehsistem. Salah satu noise dapat ditimbulkan karena perbedaan
posisi matahari pada saat data diakusisi. Untuk menghilangkan noise tersebut
dapat digunakan koreksi radiometrik Top of Atmosfer (ToA).Koreksi ToA
merupakan perbaikan akibat distorsi radiometrik yang disebabkan oleh posisi
matahari. Koreksi ToA dilakukan dengan cara mengubah nilai digital number
(DN) ke nilai reflektansi. Data Landsat-7 harus dikoreksi radiometrik
menggunakan koreksi ToA yang meliputi ToA Reflektansidan koreksi ToA
Radiasi. Koreksi ToA Reflektansi dilakukan dengan mengkonversi nilai DN ke
nilaireflektansi (USGS, 2014).
Persamaankonversi untuk koreksi ToA reflektansi yaitu:
ρλ' = MρQcal + Aρ (2.3)

Dimana:
ρλ' = ToA reflektansi, tanpa koreksi untuk sudut matahari .
Mρ= konstanta rescalling (REFLECTANCE_MULT_BAND_x , di mana x adalah
nomor Band), harga Mρ untuk semua band adalah sama yakni 0,00002
Aρ = konstanta penambah (REFLECTANCE_ADD_BAND_x , di mana x adalah
nomor Band), harga Aρ untuk semua band adalah sama yakni -0,10000
Qcal = Nilai digital number ( DN )

Selanjutnya citra dikoreksi sudut matahari untuk menghilangkan perbedaan nilai


DN yangdiakibatkan oleh posisi matahari. Posisi matahari terhadap bumi berubah
bergantung pada waktuperekaman dan lokasi obyek yang direkam. Persamaan
untuk koreksi dengan sudut matahari yaitu:

(2.4)

Dimana:
ρλ = ToA reflektansi
θSE = Sudut elevasi matahari ketika perekaman (sun elevation), yakni
58.12601448
θSZ = sudut zenith matahari , θSZ = 90 ° - θSE
Persamaankonversi untuk koreksi ToA radiasi yaitu

(2.5)

Dimana:
Lλ = radian spektral pada sensor (W/(m2 sr.μm)),
QCAL= nilai piksel (DN),
QCALmin= nilai min piksel yang mengacu pada LMINλ (DN), yakni 65535
QCALmax= nilai maks piksel yang mengacu pada LMAXλ(DN), yakni 1
LMIN = nilai minimal radian spektral (W/(m2.sr.μm)
LMAX = nilai maksimal radian spektral (W/(m2.sr.μm),
23

Nilai konstanta LMINdan LMAXpada Landsat 8 OLI dapat dilihat pada Tabel 2.7

Tabel 2.7. Harga LMINdan LMAX


No Band LMIN LMAX
1. 1 -60.93684 737.90985
2. 2 -62.40006 755.62866
3. 3 -57.50113 696.30536
4. 4 -48.48819 587.16394
5. 5 -29.67235 359.31503
6. 6 -7.37924 89.35838
7. 7 -2.48720 30.11856
8. 8 -54.87528 664.50793
9. 9 11.59663 140.42847
10. 10 0.10033 22.00180
11. 11 0.10033 22.00180
Sumber : USGS, 2014

Landsat 8 OLI tidak lagi dilakukan koreksi radiometri untuk reflektansi hanya
koreksi radiometri untuk radiasi dikarenakan citra yang diedarkan sudah
mengalami koreksi radiometri (USGS, 2014).

2. Koreksi Geometric Citra Landsat 8


Koreksi Geometrik bertujuan untuk menyesuaikan koordinat pixel pada citra
dengan koordinat bumi di bidang datar. Citra yang belum dikoreksi akan memiliki
kesalahan geometris (GIS Konsorium Aceh Nias, (2007).
Kesalahan geometri ini ada dua macam :
1. Kesalahan Sistematis (systematic geometric errors), utamanya disebabkan
oleh kesalahan pada sensor. Untuk memperbaikinya diperlukan informasi
sensor dan data ephemeris saat pemotretan.
2. Kesalahan Acak (non-systematic geometric errors), utamanya disebabkan oleh
orbit dan perilaku satelit serta efek rotasi bumi. Untuk mengoreksinya
diperlukan sebuah proses yang dikenal dengan istilah image to map
rectification. Proses ini memerlukan Titik Kontrol Tanah (Ground Control
Points, GCP) untuk menyesuaikan koordinat pixel pada citra dengan koordinat
objek yang sama di bidang datar peta (bumi) (Raharjo, 2010).
Data landsat 8 OLI yang dilepas untuk publik telah melalui proses penyesuian
dengan menggunakan:
1. Data sensor dan ephemeris (untuk mengoreksi kesalahan internalnya),
2. Sekaligus menggukan data Titik Kontrol Tanah (GCP) dan digital elevation
models (DEM)
24

Data tersebut berupa produk L1 T (level-one terrain-corrected) yang telah


terbebas dari kesalahan akibat sensor, satelit dan bumi.

2.4.2. Klasifikasi Citra,


Klasifikasi citra, merupakan tahap intrepretasi informasi pada citra yang
dibuat berdasarkan kelas katagori tertentu.
Metoda klasifikasi secara umum terbagi menjadi dua:
1. Klasifikasi tidak terbimbing (un-supervised classification), merupakan metoda
klasifikasi yang mengklasifikasikan citra secara mandiri.
2. Klasifikasi terbimbing (supervised classification), merupakan metoda
klasifikasi yang memberikan bimbingan kepada komputer dalam proses
klasifikasinya (Forest Watch Indonesia, 2010).

2.5 Terumbu Karang


Terumbu karang merupakan komunitas yang unik di antara komunitas laut
lainnya dan mereka terbentuk seluruhnya dari aktivitas biologi. Pada dasarnya
karang merupakan endapan massive kalsium karbonat (kapur). Yang di produksi
oleh binatang karang dengan sedikit tambahan dari alga berkapur dan organisme-
organisme lain penghasil kalsium karbonat. Klasifikasi ilmiah menunjukkan
bahwa karang ini termasuk kelompok binatang dan bukan sebagai kelompok
tumbuhan. Binatang karang ini termasuk kedalam phylum Cnidaria, kelas
Anthozoa, ordo scleractinia.

