Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

I. 1 Latar Belakang
Abses leher dalam adalah abses yang terbentuk di dalam ruang potensial di
antara fasia leher akibat penjalaran infeksi dari berbagai sumber, seperti infeksi pada
daerah faring dan tonsil, gigi, kelenjar liur, telinga tengah atau bisa juga akibat
trauma pada saluran cerna, limfadenitis, serta penggunaan obat injeksi secara
intravena dan subkutan. Sejak ditemukannya antibiotik, secara signifikan angka
kesakitan dan kematian kasus abses leher dalam menurun secara drastis. Walaupun
demikian, abses leher dalam sampai saat ini masih menjadi salah satu kasus
kegawatdaruratan di bidang THT.1,2
Kebanyakan kuman penyebab adalah golongan Streptococcus,
Staphylococcus, kuman anaerob Bacteroides atau kuman campuran. Abses leher
dalam dapat berupa abses peritonsil, abses retrofaring, abses parafaring, abses
submandibula dan angina ludovici.1
Abses parafaring adalah abses leher dalam paling sering terjadi kedua setelah
abses peritonsilar. Insidensi kejadian abses parafaring diseluruh dunia adalah 1 dalam
6-10.000 orang setiap tahun. Abses parafaring ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Ruang parafaring dapat mengalami
infeksi secara langsung akibat tusukan saat tonsilektomi, limfogen dan hematogen.
Gejala klinis berupa demam, nyeri tenggorok dan disfagia. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan trismus, pembengkakan disekitar angulus mandibula, pembengkakan
dinding lateral faring hingga menonjol ke arah medial. Pemeriksaan penunjang
berupa foto polos jaringan lunak leher dan tomografi komputer.1,3,4
Secara umum terapi abses leher dalam terdiri dari medikamentosa dan
drainase. Terapi medikamentosa meliputi pemberian antibiotika baik untuk kuman
aerob maupun anaerob dan simptomatis sesuai keluhan serta gejala klinis yang

1
timbul. Drainase abses dapat dilakukan dengan dua pendekatan yaitu insisi eksterna
dan intra oral.
Pada laporan kasus ini akan dilaporkan pasien laki-laki Tn. C usia 53 tahun
dengan diagnosis Abses Parafaring Dextra.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Anatomi dan Fisiologi Faring


II.1.1 Anatomi Faring
Faring adalah suatu kantong fibromuskular yang bentuknya seperti corong,
yang besar di bagian atas dan sempit di bagian bawah. Kantong ini mulai dari dasar
tengkorak terus menyambung ke esofagus setinggi vertebra servikal ke-6. Ke atas,
faring berhubungan dengan rongga hidung melalui koana, ke depan berhubungan
dengan rongga mulut melalui istmus orofaring, sedangkan dengan laring di bawah
berhubungan melalui aditus laring dan ke bawah berhubungan dengan esofagus.
Panjang dinding posterior faring pada orang dewasa kurang lebih 14 cm. Dinding
faring dibentuk oleh (dari dalam ke luar) selaput lendir, fasia faringobasiler,
pembungkus otot dan sebagian fasia bukofaringeal.1
Otot faring tersusun dalam lapisan melingkar dan memanjang.
Otot-otot yang sirkular terdiri dari m.konstriktor faring superior, media
dan inferior. Otot-otot ini terletak ini terletak di sebelah luar dan berbentuk seperti
kipas dengan tiap bagian bawahnya menutupi sebagian otot bagian atasnya dari
belakang. Di sebelah depan otot-otot ini bertemu satu sama lain dan di belakang
bertemu pada jaringan ikat. Kerja otot konstriktor ini adalah untuk mengecilkan
lumen faring dan otot-otot ini dipersarafi oleh nervus vagus.1,4
Otot-otot faring yang tersusun memanjang terdiri dari m.stilofaring dan
m.palatofaring. M. stilofaring gunanya untuk melebarkan faring dan menarik laring,
sedangkan m.palatofaring mempertemukan ismus orofaring dan menaikkan bagian
bawah faring dan laring. Kedua otot ini bekerja sebagai elevator, kerja
kedua otot ini penting untuk proses menelan. 1

3
Gambar 1. Struktur muskulus penyusun faring5

Faring mendapat darah dari beberapa sumber dan kadang -kadang


tidak beraturan. Yang utama berasal dari cabang arteri karotis eksterna
(cabang faring asendens dan cabang fausial) serta dari cabang arteri maksila
interna yakni cabang palatina superior.1

