Anda di halaman 1dari 20

PEBEDAAN ASAS

DESENTRALISASI,SENTRALISASI
DEKONSENTRASI DAN TUGAS
PEMBANTUAN BESERTA PASAL-PASAL
YANG BERKAITAN
A).DESETRALISASI
Saat ini kita tinggal di Indonesia. Sebuah negara yang
terdiri dari 34 provinsi yang berbeda antara satu dengan
yang lainnya namun saling terhubung dalam bingkai Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Di negara ini, setiap daerah
memiliki otonomi daerah yang dilaksanakan dengan
beberapa asas. Salah satu dari asas tersebut ialah
desentralisasi yang berarti pelimpahan wewenang urusan
pemerintahan dari pemerintah pusat kepada pemerintah
daerah. Desentralisasi harus dilaksanakan dengan tetap
menaati peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Lantas, apa yang menjadi dasar hukum desentralisasi itu?
Berikut ini penjelasan dari beberapa dasar hukum
desentralisasi di Indonesia dalam rangka penyelenggaraan
otonomi daerah:
1. Undang-Undang Dasar NKRI 1945
Dasar hukum desentralisasi di Indonesia yang pertama
tentunya ialah pasal-pasal yang terdapat di dalam UUD
NKRI 1945. Terdapat bab tersendiri di dalam UUD 1945
yang membahas mengenai pemerintahan daerah. Bab ini
juga merupakan dasar hukum bagi pelaksanaan asas
desentralisasi di Indonesia. Pasal yang termasuk di dalam
bab ini ialah pasal 18, pasal 18A dan juga pasal 18B. Ketiga
pasal ini baru diputuskan pada amandemen kedua UUD
1945 pada tahun 2000.
Keberadaan pasal mengenai pemerintahan daerah ini
merupakan wujud semangat pelaksanaan otonomi daerah
yang lebih baik dan menghindari praktek penyelenggaraan
negara yang cenderung ke arah sentralisasi. Dengan
adanya ketiga pasal ini, maka penyelenggaraan otonomi
daerah dapat menggunakan asas desentralisasi yang berarti
pemerintah daerah benar-benar diserahi kewenangan dan
kekuasaan untuk mengatur sendiri urusan rumah tangga
daerahnya beserta rakyat yang tinggal di dalamnya.
2. Ketetapan MPR RI Nomor XV/MPR/1998
Dasar hukum desentralisasi di Indonesia yang kedua yaitu
Tap MPR RI No. XV/MPR/1998. Ketetapan MPR RI ini
membahas mengenai penyelenggaraan otonomi daerah di
Indonesia. Selain itu, ketetapan ini juga turut mengatur
beberapa urusan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan
sumber daya nasional yang berkeadilan. Ketetapan MPR RI
ini juga mengatur mengenai perimbangan keuangan pusat
dan daerah yang ada di dalam kerangka NKRI.
Ketetapan ini dikeluarkan bertepatan dengan adanya era
demokrasi reformasi. Pada era ini, rakyat sangat mengecam
pelaksanaan penyelenggaraan negara yang mengutamakan
asas sentralisasi sehingga pembangunan yang terjadi tidak
merata. Maka dari itu, keberadaan ketetapan ini merupakan
tonggak pelaksanaan desentralisasi yang sejati. Dengannya,
pembangunan daerah dapat dilaksanakan dengan merata
dan berujung pada majunya pembangunan nasional.
3. UU No. 34 tahun 2000
Dasar hukum desentralisasi selanjutnya yaitu UU No. 34
tahun 2000 yang membahas mengenai pajak daerah dan
retribusi daerah. Sejatinya UU ini merupakan perubahan
atas UU No. 18 tahun 1997 yang membahas materi yang
sama. UU ini dapat dikatakan sebagai dasar hukum
desentralisasi di Indonesia karena UU ini merupakan
landasan bagi daerah untuk menetapkan tarif pajak dan
penarikan retribusi di daerahnya sendiri.
Retribusi dapat kita pahami sebagai pungutan yang
diberlakukan oleh pemerintah daerah sebagai balas jasa.
Misalnya yaitu retribusi kendaraan. Pemerintah pusat
melalui UU ini menyerahkan wewenang kepada pemerintah
daerah untuk mengelola sumber dayanya sendiri yang
berupa pajak daerah dan retribusi daerah sebagai modal
untuk menyelenggarakan pemerintahan daerahnya.
4. UU No. 17 tahun 2003
Dasar hukum desentralisasi yang selanjutnya yaitu UU No.
17 tahun 2003 yang mengatur tentang keuangan
negara. UU ini menjadi dasar bagi pelaksanaan asas
desentralisasi di Indonesia karena di dalam UU ini diaturlah
ketentuan mengenai kekuasaan atas pengelolaan keuangan
negara pada berbagai tingkatan kekuasaan penyelenggara
negara. Salah satunya yaitu terdapat ketentuan bahwa
kekuasaan keuangan daerah diserahkan kepada gubernur
atau walikota atau bupati selaku kepala pemerintahan
daerah.