Gambar 2.13. Zooxanthellae dalam jaringan karang melakukan


fotosintesis dan mentransfer sebagian bahan organik yang mereka buat ke
inang karang. Karbon dioksida dan nutrisi terus didaur ulang antara karang
dan zooxanthellae-nya.
25

Gambar 2.14. Factor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan


karang

Kondisi alam yang cocok untuk pertumbuhan karang-di antaranya- adalah


pada perairan yang bertemperatur di antara 18 - 30 oC, kedalaman air lebih dari 50
meter, salinitas air laut 30 – 36 per mil (‰), laju sedimentasi relative rendah
dengan perairan yang relatif jernih, pergerakan air/arus yang cukup, perairan yang
bebas dari pencemaran, dan substrat yang keras. Faktor-faktor tersebut sangat
mempengaruhi pertumbuhan karang (Gambar 2.14). Karang tidak bisa hidup di
air tawar atau muara. Dilihat dari proses geologis terbentuknya terumbu karang
dan hubungannya dengan daratan, maka terumbu karang dibagi ke dalam tiga tipe
yaitu terumbu karang cincin (atol), terumbu karang penghalang (barrier reefs),
dan terumbu karang tepi (fringing reefs) seperti terlihat pada Gambar 2.15.

Gambar 2.15. Tiga tipe terumbu karang dan proses evolusi geologinya

Terumbu karang tepi adalah tipe yang paling banyak terdapat di Indonesia
(Gambar 2.16).
26

Gambar 2.16. Zonasi terumbu karang tepi yang umum


Terumbu karang tipe ini berada di tepi pantai yang jaraknya kurang dari 100 meter
ke arah laut sedangkan terumbu karang cincin (atol) biasanya terdapat di pulau-
pulau kecil yang terpisah jauh dari daratan. Contoh terumbu karang penghalang
dapat dilihat di negara seperti Great Barrier Reefs. Contoh terumbu karang cincin
dapat dilihat seperti di Takabonerate Sulawesi Selatan. Pembentukan terumbu
karang cincin ini memerlukan waktu beratusratus tahun.

Berikut fungsi dari terumbu karang yang di jelaskan secara singkat:


1. Fungsi pariwisata, keindahan,kekayaan biologi dan kejernihan airnya
membuat kawasan terumbu karang terkenal sebagai tempat rekreasi.
2. Fungsi perikanan,sebagai tempat tempat ikan yang harganya mahal
sehingga nelayan menangkap ikan di kawasan ini.
3. Fungsi perlindungan pantai,salahsatunya adalah trumbu karang tepid an
penghalang pemecah gelombang alami yang mengakibatkan pantai
erosi,banjir, pantai dan peristiwa lainnya.
4. Fungsi biodiversity :ekosistem ini mempunyai prodktivitas dan
keanekaragaman jenis biota yang tinggi. Keanekaragaman hidup di
ekosistem terumbu karang per unit area sebanding atau lebih besar di
bandingkan hal yangsaman di hutan tropis.terumbu karang ini dikenal
sebagai laboratorium untuk ilmu ekologi. Potensi untuk bahan obat obatan,
27

anti virus, anti kanker dan penggunaan lainnya sangat tinggi. (Sukmara.A,
2001).

2.6 Proses Pemutihan Terumbu Karang


Memanasnya lautan tropis telah meningkatkan SST (Suhu Permukaan Air
Laut) di mana terumbu karang yang hidup lebih dekat dengan batas termal
mereka, sehingga kondisi cuaca atau variabilitas antar tahunan lebih mungkin
meningkatkan SST di atas batas termalnya dari pada kondisi cuaca yang terjadi
100 tahun yang lalu. Terumbu karang adalah struktur batu kapur besar yang
memberikan perlindungan bagi kehidupan laut. Mereka adalah taman-taman dan
hutan laut. Sebagai salah satu ekosistem terbesar dan paling kompleks di planet
ini, terumbu karang adalah rumah bagi sekitar 25% spesies laut. Untuk
membayangkan terumbu karang, bayangkan sebagai sebuah komunitas yang
ramai, sebuah kota laut, dengan bangunan yang terbuat dari karang, dan ribuan
penduduk yang datang dan pergi, melakukan bisnis mereka.
Pemutihan karang terjadi pada saat karang (keras atau lunak) dan hewan-
hewan laut lain yang bersimbiosis dengan zooxanthellae kehilangan
zooxanthellae-nya karena suatu tekanan/stress tertentu. Pada banyak hewan
karang keras (hard coral), zooxanthellae merupakan pemberi warna utama. Oleh
karena itu, kehilangan zooxantellae akan membuat warnanya memucat, sampai
pada akhirnya jaringan karang menjadi transparan, memperlihatkan warna putih
kerangka kapur. Beberapa karang membuat semacam tabir surya pada saat hal ini
terjadi, sehinga karang tampak berwarna pastel (biru, kuning, merah muda).
Banyak macam tekanan yang dapat membuat karang memutih, seperti misalnya
penyakit, racun (bahan kimia), dan lain-lain (M.J.H van Oppen, 2009).
Ada dua Penyebab Pemutihan terumbu Karang di antaranya adalah
Anthropogenic Causses dan Natural Causses.

2.6.1 Anthropogenic Causses


Bahan pencemar utama yang sangat berbahaya bagi kehidupan manusia
dan ekosistem laut adalah logam. Salah satu ekosistem laut yang mengalami
gangguan akibat masuknya limbah logam ke wilayah perairan laut adalah
ekosistem terumbu karang (Manuputty,2002 ). Masuknya logam pada terumbu
karang terjadi karena difusi ke dalam fitoplankton yang akhirnya masuk ke dalam
polip karang. Sedangkan cara lain masuknya logam ke badan terumbu karang
adalah dengan absorpsi langsung oleh air laut yang mengandung logam yang
terdapat di perairan (Panuntun dkk, 2012 ). Selain itu, logam yang masuk ke
perairan seperti merkuri ataupun timbal dapat juga masuk melalui proses desposisi
logam dari atmosfer ke permukaan air laut ataupun presipitasi melalui air hujan
(Luoma & Rainbow, 2009).Seperti yang kita ketahui pada Penelitian
(Rahmatsyah, dkk, 2015), di perairan kabupaten Tapanuli tengah telah
disimpulkan bahwa lokasi dalam kategori telah tercemar oleh logam Besi (Fe)
sebesar 25.8 % dan Tembaga (Cu) sebesar 1.6 %.