Gambar.2 Pendarahan faring5

4
Untuk keperluan klinis faring dibagi menjadi 3 bagian utama, yaitu nasofaring,
orofaring, dan laringofaring atau hipofaring. Nasofaring merupakan sepertiga bagian
atas faring, yang tidak dapat bergerak kecuali palatum mole di bagian bawah.
Orofaring terdapat pada bagian tengah faring, meluas dari batas bawah palatum mole
sampai permukaan lingual epiglotis. Hipofaring merupakan bagian bawah faring yang
menunjukkan daerah saluran napas atas yang terpisah dari saluran pencernaan bagian
atas.1,2

Gambar 3. Bagian-bagian Faring6

Berdasarkan letaknya, faring dibagi atas :

1) Nasofaring
Batas nasofaring di bagian atas adalah dasar tengkorak, dibagian bawah
adalah palatum mole, ke depan adalah rongga hidung sedangkan ke belakang
adalah vertebra servikal.1
Nasofaring yang relatif kecil, mengandung serta berhubungan erat dengan
beberapa struktur penting misalnya adenoid, jaringan limfoid pada dinding
lareral faring dengan resessus faring yang disebut fosa rosenmuller, kantong
rathke, yang merupakan invaginasi struktur embrional hipofisis serebri, torus

5
tubarius, suatu refleksi mukosa faring diatas penonjolan kartilago tuba
eustachius, konka foramen jugulare, yang dilalui oleh nervus glosofaring,
nervus vagus dan nervus asesorius spinal saraf kranial dan vena jugularis
interna bagian petrosus os.tempolaris dan foramen laserum dan muara tuba
eustachius.1
2) Orofaring
Disebut juga mesofaring dengan batas atasnya adalah palatum mole, batas
bawahnya adalah tepi atas epiglottis, ke depan adalah rongga mulut sedangkan
ke belakang adalah vertebra servikal. Struktur yang terdapat di rongga
orofaring adalah dinding posterior faring, tonsil palatine, fosa tonsil serta
arkus faring anterior dan posterior, uvula, tonsil lingual dan foramen sekum. 1
3) Laringofaring (hipofaring)
Batas laringofaring disebelah superior adalah tepi atas yaitu dibawah
valekula epiglotis berfungsi untuk melindungi glotis ketika menelan minuman
atau bolus makanan pada saat bolus tersebut menuju ke sinus piriformis
(muara glotis bagian medial dan lateral terdapat ruangan) dan ke esofagus,
nervus laring superior berjalan dibawah dasar sinus piriformis pada tiap sisi
laringofaring. Sinus piriformis terletak di antara lipatan ariepiglotika dan
kartilago tiroid. Batas anteriornya adalah laring, batas inferior adalah esofagus
serta batas posterior adalah vertebra servikal. Lebih ke bawah lagi terdapat
otot-otot dari lamina krikoid dan di bawahnya terdapat muara esophagus. 1
Bila laringofaring diperiksa dengan kaca tenggorok pada pemeriksaan
laring tidak langsung atau dengan laringoskop pada pemeriksaan laring
langsung, maka struktur pertama yang tampak di bawah dasar lidah ialah
valekula. Bagian ini merupakan dua buah cekungan yang dibentuk oleh
ligamentum glosoepiglotika medial dan ligamentum glosoepiglotika lateral
pada tiap sisi. Valekula disebut juga “kantong pil” ( pill pockets), sebab pada
beberapa orang, kadang-kadang bila menelan pil akan tersangkut disitu. 1

6
Dibawah valekula terdapat epiglotis. Pada bayi epiglotis ini berbentuk
omega dan perkembangannya akan lebih melebar, meskipun kadang-kadang
bentuk infantil (bentuk omega) ini tetap sampai dewasa. Dalam
perkembangannya, epiglotis ini dapat menjadi demikian lebar dan tipisnya
sehingga pada pemeriksaan laringoskopi tidak langsung tampak menutupi pita
suara. Epiglotis berfungsi juga untuk melindungi (proteksi) glotis ketika
menelan minuman atau bolus makanan, pada saat bolus tersebut menuju ke
sinus piriformis dan ke esofagus. Nervus laring superior berjalan dibawah
dasar sinus piriformis pada tiap sisi laringofaring. Hal ini penting untuk
diketahui pada pemberian anestesia lokal di faring dan laring pada tindakan
laringoskopi langsung.1