Hal tersebut merupakan salah satu contoh hubungan


struktural dan fungsional pemerintah pusat dan pemerintah
daerah. Dalam rangka penyelenggaraan fungsi pengelolaan
keuangan negara ini, setiap tahunnya disusunlah suatu
APBD atau Anggaran Pendapatan, dan Belanja Daerah. Di
dalam UU ini juga dicantumkan tugas bagi pejabat pengelola
keuangan daerah, yaitu menyusun dan melaksnakan
kebijakan pengelolaan APBD, menyusun rancangan APBD
dan rancangan perubahan APBD, melaksanakan
pemungutan pendapatan daerah yang telah ditetapkan
dengan peraturan daerah, melaksanakan fungsi bendahara
umum daerah, dan menyusun laporan keuangan
pelaksanaan APBD.
5. UU No. 1 tahun 2004
Dasar hukum desentralisasi yang kelima ialah UU No. 1
tahun 2004 yang mengatur mengenai perbendaharaan
negara. UU ini merupakan bentuk pengaturan lanjutan dari
UU No. 17 tahun 2003 mengenai keuangan negara. Selain
itu, UU ini merupakan bentuk pembaharuan dari UU No. 9
tahun 1968 yang juga membahas mengenai
perbendaharaan negara namun UU ini tidak lagi dapat
memenuhi kebutuhan pengelolaan dan pertanggungjawaban
keuangan negara.
Di dalam UU ini disebutkan bahwa pelaksanaan pendapatan
dan belanja daerah, pelaksanaan penerimaan dan
pengeluaran daerah, dan pengelolaan piutang dan utang
daerah merupakan urusan yang terdapat di dalam ruang
lingkup perbendaharaan negara. UU ini menjadi dasar
hukum desentralisasi di Indonesia karena di dalam UU ini
pengaturan mengenai kewenangan pengelolaan keuangan
daerah juga turut diatur. Hal yang diatur oleh UU ini
mengenai kepala pemerintah daerah yaitu tugas-tugasnya
dalam hal perbendaharaan negara, yaitu menetapkan kuasa
pengguna anggaran dan bendahara penerimaan dan/atau
bendahara pengeluaran, menetapkan pejabat yang bertugas
melakukan pemungutan penerimaan daerah, mengelola
utang dan piutang daerah, dan lain sebagainya.
6. UU No. 32 Tahun 2004
Dasar hukum desentralisasi di Indonesia yang keenam ialah
UU No. 32 tahun 2005 yang membahas mengenai
pemerintahan daerah. Di dalam UU ini, terdapat penjelasan
mengenai pemberlakuan ketiga asas-asas otonomi daerah,
yaitu desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan.
UU ini merupakan bentuk pembaharuan dari UU No. 22
tahun 1999. Di dalam UU ini, terdapat pula ketentuan
mengenai pembagian urusan pemerintahan.
Hal ini merupakan dasar dari pelaksanaan desentralisasi.
urusan yang terdapat di berbagai bidang merupakan urusan
yang dikelola oleh pemerintah daerah. Namun, terdapat
beberapa urusan yang hanya menjadi kewenangan dari
pemerintah pusat. Urusan-urusan tersebut ialah politik luar
negeri, yustisi, pertahanan, keamanan, moneter dan fiskal
nasional, dan urusan keagamaan.
7. UU No. 33 Tahun 2004
Dasar hukum desentralisasi di Indonesia yang selanjutnya
ialah UU No. 33 tahun 2004. UU ini mengatur mengenai
perimbangan keuangan di antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah. UU ini merupakan salah satu penjelasan
lebih lanjut dari Tap MPR RI No. XV/MPR/1998. Di dalam
UU ini terdapat ketentuan mengenai desentralisasi dalam
hal keuangan yang tercantum pada pasal 2 ayat (2) yaitu
pemberian sumber keuangan negara pada pemerintah
daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi didasarkan
atas penyerahan tugas oleh pemerintah pusat pada
pemerintah daerah dengan memperhatikan stabilitas dan
juga keseimbangan fiskal negara.
UU ini juga mencantumkan sumber keuangan apa saja yang
dapat menjadi sumber penerimaan daerah. Sumber-sumber
yang dimaksud yaitu Pendapatan Asli Daerah, Dana
Perimbangan dan lain-lain pendapatan. Selain itu, terdapat
pula sumber lainnya, yaitu sisa lebih perhitungan anggaran
daerah, penerimaan pinjaman daerah, dana cadangan
daerah, dan hasil penjualan kekayaan daerah yang
dipisahkan.
8. PP No. 55 tahun 2005
PP No. 55 tahun 2005 yang membahas mengenai dana
perimbangan merupakan dasar hukum desentralisasi di
Indonesia yang selanjutnya. PP ini merupakan pengaturan
lebih lanjut dari beberapa pasal di dalam UU No. 33 tahun
2004. Di dalam PP ini, disebutkan bahwa yang dimaksud
dengan dana perimbangan ialah dana yang bersumber dari
pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk
mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan
desentralisasi.
Dana perimbangan sendiri terdiri dari beberapa dana, yaitu
Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum, dan Dana Alokasi
Khusus. Jumlah dari dana perimbangan ini sendiri
ditetapkan setiap tahunnya di dalam APBN (Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara). UU ini benar-benar
membahas mengenai perincian dana perimbangan.
Pengaturan ini diperlukan agar pembangunan di daerah
dapat terlaksana dengan baik sehingga tujuan
pembangunan nasional Indonesia juga ikut tercapai.
9. PP No. 58 tahun 2005
Dasar hukum desentralisasi yang selanjutnya ialah PP No.
58 tahun 2005 yang mengatur tentang pengelolaan
keuangan daerah. Peraturan Pemerintah ini merupakan
bingkai bagi pengelolaan keuangan di daerah yang
merupakan bagian dari pelaksanaan desentralisasi.

