Anda di halaman 1dari 34

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Anatomi Hidung dan Sinus Paranasal


3.1.1 Embriologi hidung
Perkembangan rongga hidung secara embriologi yang mendasari pembentukan
anatomi sinonasal dapat dibagi menjadi dua proses. Pertama, embrional bagian kepala
berkembang membentuk dua bagian rongga hidung yang berbeda; kedua adalah bagian
dinding lateral hidung yang kemudian berinvaginasi menjadi kompleks padat, yang
dikenal dengan konka (turbinate), dan membentuk ronga-rongga yang disebut sebagai
sinus.12
Sejak kehamilan berusia empat hingga delapan minggu, perkembangan embrional
anatomi hidung mulai terbentuk dengan terbentuknya rongga hidung sebagai bagian
yang terpisah yaitu daerah frontonasal dan bagian pertautan prosesus maksilaris. Daerah
frontonasal nantinya akan berkembang hingga ke otak bagian depan, mendukung
pembentukan olfaktori. Bagian medial dan lateral akhirnya akan menjadi nares (lubang
hidung). Septum nasal berasal dari pertumbuhan garis tengah posterior frontonasal dan
perluasan garis tengah mesoderm yang berasal dari daerah maksilaris.12
Ketika kehamilan memasuki usia enam minggu, jaringan mesenkim mulai
terebentuk, yang tampak sebagai dinding lateral hidung dengan struktur yang masih
sederhana. Usia kehamilan tujuh minggu, tiga garis axial berbentuk lekukan bersatu
membentuk tiga buah konka (turbinate). Ketika kehamilan berusia sembilan minggu,
mulailah terbentuk sinus maksilaris yang diawali oleh invaginasi meatus media. Dan
pada saat yang bersamaan terbentuknya prosesus unsinatus dan bula ethmoidalis yang
membentuk suatu daerah yang lebar disebut hiatus semilunaris.12
Pada usia kehamilan empat belas minggu ditandai dengan pembentukan sel
etmoidalis anterior yang berasal dari invaginasi bagian atap meatus media dan sel
ethmoidalis posterior yang berasal dari bagian dasar meatus superior. Dan akhirnya pada
usia kehamilan tiga puluh enam minggu , dinding lateral hidung terbentuk dengan baik
dan sudah tampak jelas proporsi konka. Seluruh daerah sinus paranasal muncul dengan

18
tingkatan yang berbeda sejak anak baru lahir, perkembangannya melalui tahapan yang
spesifik. Yang pertama berkembang adalah sinus etmoid, diikuti oleh sinus maksilaris,
sfenoid , dan sinus frontal.12

3.1.2 Anatomi Hidung


Hidung luar berbentuk piramid denganbagian-bagiannya dari atas ke bawah:
1)pangkal hidung (bridge), 2) batang hidung(dorsum nasi), 3) puncak hidung (tip), 4)
alanasi, 5) kolumela dan 6) lubang hidung (naresanterior).Hidung luar dibentuk oleh
kerangka tulangdan tulang rawan (Gambar 1) yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan
beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang
hidung. Kerangka tulang terdiri dan 1) tulang hidung (Os nasal), 2) prosesus frontalis os
maksila dan 3) prosesus nasalis os frontal; sedangkankerangka tulang rawan terdiri dan
beberapapasang tulang rawan yang terletak di bagianbawah hidung, yaitu 1) sepasang
kartilagonasalis lateralis superior, 2) sepasang kartilagonasalis lateralis inferior yang
disebut jugasebagai kartilago alar mayor dan 4) tepianterior kartilago septum.13
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang,
dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri.
Pintu atau lubang masuk kavum nasi di bagian depan disebut nares anterior dan lubang
belakang disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan
nasofaring.Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi dan tepat di
belakang nares anterior disebut vestibulum. Vestibulum dilapisi oleh kulit yang
mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut yang disebut vibrise.13
Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaltu dinding lateral, medial,
inferiordan superior. Pada dinding lateral terdapat 4 konka, dari yang terbesar sampai
yang terkecil adalah konka inferior, konka media, konka superior, dan konka suprema.
Konka suprema ini biasanya rudimeter. Di antara konka-konka dan dinding lateral
hidung terdapat rongga sempit yang disebut meatus. Berdasarkan letaknya, terdapat tiga
meatus yaitu meatus superior, meatus medius, dan meatus inferior. Meatus superior
terletak di antara konka superior dan konka media. Di daerah ini terdapat muara sinus
etmoid posterior dan sinus sfenoid. Meatus medius terletak di antara konka media dan
dinding lateral rongga hidung. Pada meatus medius terdapat muara sinus frontal, sinus
19
maksila, dan sinus etmoid anterior.Meatus inferior terletak di antara konka inferior
dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada daerah ini terdapat muara
duktus nasolakrimalis (Gambar 2).13,14
Dinding medial hidung adalah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan
tulang rawan.Bagian atas dibentuk oleh lamina perpendikularis os etmoid dan bagian
posterior dibentuk oleh os vomer.Bagian tulang rawan yaitu kartilago septum (lamina
kuadrangularis) dan kolumela. Pada bagian tulang rawan septum dilapisi perikondrium,
bagian tulang dilapisi periosteum, sedangkan bagian luar dilapisi mukosa hidung.13,14
Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung yang dibentuk oleh os maksila
dan os palatum (permukaan atas palatum durum). Dinding superior atau atap hidung
yang sempit dibentuk oleh lamina kribosa, yang memisahkan rongga tengkorak dari
rongga hidung. Lamina kribosa merupakan lempeng tulang berasal dari os etmoid,
tulang ini berlubang-lubang tempat masuknya serabut saraf olfaktorius. Di bagian
posterior, atap rongga hidung dibentuk os sfenoid.13,14
Kompleks Ostiomeatal (KOM) adalah celah pada dinding lateral hidung yang
dibatasi oleh konka media dan lamina papirasea. Struktur anatomi yang membentuk
KOM adalah prosesus unsinatus, infundibulum etmoid, hiatus semilunaris, bula etmoid,
agger nasi, dan resesus frontal. KOM adalah unit fungsional yang merupakan tempat
ventilasi dan drainase dari sinus-sinus yang terletak di anterior yaitu sinus maksila,
etmoid anterior, dan frontal. Bila terjadi obstruksi pada KOM, maka akan terjadi
perubahan patologis yang signifikan pada sinus yang terkait.13
Bagian atas rongga hidung mendapat perdarahan dari arteri etmoid anterior dan
posterior. Bagian bawah hidung diperdarahi oleh cabang arteri maksilaris interna, yaitu
ujung arteri palatina mayor, dan arteri sfenopalatina. Bagian depan hidung mendapat
perdarahan dari cabang-cabang arteri fasialis. Bagian depan septum terdapat
anastomosis dari cabang-cabang arteri sfenopalatina, arteri etmoid anterior, arteri
labialis anterior, dan arteri palatina mayor, yang disebut pleksus Kiesselbach (little’s
area). Pleksus Kiesselbach letaknya superfisial dan mudah cedera oleh trauma, sehingga
sering menjadi sumber epistaksis. Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan
berjalan berdampingan dengan arterinya. Vena-vena ini membentuk suatu pleksus

20
kavernosus yang rapat di bawah membrana mukosa. Drainase vena terutama melalui
vena oftalmika, fasialis anterior, dan sfenopalatina.13,14
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari
n.etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dan n.nasosiliaris, yang berasal dan
n.oftalmikus (N. V-1). Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan
sensoris dan n.maksila melalui ganglion sfenopalatina. Ganglion sfenopalatina, selain
memberikan persarafan sensoris, juga memberikan persarafan vasomotor atau otonom
untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut saraf sensoris dan n.maksila (N.
V-2), serabut parasimpatis dan n .petrosus superfisialis mayor dan serabut saraf simpatis
dan n.petrosus profundus. Ganglion sfenopalatina terletak di belakang dan sedikit di atas
ujung posterior konka media. Fungsi penghidu berasal dan n.olfaktorius. Saraf ini turun
melalui lamina kribrosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian
berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas
hidung.13