II.1.2 Ruang parafaring


Ruang parafaring disebut juga sebagai ruang faringomaksila, ruang faringeal
lateral atau ruang perifaring. Ruang ini berbentuk kerucut terbalik dengan dasarnya
pada bagian superior di dasar tengkorak dan puncaknya pada inferior tulang hyoid.
Batas ruang ini adalah dasar tengkorak di bagian superior (pars petrosus os temporal
dan os sphenoid), os hyoid di inferior, rafe pterygomandibular di anterior, fasia
prevertebra di posterior, fasia bukofaringeal di medial dan lapisan superfisial fasia
servikal profunda yang meliputi mandibula, pterygoid medial dan parotis di lateral.
Ruang parafaring berhubungan dengan beberapa ruang leher dalam termasuk ruang
submandibula, ruang retrofaring, ruang parotis dan ruang mastikator. Ruang
parafaring dibagi menjadi 2 bagian yang tidak sama besarnya oleh prosesus styloid
menjadi kompartemen anterior atau muskuler atau prestyloid dan komponen posterior
atau neurovaskuler atau poststyloid. Ruang prestyloid berisi lemak, otot, kelenjar
limfe dan jaringan konektif serta dibatasi oleh fossa tonsilar di medial dan pterygoid
medial di sebelah lateral. Ruang poststyloid berisi a. karotis interna, v. jugularis
interna, n. vagus yang dibungkus dalam suatu sarung yang disebut selubung karotis

7
dan saraf kranialis IX, X, XII. Bagian ini dipisahkan dari ruang retrofaring oleh suatu
lapisan yang tipis.4,5,6

Gambar 4. Potongan koronal melalui ruang parafaring.5

II.1.3 Fisiologi Faring


Fungsi faring yang terutama ialah untuk respirasi, pada waktu menelan,
resonansi suara dan untuk artikulasi. Terdapat 3 fase dalam menelan yaitu fase oral,
fase faringeal dan fase esophageal. Fase oral, bolus makanan dari mulut menuju ke
faring. Gerakan disini disengaja (voluntary). Fase faringeal yaitu pada waktu
transport bolus makanan melalui faring. Gerakan disini tidak disengaja (involuntary).
Fase esofagal, disini gerakannya tidak disengaja, yaitu pada waktu bolus makanan
bergerak secara peristaltik di esofagus menuju lambung. 1
Pada saat berbicara dan menelan terjadi gerakan terpadu dari otot-otot
palatum dan faring. Gerakan ini antara lain berupa pendekatan palatum mole ke arah
dinding belakang faring. Gerakan penutupan ini terjadi sangat cepat dan melibatkan

8
mula-mula m.salpingofaring dan m.palatofaring, kemudian m.levator veli palatine
bersama-sama m.konstriktor faring superior. Pada gerakan penutupan nasofaring
m.levator veli palatine menarik palatum mole ke atas belakang hamper mengenai
dinding posterior faring. Jarak yang tersisa ini diisi oleh tonjolan (fold of) Passavant
pada dinding belakang faring yang terjadi akibat 2 mavam mekanisme, yaitu
pengangkatan faring sebagai hasil gerakan m,palatofaring (bersama m.salpingofaring)
dan oleh kontraksi aktif m.konstriktor faring superior.1

II. 4 Definisi dan Epidemiologi


Abses parafaring adalah abses leher dalam paling sering terjadi kedua setelah
abses peritonsilar. Insidensi kejadian abses parafaring diseluruh dunia adalah 1 dalam
6-10.000 orang setiap tahun.3 Huang dkk, dalam penelitiannya pada tahun 1997
sampai 2002, menemukan kasus infeksi leher dalam sebanyak 185 kasus. Abses
submandibula (15,7%) merupakan kasus terbanyak ke dua setelah abses parafaring
(38,4), diikuti oleh angina Ludovici (12,4%), parotis (7%) dan retrofaring (5,9%).7

II. 5 Etiologi
Ruang parafaring dapat mengalami infeksi dengan cara 1) Langsung, yaitu
akibat tusukan jarum pada saat melakukan tonsilektomi dengan analgesia.
Peradangan terjadi karena ujung jarum suntik yang telah terkontaminasi kuman
menembus lapisan otot tipis (m.konstriktor faring superior) yang memisahkan ruang
parafaring dari fosa tonsilaris. 2) Proses supurasi kelenjar limfa leher bagian dalam,
gigi, tonsil, faring, hidung, sinusparanasal, mastoid dan vertebra servikal dapat
merupakan sumber infeksi untuk terjadinya abses ruang parafaring. 3) Penjalaran
infeksi dari ruang peritonsil, retrofaring atau submandibula.1