Di dalam PP ini disebutkan beberapa ruang lingkup


keuangan daerah, yaitu pemungutan pajak daerah dan
retribusi daerah serta melakukan pinjaman,
penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah dan
pembayaran pihak ketiga, penerimaan daerah, pengeluaran
daerah, kekayaan daerah, dan kekayaan pihak lain yang
dikuasai oleh pemerintah daerah.
Di dalam UU ini juga tercantum asas umum dari pengelolaan
keuangan daerah. Asas yang dimaksud ialah keuangan
daerah dikelola dengan tertib, taat pada peraturan
perundang-undangan, efisien, efektif, ekonomis, transparan,
dan bertanggung jawab dengan tetap memperhatikan asas
keadilan, kepatutan, dan manfaat untuk masyarakat. Asas
yang kedua yaitu pengelolaan keuangan daerah dilakukan
dalam suatu sistem yang terintegrasi yang terwujud dalam
APBD.
Penyampaian di atas merupakan penjelasan paling lengkap
mengenai materi dasar hukum desentralisasi di Indonesia
yang dapat penulis sampaikan kepada pembaca dalam
kesempatan yang indah kali ini. Semoga dengan membaca
artikel ini pembaca dapat memahami apa saja yang menjadi
dasar hukum desentralisasi di indonesia, baik yang berupa
undang-undang maupun yang berupa peraturan pemerintah.
Dari penyampaian di atas pula kita dapat mengetahui bahwa
keberadaan dasar hukum desentralisasi di Indonesia ini
merupakan suatu hal yang menjadi kebutuhan negara ini
dalam penyelenggaraan kedaulatan rakyat, khususnya
perihal otonomi daerah. Sekian, sampai jumpa pada
kesempatan yang lain dan semoga kesuksesan senantiasa
mengiringi langkah pembaca.

 B).SENTRALISASI

Secara historis-politik, pada era awal reformasi digelorakan


bahwa sebagian dari agenda yang perlu diperbaiki adalah
reformasi politik dan pemerintahan. Reformasi pemilihan kepala
daerah yang sebelumnya pemilihan melalui perwakilan menjadi
pemilihan langsung.