Gambar 1. Anatomi Eksternal Hidung14

21
A B
Gambar 2.A. Dinding Lateral Hidung. B. Septum Nasi14

Mukosa hidung berdasar histologik dan fungsional dibagi atas mukosa pernapasan
dan mukosa penghidu (olfaktorius). Mukosa pernapasan terdapat pada sebagian besar
rongga hidung berupa epitel torak berlapis semu yang mempunyai silia dan di antaranya
terdapat sel goblet. Pada bagian yang lebih sering terkena aliran udara mukosanya lebih
tebal dan kadang-kadang berubah menjadi epitel skuamosa.13
Dalam keadaan normal mukosa berwarna merah muda dan selalu basah karena
diliputi oleh palut lendir pada permukaannya yang dihasilkan oleh kelenjar mukosa dan
sel-sel goblet. Silia yang terdapat pada permukaan epitel mempunyai arti penting dalam
mobilisasi palut lendir di dalam kavum nasi yang didorong ke arah nasofaring. Mukosa
penghidu terdapat pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas
septum. Mukosa dilapisi oleh epitel torak berlapis semu yang tidak bersilia. Mukosa
sinus paranasal berhubungan langsung dengan mukosa rongga hidung di daerah ostium.
Mukosa sinus menyerupai mukosa hidung, hanya lebih tipis dan sedikit mengandung
pembuluh darah.13

3.1.3 Anatomi Sinus Paranasal


Ada empat pasang sinus paranasal yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid
dan sinus sfenoid kanan dan kiri. Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-

22
tulang kepala, sehingga terbentuk rongga di dalam tulang. Semua sinus mempunyai
muara ke rongga hidung (Gambar 3).15
Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga hidung
dan perkembangannya dimulai pada fetus usia 3-4 bulan, kecuali sinus sfenoid dan sinus
frontal. Sinus maksila dan sinus etmoid telah ada saat anak lahir, sedangkan sinus
frontal berkembang dari dari sinus etmoid anterior pada anak yang berusia kurang lebih
8 tahun. Pneumatisasi sinus sfenoid dimulai pada usia 8-10 tahun dan berasal dari
bagian postero-superior rongga hidung. Sinus-sinus ini umumnya mencapai besar
maksila 15-18 tahun. Pada orang sehat, sinus terutama berisi udara. Seluruh sinus
dilapisi oleh epitel saluran pernapasan yang mengalami modifikasi, dan mampu
menghasilkan mukus dan bersilia, sekret disalurkan ke dalam rongga hidung.15

Gambar 3. Sinus Paranasal16

3.1.3.1 Sinus Maksila


Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Saat lahir sinus maksila
bervolume 6-8 ml, sinus kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya mencapai
ukuran maksimal, yaitu 15 ml saat dewasa. Sinus maksila berbentuk piramid.
Dindinganterior sinus ialah permukaan fasial osmaksila yang disebut fosa kanina,
dinding posteriornya adalah permukaan infra-temporalmaksila, dinding medialnya
ialah dinding lateral rongga hidung, dinding superiornya ialah dasar orbita dan dinding
23
inferiornya ialah prosesus alveolaris dan palatum. Sinus maksila bermuara ke dalam
meatus nasi medius melalui hiatus semilunaris. Karena sinus etmoid anterior dan sinus
frontal bermuara ke infundibulum, kemudian ke hiatus semilunaris, kemungkinan
penyebaran infeksi dari sinus-sinus ini ke sinus maksila adalah besar.14,15
Dari segi klinik yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah 1)
dasar dari anatomi sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu
premolar (P1 dan P2), molar (M1 dan M2), kadang-kadang juga gigi taring (C) dan
gigi molar M3, bahkan akar-akar gigi tersebut dapat menonjol ke dalam sinus,
sehingga infeksi gigi geligi mudah naik ke atas menyebabkan sinusitis; 2) sinusitis
maksila dapat menyebabkan komplikasi orbita; 3) ostium sinus maksila terletak lebih
tinggi dari dasar sinus, sehingga drainase kurang baik, lagipula drainase juga harus
melalui infundibulum yang sempit. Infundibulum adalah bagian dari sinus etmoid
anterior dan pembengkakan akibat radang atau alergi pada daerah ini dapat
menghalangi drainase sinus maksila dan selanjutnya menyebabkan sinusitis.15

3.1.3.2 Sinus Frontal


Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan ke empat
fetus, berasal dari sel-sel resesus frontal atau dari sel-sel infundibulum etmoid.
Sesudah lahir, sinus frontal mulai berkembang pada usia 8-10 tahun dan akan
mencapai ukuran maksimal sebelum usia 20 tahun. Sinus frontal kanan dan kiri
biasanya tidak simetris, satu lebih besar dari pada lainnya dan dipisahkan oleh sekret
yang terletak di garis tengah. Kurang lebih 15% orang dewasa hanya mempunyai satu
sinus frontal dan kurang lebih 5% sinus frontalnya tidak berkembang. Ukuran sinus
frontal adalah 2.8 cm tingginya, lebarnya 2.4 cm dan dalamnya 2 cm. Sinus frontal
biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus berleku-lekuk. Tidak adanya gambaran septum-
septum atau lekuk-lekuk dinding sinus pada foto rontgen menunjukkan adanya infeksi
sinus. Sinus frontal dipisakan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita dan fosa serebri
anterior, sehingga infeksi dari sinus frontal mudah menjalar ke daerah ini. Sinus frontal
berdrainase melalui ostiumnya yang terletak di resesus frontal. Resesus frontal adalah
bagian dari sinus etmoid anterior.15

24
3.1.3.3 Sinus Etmoid
Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling bervariasi dan akhir-akhir
ini dianggap paling penting, karena dapat merupakan fokus infeksi bagi sinus-sinus
lainnya. Pada orang dewasa bentuk sinus etomid seperti piramid dengan dasarnya di
bagian posterior. Ukurannya dari anterior ke posterior 4-5 cm, tinggi 2.4 cm dan
lebarnya 0.5 cm di bagian anterior dan 1.5 cm di bagian posterior.15
Sinus etmoid berongga-rongga, terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang
tawon, yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang terletak di antara
konka media dan dinding medial orbita, karenanya seringkali disebut sel-sel etmoid.
Sel-sel ini jumlahnya bervariasi antara 4-17 sel (rata-rata 9 sel). Berdasarkan letaknya,
sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior yang bermuara di meatus medius
dan sinus etmoid posterior yang bermuara di meatus superior. Sel-sel sinus etmoid
anterior biasanya kecil-kecil dan banyak, letaknya di bawah perlekatan konka media,
sedangkan sel-sel sinus etmoid posterior biasanya lebih besar dan lebih sedikit
jumlahnya dan terletak di posterior dari lamina basalis.15
Di bagian terdepan sinus etmoid enterior ada bagian yang sempit, disebut resesus
frontal, yang berhubungan dengan sinus frontal. Sel etmoid yang terbesar disebut bula
etmoid. Di daerah etmoid anterior terdapat suatu penyempitan yang disebut
infundibulum, tempat bermuaranya ostium sinus maksila. Pembengkakan atau
peradangan di resesus frontal dapat menyebabkan sinusitis frontal dan pembengkakan
di infundibulum dapat menyebabkan sisnusitis maksila.Atap sinus etmoid yang disebut
fovea etmoidalis berbatasan dengan lamina kribosa. Dinding lateral sinus adalah
lamina papirasea yang sangat tipis dan membatasi sinus etmoid dari rongga orbita. Di
bagian belakang sinus etmoid posterior berbatasan dengan sinus sfenoid.15

3.1.3.4 Sinus Sfenoid


Sinus sfenoid terletak dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid posterior. Sinus
sfenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid. Ukurannya adalah 2
cm tingginya, dalamnya 2.3 cm dan lebarnya 1.7 cm. Volumenya bervariasi dari 5-7.5
ml. Saat sinus berkembang, pembuluh darah dan nervus di bagian lateral os sfenoid
akan menjadi sangat berdekatan dengan rongga sinus dan tampak sebagai indentasi
25
pada dinding sinus sfenoid.Setiap sinus bermuara ke dalam resesus sfenoetmoidalis di
atas konka nasalis superior.14,15
Batas-batasnya ialah, sebelah superior terdapat fosa serebri media dan kelenjar
hipofisa, sebelah inferiornya atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan dengan sinus
kavernosus dan a.karotis interna (sering tampak sebagai indentasi) dan di sebelah
posteriornya berbatasan dengan fosa serebri posterior di daerah pons.15

3.1.4 Kompleks Ostio-Meatal


Pada sepertiga tengah dinding lateral hidung yaitu di meatus medius, ada muara-
muara saluran dari sinus maksila, sinus frontal dan sinus etmoid anterior. Daerah ini
rumit dan sempit dan dinamakan kompleks ostio-meatal (KOM), terdiri dari
infundibulum etmoid yang terdapat di belakang prosesus unsinatus, resesus frontalis,
bula etmoid dan sel-sel etmoid anterior dengan ostiumnya dan ostium sinus maksila
(Gambar 4).15