9
II. 6 Patologi
Sekali terjadi infeksi dimulai pada jaringan lunak leher, jika tidak segera
terdeteksi, akan meluas ke salah satu ruang fasia leher yang paling lemah. Dari sana
dapat mengalir ke atas, ke bawah atau ke lateral, mengikuti ruang-ruang fasia.
8
Infeksi leher dalam merupakan selulitis fregmentosa dengan tanda-tanda setempat
yang sangat mencolok atau menjadi tidak jelas karena tertutup jaringan yang
melapisinya. Seringkali dimulai pada daerah prastiloid sebagai suatu selulitis, jika
tidak diobati akan berkembang menjadi suatu trombosis dari vena jugalaris interna.
Abses dapat mengikuti m.stiloglosus ke dasar mulut dimana terbentuk abses. 8
Infeksi dapat menyebar dari anterior ke bagian posterior, dengan perluasan ke
bawah sepanjang sarung-sarung pembuluh darah besar, disertai oleh trombosis
v.jugularis atau suatu mediastinitis. Infeksi dari bagian posterior akan meluas ke atas
sepanjang pembuluh-pembuluh darah dan mengakibatkan infeksi intrakranial atau
erosi a.karotis interna. 8

Gambar 5. Skema Perluasan Infeksi pada ruang potensial leher. 7


(PMS = ruang faringo maksilar, VVS = ruang vaskuler visceraal)

10
II. 7 Manifestasi Klinis
Pada infeksi dalam ruang parafaring terdapat pembengkakan dengan nyeri
tekan di daerah submandibula terutama pada angulus mandibula, leukositosis dengan
pergeseran ke kiri dan adanya demam. Terlihat edem uvula, pilar tonsil, palatum dan
pergeseran ke medial dinding lateral faring. Sebagai perbandingan pada abses
peritonsil, hanya tonsil yang terdorong ke medial.8Trismus yang dapat disebabkan
oleh meregangnya m.pterigoid internus merupakan gejala yang menonjol, tetapi
mungkin tidak terlihat jika infeksi jauh di dalam sampai prosesus stiloid dan struktur
yang melekat padanya sehingga tidak mengenai m.pterigoid internus. 8

II. 8 Diagnosa
Diagnosa ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit, gejala dan tanda klinik.
Bila meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan penunjang berupa fotorontgen,
jaringan lunak AP atau CT scan.1 Foto jaringan lunak leher antero-posterior dan
lateral merupakan prosedur diagnostik yang penting. Pada pemeriksaan foto jaringan
lunak leher pada kedua posisi tersebut dapat diperoleh gambaran deviasi trakea, udara
di daerah subkutis, cairan di dalam jaringan lunak dan pembengkakan daerah jaringan
lunak leher.4

Keterbatasan pemerikasaan foto polos leher adalah tidak dapat membedakan


antara selulitis dan pembentukan abses. Pemeriksaan foto toraks dapat digunakan
untuk mendiagnosis adanya edema paru, pneumotoraks, pneumomediastinum atau
pembesaran kelenjar getah hilus. Pemeriksaan tomografi komputer dapat membantu
menggambarkan lokasi dan perluasan abses. Dapat ditemukan adanya daerah densitas
rendah, peningkatan gambaran kontras pada dinding abses dan edema jaringan lunak
disekitar abses. Pemeriksaan kultur dan tes resistensi dilakukan untuk mengetahui
jenis kuman dan pemberian antibiotika yang sesuai.1,4,

11
I.9 Tatalaksana
Tatalaksana abses parafaring dilakukan dengan medikamentosa dan terapi
bedah. Terapi medikamentosa meliputi pemberian antibiotika baik untuk kuman
aerob maupun anaerob dan simptomatis sesuai keluhan serta gejala klinik yang
timbul. Terapi bedah dapat dilakukan dengan 2 cara pendekatan eksternal atau intra
oral.4 Jika terdapat pus maka tidak ada cara lain kecuali dengan evakuasi bedah.
Sebelumnya diperlukan tirah baring dan kompres panas untuk menekan lokalisasi
abses. Terapi antimikroba sangat perlu, lebih baik berdasarkan tes sensitivitas.8