Penyelenggaraan pemerintahan yang sentralistik menjadi


desentralisasi. Kewenangan pemerintah dalam mencegah dan
membatalkan peraturan daerah (perda) pada fase pembentukan
perda dan setelah itu kewenangan berada di lembaga yudikatif
menggunakan mekanisme judicial review dan mendekati perbaikan
sejak 1999.

Sekarang, pada 16 Februari 2016 keluar instruksi pencabutan atau


perubahan perda dari Menteri Dalam Negeri No 582/476/SJ. Instruksi
ini seolah-olah kekuasaan pemerintah kita kembali ke wajah
pemerintahan sebelum reformasi.

Wajah sentralistik, mencengkeram pemerintah daerah atas nama


investasi, tarif bagi pelaku usaha, pembangunan, dan lainnya.
Kewenangan ini terilhami oleh UU No 23 Tahun 2014 dan Peraturan
Pemerintah Pengganti UU No 2 Tahun 2015. Terjadi pergeseran
wewenang pemerintah.

Pemerintah memiliki kewenangan lebih dari mengontrol,


mengevaluasi, tapi dapat membatalkan perda yang telah lama
diterapkan. Kewenangan yang lebih tidak sehat untuk penguatan
demokrasi karena "power tends to corrupt and absolute power
corrupts absolutely" (Lord Acton). Perlu pembatasan kewenangan
secara hukum untuk mengontrol dan mencegah penyalahgunaan
kekuasaan.
Pada 13 Juni 2016, kewenangan lebih itu terimplementasikan.
Presiden Joko Widodo mengumumkan pembatalan perda secara
kolektif yang dianggap bermasalah, sebanyak 3.143 perda.
Pemerintah berdalil pembatalan karena menghambat birokrasi dan
investasi, membebani tarif khususnya pelaku usaha dan lainnya.

Atas tindakan ini, pemerintah tak dibenarkan melakukan pembatalan


secara kolektif ribuan perda, dan mengabaikan kajian sesuai
prosedur yang berlaku. Indonesia sebagai negara hukum memiliki
mekanisme dan prosedur yang jadi pijakan hukum.

Secara konstitusional, pemerintah daerah dalam membentuk perda


dijamin UUD 1945 Pasal 18 ayat (6) yang berbunyi, "Pemerintahan
daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-
peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan".

Pengaturan lebih lanjut atas ketentuan ini diterjemahkan ke dalam


ketentuan UU Republik Indonesia No 12 Tahun 2011. Pemerintah
daerah tidak berakhir dan bebas pada ketentutan di atas. Sesuai
lokusnya, muncul UU No 23 Tahun 2014 diubah melalui Perppu No 2
Tahun 2015 dan lebih lanjut diubah menjadi UU No 9 Tahun 2015.

Secara teknis, terdapat Perpres No 87 Tahun 2014. Ketentuan ini


menjadi rujukan legal standing pemerintah, pemerintah daerah,
maupun stakeholders terkait. Termasuk kewenangan membatalkan
perda sebagaimana tertuang dalam UU No 23 Tahun 2014 Pasal 251
ayat (1), "Perda provinsi dan peraturan gubernur yang bertentangan
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi,
kepentingan umum, dan/atau kesusilaan dibatalkan oleh Menteri".
Harusnya pengaturan pembatalan peraturan perundang-undangan
dalam kerangka trias politica dan otonomi daerah ditempatkan secara
proporsional dan komprehensif, tidak parsial. Secara konstitusional,
perda memiliki posisi kuat serta bagian dari hierarki peraturan
perundangan.

Kewenangan pemerintah tidak boleh melebihi batas sebagai lembaga


eksekutif. Harus dibatasi sampai pada fase pembentukan perda
sebagai wujud kontrol, membangun, mengawasi penyelenggaraan
pemerintahan daerah. Selebihnya, tetap menjadi kewenangan
Mahkamah Agung sebagai lembaga yudikatif untuk mengadili,
menilai bertentangan atau tidaknya dengan peraturan perundangan
di atasnya sesuai asas lex superiori derogat legi inferiori.

Kewenangan lebih pemerintah (eksekutif) dalam menindak perda


sangat berpotensi bermuatan politik tertentu. Pertama, perlu menjadi
pertimbangan untuk perubahan ketentuan UU No 23 Tahun 2014
Pasal 250, Pasal 251, dan Pasal 252 agar amanah konstitusional
bagi pemda tertunaikan, tercegahnya upaya resentralisasi
pemerintahan, dan mencegah potensi penyalahgunaan wewenang
pemerintah atas produk politik pemerintah daerah.