2.6.2 Natural Causses


28

Ancaman oleh alam dapat berupa angin topan, badai tsunami, gempa
bumi, pemangsaan oleh CoTs (crown-of-thorns starfish) dan pemanasan global
yang menyebabkan pemutihan karang.Berdasarkan laporan hasil penelitian LIPI
(Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), bahwa terumbu karang di Indonesia
hanya 7 % yang berada dalam kondisi sangat baik, 24 % berada dalam kondisi
baik, 29 % dalam kondisi sedang dan 40 % dalam kondisi buruk. Diperkirakan
terumbu karang akan berkurang sekitar 70 % dalam waktu 40 tahun jika
pengelolaannya tidak segera dilakukan (Sukmara.A, 2001).
Namun penyebab utama pemutihan karang dalam skala luas adalah
kombinasi dari kenaikan temperatur air laut dan intensitas cahaya. Pada saat
terjadi kenaikan suhu, zooxanthellae menghasilkan oksigen radikal yang akan
merusak jaringan hewan yang ditempatinya. Oleh karena itu, mau tidak mau
hewan tersebut harus melepaskan zooxanthellae tersebut untuk mencegah
kerusakan jaringan. Jumlah zooxanthellae yang dilepaskan tergantung dari jumlah
radikal bebas yang dihasilkan; tergantung dari intensitas dan lamanya hewan
terdedah pada kenaikan suhu tersebut. Dengan kecenderungan suhu bumi yang
terus menaik karena pemanasan global, kejadian pemutihan terumbu karang skala
luas diperkirakan akan terjadi semakin sering dengan intensitas yang meningkat.
Apabila kenaikan suhu ini dibandingkan dengan batas toleransi karang terhadap
pemutihan dalam 100 tahun terakhir, maka pada tahun 2020, diprediksikan bahwa
pemutihan terumbu karang akan terjadi setiap tahun (M.J.H van Oppen, 2009).

2.6 Global warming & Dampaknya pada suhu Permukaan air laut
Pemanasan global adalah kejadian meningkatnya suhu rata-rata di
atmosfer,laut dan daratan bumi. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa telah
terjadi kenaikan suhu rata-rata 0,72 oC pada negara tropis, sedangakan negara
jepang (temperate)terjadi sampai dengan 1 oC. Kejadian tersebut di sebabkan
semakin banyak bertambahnya gas rumah kaca (GRK). Uinted Nations Framwork
Convention Climate Change (UNFCCC) atau konvemsi PBB mengenai perubahan
iklim, menyatakan ada 6 jenis gas rumah kaca, yaitu CO 2 (karbon dioksida), N2O
(dinitro oksida), CH4 (metana), SF6 (sulfurheksa florida),PFC5 (perflorokarbon)
dan HFC5 (hidroflorokarbon). Sedangkan gas yang paling berkontrubusi terhadap
pemanasan global adalah CO2, CH4, N2O NO2, CO, PFC dan SF6 (Sodiq. M, 2013)
Pada dekade 2006–2015, pemanasan mencapai 0,87 ° C (± 0,12 ° C) relatif
terhadap 1850–1900, terutama karena aktivitas manusia meningkatkan jumlah gas
rumah kaca di atmosfer. Mengingat itu global suhu saat ini meningkat sebesar 0,2
° C (± 0,1 ° C) per dekade, pemanasan yang disebabkan manusia mencapai 1 ° C
di atas tingkat pra-industri sekitar 2017 dan, jika laju pemanasan ini berlanjut,
akan mencapai 1,5 ° C sekitar 2040 (IPCC, 2015) .
Perubahan iklim, atau pemanasan global, memang merupakan masalah serius
yang membutuhkan tindakan segera. Penelitian dan penemuan ilmiah telah
berkembang selama beberapa tahun terakhir untuk memungkinkan pemahaman
yang lebih baik dari banyak konsep yang terlibat dalam mendefinisikan,
mengukur, dan menilai pemanasan global. Kemajuan telah dibuat dalam ilmu
kelautan dan oseanografi (inti sedimen laut, pemutihan karang, pengasaman,
29

sirkulasi arus, keseimbangan kimia, dan analisis inti es) dan dalam geologi dan
geomorfologi (bentuk lahan dan analisis sedimen). Para ilmuwan di seluruh dunia
telah terlibat, memungkinkan masalah untuk dilihat sebagai masalah global
daripada masalah regional. Menurut IPCC (intergovernmental panel on climate
cheange), Bumi berabad-abad mengalami peningkatan suhu, pergeseran pola
cuaca, naiknya air laut, kekeringan, kebakaran hutan, dan kepunahan — hasil
yang akan terjadi karena semua gas yang memerangkap panas yang sudah ada di
atmosfer. Ditentukan oleh potensi pemanasan global oleh setiap gas (GWP)
‘global warming potensial, ada rentang kehidupan tertentu di mana ia menjebak
panas. Karbon adalah standar dengan GWP 1; semua gas lainnya diukur
terhadapnya. Beberapa gas mungkin ada dalam jumlah kecil tetapi jika GWP
mereka panjang, mereka dapat menimbulkan masalah serius (Casper.JK, 2010).

Sumber: IPCC, 2015

2.7 Misi NOAA


The National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) adalah
lembaga federal yang berbasis sains di dalam Departemen Perdagangan dengan
tanggung jawab layanan regulasi, operasional, dan informasi dengan kehadiran di
setiap negara bagian dan wilayah kami USA. Melalui misi sains, pelayanan, dan
penatagunaannya yang sudah lama berlangsung, NOAA menghasilkan nilai yang
luar biasa bagi Bangsa - dan dunia - dengan memajukan pemahaman kita dan
kemampuan untuk mengantisipasi perubahan di lingkungan Bumi, dengan
meningkatkan kemampuan masyarakat untuk membuat keputusan yang
terinformasi secara ilmiah. Dengan melestarikan dan mengelola sumber daya laut,
pesisir, dan Danau Besar. Ilmu di NOAA adalah studi sistematis tentang struktur
dan perilaku lautan, atmosfer, dan ekosistem terkait; integrasi penelitian dan
analisis; observasi dan pemantauan; dan pemodelan lingkungan. Sains
memberikan fondasi dan yang menjanjikan pada masa depan, dengan layanan dan
elemen penatagunaan misi NOAA. Layanannya adalah komunikasi penelitian,
data, informasi, dan pengetahuan NOAA untuk digunakan oleh bisnis, komunitas,
dan kehidupan sehari-hari orang-orang. Penatalayanan adalah penggunaan
langsung dari pengetahuan langsung NOAA untuk melindungi orang dan
lingkungan, karena lembaga ini menjalankan kewenangannya untuk mengatur dan
30

mempertahankan perikanan laut dan ekosistemnya, melindungi spesies laut dan


anadromous yang terancam punah, melindungi dan memulihkan habitat dan
ekosistem, melestarikan cagar laut dan lainnya tempat-tempat terlindung, tanggap
darurat lingkungan, dan bantuan dalam pemulihan bencana.