1. Pemberian antibiotika
Banyak mikroorganisme yang dapat menjadi penyebab infeksi kepala dan
leher, dan berasal dari berbagai sumber. Flora bakteri campuran sering
ditemukan pada hasil kultur. Bakteri gram positif, streptococcus beta hemolitik
dan staphylococcus aureus adalah bakteri yang paling sering ditemukan. Bakteri
gram negatif dan juga anaerob juga sering ditemukan. Anaerob biasanya
ditemukan terutama pada infeksi-infeksi akibat penyebaran dentogen. Bakteri-
bakteri penghasil beta laktamase ditemukan meningkat frekuensinya pada infeksi
kepala dan leher. 6
Dengan insidensi bakteri gram negatif dan bakteri penghasil beta laktamase
yang tinggi, penisilin bukan lagi merupakan obat pilihan untuk kasus infeksi ini.
Sebelum hasil kultur dan uji sensitifitas didapatkan, antibiotik yang digunakan
adalah yang memiliki spektrum terhadap bakteri gram positif, gram negatif,
anaerob dan penghasil beta laktamase. Biasanya diberikan kombinasi antibiotik,
seperti klindamisin dan cefuroxime serta ampisilin dan sulbaktam, sebagai
pilihan yang paling baik. 6

12
2. Drainase abses
Sebagian besar abses leher dalam perlu dilakukan drainase untuk
penyembuhan dan mencegah komplikasi. Tindakan drainase pada abses
parafaring dilakukan dengan dengan pendekatan eksterna dan intra oral.
a. Insisi intraoral
Insisi intra oral dilakukan jika timbul penonjolan ke dalam faring, dilakukan
anestesi sebelum tindakan dan dilanjutkan dengan insisi dan drainase. Insisi
intra oral dilakukan pada dinding lateral faring harus dilakukan dengan
memakai klem arteri, eksplorasi dilakukan dengan menembus m. konstriktor
faring superior ke ruang parafaring. Insisi intra oral dilakukan bila perlu dan
sebagai terapi tambahan dari insisi eksternal.1,8
b. Insisi eksterna
Insisi ekterna jika suatu abses menonjol ke luar atau tampak pembengkakan
yang jelas. Drainase eksterna dilakukan secara teknik Mosher yaitu insisi
seperti huruf “T” yang dilakukan pada 2 jari di bawah dan sejajar
mandibula. Secara tumpul eksplorasi dilanjutkan dari anterior m.
sternokleidomastoideus ke arah kranio-posterior menyusuri medial
mandibula dan m. pterygoid internus mencapai ruang parafaring dengan
meraba prosesus styloideus. Bila nanah terdapat di selubung karotis, insisi
dilanjutkan secara vertikal dari pertengahan insisi horizontal ke bawah di
depan m. sternokleiodomastoideus.1,4,8,9

13
BAB III
KASUS

III.1 IDENTITAS PASIEN


Nama Pasien : Tn. C
Jenis kelamin : Laki – laki
Umur : 53 tahun
Alamat : Jalan Menteng XVI
Agama : Kristen Protestan
Ruang Rawat : Nusa Indah
Pekerjaan : Swasta
Tanggal MRS : 26 Dessember 2018
Nomor RM : 26.12.18

III.2 ANAMNESIS

b. Diberikan oleh : IGD


c. Tempat/Tanggal/Pukul : Nusa Indah / 31 Desember 2018
(Autoanamnesis)
d. Keluhan Utama : Sulit membuka mulut
e. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang dengan keluhan sulit membuka mulut sejak 1 hari sebelum
masuk rumah sakit. Keluhan dirasa seperti rasa kaku pada rahang
sehingga mengganggu aktivitas makan dan minum. Pasien mengaku
keluhan didahui dengan nyeri menelan, nyeri tenggorok dan terasa
bengkak pada dagu kanan sejak 5 hari yang lalu. Bengkak dirasa semakin
membesar, bewarna agak kemerahan dan dirasa nyeri. Pasien juga
mengeluhkan demam sejak 4 hari yang lalu disertai dengan nyeri telinga.

14
Pasien mengaku sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit
mengeluhkan sakit gigi geraham kanan bawah. Suara serak, batuk pilek
dan sesak napas disangkal.

f. Riwayat Penyakit Dahulu :


Pasien mengaku sering menderita sakit gigi sebelumnya. Riwayat DM,
hipertensi, serta asma disangkal pasien.

g. Riwayat Pengobatan :
Pasien sebelumnya pernah berobat ke perawat gigi terkait keluhannya dan
konsumsi beberapa obat, namun pasien lupa nama obatnya.

h. Riwayat Alergi :
Pasien mengaku tidak memiliki riwayat alergi.

i. Riwayat Sosial :
Pasien jarang membersihan giginya dan terkadang suka mengorek-ngorek
giginya.