Kedua, konstruksi muatan materi untuk perbaikan perda


menempatkan posisi pemerintah untuk mengawasi, mengontrol pada
fase pembuatan perda dan fase setelah diundangkan, yaitu maksimal
60 hari dari diterimanya perda oleh pemerintah. Kewenangan
pemerintah berhenti sampai pada fase ini dan selebihnya
kewenangan menguji berada di MA agar kewenangan antarlembaga
negara tidak saling tercederai. Menggunakan acuan konstitusional
dengan mekanisme judicial review sesuai klasifikasi peraturan
perundang-undangan.

Pemegang kuasa pembatalan disesuaikan dengan amanah UUD


1945 Pasal 24A ayat (1), yaitu "Mahkamah Agung berwenang
mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-
undangan di bawah undang-undang, dan mempunyai wewenang
lainnya yang diberikan oleh undang-undang".

Ketiga, pengawasan dan kontrol pemerintah tetap menggunakan


instrumen klarifikasi sehingga muatan materi dari rancangan perda
dapat dinilai dengan alasan sesuai peraturan perundangan yang
berlaku. Seperti tertuang dalam Perpres No 87 Tahun 2014 Pasal
125 ayat (4), "Dalam hal hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) tidak ditindaklanjuti dan gubernur tetap menetapkan
rancangan peraturan daerah provinsi menjadi peraturan daerah
provinsi, pembatalan peraturan daerah provinsi tersebut dilakukan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan," dan
Pasal 130 ayat (4) terkait peraturan daerah kabupaten/kota.

Dalam Perpres Pasal 136 ayat (3), "Pembatalan sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam jangka waktu paling lama
60 hari terhitung sejak tanggal diterimanya peraturan daerah
provinsi" dan Pasal 144 ayat (3), "Pembatalan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam jangka waktu paling lama
60 hari terhitung sejak tanggal diterimanya peraturan daerah
kabupaten/kota".
Artinya, kewenangan pembatalan perda yang telah melewati 60 hari
sejak diterima pemerintah bukan kewenangan pemerintah. Ketika
pemerintah memaksa membatalkan setelah melewati waktu 60 hari
diterimanya perda, maka pemerintah melampaui kewenangannya.

Muatan materi pembatalan perda dalam UU No 23 Tahun 2014 di


atas memberi kewenangan lebih pemerintah menjalankan kekuasaan
pemerintahan. Idealitas kekuasaan pemerintahan dalam kerangka
demokrasi dimaknai sebagai aktivitas pemerintah dengan
memperhatikan paradigma, prinsip pemerintahan yang baik, dan
check and balances systems.

Kapan dimaknai lebih atau berwujud dominan, di saat itulah


kembalinya pemerintahan yang sentralistik, otoritarian, dan/atau
bahkan mencerminkan pemerintahan yang diktator.

Dengan demikian, kewenangan pembatalan atas 3.143 perda oleh


pemerintah berwajah sentralistik dan menggunakan kewenangan
di luar konstitusional. Deskripsi otoritas pemerintah yang
mendekonstruksi otoritas pemerintah daerah, melampaui
kewenangan lembaga yudikatif
C).DEKONSENTRASI

kegiatan penyerahan berbagai urusan


dari pemerintahan pusat kepada badan-badan
lain.[1] Sumber lain menjelaskan bahwa dekonsentrasi itu
merupakan pelimpahan wewenang dari Pemerintah
kepada Gubernur sebagai Wakil Pemerintah dan/atau
kepada instansi vertikal di wilayah tertentu.[2] Hal ini
tercantum di dalam pasal satu huruf f Undang-undang No. 5
Tahun 1974.[2] Kemudian ketika sudah diterima oleh badan-
badan lain yang telah diberi wewenang oleh pemerintah
maka ketika badan-badan itu melakukan pelaksanaan
tugasnya harus menuruti segala petunjuk pemerintah pusat
dan bertanggung jawab kepadanya.[1] Dekonsentrasi
sebenarnya berasas sentralisasi (pemusatan) berlawanan
dengan desentralisasi.[1] Sistem ini banyak dipakai
di Perancis.[1] Di Indonesia terutama dijalankan di kalangan
inspektorat-inspektoral perpajakan, kesehatan, pertanian,
dan sebagainya.[1]