Untuk tujuan ini, NOAA akan berfokus pada empat hasil jangka panjang
dalam domain misi utamanya:
• Iklim: Masyarakat yang berpengetahuan mengantisipasi dan
menanggapi iklim dan dampaknya.
• Bangsa yang Siap Cuaca: Masyarakat dipersiapkan untuk dan
menanggapi peristiwa-peristiwa yang terkait dengan cuaca.
• Lautan Sehat: Perikanan laut, habitat, dan keanekaragaman hayati
dapat bertahan hidup dengan sehat dan ekosistem yang produktif.
• Komunitas dan Ekonomi Pesisir yang Tangguh: Masyarakat Pesisir
dan Danau Besar bersifat ramah lingkungan dan secara ekonomi
berkelanjutan (noaa.gov, 2011).

2.8 Coll dan Caselles algoritma split-window


Dalam pengunaanya, algoritma ini digunakan pada survei lapangan atau In
situ dengan mengukur suhu permukaan dari (AVHRR) Advenced Very High
Resolution Radiometer, Koefisien yang Ekuivalen & Independen dari Split
Window Klasik adalah, Suhu Permukaan Air Laut Bersifat Homogen dalam
bentuk ruang. Model Algoritma split-window pada makalah Coll et al. [1994].
Metode ini dikembangkan oleh Rozenstein, dkk tahun 2014 pada Landsat 8 yang
memiliki dua band termal yaitu band 10 dan 11. Metode SWA menormalisasikan
nilai suhu permukaan dari band 10 dan band 11 sehingga diperoleh nilai yang
paling baik merepresentasikan kondisi lapangan. Variabel yang digunakan dalam
metode ini adalah emisivitas, transmisi atmosferik, suhu kecerahan band 10
dan band 11. Misalnya, Emisivitas di AVHRR di chanels 4 dan 5, ε = (ε4 + ε5 ) / 2,
dan emisivitas spectral diferensiasi di
∆ε = (ε4 - ε5). Itu bisa di tulis dengan :
T = T4 + A(T4 – T5) + ∆+ B (ε) ; 2.9.1
Dimana T adalah LST (land surface temperate), T4 dan T5 adalah chanels 4
dan 5, dan ;

A= ; 2.9.2

∆= -[1-τ5 (ϴ)]A(T↑a4 - T↑a5 ) ; 2.9.3

B (ε) = α (1 – ε) – β ∆ε ; 2.9.4

α = (b4-b5 )A τ5 (ϴ) +b4 ; 2.9.5

β = A τ5 (ϴ)b5 + α /2 ; 2.9.6
31

bi = + γi [1 – τi(0o) ] ; i =4,5 2.9.7

dengan τi (ϴ) adalah transmisi atmosfer untuk chanel (i =4,5) dan sudut
observasi zenith adalah (ϴ) ; T↑ai (T↓ai) menjadi suhu atosfer yang efektif untuk
chanel i di atas dan (ke bawah) lihat tanda. n4 = 4.667, n5 =4.260 untuk NOAA 11
AVHRR [bisa di lihat sobrino et al., 1991]; dan γi ≈ 1.6 adalah rasio dari belahan
sinar. Persamaan (2.9.2) dan (2.9.3) adalah persamaan klasik untuk permukaan
benda hitam. Jika emisivitas tinggi, seperti itu kebanyakan permukaan natural
menjadi 10-12.5 μm window, sedangkan koefisien A dan ∆ hanya bergantung
pada sifat atmosphere dan tidak pada emisivitas permukaan. mereka akan di sebut
sebagai atmosphere sesudah koefisien split-window. ε ini merupakan persamaan
emisivitas linear dan berbeda dengan spektral emisi ∆ε. Bagaimanapun, hubungan
antara persamaan 2.9.5 dan 2.9.4 bergantung pada sifat atmosfernya T↓ai ,ʹ τi
(disebab kan oleh pantulan cahaya langit), koefisien A, dan temperature
permukaan di lalui oleh Ti,. Koefisien bi untuk pada uap air atmosfer (atau air
yang terukur), Kontrubusi pada formula split-window dari B(ε) yang masih dapat
di evaluasi. Sejak Kecepatan emisivitas positive, maka dapat mengantisipasi
persamaan (2.9.4) dengan konsekuensinya koefisien B(ε) sangat
kecil..menggunakan kecepatan angular dari Masuda et al. [1988] dan satu set
profil atmosfer yang bervariasi penjumlahan B(ε) untuk permukaan laut sebagai
fungsi dari sudut observasi dan kelembabaman atmosfer. Meskipun nilai-nilai
besar diperoleh untuk pengamatan sudut besar, efek emisivitas ditemukan dapat
diabaikan untuk sudut angular ϴ<40o dan untuk rata-rata kecepatan B(ε) = 0.04 ±
0.15 K. Akibatnya, permukaan air laut di anggap sebagai radiasi benda hitam
dalam formulasi split-window. untuk B(ε) ≈ 0 untuk ϴ<40o , dan analisis regresi
dari T - T4 kembali T4 - T5 akan menghasilkan koefisien A dan ∆ menurut
persamaan (2.9.1), (Coll dan Caselless, 1997).

 Sea surface temperature algoritma


Tsst = ao + a1 Ti + (Ti - Tj) + a3 (Ti - Tj )2 2.9.8

a0 = 1 - τn τ ϴ - εn τn (1- τ ϴ) 2.9.9

a1 = 1 - τ ϴ τf - εf τf (1- τ ϴ) 2.9.10

a2 = εn τn (1- τf τ ϴ) εf τf (1- τn τ ϴ) 2.9.11

a3 = 1 - τ ϴ τf - εf τf (1- τ ϴ) - { [εn τn (1- τf τ ϴ) εf τf (1- τn τ ϴ)]} 2.9.12

Di mana i dan j , band 10 dan band 11 ; sedangkan n dan f dapat berupa n↓, f ↑,
(Coll dan Caselless, 1997).
32

Pada penelitian sebelumnya algoritma ini digunakan untuk Coll & Caselles dan
algoritma Non-linear SST memiliki efisiensi yang sangat tinggi dengan RMSE =
0.24 K dengan R2 = 0.95.