III.3 Pemeriksaan Fisik


Status Generalis
Keadaan Umum : Tampak Sakit Sedang
Kesadaran : Composmentis (E4V5 M6)
Tanda Vital : Tekanan Darah : 130/90 mmHg
Nadi : 91 x / menit
Respirasi : 20 x/ menit
Suhu : 37,0 derajat Celcius

15
Status Lokalis
Wajah
Inspeksi : Asimetris (+), kemerahan (+)
Palpasi : Nyeri tekan (+)
Mata : Visus 6/6, diplopia (-), infeksi konjungtiva (-)
Hidung : Deviasi (-), discharge (-)
Telinga : Discharge (-)
Mulut : Trismus (+) 2 jari
Sensoris : Normoestesia

Leher
Inspeksi : Tampak pembengkakan pada region angulus
mandibula dextra
Palpasi : Nyeri tekan (+), fluktuasi (+)

Pemeriksaan Telinga

- Inspeksi : Kedua daun telinga dalam batas normal


- Palpasi : Tidak ditemukan nyeri tekan dan massa
- Otoskopi : Kedua liang telinga tampak serumen minimal, kedua
membran timpani intak, cone of light (+) arah jam 5 untuk
aurikula dextra dan arah jam 7 untuk aurikula sinistra.

16
Pemeriksaan Hidung

- Inspeksi : Bentuk hidung luar kesan normal, deviasi (-)


- Palpasi : Nyri tekan (-), krepitasi (-)
- Rhinoskopi anterior : Vestibulum nasi dextra dan sinistra tidak hiperemis,
cavum nasi dextra dan sinistra kesan tidak
menyempit, tidak tampak edema serta hipertrofi
pada konka nasi dextra maupun sinistra, sekret
minimal, fenomena pallatum molle (+).

Pemeriksaan Tenggorok

Trismus (+) 2 jari

Dinding lateral tampak bengkak


dan hiperemis serta tampak
akumulasi pus

- Dinding dorsal orofaring tidak hiperemis, tonsil dextra dan sinistra


tenang, tampak pembengkakan pada dinding lateral dextra, hiperemis (+).

17
Pemeriksaan Gigi dan Mulut
- Tampak gangren radiks pada gigi molar 3 kanan bawah yang ditandai
dengan erupsi sebagian dan drainase pus di sekitar gigi.

III.4 Pemeriksaan Penunjang


1. Laboratorium
26 Desember 2018
Pemeriksaan Darah Lengkap dan Kimia Darah
 WBC : 12,62 x 103/uL*
 Hb : 15,5 g/dl
 RBC : 5,54 x 106 /uL
 PLT : 290 x 103 /uL
 Creatinine : 1,24 mg/dL
 GDS : 101 mg/dL

III.5 Diagnosis Kerja


Abses Parafaring Dextra
Gangren Radiks M3 (Kanan Bawah)

18
III.6 Terapi
- Infus RL 20 tpm
- Ceftriaxone 2 x 1g
- Metronidazole 3 x 500 mg
- Ketorolac 3 x 30 mg
- Ranitidine 2 x 50 mg
- PCT infus 1000 mg
- Betadine garglez 2 x SUE

III.7 Prognosis
Quo ad vitam : Ad bonam
Quo ad functionam : Ad bonam
Quo ad sanationam : Dubia ad bonam

BAB IV

19
PEMBAHASAN

Pada kasus ini, dilaporkan seorang laki-laki bernama Tn.C, berusia 53 tahun
dengan keluhan utama diawal masuk RSUD dr. Doris Sylvanus, Palangka Raya,
Kalimantan Tengah tanggal 26 Desember 2018 yaitu sulit membuka mulut dengan
diagnosis Abses parafaring dextra.
Berdasarkan hasil anamnesis yang telah dilakukan, tanda dan gejala yang
ditemukan sebagai pendukung dari diagnosis kasus ini adalah diketahui bahwa pasien
menderita keluhan sulit membuka mulut yang dirasa sejak 1 hari sebelum masuk
rumah sakit. Keluhan didahului dengan adanya nyeri menelan, nyeri tenggorok dan
rasa bengkak di dagu kanan sejak 5 hari yang lalu. Pasien juga mengeluhkan demam
serta nyeri telinga sejak 4 hari yang lalu serta memiliki riwayat sakit gigi sebelumnya
yakni ±1 minggu yang lalu.
Hasil yang didapatkan dari anamnesis pasien sesuai dengan teori mengenai
abses leher dalam, yakni didapatkannya gejala nyeri tenggorok, demam disertai
dengan terbatasnya gerakan membuka mulut, sehingga keluhan yang dirasakan pasien
pada kasus ini harus dicurigai disebabkan oleh abses leher dalam.
Abses leher dalam terbentuk di dalam ruang potensial di antara fasia leher
dalam sebagai akibat penjalaran infeksi dari berbagai sumber, seperti gigi, mulut,
tenggorok, sinus paranasal, telinga tengah dan leher. Pada pasien kasus ini juga
diperkuat dengan adanya riwayat sakit gigi sebelumnya, yang mana gigi dapat
menjadi salah satu sumber penjalaran infeksi yang menyebabkan terjadinya abses
leher dalam. Abses leher dalam dapat berupa abses peritonsil, abses retrofaring, abses
parafaring, abses submandibular, dan angina Ludovici. Untuk dapat menentukan tipe
dan letak abses yang terjadi pada pasien ini, maka diperlukan pemeriksaan fisik.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan pembengkakan pada wajah di region
angulus mandibula dextra, dengan nyeri tekan positif. Trismus hanya didapatkan pada
awal perawatan saja. Pada pemeriksaan tenggorok didapatkan dinding lateral tampak