Gambar 4. Kompleks Ostio-Meatal17

26
3.1.5 Sistem Mukosiliar
Sistem transpor mukosiliar adalah sistem pertahanan aktif rongga hidung terhadap
virus, bakteri, jamur, atau partikel berbahaya lain yang terhirup bersama udara.
Efektivitas sistem transpor mukosilier dipengaruhi oleh kualitas silia dan palut lendir.
Palut lendir ini dihasilkan oleh sel-sel goblet pada epitel dan kelenjar seromusinosa
submukosa.15
Pada dinding lateral terdapat 2 rute besar transport mukosilier. Rute pertama
adalah gabungan sekresi sinus frontal, maksila, dan etmoid anterior. Sekret ini
bergabung di dekat infundibulum etmoid, selanjutnya berjalan menuju tepi bebas
prosesus unsinatus, dan sepanjang dinding medial konka inferior menuju nasofaring
melewati bagian anteroinferior orifisium tuba Eustachius. Transpor aktif berlanjut ke
epitel bersilia dan epitel skuamosa pada nasofaring, dan jatuh ke bawah dibantu gaya
gravitasi dan proses menelan.15
Rute kedua adalah gabungan sekresi sinus etmoid posterior dan sfenoid bertemu di
resesus sfenoetmoid dan menuju nasofaring pada bagian postero-superior orifisium tuba
Eustachius. Sekret yang berasal dari meatus superior dan septum bergabung dengan
sekret rute pertama, yaitu di inferior dari tuba Eustachius. Sekret pada septum berjalan
vertikal ke arah bawah terlebih dahulu kemudian ke belakang dan menyatu di bagian
inferor tuba Eustachius. Ini sebab mengapa pada sinusitis didapati sekret pasca-nasal
(post nasal drip), tapi belum tentu ada sekret di rongga hidung.15

3.1.6 Fungsi Sinus Paranasal


Sampai saat ini belum ada kesesuaian pendapat mengenai fisiologi sinus
paranasal. Ada yang berpendapat bahwa sinus paranasal ini tidak mempunyai fungsi
apa-apa, karena terbentuknya sebagai akibat pertumbuhan tulang muka. Namun ada
beberapa pendapat yang dicetuskan mengenai fungsi sinus paranasal yakni:15
1. Sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning)
Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan mengatur
kelembaban udara inspirasi.Keberatan terhadap teori ini ialah karena ternyata tidak
didapati pertukaran udara yang definitive antara sinus dan rongga hidung.Lagipula

27
mukosa sinus tidak mempunyai vaskularisasi dan kelenjar yang sebanyak mukosa
hidung.
2. Sebagai penahan suhu (thermal insulators)
Sinus paranasal berfungsi sebagai penahan (buffer) panas, melindungi orbita dan
fossa serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah.
3. Membantu keseimbangan kepala
Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tulang muka.
Akan tetapi, bila udara dalam sinus diganti dengan tulang, hanya akan memberikan
pertambahan berat sebesar 1% dari berat kepala, sehingga teori dianggap tidak
bermakna.
4. Membantu resonansi suara
Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara dan mempengaruhi
kualitas suara.Akan tetapi ada yang berpendapat, posisi sinus dan ostiumnya tidak
memungkinkan sinus berfungsi sebagai resonator yang efektif.Lagipula tidak ada
korelasi antara resonansi suara dan besarnya sinus pada hewan-hewan tingkat
rendah.
5. Sebagai peredam perubahan tekanan udara
Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan mendadak misalnya
pada waktu bersin atau membuang ingus
6. Membantu produksi mukus
Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya kecil
dibandingkan dengan mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk
membersihkan partikel yang turut masuk dengan udara inspirasi karena mukus ini
keluar dari meatus medius, tempat yang paling strategis.

3.2 Rinosinusitis Kronis


3.2.1 Definisi
Rinosinusitis kronis merupakan inflamasi dari mukosa hidung dan sinus paranasal
yang ditandai dengan dua atau lebih gejala, dimana salah satu gejalanya merupakan
sumbatan hidung (nasal blockage/obstruction/congestion) atau nasal discharge

28
(anterior/posterior nasal drip) selama 12 minggu atau lebih, serta diikuti ada atau tanpa
nyeri tekan di daerah wajah dan penurunan atau hilangnya daya penghidu.4
Selain gejala-gejala klinis tersebut, rinosinusitis kronis dapat didukung oleh
pemeriksaan penunjang antara lain: endoskopi, dimana dapat ditemukan polip dan atau
sekret mukopurulen yang berasal dari meatus medius dan atau edema/obstruksi mukosa
pada meatus medius; dan CT Scan, dapat ditemukan perubahan mukosa pada kompleks
osteomeatal dan atau sinus paranasal.4
Berdasarkan anatomi sinus yang terlibat, sinusitis dapat diklasifikasikan sebagai
sinusitis maksila, sinusitis etmoid, sinusitis frontal, dan sinusitis sfenoid. Sinus yang
paling sering terkena infeksi adalah sinus maksilaris dan sinus etmoidalis, sedangkan
sinus frontalis dan sinus sfenoidalis lebih jarang.1
Sebuah penelitian menyebutkan, pasien dengan rinosinusitis kronis dilaporkan
lebih merasakan nyeri jasmani dan fungsi sosial yang lebih buruk dibanding pasien
dengan penyakit kronis lainnya seperti penyakit paru obstruksi kronik, gagal jantung
kongestif, dan nyeri punggung. Dampak penyakit rinosinusitis kronis terhadap kualitas
hidup pasien sebanding dengan keparahan penyakit kronis lainnya. Oleh karena itu,
sama halnya dengan penyakit kronis yang lain, penyakit rinosinusitis kronis sebaiknya
ditangani secara proaktif.5

3.2.2 Etiologi
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan lancarnya
klirens mukosiliar (mucocilliary clearance) di dalam kompleks ostiomeatal (KOM).
Mukus juga mengandung substansi antimikrobial dan zat-zat yang berfungsi sebagai
mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman yang masuk bersama udara pernafasan.1
Kompleks ostiomeatal (KOM) merupakan tempat drainase bagi kelompok sinus
anterior (frontalis, etmoidalis anterior dan maksilaris) dan berperan penting bagi
transpor mukus dan debris serta mempertahankan tekanan oksigen yang cukup untuk
mencegah pertumbuhan bakteri. Rinosinusitis lebih sering terjadi pada beberapa sinus
(multisinusitis) dibandingkan dengan satu sinus (single sinusitis), hal ini kemungkinan
berkaitan erat dengan kompleks ostiomeatal (KOM), karena KOM merupakan satu
kesatuan dari muara beberapa sinus, jika terjadi gangguan patensi KOM, maka mungkin
29
akan terjadi gangguan beberapa sinus. KOM atau celah sempit di daerah etmoid anterior
yang merupakan “serambi depan” bagi sinus maksila dan frontal memegang peran
penting dalam terjadinya rinosinusitis kronis, bila terdapat gangguan di daerah KOM
seperti peradangan atau edema, maka hal itu akan menyebabkan gangguan drainase
sehingga terjadi rinosinusitis.16
Pada penderita rinosinusitis kronis terbukti bahwa akumulasi ketidakseimbangan
metabolisme asam arakhidonat dapat memainkan peran penting dalam rinosinusitis
kronis. Metabolisme asam arakhidonat dan prostaglandin berperan sebagai mediator
inflamasi pada suatu penyakit.16
Etiologi dan patofisiologi rinosinusitis kronis bersifat multifaktorial dan belum
sepenuhnya diketahui, rinosinusitis kronis merupakan sindrom yang terjadi karena
kombinasi etiologi yang multipel. Berdasarkan EPOS 2012, faktor-faktor yang berkaitan
dengan terjadinya rinosinusitis kronis adalah kerusakan sistem mukosiliar, alergi, asma,
sensitif terhadap aspirin, pasien immunocompromised, faktor genetik, kehamilan dan
endokrin, faktor lokal, mikroorganisme, faktor lingkungan, faktor iatrogenik,
Helicobacter pylori, refluks laringofaringeal, dan osteitis.4