Gambar 2.17. Histogram dari sisa temperature menggunakan algoritma split


window; a) Coll and Caselles; b) MCSST; c) NLSST

Gambar 2.18. Perbandingan antara determinasi R2 dan RMSE

Dengan demikian kita dapat menggunakan model yang diimplementasikan untuk


area studi oleh NLSST dan Coll dan algoritma Caselles sebagai model dengan
efisiensi tinggi untuk pemodelan SST menggunakan citra Landsat-8 (Bayat.F,
2016).
33

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Kabupaten Tapanuli Tengah adalah salah satu kabupaten di Sumatera Utara,
berada pada koordinat 1°11’00” - 2°22’00” LU dan 98°07’00” - 98°12’00” BT.
Kabupaten Tapanuli Tengah terletak di pesisir pantai Barat pulau Sumatera
dengan panjang garis pantai 200 kilometer. Secara Klimatologi Tapanuli Tengah
tergolong beriklim tropis karena sebagian besar berbatasan dengan lautan yang
mempengaruhi suhu udara. Tapanuli tengah memiliki beberapa Kecamatan yaitu
Andam Dewi, Badiri, Barus, Kolang, Lumut, Manduamas, Pandan, Pasaribu
Tobing, Pinang Sori, Sarudik, Sorkam, Sosorgadong, Suka Bangun, Tapian Nauli
dan Tukka.Kecamatan Andam Dewi adalah salah satu Kecamatan di Kabupaten
Tapanuli Tengah yang berada di Provinsi Sumatera Utara. Secara astronomis
Kecamatan Andam Dewi terletak pada koordinat 23o20’ – 34o55’ LU dan 65o58’ –
76o36’ BT, dan letaknya diatas permukaan laut 0-3 meter. Sebelah Utara
berbatasan dengan Kabupaten Humbang Hasundutan, sebelah Selatan dengan
Samudera Indonesia/Kecamatan Barus, sebelah Barat dengan Kecamatan
Sirandorung dan disebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan
Barus/Kecamatan Barus Utara.Desa Sitiri-tiris adalah salah satu desa yang
terdapat di Kecamatan Andam Dewi, memiliki luas ± 13,23 km 2 atau sekitar
10,81% dari luas total Kecamatan Andam Dewi (122,42 Km 2). Berdasarkan hasil
sensus tahun 2011, jumlah penduduk di Desa Sitiris-tiris adalah 1.603 jiwa dengan
kepadatan penduduk sebesar 121,164 jiwa/km2 (BPS Kecamatan Andam Dewi,
2012).
3.1.1 Lokasi Penelitian

Lokasi Penelitian

Gambar.3.1 Daerah Lokasi Penelitian

3.1.2 Waktu Penelitian


34

Penelitian ini dilaksanakan sekitar ± 3 bulan pada bulan februari sampai bulan
april 2019.

3.2 Alat dan Bahan Penelitian

Tabel 3.1 Tabel Alat Penelitian


No. Nama Alat Spesifikasi Jumlah
1. GPS Garmin Seperangkat
2. Satu perangkat Ram >500 MB,HDD Seperangkat
Komputer/Laptop
1. ArcGis 10.0
2. ENVI 4.7
3. Microsoft Office 2007
3 Peralatan - Seperangkat
selam/renang/snorkeling
atau aktifitas perairan
lainnya
4 Kamera Digital 8-13 Megapixel 1 Buah

3.1.3 Bahan Penelitian


Pembagian jenis bahan penelitian berupa data spasial dan data atribut
dapat dilihat pada masing-masing tabel, yakni Tabel 3.2 dan Tabel 3.3.

a. Data Spasial
Tabel 3.4 Tabel Bahan Penelitian
No Nama Data Spesifikasi
1. Citra Satelit tahun 2016 s/d 2018 Lintang : 2.0736
Landsat-8 TIRS Bujur : 98.3855
https://earthexplorer.usgs.gov/ Dengan koordinat perairan :
 Lintang 2.0203 ;
Busur: 98.3435
 Lintang 1.9768 ;
Busur: 98.3358
 Lintang 1.9746 ;
Busur: 98.3791
 Lintang 2.0101 ;
Busur: 98.3842

b. Data Atribut
Tabel 3.5 Tabel Bahan Penelitian

No Nama Data Spesifikasi


35

1. BMKG : Data Suhu Lingkungan dalam penelitian pada 1 Buah


tahun 2016 s/d 2018

2. Peta Administrasi Tapanuli Tengah Kec.Andam Dewi 1 Buah


Desa sitiris tiris
http://www.big.go.id/assets/download/Atlas-
Administrasi/02-Peta-Wilayah-Prov-Sumut.pdf

3. Data Peta Perairan ‘Batimetri’ Sumatera Utara,Sibolga 1 Buah


tapanuli tengah Kec. Andam Dewi, Desa Sitiris-tiris

3.3 Rancangan Penelitian


Rancangan penelitian ini, yakni :
1. Tahap Pertama
a. Studi literatur, berupa pencarian buku, jurnal, skripsi tesis dan lain-lain
b. Menyiapkan Data atribut Berupa data Suhu Lingkungan Selama
Terjadinya Angin Muson pada tahun 2016 s/d 2018 di Kab. Tapanuli
Tengah Kec. Andam Dewi Desa Sitiris-tiris dan Data spasial Berupa
data Batimetri di Perairan Tapanuli Tengah Kec. Andam Dewi Desa
Sitiris-tiris yang di butuhkan untuk pemantauan Suhu Permukaan Laut
Di Perairan Andam Dewi Desa Sitiris-Tiris.
2. Tahap Kedua
Proses pra-prosesing dilakukan dengan melakukan
a. Meng-ekstrak Citra Satelit data spasial dengan menggunakan web
http://earthexplorer.usgs.gov/, setelah itu buka softwere ENVI pilih
Band yang akan di gunakan karena band 10 dan 11 maka ambil data dari
band tersebut, lalu blocking semua data yang ada (Data dari angin muson
timur selama 3 tahun terakhir 2016 s/d 2018), setelah di blocking maka
peneliti memilih load RGB yang di perlukan.
b. Koreksi radiometrik (untuk menghilangkan noise) menggunakan software
ENVI 4.7 dengan persamaan koreksi radiometrik ToA pada citra Landsat 8
TIRS yang akan digunakan.
c. Estimasi data gambar dalam pada tahun 2016 s/d 2018 dengan
Menggunakan algoritma split window.