20
bengkak dan hiperemis serta tampak akumulasi pus yang presumtif kepada keadaan
abses parafaring. Tonsil dan uvula tampak tenang sehingga dapat disingkirkan dari
abses peritonsil. Dinding belakang faring tidak didapatkan benjolan sehingga
kemungkinan abses retrofaring dapat disingkirkan. Pada pemeriksaan intraoral
didapatkan gangren pada gigi molar ke 3 kanan bawah yang ditandai dengan erupsi
sebagian dan drainase pus di sekitar gigi.
Berdasarkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik yang dilakukan pada
pasien ini dapat ditarik kesimpulan bahwa diagnosis abses parafaring dapat ditegakan.
Diagnosis dari abses parafaring ini sendiri dapat ditegakan berdasarkan dari riwayat
penyakit, gejala dan tanda klinik. Bila meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan
penunjang berupa foto Rontgen jaringan lunak AP atau CT scan. Pada pasien ini
pemeriksaan penunjang tersebut tidak dilakukan.
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan leukosit yang meningkat, yang
diketahui sebagai penanda adanya suatu infeksi. Hal ini disebabkan karena sebagian
besar abses leher dalam disebabkan oleh campuran dari berbagai kuman, baik kuman
aerob, anaerob, maupun fakultatif anaerob. Kebanyakan kuman penyebab dari abses
leher dalam adalah golongan Streptococcus, Staphylococcus, kuman anaerob
Bacterioides atau kuman campuran.
Pada pasien ini diberikan terapi berupa pemberian antibiotik ceftriaxone dan
metronidazole, analgetik ketorolac, antipiretik paracetamol dan obat kumur serta
rencana ekstraksi gigi. Analgetik dan antipiretik yang diberikan pada pasien hanya
terkait dengan tatalaksana simptomatik yang dirasakan pasien seperti mengeluh
adanya nyeri dan demam.
Pemberian antibiotik kombinasi yang diberikan pasien kasus ini telah sesuai
dengan teori, mengingat untuk terapi antibiotika kasus dengan abses parafaring dapat
diberikan antibiotik dosis tinggi secara parenteral terhadap kuman aerob dan anaerob.
Ceftriaxone sendiri merupakan golongan sefalosforin generasi ketiga yang memiliki
spektrum luas, sedangkan metronidazole termasuk golongan nitroimidazole yang
memiliki spektrum yang kuat untuk bakteri anaerob.10 Hal ini juga berkaitan dengan

21
etiologi dari abses parafaring yang sebagian besar diakibatkan karna bakteri
campuran baik aerob maupun anaerob.
Pada pasien ini tidak dilakukan evakuasi abses karena telah terbentuknya
fistula disela gangren. Fistula sendiri dapat dijadikan sebagai drainase, yakni tempat
keluarnya bahan-bahan supuratif dari dalam abses ke mukosa atau gingiva. Fistula
akan hilang dengan sendirinya setelah hilangnya infeksi, oleh sebab itu penggunaan
antibiotik dan rencana ekstraksi gigi pada pasien ini sangat diperlukan guna
tatalaksana abses pada pasien ini. Selain itu juga berdasarkan teori, evakuasi abses
harus segera dilakukan apabila tidak ada perbaikan dengan pemberian antibiotik
dalam 24-48 jam dengan cara eksplorasi dalam narkosis. Jika dikaitkan dengan teori
tersebut maka tidak dilakukannya tatalaksana evakuasi abses pada pasien ini
diperbolehkan, mengingat perbaikan dialami pasien pasca 24 jam pemberian
antibiotik.
Pasien dirawat selama 5 hari dan mengalami perbaikan, serta disarankan
untuk rawat jalan dikarenakan gejala dan tanda infeksi telah reda. Pada pasien juga
diberikan anjuran untuk selalu merawat kebersihan mulutnya dan melakukan
ekstraksi gigi yang merupakan sumber penjalaran infeksi pada pasien kasus ini.