Di Indonesia Penyelenggaraan Dekonsentrasi ini diatur di dalam


Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2001
yang berisi tentang pembagian wilayah dan wewenang yang
harus dijalankan oleh badan-badan dari pemerintahan
tersebut.[3] Dalam peraturan ini tentang wilayah dan wewenang
Gubernur berbunyi: Provinsi mempunyai kedudukan sebagai
Daerah otonom sekaligus adalah Wilayah administrasi yaitu
Wilayah kerja Gubernur untuk melaksanakan fungsi-fungsi
kewenangan yang dilimpahkan kepadanya.[3] Berkaitan dengan
itu maka Kepala daerah Otonom disebut Gubernur yang berfungsi
pula selaku Kepala Wilayah Administrasi dan sekaligus sebagai
wakil Pemerintah.[3] Gubernur selain pelaksana asas
desentralisasi juga melaksanakan asas dekonsentrasi.[3] Besaran
dan isi dekonsentrasi harus mempunyai sifat dekat dengan
kepentingan masyarakat dan bermakna sebagai upaya
mempertahankan dan
memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa serta keutuhan
Wilayah Negara Kesatuan RI dan meningkatkan pemberdayaan,
menumbuhkan prakarsa, dan kreativitas masyarakat serta
kesadaran nasional.[3] Oleh sebab itu Gubernur memegang
peranan yang sangat penting sebagai unsur perekat Negara
Kesatuan RI.[3] Di samping itu pertimbangan dan tujuan
diselenggarakannya asas dekonsentrasi yaitu :[3]

1. meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan


pemerintahan, pengelolaan pembangunan dan pelayanan
terhadap kepentingan umum;
2. terpeliharanya komunikasi sosial kemasyarakatan dan sosial
budaya dalam system administrasi negara;
3. terpeliharanya keserasian pelaksanaan pembangunan
nasional;
4. terpeliharanya keutuhan Negara Kesatuan RI

D) TUGAS PEMBANTUAN

Dalam penyelenggaraan otonomi daerah di Indonesia dari


waktu ke waktu ke waktu di kenal adanya tiga asas yakni
desentralisasi,dekonsentrasi serta tugas pembantuan.Asas
tugas pembantuan pada umumnya di posisikan sebagai asas
komplementer atau pelengkap dari asas desentralisasi dan
dekonsentrasi.

Sama seperti asas-asas lainnya,peranan asas tugas


pembantuan dari waktu ke waktu juga mengalami pasang naik
maupun pasang surut.Di dalam UU Nomor 22 tahun 1948 juga
sudah di kenal asas medebewind,yang berarti penyerahan
kewenangan tidak penuh,dalam arti penyerahannya hanya
mengenai cara menjalankannya saja,sedangkan prinsip-
prinsipnya di tetapkan oleh pemerintah pusat sendiri.apabila
dilihat dari bentuk dan sifat kegiatannya,medebewind ini sama
dengan asas tugas pembantuan yang di kenal saat ini.
Menurut UU Nomor 22 Tahun 1948,UU Nomor 1 tahun 1957
maupun UU Nomor 18 Tahun 1965,kewenangan yang di
laksanakan dalam rangka medebewind dicantumkan dalam
undang-undang pem,bentukan daerah otonom.kewenangan
tambahan lainnya yang akan di-medebewind-kan diatur lebih
lanjut dalam peraturan pelaksanaan dari undang-undang. Pada
UU Nomor 5 Tahun 1974 hal tersebut tidak digunakan. Begitu
pula pada UU Nomor 22 Tahun 1999. Kewenangan yang akan
ditugas pembantuankan tidak di rinci secara jelas dan
tetap,melainkan berubah-ubah tergantung pada kebutuhan.