Koreksi Radiometrik

Koreksi radiometrik merupakan suatu proses yang bertujuan untuk


melakukan transformasi data dari suatu system grid dengan menggunakan suatu
transformasi geometric. Proses tersebut mutlak dilakukan apabila posisi citra akan
disesuaikan dengan peta atau citra lainnya yang juga mempunyai system proyeksi
peta (Budianto, 2010).
Data citra satelit awal yang belum diolah biasanya mengandung noise
yang ditimbulkan olehsistem. Salah satu noise dapat ditimbulkan karena
36

perbedaan posisi matahari pada saat data diakusisi. Untuk menghilangkan noise
tersebut dapat digunakan koreksi radiometrik Top of Atmosfer (ToA).
Koreksi ToA merupakan perbaikan akibat distorsi radiometrik yang
disebabkan oleh posisi matahari. Koreksi ToA dilakukan dengan cara mengubah
nilai digital number (DN) ke nilai reflektansi.Data Landsat-7 harus dikoreksi
radiometrik menggunakan koreksi ToA yang meliputi ToA Reflektansidan koreksi
ToA Radiasi. Koreksi ToA Reflektansi dilakukan dengan mengkonversi nilai DN
ke nilai reflektansi (USGS, 2014).

Persamaan konversi untuk koreksi ToA reflektansi yaitu:

ρλ' = MρQcal + Aρ (2.1)

Dimana:

ρλ' = ToA reflektansi, tanpa koreksi untuk sudut matahari .

Mρ= konstanta rescalling (REFLECTANCE_MULT_BAND_x , di mana x adalah


nomor Band), harga Mρ untuk semua band adalah sama yakni 0,00002

Aρ = konstanta penambah (REFLECTANCE_ADD_BAND_x , di mana x adalah


nomor Band), harga Aρ untuk semua band adalah sama yakni -0,10000

Qcal = Nilai digital number ( DN )

Selanjutnya citra dikoreksi sudut matahari untuk menghilangkan


perbedaan nilai DN yangdiakibatkan oleh posisi matahari. Posisi matahari
terhadap bumi berubah bergantung pada waktuperekaman dan lokasi obyek yang
direkam. Persamaan untuk koreksi dengan sudut matahari yaitu:

(2.2)

Dimana:

ρλ = ToA reflektansi

Θse = Sudut elevasi matahari ketika perekaman (sun elevation), yakni

58.12601448

θSZ = sudut zenith matahari , θSZ = 90 ° - θSE

Persamaan konversi untuk koreksi ToA radiasi yaitu :

 Lmax  Lmin 
L    x  QCAL  QCALmin   Lmin
 QCALmax  QCALmin 
(2.3)

Dimana:
37

Lλ = Radian spektral pada sensor (W/(m2 sr.μm)),

QCAL = Nilai piksel (DN),

QCALmin = Nilai min piksel yang mengacu pada LMINλ (DN), yakni 65535

QCALmax = Nilai maks piksel yang mengacu pada LMAXλ(DN), yakni 1

LMIN = Nilai minimal radian spektral (W/(m2.sr.μm)

LMAX = Nilai maksimal radian spektral (W/(m2.sr.μm),

Nilai konstanta LMINdan LMAXuntuk masing Band pada Landsat 8 OLI


dapat dilihat pada Tabel 3.4

Tabel 3.4 Harga LMINdan LMAX

No Band LMIN LMAX


1. 1 -60.93684 737.90985
2. 2 -62.40006 755.62866
3. 3 -57.50113 696.30536
4. 4 -48.48819 587.16394
5. 5 -29.67235 359.31503
6. 6 -7.37924 89.35838
7. 7 -2.48720 30.11856
8. 8 -54.87528 664.50793
9. 9 11.59663 140.42847
10. 10 0.10033 22.00180
11. 11 0.10033 22.00180
Sumber : USGS, 2014

Landsat 8 OLI tidak lagi dilakukan koreksi radiometri untuk reflektansi


hanya koreksi radiometri untuk radiasi dikarenakan citra yang diedarkan sudah
mengalami koreksi radiometri (USGS, 2014).

Koreksi Geometric Citra Landsat 8


Koreksi Geometrik bertujuan untuk menyesuaikan koordinat pixel pada
citra dengan koordinat bumi di bidang datar. Citra yang belum dikoreksi akan
memiliki kesalahan geometris (GIS Konsorium Aceh Nias, (2007).
Kesalahan geometri ini ada dua macam :
 Kesalahan Sistematis (systematic geometric errors), utamanya disebabkan
oleh kesalahan pada sensor. Untuk memperbaikinya diperlukan informasi
sensor dan data ephemeris saat pemotretan.
 Kesalahan Acak (non-systematic geometric errors), utamanya disebabkan
oleh orbit dan perilaku satelit serta efek rotasi bumi. Untuk mengoreksinya
diperlukan sebuah proses yang dikenal dengan istilah image to map
rectification. Proses ini memerlukan Titik Kontrol Tanah (Ground Control
38

Points, GCP) untuk menyesuaikan koordinat pixel pada citra dengan


koordinat objek yang sama di bidang datar peta (bumi) (Raharjo, 2010).

3.3.1 Melakukan Proses Pengolahan


Dalam Melakukan proses pengolahan ada dua metode yaitu metode
kualitatif dan metode kuantitatif pada kualitas terumbu karang terhadap Natural
Causses terumbu karang metode kuantitatif terjadi pada pemantuan suhu
permukaan laut yaitu :
Menghitung Index termal data citra dalam 3 tahun terakhir dari tahun 2016- 2018,
yaitu :
a. Pengumpulan data dari BMKG (Angin Muson Timur) pada tahun 2016
s/d 2018 yang tujannya untuk mengetahui suhu signifikan pada musim
panas, re-sampling band 10 dan band 11 menjadi resolusi yang lebih
tinggi dari resolusi sebelumnya.
b. Menghitung radiansi citra yang dihitung dengan formulasi dari USGS
yaitu :
Lλ = ML x Digital Number + AL langkah ini adalah langkah untuk
mengetahui band 10 dan band 11.
 Penghitungan temperature dengan menggunakan algoritma split
window menggunakan 3 variable di antaranya emisivitas,
transmisi atmosferik dan suhu kecerahan band 10 dan band 11
persamaan ini dapat di turunkan dari persamaan USGS.
c. Untuk emisivitas buatlah citra penutup lahan di wilayah kajian,
misalnya untuk mengklasifikaskan secara multispektral maximum
likelihoold lalu buatlah buatlah citra emisivitas dari citra penutup lahan
dengan bandmath di dalam proses pengolahan peneliti menggunakan
softwere ENVI 4.7.
 Karena nilai emisivitas air adalah 0.98 maka persamaan dapat
berupa : e1*(b1 eq 1)+e2*(b1 eq 2)+.....+en*(b1 eq n)
Keterangan:
e = emisivitas
b1 = citra penutup lahan (hasil langkah a)
1, 2, ..., n = urutan objek penutup lahan sesuai pengambilan ROI