22
BAB V
KESIMPULAN

Dilaporkan kasus seorang pasien laki-laki, Tn. C usia 53 tahun datang ke


RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya dengan keluhan sulit membuka mulut sejak
1 hari sebelum masuk rumah sakit. Hasil yang didapatkan dari anamnesis pasien
sesuai dengan teori mengenai abses leher dalam, yakni didapatkannya gejala nyeri
tenggorok, demam disertai dengan terbatasnya gerakan membuka mulut, sehingga
keluhan yang dirasakan pasien pada kasus ini harus dicurigai disebabkan oleh abses
leher dalam.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan pembengkakan pada wajah di region
angulus mandibula dextra, dengan nyeri tekan positif. Pada pemeriksaan tenggorok
didapatkan dinding lateral tampak bengkak dan hiperemis serta tampak akumulasi
pus yang presumtif kepada keadaan abses parafaring. Pada pemeriksaan intraoral
didapatkan gangren pada gigi molar ke 3 kanan bawah.
Berdasarkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik yang dilakukan pada
pasien ini dapat ditarik kesimpulan bahwa diagnosis abses parafaring dapat ditegakan.
Diagnosis dari abses parafaring ini sendiri dapat ditegakan berdasarkan dari riwayat
penyakit, gejala dan tanda klinik. Bila meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan
penunjang berupa foto Rontgen jaringan lunak AP atau CT scan.
Tatalaksana yang dilakukan pada pasien kasus ini ialah berupa tatalaksana
secara kausal dengan pemberian kombinasi antibiotik dan rencana ekstraksi gigi serta
tatalaksan secara simptomatik dengan pemberian analgetik, antipiretik dan obat
kumur. Tindak lanjut pada pasien ini adalah edukasi terkait edukasi perawatan
kebersihan gigi dan mulut pada pasien untuk mencegah rekurensi dikemudian hari.

23
DAFTAR PUSKATA

1. Fachruddin, Darnila. Abses leher dalam. Dalam : Soepardi EA, Iskandar N, Ed. Buku
ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala leher. Edisi keenam. Jakarta:
FKUI, 2007, h. 226 - 230.
2. Novialdi dan Triana, Wahyu. Abses leher dalam multipel dengan kesulitan intubasi
dan komplikasi fistula faringokutan. Padang: Bagian THT-KL FK UNAND/RSUP
dr.M.Jamil, 2011, h. 1 - 7.
3. Erdogliza M, Sotirovic J, dan Grgurevic U. A severe case of parapharyngeal abscess
treated as a spastic torticollis. Dalam Medical review. Volume ketiga. Milan: 2011, h.
387-389
4. Adams, L george. Penyakit-penyakit nasofaring dan orofaring. Dalam: Adams L,
Boies L, Higler P. Boies buku ajar penyakit THT Edisi keenam. Jakarta: EGC, 1997,
h 320-355
5. Probst R, Grevers G dan Iro H. Basic otorhinolaryngology a step by step learning
guide. New York: Thieme, 2006, h 97-130
6. Tom, Lawrence. Disease of oral cavity, Oropharynx and Nasopharynx. Dalam: Snow
J dan Ballenger J. Ballenger’s otorhinolaryngology. Edisi enam belas. Ontario:
Bedecker, 2003, h1020-1047
7. Novialdi dan Asyari, Ade. Penatalaksanaan abses mandibula dengan penyulit uremia
dan infark miokardium lama. Padang: Bagian THT-KL FK UNAND/RSUP
dr.M.Jamil, 2010, h. 1 - 7.
8. Ballenger, J. Leher, orofaring dan Nasofaring, Dalam Snow J dan Ballenger J.
Ballenger: Penyakit Telinga Hidung Tenggorok, dan leher Jilid I. Jakarta: Bina Rupa
Aksara, 1991. Hal: 295-324
9. Amar Y dan Manoukian J. Intraoral drainage: Recommended as the initial approach
for the treatment of parapharyngeal abscesses. Canada: Department of ENT McGill
University, 2003, h 676-680
10. Sofia, L F. Studi Penggunaan Ceftriaxone dan Metronidazol pada Pasien dengan
Gangren. 2016. Universitas Muhammadiyah Malang.

24

Anda mungkin juga menyukai