3.2.3 Patofisiologi
Etiologi dan faktor predisposisi rinosinusistis kronis cukup beragam. Dalam
patofisiologi sinusitis kronis, beberapa faktor ikut berperan dalam siklus dari peristiwa
yang berulang (Gambar 5).17
Lapisan mukoperiosteum sinus paranasalis mempunyai daya tahan luar biasa
terahadap penyakit selain kemampuan untuk memulihkan dirinya sendiri. Pada
dasarnya, faktor-faktor lokal yang memungkinkan penyembuhan mukosa sinus yang
terinfeksi adalah drainase dan ventilasi yang baik. Bila faktor anatomi menyebabkan
kegagalan drainase dan ventilasi sinus, maka terbentuk suatu medium untuk infeksi
selanjutnya oleh kokus mikroaerofilik atau anaerobik, akibatnya berupa edema,
sumbatan, dan infeksi.17
Kegagalan mengobati rinosinusitis akut atau berulang secara adekuat akan
menyebabkan regenerasi epitel permukaan bersilia yang tidak lengkap, akibatnya terjadi
kegagalan pengeluaran sekret sinus, sehingga menjadi predisposisi infeksi. Sumbatan
30
drainase dapat ditimbulkan oleh perubahan struktur ostium sinus, atau oleh lesi dalam
rongga hidung, misalnya hipertrofi adenoid, tumor hidung dan nasofaring, dan suatu
septum deviasi. Namun, faktor predisposisi yang paling lazim adalah poliposis nasal
yang timbul pada rinitis alergika; polip dapat memenuhi rongga hidung dan menyumbat
total ostium sinus.17
Alergi juga dapat merupakan predisposisi infeksi karena terjadi edema mukosa
dan hipersekresi. Mukosa sinus yang membengkak dapat menyumbat ostium sinus dan
mengganggu drainase, menyebabkan infeksi lebih lanjut, yang selanjutnya
menghancurkan epitel permukaan, dan siklus seterusnya berulang.17
Rinosinusitis pada dasarnya bersifat rinogenik. Pada rinosinusitis kronis, sumber
infeksi berulang biasanya infundibulum etmoidalis dan resesus frontalis. Karena
inflamasi menyebabkan saling menempelnya mukosa yang berhadapan, akibatnya
terjadi gangguan transpor mukosiliar, menyebabkan retensi mukus dan mempertinggi
pertumbuhan bakteri dan virus.17

Gambar 5. Siklus yang berulang, mengakibatkan terjadinya proses berkelanjutan yang


mengarah pada rinosinusitis kronis.17

3.2.4 Diagnosis
Diagnosis rinosinusitis kronis menurut EPOS 2012 ditegakkan berdasarkan
penilaian subjektif, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang lainnya. Penilaian
subjektif berdasarkan pada keluhan, berlangsung lebih dari 12 minggu yaitu: (1)

31
obstruksi hidung atau kongesti, (2) sekret hidung (anterior/posterior nasal drip),
umumnya mukopurulen, (3) nyeri wajah/tekanan, nyeri kepala dan (4)
penurunan/hilangnya daya penghidu.4
Pemeriksaan fisik yang dilakukan mencakup rinoskopi anterior dan posterior.
Yang menjadi pembeda antara kelompok rinosinusitis kronis tanpa dan dengan nasal
polip adalah ditemukannya jaringan polip / jaringan polipoid pada pemeriksaan
rinoskopi anterior. Pemeriksaan penunjang yang dilakukan antara lain endoskopi nasal,
sitologi dan bakteriologi nasal, pencitraan (foto polos sinus, transiluminasi, CT-Scan
dan MRI), pemeriksaan fungsi mukosiliar, penilaian nasal airway, fungsi penciuman dan
pemeriksaan laboratorium.4
Anamnesis yang cermat dan teliti sangat diperlukan terutama dalam menilai
gejala-gejala yang ada pada kriteria di atas, mengingat patofisiologi rinosinusitis kronis
yang kompleks. Adanya penyebab infeksi baik bakteri maupun virus, adanya latar
belakang alergi atau kemungkinan kelainan anatomi rongga hidung dapat
dipertimbangkan dari riwayat penyakit yang lengkap. Informasi lain yang perlu
berkaitan dengan keluhan yang dialami penderita mencakup durasi keluhan, lokasi,
faktor yang memperingan atau memperberat serta riwayat pengobatan yang sudah
dilakukan. Menurut EPOS 2012, keluhan subjektif yang dapat menjadi dasar
rinosinusitis kronik adalah:4
1) Obstruksi nasal
Keluhan obstruksi hidung biasanya bervariasi dari obstruksi aliran udara
mekanis sampai dengan sensasi terasa penuh pada daerah hidung dan
sekitarnya.
2) Sekret / discharge nasal
Dapat berupa anterior atau posterior nasal drip (sekret hidung).
3) Nyeri / tekanan fasial
Lebih nyata dan terlokalisir pada pasien dengan rinosinusitis akut, pada
rinosinusitis kronik keluhan lebih difus dan fluktuatif.
4) Abnormalitas daya penghidu

32
Fluktuasi daya penghidu berhubungan dengan rinosinusitis kronis yang
mungkin disebabkan karena obstruksi mukosa fisura olfaktorius dengan / tanpa
alterasi degeneratif pada mukosa olfaktorius.

Inspeksi yang diperhatikan adanya pembengkakan pada muka. Pembengkakan di


pipi sampai kelopak mata bawah yang berwarna kemerahan mungkin menunjukkan
sinusitis maksila. Pembengkakan di kelopak mata atas mungkin menunjukkan sinusitis
frontal. Sinusitis etmoid jarang menyebabkan pembengkakan di luar, kecuali bila telah
terbentuk abses.15
Rinoskopi anterior adalah memeriksa rongga hidung bagian dalam dari depan.
Dengan rinoskopi anterior dapat dilihat kelainan rongga hidung yang berkaitan dengan
rinosinusitis kronis seperti edema konka, hiperemi, sekret mukopurulen (nasal drip),
krusta, deviasi septum, tumor atau polip. Rinoskopi posterior bila diperlukan untuk
melihat patologi di belakang rongga hidung sekaligus untuk melihat keadaan
nasofaring.18,19
Transiluminasi merupakan pemeriksaan sederhana terutama untuk menilai kondisi
sinus maksila. Pemeriksaan dianggap bermakna bila terdapat perbedaan transiluminasi
antara sinus kanan dan kiri. Namun transiluminasi bukan merupakan pengganti
radiografi dalam evaluasi penyakit sinus.20,21
Endoskopi nasal dapat menilai kondisi rongga hidung, adanya sekret, patensi
kompleks osteomeatal, ukuran konka nasi, edema disekitar orifisium tuba, hipertrofi
adenoid dan penampakan mukosa sinus. Endoskopi nasal lebih baik dalam penerangan
daripada rinoskopi anterior untuk pemeriksaan meatus medius dan superior. Indikasi
endoskopi nasal yaitu evaluasi bila pengobatan konservatif mengalami kegagalan.4,20
Radiologi, merupakan pemeriksaan tambahan yang umum dilakukan, meliputi X-
foto, CT-Scan, MRI dan USG. CT-Scan merupakan modalitas pilihan dalam menilai
proses patologi dan anatomi sinus, serta untuk evaluasi rinosinusitis lanjut bila
pengobatan medikamentosa tidak memberikan respon. Hal ini diperlukan pada
rinosinusitis kronik yang akan dilakukan pembedahan.4
Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan antara lain:4
1. Sitologi nasal, biopsi, pungsi aspirasi dan bakteriologi
33
2. Tes alergi
3. Tes fungsi mukosiliar : kliren mukosiliar, frekuensi getar silia, mikroskop
elektron dan nitrit oksida
4. Penilaian aliran udara nasal (nasal airflow): nasal inspiratory peakflow,
rinomanometri, rinometri akustik dan rinostereometri
5. Tes fungsi olfaktori: threshold testing
6. Laboratorium : pemeriksaan CRP ( C-reactive protein)

3.2.5 Penatalaksanaan
Jika pada pemeriksaan ditemukan adanya faktor predisposisi seperti deviasi
septum, kelainan atau variasi anatomi kompleks ostiomeatal (KOM), hipertrofi adenoid
pada anak, polip, kista, jamur, gigi penyebab sinusitis, dianjurkan untuk melakukan
penatalaksanaan yang sesuai dengan kelainan yang ditemukan. Jika tidak ditemukan
faktor predisposisi, diduga kelainan adalah bakterial yang memerlukan pemberian
antibiotik dan pengobatan medik lainnya. Pada dasarnya yang ingin dicapai melalui
terapi medikamentosa adalah kembalinya fungsi drainase ostium sinus dengan
mengembalikan kondisi normal rongga hidung.20,22

A. Terapi Medikamentosa
1. Antibiotik
Antibiotika merupakan modalitas tambahan pada rinosinusitis kronis. Jenis
antibiotik yang digunakan adalah antibiotik spektrum luas antara lain amoksisilin +
asam klavulanat, klindamisin, dan moksifloksasin.Terapi antibiotik jangka panjang
sebaiknya diberikan untuk pasien yang gagal dengan terapi kortikosteroid nasal dan
saline irrigation.4,20

2. Kortikosteroid Nasal
Keuntungan kortikosteroid sebagai anti inflamasi yaitu berefek untuk mengurangi
besarnya polip, memperbaiki gejala seperti hidung tersumbat, rinore, post nasal drip,
dan berkurang atau hilangnya daya penghidu. Kortikosteroid nasal berupa flutikason
propionat, mometason furoat, betametason, dan lainnya.4,5