d. Transmisi Atmosferik Peneliti membuka citra MODIS band 2,5,17,18


dan 19. Dalam format .hdf akan terbuka band dari band 1 s/d 36 terbagi
menjadi 3 kelompok yaitu reflectance, radiance dan emissive. Untuk
ektraksi uap air gunakan nilai reflektan sehingga proses selanjutnya hanya
menggunakan kelompok reflectance saja.lalu hitung uap air pada band 17,
18 dan 19 melalui toolsbandmath.
e. Pada langkah b ubah nilai radiansi menjadi suhu kecerahan menggunakan
tools bandmath sesuai dengan
Keterangan:
T = suhu kecerahan
39

= TOA radians

= konstanta termal band 10 atau 11 (ada di metadata)

= konstanta termal band 10 atau 11 (ada di metadata)


f. Setelah kita menemukan hasil dari emisivitas, transmisi atmosferik dan
suhu band 10 dan ban 11. Maka kita akan mengukur suhu permukaan
dengan bandmath sesuai dengan persamaan di bawah ini :
 Suhu Permukaan
Hitung suhu permukaan dengan bandmath sesuai persamaan
dibawah ini secara urut:
i. C10 =

ii. C11 =

iii. D10 =

iv. D11 =
v. E0 = D11*C10 – D10*C11 (merujuk pada citra hasil perhitungan
langkah i – iv)
vi. E1= D11*(1-C10-D10)/E0 (merujuk pada citra hasil perhitungan
langkah i – v)
vii. E2=D10*(1-C11-D11)/E0 (merujuk pada citra hasil perhitungan
langkah i – v)
viii. A= D10/E0 (merujuk pada citra hasil perhitungan langkah iii dan v)
ix. A0= E1*a10+E2*a11 (merujuk pada citra hasil perhitungan langkah vi – vii)
x. A1=1+A+E1*b10 (merujuk pada citra hasil perhitungan langkah vi
dan viii)
xi. A2=A+E2*b11 (merujuk pada citra hasil perhitungan langkah vii
dan viii)
g. Ts = A0+A1*T10-A2*T11
Keterangan:
Ts = suhu permukaan (K)
A0 = hasil perhitungan langkah i
A1 = hasil perhitungan langkah j
A2 = hasil perhitungan langkah k
T10 = suhu kecerahan band 10
T11 = suhu kecerahan band 11
Hasil akhir pengolahan ini berupa suhu permukaan dalam satuan Kelvin,
untuk merubah ke celcius bisa dihitung menggunakan tools bandmath dengan
persamaan:
Tscelcius= Ts-273.

Untuk Penelitian kualitatif maka peneliti akan melakukan penelitian survei cepat
yang bertujuan untuk memberikan umum secara cepat ada tidaknya kejadian
40

pemutihan karang pada lokasi penelitian di perairan desa sititis-tiris survei ini dst
sebagai time swim, berikut Teknis Pelaksanaan :
 Peneliti melakukan pengamatan terumbu karang dengan
snorkling/menyelam selama 5-6 menit di setiap lokasi terumbu karang
 Peneliti mencatat ada tidaknya pemutihan, jika terjadi pemutihan
persentase kejadian pemutihan karang dengan membandingkan luasan
bentik terumbu karang dalam radius pandangan pengamat selama rentang
waktu real time tsb.
 Dalam pengamatan di lakukan dua kedalaman (2-7 m dan 8-12 m).
 Data kualitatif dapat berupa dokumentasi foto.

3.3.2 Melakukan Pasca Processing


Dalam hasil dari proses pengolahan maka peneliti membandingkan data dari
suhu 3 tahun dari tahun 2016 s/d 2018 dengan data In – Situ terumbu karang
setelah 3 tahun terakhir, data terumbu karang di ambil dari data LIPI selama
2016 s/d 2018, yang kita tahu pada tahun 2016 ada anomaly EL-NINO, maka di
indonesia terjadi pemutihan karang massal.
3.4 Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian yang di lakukan sebagai berikut :
1. Mengambil data Daerah dari BMKG untuk melihat anomaly suhu
dalam 3 tahun terakhir.
2. Suhu yang di dapat di jadikan data pembanding, untuk pengolahan
data citra yang akan di lakukan.
3. Meninjau koordinat lapangan dengan menngunakan GPS (Global
position system ).

4. Menentukan titik – titik amat ( base ) pada daerah yang akan disurvey
didasarkan penentuan anomali.
5. Melakukan kalibrasi koreksi radiometrik data yang di ambil dari
landsat-8 TIRS.
6. Mengubah data gambar menjadi data grafik dengan menggunakan
algortima split-window.
7. Data yang di peroleh di analisis dan interpretasi.
8. Membandingkan data yang sudah valid dari Suhu setempat dari data
BMKG, dengan data gambar dari landasat-8 TIRS yang peneliti
dapatkan.
9. Membandingkan data Hasil Perubahan Suhu BMKG dengan data
landsat-8 TIRS.
10. Bagaimana kondisi terumbu karang dalam beberapa tahun yang akan
datang.
41

Gambar.3.1 Alir Penelitian data pra-lapangan dengan data Insitu

Mulai

Pengumpulan Data

Natural Causes

Analisis Suhu Permukaan laut Terumbu Karang

BMKG Landsat-8 TIRS LIPI In Situ

Interpretasi

Kesimpulan

Selesai
42

Gambar.3.2 Alir Penelitian Pengindraan Jauh

Mulai

Pengumpulan Data

Natural Causes

Analisis Suhu Permukaan laut

BMKG Landsat-8 TIRS

Pengumpulan Data Bulan dengan SST yang


signifikan

Suhu Data Citra Satelit


signifikan :

2016 Koreksi Radionetrik

2017
Data Citra Satelit Siap Pakai
2018

Suhu/Thermal
Index

Split window
algoritma

Peta analisis pengaruh SST dan Grafik SST

Selesai

Gambar.3.2 Alir Penelitian Pengindraan Jauh

Mulai
43

Pengumpulan Data dan Survei

Natural Causes

Terumbu Karang

LIPI Penyelaman

Pengumpulan Data Gambar

Perubahan Kesimpulan
komunitas
terumbu :
Selesai
2016

2017

2018
DAFTAR PUSTAKA

Ariawan, P., (2010), Sistem Informasi Geografis, Universitas Udayana, Denpasar.