Menurut pasal 12 UU Nomor 5 Tahun 1974,tugas pembantuan


dari pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah diatur
dengan undang-undang, sedangkan tugas pembantuan dari
Pemerintah Daerah Tingkat 1 kepada Pemerintah Daerah
Tingkat II di atur dengan peraturan Daerah Tingkat 1
bersangkutan. Sampai UU Nomor 5 Tahun 1974 di
cabut,belum ada undang-undang yang mengatur secara
khusus mengenai tugas pembantun,meskipun asas tersebut
secara factual di laksanakan. Pengaturannya di tempelkan
pada berbagai undang-undang yang mengatur kewenangan
pada masing-masing sector.
Pada UU Nomor 22 tahun 1999,tidak terdapat bab secara
khusus yang mengatur tentang tugas
pembantuan.pengaturannya tersebar pada pasal 13 untuk
penugasan dari pemerintahan pusat kepada Daerah,dan pasal
100 untuk penugasan dari Pemerintah Pusat dan atau
Pemerintah Daerah kepada Desa Di dalam pasal 13 ayat (2) di
sebutkan bahwa setiap penugasan dalam rangka tugas
pembantuan di tetapkan dengan peraturan perundang-
undangan.peraturan perundang-undangan yang di maksudkan
di sini tidak harus berbentuk UU,melainkan juga dapat
berbentuk peraturan pemerintah,Keputusan Presiden,dan
peraturan lainnya yang sejenis. Sampai saat ini baru ada PP
Nomor 52 Tahun 2001 tentang penyelenggaraan Tugas
pembantuan sebagai pedoman pelaksanaan tugas
pembantuan bagi Pemerintah Pusat,Daerah maupun Desa.
Sedangkan peraturan perundang-undangan lainnya yang
mengatur setiap penugasan dalam rangka tugas pembantuan
belum berdata dengan lengkap.
Di dalam pasal-pasal tersebut di atas di kemukakan bahwa
pihak yang memberikan tugas pembantuan adalah institut
Pemerintah (Pemaerintah Pusat,Pemerintah Daerah
propinsi,pemerintah Daerah Kabupaten/Kota).Sedangkan yang
menerima tugas pembantuan adalah Daerah dan atau Desa
sebagai Kesatuan masyarakat hukum. Manifestasi dari Daerah
ataupun Desa adalah pada Kepala Daerah dan Kepala
Desa.Hal tersebut tercermin dari bunyi pasal 17 PP Nomor 52
Tahun 2001,dimana penanggungjawab pelaksanaan tugas
pembantuan adalah Kepala Daerah dan Kepala Desa.

Fenomena implementasi asas tugas pembantuan berdasarkan


UU Nomor 22 Tahun 1999 dan UU Nomor 32 Tahun 2004
menarik untuk dikaji secara mendalam. Terlebih lagi sampai
saat ini belum ada buku yang secara khusus membahas
secara tuntas mengenai hal tersebut. Disebut menarik karena
asas tugas pembantuan nampaknya dijadikan strategi jalan
keluar bagi pengurangan kewenangan yang sangat drastis
bagi pemerintah pusat. Melalui asas tugas pembantuan, dana-
dana dekonsentrasi yang semula dialokasikan kepada instansi
vertika di kabupaten/kota dan propinsi pada masa UU Nomor 5
Tahun 1974, ditarik ke atas untuk kemudian didistribusikan
kembali ke daerah melalui mekanisme tugas penbantuan. Asas
ini sekaligus juga sebagai salah satu alat kendali pemerintah
pusat kepada pemerintah daerah melalui jalur keuangan.
Selama ini pemerintah pusat mangendalikan daerah melalui
tiga jalur yakni kewenangan, kepegawaian, serta keuangan.
Setelah berlakunya UU Nomor 22 Tahun 1999, alat kendali
pemerintah pusat hanya melalui keuangan saja, karena
kewenangan dan kepegawaian sudah diserahkan kepada
daerah.

Setelah UU Nomor 22 Tahun 1999 berusia sekitar lima tahun,


implementasi asas tugas pembantuan masih relative terbatas.
Implementasi yang nampak secara nyata barulah dari
pemerintah pusat ke daerah propinsi dan daerah
kabupaten/kota. Sedangkan implementasi dari pemerintah
propinsi dan pemerintah kabupaten ke desa masih sangat
terbatas. Salah satu propinsi yang merintis pelaksanaan asas
tugas pembantuan belum di laksanakan secara intensif. Salah
satu diantaranya kesalahan persepsi mengenai pengertian
tugas pembantuan yang dicampur adukan dengan pengertian
pemberian bantuan. Padahal nilai yang dimaksimumkan dari
asas tugas pembantuan adalah EFEKTIVITAS DAN
EFISIENSI.
KELOMPOK 2

NAMA:1.RIZA ARIZKA
2.ahmad yadi
3.nadir mansyah
4.tomi jepisa
5.ilham fitrah ramadhan
6.theva islamiah

Anda mungkin juga menyukai