34
3. Terapi Tambahan
Terapi tambahan lainnya berupa dekongestan oral/topikal yaitu golongan agonis
alfa adrenergik; saline irrigation; anti histamin; mukolitik; antagonis leukotrien; anti
mikotik; imunomodulator; dan aspirin desentisisasi.4

B. Penatalaksanaan Operatif
Rinosinusitis kronis adalah inflamasi dari mukosa hidung dan sinus paranasal dan
terapi pembedahan bukan merupakan tindakan yang pertama kali dilakukan. Bedah
Sinus Endoskopi Fungsional (BSEF), disebut begitu karena pembedahan ini
dimaksudkan untuk memperbaiki fisiologis dari ventilasi dan drainase sinus. Indikasi
untuk terapi pembedahan ini yaitu : (1) obstruksi hidung yang komplit dikarenakan polip
atau medialisasi dinding hidung lateral, (2) abses orbital, (3) komplikasi intakranial, (4)
polip antrokoana, (5) rinosinusitis fungal (Hamilos, 2011). Terapi pembedahan ini
sebaiknya disertai dengan terapi medikamentosa untuk mengontrol inflamasi mukosa
hidung dan sinus paranasal atau gejala-gejala yang mungkin kembali. Bedah sinus
terbuka kadang diperlukan walaupun dengan keragaman prosedur endoskopi. Sebagai
contoh yaitu operasi Caldwell-Luc dimana sinus maksila dimasuki melalui insisi
sublabia. Melalui operasi Caldwell-Luc ini dapat dilakukan biopsi dari isi sinus, dan
sekaligus jendela untuk drainase akan terbentuk ke kavum nasal.19,23

3.2.6 Komplikasi
A. Komplikasi Orbita
Sinus etmoidalis merupakan penyebab komplikasi tersering pada daerah orbita.
Pembengkakan orbita dapat merupakan manifestasi etmoiditis akut, namun sinus
frontalis dan sinus maksilaris juga terletak di dekat orbita dan dapat pula menimbulkan
infeksi isi orbita. Penyebaran infeksi terjadi melalui tromboflebitis, dan
perkontinuitatum. Variasi yang dapat timbul dari kelainan ini adalah edema palpebra,
selulitis orbita, abses subperiosteal, abses orbita, dan selanjutnya dapat terjadi trombosis
sinus kavernosus.15,17

35
B. Komplikasi Intrakranial
Kelainan dapat berupa meningitis, abses ekstradural atau subdural, abses otak, dan
trombosis sinus kavernosus.Meningitis akut disebabkan infeksi dari sinus paranasalis
yang menyebar sepanjang vena atau langsung dari sinus yang berdekatan, seperti lewat
dinding posterior sinus frontalis atau melalui lamina kribiformis di dekat sistem sel
udara etmoidalis.15,17
Abses dura adalah kumpulan pus di antara dura dan tabula interna kranium;
seringkali mengikuti sinusitis frontalis. Proses ini mungkin timbul lambat sehingga
mungkin pasien hanya mengeluh nyeri kepala, dan sebelum pus yang terkumpul mampu
menimbulkan tekanan intrakranial yang memadai, mungkin tidak terdapat gejala
neurologik lain.17
Abses otak biasanya terjadi melalui tromboflebitis yang meluas secara langsung.
Dengan demikian, lokasi abses yang lazim adalah pada ujung vena yang pecah, meluas
menembus dura dan arakhnoid hingga ke perbatasan antara substansia alba dan grisea
korteks serebri.17

C. Osteomielitis dan Abses Subperiosteal


Paling sering timbul akibat sinusitis frontal dan biasanya ditemukan pada anak-
anak. Pada osteomielitis sinus maksila dapat timbul fistula oroantral ataufistula pada
pipi. Nyeri dan nyeri tekan dahi setempat sangat berat.Gejala sistemik berupa malaise
demam dan menggigil. Pembengkakan di atas alis mata juga lazim terjadi dan
bertambah hebat bila terbentuk abses subperiosteal, dimana terbentuk edema supraorbita
dan mata menjadi tertutup.15,17

D. Komplikasi Paru
Kelainan pada paru seperti bronkitis kronik dan bronkiektasis. Adanya kelainan
sinus paranasal disertai dengan kelainan paru ini disebut sinobronkitis. Selain itu dapat
juga menyebabkan kambuhnya asma bronkial yang sukar dihilangkan sebelum sinusitis
disembuhkan.15

36
E. Mukokel
Mukokel adalah suatu kista yang mengandung mukus yang timbul dalam sinus.
Kista ini paling sering ditemukan pada sinus maksilaris, sering disebut sebagai kista
retensi mukus dan biasanya tidak berbahaya. Dalam sinus frontalis, etmoidalis, dan
sfenoidalis, kista ini dapat membesar dan melalui atrofi tekanan mengikis struktur di
sekitarnya. Dengan demikian, kista ini dapat bermanifestasi sebagai pembengkakan
pada dahi atau fenestra nasalis dan dapat menggeser mata ke lateral. Dalam sinus
sfenoidalis, kista dapat menimbulkan diplopia dan gangguan penglihatan dengan
menekan saraf di sekitarnya.17

3.3. Polip Hidung


3.3.1. Definisi
Polip hidung ialah massa lunak yang mengandung banyak cairan di dalam
rongga hidung, berwarna putih keabu-abuan, yang terjadi akibat inflamasi mukosa.
Bentuk menyerupai buah anggur, lunak dan dapat digerakkan. Polip timbul dari dinding
lateral hidung. Polip yang diakibatkan proses inflamasi biasanya bilateral.1,24

3.3.2 Epidemiologi
Polip hidung biasanya diderita oleh orang dewasa usia 30-60 tahun. Laki-laki
lebih dominan dengan perbandingan 2:1 sampai 4:1.Prevalensi polip hidung dari
seluruh orang dewasa Thailand sekitar 1-4%.Prevalensi pada anak-anak jauh lebih
rendah. Prevalensi polip hidung di Swedia sekitar 2,7% dengan laki-laki lebih dominan
2,2:1. Di Finlandia, prevalensi polip hidung sekitar 4,3%. Di Amerika Serikat dan
Eropa, prevalensi polip 2,1-4,3%.25
Di Indonesia, Sardjono Soejak dan Sri Herawati melaporkan penderita polip
hidung sebesar 4,63% dari semua pengunjung poliklinik THT-KL RS.Dr. Soetomo
Surabaya. Rasio pria dan wanita 2-4:1. Di RSUPH.Adam Malik Medan selama Maret
2004 sampai Februari 2005, kasus polip hidung sebanyak 26 orang terdiri dari 17 pria
(65%) dan 9 wanita(35%). Selama Januari sampai Desember 2010 didapatkan kasus
polip hidung sebanyak 43 orang terdiri dari 22 pria (51,2%) dan 21 perempuan
(48,8%). Indrawati (2011) melakukan penelitian di RS DR. SardjitoYogyakarta,
37
melaporkan terdapat 24 penderita polip dimana tipe 1 sekitar20,8%, tipe 2 sekitar
58,3%, tipe 3 sekitar 16,7% dan tipe 4 sekitar 4,2%.25
Faktor genetik dianggap berperan dalam etiologi polip hidung.Sekitar 14%
penderita polip memiliki riwayat keluarga menderita polip hidung.Etnis dan geografis
memiliki peranan dalam patofisiologi polip. Pada populasi Caucasian dominan polip
eosinofilik sementara di Asia dominan neutrofilik.26

3.3.3 Patogenesis Polip Hidung


Alergi ditengarai sebagai salah satu faktor predisposisi polip hidung karena
mayoritas polip hidung mengandung eosinofil, ada hubungan polip hidung dengan
asthma dan pemeriksaan hidung menunjukkan tanda dan gejala alergi. Suatu meta-
analisis menemukan 19% dari polip hidung mempunyai Ig E spesifik yang merupakan
manifestasi alergi mukosa hidung.27
Ketidakseimbangan vasomotor dianggap sebagai salah satu faktor predisposisi
polip hidung karena sebagian penderita polip hidung tidak menderita alergi dan pada
pemeriksaan tidak ditemukan alergen yang dapat mencetuskan alergi.Polip hidung
biasanya mengandung sangat sedikit pembuluh darah. Regulasi vaskular yang tidak
baik dan meningkatnya permeabilitas vaskular dapat menyebabkan edema dan
pembentukan polip hidung.27
Fenomena Bernouilli terjadi karena menurunnya tekanan akibat konstriksi.
Tekanan negatif akan mengakibatkan inflamasi mukosa hidung yang kemudian
memicu terbentuknya polip hidung.Ruptur epitel mukosa hidung akibat alergi atau
infeksi dapat mengakibatkan prolaps lamina propria dari mukosa. Hal ini akan memicu
terbentuknya polip hidung.27
Infeksi merupakan faktor yang sangat penting dalam pembentukan polip
hidung. Hal ini didasari pada percobaan yang menunjukkan rusaknya epitel dengan
jaringan granulasi yang berproliferasi akibat infeksi bakteri Streptococcus
pneumoniae, Staphylococcus aureus atau Bacteroides fragilis (merupakan bakteri yang
banyak ditemukan pada rhinosinusitis) atau Pseudomonas aeruginosa yang sering
ditemukan pada cystic fibrosis.28