Asep Sukmara,Audrie J. Siahainenia, Christovel Rotinsulu.(2001).Panduan


Terumbu Karang Berbasis-Masyarakat dengan metode manta taw.(proyek
pesisir- CRMP Indonesia). 5 -8.

Azizi, Z., Najavi, A., dan Sorahbi, H., (2010), Forest Canopy Density Estimating,
Using Satellite Images, The International Archives of The
Photogrammetry,Remote Sensing and Spatial Information Science
VXXXVII (88) : 1127 – 1130.

Budianto, E, (2010), Sistem Informasi Geografis dengan ArcView Gis, penerbit


andi, Yogyakarta.

Badan Pusat Statistika (BPS), (2014), Kabupaten Tapanuli Tengah Dalam Angka
2014, BPS Kabupaten Tapanuli Tengah.

Badan Pusat Statistika (BPS), (2012), Kecamatan Andam Dewi Dalam Angka
2012, BPS Kecamatan Andam Dewi.

C. Coll and V. Caselles, “A split-window algorithm for land surface temperature


from advanced very high resolution radiometer data: Validation and
algorithm comparison,” J. Geophys. Res. Atmospheres, vol. 102, no. D14,
pp. 16697–16713, Jul. 1997.

ESRI, (2001), ArcGIS Spatial Analyst ; Advanced GIS Spatial Analysis Using
Raster and Vector Data, ESRI Press, USA.

F.Bayat dan M.Hasanlou., (2016), FEASIBILITY STUDY OF LANDSAT-8


IMAGERY FOR RETRIEVING SEA SURFACE TEMPERATURE (CASE
STUDY PERSIAN GULF),Vol: XLI-B8. The International Archives of the
Photogrammetry hal :1107-1108.

GIS Konsorium Aceh Nias, (2007), Modul Pelatihan ArcGIS Tingkat Dasar, Staf
Pemerintahan Kota Banda Aceh, Banda Aceh.

Hoegh-Guldberg O., 1999. Climate change, coral bleaching and the future of the
world's coral reefs. Marine and Freshwater Research 50.

Howard, J. A., (1996), Penginderaan Jauh untuk Sumber Haya Hutan: Teori dan
Aplikasi, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Julie Kerr Casper., (2010), Climate Management solving The Problem : Facts On
File , USA., New york.

44
45

John F. Bruno., (2007), Thermal Stress and Coral Cover as Drivers of Coral
Disease Outbreaks, marine science, Vol: 5. Marine science hal:1221.

Lillesand, T. M., and Kiefer, R. W., (1999), Remote Sensing and Image
Interpretation, Third Edition, John Wiley & Son Inc., New York.

Madeleine.J.H.V Oppen dan Janice M. Lough .,(2009), coral bleaching


petterns,processes,causes and consequences.spinger,205.(7-13) 2009.

Makoye Sebastian dan Lulu T Kaaya., (2018), Impacts of Sea Surface


Temperature on Coral Reefs in Mafia Island, Tanzania. Journals of marine
saince,253.(8) 2018

Moch. Sodiq., (2013), Pemansan Global : dampak terhadap kehidupan manusia


dan Usaha Penanggulangannya, Penerbit : Graha Ilmu, Surabaya.

Mulyanta, E. S., (2006), Pengolahan Digital Image dengan Photoshop CS2,


Penerbit Andi: Yogyakarta.

National Aeronautics and Space Administration, (2014), Landsat 7 Science Data


User Handbook, NASA Press, US.

Prasetyo, A., (2011), Modul Dasar Sistem Informasi Geografis, Departemen


Konservasi Sumberdaya Hutan Dan Ekowisata Fakultas Kehutanan IPB,
Bogor.

Peter Castro dan Micheal E. Huber., (2008) Marine Biology : seventh edition,
McGraw-Hill Higher Education, USA.

Raharjo, B., (2010), Tutorial ArcGIS Bagi Pemula Versi ArcGIS 9.3.1,
Yogyakarta, GISTutorial.NET.

Rahmatsyah, Marlianto, E., dan Sitepu, M. (2015). Analysis of the Porites Coral
Reef Growth Based on Natural Causes in Central Tapanuli Sub Region,
North Sumatra Indonesia. International Journal of Sciences: Basic and
Applied Research (IJSBAR),22(2) : 121-129.

Salm, R.V. and S.L. Coles (eds). 2001. Coral Bleaching and Marine Protected
Areas. Proceedings of the Workshop on Mitigating Coral Bleaching
Impact Through MPA Design, Bishop Museum, Honolulu, Hawaii, 29-31
May 2001. Asia Pacific Coastal Marine Program Report # 0102, The
Nature Conservancy, Honolulu, Hawaii, U.S.A: 118 pp.

Statistik Daerah Kecamatan Andam Dewi., (2012) Badan Pusat Statistik


Kabupaten Tapanuli Tengah. Pandan : Jl N. Daulay. Indonesia.

Suseno, A., (2008), Modul Sistem Informasi Tingkat Dasar, Jakarta.


46

Sutanto, (1986)., Penginderaan Jauh, jilid 1 dan 2, Gadjah mada university press:
yogyakarta. http://landsat.usgs.gov/diakses tanggal 06 Januari 2017.

Thoha, A. S., (2008), Karakteristik Citra Satelit, USU Press, Sumatera Utara.

Trisakti, B., (2012), Pemanfaatan Data Citra Satelit dalam Mendukung


Pengelolaan SDA, Pusat Pemanfaatan LAPAN, Bogor.

Tim SIG PT. Geomatik-Konsultan, (2010), Sistem informasi Geografis, PT


Geomatik, Jakarta.

Yayasan pelaGIS, (2011), Modul Pelatihan Sistem Informasi Geografis Tingkat


Lanjut, Yayasan pelaGIS Press, Aceh.

NASA. “Landsat Data Continuity Mission Brochure” http://www.usgs.gov/


(diakses 27 November 2014)

NOAA. “What is NOAA” http://www.legislative.noaa.gov. (diakses Februari


2011)

USGS, (2014), Landsat. http://landsat.usgs.gov/ band designations landsat


satellites .php (diakses tanggal 27 November 2014)

USGS, (2014), Using the USGS Landsat 8 Product.


http://landsat.usgs.gov/Landsat8 Using_Product.php (diakses tanggal 27
November 2014)

Anda mungkin juga menyukai