38
3.3.4 Makroskopis
Secara makroskopik polip merupakan massa bertangkai dengan permukaan
licin. Berbentuk bulat atau lonjong, berwarna putih keabu-abuan, agak bening, lobular,
dapat tunggal atau multipel dan tidak sensitif (bila ditekan/ditusuk tidak terasa sakit).
Warna polip yang pucat tersebut disebabkan karena mengandung banyak cairan dan
sedikitnya aliran darah ke polip. Bila terjadi iritasi kronis atau proses peradangan
warna polip dapat berubah menjadi kemerah-merahan dan polip yang sudah menahun
warnanya dapat menjadi kekuning-kuningan karena banyak mengandung jaringan
ikat.2
Tempat asal tumbuhnya polip terutama dari kompleks ostiomeatal di meatus
medius dan sinus etmoid. Bila ada fasilitas pemeriksaan dengan endoskop, mungkin
tempat asal tangkai polip dapat dilihat. Ada polip yang tumbuh ke arah belakang dan
membesar di nasofaring, disebut polip koana. Polip koana kebanyakan berasal dari
dalam sinus maksila dan disebut juga polip antro-koana. Ada juga sebagian kecil polip
koana yang berasal dari sinus etmoid.2

3.3.5 Mikroskopis
Secara mikroskopis tampak epitel pada polip serupa dengan mukosa hidung
normal yaitu epitel bertingkat semu bersilia dengan submukosa yang sembab. Sel-sel
nya terdiri dari limfosit, sel plasma, eosinofil, neutrophil dan makrofag. Mukosa
mengandung sel-sel goblet. Pembuluh darah, saraf dan kelenjar sangat sedikit. Polip
yang sudah lama dapat mengalami metaplasia epitel karena sering terkena aliran udara,
menjadi epitel transisional, kubik atau gepeng berlapis tanpa keratinisasi.2

3.3.6 Histomorfologi Polip


Peradangan merupakan prinsip utama dalam patogenesis pembentukan dan
pertumbuhan polip. Karakteristik polip hidung yang matang ditandai dengan proses
peradangan yang tampak seperti pembentukan pseudokista yang kosong dan
penumpukan sel-sel radang di subepitel, dimana eosinofil adalah sel yang dominan.
Banyak penelitian yang fokus terhadap rekruitmen dan usia eosinofil di polip hidung.
Sitokin dan kemokin bertindak sebagai mediator dalam proses ini.29
39
Pada polip yang kecil yang tumbuh dari mukosa meatus media yang normal
pada penderita polip hidung bilateral, dijumpai sejumlah eosinofil pada masa awal
pertumbuhan polip. Dari sini diduga ada penumpukan protein plasma yang diatur oleh
eosinofil. Albumin dan protein plasma yang lain menumpuk didalam pseudokista
bersama infiltrasi eosinofil. Histomorfologi polip didominasi oleh epitel yang rusak,
membran basal yang menipis dan meradang dan terdapat sedikit jaringan stroma yang
mengalami fibrosis, dengan minimal pembuluh darah dan kelenjar serta tidak adanya
struktur saraf.29
Peradangan eosinofil pada polip diatur oleh sel T yang teraktivasi.IL-5
memegang peranan penting dalam proses rekruitmen, aktivasi dan inhibisi apoptosis
eosinofil.TGF-β1, suatu sitokin dengan kerja menginhibisi sintesis IL-5. Produksi IL-5
yang tinggi dan tidak adanya TGF-β1 diduga menjadi penyebab utama lamanya usia
eosinofil dan menfasilitasi degradasi jaringan matrix, kedua hal tersebut merupakan
karakteristik struktur polip.ICAM-1, E-selectin dan P-selectin juga terlihat pada epitel
polip yang berperan dalam rekruitmen eosinofil.VCAM-1 juga meningkat secara
bermakna pada polip. Pengobatan dengan steroid topikal menurunkandensitas eosinofil
serta ekspresi VCAM-1 pada polip.29

Tabel 1. Komponen Polip Hidung.29

Albumin dan protein plasma yang lain Histamin

IL-1β, IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, IL-8 Interferon-γ

Faktor stimulasi koloni Granulosit-makrofag RANTES

Faktor pertumbuhan fibroblas dasar EOTAXIN

Faktor pertumbuhan endotel vascular Selectin-P

Faktor stimulasi koloni Granulosit-makrofag Selectin-E

Faktor pertumbuhan pentransfer α-1 and β-1 MMP-7, MMP-9


Faktor pertumbuhan turunan Keratinosit CD 4+, CD 8+

Adhesi intersel molekul-1 Makrofag

40
Adhesi sel vaskular molekul-1 Sel Mast
Faktor nekrosis tumor α

Tabel 2. Teori pembentukan polip hidung30


Penelitian Mekanisme pembentukan

Ramanathan et al1 ↓ Respon imun lokal berbasis Th-1


↑ Aktivitas berbasis Th-2
↑ Eosinofil

Ramanathan et al2 ↓ Reseptor mirip Toll-9

Lane et al ↑ Reseptor mirip Toll-2

Qiu et al ↑ Ekspresi surviving

Kowalski et al ↓ Apoptosis eosinophil

Meyer et al ↑ Ekspresi eotaxin

Olze et al ↑ RANTES

↑ Eosinofil

Rudack et al ↑ Eosinofil yang berhubungan dengan sitokin IL-5

Ohori et al ↑ VCAM-1 yang diperkuat oleh TNF-α

Kim et al Ketiadaan limfangiogenesis pada inflamasi

mukosa hidung

↑ Edem stroma dan pembentukan polip

Lechapat-Zalcman Meningkatnya regulasi MMP-9 di kelenjar dan

pembuluh darah

Bernstein et al ↑ Produksi super antigen stapilokokus aureus

Van Zele et al Aktivasi sitokin Th-1 dan Th-2

41
Cannady et al Abnormalitas metabolisme NO

3.3.7 Diagnosis
Keluhan utama penderita polip nasi ialah hidung rasa tersumbat dari yang
ringan sampai berat, rinore mulai yang jernih sampai purulen, hiposmia atau
anosmia. Mungkin disertai bersin, bersin, rasa nyeri pada hidung disertai sakit kepala
di daerah frontal. Bila disertai infeksi sekunder mungkin didapati post nasal drip dan
rinore purulen. Gejala sekunder yang dapat timbul ialah bernafas melalui mulut,
suara sengau, halitosis, gangguan tidur dan penurunan kualitas hidup. Dapat
menyebabkan gejala pada salurannapas bawah, berupa batuk kronik dan mengi
terutama pada penderita polip nasidengan asma. Selain itu harus ditanyakan riwayat
rintisalergi, asma, intoleransi terhadap aspirin danalergi obat lainnya serta alergi
makanan.2
Polip nasi yang masif dapat menyebabkan deformitas hidung luar sehingga
hidung tampak mekar karena pelebaran batang hidung. Pada pemeriksaan rinoskopi
anterior terliha tsebagai massa yang berwarna pucat yang berasal dari meatus medius
dan mudah digerakkan.2
Adanya fasilitas endoskop (teleskop) akan sangat membantu diagnosis kasus
polip yang baru. Polip stadium 1 dan 2 kadang-kadang tidak terlihat pada
pemeriksaan rinoskopi anterior tetapi tampak dengan pemeriksaan nasoendoskopi.
Pada kasus polip koanal juga sering dapat dilihat tangkai polip yang berasai dari
ostium asesorius sinus maksila.2
Foto polos sinus paranasal (posisi Waters, AP, Caldwell dan lateral) dapat
memperlihatkan penebalan mukosa dan adanya batas udara cairan di dalam sinus,
tetapi kurang bermafaat pada kasus polip. Pemeriksaan tomografi komputer (TK, CT
scan) sangat bermanfaat untuk melihat dengan jelas keadaan di hidung dan sinus
paranasal apakah ada proses radang, kelainan anatomi, polip atau sumbatan pada
kompleks ostiomeatal. TK terutama diindikasikan pada kasus polip yang gagal
diobati dengan terapi medikamentosa, jika ada komplikasi dari sinusitis dan pada
perencanaan tindakan bedah terutama bedah endoskopi. CT scan diindikasikan pada

42
kasus polip yang gagal terapi medikamentosa, ada komplikasi sinusitis dan rencana
tindakan bedah terutama bedah sinus endoskopi fungsional.2
Pemeriksaan histopatologi merupakan baku emas penegakan diagnosa polip
hidung. Menurut Hellquist (1996), ada empat tipe histopatologi polip hidung, antara
lain : Edematous, Eosinophilic Polyp (Allergic Polyp), Chronic Inflammatory Polyp
(Fibroinflammatory Polyp), Chronic Inflammatory Polyp (Fibroinflammatory
Polyp) dan Polyp with Stromal Atypia.31

3.3.8 Stadium polip


Tabel 3. Stadium Polip Menurut Mackay and Lund 1995.32
Kondisi Polip Stadium

Tidak ada polip 0

Polip terbatas pada meatus media 1

Polip sudah keluar dari meatus media tetapi belum 2


memenuhi rongga hidung

Polip yang massif (memenuhi rongga hidung) 3

Tabel 4. Stadium Polip Menurut Yamada et al 2000.33


Kondisi Polip Stadium

Tidak ada polip 0


Polip di meatus media dan belum mencapai batas bawah 1
konka media
Polip belum mencapai titik tengah antara batas bawah 2
konka media dan batas atas konka inferior
Polip belum melewati batas bawah konka inferior 3
Polip melewati batas bawah konka inferior 4

43
3.3.9 Penatalaksanaan Polip Hidung
Polip nasi sangat mengganggu pada kebanyakan pasien.Penyakit ini sering
berulang dan memerlukan pengobatan yang lama sampai bertahun-tahun.Dengan
demikian pengobatannya bertujuan untuk mengurangi besarnya atau menghilangkan
polip agar aliran udara hidung menjadi lapang dan penderita dapat bernafas dengan
baik.Selanjutnya gejala-gejala rinitis dapat dihilangkan dan fungsi penciuman
kembali normal.Terdapat beberapa pilihan pengobatan untuk polip nasi mulai dari
pemberian obat-obatan, pembedahan konvensional sederhana dengan menggunakan
snare polip sampai pada bedah endoskopi yang memakai alat lebih lengkap.
Walaupun demikian, angka kekambuhan masih tetap tinggi sehingga memerlukan
sejumlah operasi ulang.34
Tujuan utama pengobatan pada kasus polip nasi adalah menghilangkan
keluhan-keluhan, mencegah komplikasi dan mencegah rekurensi polip.Pemberian
kortikosteroid untuk menghilangkan polip nasi disebut juga polipektomi
medikamentosa.Dapat di berikan topikal atau sistemik.Polip eosinofilik memberikan
respon yang lebih baik terhadap pengobatan kortikosteroid intranasi dibandingkan
polip tipe neutrofilik.Kasus polip yang tidak membaik dengan terapi medikamentosa
atau polip yang sangat masif dipertimbangkan untuk terapi bedah.Dapat dilakukan
ekstraksi polip (polipektomi)menggunakan senar polip atau cunam dengananalgesi
Iokal etmoidektomi intranasal atauetmoidektomi ekstranasal untuk polip
etmoid,operasi Caldwell-Luc untuk sinus maksila.Yang terbaik ialah bila tersedia
fasilitasendoskop maka dapat dilakukan tindakanBSEF (Bedah Sinus Endoskopi
Fungsional).Berdasarkan guideline PERHATI-KL, stadium 1 (menurut Mackay and
Lund) dapat diterapi dengan medikamentosa (polipektomi medikamentosa), untuk
stadium 2 dapat diterapi medikamentosa atau operasi dan stadium 3 dianjurkan untuk
dioperasi (Gambar 6).2,35

44
Gambar 6. Algoritma Penatalaksanaan Polip Hidung & Sinus Paranasal35

45
3.4. Tumor Hidung
3.4.1. Definisi
Tumor hidung adalah pertumbuhan kearah ganas yang mengenai hidung dan
lesi yang menyerupai tumor pada rongga hidung, termasuk kulit dari hidung luar dan
vestibulum nasi. Kebanyakan tumor ini berkembang dari sinus maksilaris dan tipe
histologi yang paling sering ditemukan adalah karsinoma sel skuamosa.36,37

3.4.2. Epidemiologi dan Etiologi

Keganasan hidung dan sinus paranasal hanya merupakan 1% dari seluruh


tumor ganas di tubuh, dan 3 % dari keganasan di kepala dan leher, sinus maksila
merupakan tempat tersering (60-80%) diikuti kavum nasi 20-30% dan sinus etmoid
±15%, sedangkan sinus frontal dan sfenoid sangat jarang dijumpai (kurang dari 1%).
Insiden tertinggi tumor ganas hidung dan sinus ditemukan di Jepang yaitu 2-3,6 per
10.000 penduduk pertahun. Di bagian THT FKUI-RSCM, keganasan ini ditemukan
pada 10-15% dari seluruh tumor ganas THT.Laki-laki ditemukan lebih banyak dengan
rasio laki-laki banding wanita sebesar 2:1.10,11
Etiologi tumor ganas hidung belum diketahui, tetapi diduga beberapa zat hasil
industri merupakan penyebab antara lain nikel, debu kayu, kulit, formaldehid,
kromium, minyak isopropyl dan lain-lain. Pekerja di bidang ini mendapat
kemungkinan terjadi keganasan hidung dan sinus jauh lebih besar. Banyak laporan
mengenai kasus adeno-karsinoma sinus etmoid pada pekerja-pekerja industri
penggergajian kayu dan pembuatan mebel. Alkohol, asap rokok, makanan yang diasin
atau diasap diduga meningkatkan kemungkinan terjadi keganasan, sebaliknya buah-
buahan dan sayuran mengurangi kemungkinan terjadi keganasan.10,38
Rousch (1999) memperkirakan bahwa di atas 80% dari semua tumor ganas pada
manusia dihubungkan dengan lingkungan. Bagaimanapun perkiraan ini kemungkinan
tinggi, bukti adanya penyebab lingkungan dari tumor hidung terutama pada pasien-
pasien yang terpapar nikel, chromium, hydrocarbon dan isopropyl oils.39
Risiko kanker meningkat pada tukang kayu, tukang sepatu dan boot, dan
pembuat furniture. Karena kompleksnya paparan faktor lingkungan pada kelompok ini,

46
agen yang berperan sulit diidentifikasi. Paparan hidrokarbon juga meningkatkan juga
meningkatkan kanker hidung.Sekitar 55% tumor hidung dan sinus berasal dari sinus
maxillary, 35% dari kavum nasi, 9% sinus ethmoid, dan 1% sinus frontal dan sphenoid
dan septum. Untuk tumor yang besar, asal tumor sulit untuk diidentifikasi.39

3.4.3 Jenis Histopatologi


Hampir seluruh jenis histopatologi tumor jinak dan ganas dapat tumbuh di
daerah sinonasal.Termasuk tumor jinak epitelial yaitu adenoma dan papiloma, yang
non-epitelial yaitu fibroma, angiofibroma, hemangioma, neurilemomma, osteoma,
displasia fibrosa dan lain-lain.Disamping itu ada tumor odontogenik misalnya
ameloblastoma atau adamantinoma, kista tulang dan lain-lain.Tumor ganas epitelial
adalah karsinoma sel skuamosa, kanker kelenjar liur, adenokarsinoma, karsinoma
tanpa diferensiasi dan lain-lain.Jenis non epitelial ganas adalah hemangioperisitoma,
bermacam-macam sarkoma termasuk rabdomiosarkoma dan osteogenik sarcoma
ataupun keganasan limfoproliferatif seperti limfoma malignum, plasmasitoma atau pun
polimorfik retikulosis sering juga ditemukan di daerah ini.Beberapa jenis tumor jinak
ada yang mudah kambuh atau secara klinis bersifat ganas karena tumbuh agresif
mendestruksi tulang, misalnya papiloma inverted, displasia fibrosa atau pun
ameloblastoma. Pada jenis-jenis ini tindakan operasi harus radikal.10,36

3.4.4 Klasifikasi Tumor


Tumor Jinak
Tumor jinak tersering adalah papiloma skuamosa.Secara makroskopis mirip
dengan polip, tetapi lebih vaskuler, padat dan tidak mengkilap. Ada 2 jenis papiloma,
pertama eksofitik atau fungiform dan yang kedua endofitik disebut papiloma inverted.
Papiloma inverted ini bersifat sangat invasive, dapat merusak jaringan sekitarnya.
Tumor ini sangat cenderung untuk residif dan dapat berubah menjadi ganas. Lebih
sering dijumpai pada anak laki-laki usia tua. Terapi adalah bedah radikal misalnya
rinotomi lateral atau maksilektomi media.Tumor jinak angiofibroma nasofaring sering
bermanifestasi sebagai massa yang mengisi rongga hidung bahkan juga mengisi
seluruh rongga sinus paranasal dan mendorong bola mata ke anterior.10

47
Tumor Ganas
Tumor ganas yang tersering adalah karsinoma sel skuamosa (70%), disusul oleh
karsinoma tanpa diferensiasi dan tumor asal kelenjar.Sinus maksila adalah yang
tersering terkena (65-80%), disusul sinus etmoid (15-25%), hidung sendiri (24%),
sedangkan sinus sphenoid dan frontal jarang terkena.Metastasis ke kelenjar leher
jarang terjadi (kurang dari 5%) karena rongga sinus sangat miskin dengan system limfa
kecuali bila tumor sudah menginfiltrasi jaringan lunak hidung dan pipi yang kaya akan
system limfatik. Metastasis jauh juga jarang ditemukan (kurang dari 10%) dan organ
yang sering terkena metastasis jauh adalah hati dan paru.10

Invasi Sekunder
a. Pituitary adenomas
b. Chordomas
Invasi sekunder lain (karsinoma nasofaring, meningioma, tumor odontogenik,
neoplasma skeleton kraniofasial jinak dan ganas, tumor orbita dan apparatus
lakrimal).36

3.4.3 Manifestasi Klinis


Gejala tergantung dari asal primer tumor serta arah dan perluasannya. Tumor di
dalam sinus maksila biasanya tanpa gejala. Gejala timbul setelah tumor besar, sehingga
mendesak atau menembus dinding tulang meluas ke rongga hidung, rongga mulut, pipi,
orbita atau intrakranial.10
Tergantung dari perluasan tumor, gejala dapat dikategorikan sebagai berikut:10,36
1) Gejala nasal. Gejala nasal berupa obstruksi hidung unilateral dan rinorea.
Sekretnya sering bercampur darah atau terjadi epistaksis. Tumor yang besar
dapat mendesak tulang hidung sehingga terjadi deformitas hidung. Khas pada
tumor ganas ingusnya berbau karena mengandung jaringan nekrotik.
2) Gejala orbital. Perluasan tumor kearah orbita menimbulkan gejala diplopia,
protosis atau penonjolan bola mata, oftalmoplegia, gangguan visus dan epifora.

48
3) Gejala oral. Perluasan tumor ke rongga mulut menyebabkan penonjolan atau
ulkus di palatum atau di prosesus alveolaris. Pasien megeluh gigi palsunya tidak
pas lagi atau gigi geligi goyah. Seringkali pasien datang ke dokter gigi karena
nyeri di gigi, tetapi tidak sembuh meskipun gigi yang sakit telah dicabut.
4) Gejala fasial. Perluasan tumor ke depan akan menyebabkan penonjolan pipi.
Disertai nyeri, anesthesia atau parestesia muka jika mengenai nervus trigeminus.
5) Gejala intrakranial. Perluasan tumor ke intrakranial menyebabkan sakit kepala
hebat, oftalmoplegia dan gangguan visus. Dapat disertai likuorea, yaitu cairan
otak yang keluar melalui hidung. Jika perluasan sampai ke fossa kranii media
maka saraf otak lainnya bisa terkena. Jika tumor meluas ke belakang, terjadi
trismus akibat terkenanya muskulus pterigoideus disertai anestesia dan parestesia
daerah yang dipersarafi nervus maksilaris dan mandibularis.

3.4.4 Penegakan Diagnosis


Diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis, didapatkan gejala-gejala yang tergantung dari
asal primer tumor serta arah dan perluasannya, seperti pada manifestasi klinis yang telah
disebutkan. Saat memeriksa pasien, pertama-tama perhatikan wajah pasien apakah
terdapat asimetri atau tidak. Selanjutnya periksa dengan seksama kavum nasi dan
nasofaring melalui rinoskopi anterior dan posterior. Permukaan yang licin merupakan
pertanda tumor jinak sedangkan permukaan yang berbenjol-benjol, rapuh dan mudah
berdarah merupakan pertanda tumor ganas. Jika dinding lateral kavum nasi terdorong ke
medial berarti tumor berada di sinus maksila.Pemeriksaan nasoendoskopi dan sinuskopi
dapat membantu menemukan tumor pada stadium dini. Adanya pembesaran kelenjar
leher juga perlu dicari meskipun tumor ini jarang bermetastasis ke kelenjar leher.10,36
Diagnosis pasti ditegakkan berdasarkan pemeriksaan histopatologi. Jika tumor
tampak di rongga hidung atau rongga mulut, maka biopsi mudah dan harus segera
dilakukan. Biopsi tumor sinus maksila, dapat dilakukan melalui tindakan sinoskopi atau
melalui operasi Caldwel-Luc yang insisinya melalui sulkus ginggivo-bukal.Jika
dicurigai tumor vaskuler, misalnya angofibroma, jangan lakukan biopsi karena akan
sangat sulit menghentikan perdarahan yang terjadi. Diagnosis adalah dengan
49
angiografi.Foto polos berfungsi sebagai diagnosis awal, terutama jika ada erosi tulang
dan perselubungan padat unilateral, harus dicurigai keganasan dan dibuat suatu
tomogram atau TK. Pemeriksaan MRI dapat membedakan jaringan tumor dengan
jaringan normal tetapi kurang begitu baik dalam memperlihatkan destruksi tulang.Foto
polos toraks diperlukan untuk melihat adanya metastasis tumor di paru.10,36

3.4.4 Tatalaksana
Pembedahan atau lebih sering bersama dengan modalitas terapi lainnya seperti
radiasi dan kemoterapi sebagai ajuvan sampai saat ini masih merupakan pengobatan
utama untuk keganasan di hidung dan sinus paranasal. Pembedahan masih diindikasikan
walaupun menyebabkan morbiditas yang tinggi bila terbukti dapat mengangkat tumor
secara lengkap. Pembedahan dikontraindikasikan pada kasus-kasus yang telah
bermetastasis jauh, sudah meluas ke sinus kavernosus bilateral atau tumor sudah
mengenai kedua orbita. Kemoterapi bermanfaat pada tumor ganas dengan metastasis
atau residif atau jenis yang sangat baik dengan kemoterapi misalnya limfoma
malignum.10
Pada tumor jinak, dilakukan ekstirpasi tumor sebersih mungkin. Bila perlu
dilakukan dengan cara pendekatan rinotomi lateral atau degloving (peningkapan). Untuk
tumor ganas, tindakan operasi harus seradikal mungkin. Biasanya dilakukan
maksilektomi, dapat berupa maksilektomi medial, totdal atau radikal. Maksilektomi
radikal dilakukan misalnya pada tumor yang sudah mengenai seluruh dinding sinus
maksila dan sering juga masuk ke rongga orbita, sehingga pengangkatan maksila
dilakukan secara en bloc disertai eksenterasi orbita. Jika tumor sudah masuk ke rongga
intrakranial dilakukan reseksi kraniofasial atau kalau perlu kraniotomi, tindakan
dilakukan dalam tim bersama dokter bedah saraf.10
Sesudah maksilektomi total, harus dipasang prostesis maksila sebagai tindakan
rekonstruksi dan rehabilitasi, supaya pasien tetap dapat melakukan fungsi menelan dan
berbicara dengan baik, di samping perbaikan kosmetik melalui operasi bedah plastik.
Dengan tindakan-tindakan ini pasien dapat bersosialisasi kembali dalam keluarga dan
masyarakat.10

50
3.4.5 Prognosis
Pada umumnya, prognosis kurang baik. Banyak sekali faktor yang mempengaruhi
prognosis keganasan hidung dan sinus paranasal, cara tepat dan akurat. Faktor-faktor
tersebut seperti, perbedaan diagnosis histologi, asal tumor primer, perluasan tumor,
pengobatan yang diberikan sebelumnya, status batas sayatan, terapi ajuvan yang
diberikan, status imunologis, lamanya follow up dan banyak lagi faktor lain yang dapat
berpengaruh terhadap agresifitas penyakit dan hasil pengobatan yang tentunya
berpengaruh juga terhadap prognosis penyakit ini. Walaupun demikian pengobatan yang
agresif secara multimodalitas akan memberikan hasil yang terbaik dalam mengontrol
tumor primer dan akan meningkatkan angka bertahan hidup selama 5 tahun sebesar 75%
untuk seluruh stadium tumor.10

51

Anda mungkin juga menyukai